1
BAB I
HAKIKAT BAHASA DAN TEORI
PEMEROLEHAN BAHASA
A. Hakikat Bahasa
Bahasa merupakan salah satu aspek yang digunakan untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan. Komunikasi dalam kehidupan sehari-
hari ditunjang oleh penguasaan bahasa dengan menggunakan simbol. Betapa
pentingnya peranan bahasa bagi perkembangan manusia memberikan
sumbangan yang besar dalam perkembangan anak menjadi manusia
dewasa. Akhadiah dkk (1992/1993) menyatakan bahwa dengan bantuan
bahasa, anak dapat tumbuh dari organisme biologis menjadi pribadi di
dalam kelompok. Pribadi itu berpikir, merasa, bersikap, berbuat, serta
memandang dunia dan kehidupan seta masyarakat di sekitarnya.
Pada dasarnya bahasa merupakan rangkaian bunyi yang
melambangkan pikiran, perasaan, serta sikap. Dengan demikian, bahasa
merupakan sistem lambang yang digunakan sesuai dengan kaidah yang
berlaku, di antaranya kaidah pembentukan gabungan kata, klausa, dan
kalimat. Manusia pun dapat berpikir dan berbicara tentang sesuatu yang
abstrak, di samping yang konkret; misalnya seseorang tidak perlu
menghadirkan harimau untuk menjelaskan kepada mahasiswa bahwa ada
harimau masuk ke kampus mereka. Lambang-lambang bunyi bahasa
terbentuk berdasarkan kesepakatan masyarakat pemakai bahasa.
Maksudnya tidak ada alasan logis untuk memberi nama sesuatu.
Apakah peranan bahasa?
1. Bahasa merupakan sarana utama untuk berpikir dan bernalar.
Untuk itu manusia berpikir tidak hanya dengan otaknya, melainkan
dengan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, menyampaikan
hasil dan mengendalikan pemikiran atau penalaran, sikap, serta
perasaannya.
2. Sebagai alat penerus dan pengembang kebudayaan. Melalui bahasa
nilai-nilai dalam masyarakat dapat diwariskan dari satu generasi ke
generasi selanjutnya. Dengan bahasa pula ilmu dan teknologi
dikembangkan.
3. Bahasa mempunyai peranan yang penting dalam mempersatukan
anggota masyarakat. Sekelompok pengguna bahasa yang sama akan
merasakan adanya ikatan batin di antara sesamanya.
2
Kemampuan berbahasa dan berpikir inilah yang membedakan
manusia dengan binatang, serta yang memungkinkannya untuk
berkembang. Dengan bahasa manusia dapat berpikir lebih lanjut serta
mencapai kemajuan teknologi yang semakin pesat. Penggunaan bahasa
dalam berpikir, menyimak, berbicara, membaca, dan menulis bukanlah
merupakan kemampuan yang bersifat alamiah, sebagaimana kemampuan
hidup dan bernafas. Kemampuan itu tidak dibawa sejak lahir dan
dikuasai dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari, serta
dipengaruhi oleh lingkungannya.
Apakah setiap alat komunikasi dapat disebut bahasa? Apakah
penanda khusus bahasa manusia sebagai alat komunikasi yang
membedakan dengan alat komunikasi yang lain? Perhatikan ilustarsi kasus
berikut ini:
Pada suatu hari dalam perjalanan menumpangi mobil
angkot. Dua penumpang yang masih muda belia tertawa, tetapi
tidak terdengar mereka melakukan interaksi secara verbal. Setelah
mencoba memperhatikan apa yang mereka lakukan. Ternyata
mereka adalah siswa-siswa tuna rungu sedang asyik
berkomunikasi, akan tetapi komunikasi yang dilakukan tidak
menggunakan suara. Mereka menggunakan jari-jari tangan untuk
berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Lain halnya dengan kasus, ketika mengikuti kegiatan
perkemahan pramuka. Hanya bunyi sempruitan mereka saling
berbalasan antara kelompok satu dengan kelompok lain. Demikian
pula dengan sandi morse yang hanya menggunakan kode rahasia
atau tanda tertentu yang dipakai dalam berkomunikasi pada
kegiatan pramuka. Hanya dengan mengerakkan bendera, mereka
dapat memahami maksud perintah untuk berkumpul di lapangan.
Ilustasi yang digambarkan di atas membuktikan bahwa ternyata
alat komunikasi sangat beragam. Ada yang menggunakan benda-benda,
tanda, atau bunyi-bunyian. Bahasa, berupa bunyi-bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia adalah juga alat komunikasi. Secara umum,
komunikasi dibedakan atas komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan bunyi-bunyi
bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang merujuk pada bahasa
tertentu misalnya bahasa Indonesia atau bahasa yang lain. Sedangkan
komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang tidak menggunakan bunyi-
bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Akan tetapi
3
menggunakan alat-alat/tanda misalnya dengan gerakan jari tangan,
ekspresi wajah, menggunakan benda-benda tertentu.
Perlu pula diketahui bahwa tidak semua ujaran atau bunyi bahasa
yang dihasilkan alat ucap manusia dapat dikatakan bahasa, karena ujaran
dapat dikatakan sebagai bahasa apabila mengandung makna. Perhatikan
kata [sedih], [rumah], [lari], adalah contoh kata yang mempunyai makna
dan dapat disebut bahasa. Lain halnya [isedh], [muhra], merupakan contoh
bunyi yang tidak bermakna atau bukan bahasa.
Setiap struktur bunyi ujaran tertentu akan mempunyai arti tertentu
pula. Kesatuan-kesatuan arus ujaran yang mengandung suatu makna
tertentu, mengikuti gelombang ujaran sesuai kaidah, secara bersama-sama
membentuk perbendaharaan kata dari suatu masyarakat bahasa yang telah
membentuk relasi antar anggota-anggota masyarakat.
Sifat-sifat Bahasa
Bahasa sebagai alat komunikasi, memiliki beberapa sifat, Santoso
(Paisal, 2009) antara lain: (a). Sistematik, (b). Mana suka, (c). Ujaran, (d).
Manusiawi, dan (e). Komunikatif.
Bahasa dikatakan bersifat sistematik maksudnya bahwa bahasa
memiliki pola dan kaidah yang harus ditaati agar dapat dipahami oleh
pemakainya. Bahasa diatur oleh dua sistem yaitu sistem bunyi dan sistem
makna.
Bahasa dikatakan mana suka maksudnya bahwa bahasa disebut
mana suka karena unsur-unsur bahasa dipilih secara acak tanpa dasar.
Contoh, kata lemari, pintu, batu, halaman, dsb. Kata-kata tersebut tidak
ada hubungan logis antara bunyi dan makna yang disimbolkannya. Bukan
pula atas dasar kriteria dan standar tertentu, akan tetapi unsur-unsur
bahasa dipilih secara mana suka. Demikian pula bahasa disebut ujaran
karena bentuk dasar bahasa adalah ujaran dan media bahasa adalah bunyi.
Bahasa disebut bersifat manusiawi karena bahasa dapat berfungsi selama
manusia memanfaatkannya. Adapun bahasa disebut bersifat komunikatif
karena fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat
penghubung antara anggota-anggota masyarakat.
LATIHAN
Untuk memantapkan pemahaman, kemukakanlah satu contoh
kesulitan yang dihadapi guru kelas I di daerah masing-masing.
Bagaimana mengatasinya?
6
D. Proses Pemerolehan Bahasa
Waktu Pemerolehan Bahasa Dimulai
Kapan sebenarnya anak mulai berbahasa? Atau kapan anak memeroleh
bahasa pertama (B1). Karena berbahasa mencakup komprehensi maupun
produksi maka sebenarnya anak sudah mulai berbahasa sebelum dia dilahirkan.
Melalui saluran intrauterine anak telah terekspos pada bahasa manusia
waktu dia masih janin (Kent dan Miolo 1996: 304). Kata-kata dari ibunya tiap
hari dia dengar dan secara biologis kata-kata itu '`masuk" ke janin. Kata-
kata ibunya ini rupanya "tertanam" pada janin anak. Itulah salah satu
sebabnya mengapa di mana pun anak selalu lebih dekat pada ibunya
daripada ayahnya. Seorang anak yang menangis akan berhenti
menangisnya bila digendong oleh ibunya. Cara-cara lain juga dipakai
seperti pengukuran detak jantung yang bertambah atau menurun waktu
sebelum/sesudah diperdengarkan musik atau bunyi-bunyi tertentu.
Pemerolehan bahasa dimulai sejak bayi masih berada dalam
kandungan. Sang ibu bisa mengajak bayi berkomunikasi tentang hal yang
positif. Kontak batin antara ibu dan janin akan tercipta dengan baik bila
kondisi psikhis ibu dalam keadaan stabil. Keharmonisan yang terjalin lewat
komunikasi bisa memengaruhi kejiwaan anak. Orang tua bisa mengajak anak
bercerita tentang kebesaran Sang Pencipta dan alam ciptaan-Nya;
mengenalkannya pada kicau burung, kokok ayam, rintik hujan, desir angin;
memperdengarkan Kalam Ilahi atau membacakan kisah-kisah bijak.
Pemerolehan bahasa meskipun dengan landasan filosofis yang
mungkin berbeda-beda, pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan
bahwa anak di mana pun juga memeroleh bahasa ibunya dengan
menggunakan strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi
oleh biologi dan neurologi manusia yang sama tetapi juga oleh
pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali
dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa
juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah
mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan
anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta
kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola
lampu tertentu menyala. Maksudnya adalah bahasa mana dan wujudnya
seperti apa ditentukan oleh lingkungan sekitarnya.
Istilah pemerolehan bahasa mengacu pada penguasaan bahasa secara
tidak disadari dan tidak terpengaruh oleh pengajaran bahasa tentang sistem
kaidah dalam bahasa yang dipelajari. Dengan demikian pemerolehan bahasa
7
adalah proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara
verbal. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan dari hasil kontak verbal
dengan penutur asli lingkungan bahasa itu. Jika anak memeroleh bahasa
pertama (B1) atau bahasa ibu secara alamiah secara tidak sadar di
lingkungan keluarga pengasuh anak-anak tersebut, maka selanjutnya anak
akan mengalami proses pemerolehan bahasa kedua (B2) melalui
pembelajaran bahasa. Namun perlu hati-hati dalam penggunaan istilah
bahasa ibu karena banyak kasus terjadi di kota besar yang multilingual.
Bahasa ibu atau bahasa pertama anak adalah bahasa Indonesia, bukan
bahasa yang digunakan oleh orang tua mereka. Jadi lebih tepat jika
digunakan istilah bahasa pertama dan bahasa kedua. Yang dimaksud bahasa
ibu sebenarnya adalah “bahasa asuh” yang digunakan seorang ibu ketika
berkomunikasi dengan anaknya sejak lahir atau masa paling dini.
Penguasaan kata
Kata-kata apa yang akan diperoleh anak pada awal ujarannya
ditentukan oleh lingkungannya. Pada anak yang berasal dari golongan
menengah dan terdidik yang tinggal di kota dan cukup mampu untuk
membelikan bermacam-macam mainan, buku gambar, dan di rumahnya
juga terdapat alat-alat elektronik, orangtuanya juga mempunyai waktu
untuk membawanya bermain di Mall, bergaul banyak dengan anaknya,
maka anak akan memeroleh kata-kata nomina yang lebih sesuai dengan
apa yang pernah didengar dan dilihatnya. Demikian pula untuk verba juga
akan diperoleh verba seperti perkembangan yang diperoleh sesuai
lingkungannya.
12
keterbukaan dan keinginan anak untuk mendapatkan pengetahuan dan
pengalaman. Beberapa sifat khas anak pada usia ini adalah sebagai berikut:
1. Keadaan jasmani tumbuh sejalan dengan prestasi sekolah.
2. Sikap tunduk kepada peraturan permainan yang tradisional.
3. Ada kecendrungan suka memuji diri sendiri.
4. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu
menguntungkan.
5. Kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggapnya
tidak penting.
6. Pada masa ini anak menghendaki nilai yang baik tanpa mengingat apakah
prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
7. Minat kepada kehidupan praktis sehari-hari.
8. Realistis dan ingin tahu.
9. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal mata pelajaran-
mata pelajaran khusus.
10. Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan pengajar atau
orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya.
11. Setelah umur 11 tahun umumnya anak-anak beruaha menyelesaikan
tugasnya sendiri.
Rubin Dorothy dalam Teaching Elementary Language Arts An
Integrated Approach, yang diadaptasi oleh Aminuddin (1997:3) memaparkan
perkembangan anak mulai sejak lahir sampai masuk di kelas awal SD (6 th =
72 bulan) sebagai berikut:
14
selama fase praoperasional. Pada fase itu anak memroleh bahasa dengan
cepat (Bewall dan Straw, lewat Ross dan Roe, 1990: 37) menyimpulkan
bahwa ada kesenjangan antara fase perkembangan menurut Piaget tersebut
dengan fase perkembangan bahasa. Perbandingan perkembangan kognitif
menurut Piaget dan perkembangan bahasa dapat dilihat pada figure berikut
(Ross dan Roe, 1990: 38).
b. Perkembangan morfologis
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek fonologi yang
kompleks. Hal ini satu kata dapat berubah makna karena proses afiksasinya
(prefiks, sufiks, similfiks) berubah-ubah. Misalnya kata satu dapat berubah
menjadi: bersatu, menyatu kesatu, satuan, satukan disatukan, persatuan,
kasatuan, kebersatuan, mempersatukn, dst. Zuhdi dan Budiasih (1996: 15)
menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfem mula-mula bersifat
16
hafalan. Hal ini kemudian diikuti dengan membuat simpulan secara kasar
tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya anak membentuk kaidah.
