Anda di halaman 1dari 18

RASUAH YANG SEAKAN MENJADI SIFAT BAWAAN MASYARAKAT

INDONESIA

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Pendidikan Pancasila

Yang Diampu oleh Bapak Abd. Mu’id Aris Shofa, S.Pd., M.Sc

Disusun oleh:

Reza Salsabila Aulia 200311613765


Rifdah Putri Salsabilla Wardah 200311613608

Rifqi Azwina Umamy 200311613686

Rizkyko Oase Pamungkas 200311413737

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

Oktober 2020
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................3 1.2
Rumusan Masalah ..........................................................................................4 2.3
Tujuan ............................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
2.1 Pengertian Korupsi.........................................................................................5 2.2
Pengertian Perilaku Koruptif..........................................................................5 2.3
Sejarah Korupsi di Indonesia..........................................................................7 2.4
Undang-undang TIPIKOR..............................................................................9 2.5
Perbandingan Korupsi di Indonesia dengan Negara Lain .............................13 2.6
Strategi Pemberantasan Korupsi...................................................................14 2.7
Studi Kasus...................................................................................................15
BAB III ...........................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya yang melimpah.


Hingga Indonesia memiliki julukan sebagai “tanah surga” karena kekayaan
alam yang dimilikinya. Tidak hanya sumber daya alamnya saja yang kaya,
namun juga sumber daya manusianya juga kaya. Dapat dilihat dari jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai hingga 225 juta jiwa. Dan jumlah sarjana
rata-rata tiap tahunnya mencapai 250.000 per tahun. Dari lulusan sarjana
tersebut banyak yang melanjutkan ke dalam ranah perpolitikan.

Namun, dengan sekian banyak masyarakat Indonesia yang memiliki


pendidikan tinggi dan memasuki ranah perpolitikan korupsi tetap saja menjadi
salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia hingga kini. Dari berbagai
penelitian dilakukan Indonesia menjadi salah satu negara yang tingkat
korupsinya tinggi. Bahkan menurut hasil penelitian Indonesia berada pada
urutan pertama di antara negara asia lainnya tingkat korupsinya.
Banyak hal yang telah dilakukan pemerintah untuk melalukan
pemberantasan korupsi yang terjadi di Indonesia. Namun hal tersebut tidak
memberikan efek jera kepada pelaku tindak korupsi. Malah seakan para pelaku
tindak korupsi merasa aman dari hukuman yang ada karena mereka seakan
dapat mengatur peraturan yang ada. Disinilah kelemahan Indonesia dalam
melakukan pemberantasan korupsi jika dibandingkan negara lain. Banyak
pejabat yang memiliki wewenang dalam mengatur peraturan yang ada
melakukan tindak pidana korupsi, sehingga mereka tetap dapat berkeliaran
dengan bebas. Yang mana mereka melakukan korupsi untuk memuaskan atau
memenuhi rasa haus masing-masing, sedangkan di sisi lain banyak masyarakat
yang menjadi korban akibat tindakan mereka.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Korupsi?
2. Bagaimana sejarah korupsi di Indonesia ?
3. Apa saja perilaku koruptif pada lembaga Negara dan warga Negara ? 4.
Bagaimana undang-undang TIPIKOR yang mengatur bentuk-bentuk tindak
korupsi?
5. Apa perbandingan antara korupsi di Indonesia dengan negara lain? 6.
Strategi apa yang bisa diterapkan oleh Indonesia dalam memberantas kasus
korupsi?

2.3 Tujuan
1. Mendefinisikan maksud tindak korupsi.
2. Mengetahui bagaimana sejarah korupsi di Indonesia.
3. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan perilaku koruptif dan contoh dalam
kehidupan sehari-hari.
4. Mengetahui undang-undang TIPIKOR yang mengatur bentuk-bentuk tindak
korupsi.
5. Membandingkan korupsi yang terjadi di Indonesia dengan korupsi di negara
lain.
6. Memberikan strategi yang dapat diterapkan Indonesia dalam memberantas
kasus korupsi.
BAB II

ISI

2.1 Pengertian Korupsi


Korupsi secara bahasa diambil dari Bahasa Latin yaitu corruptio yang
memiliki arti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, atau menyogok.
Berdasarkan KBBI, korupsi adalah tindak penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain. Korupsi juga dapat dimaknai sebagai tindakan yang
tidak wajar, ilegal, menyalahgunakan kepercayaan publik yang diamanahkan
kepada orang tersebut demi mendapatkan keuntungan sepihak.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
telah dijelaskan bahwa korupsi adalah tindakan setiap orang yang melawan
hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Selain itu, korupsi juga diartikan sebagai tindakan
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara.
Dalam pengertian secara luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Oleh karena itu,
semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk ringan atau
berat, terorganisasi atau tidak dan korupsi itu sendiri tidak terbatas pada bidang
tertentu.

