Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ULUMUL QUR’AN
QIRA’AT AL-QURAN
Dosen Pengampu :
Eli, S. Ag., M. Pd. I

Oleh Kelompok 3:
Bayu Rahman
Daffa Muhammad Mahfud
Faisal Rahmansyah
Miftahur rahman
Nurul Aini
Sunarti
Selvi Tri Hartati

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK
TAHUN AKADEMIK
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi
pendidikan dalam profesi keguruan.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki
sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

` Pontianak, 3 Desember 2021

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................

DAFTAR ISI .................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................

A.Latar Belakang ........................................................................................................

B.Rumusan Masalah ...................................................................................................

C.Tujuan Penulisan ....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................

A.Pengaertian Qira’at Al Quran ...............................................................................

B.Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at Al Quran ..................................

C.Syarat-syarat Qira’at Mu’tabarah ........................................................................

D.Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbat Hukum ..................................

E.Manfa’at Mempelajari Qira’at Al Quran ............................................................

BAB III PENUTUP .....................................................................................................

A.Kesimpulan ..............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Qira’at al-Qur’an disampaikan serta diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.


kepada para sahabatnya sesuai dengan wahyu yang diterimanya dari malaikat Jibril.
Selanjutnya para sahabat menyampaikan dan mengajarkan kepada para tabi’in dan para
tabi’in pun menyampaikan serta mengajarkannya kepada para tabi’ tabi’in dan demikian
seterusnya dari generasi ke genarisi berikutnya. Qira’at al-Qur’an yang dikenal dan
dipelajari oleh kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga sekarang ternyata tidak hanya
satu macam versi qira’at sebagaimana yang terbaca dalam mushaf yang dimiliki umat
Islam sekarang.

Qira’at memiliki  berabagi versi qira’at lain yang juga bersumber dari Nabi
Muhammad SAW. Sehinggga permasalahan perbedaan qira’at ini menjadi pembicaraan
sebagian masyarakat Islam.Berbagai macam cara baca al-Quran diajarkan kepada
masyarakat Islam sahabat-sahabat besar seperti Abdullah bin Masud, Ubai bin Ka’ab,
Abu Darda’, dan Zaid bin Tsabit adalah generasi pertama. Abdullah bin Abbas, Abdul
Aswad Dualli, Al-Qomah bin Qois, Abdullah bin Said, Aswad bin Yazid, Abu
Abdirrahman Sulami dan Masruq bin Ajda’ adalah generasi kedua. Hingga kemudian
mereka melahirkan generasi ketiga sampai kedelapan. Sejak saat itulah penyusunan
qira’at dimulai dan setelah itu tujuh orang qari’ ditentukan Qira’at merupakan cabang
ilmu tersendiri dalam ulum al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah

a. Pengertian qira’at al-qur’an ?

b. Latar belakang timbulnya perbedaan qira’at ?

c. Syarat-syarat Qira’at Mutabah

d. Urgensi mempelajari qira’at
C. Tujuan Penulisan

Sebagai bentuk pengetahuan tentang qira’at dalam al-qur’an dan mengetahui


macam-macam serta pengaruh qira’at dalam hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
 

A. Pengertian Qira’at Al-Qur’an

Qira’at adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti


bacaan. Jadi, lafal qiro’at secara lughawi berarti beberapa pembacaan. Secara istilah ada
beberapa pendapat tentang definisi tersebut, yaitu:

a. Menurut Az-Zarqani, qira’at adalah suatu mazhab  yang dianut oleh seorang imam


yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al karim serta
disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf
maupun dalam pengucapan lafalnya.

Definisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama qira’at dimaksud menyangkut
bacaan ayat-ayat. Kedua cara bacaan yang dianut dalam dalam satu mazhab qira’at
didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas dan ijtihad. Ketiga perbedaan qira’at
biasa terjadi dalam pelafalan huruf dan dalam berbagai keadaan.

