Anda di halaman 1dari 123

PENDAHULUAN

Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar pada hakikatnya


merupakan peningkatan kemampuan siswa dalam berbahasa Indonesia
setelah siswa memiliki bahasa pertama yakni bahasa Ibu. Peran aktif guru
dalam mengajarkan materi pelajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar di
sekolah dasar, sangat membutuhkan keahlian dan pengalaman. Untuk itu,
buku ini disajikan secara teori dan praktik agar guru/calon guru sekolah dasar
dapat:
a. Menjelaskan hakikat bahasa dan teori Pemerolehan Bahasa.
b. Menjelaskan prinsip pembelajaran Bahasa Indonesia di SD dalam
kurikulum.
c. Memilih dan menerapkan pendekatan, metode, strategi, dan teknik
pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar secara kreatif dan
inovatif.
d. Memilih dan mengembangkan materi ajar Bahasa Indonesia di SD sesuai
kurikulum, tingkat perkembangan peserta didik, lingkungan, dan
ketersedian sarana.
e. Memahamai dan mampu melakukan asesmen pembelajaran Bahasa
Indonesia di SD.
Pencapaian kompetensi ini dilakukan dengan berbagai aktivitas antara
lain melalui kegiatan diskusi, penugasan, pengamatan, dan portopolio. Untuk
mengevaluasi ketercapaian tujuan, digunakan tes tertulis, penilaian proses,
hasil, portopolio, unjuk kerja, dan simulasi. Kiranya uraian ini dapat
membantu memberikan pemahaman sesuai kompetensi.

1
BAB I
HAKIKAT BAHASA DAN TEORI
PEMEROLEHAN BAHASA

A. Hakikat Bahasa
Bahasa merupakan salah satu aspek yang digunakan untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan. Komunikasi dalam kehidupan sehari-
hari ditunjang oleh penguasaan bahasa dengan menggunakan simbol. Betapa
pentingnya peranan bahasa bagi perkembangan manusia memberikan
sumbangan yang besar dalam perkembangan anak menjadi manusia
dewasa. Akhadiah dkk (1992/1993) menyatakan bahwa dengan bantuan
bahasa, anak dapat tumbuh dari organisme biologis menjadi pribadi di
dalam kelompok. Pribadi itu berpikir, merasa, bersikap, berbuat, serta
memandang dunia dan kehidupan seta masyarakat di sekitarnya.
Pada dasarnya bahasa merupakan rangkaian bunyi yang
melambangkan pikiran, perasaan, serta sikap. Dengan demikian, bahasa
merupakan sistem lambang yang digunakan sesuai dengan kaidah yang
berlaku, di antaranya kaidah pembentukan gabungan kata, klausa, dan
kalimat. Manusia pun dapat berpikir dan berbicara tentang sesuatu yang
abstrak, di samping yang konkret; misalnya seseorang tidak perlu
menghadirkan harimau untuk menjelaskan kepada mahasiswa bahwa ada
harimau masuk ke kampus mereka. Lambang-lambang bunyi bahasa
terbentuk berdasarkan kesepakatan masyarakat pemakai bahasa.
Maksudnya tidak ada alasan logis untuk memberi nama sesuatu.
Apakah peranan bahasa?
1. Bahasa merupakan sarana utama untuk berpikir dan bernalar.
Untuk itu manusia berpikir tidak hanya dengan otaknya, melainkan
dengan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, menyampaikan
hasil dan mengendalikan pemikiran atau penalaran, sikap, serta
perasaannya.
2. Sebagai alat penerus dan pengembang kebudayaan. Melalui bahasa
nilai-nilai dalam masyarakat dapat diwariskan dari satu generasi ke
generasi selanjutnya. Dengan bahasa pula ilmu dan teknologi
dikembangkan.
3. Bahasa mempunyai peranan yang penting dalam mempersatukan
anggota masyarakat. Sekelompok pengguna bahasa yang sama akan
merasakan adanya ikatan batin di antara sesamanya.

2
Kemampuan berbahasa dan berpikir inilah yang membedakan
manusia dengan binatang, serta yang memungkinkannya untuk
berkembang. Dengan bahasa manusia dapat berpikir lebih lanjut serta
mencapai kemajuan teknologi yang semakin pesat. Penggunaan bahasa
dalam berpikir, menyimak, berbicara, membaca, dan menulis bukanlah
merupakan kemampuan yang bersifat alamiah, sebagaimana kemampuan
hidup dan bernafas. Kemampuan itu tidak dibawa sejak lahir dan
dikuasai dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari, serta
dipengaruhi oleh lingkungannya.
Apakah setiap alat komunikasi dapat disebut bahasa? Apakah
penanda khusus bahasa manusia sebagai alat komunikasi yang
membedakan dengan alat komunikasi yang lain? Perhatikan ilustarsi kasus
berikut ini:
Pada suatu hari dalam perjalanan menumpangi mobil
angkot. Dua penumpang yang masih muda belia tertawa, tetapi
tidak terdengar mereka melakukan interaksi secara verbal. Setelah
mencoba memperhatikan apa yang mereka lakukan. Ternyata
mereka adalah siswa-siswa tuna rungu sedang asyik
berkomunikasi, akan tetapi komunikasi yang dilakukan tidak
menggunakan suara. Mereka menggunakan jari-jari tangan untuk
berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Lain halnya dengan kasus, ketika mengikuti kegiatan
perkemahan pramuka. Hanya bunyi sempruitan mereka saling
berbalasan antara kelompok satu dengan kelompok lain. Demikian
pula dengan sandi morse yang hanya menggunakan kode rahasia
atau tanda tertentu yang dipakai dalam berkomunikasi pada
kegiatan pramuka. Hanya dengan mengerakkan bendera, mereka
dapat memahami maksud perintah untuk berkumpul di lapangan.
Ilustasi yang digambarkan di atas membuktikan bahwa ternyata
alat komunikasi sangat beragam. Ada yang menggunakan benda-benda,
tanda, atau bunyi-bunyian. Bahasa, berupa bunyi-bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia adalah juga alat komunikasi. Secara umum,
komunikasi dibedakan atas komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan bunyi-bunyi
bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang merujuk pada bahasa
tertentu misalnya bahasa Indonesia atau bahasa yang lain. Sedangkan
komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang tidak menggunakan bunyi-
bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Akan tetapi
3
menggunakan alat-alat/tanda misalnya dengan gerakan jari tangan,
ekspresi wajah, menggunakan benda-benda tertentu.
Perlu pula diketahui bahwa tidak semua ujaran atau bunyi bahasa
yang dihasilkan alat ucap manusia dapat dikatakan bahasa, karena ujaran
dapat dikatakan sebagai bahasa apabila mengandung makna. Perhatikan
kata [sedih], [rumah], [lari], adalah contoh kata yang mempunyai makna
dan dapat disebut bahasa. Lain halnya [isedh], [muhra], merupakan contoh
bunyi yang tidak bermakna atau bukan bahasa.
Setiap struktur bunyi ujaran tertentu akan mempunyai arti tertentu
pula. Kesatuan-kesatuan arus ujaran yang mengandung suatu makna
tertentu, mengikuti gelombang ujaran sesuai kaidah, secara bersama-sama
membentuk perbendaharaan kata dari suatu masyarakat bahasa yang telah
membentuk relasi antar anggota-anggota masyarakat.
Sifat-sifat Bahasa
Bahasa sebagai alat komunikasi, memiliki beberapa sifat, Santoso
(Paisal, 2009) antara lain: (a). Sistematik, (b). Mana suka, (c). Ujaran, (d).
Manusiawi, dan (e). Komunikatif.
Bahasa dikatakan bersifat sistematik maksudnya bahwa bahasa
memiliki pola dan kaidah yang harus ditaati agar dapat dipahami oleh
pemakainya. Bahasa diatur oleh dua sistem yaitu sistem bunyi dan sistem
makna.
Bahasa dikatakan mana suka maksudnya bahwa bahasa disebut
mana suka karena unsur-unsur bahasa dipilih secara acak tanpa dasar.
Contoh, kata lemari, pintu, batu, halaman, dsb. Kata-kata tersebut tidak
ada hubungan logis antara bunyi dan makna yang disimbolkannya. Bukan
pula atas dasar kriteria dan standar tertentu, akan tetapi unsur-unsur
bahasa dipilih secara mana suka. Demikian pula bahasa disebut ujaran
karena bentuk dasar bahasa adalah ujaran dan media bahasa adalah bunyi.
Bahasa disebut bersifat manusiawi karena bahasa dapat berfungsi selama
manusia memanfaatkannya. Adapun bahasa disebut bersifat komunikatif
karena fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat
penghubung antara anggota-anggota masyarakat.

B. Bahasa Siswa Sekolah Dasar (SD)


Bertambahnya usia anak berarti bertambah pula kemampuan
berbahasanya. Bayi yang baru lahir belum dapat berbuat apa-apa kecuali
hanya dapat meronta dan menangis jika basah, lapar atau sakit. Ketika
usianya tiga minggu, ia mulai tersenyum dan pada usia dua atau tiga bulan
4
ia mulai mengeluarkan bunyi-bunyi vokal. Kira-kira pada usia enam bulan ia
mulai memperlihatkan reaksi terhadap rangsangan yang diberikan dan mulai
mengucapkan suku-suku kata secara spontan dan tak lama kemudian
meraban. Menjelang usia satu tahun, biasanya ia sudah memahami beberapa
nama benda dan dapat mengucapkan kata-kata seperti papa, mama, baba dan
sebagainya. Setelah berumur satu tahun, ia pandai membuat kalimat satu kata.
Pada usia menjelang dua tahun ia sudah dapat membuat kalimat
dua kata. Perkembangannya berlangsung cepat. Demikian pula kosa
katanya bertambah dengan pesat, demikian pula kemampuannya dalam
membuat kalimat yang lebih panjang. la sering kali mencoba menggunakan
kata-kata baru, meniru orang dewasa. Pada usia prasekolah ia mulai
menguasai bahasa ibunya sebagaimana bahasa orang dewasa di sekitarnya.
Masa bayi dan masa prasekolah merupakan waktu yang paling
penting dalam perkembangan seseorang untuk belajar bahasa. Masa itu
disebut usia keemasan untuk belajar berbahasa. Karena itu, peranan para
orang tua sangat diperlukan dalam membantu perkembangan tersebut
dengan sebaik-baiknya. Jika kesempatan itu terlewati dengan sia-sia,
maka hilanglah peluang anak untuk menguasai bahasanya dengan baik.
Dari uraian di atas jelas bahwa pada saat anak memasuki Sekolah
Dasar (SD), ia telah siap menerima informasi dalam bahasa yang
dikuasainya. Oleh karena itu, penggunaan bahasa daerah dibolehkan sebagai
bahasa pengantar pada pengajaran di kelas I, II, III sekolah dasar yang
terletak di pelosok desa.

