Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KAJIAN AKSIOLOGI

DISUSUN OLEH:

Sayidah Nafisah

200901501009

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

FAKULTAS EKONOMI

AKUNTANSI S1

2021/2022
PENGERTIAN AKSIOLOGI
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Jadi yang ingin dicapai oleh aksiologi adalah hakikat dan manfaat yang
terdapat dalam suatu pengetahuan. Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos
(teori), yang berarti teori tentang nilai. Axiologis artinya teori nilai,penyelidikan mengenai
kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa
Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang
nilai-nilai khususnya etika.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan
mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya
di dalam kepribadian peserta didik. Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat
yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu. Berbicara
mengenai nilai itu sendiri dapat kita jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak
adil, jujur dan curang. Hal itu semua mengandung penilaian karena manusia yang dengan
perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya
ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan
yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan
estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan
masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan. Dalam aksiologi
pertanyaan-pertanyaan yang muncul antara lainberkisar apakah nilai itu? dimana letaknya nilai?
Bagaimana penerapan darinilai? Apakah yang tolok ukur dari penilaian? Siapakah yang
menentukan nilai? Dan kenapa terjadi perbedaan penilaian?.
Problem aksiologi ujar Runes berkaitan dengan empat faktor penting sebagai berikut:
a. Kodrat nilai berupa problem mengenai: apakah nilai berasal dari keinginan
(Voluntarisme: Spinoza), kesenangan (Hedonisme: Epicurus, Bentham, Meinong),
kepentingan (Perry), prefensi (Martineau), keinginan rasio murni (Kant), pemahaman
mengenai kualitas tersier (Santayana), pengalaman sinoptik, kesatuan kepribadian atau
(Personalisme: Green), berbagai pengalaman yang mendorong semangat hidup
(Nietzsche), relasi benda-benda sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau konsekuensi
sungguh-sungguh yang dapat dijangkau (Pragmatisme: Dewey).
b. Jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan pandangan antara nilai intrinsik, ukuran untuk
kebijaksanaan nilai itu sendiri, nilai-nilai instrumental yang menjadi penyebab (baik
barang-barang ekonomis atau peristiwa alamiah) mengenai nilai-nilai intrinsik.
c. Kriteria nilai artinya ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh teori
psikologi dan logika.
d. Status metafisik nilai mempersoalkan tentang bagaimana hubungan nilai terhadap fakta-
fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu kealaman (Koehler), kenyataan terhadap
keharusan (Lotze) pengalaman manusia tentang nilai pada realitas kebebasan manuisa
(Hegel).
Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa aksiologi yang merupakan teori nilai, erat
kaitannya dengan etika atau ada pula yang menyebutnya dengan filsafat moral. Bahkan ada pula
yang menyebutnya bahwa Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membawahi filsafat moral.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu:
a. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika.
b. Estetic Expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
c. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial
politik.
Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama
adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka
lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia,
dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik
dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan
norma-norma.
Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki
oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Aksiologi adalah bagian dari
filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right
and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan
suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat
dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang aksiologi (nilai) dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Pertanyaan di wilayah ini menyangkut, antara lain:

 Untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan?


 Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral?
 Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
 Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan
professional? (filsafat etika).
Dalam aksiologi, ada dua komponen mendasar, yakni Etika (moralitas) dan Estetika (keindahan).
ETIKA DAN ESTETIKA
Etika adalah cabang filsafat aksiologi yang membahas tentang masalah-masalah moral.
Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat yang berlaku pada komunitas
tertentu. Dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab
terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai sang pencipta. Etika
adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang. Semua perilaku
mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian. Jadi, tidak benar suatu perilaku dikatakan tidak
etis dan etis. Lebih tepat, perilaku adalah beretika baik atau beretika tidak baik. Sejalan dengan
perkembangan penggunaan bahasa yang berlaku sekarang, istilah tidak etis dan etis tidak baik
untuk hal yang sama. Demikian juga etis dan etis baik.
Etika berasal dari bahsa Yunani ethikos, atau ethos yang berarti adat atau kebiasaan.
Selanjutnya istilah etikhos berkembang menjadi ekuivalen dengan moralitas. Berkaitan dengan
etika, ada tiga pengertian:
1. Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi
pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Misalnya kode etik.
3. Etika merupakan ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Etika baru menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap atau
buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat – seringkali tanpa disadari -
menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodeis. Etika dalam hal ini
sama dengan filsafat moral.
Dari pengertian di atas, baik itu dalam arti etika sebagai pegangan hidup, kode etik,
ataupun sebagai cabang dari filsafat, etika membahas tentang bagaimana seharusnya manusia
bertingkah laku, apa yang menjadi dasar dan tujuan perilaku dan tanggung jawab yang ada di
baliknya. Satu hal yang jelas adalah bahwa menurut para filosof muslim, etika adalah ilmu (seni)
yang menunjukkan bagaimana seharusnya hidup. Bahkan bukan sekedar hidup, melainkan hidup
bahagia, atau dengan kata lain, the art of living.
Mengenai etika ini Aristoteles menyatakan bahwa tujuan tertinggi (dalam hidup) adalah
kebahagiaan (eudaimonia). Dalam etika ilmu pengetahuan yang gunanya untuk membantu
manusia mencapai tujuannya dan tujuan manusia adalah kebahagiaan maka seharusnya ilmu
pengetahuan adalah membuat manusia mencapai suatu kebahagiaan. Etika tidak hanya berkutat
pada hal-hal teoritis, namun juga terkait erat dengan kehidupan konkret, oleh karena itu menurut
Rizal Muntasyir & Misnal Munir dalam beberapa manfaat etika yang perlu diperhatikan dalam
kaitannya dengan kehidupan konkret, yaitu:
1. Perkembangan hidup masyarakat yang semakin pluralistik mengahadapkan manusia pada
sekian banyak pandangan moral yang bermacam-macam, sehingga diperlukan refleksi
kritis dari bidang etika. Contoh: Etika medis tentang masalah abortus, bayi tabung,
kloning dan lain-lain.
2. Gelombang modernisasi yang melanda di segala bidang kehidupan masyarakat, sehingga
cara berpikir masyarakatpun ikut berubah. Misalnya: cara berpakaian, kebutuhan fasilitas
hidup modern, dan lain-lain.
3. Eika juga menjadikan kita sanggup menghadapi ideologi-ideologi asing yang berebut
mempengaruhi kehidupan kita, agar tidak mudah terpancing. Artinya kita tidak boleh
tergesa-gesa memeluk pandangan baru yang belum jelas, namun tidak pula tergesa-gesa
menolak pandangan baru lantaran belum terbiasa.
4. Etika ditemukan oleh penganut agama manapun untuk menemukan dasar kemantapan
dalam iman dan kepercayaan sekaligus memperluas wawasan terhadap semua dimensi
kehidupan masyarakat yang selalu berubah.
Perlu juga diingat, bahwa pada banyak wacana dalam hal perilaku ini digunakan istilah
baik dan jahat untuk etika karena perbuatan manusia yang tidak baik akan berarti merusak,
sedangkan perbuatan yang baik akan membangun.
Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia. Cara
memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku
manusia. Antara ilmu pendidikan dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral tidak bisa
dilepaskan dengan tekat manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan
kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sangat
sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika agama.
Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan sebagai
jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-moral, dimana setiap
persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan
masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas.
Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian
yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya kondisi mental-
moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam. Oleh
sebab itu berdasarkan pada pendekatan etik moral, pendidikan Islam harus berbentuk proses
pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas
kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan
potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan.
Keindahan mengandung arti bahwa di dalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata
secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang menyeluruh. Maksudnya adalah
suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta bepola baik melainkan harus
juga mempunyai kepribadian.
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari
kata Yunani yaitu aisthetika dan aisthetis. Kata tersebut berarti hal-hal yang dapat dicerap
dengan indera atau cerapan indera. Estetika sebagai bagian dari aksiologi selalu membicarakan
permasalahan, pertanyaan, dan isu-isu tentang keindahan, ruang lingkupnya, nilai, pengalaman,
perilaku pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia
(Wiramiharja, 2006). Polemik estetika sampai sekarang masih ramai diperbincangkan banyak
orang. Khususnya jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum.
Apa sebenarnya ukuran keindahan itu dan perannya dalam kehidupan manusia? Serta bagaimana
hubungan antara keindahan dan kebenaran?
Pembahasan hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu
yang disebut indah atau tidak indah, beberapa tokoh seperti Marcia Eaton, Edmund Burke dan
David, serta Imanuel Kant memiliki pandangan yang berbeda-beda. Tentang estetika, Marcia
Eaton menyatakan bahwa konsep tersebut berkaitan dengan deskripsi dan evaluasi objek serta
kejadian artistik dan estetika (Wiramihardja, 2006). Edmund Burke dan David seperti yang
dilansir Wiramihardja (2006), memandang estetika sebagai suatu konsep yang berkaitan dengan
empirik atau sesuatu yang bersifat objektif. Pandangan kedua tokoh tersebut didasarkan pada
cara pengamatan respons psikologis dan fisik yang dapat membedakan individu satu dengan
lainnya untuk objek dan kejadian yang berbeda. Sedangkan Imanuel Kant memiliki sudut
pandang yang berbeda. Bahwa estetika merupakan konsep yang bersifat subjektif meski
manusia, pada taraf yang paling mendasar dan secara universal, memiliki perasaan yang sama
terhadap apa yang membuat mereka nyaman dan senang ataupun menyakitkan dan tidak
nyaman.
Lingkup bahasan estetika memiliki beberapa bidang garapan. Diantaranya adalah estetika
filsafati dan estetika ilmiah. Estetika filsafati acapkali disebut juga dengan filsafat keindahan
(philosophy of beauty), filsafat cita rasa (philosophy of taste), filsafat seni (philosophy of art),
dan filsafat kritik (philosophy of criticism) (Wiramihardja, 2006; Rapar, 1996). Estetika dalam
hal ini banyak membahas hakikat, akar dari ilmu seni, hasil perenungan bukan eksperimen, dan
pengalaman-pengalaman lahiriah. Sedangkan filsafat ilmiah cenderung mengacu pada ilmu
pengetahuan mengenai kesenian, keindahan, ataupun estetika.
Pada zaman Yunani Kuno, filsafat keindahan yang saat ini lebih banyak dianggap sebagai
bagian dari aksiologi, lebih banyak dibicarakan dalam metafisika karena sifatnya yang abstrak.
Tokoh yang membicarakan estetika di masa itu adalah Sokrates dan Plato. Plato berpendapat
bahwa seni (art) adalah keterampilan untuk memproduksi sesuatu. Hasil seni adalah sebuah
tiruan (imitasi). Lukisan merupakan contoh dari hasil seni yang berupa tiruan tentang alam atau
sesuatu yang ideal. Karya seni merupakan tiruan yang ada dalam dunia ide dan tidak memiliki
sifat yang sempurna. Seni bagi Plato tidaklah penting karena tidak memiliki pengaruh terhadap
kehidupan manusia.
Seni sebagai sebuah imitasi, Aristoteles sependapat dengan Plato. Namun berbeda sudut
pandang tentang makna seni dalam kehidupan. Bagi Artistoles, seni seperti yang dicontohkan
dalam bentuk puisi memiliki pengaruh yang besar bagi manusia. Bahkan menurutnya bahwa
puisi sebagai hasil karya sastra atau seni lebih memiliki nilai filsafat ketimbang sejarah.
Estetika pada Abad Pertengahan tidak mendapatkan perhatian yang sangat serius dari
filsuf. Tiadanya perhatian filsuf terhadap seni karena banyak mendapatkan perlawanan dari
gereja Kristen. Kelompok gereja menganggap bahwa seni itu adalah duniawi dan produk bangsa
kafir Yunani dan Romawi. Pada tahun 354-430 di masa pemerintahan Agustinus, seni
mendapatkan perhatian yang cukup serius. Agustinus mengembangkan dan mengajarkan seni
dalam konteks Platonisme Kristen. Konteks - tualisasi Platonis Kristen terpaparkan dalam
ajarannya bahwa Tuhan itu menyukai keindahan. Karenanya, keindahan harus memiliki benang
merah (baca: pertalian) dengan agama.
Di Abad XVIII berbagai sebutan tersebut tergantikan dengan istilah estetika. Yang
memperkenalkan istilah estetika adalah seorang filsuf Jerman bernama Alexander Gottlieb
Baumgarten (17 Juli 1714 - 26 Mei 1762). Istilah itu diperkenalkan lewat karyanya yang
monumental yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul Reflection On Poetry (1954).
Baumgarten mendefinisikan filsafat estetika sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan
(Rapar, 1996).
Keindahan dalam abad ini dipandang Baumgarten sebagai kenyataan yang sebenarnya