Ini sesuai dengan hadis nabi SAW. yang artinya:

“sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf (cara bacanya) maka
bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah.”

b. Menurut Ibnu Al-Jazari, qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara


melafalkan kalimat-kalimat al-Qur’an dengan membangsakan kepada penukilnya.

B. Latar Belakang Timbulnya perbedaan Qira’at Al Quran

Al-qur’an memiliki makna sebagai bacaan, namun dalam perihal membaca al-
qur’an ini memiliki kesukaran pada setiap pembaca dalam keadaan. Dengan demikian
timbulah ilmu qira’at yang mana qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi SAW
masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin
ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi diatas :

1. Suatu ketika ’Umar bin Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim
ketika membaca ayat al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhaap bacaan Hisyam sewaktu ia
membaca surat Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan
bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam
menegaskan pula bahwa bacaannya juga berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam
diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam
mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi
bersabda :”Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya al-Qur’an ini
diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap
mudah dari tujuh huruf itu”

2. Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya masuk ke Masjid untuk


mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat An-Nahl,
tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya,
”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”.
Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan shalat dengan membaca
permulaan surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan
teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya,” Siapakah yang membacakan
ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya
ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau
meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu. Setelah
bacaannya selesai, Nabi bersabda, Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain
agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik”.

Selanjutnya periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa


tabi’in. Orang-orang yang menguasai Al-Qur’an ialah yang menerimanya dari orang-
orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang akhirnya berasal dari Nabi.
Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat
didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka
kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu wajah yang lain dan begitulah
seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan
merupakan pedoman dasar dalam bab qira’ah dan Al-Qur’an. Kalangan sahabat sendiri
dalam pengambilannya dari Rasul menggunakan sara berbeda-beda. Ada yang membaca
dengan satu huruf. Bahkan, ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka tersebar keseluruh
penjuru daerah.
Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain
selain yang telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu
Musa Al-Asy’ari, Miqdad bin amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai
andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-
mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya,
kecualai pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian bacaan yang merupakan
penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan
catatan pribadi mereka masing-masing.

Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai


penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni
timbulnya qiraat yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi
bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arabin sehingga
pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi sebagaimana yang disaksikan
Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada ’Utsman.

Ketika mengirim mushaf-mushaf  keseluruh penjuru kota, khalifah Utsman r.a.


mengirimkan pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri dengan masing-
masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar keseluruh daerah dengan
bacaan yang berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka dalam hal bacaan yang dibawa
oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian, beraneka-ragamlah pengambilan para
tabi’in, sehingga masalah ini menimbulkan imam-imam Qari’ yang masyhur yang
berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qiraat dengan memberi
tanda-tanda serta menyebarluaskannya.

Tatkala para qori pada masa tabi’iin yaitu pada awal abad II H tersebar ke


berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti
qiraat imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan turun-temurun dari guru ke
guru, sehingga sampai kepada imam-imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang
empat belas.

Imam-Imam qira’at bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya


sehingga  bisa membedakan  antara bacaan  yang  benar dan yang salah.

Mereka mengumpulkan qira’at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah.


Sesudah itu para Imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang pertama kali
menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah al-Qasim bin Salam. Ia telah
mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25 Macam. Kemudian menyusul imam-
imam lainnya. Diantara mereka, ada yang menetapkan 20 macam. Ada pula yang
menetapkan dibawah bilangan itu. Persoalan qiro’at terus berkembang sampai masa Abu
Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang terkenal dengan nama ibn Mujahid. Dialah
orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at yang disesuai dengan tujuh imam
qori’. Berkat jasanya dapat diketahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang
ditolak.