2.2 Pengertian Perilaku Koruptif

Perilaku koruptif dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan


dengan sikap, tindakan, dan pengetahuan seseorang yang menjebakkan diri
sendiri pada kegiatan korupsi. Perilaku koruptif tidak selalu berkaitan dengan
penggelapan uang atau materi, namun perilaku seperti membuang sampah
sembarangan atau berbohong dapat dikatakan sebagai perilaku koruptif.
Seseorang dapat membuang sampah sembarangan atau berbohong karena
mereka merasa bahwa tidak ada orang yang mengawasi perbuatan
menyimpang mereka. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa latar
belakang seseorang melakukan perilaku koruptif sama dengan latar belakang
seseorang yang melakukan perilaku korupsi jika didasarkan pada teori
Willingness and Opportunity to Corrupt. Di mana dalam teori tersebut
dikatakan bahwa tindak korupsi dapat terjadi apabila terdapat kesempatan
akibat adanya kelemahan sistem atau kurangnya pengawasan serta keinginan
yang didorong karena kebutuhan atau keserakahan.

Hal yang sangat memprihatinkan adalah perilaku koruptif sangat sering


terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia. Bahkan banyak masyarakat yang
yakin bahwa tindakan tersebut bukanlah hal yang salah. Perilaku koruptif yang
berkembang di kehidupan masyarakat bahkan seperti menjadi kebiasaan yang
dianggap salah satu perbuatan baik. Hal yang sangat sering terjadi dan
dianggap lumrah salah satunya dengan memberikan uang kepada tokoh
masyarakat setelah melakukan hajatan. Bahkan menurut Kepala Badan Pusat
Statistik, Suryamin, hanya 36,32 persen masyarakat yang menganggap bahwa
memberi uang atau barang kepada tokoh masyarakat setelah melakukan acara
merupakan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan (Estu Suryowati, 2016).

Berdasarkan data-data di atas faktor yang sangat berpengaruh pada


perilaku koruptif adalah faktor lingkungan, terutama lingkungan masyarakat
dan budaya. Pendidikan tentang perilaku koruptif yang ada di lingkungan
masyarakat Indonesia dapat dikatakan sangat kurang, banyak masyarakat yang
lebih mengedepankan budaya turun-temurun tanpa pertimbangan hal lain.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah memperkuat pengetahuan
masyarakat tentang perilaku koruptif yang mungkin selama ini tidak diketahui
masyarakat. Serta perlu adanya revolusi mental yang disertai pembaharuan
sistem, karena beberapa perilaku koruptif sudah dianggap sebagai budaya
turun-temurun. Dengan adanya revolusi mental yang disertai dengan
pembaharuan sistem yang baik dan kuat maka perilaku koruptif yang tumbuh
bagai budaya dapat dihilangkan dari kehidupan masyarakat.
2.3 Sejarah Korupsi di Indonesia

Dalam sejarah Indonesia korupsi sudah menjadi salah satu bagian yang
bahkan sudah ada sebelum kemerdekaan. Setelah kemerdekaan praktik korupsi
terus berjalan sejak masa Orde Lama hingga era Reformasi. Tidak salah
apabila berbagai kalangan menganggap bahwa korupsi sudah seperti menjadi
budaya yang tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan Indonesia, tidak hanya
pemerintahan pusat saja namun juga hingga tingkat kelurahan. Bahkan
lembaga di luar pemerintahan, seperti institut pendidikan, juga dicurigai
melakukan tindak korupsi.

Sejarah korupsi yang terjadi di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga


tahapan besar. Tahapan pertama adalah korupsi yang hanya terjadi pada
permasalahan kaum elite politik yang memiliki kekuasaan. Hal ini dapat
dikatakan merupakan ‘penyakit’ turunan dari penjajah suatu negara. Indonesia
merupakan negara kolonial belanda yang memiliki permasalahan korupsi.
Salah satu kasusnya yaitu runtuhnya VOC yang disebabkan tidak korupsi atau
salah urus. Pada awal abad XX dimana kondisi rakyat Indonesia telah jatuh
dalam kehinaan, kemiskinan, dan kebodohan diberikan pengetahuan politik
oleh Belanda. Oleh karena itu secara tidak langsung penyakit korupsi juga
diturunkan pada pemimpin bangsa pada saat itu. Karena permasalahan korupsi
hanya menjadi masalah para kaum elite politik rasa keadilan yang dimiliki
rakyat Indonesia tidak menjadi masalah bagi pelaku tindak korupsi.