Proses yang rumit ini dimulai pada priode prasekolah dan terus berlangsung
sampai pada masa adolosen.
Berdasarkan kerumitan afiksasi terseut perkembangan morfologis
atau kemampuan menggunakan morfem / afiks anak SD dapat diduga sebagai
berikut:
1. Anak kelas awal SD telah dapat menggunakan kata berprefiks dan
bersufiks seperti melempar dan makan.
2. Anak kelas menengah SD telah dapat menggunakan kata berimbuhan
simulfiks/ konfiks sederhana seperti menjauhi, disatukan.
3. Anak kelas atas SD telah dapat menggunakan kata berimbuhan konfiks
yang sudah kompleks misalnya diperdengarkan, memberlakukan dalam
bahasa lisan atau tulisan. (Khalik, 1997: 4)
c. Perkembangan Sintaksis
Dilihat dari segi frase, menurut Budiasih dan Zyhdi (1996) bahwa
frase verba lebih sulit dikuasai oleh anak SD dibanding dengan frase nomina
dan frase lainnya. Kesulitan ini mungkin berkaitan dengan perbedaan bentuk
kata kerja yang menyatakan arti berbeda. Misalnya ditulis, menuliskan,
ditulisi dan seterusnya.
Dari segi pola kalimat lengkap, anak kelas awal cenderung
menggunakan struktur sederhana bila berbiara. Mereka sudah mampu
memhami bentuk yang lengkap namun belum dapat memahami bentuk
kompleks seperti kalimat pasif. (Wood dalam Crown, 1992: 70). Menurut
Emingran (1975) siswa kelas atas SD menggunakan struktur yang lebih
kompleks dalam menulis dari pada dalam berbicara (Tompkins, 1989: 13).
Pada umumnya anak SD mengenal pasif dari preposisi “oleh”
misalnya “buku itu dibeli oleh Ali”. Dengan emikian kalimat pasif yang tidak
disertai kata “oleh” merea menganggapnya bukan kalimat pasif, misalnya
“Saya melempar mangga” (kalimat aktif) menjadi “Mangga saya
lempar”(kalimat pasif) bukan “Mangga dilempar oleh saya.”(salah).
Anak biasanya menggunakan kalimat pasif yang subjeknya dar kata
ganti/ dapat dibalik secara seimbang. Namun, anak sering mengalami
kesulitan dalam mebuat kalimat dan menafsirkan makna kalimat pasif yang
dapat dibalik (subjeknya bukan kata ganti). Menjelang umur 8 tahun mereka
mulai lebih banyak menggunakan kalimat pasif yang tidak dapat dibalik
(subjeknya kata ganti). Pada umur 9 tahun, anak mulai banyak menggunakan
17
bentuk pasif yang subjeknya dari kata ganti. Dan pada umur 11- 13 tahun
merea banyak menggunakan kalimat yang subjeknya dari kata ganti.
Penggunaan kata penghubung juga meningkat pada usia SD. Anak di
bawah umur 11 tahun sering menggunakan kata “dan”pada awal kalimat.
Pada umur 11- 14 tahun, penggunaan “dan” pada awal kalimat mulai jarang
muncul.
Anak sering mengalami kesulitan penggunaan kata penghubung
“karena” dalam kalimat seperti “Saya menghadiri pertemuan itu karena
diundang.” Anak SD bingung membedakan kata hubung “karena, dan, lalu”
dilihat dari segi urutan waktu kejadiannya. Yakni diundang dahulu baru pergi
ke pertemuan, Oleh karena itu kadang kala ada anak TK yang mengucaukan
“Saya sakit karena saya tidak masuk sekolah” padahal maksudnya “Saya
tidak masuk sekolah karena sakit” Pemahaman kata penghubung
“karena”baru mulai berkembang pada umur 7 tahun. Pemahaman yang benar
dan konsisten baru terjadi pada umur sekitar 10- 11 tahun.
d. Perkembangan Semantik
1). Perkembangan kosa kata
Selama priode usia sekolah dan dewasa ada dua jenis penambahan makna
kata. Secara horizontal, nak semakin mampu memahami dan dapat
menggunakan suatu kata dengan nuansa makna yang agak berbeda seara
tepat. Penambahan vertical berupa penambahan jumlah kata yang dapat
dipahami dan digunakan dengan tepat. Owens, 1992: 375).
Menurut Lindfors (1980) perkembangan semantik berlangsung
dengan sangat pesat di SD. Kosa kata anak bertambah sekitar 3000 kata per
tahun (dalam Topkins, 1989: 14) Sedang Barger (1986) menyatakan bahwa
antara 2-6 rata-rata anak mempelajari 6-10 kata per hari. Ini berarti bahwa
rata-rata anak umur 6 tahun mempunyai kata 8000- 14.000. Dan pada usia 9-
10 tahun sekitar 5000 kata baru dalam perbendaharaan kosa katanya
(Woolfol, 1990:70).
Menurut kurikulum 94, perbendaharaan kata siswa SD diharapkan lk.
6000 kata. Dengan demikian pendapat Berger di atas sangat tinggi. Pendapat
yang relatif mendekati harapan Kurikulum 94 adalah hasil temuan penelitian
Slegers (1940) bahwa rata-rata anak masuk kelas awal dengan pengetahuan
makna sekitar 2500 kata dan meningkat rata-rata 1000 kata per tahun di kelas
awal dan menengah SD dan 2000 kata di kelas atas sehingga perbendaharaan
kosakata siswa berjumlah 8500 di kelas VI (dalam Harris da Sipay, 1980:
449).
18
Kemampuan anak kelas rendah SD dalam mendefenisikan kata
meningkat dengan dua cara. Pertama, secara konseptual yakni dari definisi
berdasar pengalaman individu ke makna yang bersifat sosial atau makna
yang dibentuk bersama. Kedua, anak bergerak secara sintaksis dari definisi
kata-kata lepas ke kalimat yang menyatakan hubungan kompleks (Owens,
1992: 376).
Pengetahuan kosa kata mempunyai hubungan dengan kemampuan
kebahasaan secara umum. Anak yang menguasai banyak kosa kata lebih
mudah memahami wacana denganbaik. Selama priode usia SD, anak menjadi
semakin baik dalam menemukan makna kata berdasarkan konteksnya. Anak
usia 5 tahun, mendefinisikan kata secara sempit sedang anak berusia 11 tahun
membentuk definisi dengan menggabungkan makna-makna yang talah
diketahuinya. Dengan demikian definisinya menjadi lebih luas, misalnya
kucing ialah binatang yang biasa dipelihara di rumah-rumah penduduk.
Terakhir perkembangan kosa kata dilihat dari jenis kelamin berbeda.
Anak perempuan biasanya memilih kata yang lebih sopan atau lembut dan
menghindari kata-kata yang berisi umpatan. Sedang anak laki-laki cenderung
menggunakan kata yang berisi umpatan, seperti bedebah, sialan, dsb.(Bila
anak tersebut kurang didasari pendidikan keagamaan).
2). Perkembangan Bahasa Figuratif
Anak usia SD mengembangkan bahasa figurative yang
memungkinkan penggunaan bahasa secara kreatif. Bahasa figurative
menggunakan kata secara imajinatif, tidak secara literal atau makna
sebenarnya untuk menciptakan kesan emosianal, yang termasuk bahasa
figurative adalah (a) ungkapan misalnya: kepala dingin, (b) metafora ,
misalnya, :Suaranya membelah bumi” , (c) kiasan, misalnya, “Wajahnya
seperti bulan purnama.” (d) pribahasa, misalnya, “Menepuk air di ulang,
terpecik muka sendiri.”
Anak usia kelas awal dan menengah masih mengalami kesulitan
dalam memahami makna ungkapan. Mereka enderung memakainya secara ari
sebenarnya (denotative), misalnya ringan tangan diartikan tidak berat tangan.
Akan tetapi pada usia kelas 4-6, mereka telah memiliki kemampuan
pemahaman dan penggunaan ungkapan secara tepat dalam erkomunikasi.
Anak prasekolah biasanya menciptakan metafora dan kiasan, namun
hal ini tidak berarti mereka dapat menggunakan bahasa figurative. Kreativitas
anak keil dalam berbahasa disebabkan oleh keterbatasan penguasaan bahasa,
misalnya makna yang lebar seperti topi disebut juga topi. Setelah berumur
lebih dari 6 tahun, pengunaan metafora secara spontan dalam percakapan
19
manjadi berkurang. Penyebabnya adalah (a) anak telah memiliki sejumlah
kosa kata dasar, (b) adanya latihan berbahasa sesuai kaiah yang diberikan di
sekolah membatasi kreativitas.
Penggunaan metafora dan kiasan menurun pada usia 5-8 tahun,
namun pada usia 9 ke atas, anak mulai kembali meningkat penggunaan/
memahami metafora dan kiasan seiring dengan perkembangan kemampuan
kognitif/ psikologisnya. Anak tidak lagi memaknai bahasa figurative seara
literal tetapi konotatif, misalnya: meja hijau adalah bukan meja berwarna
hijau tetapi pengadilan.
Anak usia 6-8 tahun menafsirkan pribahasa secara denotatif / literal,
tetapi pada usia 9 tahun ke atas anak secara perlahan-lahan dapat memahami
penggunaan pribahasa secara tepat. Perkembangan ini bervariasi antara anak
yang satu dengan yang lainnya bergantung antara lain pada pengalaman
belajarnya, ketersediaan bacaan, lingkingan keluarga, dll.
Pembelajaran bahasa figuratif lebih mudah dipahami dalam konteks
daripada secara terpisah oleh anak. Makna bahasa figuratif disimpulkan anak
dari penggunaan baerulang-ulang dalam konteks yang berbeda. Kejelasan
metaforik yakni hubungan makna denotatif dengan makna konotatifnya
memudahkan penafsiran bagi siswa, misalnya tutup mulut lebih mudah
dipahami daripada makan hati.
e. Perkembangan Pragmatik
Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal
paling penting dibanding perkembangan aspek bahasa lainnya pada usia SD.
Hal ini pada usia prasekolah anak belum dilatih menggunakan bahasa secara
akurat, sistematis, dan menarik.
Berbicara tentang pragmatik ada 7 faktor penentu yang perlu
dipahami anak (1) kepada siapa berbicara, (2) untuk tujuan apa, (3) dalam
konteks apa, (4) dalam situasi apa, (5) dengan jalur apa, (6) melalui media
apa, (7) dalam peristiwa apa (Tarigan, 1990:321). Ketujuh faktor penentu
komunikasi tersebut berkaitan erat dengan fungsi (penggunaan) bahasa yang
dikemukakan oleh M.A.K. Halliday: instrumental, regulator,interaksional,
personal, imajinatif, heuristik, dan informative.
Pannel (1975) dalam penelitiannya tentang penggunaan fungsi bahasa
di SD kelas awal menemukan bahwa umumnya anak menggunakan fungsi
interaksonal (untuk berkomunikasi) dan jarang menggunakan fungsi
heuristic (menggunakan bahasa untuk mencari ilmu pengetahuan saat belajar
dan berbicara dalam kelompok kecil).
20
Dilihat dari perkembangan kemampuan bercerita, anak umur 6 tahun
sudah dapat bercerita secara sederhana tentang acara televisi/ film yang
mereka lihat. Kemampuan ini selanjutnya berkembang secara teratur dan
sedikit demi sedikit. Mereka belajar menghubungkan kejadian tetapi bukan
yang mengandung hubungan seba akibat. Kata penghubung yang digunakan:
dan, lalu.
Pada usia 7 tahun mulai dapat membuat cerita yang agak padu.
Mereka sudah mulai mengemukakan masalah, rencana mengatasi masalah
dan penyelesaian masalah tersebut meskipun belum jelas siapa yang
melakukannya.
Pada umur 8 tahun anak menggunakan penanda awal dan akhir erita,
misalnya, “Akhirnya mereka hidup rukun”. Kemampuan membuat alur cerita
yang agak jelas baru mulai diperoleh anak pada usia lebih dari 8 tahun. Paa
umur terseut barulah mereka dapat mengemukakan pelaku yang mengatasi
masalah dalam cerita. Anak-anak mulai dapat menarik perhatian pendengar
atau pembaca cerita yang mereka buat. Struktur cerita mereka semakin
menjadi jelas.
Kaitannya dengan gaya bercerita antara anak laki-laki dengan
perempuan memiliki perbedaan. Anak perempuan menganggap bahwa
peranannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator sehingga mereka
menggunakan cara yang tidak langsung dalam meminta persetujuan dan lebih
banyak mendengar, misalnya “Ibu tidak marah kan?”.Sedangkan anak laki-
laki menganggap dirinya sebagai pemberi informasi sehingga cenderung
memberitahu.
Anak laki-laki iasanya kurang berbicara dan lebih banyak berbuat
namun kadangkala bertindak keras dan percakapan digunakannya untuk
berjuang agar tidak dikuasai oleh anak lain atau kelompok lain, sedangkan
anak perempuan cenderung banyak bicara dengan pasangan akrabnya, dan
aling menceritakan rahasianya, masalah pribadinya dikemukakan pada teman,
dan temannya biasanya menyetujui dan dapat memahami masalah tersebut
(Owens, 1993: 31).
23
BAB II
MATERI PEMBELAJARAN
26
4. Pemilihan bahan ajar didasarkan pada ketersediaan sarana
Salah satu aspek yang perlu menjadi pertimbangan dalam memilih
bahan ajar bahasa Indonesia adalah ketersediaan sarana, karena tanpa
sarana tidaklah mungkin pembelajaran Bahasa Indonesia berlangsung
secara optimal. Sarana yaitu segala sesuatu yang dapat dipakai untuk
mencapai tujuan. Sarana disebut juga media.