C. Permasalahan Bahasa pada Awal Masa Sekolah


Sekolah merupakan dunia baru bagi anak. Sebagian anak
menunggunya dengan tidak sabar dan penuh kegembiraan; sebagian lagi
menghadapinya dengan rasa cemas serta keraguan. Bagi peserta didik yang
telah melalui pendidikan prasekolah misalnya taman kanak-kanak (TK) atau
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tentulah mereka lebih siap belajar.
Sementara itu, tidak semua anak Indonesia mempunyai kesempatan untuk
mengenyam pendidikan prasekolah tersebut. Sejauh ini sebagian besar
TK/PAUD berada di perkotaan dan pada umumnya anak-anak dari tingkat
sosial-ekonomi kelas menengah ke atas yang mampu membayar biaya
pendidikan. Padahal yang lebih memerlukan pendidikan prasekolah justru
anak-anak desa dan anak dari masyarakat yang kurang mendapat rangsangan
yang cukup baik secara intelektual maupun emosional. Pengalaman
prasekolah memengaruhi kemampuan peserta didik dalam belajar di sekolah.
5
Berkaitan dengan masa tersebut, ada lima permasalahan yang yang
dihadapi guru dalam menghadapi anak pada awal masuk sekolah antara
lain:
1. Memulai bersekolah bagi anak berarti memasuki lingkungan sosial
baru. Anak telah mampu berkomunikasi dengan orang tua atau
anggota keluarganya sendiri, namun ia belum mempunyai pengalaman
dengan teman-teman barunya yang mungkin berasal dari lingkungan
dan taraf sosial ekonomi yang berbeda.
2. Ada kalanya anak-anak masih menggunakan bentuk bahasa kanak-
kanak yang hanya dipahami oleh orang tuanya. Kata-kata tersebut
dalam "bahasa sekolah" berasosiasi dengan kata-kata yang
dianggap tabu di rumah. Hal-hal di atas menyulitkan timbulnya
kesiapan membaca.
3. Mungkin pula anak belum dapat mengucapkan beberapa bunyi
dengan betul.
4. Anak tidak memahami bahasa guru. Kata-kata yang digunakan oleh
guru banyak yang masih asing dan kerapkali juga sulit diucapkan,
karena kata-kata tersebut tidak pernah digunakan di rumah.
5. Di rumah atau di tempat bermain anak menggunakan bahasa yang
tidak baku/tidak resmi dalam situasi yang bebas dan santai. Beberapa
penulis mengemukakan bahwa di dalam sehari anak menggunakan
sekitar tiga puluh ribu kata dalam situasi tersebut. Sementara itu
kegiatan di sekolah lebih bersifat formal dengan berbagai keterbatasan
dan aturan. Tidaklah terlalu mudah mengalihkan anak dari situasi
bebas, santai, dan tidak resmi kepada situasi terbatas yang resmi.
Permasalahan itulah yang harus dihadapi guru SD, terutama di
kelas-kelas permulaan. Untuk mengatasinya guru harus memiliki
pengetahuan tentang anak-anak, kesabaran, ketekunan, dan pengabdian
yang dilandasi rasa kasih sayang. Guru harus dapat menciptakan situasi
yang dapat menumbuhkan kegairahan belajar. Dalam hal ini tidak tepatlah
sikap guru yang menuntut anak duduk diam tangan dilipat dan diletakkan di
atas meja serta kaki rapat dengan sangat tertib.

LATIHAN
Untuk memantapkan pemahaman, kemukakanlah satu contoh
kesulitan yang dihadapi guru kelas I di daerah masing-masing.
Bagaimana mengatasinya?

6
D. Proses Pemerolehan Bahasa
Waktu Pemerolehan Bahasa Dimulai
Kapan sebenarnya anak mulai berbahasa? Atau kapan anak memeroleh
bahasa pertama (B1). Karena berbahasa mencakup komprehensi maupun
produksi maka sebenarnya anak sudah mulai berbahasa sebelum dia dilahirkan.
Melalui saluran intrauterine anak telah terekspos pada bahasa manusia
waktu dia masih janin (Kent dan Miolo 1996: 304). Kata-kata dari ibunya tiap
hari dia dengar dan secara biologis kata-kata itu '`masuk" ke janin. Kata-
kata ibunya ini rupanya "tertanam" pada janin anak. Itulah salah satu
sebabnya mengapa di mana pun anak selalu lebih dekat pada ibunya
daripada ayahnya. Seorang anak yang menangis akan berhenti
menangisnya bila digendong oleh ibunya. Cara-cara lain juga dipakai
seperti pengukuran detak jantung yang bertambah atau menurun waktu
sebelum/sesudah diperdengarkan musik atau bunyi-bunyi tertentu.
Pemerolehan bahasa dimulai sejak bayi masih berada dalam
kandungan. Sang ibu bisa mengajak bayi berkomunikasi tentang hal yang
positif. Kontak batin antara ibu dan janin akan tercipta dengan baik bila
kondisi psikhis ibu dalam keadaan stabil. Keharmonisan yang terjalin lewat
komunikasi bisa memengaruhi kejiwaan anak. Orang tua bisa mengajak anak
bercerita tentang kebesaran Sang Pencipta dan alam ciptaan-Nya;
mengenalkannya pada kicau burung, kokok ayam, rintik hujan, desir angin;
memperdengarkan Kalam Ilahi atau membacakan kisah-kisah bijak.
Pemerolehan bahasa meskipun dengan landasan filosofis yang
mungkin berbeda-beda, pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan
bahwa anak di mana pun juga memeroleh bahasa ibunya dengan
menggunakan strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi
oleh biologi dan neurologi manusia yang sama tetapi juga oleh
pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali
dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa
juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah
mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan
anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta
kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola
lampu tertentu menyala. Maksudnya adalah bahasa mana dan wujudnya
seperti apa ditentukan oleh lingkungan sekitarnya.
Istilah pemerolehan bahasa mengacu pada penguasaan bahasa secara
tidak disadari dan tidak terpengaruh oleh pengajaran bahasa tentang sistem
kaidah dalam bahasa yang dipelajari. Dengan demikian pemerolehan bahasa
7
adalah proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara
verbal. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan dari hasil kontak verbal
dengan penutur asli lingkungan bahasa itu. Jika anak memeroleh bahasa
pertama (B1) atau bahasa ibu secara alamiah secara tidak sadar di
lingkungan keluarga pengasuh anak-anak tersebut, maka selanjutnya anak
akan mengalami proses pemerolehan bahasa kedua (B2) melalui
pembelajaran bahasa. Namun perlu hati-hati dalam penggunaan istilah
bahasa ibu karena banyak kasus terjadi di kota besar yang multilingual.
Bahasa ibu atau bahasa pertama anak adalah bahasa Indonesia, bukan
bahasa yang digunakan oleh orang tua mereka. Jadi lebih tepat jika
digunakan istilah bahasa pertama dan bahasa kedua. Yang dimaksud bahasa
ibu sebenarnya adalah “bahasa asuh” yang digunakan seorang ibu ketika
berkomunikasi dengan anaknya sejak lahir atau masa paling dini.

Strategi Pemerolehan Bahasa anak dapat dilakukan dengan:


• Peniruan; meniru bahasa yang digunakan oleh ibu, pengasuhnya.
• Pengalaman langsung: Setiap pengalaman indrawi yang dialami
anak, terekam dalam benaknya. Pada tahap awal belajar bahasa,
anak mulai membangun pengetahuan tentang kombinasi bunyi-bunyi
tertentu yang menyertai dan merujuk pada sesuatu yang dia alami.
Ingatan ini akan semakin kuat, terutama bila penyebutan akan benda
atau peristiwa tertentu terjadi berulang-ulang. Dengan cara ini anak
akan mengingat kata-kata tentang sesuatu sekaligus mengingat pula
cara mengucapnya.
• Mengingat; memainkan peranan penting dalam belajar bahasa anak
atau belajar apa pun, karena anak mengingat tentang pengalaman
langsung yang telah dialaminya.
• Bermain; Dalam kegiatan bermain, anak-anak merasa senang
bermain peran yaitu memerankan perilaku orang dewasa atau
perilaku orang lain yang ada di sekitarnya.
• Penyederhanaan; maksudnya adalah bahwa ketika berbicara anak-
anak pada awalnya cenderung menyederhanakan model tuturan
orang dewasa. Ada beberapa fonem bahkan kata yang dihilangkan
pada saat bertutur. Walaupun dalam bertutur, anak-anak hanya
menggunakan satu kata tetapi memiliki cakupan makna yang luas
(Tarigan dkk...1998)
Bahasa mempunyai tiga komponen utama, yakni, fonologi,
sintaksis, dan semantik, oleh sebab itu pembahasan juga terbagi menjadi tiga.
8
Di samping itu, ada bahasan pula mengenai pemerolehan pragmatik, yakni,
bagaimana anak memroleh kelayakan dalam berujar.