C. Syarat-syarat Qira’at Mu’tabarah

1. Sesuai dengan Rasmul Mushaf/Rasm Usmaniy.

2. Sesuai dengan kaedah bahasa Arab.

3. Sanadnya Mutawatir.

D. Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbat (Penetapan) Hukum

Perbedaan-perbedaan qira’at itu terkadang mempengaruhi dalam penetapan


ketentuan hukum.
Contohnya:

1. Surah Al-Baqarah: 222

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu


adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Berkaitan dengan ayat diatas, diantara tujuh imam qira’at yaitu Abu Bakar Syu’bah,
Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada
huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan
qira’at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan
qira’at. Ulama yang membaca “yathhuma” berpendapat bahwa seorang suami tidak
diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau
berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuththahhirna”
menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan
istrinya, kecuali telah bersih.

Sehubungan dengan hal tersebut, batas keharaman seorang suami untuk mencampuri
istrinya yang haid adalah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti darah
haidnya, dan telah mandi dari hadas besarnya

2. Surat An-Nisa’: 43

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang


kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan,
Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi
Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa’: 43).

Berkaitan dengan ayat ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’I memendekkan huruf lam
pada kata “lamastun”, ementara imam-imam lainnya memanjangkannya. Bertolak dari
perbedaan qira’at ini, terdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata
itu, yaitu bersetubuh, bersentuh dan sambil bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qiraat
itu pula, para ulam fiqih ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan
perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa
persentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.

3. Surah Al-Ma’idah: 6

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan


shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub
Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. Al-Ma’idah: 6)

Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan
“arjulakum”, sementara imam-imam yang lainnya membacanya dengan “arjulikum”.
Dengan membaca “arjulikum”, mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh
kedua kaki dan tidak membedakan dengan menyapunya. Qira’at dipahami oleh
jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu
diwajibkan mencuci kedua kaki. Sementara qira’at versi lainnya dipahami oleh
sebagian ulama dengan mengahasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu
tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan mengusapnya
(dengan air).

E. Manfaat Menpelajari Qira’at Al Quran

Banyak manfaat yang dapat kita ambil dalam mempelajari ilmu qiraat diantaranya
yaitu:

1. Memberikan keringanan dan kemudahan kepada kita sesuai dengan hadits yang
menyatakan bahwa Alqur’an telah diturunkan dengan tujuh huruf maka bacalah
dengan bacaan yang mudah darinya.(HR. Muttafaq’alaih).

2. Kita akan terpelihara dari kesalahan dalam menyebut kalimah-kalimah al-Qur'an.

3. Kalimah al-Qur'an akan dapat dipelihara dari perubahan dan penyimpangan.

4. Kita akan mengetahui sumber cara bacaan qira’at setiap imam dan imam-imam
qira’at.

5. Kita akan dapat membedakan antara apa yang boleh dibaca dan apa yang tidak boleh
dibaca dengannya.

6. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan
penyimpangan.

7. Mendapat pahala.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwasannya:

1. Qira’at Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari cara mengucapkan lafadz-lafadz al-
Qur’an.

2. Qira’at ini muncul pada masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang.

3. Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah
Al-Qasim bin Salam kemudian imam-imam lainnya mulai menyusun qira’at.

4. Dari segi kuantitasnya qira’at terbagi menjadi tiga yaitu Qira’ah Sab’ah (Qira’at
Tujuh), Qira’at ‘Asyarah (Qira’at Sepuluh), dan Qira’at ‘Arba’at Asyarah (Qira’at
Empat Belas). Dan dari segi kualitasnya Qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu
Qira’ah Mutawatir, Qira’ah Masyhur, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz (menyimpang),
Qira’ah Maudhu (palsu) dan Qira’at Mudraj.

5. Yang dimaksud dengan al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah memberi
kelonggaran kepada umat manusia dalam membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaan
yang mudah bagi mereka. Namun, bacaan ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh dibaca
sesuka hati si pembacanya karena sudah ada aturan yang sesuai dengan yang
diajarkan Rasulullah.

6. Di dalam  penetapan hukum, qira’at dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum


yang telah disepakati para ulama.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan. 2008.  Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia

Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i. 2008. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia

Zarkasyi, Al Burhan Fi Ulum al Qur’an, Isa Al Babi al Halabi, Mesir, 1972.

Anda mungkin juga menyukai