Media pembelajaran dibedakan atas media yang komersial,
diperjual-belikan dan media buatan sendiri. Media dikelompokkan juga
atas media yang didengar (auditory), yang dilihat (visual), yang didengar
dan yang dilihat (audio-visual).
1. Pendekatan Prosedural
Urutan materi pembelajaran secara prosedural menggambarkan langkah-
langkah secara urut sesuai dengan langkah-langkah melaksanakan suatu
tugas. Misatnya langkah-langkah menulis surat, langkah-langkah membuat
masakan tertentu, dan sebagainya.
2. Pendekatan Hierarkis
Urutan materi pembelajaran secara hierarkis menggambarkan urutan yang
bersifat berjenjang dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah. Materi
sebelumnya harus dipelajari dahulu sebagai prasyarat untuk mempelajari
materi berikutnya.
Contoh : Urutan Hierarkis (berjenjang)
Perkalian diajarkan setelah dikuasai penjumlahan karena
perkalian merupakan penjumlahan berulang. Setelah perkalian, barulah
diperkenalkan pembagian.
29
BAB III
PENGEMBANGAN MATERI AJAR
Pengembangan materi ajar hendaknya dilakukan sebelum proses
pembelajaran berlangsung. Sebagai guru bahasa Indonesia yang baik,
sebaiknya melakukan pengembangan materi ajar tersebut. Kegiatan
pengembangan materi ajar ini dapat dilakukan melalui berbagai cara yang
sesuai dengan keadaan, ketersediaan sumber, dan keahlian yang dimiliki oleh
seorang guru.
Ada sejumlah cara yang dapat digunakan untuk mengembangkan
materi ajar bahasa Indonesia, secara garis besar digolongkan tiga cara, yaitu
adopsi, adaptasi, dan menulis sendiri. Pada bagian ini, Saudara dituntut
memiliki kompetensi memahami teori pengembangan materi ajar dalam
bahasa Indonesia SD. Dalam subunit ini akan diuraikan hal-hal seperti
berikut.
1. Adopsi materi ajar.
2. Adaptasi materi ajar.
3. Menulis sendiri materi ajar.
Di dalam sebuah kelas, seorang guru melakukan banyak hal sebagai
bagian dari proses instruksional. Seorang guru seringkali berperan sebagai
seorang motivator, seorang sumber informasi, seorang pemandu aktivitas
pembelajaran, dan juga sebagai seorang penguji. Seorang guru adalah
seorang pembuat keputusan yang mempengaruhi sekelompok siswa ataupun
seorang siswa. Seorang guru biasanya terikat pada sebuah strategi dan harus
bergerak ke sana ke mari di dalam kelas atau mengatur keseluruhan kelas
pada saat tertentu sampai dia merasakan bahwa murid-muridnya telah
memahami apa yang dipelajari.
Sebuah ciri yang lasim dari suatu pembelajaran adalah banyak dari
proses pembelajaran biasanya dilaksanakan oleh seorang guru terhadap
sekelompok siswa, namun sekarang juga lazim dilakukan pada seorang
siswa. Hal ini dimungkinkan dengan adanya22atau tersedianya materi ajar. Hal
ini tidaklah berarti keberadaan seorang guru tidak diperlukan dalam sebuah
aktivitas pembelajaran. Bahkan peranan seorang guru lebih penting daripada
sebelumnya. Seorang guru tetaplah berperan sebagai seorang motivator,
konselor, evaluator, dan pembuat keputusan.
Seorang guru biasanya terlibat dalam tiga tingkatan yang berbeda di
dalam mendesain dan melaksanakan pembelajaran. Perbedaan di antara ke
tiga tingkatan tersebut terletak pada peranan yang dimainkan seorang guru
30
dalam mengembangkan pembelajaran dan dalam pelaksanaan pembelajaran
yang sebenarnya terhadap siswa.
Pada tahap pertama, ketika seorang guru mendesain dan
mengembangkan materi ajar yang berdiri sendiri atau materi ajar yang dapat
diberikan secara terpisah, peranan scorang guru dalam proses pembelajaran
tentulah pasif. Dalam hal ini, peranannya selama proses pembelajaran
hanyalah sebagail pemonitor dan pembimbing kemajuan siswa melalui materi
ajar. Siswa dapat maju sesuai dengan kecepatannya masing-masing melalui
pembelajaran, sedangkan guru berperan menyediakan bantuan bagi siswa
yang membutuhkannya.
Kecuali untuk pretes dan postes, semua kegiatan pembelajaran juga
melibatkan pengembangan materi ajar. Dalam beberapa hat, termasuk dalam
pretes dan postes, pe-ngembangan materi ajar juga diperlukan.
Pada tahap kedua, saat seorang guru memilih dan mengadaptasi materi ajar
yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, memungkinkan bagi seorang guru
menjalankan peranan lebih, dalam proses pembelajaran. Beberapa materi ajar
mungkin bisa berdiri sendiri, tetapi apabila tidak, guru harus menyediakan
pembelajaran khusus yang sesuai dengan tujuan, tetapi tidak ditemukan
dalam materi aj ar.
Apabila guru menggunakan bermacam-macam sumber pembelajaran,
dia memainkan sebuah peranan besar dalam mengelola materi ajar. Dengan
menyediakan sebuah panduan bagi siswa terhadap materi ajar yang tersedia,
seorang guru mungkin bisa meningkatkan ketidaktergantungan dari materi
ajar dan membebaskannya dari tugas tambahan dalam membimbing bagi
siswa yang membutuhkan.
Pada tahap ketiga, pembelajaran betul-betul bergantung pada seorang
guru. Gurulah yang melaksanakan semua proses pembelajaran sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan. Hal ini umumnya terjadi pada sekolah-sekolah
negeri karena ketersediaan dana untuk pengadaan materi ajar sangatlah
terbatas atau substansi materi yang diajarkan selalu berganti dengan cepat.
Model pclaksanaan pembelajaran dalam setiap proses pembelajaran
merupakan sebuah hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam
pengembangan materi ajar berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah
direncanakan. Apabila pembelajaran didesain sebagai pembelajaran mandiri,
maka materi ajar yang dikembangkan haruslah mencakup aktivitas
pembelajaran mulai dari tujuan. Dalam hal ini seorang guru tidaklah
diharapkan berperan sebagai aktor dalam pembelajaran.
31
Apabila seorang guru merencanakan untuk menggabungkan tujuan
pembelajaran, maka tujuan pembelajaran guru pun harus menggabungkan
materi ajar dan penyajiannya. Seorang guru dalam hal ini tidaklah diharuskan
mengembangkan materi ajar yang baru. Banyaknya materi ajar yang
dikembangkan pada jenis pembelajaran ini sangatlah bergantung pada
ketersediaan waktu, anggaran, dan dukungan dari institusi.
Apabila seorang guru merencanakan untuk melaksanakan
pembelajaran dengan
materi ajar seperti diktat, maka dia perlu untuk mengembangkannya sedikit
dengan menyediakan materi ajar tambahan.
Keputusan seorang guru tentang model pelaksanaan pembelajaran
dalam setiap proses pembelajaran haruslah mempertimbangkan materi ajar
yang akan digunakan. Keputusan akan mempengaruhi perkembangan
aktivitas pembelajaran, anggaran, dan tenaga pengajar.
32
dapat diadaptasi sehingga bagian yang kurang dapat dipenuhi agar dapat
digunakan oleh siswa. Apabila tidak ada materi yang cocok dari yang
tersedia, maka seorang guru diharuskan menulis sendiri materi ajar
tersebut.
35
Mengembangkan tugas yang ada, latihan-latihan mungkin terdiri atas
latihan-latihan yang tidak cukup sehingga tugas latihan tambahan perlu untuk
ditambahkan.
Kemampuan dalam mengadaptasi buku ajar seperti ini merupakan
sebuah keterampilan penting bagi guru untuk dikembangkan. Melalui proses
adaptasi, guru menjadikan buku tersebut lebih personal, menjadikannya
sebuah sumber mengajar yang lebih baik, dan mengkhususkannya bagi
sekelompok khusus siswa. Lasimnya, proses seperti ini berlangsung secara
bertahap sejalan dengan guru semakin paham dengan buku tersebut.
A. Prinsip Kontekstual
Purnomo (2002:10) mengungkapkan bahwa kontekstual adalah
pembelajaran yang dilakukan secara konteks, baik konteks linguistik maupun
konteks nonlinguistik. Sementara Depdiknas (2002:5) menjelaskan bahwa
pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang mengaitkan materi yang
diajarkan dengan dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, dijelaskan pula
bahwa pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen untuk
pembelajaran efektif, yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan,
masyarakat belajar, pemodelan, dan penilaian sebenarnya.
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Dalam teori konstruktivisme dijelaskan bahwa struktur pengetahuan
dikembangkan oleh otak manusia melalui dua cara, asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi maksudnya struktur pengetahuan baru dibangun atas dasar
pengetahuan yang sudah ada. Sementara itu, akomodasi adalah struktur
pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan
menyesuaikan hadirnya pengalaman baru. Bagaimana pelaksanaannya di
kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia sehari-hari adalah dapat
diwujudkan dalam bentuk peserta didik disuruh menulis/mengarang dan atau
bercerita di depan kelas.
2. Menemukan (Inquiry)
Komponen inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran
berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta
didik bukan hasil mengingat seperangkat fakta, melainkan dari hasil
menemukan sendiri. Kegiatan inkuiri dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut.
38
a. Merumuskan masalah
b. Mengamati/melakukan observasi
c. Menganalisis dan menyajikan hasil
d. Mengkomunikasikan kepada pembaca
3. Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran berbasis
kontekstual. Tujuan bertanya adalah untuk menggali informasi,
mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian
kepada aspek yang belum diketahuinya. Kegiatan bertanya dapat diterapkan
dalam bentuk ketika peserta didik berdiskusi, bekerja dalam kelompok,
menemui kesulitan, mengamati sesuatu. Kegiatan bertanya ini dapat
dilakukan antara sesama peserta didik, guru dengan peserta didik, peserta
didik dengan guru, peserta didik dengan nara sumber.
5. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan dalam pembelajaran dilakukan dengan cara memberikan
model atau contoh yang perlu ditiru. Anda yang merasa kurang mampu
membacakan puisi, atau bermain drama, tidak perlu cemas karena guru bukan
satu-satunya yang dapat dijadikan model. Anda dapat meminta kepada teman
sejawat, atau mendatangkan pihak luar, pembaca puisi, atau pemain drama
yang sudah terkenal. Dengan demikian Anda pun dapat melaksanakan
pembelajaran puisi drama lewat model tadi. Demikian pula pembelajaran
menulis/mengarang kita dapat memberikan contoh-contoh tulisan yang baik
yang telah kita pilih.
6. Refleksi (Reflection)
Anda mungkin sudah mendengar istilah “refleksi”, tetapi jangan keliru
dengan refleksi yang berkaitan dengan dunia “urut” atau “panti pijat”.
39
Refleksi yang dimaksud di sini adalah cara berpikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang baru dilakukan.
Refleksi juga merupakan tanggapan terhadap kegiatan yang baru dilakukan
atau pengetahuan yang baru diterima. Pada akhir pembelajaran, kita
menyediakan waktu sejenak agar peserta didik melakukan refleksi. Kegiatan
refleksi ini diwujudkan dalam bentuk:
a. pernyataan langsung tentang semua yang diperolehnya,
b. catatan di buku peserta didik,
c. kesan dan saran peserta didik tentang pembelajaran yang telah
d. berlangsung,
e. diskusi; dan
f. hasil karya.
B. Prinsip Integratif
Maksan (1994: 2) yang mengatakan, bahwa bahasa adalah suatu sistem.
Hal tersebut berarti suatu keseluruhan kegiatan yang satu dengan yang
lainnya saling berkaitan untuk mencapai tujuan berbahasa yaitu
berkomunikasi.
Manakah yang dimaksud dengan subsistem dari bahasa itu? Tentu
Anda masih ingat. Subsistem bahasa adalah fonologi, morfologi, sintaksis,
dan semantik. Keempat subsistem ini tidak dapat berdiri sendiri. Artinya,
pada saat kita menggunakan bahasa, tidak hanya menggunakan salah satu
unsur tersebut saja. Pada waktu berbicara, kita menggunakan kata. Kata
disusun menjadi kalimat. Kalimat diucapkan dengan menggunakan intonasi
yang tepat. Dalam kaitan ini, secara tidak sadar, kita telah memadukan unsur
fonologi (lafal, intonasi), morfologi (kata), sintaksis (kalimat), dan semantik
(makna kalimat).
Berdasarkan kenyataan di atas, maka pembelajaran bahasa hendaknya
tidak disajikan secara terpisah-pisah. Pembelajaran Bahasa Indonesia harus
secara terpadu atau terintegratif. Kita mengajarkan kosa kata, bisa dipadukan
pada pembelajaran membaca, menulis, atau berbicara. Mengajarkan kalimat,
bisa kita padukan dengan menyimak, berbicara, membaca, atau menulis.
Demikianlah pula pada saat pembelajaran keempat aspek keterampilan
berbahasa disajikan, kita tidak hanya mengajarkan berbicara saja, tetapi
secara tidak langsung kita pun mengajarkan menyimak. Kegiatan berbicara
tidak dapat berlangsung tanpa ada kegiatan menyimak. Begitu pula pada saat
pembelajaran menulis atau mengarang berlangsung, akan berpadu pulalah
dengan pembelajaran membaca.