atau dapat dikatakan sebagai hakikat yang sebenarnya bersifat tetap. Karenanya, kedua tokoh
modern tersebut membedakan pengetahuan menjadi dua yakni pengetahuan intelektual
(intelectual knowledge) atau pengetahuan tegas dan pengetahuan indrawi (sensuous knowledge)
atau yang disebut pengetahuan kabur. Dalam buku Baumgarten yang berjudul “Aesthetica”
dijelaskan bahwa pengetahuan sensuous merupakan estetika.
David Hume (1711-1776) mengatakan bahwa keindahan bukanlah suatu kualitas objektif
yang terletak di dalam objek-objek itu sendiri, melainkan berada dalam pikiran. Manusia tertarik
pada suatu bentuk dan struktur tertentu lalu menyebutnya indah. Hume mengatakan bahwa apa
yang dianggap indah oleh manusia sesungguhnya amat ditentukan oleh sifat alami manusia yang
dipengaruhi juga oleh preferensi individual.
Immanuel Kant (1724-1804) menganggap kesadaran estetis sebagai unsur penting dalam
pengalaman manusia secara umum. Kant juga berpendapat sama dengan Hume, bahwasannya
keindahan adalah penilaian estetis yang bersifat subjektif. Pertimbangan-pertimbangan estetis
memberikan arah yang terfokus untuk menjembatani antara teoretis dan praktik dari sifat dasar
manusia.
George Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831) dan Arthur Schopenhauer (1788-1860)
menyusun tingkatan bentuk-bentuk seni. Menurut Hegel, tingkatan seni yang paling tinggi
adalah puisi dan yang paling bawah arsitektur. Adapun Schopenhauer menempatkan musik di
tempat tertinggi dan arsitektur di tempat terendah.
John Dewey (1859-1952), filsuf Amerika yang berpaham pragmatisme, menentang
dualisme yang berupaya memisah-misahkan segala sesuatu yang semestinya menjadi satu
kesatuan yang utuh. Seni, menurut Dewey, merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak
terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Sangatlah keliru bila seni terpisah dari segi-segi
kehidupan lainnya.
George Santayana (1863-1952), juga filsuf dari Amerika, mengembangkan estetika
naturalistis. Santayana memiliki persamaan pandangan tentang subjektifitas dalam penilaian
seni. Ia menolak objektivitas keindahan. Menurut Santayana, keindahan identik dengan
kesenangan manusia ketika ia mengamati objek-objek tertentu. Keindahan, baginya, merupakan
perasaan senang yang diobjektifkan dan diproyeksikan ke dalam objek yang diamati.
Filsuf Italia, Benedetto Croce (1856-1952), mengembangan teori filsafat idealisme dalam
estetika. Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan menurutnya intuisi adalah gambar yang
berada di alam pikiran. Dengan demikian, seni itu berada di alam pikiran seniman. Karya
seniman dalam bentuk fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu untuk
menolong penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada dalam pikiran seniman. Croce
menyamakan intuisi dengan ekspresi. Karena seni sama dengan intuisi dan intuisi sama dengan
ekspresi, berarti seni sama dengan ekspresi. Yang diekspresikan adalah perasaan seniman
tentang kesan-kesan terhadap lingkungan yang berada di sekitarnya.
Pada awal Abad ke-20, para filsuf berargumentasi bahwa konsep-konsep estetika
berpatokan pada cita rasa kemanusian dan pertimbangan psikologis. Inilah yang kemudian
menjadi titik pangkal konsep estetika yang baru. Di dalam estetika tidak ada hukum-hukum atau
aturan - aturan yang mensyaratkan adanya keindahan yang ideal. Keindahan adalah suatu hal
bebas dan alamiah. Keindahan tidaklah dikonstruksikan dengan aturan dan harmonisasi yang
merujuk pada hal-hal yang menyenangkan.
Estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya
manusia dari sudut indah dan jelek. Indah dan jelek adalah pasangan dikotomis, dalam arti
bahwa yang dipermasalahkan secara esensial adalah pengindraan atau persepsi yang
menimbulkan rasa senang dan nyaman pada suatu pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman
pada pihak lainnya. Hal ini mengisyaratkan, bahwa ada baiknya bagi kita untuk menghargai
pepatah “de gustibus nun disputdum”, meskipun tidak mutlak, tidak untuk segala hal. Estetika
merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan (Russel), pertanyaan (Langer),
atau issues (Farber) mengenai keindahan menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku,
dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia.
Adapun yang mendasari hubungan antara filsafat pendidikan Islam dan estetika
pendidikan adalah lebih menitik beratkan kepada “predikat” keindahan yang diberikan pada hasil
seni. Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler
mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni: Seni sebagai penembusan terhadap
realitas, selain pengalaman, Seni sebagai alat kesenangan, Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya
tentang pengalaman.
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika
menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan
pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif
yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah,
pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).