1. Pemerolehan dalam Bidang Fonologi


Manusia ketika baru lahir, hanya memiliki sekitar 20% dari otak
dewasanya. Berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar
70%. Karena perbedaan inilah maka binatang sudah dapat melakukan
banyak hal segera setelah lahir, sedangkan manusia hanya bisa
menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Adanya perbedaan
proporsi ini sejalan dengan pertumbuhan otak dengan pisiknya.
Pada umur sekitar 40 hari, anak mulai mengeluarkan bunyi-
bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal namun belum
jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing,
yang telah diterjemahkan menjadi dekutan (Dardjowidjojo 2000: 63).
Anak mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas
identitasnya.
Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mengeluarkan bunyi
konsonan dengan vokal yang dalam bahasa Inggris disebut
babbling, yang telah diterjemahkan menjadi celotehan (Dardjowidjojo
2000: 63). Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti oleh
sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial
hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. Dengan demikian,
strukturnya adalah CV
Ciri lain dari celotehan adalah bahwa CV ini kemudian diulang
sehingga muncullah struktur seperti berikut:
C1, V1, C1, V1, C1, V1, .., papapa mamama bababa ...
Celotehan seperti itu akhirnya orang tua kemudian mengaitkan "kata"
papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang ada di
benak anak tidaklah kita ketahui; tidak mustahil celotehan itu hanyalah
sekedar latihan artikulatori belaka (lihat Jakobson 1971; Ingram 1990;
Gass dan Selinker 2001). Konsonan dan vokalnya secara gradual
berubah sehingga muncullah kata-kata seperti dadi, dida, tita, dita,
mama, mami, dsb.
Anak umur sekitar 1 tahun, kata sudah mulai muncul. Pada
Echa (Dardjowidjojo 2000), Seperti kata sepeda dikatakan /da/. Anak
cenderung memperhatikan suku akhir dari kata yang diucapkan.
Konsonan pada akhir kata sampai dengan umur sekitar 2;0 banyak
yang tidak diucapkan sehingga mobil akan diujarkan sebagai /biI/.
9
Sampai sekitar umur 3;0 anak belum dapat mengucapkan gugus konsonan
sebagai contoh kata (Eyang) Putri akan disapanya dengan Eyang /ti/.
Anak mula-mula menguasai bunyi konsonan bilabial dengan vokal
/a/, kemudian alveolar dan velar. Pada umur sekitar 2:6 kata Farah
masih diucapkan sebagai /Fa-ah/ atau nenek /nek/. Sekalipun dipaksa untuk
mengatakannya dengan benar, Echa berkata "Ndak bisa, ”Bunyi /r/. Dan
biasanya muncul pada Echa saat dia berumur 4;9.
Sekalipun demikian, yang perlu dipahami bahwa patokan
tahun penguasaan kata atau bunyi tertentu sangat relatif. Ukuran
tidak boleh tahun kalender tetapi harus tahun neurobiologis, artinya,
pada tahap perkembangan neurobiologi mana seorang anak dapat
mengucapkan bunyi-bunyi tertentu. Karena biasanya Si adik malah telah
dapat mengucapkan bunyi /r/ pada umur 3;0. Jadi, yang universal itu bukan
tahunnya tetapi urutan pemunculan bunyi-bunyi itu.

2. Pemerolehan dalam Bidang Sintaksis


Kapankah seorang anak dapat mengucapkan satu kata (atau
bagian kata)? Jika anak sudak dapat mengucapkan satu kata berarti
sebenarnya bagi anak telah menguasai kalimat penuh, tetapi karena dia
belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil
satu kata dari seluruh kalimat itu. Sebagai contoh kalimat Reny mau
duduk, maka dia akan mengatakan /Ni du’/
Dari segi sintaksisnya, Ujaran Satu Kata sangatlah sederhana
karena memang hanya terdiri dari satu kata saja; bahkan untuk bahasa
seperti bahasa Indonesia hanya sebagian saja dari kata itu. Namun dari
segi semantiknya, anak yang mengatakan /eka/ untuk boneka bisa
bermaksud mengatakan:
a. Ma, itu boneka.
b. Ma, ayo lihat bonekal.
c. Aku mau beli bonekal.
d. Aku mau bermain boneka.
e. Aku tidak suka boneka
f. Ini bonekaku, dsb
Ujaran Satu Kata (USK) yang mempunyai berbagai makna ini
dinamakan ujaran holofrastik (holophrastic). Di samping ciri ini, USK
juga mempunyai ciri-ciri yang lain. Pada awalnya USK hanya terdiri
dari CV saja. Bila kata itu CVC maka C yang kedua dilesapkan. Pada
perkembangannya kemudian, konsonan akhir ini mulai muncul. Pada
10
umur 2;0, misalnya, Echa menamakan ikan sebagai /tan/, persis sama
dengan kata untuk bukan. Demikian seterusnya hingga Ucapan Dua
Kata, Tiga Kata, dst.

Bentuk Tata bahasa pada Anak


Pada bahasa-bahasa seperti bahasa Indonesia, di mana bentuk
pasif sangat dominan, anak sering mendapat masukan yang berupa
kalimat pasif dan karenanya membentuk pula pola kalimat pasif jauh
lebih awal daripada anak Inggris (Dardjowidjojo 2000: 136).
Menjelang umur 4;0 anak sudah mulai memakai kalimat komplek.

3. Pemerolehan pada Bidang Leksikon


Sebelum anak dapat mengucapkan kata, dia memakai cara lain
untuk berkomunikasi: dia memakai tangis dan gestur (gesture,
gerakan tangan, kaki, mata, mulut, dsb). Pada mulanya kita
kesukaran memberi makna untuk tangis yang kita dengar tetapi
lama-kelamaan kita tahu pula akan adanya tangis-sakit, tangis-
lapar, dan tangis-basah (pipis/eek). Pada awal hidupnya anak
memakai pula gestur seperti senyum dan juluran tangan untuk
meminta sesuatu. Dengan cara-cara seperti ini anak sebenarnya
memakai "kalimat" yang protodeklaratif dan protoimperatif (Gleason
dan Ratner 1998: 358).

Penguasaan kata
Kata-kata apa yang akan diperoleh anak pada awal ujarannya
ditentukan oleh lingkungannya. Pada anak yang berasal dari golongan
menengah dan terdidik yang tinggal di kota dan cukup mampu untuk
membelikan bermacam-macam mainan, buku gambar, dan di rumahnya
juga terdapat alat-alat elektronik, orangtuanya juga mempunyai waktu
untuk membawanya bermain di Mall, bergaul banyak dengan anaknya,
maka anak akan memeroleh kata-kata nomina yang lebih sesuai dengan
apa yang pernah didengar dan dilihatnya. Demikian pula untuk verba juga
akan diperoleh verba seperti perkembangan yang diperoleh sesuai
lingkungannya.

E. Perkembangan Bahasa Anak Usia SD


Perkembangan bahasa berjalan terus sepanjang hayat, meskipun
sudah dewasa atau tidak bersekolah lagi. Bayi mulai memeroleh bahasa
11
ketika berumur kurang dari satu tahun sebelum dapat mengucapkan satu kata.
ereka memperhatikan muka orang dewasa dan menanggapinya, meskipun
tentu saja belum menggunakan bahasa dalam arti yang sebenarnya. Mereka
juga dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa. (Eimas Lewat
Gleason, 1985: 2).
Ketika bayi berumur satu tahun, mulailah mengoceh, bermain dengan
bunyi seperti halnya ketika bermain dengan jari-jari tangan dan jari kakinya.
Kemampuan berbicara anak-anak sedunia mulai pada umur yang hampir
sama dan dengan arah yang hampir sama pula. Perkembangan bahasa pada
priode ini disebut pralinguistik (Gleason, 1985: 3}
Selanjutnya, pada saat bayi mulai dapat mengucapkan beberapa kata,
perkembangan bahasa mereka juga memiliki ciri universal. Bentuk ucapan
yang digunaan hanya satu kata, kata-katanya sederhana yaitu yang mudah
diucapkan dan memiliki arti konkrit. Kata-kata tersebut adalah nama benda,
kejadian atau orang yang ada di sekitar anak, misalnya mama, papa, meong,
dll. Perkembangan fonologis mulai tampak pada priode umur ini, demikian
juga perkembangan semantik yaitu pengenalan makna oleh anak.
Kira-kira anak berumur dua tahun, setelah mengetahui kurang lebih
lima puluh kata, kebanyakan anak mulai mencapai tahap kombinasi dua kata
. Kata-kata yang diucapkan ketika menapai tahap satu kat dikombinasikan
dalam ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan atau bentuk lain yang
seharusnya digunakan. Di samping itu, ana mulai dapat mengucapkan ,”Ma,
mimi” maksudnya “Mama, saya mau minum.” Pada tahap dua kata ini anak
mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak menggunakan bentuk
bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya
peristiwa. Selanjutnya anak mulai dapat membuat kalimat pendek.
Pada waktu mulai masuk taman kanak-kanak, anak telah memiliki
sejumlah besar kosa kata. Mereka dapat membuat pertanyaan-pertanyaan
negatif, kalimat majemuk, dan berbagai bentuk kalimat. Mereka memahami
kosa kata lebih banyak. Mereka dapat bergurau, bertengkar dengan temannya
dan berbicara dengan orang tua dan guru mereka (Zuhdi dan Budasih,
1996:5).
Selama usia SD, anak diharapkan pada tugas utama mempelajari
bahasa tulis. Hal ini hampir tidak mungkin kalau belum menguasai bahasa
lisan . Perkembangan bahasa anak pada priode usia SD ini meningkat dari
bahasa lisan ke bahasa tulis. Kemampuan mereka menggunakan bahasa
berkembang. Masa usia sekolah dasar disebut juga masa intelektual, karena

12
keterbukaan dan keinginan anak untuk mendapatkan pengetahuan dan
pengalaman. Beberapa sifat khas anak pada usia ini adalah sebagai berikut:
1. Keadaan jasmani tumbuh sejalan dengan prestasi sekolah.
2. Sikap tunduk kepada peraturan permainan yang tradisional.
3. Ada kecendrungan suka memuji diri sendiri.
4. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu
menguntungkan.
5. Kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggapnya
tidak penting.
6. Pada masa ini anak menghendaki nilai yang baik tanpa mengingat apakah
prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
7. Minat kepada kehidupan praktis sehari-hari.
8. Realistis dan ingin tahu.
9. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal mata pelajaran-
mata pelajaran khusus.
10. Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan pengajar atau
orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya.
11. Setelah umur 11 tahun umumnya anak-anak beruaha menyelesaikan
tugasnya sendiri.
Rubin Dorothy dalam Teaching Elementary Language Arts An
Integrated Approach, yang diadaptasi oleh Aminuddin (1997:3) memaparkan
perkembangan anak mulai sejak lahir sampai masuk di kelas awal SD (6 th =
72 bulan) sebagai berikut:

USIA TAHAP KARAKTERISTIK


Bunyi lisan, babling, misalnya ma-ma-ma,
0 – 1 th Random pemerolehan bunyi dalam bentuk kata-kata
tertentu secara tetap.
Menggunakan kata sebagai kalimat untuk
1 – 2 th Unitari menyampaikan keinginn tertentu, misalnya
“makan” untuk “Saya ingin makan.”
Kata-kata pivot, misalnya, main bola, main
2 – 4 th Perluasan kuda. Anak juga mulai menghasilkan kata-kata
yang dianjurkan dalam kesatuan misalnya
“yatadi rimen” untuk “Saya tadi diberi
permen.”
Penguasaan kosa katanya berkembang sesuai
4 – 5 th Struktural bentukan lingkungannya. Anak juga sudah
menguasai struktur kalimat SPO yang seara
13
umum digunakan untuk menyatakan sesuatu
seperti: “Saya makan nasi.” Pada tahap ini
kadang kala anak menggunakan kalimat yang
tidak gramatikal “Pergi jangan dia.”
Anak dapat menggunakan kalimat untuk
5 – 6 th Otomatik maksud tertentu secara otomatis. Anak juga
dapat mengoreksi kesaahan tuturannya namun
belum mampu memberi alasannya. Juga anak
sudah dapat menginternalisasikan berbagai
sistem dan kaidah kebahasaan sesuai dengan
lingkungannya.
Anak mampu menggunakan kata-kata yang
6 th Kreatif pengertiannya abstrak, menyusun konsep,
mengemukakan pendapat. Perkembangn bahasa
anak terus berkembang sesuai dengan daya
kreativitas yang dibentuk oleh kebiasaan
membaca, mendengar, wicara, dan menulis
yang dilakukannya dari hari ke hari.