Jadi jelaslah, bahwa pembelajaran bahasa Indonesia tidak dapat
disajikan secara terpisah-pisah. Pembelajaran bahasa Indonesia harus
diajarkan secara terpadu.
C. Prinsip Fungsional
Kurikulum 2004 dinyatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia adalah agar peserta didik dapat menggunakan bahasa Indonesia
dalam berkomunikasi dengan baik dan benar. Hal ini sejalan dengan prisip
pembelajaran bahasa yang fungsional, yaitu pembelajaran bahasa harus
41
dikaitkan dengan fungsinya, baik dalam berkomunikasi maupun dalam
memenuhi keterampilan untuk hidup (Purnomo, 2002: 10-11).
Prinsip fungsional pembelajaran bahasa pada hakikatnya sejalan
dengan konsep pembelajaran pendekatan komunikatif. Konsep pendekatan
komunikatif mengisyaratkan bahwa guru bukanlah penguasa dalam kelas.
Guru bukanlah satu-satunya pemberi informasi dan sumber belajar.
Sebaliknya, guru sebagai penerima informasi (Hairuddin, 2000:136). Jadi
pembelajaran didasarkan pada multisumber. Dengan kata lain, sumber belajar
terdiri atas guru, peserta didik, dan lingkungan. Lingkungan terdekat adalah
kelas. Lebih tegas lagi Tarigan (dalam Hairuddin, 2000: 136)
mengungkapkan bahwa dalam konsep pendekatan komunikatif peran guru
adalah sebagai pembelajar dalam proses belajar-mengajar, di samping
sebagai pengorganisasi, pembimbing, dan peneliti.
Pelaksanaan pembelajaran bahasa di kelas yang fungsional ini adalah
menggunakan teknik bermain peran.
D. Prinsip Apresiatif
Apa sebenarnya prinsip apresiatif ini? Prinsip apresiatif lebih
ditekankan pada pembelajaran sastra. Istilah prinsip apresiatif berasal dari
kata kerja dalam bahasa Inggris ”appreciati” yang berarti menghargai,
menilai, menjadi kata sifat “appresiative” yang berarti senang (Echols dan
Shadely, Hasan, 1993:35). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Depdikbud, 1988:46) kata “apresiasi” berarti “penghargaan”. Dalam buku
ajar ini istilah apresiatif dimaknai yang “menyenangkan”. Jadi prinsip
apresiatif berarti prinsip pembelajaran yang menyenangkan.
Menilik artinya tersebut berarti prinsip ini tidak hanya berlaku bagi
pembelajaran sastra, tetapi juga bagi pembelajaran aspek yang lain, bahkan
untuk mata pelajaran di luar mata pelajaran bahasa Indonesia. Namun, karena
yang menggunakan istilah ini hanya pembelajaran sastra, seperti yang
tercantum dalam Kurikulum 2004, apresiasi sastra merupakan salah satu
komponen dari standar kompetensi di SD dan MI (madrasah ibtidaiyah) yang
diintegrasikan pada aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca,
dan menulis.
42
BAB V
PENDEKATAN, METODE, DAN TEKNIK PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR
43
adalah unsur-unsur bahasa (kebhasaan dan membca-menulis, menyimak,
berbicara) tidak bersifat terpisah melainkan bersifat terpadu.
Metode pengajaran bahasa berarti perencanaan secara menyeluruh
untuk menyajikan pelajaran bahasa secara sistematis. Metode bersifat
prosedural, artinya penerapan suatu metode dalam mengajarkan bahasa
mestilah dikerjakan melalui langkah-langkah yang teratur dan bertahap,
yaitu: menyusun rencana pembelajaran, menyajikan materi, dan
mengevaluasi hasil dan proses belajar mengajar. Penyusunan metode selalu
berdasar pada pendekatan tertentu, misalnya pendekatan komunikatif, CBSA,
dan sebagainya.
Teknik dalam pengajaran bahasa mengacu pada pengertian
implementasi perencanaan pengajaran di depan kelas. Teknik mengajar
berupa berbagai macam cara atau kegiatan untuk menyajikan pelajaran dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran khusus. Tekni mengajar bersifat
individual dan situasional. Teknik mengajar berdasar pada metode tertentu.
Ada beberapa teknik mengajar yang bias digunakan dalam menyajikan
pembelajaran, misalnya ceramah, Tanya jawab, penugasan, dan sebagainya.
1. Pendekatan Tujuan
Pendekatan tujuan berlandas pada pemikiran bahwa sebelum
merancang proses belajar mengajar terlebih dahulu menentukan tujuan yang
akan dicapai. Dengan mengetahui tujuan tersebut, maka guru dapat
menentukan teknik dan metode berdasarkan pendekatan yang sesuai. Jadi
proses pembelajaran dirancang setelah menentukan tujuan yang diharapkan
tercapai setelah pembeljaran berakhir.
Pendekatan tujuan pernah digunkan dalam kurikulum 1975 sehingga
seluruh mata pelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan termasuk mata
pelajaran bahasa Indonesia. Berdasar pada pendekatan tujuan, maka masalah
yang paling penting adalah tercapainya tujuan pembelajaran. Adapun
bagaimana proses pembelajarannya tidak menjadi masalah penting.
Pendekatan tujuan sering dikaitkan dengan cara belajar tuntas. Yakni
kegiatan belajar mengajar baru dianngap berhasil bilamana 85% siswa
memiliki tingkat pemahaman materi pelajaran yang iberikan guru mencapai
minimal 75% pada tes sumatif.
44
2. Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural adalah suatu pendekatan yang berlandas pada
asumsi bahwa bahasa adalah merupakan seperangkat struktur yang harus
dipatuhi, dengan asumsi tersebut pembelajaran bahasa henaknya menekankan
pada penguasaan struktur, yang meliputi tata bunyi (fonologi), tata bentuk
(morfologi), tata kalimat (sintaksis), dan tata makna (semantik).
Pembelajaran bahasa Indonesia dengan berdasar pada pendekatan structural,
siswa banyak berlatih menyusun kalimat berdasarkan struktur yang benar,
misalnya pola kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat majemuk, dan penggunaan
awalan me-, dan akhiran –an, dsb.
Pendekatan structural memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya, siswa dapat menjadi cermat dalam menyusun kalimat dengan
pola yang benar atau membetulkan kalimat yang salah berdasarkan struktur
dengan tepat. Kekurangannya siswa bukannya belajar berbahasa secara
komunikatif tetapi hanya belajar tentang struktur bahasa. Padahal tujuan
utama belajar bahasa adalah bagaimana dapat terampil berkomunikasi dengan
orang lain secara efektif. Berdasarkan kelemahan ini, Halliday dan Hasan
(1992) mengatakan bahwa dengan banyak belajar tentang struktur,
keterampilan berbahasa siswa tidak berkembang karena dihambat oleh
struktur itu sendiri.
45
a. instrumental; menggunakan bahasa untuk memenuhi
keperluan seperti membuat surat lamaran kerja atau
pengumuman,
b. regulator; menggunakan bahasa untuk mengatur prilaku orang
lain seperti menyusun pedoman dan memberikan pengarahan,
c. interaksional; menggunakan bahasa untuk mengadakan
percakapan atau diskusi,
d. personal; menggunakan bahasa untuk mengungkapkan
pengalaman atau pendapat pribadi,
e. imajinatif; menggunakan bahasa untuk mengekspresikan
imajinasi dalam bentuk menulis cerita/ puisi,
f. heuristik; menggunakan bahasa untuk mencari dan
menemukan pemahaman seperti wawancara dan bermain
peran,
g. informative; menggunakan bahasa untuk menyampaikan
berita/ fakta (Hlliday, 1978). Dengan kata lain, siswa
diharapkan untuk terampil mengungkapan pikiran dan
perasaannya dengan baik dan benar.
Pembelajaran bahasa dengan berdasar pada pendekatan kominikatif,
siswa diarahkan untuk terampil berbahasa dengan memperhatikan 7 faktor
penentu komunikasi. Ketujuh faktor tersebut adalah :
1. Kepada siapa berbahasa
2. Untuk tujuan apa
3. Dalam situasi apa (tempat dan waktu)
4. Dalam konteks apa (kebudayaan, peserta lain)
5. Dengan jalur mana (lisan atau tertulis)
6. Media apa (tatap muka, telepon, telegram
7. Dalam peristiwa apa (berceramah, bercakap-cakap, upacara)
(Kurikulum, 1984).
Dengan memperhatikan ke-7 faktor tersebut, diharapkan siswa dapat
berkomunikasi melalui bahasa dengan baik dan benar.
Penekanan PK adalah pada kelancaran berkomunikasi secara efektif,
sedang ketepatan lafal dan perbaikan struktur kalimat dilakukan sambil
belajar berkomunikasi secara bertahap dan berkeinambungan. PK lebih
mengutamakan penguasaan keterampilan berbahasa (menyimak, membaca,
berbicara, dan menulis) daripada penguasaan teori-struktur bahasa, dengan
demikian aktivitas siswa selama pembelajaran selalu diarahkan untuk berlatih
46
berkomunikasi secara efektif dan bermakna, baik secara reseptif (menyimak-
mambaca) maupun prouktif (berbicara- menulis).
Sehubungan dengan PK di atas, Zuhdi dan Budiasih (1996)
mengemukakan contoh teknik pembelajaran di kelas rendah sebagai berikut:
Mendeskripsikan buah-buahan: Siswa diminta menggambar
buah-buahan yang mereka gemari.
Gambar tersebut digunting sehingga kelihatan berbentuk buah,
misalnya mangga, lalu siswa menulis karangan dalam gambar
tersebut tentang bentuk, warna, berat, besar, rasa, dll.
4. Pendekatan Terpadu
Pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa Indonesia berarti
bahwa aspek: (a) kebahasaan ejaan, fonologi, morfologi, sintakis, semantic,
(b) keterampilan berbahasa: (membaca-menyimak sebagai keterampilan
pemahaman dan berbicara-menulis sebagai keterampilan penggunaan)
disajikan secara terpadu dalam pembelajaran.
Artinya antara aspek bahasa yang satu dengan lainnya tidak
diajarkan secara terpisah dan lepas konteks secara bermakna. Bentuk
keterpaduan pembelajaran dapat meliputi 3 aspek atau hanya dua aspek,
misalnya:
Menyimak- berbicara- menulis
Membaca- menulis- berbicara
Nenulis- berbicara- menyimak- membaca
Berbicara- menulis- membaca- struktur. Dsb.
Apa yang melatar belakangi perlunya menerapkan pendekatan terpadu
dalam pembelajaran bahasa Indonesia? Jawabannya adalah:
a. Anak menggunakan komponen bahasa Indonesia tidak secara
terpisah melainkan sebagai suatu kesatuan;
b. Komponen kebahasaan , komponen pemahaman (menyimak-
berbicara) dan komponen penggunaan (berbicara-menulis),
bukan merupakan sesuatu yang terpisah melainkan suatu
kesatuan yang utuh;
c. Ketiga aspek BI tersebut secara potensial dapat membentuk
keutuhan (Aminudin, 199
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan sebelum guru merancang
pembelajaran BI secara terpadu adalah sebagai berikut:
47
Murid tidak mempelajari bahasa secara artificial (terlepas dari
pengalaman berbahasa anak sebagaimana yang lazim
digunakan dalam komunikasi sehari-hari)
Tidak mempelajari / menghafalkan pengetahuan yang tidak
bermakna bagi keperluan penggunaan bahasa bahasa dalam
kehidupan personal dan social
Murid tidak mendapatkan pengetahuan dan latihan yang
dipilih secara terpisah sehingga pengetahuan dan pengalaman
yang diperoleh tiak berkesinambungan dengan yang lainnya.
Murid tidak memroleh materi pembelajaran yang lepas dari
pengalaman actual anak didik, tidak menarik, dan tidak
mendorong rasa ingin tahu dan kreativitas mereka untuk
mengembangkan pengetahuan dan pengalaman yang iperoleh
dalam rangka meningkatkan keterampilan berbahasanya
(Aminudin, 1997)
Dengan menerapkan prinsip tersebut, anak akan lebih mudah
memahami materi pelajaran. Menurut Goodman(1991) ada sejumlah hal yang
menyebabkan sehingga anak dapat belajar bahasa dengan mudah sebagai
berikut:
BELAJAR BAHASA MUDAH, BELAJAR BAHASA SULIT,
JIKA JIKA
Terpadu Terpisah-pisah
Nyata dan alamih Artifisial
Bermakna Tak bermakna
Menarik Membosankan
Relevan dengan kemampuan siswa Tidak relevan dengan kemampuan
siswa
Bagian dari teks Keluar dari kontes/ situasi
Memiliki manfaat social Tak memiliki manfaat sosial
Memiliki tujuan Tak jelas tujuannya
Pilihan siswa Orang lain yang memilihkan
Siswa mampu menggunakannya Siswa tidak mampu
menggunakannya
52
pendekatan komunikatif dalam Pembelajaran bahasa Indonesia sama
halnya telah menerapkan pendekatan CBSA.
56
Yesi dan Yeni teman sekelas. Kebetulan di rumah mereka masing-
masing ada telepon. Pada suatu malam Yesi menelepon Yeni. Mereka
merundingkan belajar bersama mengerjakan PR.
Yesi : (mencari nomor telpon ) "Hallo 081242711... Saya Yesi,
siapa yang berbicara ini?"
Yeni : "081242711... di sini. Saya Yeni."
Yesi : "Selamat malam Yeni. Ini Yesi."