Tahapan kedua dimulai dengan pemberantasan kasus korupsi setelah


oleh pemerintahan Orde Baru setelah menumbangkan pemerintahan Orde
Lama. Usaha pemberantasan yang dilakukan adalah dengan membentuk
Komite Anti Korupsi (KAK) dan instrumen lain seperti undang-undang dan
imbauan-imbauan. Pada masa itu korupsi tidak lagi ada, namun namanya
berganti menjadi “pungli” atau “pungutan liar”. Kegiatan tersebut secara
hukum dimaknai dengan tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapat
keuntungan finansial yang melebihi batas wajar.

Dikarenakan hukum yang berjalan kurang efisien dalam memberantas


tindak korupsi, maka terdapat imbauan agar para pejabat tidak melakukan
komersialisasi jabatan. Yang mana komersialisasi jabatan tersebut adalah
menempatkan jabatan tersebut dalam rangkaian prosedur komersial yang
berlaku. Hal tersebut yang menjadi perbedaan korupsi pada tahap pertama atau
masa Orde Lama dengan tahap kedua atau masa Orde Baru. Dalam Orde Baru
tindak korupsi seakan menjadi hal yang wajar terjadi, karena terjadi perluasan
pasar dan pejabat negara menjadi jaminan keamanan dalam berbisnis.

Tahapan terakhir dalam sejarah korupsi di Indonesia terjadi pada zaman


pasca Orde Baru dan rezim yang terus bergonta-ganti. Pada kepemimpinan BJ
Habibie, yang sibuk dengan hal-hal berbau teknologi, dan Abdurrahman
Wahid, yang jatuh dengan dalih korupsi, sejarah penyalahgunaan wewenang
resmi berganti menjadi uang. Pada kepemimpinan Megawati yang mana
menekankan bahwa tidak akan melakukan praktik KKN dengan
mengumpulkan seluruh anggota keluarganya. Hal tersebut menjadi pusat
perhatian dan seakan menjadi tindak nyata melawan korupsi. Namun tidak
lama setelah menjabat sebagai presiden, korupsi yang sebelumnya berbentuk
pemasukan ilegal atau komersialisasi jabatan berubah dengan KKN sebagai
bingkainya. Kenyataan yang terjadi adalah para pejabat elite pemerintahan
menyadari daya tarik yang dimiliki kedudukan mereka. Dalam segala keadaan
yang sangat tidak pasti jabatan dalam ranah politik akan selalu menjadi hal
yang paling stabil.

Upaya pemberantasan yang dilakukan tiap-tiap era memiliki cara yang


berbeda-beda. Pada era Orde Lama pemberantasan korupsi diatur dalam
peraturan Pemberantasan Korupsi No. Prt/PM-06/1957. Kemudian pada era
Orde Baru selain dibentuknya KAK pemberantasan korupsi juga diatur dalam
UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan
pada era Reformasi terdapat banyak peraturan tentang pemberantasan korupsi,
dibentuknya lembaga anti-korupsi yang disebut Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), dibentuknya pengadilan khusus yang menangani tindak
pidana korupsi dan terpisah dari pengadilan umum.
2.4 Undang-undang TIPIKOR

Sebagaimana diuraikan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam buku


Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana
Korupsi (hal. 15), definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan di dalam
13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (“UU 20/2001”).
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan dalam tiga puluh
bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Ketiga puluh bentuk tersebut kemudian
dapat disederhanakan ke dalam tujuh kelompok besar, yaitu kerugian keuangan
negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan
curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi (hal. 15-17).
Masing-masing kelompok kemudian dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Kerugian Keuangan Negara
Sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel UU Korupsi Menganut
Kerugian Negara Dalam Arti Formil, Guru Besar Hukum Pidana
Universitas Padjajaran Komariah Emong Sapardjaja menguraikan
bahwa UU Tipikor menganut konsep kerugian negara dalam arti delik
formal.
Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara’ seharusnya diartikan
merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya,
suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara
apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo. Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengatur bahwa:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Kata ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan atau
perekonomian negara’ menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formal. Adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan
timbulnya akibat.
2. Suap-menyuap
Contoh perbuatan suap dalam UU Tipikor dan perubahannya di antaranya
diatur dalam Pasal 5 UU 20/2001, yang berbunyi:
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya.
2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
3. Penggelapan dalam Jabatan
Contoh penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 8 UU
20/2001 yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil
atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal
(hal. 258), penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan
pencurian.
Bedanya ialah pada pencurian, barang yang dimiliki itu belum
berada di tangan pencuri dan masih harus ‘diambilnya’. Sedangkan pada
penggelapan, waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat,
tidak dengan jalan kejahatan.
Penggelapan dalam jabatan dalam UU Tipikor dan perubahannya,
menurut hemat kami, merujuk kepada penggelapan dengan pemberatan,
yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu
berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya (beroep) atau karena ia
mendapat upah (hal. 259).
4. Pemerasan
Pemerasan dalam UU Tipikor berbentuk tindakan:
1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
2. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; atau
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang
undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang
undangan.
5. Perbuatan Curang
Perbuatan curang dalam UU Tipikor dan perubahannya di antaranya
berbentuk:
1. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
perang;
2. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas; 3. setiap
orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang; atau
4. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di atas. 6. Benturan
Kepentingan dalam Pengadaan
Benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah
adalah situasi di mana seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara,
baik langsung maupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus
atau mengawasinya.
7. Gratifikasi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan 1.
Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktiannya bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. 2.
Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum.
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
gratifikasi adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Namun, ketentuan ini tidak berlaku apabila penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,
paling lambat 30 hari sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

2.5 Perbandingan Korupsi di Indonesia dengan Negara Lain


1. Indonesia
Sanksi pidana di Indonesia mengenal sistem pemidanaan maksimal
khusus dan minimal umum, jadi pidana Indonesia lebih berat baik denda
maksimal Rp.1.000.000.000,- dan penjara maksimal 20 tahun, seumur
hidup bahkan pidana mati dan mengenal sistem penjatuhan pidana secara
kumulatif.
2. China
Kasus korupsi adalah kejahatan yang paling serius di China.
Berbeda wacana dengan Indonesia, dimana penjara koruptor dapat
dikatakan sangat nyaman dengan berbagai fasilitas. Di negara China, para
koruptor yang telah terbukti korupsi ia tak hanya sekadar dipenjara seperti
Indonesia tapi langsung dihukum mati. Pemerintah China sangat serius
menegakkan hukum bagi para pemakan uang rakyat ini.
3. Amerika
Amerika sebagai negara adidaya juga sangat menindak keras para
pelaku koruptor. Tidak ada ganjaran hukuman mati seperti di Cina tetapi
dipenjara dalam waktu yang cukup lama, membayar denda yang berat, dan
bisa jadi di blacklist dari negaranya. Lama hukuman tersebut minimal
adalah 5 tahun dan denda sebesar 2 juta dollar. Selain hukuman yang berat
seorang koruptor juga dapat diusir dari negaranya jika terbukti bersalah
dalam kasus yang berat.
4. Jerman
Jerman adalah negara yang tidak mempunyai lembaga seperti
halnya di Indonesia. Cara pemerintah Jerman dalam menangani kasus
korupsi adalah dengan melakukan hubungan bilateral untuk menekan
tindakan korupsi. Selain itu, negara ini menghukum para koruptor dengan
penjara seumur hidup.

2.6 Strategi Pemberantasan Korupsi


1. Perbaikan sistem
Agar pelaku korupsi tidak dapat melakukan perilaku korupsi
diperlukan perbaikan sistem yang baik seperti mendorong transparansi
penyelenggara negara, memberikan rekomendasi kepada kementerian dan
lembaga agar melakukan langkah-langkah perbaikan, dan memoderenisasi
pelayanan publik secara online dan sistem pengawasan yang terintegrasi.
2. Represif
Pengaduan masyarakat merupakan hal yang sangat berpengaruh dan
menjadi salah satu sumber informasi yang sangat penting untuk
ditindaklanjuti oleh pihak berwenang yang berkaitan. Terdapat beberapa
tahapan yang dapat dilakukan dalam melakukan strategi represif yang
dapat menumbuhkan rasa takut melakukan tindak korupsi, yaitu
a. Pengadaan laporan pengaduan masyarakat
b. Proses verifikasi dan penelaahan oleh KPK
c. Penyelidikan
d. Penyidikan
e. Penuntutan
f. Eksekusi
3. Edukasi dan kampanye
Strategi terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan dimarakkannya
pembelajaran anti korupsi dengan tujuan membangkitkan kesadaran
masyarakat agar terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi.
Pembelajaran tersebut juga diharapkan dapat membangkitkan perilaku dan
budaya anti korupsi pada tiap masyarakat Indonesia.