Dalam perkembangan bahasa seperti di atas, anak menempuhnya


melalui asosiasi: membayangkan hubungan kata dengan objek yang diamati,
imitasi: menirukan dan mengulang sendiri penggunaan kata-kata
sebagaimana tergambar dalam pikirannya. Gejala seperti itu ada yang
menyebut “kegilaan” karena anak suka berbicara sendiri yang sebenarnya tak
perlu ditanggapi, elaborasi: perluasan penggunaan kata dan struktur kalimat
secara coba-coba, dan pemberian renforcement, perhatian dan tanggapan
positif orang dewasa, misalnya anak disuruh berlatih melafalkan “orang itu
baik” bukan “olang itu baik”, apabila bias digendong di halaman rumah.
Perkembangan bahasa erat hubungannya dengan kemampuan
berpikir. Piaget, dan Vygotsky telah mengemukakan teori perkembangan
kognitif paling konprehensif (Athey lewat Ross dan Roe, 1990: 36). Menurut
Vygotsky, bahasa merupakan dasar bagi pembentukan konsep dan pikiran;
kemampuan berpikir tak mungkin terjadi tanpa menggunakan kata untuk
mengungkapkan pikiran, dan bahasa diperlukan untuk tiap jenis kegiatan
belajar. Sedang Piaget mengatakan bahwa bahasa itu penting untuk beberapa
jenis kegiatan belajar tetapi tidak untuk semua kegiatan belajar. Piaget yakin
bahwa perkembangan kognitif anak mendahului perkembangan bahasanya.
Piaget menawarkan empat fase perkembangan kognotif:
sensoromotori, praoperasional, operasi konkrit, dan operasi formal.
Kebanyakan pembelajaran bahasa terjadi pada akhir fase sensorimotor dan

14
selama fase praoperasional. Pada fase itu anak memroleh bahasa dengan
cepat (Bewall dan Straw, lewat Ross dan Roe, 1990: 37) menyimpulkan
bahwa ada kesenjangan antara fase perkembangan menurut Piaget tersebut
dengan fase perkembangan bahasa. Perbandingan perkembangan kognitif
menurut Piaget dan perkembangan bahasa dapat dilihat pada figure berikut
(Ross dan Roe, 1990: 38).

PERKIRAANFASE PERKEMBANGAN FASE PERKEM-


USIA KOGNITIF BANGAN
BAHASA
0 – 2 th Sensorimotor: Fonologis: Anak
anak memanipulasi bermain dengan
objek di lingkungannya dan mulai bunyi bahasa mulai
membentuk konsep. mengoceh sampai
menyebutkan kata-
kata sederhana.
2 – 7 th Praoperasional: sintaktik:
Anak memahami pikiran simbolik tetapi belumAnak
berpikir
menunjukkan
logis kesadaran gramatis:
berbicara
menggunakan
kalimat.
7 – 11 th Operasional konkret: Semantik: anak
anak dapat berpipikir logis dapat membedakan
kata sebagai simbol
dan konsep yang
terkandung dalam
kata.
11-12/18 th Operasional formal: memahami dan
anak mampu berpikir abstrak dapat menarik
dan logis dengan menggunakan pola pikir kesimpulan
“kemungkinan”

Pada priode usia sekolah, perkembangan bahasa paling jelas tampak


adalah perkembangan semantik dan pragmatik disbanding perkembangan
fonologis, morfologis dan sintaksis. Di samping memahami bentuk baru,
anak belajar menggunakannya untuk berkomunikasi secara efektif (Obler,
1985 lewat Owens 1992: 355). Selain itu, kemampuan metalinguistik
(kesadaran yang memungkinkan penggunaan bahasa untuk berpikir tentang
bahasa dan menggalakkan refleksi) juga semakin berkembang. Kemampuan
15
tersebut tercermin dalam perkembangan kemampuan membaca dan menulis
(Owens, 1992: 335).
Membaca dan menulis memerlukan perubahan pokok dalam
penggunaan bahasa. Bahasa baku atau teks menjadi lebih penting dari pada
bahasa untuk hubungan sosial dan antar pribadi, yakni anak dituntut dapat
menggunakan kata-kata dengan makna yang tepat. Anak Indonesia yang
kebanyakan mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua mungkin
tidak mudah menghadapi hal ini.
Berikut ini akan diuraikan secara luas tentang perkembangan bahasa
anak SD yang meliputi perkembangan: fonologis, morfologis, sintaksis, dan
semantik/ kosa kata dan pragmatik serta perkembangan lainnya.
a. Perkembangan Fonologis
Anak telah menguasai sejumlah fonem/ bunyi bahasa sebelum masuk
SD, tetapi masih ada beberapa fonem yang sulit diucapkan dangan tepat.
Menurut Woolfolk (1990: 69) sekitar 10% anak umur 8 tahun masih
mempunyai masalah dengan bunyi s, z, v. Hasil penelitian Budiasih dan
Zuhdi (1995: 29) menunjukkan bahwa anak kelas dua dan tiga melakukan
kesalahan pengucapan f, sy, dank s diucapan p, s, k. Tompkins !991: 13) juga
menyatakan bahwa ada sejumlah bunyi bahasa yang belum diperoleh nak
sampai menginjak usia kelas awal SD, khususnya bunyi tengah dan akhir,
misalnya v, zh, sh, ch. Bahkan pada umur 7 atau 8 tahun anak masih
membuat bunyi pengganti pada bunyi konsonan kluster.
Kaitannya dengan anak Indonesia pun diduga mengalami kesulitan
dalam pengucapan r, z, v, f, kh, sh, sy, x, dan bunyi kluster misalnya str, pr,
pada kata struktur dan pragmati. Di samping itu anak SD bahkan orang
dewasa kadang kala ada yang kesulitan mengucapkan bunyi kluster pada kata
komplek dan administrasi. Agar hal tersebut tidak terjadi, sejak di SD anak
perlu dilatih mengucapkan kata-kata tersebut.

b. Perkembangan morfologis
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek fonologi yang
kompleks. Hal ini satu kata dapat berubah makna karena proses afiksasinya
(prefiks, sufiks, similfiks) berubah-ubah. Misalnya kata satu dapat berubah
menjadi: bersatu, menyatu kesatu, satuan, satukan disatukan, persatuan,
kasatuan, kebersatuan, mempersatukn, dst. Zuhdi dan Budiasih (1996: 15)
menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfem mula-mula bersifat
16
hafalan. Hal ini kemudian diikuti dengan membuat simpulan secara kasar
tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya anak membentuk kaidah.
Proses yang rumit ini dimulai pada priode prasekolah dan terus berlangsung
sampai pada masa adolosen.
Berdasarkan kerumitan afiksasi terseut perkembangan morfologis
atau kemampuan menggunakan morfem / afiks anak SD dapat diduga sebagai
berikut:
1. Anak kelas awal SD telah dapat menggunakan kata berprefiks dan
bersufiks seperti melempar dan makan.
2. Anak kelas menengah SD telah dapat menggunakan kata berimbuhan
simulfiks/ konfiks sederhana seperti menjauhi, disatukan.
3. Anak kelas atas SD telah dapat menggunakan kata berimbuhan konfiks
yang sudah kompleks misalnya diperdengarkan, memberlakukan dalam
bahasa lisan atau tulisan. (Khalik, 1997: 4)

c. Perkembangan Sintaksis
Dilihat dari segi frase, menurut Budiasih dan Zyhdi (1996) bahwa
frase verba lebih sulit dikuasai oleh anak SD dibanding dengan frase nomina
dan frase lainnya. Kesulitan ini mungkin berkaitan dengan perbedaan bentuk
kata kerja yang menyatakan arti berbeda. Misalnya ditulis, menuliskan,
ditulisi dan seterusnya.
Dari segi pola kalimat lengkap, anak kelas awal cenderung
menggunakan struktur sederhana bila berbiara. Mereka sudah mampu
memhami bentuk yang lengkap namun belum dapat memahami bentuk
kompleks seperti kalimat pasif. (Wood dalam Crown, 1992: 70). Menurut
Emingran (1975) siswa kelas atas SD menggunakan struktur yang lebih
kompleks dalam menulis dari pada dalam berbicara (Tompkins, 1989: 13).
Pada umumnya anak SD mengenal pasif dari preposisi “oleh”
misalnya “buku itu dibeli oleh Ali”. Dengan emikian kalimat pasif yang tidak
disertai kata “oleh” merea menganggapnya bukan kalimat pasif, misalnya
“Saya melempar mangga” (kalimat aktif) menjadi “Mangga saya
lempar”(kalimat pasif) bukan “Mangga dilempar oleh saya.”(salah).
Anak biasanya menggunakan kalimat pasif yang subjeknya dar kata
ganti/ dapat dibalik secara seimbang. Namun, anak sering mengalami
kesulitan dalam mebuat kalimat dan menafsirkan makna kalimat pasif yang
dapat dibalik (subjeknya bukan kata ganti). Menjelang umur 8 tahun mereka
mulai lebih banyak menggunakan kalimat pasif yang tidak dapat dibalik
(subjeknya kata ganti). Pada umur 9 tahun, anak mulai banyak menggunakan
17
bentuk pasif yang subjeknya dari kata ganti. Dan pada umur 11- 13 tahun
merea banyak menggunakan kalimat yang subjeknya dari kata ganti.
Penggunaan kata penghubung juga meningkat pada usia SD. Anak di
bawah umur 11 tahun sering menggunakan kata “dan”pada awal kalimat.
Pada umur 11- 14 tahun, penggunaan “dan” pada awal kalimat mulai jarang
muncul.
Anak sering mengalami kesulitan penggunaan kata penghubung
“karena” dalam kalimat seperti “Saya menghadiri pertemuan itu karena
diundang.” Anak SD bingung membedakan kata hubung “karena, dan, lalu”
dilihat dari segi urutan waktu kejadiannya. Yakni diundang dahulu baru pergi
ke pertemuan, Oleh karena itu kadang kala ada anak TK yang mengucaukan
“Saya sakit karena saya tidak masuk sekolah” padahal maksudnya “Saya
tidak masuk sekolah karena sakit” Pemahaman kata penghubung
“karena”baru mulai berkembang pada umur 7 tahun. Pemahaman yang benar
dan konsisten baru terjadi pada umur sekitar 10- 11 tahun.