Yeni : "Selamat malam Yesi. Ada apa?"
Yesi : "Saya usul kita belajar bersama untuk mengerjakan PR
kita”
Yeni : "Bagus, saya setuju. Bila, di mana, dan siapa anggotanya?"
Yesi : "Halo! Kita ajak Susi dan Tuti. Besok kan hari Minggu, jadi
bisa jam 10.00. pagi. Tempatnya di rumahku, setuju?"
Yeni : "Halo! Setuju, setuju!"
Yesi : "Halo Yeni! Betul, ya. Jangan sampai lupa."
Yeni : "Janji tak akan lupa. Selamat malam."
Yesi : "Sampai besok. Selamat malam."
ma m-a
m-a ma
Karena metode ini mulai dengan suku kata maka seringkali
juga disebut metode suku kata.
Contoh:
61
b) Bercerita dengan Gambar
Gambar-gambar yang dipajang pada dinding kelas selain
menyemarakkan kelas dapat juga dijadikan alat pengajaran. Tentu saja
dalam hal ini penempatan dan pemilihan gambar harus dilakukan dengan
seksama. Gambar-gambar itu harus menarik dan dapat dirangkaikan
menjadi cerita.
Contoh:
62
Guru mengatakan "ini Nana". Kemudian, guru melekatkan
tulisan/kalimat "ini nana" di bawahnya. Jika guru menunjuk gambar itu
siswa membaca kalimatnya. Demikian dilakukan oleh guru dan siswa
dengan beberapa gambar. Dalam hal ini siswa belajar membaca gambar.
d) Membaca Gambar dengan Kartu Kalimat
Kartu kalimat yang disertakan pada gambar yang dibaca siswa,
akan menarik perhatian siswa. Mereka memperhatikan kartu dan tulisan
tersebut. Siswa dapat melihat bahwa secara keseluruhan tulisan kalimat
itu berbeda-beda untuk setiap gambar.
Contoh:
e) Proses Struktural
Gambar-gambar yang memandu kalimat pada kartu kemudian
dihilangkan. Siswa mulai belajar membaca kalimat secara struktural atau
secara global. Untuk memeriksa apakah siswa telah mampu membaca
secara struktural, guru dapat menemukan urutan letak kartu, atau
mengangkat semua kartu kalimat kemudian menampilkannya satu-satu
secara acak dan meminta siswa membacanya.
63
f) Proses Analitik
Jika proses struktural berjalan dengan baik, maka siswa akan
mendengar dan melihat adanya kelompok-kelompok yang diucapkan atau
dibacanya.
Contoh:
ini mama nana
ini adik nana
ini ibu nuni
Dengan begitu proses selanjutnya yaitu proses analitik dapat
dimulai. Kalimat diurai menjadi kata, kata menjadi suku kata, dan suku kata
menjadi huruf. Melalui kegiatan analitik ini, siswa diharapkan mampu
mengenali huruf-huruf dalam kalimat itu.
ini nana
ini nana
i- ni na- na
i - n- i n - a - n - a
Siswa pada akhirnya mengenali huruf. Dari proses analitik ini
diperoleh kartu kalimat, kartu kata, kartu suku, dan kartu huruf.
g) Proses Sintetik
Sesudah siswa mampu mengenali huruf-huruf dalam kalimat, maka
huruf-huruf yang sudah terpisah-pisah itu digabungkan kembali menjadi
suku-kata, kata, dan akhirnya menjadi kalimat. Perhatikan contoh di bawah
ini:
ini nana
ini nana
a analitik
i ni na na
i n i n a n a
i ni na na
sintetik
ini nana
a
ini nana
64
Pengenalan huruf-huruf baru tetap dilakukan melalui kalimat
dengan proses struktural-analitik-sintetik seperti di atas, dengan
menggunakan kartu-kartu. Periode ini berlangsung selama satu setengah
bulan.
65
a. Metode Mengeblat
Metode mengeblat (Depdikbud, 1993) terdiri atas beberapa jenis
yakni: memakai karbon, memakai kertas tipis, dan menghubungkan titik-
titik pada gambar yang telah disediakan.
Contoh:
c. Metod e h u ruf
Metode ini memperkenalkan sejumlah huruf yang dapat dirangkai
menjadi kata lalu dibentuk menjadi katimat . Adapun tangkah
pembelajarannya sebagai berikut:
Langkah ke-1: Tiap kelompok dibagikan gambar yang di dalamnya
terdapat sejumlah huruf (i n i d u r i a n, u b i, n e n a s, )
i i n d r a n u i, b u i, s a n n e
66
Langkah ke-2: Siswa merangkai huruf menjadi kata-baru dengan bantuan
gambar/prediksi (durian, ubi, nenas, buku, dsb)
Langkah ke-3: Siswa merangkai kata menjadi kalimat: Adik membeli buku, Adik
makan durian.
Langkah ke-4: Siswa membaca kalimat dengan lafal dan intonasi yang tepat.
d. Metode SAS
Penerapannya sama dengan pembelajaran membaca.
c. Bertanya jawab dengan siswa tentang setiap gambar, lalu siswa menulis kalimat
sederhana sesuai gambar.
d. Siswa membaca tulisan tersebut
e. Salah seorang siswa menceritakan secara keseluruhan di depan kelas.
67
serta pembelajaran yang menyenangkan sehinga kemampuan literasi bagi
anak di kelas awal SD bertambah maju dan berkembang.
Literasi adalah kemampuan berbahasa seseorang (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis) untuk berkomunikasi dengan cara yang
berbeda sesuai dengan tujuannya. Sulzby (1986) mengartikan literasi secara
sempit, yaitu literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Grabe dan Kaplan (1992) dan Graff (2006) yang
mengartikan literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran
literasi:
a. Menciptakan lingkungan kelas yang literat
b. Menggunakan media buku besar (big book) dalam membaca
c. Membuat kalender cerita
d. Memajangkan hasil karya siswa
e. Menciptakan perpustakaan kelas
f. Partisipasi orang tua
Adapun kompetensi literasi di setiap tingkat memiliki perbedaan.
Berikut ini adalah kompetensi literasi yang direkomendasikan untuk
diberikan di kelas awal menurut The University og The State of New York:
Menyimak:
a. Menyimak teks yang dibacakan
b. Menyimak untuk kebutuhan yang berbeda
c. Menyimak sebagai sikap menghormati
Berbicara:
a. Berbicara untuk kebutuhan yang berbeda.
b. Menggunakan kaidah bahasa yang tepat.
c. Menggunakan jenis bahasa yang bervariasi (formal, informal)
d. Berbicara denga ekspresi yang sesuai
e. Bergiliran saat berbicara di kelompok
f. Memberi respons yang sesuai
Membaca:
a. Mengenal bunyi huruf.
b. Membaca kata dengan menghubungkan bunyi huruf.
c. Mengenal konsep tulisan.
d. Membaca lancar.
e. Mengembangkan kosa kata.
68
f. Strategi membaca pemahaman.
g. Motivasi dalam membaca.
Menulis:
a. Mengeja
b. Handwriting
c. Menulis kreatif
d. Motivasi untuk menulis
dadu daun
delman durian
69
dasi dokter
b. Guru bertanya:
- Apa warna kucing?
- Berapa kucing pada gambar?
- Apa yang sedang dilakukan kucing?
- Siapa yang memelihara kucing?
- Bagaimana cara merawatnya?
- Bagaimana pendapatmu tentang kucing?
c. Guru meminta siswa menceritakan apa yang dilihat pada
gambar baik secara lisan maupun tertulis.
70
10. Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Tinggi
Sekolah Dasar
Latihan-latihan Mendengarkan
Berilah para siswa waktu yang cukup untuk mendengarkan.
Berikan situasi yang menyenangkan. Pelajaran jangan terlalu lama.
Mengapa? Karena berdasarkan psikologi perkembangan anak dan
pengalaman menunjukkan bahwa daya konsentrasi anak usia 6 atau 7
tahun hanya kurang lebih 20 menit. Hal ini dapat bertahan jika yang
didengar siswa menarik perhatiannya.
Bicaralah dengan jelas dan jangan terlalu cepat. Jagalah
ketenteraman kelas. Jangan meneruskan pembicaraan kalau ada
kegaduhan di dalam atau pun di luar kelas.
Di kelas IV, V, dan VI, siswa dibiasakan menuliskan 1 kalimat
kesimpulan dari apa yang didengar. Dapat pula diberikan latihan,
misalnya:
Guru bercerita, kemudian siswa menuliskan rangkuman cerita
guru dalam satu kalimat.
Guru bercerita, kemudian siswa menjawab pertanyaan
bacaan/cerita, menentukan ide pokok setiap cerita yang
didengar, pelaku/tokoh cerita.
Guru membisikkan kalimat, kemudian siswa melanjutkan.
Aktivitas Berbicara
Melalui aktivitas berbicara diharapkan siswa memiliki pengetahuan
dan keterampilan yang dapat digunakan untuk berbicara. Aspek yang
ditekankan dalam berbicara adalah a) lafal, bunyi, (b) penempatan tekanan
71
kata, intonasi, nada, ritme, (c) penggunaan kata dan kalimat, dan (d) aspek
kebahasaan.
b. Bahan bercakap-cakap
Bahan bercakap-cakap antara lain:
- Pokok-pokok percakapan sebaiknya yang berasal dari dunia
sekitar anak-anak. Dapat juga dipilih dari dunia orang dewasa
yang telah dilihat anak, atau yang telah diketahuinya. Seperti
untuk anak-anak di desa membicarakan tentang: pasar, sawah,
penggilingan padi, sungai, perhelatan (pernikahan, sunatan, dan
sebagainya). Sedang untuk anak-anak di kota: lalu-lintas, stasiun,
kantor pos, pabrik-pabrik, perayaan hari-hari besar, dan lain-lain.
72
- Pokok percakapan harus bersifat individual. Umpama tentang
"Ayamku", bukan "Ayam".
- Usahakan supaya ada unsur emosi dalam jiwa anak yang
bercakap-cakap. Di dalam jiwa anak ada "sesuatu" yang
mendorong untuk berkata-kata. Oleh karena itu, carilah bahan-
bahan yang aktual, pergunakan tiap-tiap kejadian yang istimewa:
di sekolah, di rumah, di kota, dan sebagainya, untuk
menyatakan emosi dan memupuk dorongan akan melahirkan isi
hati mereka. Seperti: Kakakku Menikah, Pasar Malam, Hari
Kelahiran/Ulang Tahun, Pesta Sekolah, dan lain-lain.
- Di kelas-kelas tinggi boleh diambil pokok dari pelajaran lain
(seperti: IPA, IPS, Kesenian, dan sebagainya) yang telah
dipercakapkan. Tetapi dalam pelajaran ini jagalah supaya
tujuannya tetap pelajaran bercakap-cakap dan bukan mata
pelajaran lain.
- Biasakan siswa menuliskan inti sari dari percakapan mereka.
Bercakap-cakap spontan ini harus dibiasakan dari kelas I.
Penilaiannya melalui pengamatan. Untuk dinilai secara
menyeluruh, kegiatan ini dipadukan dengan kegiatan menulis.
Tujuan dari pelajaran ini adalah untuk membuat siswa berani
menyatakan pendapatnya, menghilangkan rasa malu dan rasa ragu-
ragu. Oleh karena itu, harus diusahakan supaya anak mengikuti
dengan tertib.
73
- Membicarakan hal-hal yang menarik atau berita aktual saat itu
dengan cara berpasangan.
d. Diskusi
Diskusi hampir sama dengan percakapan tetapi lebih
direncanakan, bertujuan, membahas topik-topik khusus. Diskusi dapat
digunakan untuk merencanakan, menginformasikan, memecahkan
masalah, dan mengembangkan ekspresi verbal. Secara tradisional guru
seringkali memberi pertanyaan dan menjadi moderator, siswa
merespon, dan guru mengevaluasi masing-masing respon. Pertanyaan
guru seringkali terstruktur dan memerlukan jawaban pendek. Ini akan
membatasi perkembangan kognitif dan bahasa anak. Diskusi kelompok
kecil akan memberi lebih banyak kesempatan perkembangan bahasa
lisan. Dalam diskusi diperlukan keterampilan bertanya, guru perlu
membimbing kelompok mengembangkan keterampilan bertanya.
e. Memberi Petunjuk
Seperti petunjuk mengerjakan sesuatu, petunjuk mengenai arah letak
suatu tempat, memerlukan sejumlah persyaratan, Petunjuk harus jelas,
singkat, dan tepat. Siswa yang berlatih akan mendapat kesempatan
yang luas untuk berlatih memberi petunjuk.
g. Main Peran
Main peran adalah simulasi tingkah laku dari orang yang diperankan.
Tujuannya adalah (1) melatih siswa menghadapi situasi yang
sebenarnya, (2) melatih prektik berbahasa lisan secara intensif, (3)
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
kemampuannya berkomunikasi.
Dalam bermain peran, siswa bertindak, berlaku, dan berbahasa
seperti orang yang diperankan. Dari segi bahasa berarti siswa harus
mengenal dan dapat menggunakan ragam-ragam bahasa yang sesuai.
74
h. Bercerita
Bercerita menuntun siswa menjadi pembicara yang baik dan
kreatif. Dengan bercerita siswa dilatih untuk berbicara jelas dengan
intonasi yang tepat, menguasai pendengar, dan untuk berperilaku
menarik.