IMPLIKASI AKSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN


Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan mengintegrasikan nilai
tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya dalam kepribadian peserta didik.
Memang untuk menjelaskan apakah yang baik itu, benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang
mudah. Apalagi, baik, benar, indah dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk
membina kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan. Pendidikan harus
memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan sejenisnya kepada peserta
didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika, estetika dan nilai sosial. Dalam
masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah
tangga/keluarga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai yang tak mungkin diabaikan dunia
pendidikan bahkan sebaliknya harus mendapat perhatian.
Ajaran Islam merupakan perangkat sistem nilai yaitu pedoman hidup secara Islami,
sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai,
tujuan, dan target yang akan dicapai dalam pendidikan Islam. Sedangkan tujuan pendidikan
Islam menurut Abuddin Nata adalah untuk mewujudkan manusia yang shaleh, taat beribadah dan
gemar beramal untuk tujuan akherat.
Nilai-nilai tersebut harus dimuat dalam kurikulum pendidikan Islam, diantaranya:
1) Mengandung petunjuk Akhlak
2) Mengandung upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di bumi dan kebahagiaan
di akherat.
3) Mengandung usaha keras untuk meraih kehidupan yang baik.
4) Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan
akhirat.

KEGUNAAN AKSIOLOGI DALAM ILMU PENDIDIKAN


1) Aksiologi Ilmu Pendidikan sebagai Nilai Kegunaan Teoritis
a. Kegunaan bagi ilmu dan teknologi
Hasil ilmu pendidikan adalah konsep-konsep ilmiah tentang aspek dan
dimensi pendidikan sebagai salah satu gejala kehidupan manusia. Pemahaman
tersebut secara potensial dapat dipergunakan untuk lebih mengembangkan
konsep-konsep ilmiah pendidikan, baik dalam arti meningkatkan mutu (validitas
dan signifikan) konsep-konsep ilmiah pendidikan yang telah ada, maupun
melahirkan atau menciptakan konsep-konsep baru, yang secara langsung dan
tidak langsung bersumber pada konsep-konsep ilmiah pendidikan yang telah ada.
Dengan kata lain, pemahaman terhadap konsep-konsep ilmiah pendidikan secara
potensial mempunyai nilai kegunaan untuk mengembangkan isi dan metode ilmu
pendidikan, mengembangkan mutu professional teoretikus dan praktisi
pendidikan.
Rowntree dalam educational technologi in curuculum development antara
lain menyatakan: bahwa oleh karena teknologi pendidikan adalah seluas
pendidikan itu sendiri, maka teknologi pendidikan berkenaan dengan desain dan
evaluasi kurikulum dan pengalaman-pengalaman belajar, serta masalah-masalah
pelaksanaan dan perbaikannya. Pada dasarnya teknologi pendidikan adalah suatu
pendekatan pemecahan masalah pendidikan secara rasional, suatu cara berpikir
skeptis dan sistematis tentang belajar dan mengajar.