2.7 Studi Kasus

“Kasus Korupsi 41 Anggota DPRD Kota Malang”

KPK telah menetapkan 41 anggota DPRD kota Malang sebagai


tersangka dugaan kasus suap dari Wali Kota nonaktif Moch. Anton. Akibat
dari kasus tersebut anggota DPRD Malang hanya tersisa 5 dari jumlah
keseluruhan anggota DPRD Malang yaitu 45 anggota. Kini, seluruh anggota
yang sudah menjadi tersangka kasus korupsi telah diganti seluruhnya melalui
pergantian antarwaktu (PAW) yang diadakan secara massal.

Semua berawal dari pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja


Daerah-Perubahan (APBD-P) yang diadakan pemerintah kota Malang pada
Tahun Anggaran 2015. KPK sudah mulai menyelidiki kasus tersebut sejak
Agustus 2017 dan selama penyelidikan KPK menemukan bukti adanya
korupsi. Karena bukti tersebut, yang mulanya hanya penyelidikan berubah
menjadi penyidikan. Sebagai tindak lanjut KPK melakukan penggeledahan
beberapa tempat, termasuk rumah Wali Kota Malang periode 2013-2018,
untuk menemukan bukti jaringan korupsi yang terjadi. Hingga setelah
melakukan berbagai pemeriksaan satu-persatu bukti jaringan korupsi terkuak.
Setelah semua bukti yang terkumpul membuktikan siapa saja yang terlibat
dalam kasus korupsi tersebut persidangan dilaksanakan dan hukuman
dijatuhkan pada tiap tiap tersangka kasus korupsi tersebut.
Fakta-fakta dalam kasus korupsi anggota DPRD Malang:

1. Penangkapan pertama
Berawal dari kabar burung tentang penggeledahan kantor
DPRD Kota Malang oleh KPK pada bulan Agustus 2017. Hingga
akhirnya KPK menetapkan 2 tersangka yaitu Ketua DPRD Kota
Malang periode 2014-2019 dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum,
Perumahan, dan Pengawasan Bangunan (PUPPB) Kota Malang tahun
2015.
2. Penangkapan kedua
Pada 21 Maret 2018 KPK melakukan penangkapan kedua.
Tersangka yang ditetapkan oleh KPK yaitu Wali Kota Malang periode
2013-2018. Selain itu KPK juga menangkap 18 anggota DPRD Kota
Malang periode 2014-2019 yang juga diduga terlibat kasus korupsi.
3. Penangkapan ketiga
Pada 3 September 2018, KPK lagi-lagi menangkap anggota
DPRD Kota Malang periode 2014-2019. Pada penangkapan ini KPK
menetapkan tersangka sebanyak 22 orang yang diduga menerima suap
dan/atau gratifikasi.
Solusi yang dapat kami berikan untuk menangani atau mengurangi
kasus-kasus yang serupa dengan kasus diatas adalah:
1. memperkuat keimanan dan budaya malu.
2. sistem penggajian yang layak.
3. pembuatan sistem, birokrasi, dan hukum yang antikorupsi dan antikolusi 4.
penghitungan kekayaan pejabat dan pembuktian terbalik 5. hukuman yang berat
6. penegakan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu
7. kesadaran kolektif dan kontrol publik
8. mensosialisasikan risiko hukum bagi perusahaan sebagai subjek hukum (legal
person) dan tanggung jawab pidananya (corporate criminal liability),
9. memberikan pemahaman dasar antikorupsi dengan sosialisasi di korporasi 10.
kampanye dan gerakan profit (profesional berintegritas) di kalangan bisnis
untuk melawan korupsi di dunia bisnis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Korupsi adalah tindakan menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang
dimiliki demi keuntungan diri sendiri.
2. Perilaku koruptif adalah tindakan yang menjebakkan diri dalam kegiatan
korupsi. Perilaku koruptif merupakan benih atau akar dari perilaku
korupsi.
3. Dalam sejarah korupsi di Indonesia sudah ada sebelum kemerdekaan.
Bentuk korupsi yang dilakukan tiap era pemerintahan berbeda satu dengan
yang lain. Selain bentuk korupsi, bentuk penanganan yang dilakukan
pemerintah dalam memberantas korupsi juga berbeda-beda.
4. Tindak pidana korupsi dalam undang-undang dikelompokkan menjadi
tujuh kelompok besar, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan
kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
5. Bentuk penanganan kasus korupsi dan hukuman yang diberikan Indonesia
jika dibandingkan dengan negara lain, terutama negara maju, hukuman
yang diberikan Indonesia sangat ringan dibanding negara lain.
6. Strategi pemberantasan korupsi yang dapat dilakukan pemerintah
Indonesia yaitu perbaikan sistem yang lebih baik, strategi represif guna
menumbuhkan rasa takut untuk melakukan tindak korupsi, dan edukasi
gerakan anti-korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Apinino, R. 4 September 2018. Asal-usul Kasus Suap yang Menjerat 40 Anggota