d. Perkembangan Semantik
1). Perkembangan kosa kata
Selama priode usia sekolah dan dewasa ada dua jenis penambahan makna
kata. Secara horizontal, nak semakin mampu memahami dan dapat
menggunakan suatu kata dengan nuansa makna yang agak berbeda seara
tepat. Penambahan vertical berupa penambahan jumlah kata yang dapat
dipahami dan digunakan dengan tepat. Owens, 1992: 375).
Menurut Lindfors (1980) perkembangan semantik berlangsung
dengan sangat pesat di SD. Kosa kata anak bertambah sekitar 3000 kata per
tahun (dalam Topkins, 1989: 14) Sedang Barger (1986) menyatakan bahwa
antara 2-6 rata-rata anak mempelajari 6-10 kata per hari. Ini berarti bahwa
rata-rata anak umur 6 tahun mempunyai kata 8000- 14.000. Dan pada usia 9-
10 tahun sekitar 5000 kata baru dalam perbendaharaan kosa katanya
(Woolfol, 1990:70).
Menurut kurikulum 94, perbendaharaan kata siswa SD diharapkan lk.
6000 kata. Dengan demikian pendapat Berger di atas sangat tinggi. Pendapat
yang relatif mendekati harapan Kurikulum 94 adalah hasil temuan penelitian
Slegers (1940) bahwa rata-rata anak masuk kelas awal dengan pengetahuan
makna sekitar 2500 kata dan meningkat rata-rata 1000 kata per tahun di kelas
awal dan menengah SD dan 2000 kata di kelas atas sehingga perbendaharaan
kosakata siswa berjumlah 8500 di kelas VI (dalam Harris da Sipay, 1980:
449).
18
Kemampuan anak kelas rendah SD dalam mendefenisikan kata
meningkat dengan dua cara. Pertama, secara konseptual yakni dari definisi
berdasar pengalaman individu ke makna yang bersifat sosial atau makna
yang dibentuk bersama. Kedua, anak bergerak secara sintaksis dari definisi
kata-kata lepas ke kalimat yang menyatakan hubungan kompleks (Owens,
1992: 376).
Pengetahuan kosa kata mempunyai hubungan dengan kemampuan
kebahasaan secara umum. Anak yang menguasai banyak kosa kata lebih
mudah memahami wacana denganbaik. Selama priode usia SD, anak menjadi
semakin baik dalam menemukan makna kata berdasarkan konteksnya. Anak
usia 5 tahun, mendefinisikan kata secara sempit sedang anak berusia 11 tahun
membentuk definisi dengan menggabungkan makna-makna yang talah
diketahuinya. Dengan demikian definisinya menjadi lebih luas, misalnya
kucing ialah binatang yang biasa dipelihara di rumah-rumah penduduk.
Terakhir perkembangan kosa kata dilihat dari jenis kelamin berbeda.
Anak perempuan biasanya memilih kata yang lebih sopan atau lembut dan
menghindari kata-kata yang berisi umpatan. Sedang anak laki-laki cenderung
menggunakan kata yang berisi umpatan, seperti bedebah, sialan, dsb.(Bila
anak tersebut kurang didasari pendidikan keagamaan).
2). Perkembangan Bahasa Figuratif
Anak usia SD mengembangkan bahasa figurative yang
memungkinkan penggunaan bahasa secara kreatif. Bahasa figurative
menggunakan kata secara imajinatif, tidak secara literal atau makna
sebenarnya untuk menciptakan kesan emosianal, yang termasuk bahasa
figurative adalah (a) ungkapan misalnya: kepala dingin, (b) metafora ,
misalnya, :Suaranya membelah bumi” , (c) kiasan, misalnya, “Wajahnya
seperti bulan purnama.” (d) pribahasa, misalnya, “Menepuk air di ulang,
terpecik muka sendiri.”
Anak usia kelas awal dan menengah masih mengalami kesulitan
dalam memahami makna ungkapan. Mereka enderung memakainya secara ari
sebenarnya (denotative), misalnya ringan tangan diartikan tidak berat tangan.
Akan tetapi pada usia kelas 4-6, mereka telah memiliki kemampuan
pemahaman dan penggunaan ungkapan secara tepat dalam erkomunikasi.
Anak prasekolah biasanya menciptakan metafora dan kiasan, namun
hal ini tidak berarti mereka dapat menggunakan bahasa figurative. Kreativitas
anak keil dalam berbahasa disebabkan oleh keterbatasan penguasaan bahasa,
misalnya makna yang lebar seperti topi disebut juga topi. Setelah berumur
lebih dari 6 tahun, pengunaan metafora secara spontan dalam percakapan
19
manjadi berkurang. Penyebabnya adalah (a) anak telah memiliki sejumlah
kosa kata dasar, (b) adanya latihan berbahasa sesuai kaiah yang diberikan di
sekolah membatasi kreativitas.
Penggunaan metafora dan kiasan menurun pada usia 5-8 tahun,
namun pada usia 9 ke atas, anak mulai kembali meningkat penggunaan/
memahami metafora dan kiasan seiring dengan perkembangan kemampuan
kognitif/ psikologisnya. Anak tidak lagi memaknai bahasa figurative seara
literal tetapi konotatif, misalnya: meja hijau adalah bukan meja berwarna
hijau tetapi pengadilan.
Anak usia 6-8 tahun menafsirkan pribahasa secara denotatif / literal,
tetapi pada usia 9 tahun ke atas anak secara perlahan-lahan dapat memahami
penggunaan pribahasa secara tepat. Perkembangan ini bervariasi antara anak
yang satu dengan yang lainnya bergantung antara lain pada pengalaman
belajarnya, ketersediaan bacaan, lingkingan keluarga, dll.
Pembelajaran bahasa figuratif lebih mudah dipahami dalam konteks
daripada secara terpisah oleh anak. Makna bahasa figuratif disimpulkan anak
dari penggunaan baerulang-ulang dalam konteks yang berbeda. Kejelasan
metaforik yakni hubungan makna denotatif dengan makna konotatifnya
memudahkan penafsiran bagi siswa, misalnya tutup mulut lebih mudah
dipahami daripada makan hati.

e. Perkembangan Pragmatik
Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal
paling penting dibanding perkembangan aspek bahasa lainnya pada usia SD.
Hal ini pada usia prasekolah anak belum dilatih menggunakan bahasa secara
akurat, sistematis, dan menarik.
Berbicara tentang pragmatik ada 7 faktor penentu yang perlu
dipahami anak (1) kepada siapa berbicara, (2) untuk tujuan apa, (3) dalam
konteks apa, (4) dalam situasi apa, (5) dengan jalur apa, (6) melalui media
apa, (7) dalam peristiwa apa (Tarigan, 1990:321). Ketujuh faktor penentu
komunikasi tersebut berkaitan erat dengan fungsi (penggunaan) bahasa yang
dikemukakan oleh M.A.K. Halliday: instrumental, regulator,interaksional,
personal, imajinatif, heuristik, dan informative.
Pannel (1975) dalam penelitiannya tentang penggunaan fungsi bahasa
di SD kelas awal menemukan bahwa umumnya anak menggunakan fungsi
interaksonal (untuk berkomunikasi) dan jarang menggunakan fungsi
heuristic (menggunakan bahasa untuk mencari ilmu pengetahuan saat belajar
dan berbicara dalam kelompok kecil).
20
Dilihat dari perkembangan kemampuan bercerita, anak umur 6 tahun
sudah dapat bercerita secara sederhana tentang acara televisi/ film yang
mereka lihat. Kemampuan ini selanjutnya berkembang secara teratur dan
sedikit demi sedikit. Mereka belajar menghubungkan kejadian tetapi bukan
yang mengandung hubungan seba akibat. Kata penghubung yang digunakan:
dan, lalu.
Pada usia 7 tahun mulai dapat membuat cerita yang agak padu.
Mereka sudah mulai mengemukakan masalah, rencana mengatasi masalah
dan penyelesaian masalah tersebut meskipun belum jelas siapa yang
melakukannya.
Pada umur 8 tahun anak menggunakan penanda awal dan akhir erita,
misalnya, “Akhirnya mereka hidup rukun”. Kemampuan membuat alur cerita
yang agak jelas baru mulai diperoleh anak pada usia lebih dari 8 tahun. Paa
umur terseut barulah mereka dapat mengemukakan pelaku yang mengatasi
masalah dalam cerita. Anak-anak mulai dapat menarik perhatian pendengar
atau pembaca cerita yang mereka buat. Struktur cerita mereka semakin
menjadi jelas.
Kaitannya dengan gaya bercerita antara anak laki-laki dengan
perempuan memiliki perbedaan. Anak perempuan menganggap bahwa
peranannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator sehingga mereka
menggunakan cara yang tidak langsung dalam meminta persetujuan dan lebih
banyak mendengar, misalnya “Ibu tidak marah kan?”.Sedangkan anak laki-
laki menganggap dirinya sebagai pemberi informasi sehingga cenderung
memberitahu.
Anak laki-laki iasanya kurang berbicara dan lebih banyak berbuat
namun kadangkala bertindak keras dan percakapan digunakannya untuk
berjuang agar tidak dikuasai oleh anak lain atau kelompok lain, sedangkan
anak perempuan cenderung banyak bicara dengan pasangan akrabnya, dan
aling menceritakan rahasianya, masalah pribadinya dikemukakan pada teman,
dan temannya biasanya menyetujui dan dapat memahami masalah tersebut
(Owens, 1993: 31).