b. Kegunaan bagi filsafat


Konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan oleh ilmu pendidikan, secara
potensial dapat mengundang berkembangnya kritik pendidikan, baik yang datang
dari kalangan para pengamat pendidikan pada umumnya, maupun yang datang
dari kalangan yang profesional pendidikan, yang termasuk didalamnya para
ilmuwan pendidikan, para filosof pendidikan serta para pengelola dan
pengembang pendidikan. Maraknya kritik pendidikan memberikan kondisi yang
menunjang pada berkembangnya Filsafat Ilmu Pendidikan.

2) Aksiologi Ilmu Pendidikan sebagai Nilai Kegunaan Praktis


a. Kegunaan bagi praktek pendidikan
Pemahaman tenaga kependidikan secara konprehensif dan sistematis turut
serta dalam menumbuhkan rasa kepercayaan diri dalam melakukan tugas-tugas
profesionalnya. Hal ini terjadi karena konsep-konsep ilmiah pendidikan
menerangkan prinsip-prinsip bagaimana orang melakukan pendidikan.
Penguasaan yang mantap terhadap konsep-konsep ilmiah pendidikan memberikan
pencerahan tentang bagaimana melakukan tugas-tugas profesional pendidikan.
Apabila hal ini terjadi, maka seorang tenaga pendidikan akan dapat bekerja
konsisten dan efisien, karena dilandasi oleh prinsip-prinsip pendidikan yang jelas
terbaca dan kokoh. Tindakan-tindakannya akan menunjukan arah yang lebih jelas,
dan bentuknya pun tidak asal-asalan, tetapi lebih terpola yang dipilih berdasarkan
pertimbangan prinsip-prinsip pendidikan yang diyakini dan dianutnya.

b. Kegunaan bagi seni pendidikan


Disamping memberi kemungkinan berkembangnya teknologi pendidikan,
penerapan konsep-konsep ilmiah tentang pendidikan dalam praktek, dapat pula
memberi peluang pada berkembangnya seni pendidikan. Sebuah kegiatan
pendidikan dikatakan sebuah seni pendidikan apabila kegiatan tersebut tidak saja
mencapai hasil yang diharapkan, tetapi proses pelaksanaanya dapat memberi
keasyikan dan kesenangan, baik bagi peserta didikmaupun pendidiknya.
Dalam kegiatan sebagai seni, berlangsungnya suatu proses hubungan
sosial, melibatkan emosi yang cukup mendalam dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal
ini mengandung arti bahwa penerapan konsep-konsep ilmiah pendidikan dalam
praktek pendidikan perlu memperhitungkan terpenuhinya kebutuhan emosional,
berupa rasa puas, rasa senang ataupun rasa yang sejenisnya. Hal ini dapat dicapai
hanya apabila dikemas dalam bentuk prosedur dan teknik-teknik pendidikan yang
manusiawi dalam arti memperhitungkan aspek emosional.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Aksiologi
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/intel/article/download/4359/2895
http://ejournal.kopertais4.or.id/sasambo/index.php/alamin/article/view/3074#:~:text=Aksiologi
%20merupakan%20salah%20satu%20cabang%20dari%20filsafat%20yang%20membahas
%20tentang%20nilai.&text=Axiologis%20artinya%20teori%20nilai%2C%20penyelidikan,dan
%20status%20metafisik%20dari%20nilai.
https://www.researchgate.net/publication/
326653111_Aksiologi_Antara_Etika_Moral_dan_Estetika/link/5b5b2338458515c4b24b79f4/
download

Anda mungkin juga menyukai