DPRD Kota Malang. Dari https://tirto.id/asal-usul-kasus-suap-yang
menjerat-40-anggota-dprd-kota-malang-cWPq.

Astari, R. W. 14 Januari 2016. Bedanya Koruptor di Indonesia dengan Negara


Lain. Dari https://kreditgogo.com/artikel/Informasi-Umum/Bedanya
Koruptor-Di-Indonesia-dengan-Negara-Lain.html.

Dianti, F. 18 Juni 2020. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi. Dari


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e6247a037c3a/bentu
k-bentuk-tindak-pidana-korupsi/

Fadhil, H. 11 September 2018. Perjalanan Kasus Korupsi 41 Anggota DPRD


Malang Hingga PAW Massal. Detiknews (online). Dari
https://news.detik.com/berita/d-4206487/perjalanan-kasus-korupsi-41-
anggota-dprd-malang-hingga-paw-massal.

Herdiana, D. 2019. Kecenderungan Perilaku Koruptif Kepala Desa dalam


Pembangunan Desa. Matra Pembaruan: Jurnal Inovasi Kebijakan, 3(1),
1-11. https://doi.org/10.21787/mp.3.1.2019.1-11.

Heriskha, T. 28 Agustus 2019. Perilaku Koruptif Awal Lahirnya Perbuatan


Korupsi. Dari https://www.reqnews.com/mahasiswa/6073/perilaku
koruptif-awal-lahirnya-perbuatan
korupsi#:~:text=Perilaku%20koruptif%20adalah%20segala%20sesuatu,m
e njebakkan%20dirinya%20pada%20kegiatan%20korupsi, diakses pada 5
Oktober 2020.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). (online). Tersedia di :


https://kbbi.web.id/korupsi, diakses pada 20 Oktober 2020.

Khusnan, M.U. 2012. Hukuman Mati para Koruptor: Perspektif Ayat Al Quran .
Jurnal Suhuf, 5(2), 169-187. Dari
https://www.academia.edu/download/32302599/2_Ulinnuha_-
_Hukuman_Mati_-_Edited_-_Mustofa.pdf.
Purnama, B. E. 12 Desember 2019. Yuk Intip Hukuman untuk Koruptor di
Berbagai Negara di Dunia. Dari
https://mediaindonesia.com/read/detail/277316-yuk-intip-hukuman-untuk
koruptor-di-berbagai-negara-di-dunia.

Sanusi, H.M.A. 2009. Relasi Antara Korupsi dan Kekuasaan. Jurnal Konstitusi,
6(2), 87-92. Dari
https://mkri.id/public/content/infoumum/ejurnal/pdf/ejurnal_Volume%206
%20Nomor%202,%20Juli%202009.pdf#page=91

Suherlan, D. 3 Desember 2018. Pasti Kaget, Ini dia Perbedaan Hukuman Koruptor
Indonesia vs Luar Negeri. Dari https://jabarnews.com/read/62382/pasti
kaget-ini-dia-perbedaan-hukuman-koruptor-indonesia-vs-luar-negeri/7.

Tashandra, N. 22 Februari 2016. Ini Perilaku Koruptif yang Biasa Terjadi di


Lingkungan Masyarakat. Kompas (online). Dari
https://nasional.kompas.com/read/2016/02/22/15204551/Ini.Perilaku.Koru
ptif.yang.Biasa.Terjadi.di.Lingkungan.Masyarakat?page=all, diakses pada
5 Oktober 2020.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang


Pemberantasan Tindak Pidana korupsi. Kpk (online),
(https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu311999.pdf),
diakses pada 21 Oktober 2020.

Anda mungkin juga menyukai