f. Perkembangan Membaca dan Menulis


1). Perkembangan Membaca
Pada awal anak belajar membaca, sebaiknya orang tua memperkenalkan
buku cerita kepada anak sedini mungkin. Buku yang digunakan adalah buku
bergambar yang berwarna-warni sehingga menarik perhatian anak. Pada
awalnya anak hanya memperhatikan gambar yang ada dalam buku, lama-
21
kelamaan bila orang tua sering membacakan cerita yang ada di samping
gambar tersebut, secara tak langsung mengajarkan kepada anak tentang
susunan ceritanya.
Dalam fase perkembangan, pramembaca yang terjadi sebelum umur 6
th, anak-anak mempelajari perbedan huruf dan angka yang satu dengan
lainnya lalu dapat mengenal setiap huruf dan angka. Umumnya anak dapat
mengenal nama jika ditulis. Biasanya, dengan belajar lewat lingkungan
misalnya tanda-tanda dan nama benda yang dilihatnya.
Pada fase ke-1, yaitu sampai kira-kira kelas dua, anak memusatkan
pada kata lepas dalam cerita sederhana. Supya dapat membaca, anak perlu
mengetahui sistem tulisan, cara mencapai kelancaran membaca, untuk itu
anak harus dapat mengintegrasikan bunyi dan tulisan.
Pada fase ke-2, kira-kira di kelas 3-4, anak dapat menganalisis kata
yang tidak diketahuinya meggunakan pola tulisan dan simpulan yang
didasarkan pada konteksnya. Pada fase ke-3, dari kelas 4- kelas 2 SLTP
tampaknya anak mengalami perkembangan pesat dalam membaca yaitu
tekanan membaca tidak lagi pada pengenalan tulisan tetapi pada pemahaman
(Owens, 1992: 400)
2)Perkembangan Menulis
Terdapat kesejajaran antara perkembangan kemampuan membaca dan
menulis. Pada umumnya anak yang baik menulisnya juga baik dalam
membaca, demikian pula sebaliknya. Proses menulis dekat dengan
menggambar dalam hal keduanya mewakili simbol tertentu. Namun menulis
berbeda dengan menggambar, dan hal ini diketahui oleh anak ketika berumur
sekitar 3 th (Gibson dan Levin, lewat Owens, 1992: 403).
Anak mulai menggambar lalu menulis cakar ayam barulah membuat
bentuk huruf. Mulanya anak sekolah menulis meskipun ia tidak mengetahui
nama huruf. Kata yang dikenalnya dengan baik, misalnya namanya sendiri
menolong anak belajar bahwa huruf yang berbeda melambangkan bunyi yang
berbeda.
Kesalahan ejaan banyak terjadi di kelas rendah SD yang bersifat
fonologis, yakni berupa penghilangan, penggantian, atau penambahan fonem,
khususnya bunyi kluster dan penggantian bunyi berdasarkan persamaan
fonologis (bawa diganti pawa). Mungkin ada persamaan dalam hal kesalahan
ejaan dan ucapan anak. Hal ini perlu diteliti.
Tentu saja menulis tidak hanya melibatkan ejaan. Anak yang baru
belajar menulis sering lupa akan kebutuhan pembaca. Anak umur 6 th kurang
sekali memperhatikan format, jarak tulisan, ukuran huruf, dan tanda baca.
22
Apabila salah satu segi diutamakan, segi yang lainnya memburuk. Misalnya
ketika anak mulai diajar menulis huruf latin (dari huruf cetak ke huruf latin),
ejaan dan struktur kalimat banyak yang salah. Terlepas dari kekurangan
tersebut cerita yang ditulis anak sering bersifat langsung dan sederhana tapi
cukup indah.
Anak kelas rendah SD belum memperhatikan pembaca, masih bersifat
egosentrik. Kira-kira ketika berada di kelas 3 dan 4 barulah terjadi perubahan.
Mereka mulai memperhatikan reaksi pembaca. Mereka mulai merevisi dan
menyunting tulisannya (Berlett, lewat Owens, 1992: 406). Hal ini
dipengaruhi oleh pengetahuan sintaktik yang mereka kuasai. Pada umumnya
pada priode usia SD terjadi perkembangan kemampuan menggunakan
kalimat dengan lengkap baik secara lisan maupun secara tertulis. Terjadi pula
peningkatan penggunaan klausa dan frase yang kompleks serta penggunaan
kalimat yang bervariasi.

23
BAB II
MATERI PEMBELAJARAN

Komponen pembelajaran yang perlu dipersiapkan sebelum mengajar


antara lain salah satunya menyusun materi ajar atau materi pembelajaran.
Adapun materi pembelajaran mencakup pengetahuan, keterampilan, dan
sikap atau nilai yang harus dipelajari oleh siswa dalam membantu mencapai
kompetensi yang telah ditetapkan..
Memilih dan menentukan materi pembelajaran untuk selanjutnya
disusun secara sistematis agar seoptimal mugkin membantu siswa dalam
mencapai kompetensi. Jenis materi pembelajaran mencakup pengetahuan
(fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, sikap atau nilai. Masalah-
masalah yang timbul berkenaan dengan pemilihan materi pembelajaran
menyangkut jenis, cakupan, urutan, dan perlakuan terhadap materi
pembelajaran tersebut. Jenis materi pembelajaran perlu diidentifikasi dengan
tepat karena setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi, media,
dan cara mengevaluasi yang berbeda-beda. Cakupan atau ruang lingkup serta
kedalaman materi perlu diperhatikan agar tidak kurang atau tidak lebih.
Materi yang memerlukan hafalan, pemahaman, dan aplikasi perlu dipilih
setepat mungkin agar tidak terjadi kekeliruan dalam mengajarkannya.
Demikian pula harus diperhatikan materi mana yang lebih dahulu diajarkan

A. Pengertian Materi Pembelajaran


Materi Pembelajaran merupakan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang harus diajarkan oleh guru dan dipelajari oleh siswa dalam rangka
mencapat kompetensi yang telah ditentukan. Sebagaimana telah
dikemukakan bahwa jenis-jenis materi pembelajaran terdiri atas: fakta,
konsep, prinsip, prosedur, dan sikap atau nilai. Termasuk materi fakta adalah
nama-nama objek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, dan
sebagainya. Termasuk materi konsep adalah pengertian, definisi, ciri khusus,
komponen atau bagian suatu objek. Termasuk materi prinsip adalah dalil,
rurnus, adagium, postulat, teorema atau hubungan antarkonsep yang
menggambarkan "jika..maka misalnya "Jika logam dipanaskan, maka akan
memuai". Prosedur adalah langkah-langkah secara sistematis atau berurutan
dalam mengerjakan suatu tugas. Misalnya, langkah-langkah menulis
karangan, menyusun rencana pembelajaran, dan sebagainya. Sikap atau nilai
merupakan hasil belajar aspek afektif, misalnya nilai kejujuran, kasih sayang,
aktif bertanya, menghargai pendapat teman, dan sebagainya.
24
Materi pembelajaran harus diajarkan dan dipelajari siswa sebagai
sarana pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan
dinilai dengan menggunakan instrumen penilaian yang disusun berdasarkan
indikator pencapaian hasil belajar.

B. Prinsip-Prinsip Penyusunan Materi Pembelajaran


Beberapa prinsip yang pertu diperhatikan dalam penyusunan materi
pembelajaran yaitu prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan. Prinsip
retevansi artinya adanya keterkaitan materi pembelajaran dengan pencapaian
standar kompetensi dan kompetensi dasar. Jika kemampuan yang diharapkan
dikuasai siswa berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang
diajarkan harus berupa fakta.
Prinsip konsistensi artinya adanya keajegan. Jika kompetensi dasar
yang harus dikuasai siswa ada tiga aspek, maka materi yang harus diajarkan
juga harus meliputi tiga aspek. Misalnya, kompetensi dasar yang harus
dikuasai siswa adalah membaca permulaan dengan penekanan lafal, intonasi,
maka materi yang diajarkan juga harus meliputi teknik membaca dengan lafal
dan intonasi yang tepat.
Prinsip kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup
memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang
diajarkan. Materi tidak boteh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak.
Karena, jika terlalu sedikit maka kurang membantu pencapaian kompetensi
dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak berdampak pada pemborosan waktu
dan tenaga untuk mempelajarinya.

C. Langkah-langkah Pemilihan Materi Pembelajaran


Materi mana yang akan dipilih hendaknya benar-benar dapat menunjang
tercapainya kompetensi dasar dan indikator yang telah ditentukan.
Adapun langkah-langkah pemilihan materi pembelajaran adalah sebagai
berikut:

1. Identifikasi Kompetensi Dasar


Dalam menentukan materi pembelajaran, terlebih dahulu perlu
diidentifikasi kompetensi dasar apa yang harus dipelajari atau dikuasai
siswa. Kompetensi tersebut perlu ditetapkan, karena setiap aspek
kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam
kegiatan pembelajaran. Apakah kompetensi yang akan dicapai termasuk:
1) kognitif yang meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
25
sintesis, analisis, dan evaluasi;
2) psikomotorik yang meliputi gerak awal, semi rutin, dan rutin;
3) sikap (afektif) yang meliputi pemberian respon, apresiasi,
penilaian, dan internalisasi.

2. Identifikasi Materi Pembelajaran Berdasarkan pada Tingkat


Perkembangan Peserta Didik
Materi pembelajaran hendaknya dipilih yang sesuai dengan tingkat
perkembangan peserta didik. Sebagaimana Piaget (Zuchdi, 1996/1997: 6-
7) menyatakan ada empat fase perkembangan bahasa anak, yaitu
sensorimotor, praoperasional, operasional-konkret, dan operasional-
formal. Ketika awal usia sekolah merupakan periode berkembangan
kreativitas kebahasaan yang dapat diberikan berupa sajak, nyanyian, dan
permainan kata. Pada periode ini anak sudah dapat menggunakan bahasa
untuk berkomunikasi dengan lebih efektif.
Dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak senang menyanyikan
nyanyian berisikan permainan bunyi. Misalnya beryanyi seperti:
.....Kring, kring, kring bunyi sepeda.... dst.
Untuk materi ajar prosa, anak usia 6 sampai 9 tahun menyukai cerita
sederhana dari kehidupan sehari-hari sampai dengan dongeng hewan.
Mereka juga menyukai cerita lucu, seperti Pak Raden dalam cerita Si
Unyil, Mr. Been dan sebagainya. Pada usia 9-12 tahun anak sudah mulai
menyenangi cerita yang bertemakan pahit-manisnya kehidupan, cerita
fantastis, dan petualangan

3. Pemilihan Bahan Ajar Didasarkan pada Lingkungan


Lingkungan merupakan salah satu syarat yang harus diperhatikan
dalam pemilihan bahan ajar seperti lingkungan sekolah atau tempat
tinggal anak. Contoh dalam pembelajaran menulis atau mengarang maka
tema yang dipilih sebaiknya berkaitan dengan perikehidupan di
lingkungan peserta anak atau tema yang pernah terjadi di tempat
tinggalnya, misalnya memilih tema mengarang tentang "Keindahan
Pantai Losari” untuk anak yang tinggal di kota Makassar. Jangan untuk
anak yang tinggal di daerah pegunungan misalnya Enrekang.
Untuk pengajaran apresiasi puisi, akan lebih efektif jika diawali
dengan penyajian puisi yang memiliki suasana lingkungan yang akrab
dengan peserta didik. Hal ini dimaksudkan agar mereka merasa kenal dan
mudah membacanya. Jika anak sudah mengenal lingkungannya sendiri
barulah kita mengenalkan lingkungan orang lain.