Kegiatan bercerita harus dirancang dengan baik. Sebelum
kegiatan ini dilaksanakan, jauh sebelumnya guru sudah meminta
siswa untuk memilih cerita yang menarik. Seteah itu siswa diminta
menghafalkan jalan cerita agar nanti pada pelaksanaannya, yaitu
bercerita di depan pendengarnya, tidak mengalami kesulitan.
i. Dramatisasi
Dramatisasi adalah kegiatan mementaskan lakon atau cerita.
Biasanya erita yang dilakonkan sudah dalam bentuk drama. Guru dan
siswa terlebih ahulu harus mempersiapkan naskah dan skenario,
perilaku, dan perlengkapan. Bermain drama lebih kompleks dari pada
bermain peran. Melalui dramatisasi, siswa dilatih untuk
mengekspresikan perasaan dan pikirannya dalam bentuk bahasa lisan.
75
b. Sustained Silent Reading
Sustained Silent Reading (SSR) adalah kegiatan membaca
dalam hati yang dilakukan oleh siswa. Dalam kegiatan ini kesempatan
untuk memilih sendiri buku atau materi yang akan dibacanya. Pada
kegiatan ini guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih
bahan bacaan yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri
sehingga mereka dapat menyelesaikan membaca bacaan tersebut.
Guru dalam hal ini sedapat mungkin menyediakan bahan bacaan yang
menarik dari berbagai buku atau sumber sehingga memungkinkan
siswa memilih materi bacaan. Guru dapat memberi contoh sikap
membaca dalam hati yang baik sehingga mereka dapat meningkatkan
kemampuan membaca dalam hati untuk waktu yang cukup lama.
Pesan yang ingin disampaikan kepada siswa melalui kegiatan ini
adalah (a) membaca adalah kegiatan penting yang menyenangkan; (b)
membaca dapat dilakukan oleh siapa pun; (c) membaca berarti kita
berkomunikasi dengan pengarang buku tersebut; (d) siswa dapat
membaca dan berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang
cukup lama; (e) guru percaya bahwa siswa memahami apa yang
mereka baca; dan (f) siswa dapat berbagi pengetahuan yang menarik
dari materi yang dibacanya setelah kegiatan SSR berakhir.
c. Journal Writing
Salah satu cara yang dipandang cukup efektif untuk
meningkatkan keterampilan siswa menulis adalah dengan
mengimplementasikan pembelajaran menulis jurnal atau menulis
informal. Melalui menulis jurnal, siswa dilatih untuk lancar
mencurahkan gagasan dan menceritakan kejadian di sekitarnya tanpa
sekaligus memikirkan hal-hal yang bersifat mekanik. Tompkins
(1991:210) menyatakan bahwa penekanan pada hal-hal yang bersifat
mekanik membuat tulisan mati karena hal tersebut tidak mengizinkan
gagasan siswa tercurah secara alami. Dengan demikian, siswa dapat
bebas mencurahkan gagasan tanpa merasa cemas dan tertekan
memikirkan mekanik tulisannya.
Banyak manfaat yang dapat kita peroleh dari kegiatan menulis
jumal ini. Manfaat tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
1) Meningkatkan kemampuan menulis. Dengan menulis jurnal siswa
akan terbiasa mengungkapkan pikirannya dalam bentuk tulisan
yang kemudian membantunya untuk mengembangkan
kemampuan menulis.
76
2) Meningkatkan kemampuan membaca. Siswa secara spontan akan
membaca hasil tulisannya sendiri setiap la selesai menulis jurnal.
Dengan cara ini tanpa disadari siswa melatih kemampuan
membacanya, sehingga dengan menulis jurnal siswa tersebut juga
meningkatkan kemampuan membaca.
3) Menumbuhkan keberanian menghadap risiko. Karena menulis
jurnal bukanlah kegiatan yang harus dinilai, maka siswa tidak
perlu takut untuk berbuat salah. Bahkan kesempatan ini dapat
digunakan sebagai sarana untuk bereksplorasi.
4) Memberi kesempatan untuk membuat refleksi. Melalui menulis
jurnal dapat merefleksi apa yang telah dipelajarinya atau
dilakukannya.
5) Memvalidasi pengalaman dan perasaan pribadi. Kejadian apa
saja yang dialami oleh siswa baik di sekolah mapun di luar
sekolah dapat diungkapkan dalam jurnal. Dengan menghargai apa
yang ditulis siswa akan membuat siswa merasa dihargai.
6) Memberikan tempat yang aman dan rahasia untuk menults.
Terutama untuk siswa kelas tinggi, jurnal adalah sarana untuk
mengungkapkan perasaan pribadi. Jurnal ini sering disebut diary
atau buku harian. Untuk jurnal jenis ini siswa boleh memilih
apakah guru boleh membaca jurnalnya atau tidak.
7) Meningkatkan kemampuan berpikir. Dengan meminta siswa
menulis jurnal, berarti melatih mereka melakukan proses berpikir,
mengingat kembali, memilih kejadian mana yang akan
diceritakan, dan menyusun informasi yang dimiliki menjadi cerita
yang dapat dipahami pembaca. Dengan membaca jurnal, guru
mengetahui kejadian atau materi mana yang berkesan dan
dipahami siswa dan mana bagian yang membuatnya bingung.
8) Meningkatkan kesadaran akan peraturan menulis. Melalui
menulis jurnal siswa belajar tata cara menulis seperti penggunaan
huruf besar, tanda baca, dan struktur kalimat. Siswa juga mulai
menulis dengan menggunakan topik, judul, halaman, dan
subtopik. Mereka juga menggunakan bentuk tulisan yang berbeda
seperti dialog (percakapan) dan cerita besambung. Semua in]
diajarkan tidak secara formal.
9) Menjadi alat evaluasi. Siswa dapat melihat kembali jumal yang
ditulisnya dan menilai scndiri kemampuan menulisnya. Mereka
dapat melihat komentar atau respon guru atas kemajuannya. Guru
77
dapat menggunakan jurnal sebagai sarana untuk menilai
kemampuan bahasa siswa, di samping juga penguasaan materi dan
gaya penulisan.
10) Menjadi dokumen tertulis. .lurnal writing dapat digunakan siswa
sebagai dokumen tertulis mengenai perkembangan hidup atau
pribadinya. Setelah mereka dewasa, mereka dapat melihat kembali
hal-hal apa yang pernah mere-ka anggap penting pada waktu
dahulu.
78
b. Bahan
1) Pilihlah bahan bacaan yang sederhana, baik susunannya maupun
isinya.
2) Dapat/ boleh mengambil bahan yang telah dipercakapkan dalam
pelajaran membaca dalam hati; tetapi sebaiknya hendaklah bahan
yang baru.
79
S (survey) membaca sekilas,
Q (question) bertanya,
R (read) baca,
R (recite) menjawab, imbas kembali atau nyatakan secara
lisan,
R (review) baca ulang/ semula/ meninjau kembali/
memeriksa ulang.
Survey (tinjau) ialah langkah membaca untuk mendapatkan
gambaran keseluruhan tentang apa yang terkandung di dalam bahan
yang dibaca. Ini dilakukan dengan meneliti garis besar, sub-sub topik,
gambar-gambar atau ilustrasi, grafik, sampai pada penelusuran
bahagian-bahagian akhir buku atau teks tersebut.
Question (soal atau tanya) ialah langkah yang memerlukan
siswa mengajukan pertanyaan mengenai teks tersebut. Pertanyaan
tersebut menggambarkan tujuan yang akan diperoleh dari bahan
tersebut, dan menjadi panduan ketika saatbaca dilakukan. Selanjutnya
siswa akan mencari jawaban soal-soal tersebut.
Read (baca) ialah membaca bahan atau teks tersebut secara
aktif serta berusaha mendapat segala jawaban atas soal-soal yang
telah diuraikan. Ketika membaca, siswa mungkin juga akan
menjawab soal-soal tambahan, berdasarkan perkembangan
pemahaman dan keinginannya sepanjang melakukan pembacaan.
Recite (imbas kembali) ialah setelah selesai membaca, siswa
mengingat kembali apa yang telah dibaca dan meneliti segala yang
telah diperoleh. Siswa juga boleh menjawab soal-soal yang diuraikan
sebelumnya tanpa merujuk kepada bahan yang telah dibaca.
Review (baca semula) merupakan langkah terakhir. Siswa
membaca bahagian-bahagian buku atau teks secara menyeluruh untuk
memeriksa/mencocokkan jawaban-jawaban soal yang dibuatnya pada
langkah ketiga.
81
Contoh Skenario Pembelajaran Menulis dengan Menggunakan
Gambar Seri
82
b. Menulis puisi
1) Menulis puisi sesuai pengalaman
Sebelum menulis puisi, siswa dibimbing membuat kerangka
setiap bait dengan memperhatikan hubungan setiap larik.
Berdasarkan kerangka tersebut sebagai dasar untuk menuangkan
perasaannya dalam bentuk puisi.
Misalnya: Bait pertama =
Salah satu tempat rekreasi
Tempatnya
Keindahannya
Suasananya
Bait kedua
Manfaatnya
Melestarikannya
2) Menulis pantun tentang kehidupan
Mengarahkan siswa untuk dapat membedakan antara
sampiran dengan isi pantun secara tepat. Dengan demikian siswa
dapat mengurutkan larik pantun yang telah diacak, atau dapat pula
dengan melengkapi bait pantun.
Contoh:
Terang bulan di pinggir ........
Banyak ikan berenang-renang
Hidup di dunia buatlah bakti
Agar hidupmu ......................
Menulis Nonsastra
a. Menulis Karangan
Mengarang berarti menyusun/merangkai kata, kalimat, dan
alinea untuk menjabarkan atau mengulas topik dan tema tertentu
guna memroleh hasil akhir berupa karangan. (Finoza, 2005:211).
84
5) Tahap Publikasi (publishing)
Pada tahap ini, siswa mempublikasikan karangan yang
telah direvisi dan disunting kepada teman-teman atau guru, atau
orang tuanya, baik secara langsung (membacakan di depan kelas)
maupun secara tak langsung (di tempel di majalah dinding
sekolah atau dikirim ke majalah/surat kabar untuk diterbitkan.
Menulis Nonkarangan:
1. Menulis iklan
Contoh:
2. Menulis Slogan
Slogan adalah kalimat pendek yang menarik atau mencolok
dan mudah diingat serta untuk memberitahukan sesuatu.
(Subagyo, 2005:81)
Contoh:
3. Poster
Poster merupakan:
pemberitahuan/peringatan yang ditulis di papan, seng, kain,
kertas lebar dan dipasang di tepi jalan atau di tempat strategis.
Contoh motivasi Ramadhan:
85
4. Riwayat hidup, dll
86
BAB VI
EVALUASI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
DI SEKOLAH DASAR
87
B. Tujuan Pengukuran, Evaluasi, dan Tes Pengajaran Bahasa
Tujuan tes, pengukuran, dan evaluasi ada empat yang paling pokok,
yaitu motivasi, belajar tuntas, sebagai indikator efektivitas pembelajaran, dan
umpan balik. Perkembangan tes bahasa dewasa ini yang harus diterapkan
yaitu kompetensi kebahasaan, kompetensi reseptif, kompetensi produktif, dan
kompetensi kesastraan
Seperti tujuan evaluasi pendidikan/pengajaran pada umumnya, evaluasi
pengajaran bahasa diselenggarakan terutama untuk meningkatkan mutu
pendidikan/pengajaran bahasa. Untuk mencapai tujuan itu evaluasi dapat
dilakukan baik terhadap program pengajaran bahasa maupun hasilnya,
mencakup dimensi konteks, proses belajar mengajar, dan hasilnya. Karena
itu, pada bagian ini akan dibahas dahulu hal-hal yang menyangkut evaluasi
terhadap hasil belajar bahasa.
88
1. Dari segi waktu
Penilaian hasil (tes konvensional) dilaksanakan pada akhir priode
tertentu seperti caturwulan atau semester, sedangkan Penilaian proses
dilaksanakan di sepanjang proses Pembelajaran atau seiring dengan
pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar, mulai dari awal, tengah, dan
akhir Pembelajaran.
E. Alat Evaluasi
Alat evaluasi yang digunakan di dalam pengajaran Bahasa pada
dasarnya sama dengan yang digunakan di dalam pengajaran lainnya,
walaupun ada beberapa yang memang khusus digunakan dalam
pengajaran Bahasa saja. Alat ini dapat dikelompokkan sebagai alat ukur
tes dan nontes
Untuk mengukur kemampuan-kemampuan berbahasa. Pada bagian
ini hanya akan dibahas macam-macam tes yang akan digunakan baik
untuk evaluasi dalam proses maupun evaluasi hasil belajar berbahasa
termasuk hasil belajar berbahasa pada ranah afektif dan psikomotorik.
Perlu dipahami bahwa evaluasi hendaknya disesuaikan dengan indikator
89
atau tujuan yang ingin dicapai pada proses belajar-mengajar Bahasa
Indonesia.
c. Tes Membaca
Pengajaran membaca sekarang ditekankan pada pemahaman
bacaan sebagai keterampilan komunikasi. Tingkat kemampuan membaca
menurut taksonomi Barret ada lima tingkatan yakni: tingkat literal
(mengingat kembali), tingkat penataan kembali (menganalisis,
mensintesis, manata ide-ide dan informasi), tingkat inferensial
(kemampuan menggunakan ide-ide), tingkat evaluatif (kemampuan
memastikan dan menilai kualitas ide dalam bacaan), dan tingkat
apresiatif (menerapkan kepekaan emosional dan estetika yang dimiliki
siswa). Namun untuk kelas awal SD penekanannya adalah membaca
teknik lafal dan intonasi yang tepat dengan pemahaman isi bacaan.
Adapun contoh bentuk evaluasi membaca adalah:
1) Siswa diminta membaca kalimat sederhana dengan lafal
dan intonasi yang tepat.