26
4. Pemilihan bahan ajar didasarkan pada ketersediaan sarana
Salah satu aspek yang perlu menjadi pertimbangan dalam memilih
bahan ajar bahasa Indonesia adalah ketersediaan sarana, karena tanpa
sarana tidaklah mungkin pembelajaran Bahasa Indonesia berlangsung
secara optimal. Sarana yaitu segala sesuatu yang dapat dipakai untuk
mencapai tujuan. Sarana disebut juga media.
Media pembelajaran dibedakan atas media yang komersial,
diperjual-belikan dan media buatan sendiri. Media dikelompokkan juga
atas media yang didengar (auditory), yang dilihat (visual), yang didengar
dan yang dilihat (audio-visual).

Cakupan Dan Urutan Materi Pembelajaran


Dalam menentukan cakupan atau ruang lingkup materi pembelajaran
harus diperhatikan apakah materinya berupa aspek kognitif (fakta, konsep,
prinsip, prosedur), aspek afektif, ataukah aspek psikomotorik, Penentuan
cakupan tersebut diperlukan untuk menentukan strategi dan media
pembelajaran yang akan digunakan.
Selain itu harus juga mernerhatikan keluasan dan kedalaman
materinya. Keluasan cakupan materi rnenggarnbarkan berapa banyak materi-
materi yang dimasukkan ke dalam suatu materi pembelajaran, sedangkan
kedalaman materi menyangkut seberapa detail konsep-konsep yang
terkandung di dalamnya harus dipelajari/dikuasai oleh siswa. Sebagai contoh,
keterampilan membaca dapat diajarkan mulai dari jenjang sekolah dasar
sampai Perguruan Tinggi, namun keluasan dan kedalaman pada setiap
jenjang pendidikan tersebut akan berbeda-beda. Semakin tinggi jenjang
pendidikan akan semakin luas cakupan aspek dan semakin detail pula setiap
aspek yang dipelajari.
Kecukupan (cdequacy) atau memadainya cakupan materi juga perlu
diperhatikan dalam pengertian bahwa memadainya cakupan aspek materi dari
suatu materi pembelajaran akan sangat membantu tercapainya penguasaan
kompetensi dasar yang telah ditentukan. Misalnya, jika suatu pelajaran
dimaksudkan untuk memberikan kemampuan kepada siswa pada kemampuan
menulis surat, maka uraian materinya mencakup: (1) penguasaan tentang
pengertian surat, bagian-bagian surat, jenis-jenis surat; (2) pengetahuan
tentang Ejaan yang Disempurnakan; dan (3) penerapan/aplikasi menulis
surat.
Cakupan atau ruang, lingkup materi perlu ditentukan untuk
mengetahui apakah materi yang akan diajarkan terlalu sedikit, atau telah
memadai sehingga sesuai kompetensi dasar yang ingin dicapai. Misalnya
dasar pelajaran Bahasa Indonesia: salah satu kemampuan diharapkan dimiliki
siswa 'Membuat Surat Dinas". diidentivikasi, ternyata materi pembelajaran
27
untuk kemampuan membuat surat dinas tersebut jenis prosedur. Jika kita
analisis, secara garis besar cakupan yang harus dipelajari siswa agar mampu
membuat surat dinas meliputi: (1) pembuatan draft atau konsep surat,
pengetikan surat, (3) pemberian nomor agenda, pengiriman. Setiap jenis dari
keempat materi tersebut dapat diperinci lebih lanjut.

a. Mengurutkan Materi Pembelajaran


Urutan penyajian berguna untuk menentukan urutan mempelajari atau
mengajarkannya. Tanpa urutan yang tepat, jika di antara beberapa materi
pembelajaran mempunyai hubungan yang bersifat prasyarat akan
menyulitkan siswa dalam mempelajarinya. Contoh materi dikte (imlak) siswa
akan mengalami kesulitan menulis jika materi pengenalan huruf belum
dipelajari.
Materi pembelajaran yang sudah ditentukan ruang serta
kedalamannya dapat diurutkan melalui dua pendekatan pokok, yaitu:
pendekatan prosedural dan hierarkis.

1. Pendekatan Prosedural
Urutan materi pembelajaran secara prosedural menggambarkan langkah-
langkah secara urut sesuai dengan langkah-langkah melaksanakan suatu
tugas. Misatnya langkah-langkah menulis surat, langkah-langkah membuat
masakan tertentu, dan sebagainya.

2. Pendekatan Hierarkis
Urutan materi pembelajaran secara hierarkis menggambarkan urutan yang
bersifat berjenjang dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah. Materi
sebelumnya harus dipelajari dahulu sebagai prasyarat untuk mempelajari
materi berikutnya.
Contoh : Urutan Hierarkis (berjenjang)
Perkalian diajarkan setelah dikuasai penjumlahan karena
perkalian merupakan penjumlahan berulang. Setelah perkalian, barulah
diperkenalkan pembagian.

b. Penentuan Sumber Materi Pembelajaran


Sumber materi pembelajaran dapat kita gunakan untuk mendapatkan
mater pembelajaran dari setiap kompetensi dasar, seperti: buku teks, laporan
hasil penelitian, jurnal (penerbitan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah),
majalah ilmiah, pakar bidang studi/profesional, buku kurikulum, internet,
28
media audio visual (tv, video, vcd, kaset audio); dan lingkungan (alam,
sosial, seni budaya, teknik, industri, dan ekonomi).

29
BAB III
PENGEMBANGAN MATERI AJAR
Pengembangan materi ajar hendaknya dilakukan sebelum proses
pembelajaran berlangsung. Sebagai guru bahasa Indonesia yang baik,
sebaiknya melakukan pengembangan materi ajar tersebut. Kegiatan
pengembangan materi ajar ini dapat dilakukan melalui berbagai cara yang
sesuai dengan keadaan, ketersediaan sumber, dan keahlian yang dimiliki oleh
seorang guru.
Ada sejumlah cara yang dapat digunakan untuk mengembangkan
materi ajar bahasa Indonesia, secara garis besar digolongkan tiga cara, yaitu
adopsi, adaptasi, dan menulis sendiri. Pada bagian ini, Saudara dituntut
memiliki kompetensi memahami teori pengembangan materi ajar dalam
bahasa Indonesia SD. Dalam subunit ini akan diuraikan hal-hal seperti
berikut.
1. Adopsi materi ajar.
2. Adaptasi materi ajar.
3. Menulis sendiri materi ajar.
Di dalam sebuah kelas, seorang guru melakukan banyak hal sebagai
bagian dari proses instruksional. Seorang guru seringkali berperan sebagai
seorang motivator, seorang sumber informasi, seorang pemandu aktivitas
pembelajaran, dan juga sebagai seorang penguji. Seorang guru adalah
seorang pembuat keputusan yang mempengaruhi sekelompok siswa ataupun
seorang siswa. Seorang guru biasanya terikat pada sebuah strategi dan harus
bergerak ke sana ke mari di dalam kelas atau mengatur keseluruhan kelas
pada saat tertentu sampai dia merasakan bahwa murid-muridnya telah
memahami apa yang dipelajari.
Sebuah ciri yang lasim dari suatu pembelajaran adalah banyak dari
proses pembelajaran biasanya dilaksanakan oleh seorang guru terhadap
sekelompok siswa, namun sekarang juga lazim dilakukan pada seorang
siswa. Hal ini dimungkinkan dengan adanya22atau tersedianya materi ajar. Hal
ini tidaklah berarti keberadaan seorang guru tidak diperlukan dalam sebuah
aktivitas pembelajaran. Bahkan peranan seorang guru lebih penting daripada
sebelumnya. Seorang guru tetaplah berperan sebagai seorang motivator,
konselor, evaluator, dan pembuat keputusan.
Seorang guru biasanya terlibat dalam tiga tingkatan yang berbeda di
dalam mendesain dan melaksanakan pembelajaran. Perbedaan di antara ke
tiga tingkatan tersebut terletak pada peranan yang dimainkan seorang guru

30
dalam mengembangkan pembelajaran dan dalam pelaksanaan pembelajaran
yang sebenarnya terhadap siswa.
Pada tahap pertama, ketika seorang guru mendesain dan
mengembangkan materi ajar yang berdiri sendiri atau materi ajar yang dapat
diberikan secara terpisah, peranan scorang guru dalam proses pembelajaran
tentulah pasif. Dalam hal ini, peranannya selama proses pembelajaran
hanyalah sebagail pemonitor dan pembimbing kemajuan siswa melalui materi
ajar. Siswa dapat maju sesuai dengan kecepatannya masing-masing melalui
pembelajaran, sedangkan guru berperan menyediakan bantuan bagi siswa
yang membutuhkannya.
Kecuali untuk pretes dan postes, semua kegiatan pembelajaran juga
melibatkan pengembangan materi ajar. Dalam beberapa hat, termasuk dalam
pretes dan postes, pe-ngembangan materi ajar juga diperlukan.
Pada tahap kedua, saat seorang guru memilih dan mengadaptasi materi ajar
yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, memungkinkan bagi seorang guru
menjalankan peranan lebih, dalam proses pembelajaran. Beberapa materi ajar
mungkin bisa berdiri sendiri, tetapi apabila tidak, guru harus menyediakan
pembelajaran khusus yang sesuai dengan tujuan, tetapi tidak ditemukan
dalam materi aj ar.
Apabila guru menggunakan bermacam-macam sumber pembelajaran,
dia memainkan sebuah peranan besar dalam mengelola materi ajar. Dengan
menyediakan sebuah panduan bagi siswa terhadap materi ajar yang tersedia,
seorang guru mungkin bisa meningkatkan ketidaktergantungan dari materi
ajar dan membebaskannya dari tugas tambahan dalam membimbing bagi
siswa yang membutuhkan.
Pada tahap ketiga, pembelajaran betul-betul bergantung pada seorang
guru. Gurulah yang melaksanakan semua proses pembelajaran sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan. Hal ini umumnya terjadi pada sekolah-sekolah
negeri karena ketersediaan dana untuk pengadaan materi ajar sangatlah
terbatas atau substansi materi yang diajarkan selalu berganti dengan cepat.
Model pclaksanaan pembelajaran dalam setiap proses pembelajaran
merupakan sebuah hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam
pengembangan materi ajar berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah
direncanakan. Apabila pembelajaran didesain sebagai pembelajaran mandiri,
maka materi ajar yang dikembangkan haruslah mencakup aktivitas
pembelajaran mulai dari tujuan. Dalam hal ini seorang guru tidaklah
diharapkan berperan sebagai aktor dalam pembelajaran.