2) Siswa diminta membacakan bait-bait puisi dengan intonasi
yang sesuai.
3) Siswa menjawab pertanyaan tentang isi bacaan.
Dsb.
d. Tes Menulis
Kemampuan ini mencakup kemampuan-kemampuan yang lebih
khusus di antaranya menyangkut pemakaian ejaan, struktur kalimat,
kosakata, serta penyusunan paragrap. Aspek yang dinilai adalah:
ketepatan, pengembangan topik (logis, relevan, dan jelas),
pengorganisasian isi (runtut, utuh, dan koheren), struktur, pilihan kata
(diksi), penerapan ejaan dan kerapian. Namun untuk kelas awal SD,
kegiatan menulis penekanannya pada menulis tegak bersambung,
menyalin, melengkapi, ketepatan penulisan huruf, dsb.
Adapun contoh evaluasi menulis adalah:
1) Siswa diminta menulis kalimat sederhana sesuai gambar
seri.
2) Siswa diminta menyambung garis putus-putus pada gambar
yang tersedia
3) Siswa menjiplak, mengubah/menyalin kalimat dari tulisan
terpisah menjadi tulisan tegak bersambung.
91
Dsb.
93
c. Tes Membaca di kelas tinggi SD
Pengajaran membaca sekarang ditekankan pada pemahaman
bacaan sebagai keterampilan komunikasi. Tingkat kemampuan membaca
menurut taksonomi Barret ada lima tingkatan yakni: tingkat literal
(mengingat kembali), tingkat penataan kembali (menganalisis,
mensintesis, manata ide-ide dan informasi), tingkat inferensial
(kemampuan menggunakan ide-ide), tingkat evaluatif (kemampuan
memastikan dan menilai kualitas ide dalam bacaan), dan tingkat
apresiatif (menerapkan kepekaan emosional dan estetika yang dimiliki
siswa)
Contah
Penilaian Hasil:
1. Sebutkan gagasan pokok teks bacaan !
2. Ceritakan kembali isi teks bacaan dengan kalimat sendiri!
1. Tasrun
2. Asia
3. Amir
94
Aspek yang dinilai:
- dari segi penggunaan bahasa: (pilihan kata dan susunan
kalimat
- pemaparan isi (tepat, runtut, utuh, ringkas)
- penulisan (ketepatan ejaan, kerapian tulisan
(8) Siswa diminta menceritakan kembali isi bacaan
TEKNIK NONTES
Dalam pengajaran bahasa, untuk mengevaluasi berbagai aspek
kemampuan berbahasa terutama yang mengandung unsur afektif,
psikomotor atau bersifat kompleks digunakan berbagai teknik nontes.
Termasuk portofolio, lembaran observasi, angket, dan sebagainya.
Adapun jenis tagihan nontes di antaranya berupa tugas-tugas yang
dilakukan di luar jam pembelajaran dapat berupa tugas rumah (PR) dan
tugas-tugas lain seperti membuat, menulis, melaporkan, menganalisis sesuatu
yang membutuhkan waktu yang relatif lama, baik secara individual maupun
kelompok. Di samping itu, jenis tagihan dapat juga berupa portofolio, yaitu
suatu prestasi yang diperoleh siswa pada snatu kurun tertentu.
95
a. Instrumen untuk Portofolio
Instrumen ini sengaja dibahas karena dalam kurikulum 2013 bahkan
kurikulum sebelumnya yakni KBK dan penilaian berbasis kelas, portafolio
merupakan salah satu bentuk penilaian. Portofolio adalah kumpulan
pekerjaan siswa. Penilaian portofolio pada dasarnya adalah penilaian
terhadap karya-karya siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, semua
tugas penulisan yang dikerjakan siswa baik perseorangan atau kelompok di
dalam atau di luar kelas dalam jangka waktu tertentu, misalnya satu semester
dikumpuikan, kemudian dilakukan penilaian.
Sebagaimana ditunjukkan dalam tugas-tugas menulis dan tes esai
dalam penilaian hasil belajar Bahasa Indonesia, siswa diharapkan untuk
berunjuk kerja secara aktif produktif lewat bahasa tulis. Kemampuan menulis
tersebut merupakan salah satu standar kompetensi yang harus dimi!iki oleh
siswa. Dalam bidang apresiasi sastra pun siswa banyak dituntut untuk mampu
berunjuk kerja lewat bahasa tulis, yang merupakan salah satu kemampuan
yang juga harus dimiliki siswa.
Semua itu menunjukkan bahwa dalam jangka waktu tertentu,
misalnya satu semester siswa telah menghasilkan sejumlah karya tulis, baik
yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan menulis maupun
kemampuan apresiasi sastra. Tulisan siswa tersebut, misalnya mulai dari
menulis berbagai jenis kalimat, membuat paragraf, membuat cerita, membuat
surat, membuat karangan dengan topik tertentu, menceritakan kembali
tuturan langsung lewat berbagai media dalam bentuk tulisan, membuat
sinopsis cerita, sampai dengan menulis karya sastra seperti puisi atau cerpen
sederhana. Hasil karya siswa inilah yang dijadikan bahan penilaian
portofolio.
Jika kumpulan karya sastra tersebut banyak, karya yang akan dinilai
secara portofolio tidak harus seluruhnya, tetapi dapat dibatasi pada karya
tertentu yang terpi!ih karena dalam penilaian portofolio siswa akan diminta
secara bersama untuk membahas dan menilai hasil karyanya, mereka sendiri
boleh menentukan tulisan mana yang diambil sebagai sampel. Lewat
portofolio dapat pula dinilai perkembangan kemampuan siswa dalam
menulis.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian
portofolio, yaitu: (1) karya yang dikumpulkaan benar-benar merupakan karya
siswa yang bersangkutan, (2) karya siswa yang dijadikan contoh pekerjaan
yang akan dinilai haruslah mencerminkan perkembangan kemampuan dan
mewakili, (3) kriteria yang dipakai untuk menilai portopolio haruslah telah
96
ditetapkan sebelumnya, (4) siswa diminta menilai secara terus-menerus hasil
portofolionya, (5) perlu dilakukan pertemuan dengan siswa yang dinilai.
Selain itu, penilaian portofolio memiliki karakteristik tertentu yang berbeda
dengan tes bentuk objektif sehingga penggunaannya juga harus sesuai dengan
tujuan atau kernampuan dasar dan substansi yang akan diukur.
b. Observasi (pengamatan)
Evaluasi yang dilakukan dengan teknik pengamatan atau observasi
adalah evaluasi dengan cara mengadakan pengamatan terhadap sesuatu
hal secara langsung; teliti, dan sistematis. Kegiatan pengamatan ini
disertai dengan kegiatan pencatatan terhadap sesuatu yang diamati. Oleh
karena itu, diperlukan format pengamatan.
Berdasarkan rencana kerja pihak pengamat, observasi dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu observasi berstruktur dan tak
berstruktur. Dalam pengamatan berstruktur, kegiatan pengamatan telah
diatur, dibatasi dengan kerangka kerja tertentu yang telah disusun secara
sistematis. Contoh pengamatan berstruktur adalah evaluasi terhadap
keterampilan berpidato, berdeklamasi, bercerita, wawancara. Aspek yang
dinilai adalah: lafal, struktur kalimat, pilihan kata, kelancaran, dan
penampilan.
Pengamatan tak berstruktur, sebaliknya tidak membatasi
pengamatan dengan kerangka kerja yang telah dipersiapkan, melainkan
hanya dibatasi oleh tujuan pengamatan yang dilakukan. Sebagai contoh
pengamatan yang dilakukan terhadap tingkah laku siswa dalam kegiatan
belajar-mengajar sehari-hari
Instrumen nontes hasil belajar bahasa Indonesia harus mencakup
performansi dan sikap atau afeksi siswa terhadap bahasa dan Sastra
lndonesia, lnstrumen penilaian terhadap hasil belajar bahasa berupa
97
pengamatan terhadap performansi berbahasa yang dimaksudkan untuk
mengukur keterampilan berbahasa siswa secara langsung. Siswa diminta agar
mampu melakukan aktivitas berbahasa sebagaimana halnya dalam kehidupan
yang nyata dalam situasi yang sengaja diciptakan atau disimulasikan.
Beberapa hal yang perlu di!akukan dalam penyiapan tugas ini antara lain
sebagai berikut.
1) Pilih tugas tertentu yang menuntut siswa menampilkan
kemampuan berbahasanya secara langsung, misalnya tugas
berpidato dan bercerita,
2) Siapkan bahan yang mendukung pelaksanaan tugas, misalnya
rekaman pita radio, televisi, teks tertulis yang sesuai dengan
kondisi siswa.
3) Tuliskan rambu-rambu atau aspek-aspek yang akan diamati dan
dinilai misalnya: dalam bentuk pedoman dan tentukan bobot tiap
aspek.
Komponen afektif ikut menentukan keberhasilan belajar berbahasa
siswa. Siswa yang memiliki tingkat afektif tinggi memiliki peluang untuk
berhasil jauh lebih baik daripada yang tidak memilikinya. Komponen afektif
antara lain berupa sikap, minat, motivasi, dan kesungguhan belajar. Dalam
rangkaian kegiatan pembelajaran komponen afektif perlu diungkap. Hal itu
dimaksudkan untuk mengetahui tingkat afektif siswa terhadap siswa yang
berafeksi kurang, dan diberi motivasd agar meningkat:
Untuk memeroleh data afektif siswa, perlu disusun instrumen nontes
yang khusus dirancang. untuk tujuan itu, misalnya lembar observasi.
Observasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan guru untuk mendapatkan
informasi tentang siswa dengan cara mengamati tingkah laku dan
kemampuannya selama kegiatan observasi berlangsung. Observasi dapat
ditujukan kepada siswa secara perseorangan ataupun kelompok. Dalam
kegiatan observasi perlu dipersiapkan format pengamatan. Di dalam format
pengamatan di antaranya berisi: (1) perilaku-perilaku atau kemampuan yang
akan dinilai, dan (2) batas waktu pengamatan.
Jika instrumen yang dimaksud sudah ada, dapat dipergunakan, tetapi
dapat pula instrumen itu dikembangkan sendiri dengan cara memberikan
sejumlah pertanyaan yang disertai sejumlah jawaban. Hampir sama dengan
penggunaan angket. Jawaban dibuat dalam bentuk skala (skala Likert),
misalnya 5-1, yang menunjukkan sikap positif, nilai 5 untuk yang
menunjukkan sikap sangaf senang, senang (4), netral (3), kurang senang (2),
dan tidak senang (1).
98
Pelaksanaan kegiatan observasi memerlukan waktu yang relatif lebih
lama dibanding kegiatan tes. Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan
pengamatan secara berkali-kali, terutama yang berstruktur dengan
menciptakan situasi khusus, kiranya kurang efisien.
Pelaksanaan pengamatan yang terkondisi sebaiknya sekali saja,
kecuali yang tak berstruktur yang dapat dilakukan setiap hari dalam kegiatan
belajar rnengajar. Bagaimanapun kegiatan pengamatan sangat diperlukan
karena dapat rnemberikan informasi yang tak dapat diperoleh rnelalui
kegiatan tes. Oleh karena itu, para guru hendaknya juga memanfaatkan
pengumpulan informasi penilaian melalui kegiatan pengamatan, atau teknik
nontes pada umumnya.
99
BAB VII
PENGANTAR PENGEMBANGAN SILABUS
A. Pengertian Silabus
KTSP: Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok
mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi ,
kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu,
dan sumber belajar. (BSNP, 2006:14).
K13: Silabus merupakan rencana pembelajaran pada suatu mata pelajaran
yang mencakup kompetensi inti, kompetensi dasar, materi pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, penilaian, alokasi waktu, dan sumbe belajar. (Permen
No 59 tahun 2014)
2. Relevan
Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi
dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan spritual peserta didik.
3. Sistematis
Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional
dalam mencapai kompetensi.
4. Konsisten
Adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi
dasar, indikator, materi pokok/pembelajaran, pengalaman belajar, sumber
belajar, dan sistem penilaian.
5. Memadai
Cakupan indikator, materi pokok/pembelajaran, pengalaman belajar,
sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian
kompetensi dasar.
100
6. Aktual dan Kontekstual
Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar,
dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni
mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.
7. Fleksibel
Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman
peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan
tuntutan masyarakat.
8. Menyeluruh
Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif,
afektif, psikomotor).
C. Unit Waktu Silabus
1. Silabus mata pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu
yang disediakan untuk mata pelajaran selama penyelenggaraan
pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
2. Penyusunan silabus memperhatikan alokasi waktu yang disediakan
per semester, per tahun, dan alokasi waktu mata pelajaran lain yang
sekelompok.
3. Implementasi pembelajaran per semester menggunakan penggalan
silabus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
untuk mata pelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia pada
struktur kurikulum. Bagi SD/MI menggunakan penggalan silabus
berdasarkan satuan kompetensi.
D. Pengembangan Silabus
Pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri
atau berkelompok dalam sebuah sekolah/madrasah atau beberapa sekolah,
kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) pada atau Pusat
Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendikan.
1. Disusun secara mandiri oleh guru apabila guru yang bersangkutan
mampu mengenali karakteristik peserta didik, kondisi
sekolah/madrasah dan lingkungannya.
2. Apabila guru mata pelajaran karena sesuatu hal belum dapat
melaksanakan pengembangan silabus secara mandiri, maka pihak
sekolah/madrasah dapat mengusahakan untuk membentuk kelompok
101
guru mata pelajaran untuk mengembangkan silabus yang akan
digunakan oleh sekolah/madrasah tersebut.
3. Di SD/MI semua guru kelas, dari kelas I sampai dengan kelas VI,
menyusun silabus secara bersama. Di SMP/MTs untuk mata
pelajaran IPA dan IPS terpadu disusun secara bersama oleh guru
yang terkait.
4. Sekolah/Madrasah yang belum mampu mengembangkan silabus
secara mandiri, sebaiknya bergabung dengan sekolah-
sekolah/madrasah-madrasah lain melalui forum MGMP/PKG untuk
bersama-sama mengembangkan silabus yang akan digunakan oleh
sekolah-sekolah/madrasah-madrasah dalam lingkup MGMP/PKG
setempat.
5. Dinas Pendidikan/Departemen yang menangani urusan
pemerintahan di bidang agama setempat dapat memfasilitasi
penyusunan silabus dengan membentuk sebuah tim yang terdiri dari
para guru berpengalaman di bidangnya masing-masing.
E. Langkah-langkah Pengembangan Silabus
102
a. potensi peserta didik;
b. relevansi dengan karakteristik daerah;
c. tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan
spritual peserta didik;
d. kebermanfaatan bagi peserta didik;
e. struktur keilmuan;
f. aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
g. relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan;
dan
h. alokasi waktu.
3. Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan
pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui
interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan
sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar.
Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan
pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta
didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu
dikuasai peserta didik.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan
kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.
a. Kegiatan pembelajaran disusun untuk memberikan bantuan kepada
para pendidik, khususnya guru, agar dapat melaksanakan proses
pembelajaran secara profesional.
b. Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus
dilakukan oleh peserta didik secara berurutan untuk mencapai
kompetensi dasar.
c. Penentuan urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan
hierarki konsep materi pembelajaran.
d. Rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal
mengandung dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan
pengalaman belajar siswa, yaitu kegiatan siswa dan materi.
103
4. Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi
Indikator merupakan penanda pencapaian kompetensi dasar yang
ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik,
mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata
kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator
digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.
104
teknik wawancara, maupun produk/hasil melakukan observasi
lapangan yang berupa informasi yang dibutuhkan.
105
BAB VIII
PENYUSUNAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
DAN SIMULASI
A. Pengertian RPP
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan
pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP adalah
rencana pembelajaran yang dikembangkan secara rinci dari suatu materi
pokok atau tema tertentu yang mengacu pada silabus untuk mengarahkan
kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi
Dasar. RPP yang dimaksud merupakan RPP Kurikulum 2013 khusus jenjang
Sekolah Dasar yang tentunya sudah direvisi Tahun 2017.
Revisi tersebut salah satunya memuat Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) di dalam pembelajaran. Karakter yang diperkuat terutama 5
karakter, yaitu: religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
Selain PPK pada pembelajaran perlu juga diintegrasikan literasi;
keterampilan abad 21 atau diistilahkan dengan 4C (Creative, Critical
thinking, Communicative, dan Collaborative); dan Higher Order Thinking
Skill (HOTS).
2. KOMPETENSI INTI/ KI
a). KI dikutib dari Permendikbud no 21 Tahun
2016
b). Kompetensi Inti mencakup:
- KI-1: sikap spiritual,
- KI-2: sikap sosial,
- KI-3: pengetahuan,
- KI-4: keterampilan
yang berfungsi sebagai pengintegrasi muatan pembelajaran, mata
pelajaran atau program dalam mencapai SKL.
107
Pengertian Indikator
• Indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh
perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
• Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata
pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam
kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
a. Dirumuskan berdasarkan KD, dengan menggunakan kata kerja
operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan
b. Dituangkan dalam bentuk deskripsi, memuat kompetensi yang hendak
dicapai oleh peserta didik
c. Memberikan gambaran proses pembelajaran
d. Memberikan gambaran pencapaian hasil pembelajaran
5. MATERI PEMBELAJARAN
a. Memuat fakta, konsep/prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis
dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator ketercapaian
kompetensi/IPK
b. Ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan cakupan materi yang
termuat pada IPK atau KD pengetahuan
c. Cakupan materi sesuai dengan alokasi waktu yang ditetapkan
d. Mengakomodasi muatan lokal dapat berupa keunggulan lokal, kearifan
lokal, kekinian dll yang sesuai dengan cakupan materi pada KD
pengetahuan
6. METODE PEMBELAJARAN
a. Harus mampu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik mencapai KD yang disesuaikan dengan karakteristik
peserta didik dan KD yang akan dicapai
b. Menerapkan pembelajaran aktif (peserta didik yang aktif) yang
bermuara pada pengembangan Higher Order Thinking Skills (HOTS)
c. Menggambarkan sintaks/tahapan yang jelas (apabila menggunakan
model pembelajaran tertentu).
d. Sesuai dengan tujuan pembelajaran
e. Menggambarkan proses pencapaian kompetensi
108
7. MEDIA PEMBELAJARAN
a. berupa alat bantu proses pembelajaran untuk menyampaikan materi
pelajaran
b. Mendukung pencapaian kompetensi dan pembelajaran aktif dengan
pendekatan ilmiah
c. Sesuai dengan karakterisitik peserta didik
d. Memanfaatan teknologi pembelajaran sesuai dengan konsep dan prinsip
tekno-pedagogis
8. SUMBER BELAJAR
o dapat berupa buku,
o media cetak dan elektronik,
o alam sekitar, atau
o sumber belajar lain yang relevan
9. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
Hendaknya mengintegrasikan:
a. Disingkat 4C (Communication, Collaborative, Critical Thinking, dan
Creativity) kemampuan berkomunikasi, kemampuan berinteraksi,
kemampuan berpikir/lebih luas dari Higher Order Thinking Skill
(HOTS):
- Communication (komunikasi) merupakan kegiatan mentransfer sebuah
informasi baik secara lisan maupun tulisan
- Creativity (kreativitas): kemampuan mengembangkan solusi, ide,
konsep, teori, prosedur, produk. inovasi adalah bentuk kreativitas
(sintesis antara fullan, 2013 dan oecd, 2014),
- Collaboration (kerjasama): kemampuan kerjasama dalam kelompok
baik tatap muka atau melalui komunikasi dunia maya untuk
memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, membuat keputusan,
dan negosiasi untuk mencapai tujuan tertentu (sintesis antara lai, 2011
dan dede, 2010)
- communication (berkomunikasi): kemampuan mengemukakan pikiran
atau pandangan dan hasil lain dalam bentuk lisan, tulisan,
menggunakan IT, dan kemampuan mendengar, kemampuan memahami
pesan (revisi dari fullan, 2013, canada, 2014)
109
b. Higher Order Thinking Skill (HOTS) kemampuan berpikir
c. Literasi, antara lain pengembangan budaya membaca dan menulis yang
dirancang untuk mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman
beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan, dll
d. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)
e. Pembelajaran dirancang: interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi pesertadidik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik
f. Dilakukan melalui tahapan:
- pendahuluan,
- inti, dan
- penutup
1) Kegiatan Pendahuluan:
- menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti
proses pembelajaran;
- memberi motivasi belajar peserta didik secara kontekstual sesuai
manfaat dan aplikasi materi ajar dalam kehidupan sehari-hari,
dengan memberikan contoh dan perbandingan lokal, nasional dan
internasional, serta disesuaikan dengan karakteristik dan jenjang
peserta didik;
- mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan
pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
- menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang
akan dicapai; dan
- menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan
sesuai silabus.
2) Kegiatan Inti:
- menggunakan model pembelajaran, metode pembelajaran, media
pembelajaran, dan sumber belajar yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan mata pelajaran.
- Menggunakan pendekatan saintifik atau pendekatan lain yang
relevan dengan karakteristik materi dan mata pelajaran.
- Mengembangkan sikap melalui proses afeksi mulai dari
menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, hingga
mengamalkan (seluruh aktivitas pembelajaran berorientasi pada
110
tahapan kompetensi yang mendorong peserta didik untuk
melakukan aktivitas tersebut)
- Mengembangkan pengetahuan melalui aktivitas mengetahui,
memahami, menerapkan,menganalisis, mengevaluasi, hingga
mencipta.
- Mengembangkan keterampilan melalui kegiatan mengamati,
menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta.
- Seluruh isi materi mata pelajaran yang diturunkan dari
keterampilan harus mendorong peserta didik untuk melakukan
proses pengamatan hingga penciptaan.
3) Kegiatan Penutup
- guru bersama peserta didik baik secara individual maupun
kelompok melakukan refleksi untuk mengevaluasi hal-hal
berikut.
- seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran dan hasil-hasil yang
diperoleh untuk selanjutnya secara bersama menemukan manfaat
langsung maupun tidak langsung dari hasil pembelajaran yang
telah berlangsung;
- memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil
pembelajaran;
- melakukan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pemberian tugas,
baik tugas individual maupun kelompok; dan
- menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk
pertemuan
11. LAMPIRAN
Hal-hal yang mendukung, misalnya
a. Uraian materi yang memang diperlukan
b. Instrumen penilaian dilengkapi dengan pedoman penskoran, dll
Standar Kompetensi :…
Kompetensi Dasar :…
Indikator :…
I. Tujuan Pembelajaran :…
II. Materi Ajar :…
III. Metode Pembelajaran :…
IV. Langkah-langkah Pembelajaran
A. Kegiatan Awal :…
B. Kegiatan Inti :…
C. Kegiatan Akhir :…
V. Alat/Bahan/Sumber Belajar :…
VI. Penilaian :…
112
E. Contoh RPP K13
Bahasa Indonesia
3.4. Mengenal teks cerita diri/personal tentang keluarga secara mandiri dalam bahasa
Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah untuk membantu
penyajian
4.4. Menyampaikan teks cerita diri/personal tentang keluarga secara mandiri dalam
bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah untuk
membantu penyajian
Indikator :
PPKn
3.2. Mengenal tata tertib dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah
dan di sekolah
4.2. Melaksanakan tata tertib dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di
rumah dan di sekolah
Indikator :
PJOK
3.3 Mengetahui konsep gerak dasar manipulatif sesuai dengan dimensi anggota tubuh
yang digunakan, arah, ruang gerak, hubungan, dan usaha, dalam berbagai bentuk
permainan sederhana dan atau permainan tradisional.
4.3 Mempraktikkan pola gerak dasar manipulatif sesuai dengan dimensi anggota tubuh
yang digunakan, arah, ruang gerak, hubungan, dan usaha, dalam berbagai bentuk
permainan sederhana dan atau permainan tradisional.
Indikator :
SBdP
4.1. Menggambar ekspresi dengan mengolah garis, warna dan bentuk berdasarkan hasil
pengamatan di lingkungan sekitar
114
Indikator :
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Teman Baru
- Setelah mengikuti permainan lempar bola, siswa dapat memperkenalkan diri dengan
menyebutkan nama panggilan secara benar.
- Dengan melakukan permainan siswa dapat menyebutkan nama lengkap dengan benar.
- Setelah mendengarkan penjelasan guru, siswa dapat menghias kartu nama dengan rapi.
E. MATERI PEMBELAJARAN
- Perkenalan diri
- Peraturan permainan
- Permainan memperkenalkan diri
- Gerakan melempar dan menangkap
- Menghias gambar kartu nama
- Lirik lagu “Siapa Namamu”
F. METODE PEMBELAJARAN
- Pendekatan : Saintifik
- Metode : Permainan/simulasi, diskusi, tanya jawab, penugasan dan ceramah
G. KEGIATAN PEMBELAJARAN
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
115
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
pembelajaran.
116
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
1 2 / 3 . / 3 4 / 5 ./
Sia pa kah na ma mu
5 4 / 3 . / 3 3 /1 . //
Na ma ku .............
117
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
118
H. SUMBER, ALAT DAN MEDIA PEMBELAJARAN
Buku Siswa Tema : Diriku Kelas 1 (Buku Tematik Terpadu Kurikulum 2014,
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014).
Bola plastik atau bola dari kertas bekas yang dibuat menjadi bentuk bola
Karton/kertas/kardus bekas yang sudah dipotong-potong dan diberi nama masing-
masing siswa
Pensil warna/spidol yang bisa digunakan untuk menghias kartu yang sudah
disediakan
Tali/peniti/alat lain untuk memasangkan kartu nama
I. PENILAIAN PEMBELAJARAN
1 Ekal
2 Aisy
3 Zidan
4 ………
1. Penilaian Sikap
Keterangan:
BT : Belum Terlihat
MT : Mulai Terlihat
MB : Mulai Berkembang
SM : Sudah Membudaya
119
2. Penilaian Pengetahuan
3. Penilaian Keterampilan
1. Kemampuan Siswa mampu Siswa mampu Siswa hanya mampu Siswa belum
memperkenal menyebutkan nama menyebutkan nama Menyebutkan nama mampu
-kan diri panjang dan nama panjang panggilan memperkenalka
panggilan n diri
3. Kemampuan Siswa mampu melempar Siswa melempar dan Siswa melempar dan Siswa belum
melakukan dan menangkap bola menangkap bola, menangkap bola, mampu
gerakan dengan akurat (tidak tetapi 1-2 kali meleset tetapi lebih dari 3 kali melempar dan
melempar pernah meleset) meleset menangkap bola
dan
menangkap
( ___________________ ) ( ___________________ )
NIP .................................. NIP ..................................
120
KEPUSTAKAAN
Aminuddin. 1997. Isi dan Strategi Pengajaran Bahasa dan Sastra. Malang.
FPBS IKIP Malang.
121
Iskandarwassid dan Sunendar, Dadang. 2009. Strategi Pembelajaran
Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset
122
123