31
Apabila seorang guru merencanakan untuk menggabungkan tujuan
pembelajaran, maka tujuan pembelajaran guru pun harus menggabungkan
materi ajar dan penyajiannya. Seorang guru dalam hal ini tidaklah diharuskan
mengembangkan materi ajar yang baru. Banyaknya materi ajar yang
dikembangkan pada jenis pembelajaran ini sangatlah bergantung pada
ketersediaan waktu, anggaran, dan dukungan dari institusi.
Apabila seorang guru merencanakan untuk melaksanakan
pembelajaran dengan
materi ajar seperti diktat, maka dia perlu untuk mengembangkannya sedikit
dengan menyediakan materi ajar tambahan.
Keputusan seorang guru tentang model pelaksanaan pembelajaran
dalam setiap proses pembelajaran haruslah mempertimbangkan materi ajar
yang akan digunakan. Keputusan akan mempengaruhi perkembangan
aktivitas pembelajaran, anggaran, dan tenaga pengajar.

A. Adopsi Materi Ajar


Langkah pengembangan materi ajar adalah menentukan
(mengevaluasi) apakah ada materi ajar yang sudah tersedia yang sesuai
dengan tujuan pembelajaran. Evaluasi materi ajar ini dimaksudkan untuk
mengadopsi materi ajar yang cocok yang akan kita pakai dalam proses
pembelajaran. Dalam beberapa situasi kita dapat menemukan banyak
sekali materi ajar yang tersedia, baik yang bersifat umum maupun yang
khusus. Sebaliknya, sedikit sekali dari materi ajar itu yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang akan kita capai.
Tujuan pembelajaran dapat menjadi acuan dalam memutuskan apakah
materi ajar yang tersedia sesuai dengannya atau apakah materi ajar itu
perlu diadaptasi sebelum digunakan. Materi ajar dapat dievaluasi untuk
menentukan apakah (1) unsur motivasi cukup terasa dalam materi tersebut,
(2) isinya sesuai, (3) urutannya benar, (4) semua informasi yang
dibutuhkan tersedia, (5) latihan soal tersedia, (6) mengandung umpan
balik yang memadai, (7) test yang cocok disediakan, (8) arah tindak lanjut
diberikan dengan cukup, (9) panduan diberikan secara memadai.
Tujuan pembelajaran haruslah digunakan dalam mengevaluasi setiap
rujukan (materi ajar) yang dipilih. Dalam kaitan ini, sangat dimungkinkan
untuk menggabungkan beberapa rujukan dalam rangka menghasilkan
materi ajar yang lebih baik. Apabila materi ajar tersebut kekurangan satu
atau beberapa hal yang berhubungan dengan aktivitas pembelajaran
seperti motivasi, keterampilan prasyarat, dan lain lain, maka materi itu

32
dapat diadaptasi sehingga bagian yang kurang dapat dipenuhi agar dapat
digunakan oleh siswa. Apabila tidak ada materi yang cocok dari yang
tersedia, maka seorang guru diharuskan menulis sendiri materi ajar
tersebut.

a. Mengapa perlu mengevaluasi materi ajar?


Evaluasi dalam hal ini diperlukan untuk melihat ketepatan dari suatu
materi ajar dalam menyesuaikan dengan tujuan pembelajaran.
Berdasarkan pada kebutuhan tertentu di tengah-tengah bertumpuknya
materi yang tersedia, maka pastilah ada sejumlah materi ajar itu yang
dapat menjadi pilihan terbaik. Evaluasi dalam hat ini berhubungan
dengan kesesuaian. Tidak ada pilihan yang benar-benar bagus atau benar-
benar jelek yang ada hanyalah kadar kecocokan terhadap tujuan yang
ingin dicapai yang mendasarinya.
Dalam setiap evaluasi, keputusan akhir yang diambil dianggap
sebagai sebuah keputusan terbaik. Hasil dari evaluasi mungkin mengarah
pada investasi sejumlah uang pada sebuah mata pelajaran atau sebuah
investasi yang besar terhadap waktu dalam memproduksi atau
mengadaptasi materi ajar.

b. Bagaimana mengevaluasi materi ajar?


Evaluasi materi ajar pada dasarnya merupakan proses mencocokkan,
mencocokkan kebutuhan terhadap kemungkinan yang tersedia. Apabila
proses mencocokkan ini dilakukan seobjektif mungkin, ada baiknya
untuk melihat kebutuhan dan ketersediaan secara terpisah. Dalam analisis
terakhir, pilihan yang mana pun akan dilakukan secara subjektif. Sebagai
contoh, apabila Anda sedang memilih sebuah mobil, Anda mungkin akan
memilih karena Anda suka dengan tampilannya atau karena Anda tahu
mobil tersebut memiliki kecepatan 100 mph dalam 10 detik. Hal itu
bergantung pada apa yang kita anggap paling penting. Bahayanya,
apabila faktor-faktor subjektif sejak awal turut mempengaruhi
pengambilan keputusan, maka hal ini dapat menjadikan kita beralih dari
alternatif-alternatif yang sebetulnya lebih bagus.
Proses evaluasi materi ajar dapat dibagi menjadi empat langkah
pokok, yaitu: (1) menentukan kriteria, (2) analisis subjektif, (3) analisis
objektif, dan (4) mencocokkan. Dua dari empat hal di atas, dilakukan
pada saat seorang guru membuat perencanaan pembelajaran.
Proses Evaluasi Materi Ajar
33
Proses evaluasi akan sangat bermanfaat untuk membuat kriteria
pemilihan materi dan memudahkan kita membuat perbandingan terhadap
sejumlah materi ajar yang ada. Jangan sekali-kali Anda membuat analisis
subjektif sebagai sebuah kebutuhan. Anda sebaiknya menjadikan proses
evaluasi sebagai sebuah cara bertanya dan mengembangkan ide-ide
berdasarkan kebutuhan. Hal ini juga akan sangat bermanfaat dalam
membuat rangking (tingkatan) faktor-faktor yang dipentingkan.
Walaupun mungkin akan terjadi konflik.
Sebagai contoh, sebuah materi ajar (buku) mungkin memenuhi
kriteria, dalam hal isi dan bahasanya, tetapi materi ajar yang lainnya
mungkin lebih unggul dari sisi metodologinya. Bagaimanakah Anda
memilihnya? Dalam hal ini, Anda perlu mempertimbangkan yang mana
yang lebih penting bagi sejumlah orang yang terkait scperti guru-guru,
siswa-siswa, dan penyandang dana. Anda juga perlu mempertimbangkan
fitur-fitur yang kurang memuaskan yang mana lebih mudah untuk
diremedi. Apakah lebih mudah untuk mengadaptasi isi atau metodologi?
Anda mungkin merasakan sulit untuk mendapatkan materi alternatif,
sementara lebih mudah untuk mengganti latihan-latihan yang ada
berdasarkan teks-teks.

B. Adaptasi Materi Ajar

Kebanyakan dari materi (buku) ajar yang diproduksi secara komersial


dapat di-adaptasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan
yang tidak dibayangkan sebelumnya oleh si penulis. Walaupun demikian,
sebelum mengadaptasi buku ajar, haruslah diingat bahwa buku ajar dari
penulis dan percetakan yang telah mempunyai reputasi telah ditulis dengan
hati-hati dan telah sering diujicobakan adalah lebih baik, maka dari itu sangat
disarankan untuk menggunakan buku seperti ini, paling tidak, sebagaimana
disarankan oleh si penulis sebelum Anda berusaha untuk mengadaptasinya.
Adaptasi materi adalah kemungkinan lain yang dapat dilakukan oleh
seorang guru dalam rangka pengadaan buku ajar. Adaptasi materi ajar adalah
membuat perubahan terhadap materi yang sudah ada dalam rangka
memperbaikinya atau menjadikannya lebih cocok untuk siswa tertentu.
Kebanyakan guru bukanlah penulis buku ajar, melainkan penyelia
buku ajar yang baik. Dudley-Evans and St. John (1998:173) menyatakan
bahwa seorang penyelia buku ajar dapat: (1) menyeleksi secara baik dari apa
yang tersedia, (2) kreatif dengan apa yang ada, (3) memodifikasi aktivitas
34
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa, dan (4) melengkapi
dengan menyediakan aktivitas tambahan. Buku-buku komersil (yang ditulis
oleh orang lain dan dijual di pasaran) biasanya jarang dapat digunakan begitu
saja tanpa memerlukan adaptasi yang diperlukan dalam rangka
menjadikannya lebih cocok terhadap konteks tertentu pada saat buku itu akan
dipakai. Adaptasi semacam ini dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti
(1) memodifikasi isi, (2) menambahkan atau mengurangi, (3) menyusun
kembali isi, (4) menghilangkan bagian tertentu, (5) memodifikasi tugas, dan
(6) mengembangkan tugas yang ada.
Memodifikasi isi, isi buku ajar mungkin perlu untuk diubah karena
tidak cocok dengan siswa yang belajar. Hal ini mungkin karena pertimbangan
faktor-faktor yang berhubungan dengan siswa seperti umur, jenis kelamin,
status sosial, pekerjaan, agama, ataupun latar belakang budaya.
Menambahkan atau mengurangi isi, scbuah buku ajar mungkin terdiri
atas terlalu banyak atau terlalu sedikit isinya. Sebagian unit mungkin perlu
dihilangkan atau subunit tertentu dari sebagaian besar isi buku perlu
dihilangkan. Sebagai contoh, sebuah buku aktivitasnya difokuskan pada
keterampilan menyimak dan berbicara, namun buku tersebut juga berisi
aktivitas-aktivitas keterampilan menulis. Namun, karena keterampilan
menulis tidaklah menjadi bagian materi yang kita inginkan, maka aktivitas-
aktivitas keterampilan menulis yang ada pada buku ajar asalnya dapat
dihilangkan pada buku yang sudah diadaptasi.
Menyusun kembali isi, seorang guru dapat memutuskan untuk
menyusun kembali silabus dari buku tersebut, dan mengatur unit-unit pada
urutan yang dianggapnya lebih cocok. Atau bahkan dalam suatu unit, guru
dapat memutuskan untuk tidak mengikuti rangkaian aktivitas-aktivitas pada
unit itu, tetapi menyusunnya kembali dengan alasan tertentu.
Menghilangkan bagian tertentu, dalam suatu teks mungkin ada
bagian-bagian tertentu yang dapat dihilangkan oleh guru karena dianggap
kurang penting. Sebagai contoh, guru dapat menambahkan aktivitas kosakata
atau aktivitas tata bahasa pada satu unit, sebagai pengganti yang dihilangkan.
Memodifikasi tugas, latihan-latihan dan aktivitas-aktivitas mungkin
perlu diubah untuk memberikan fokus tambahan. Sebagai contoh, sebuah
aktivitas menyimak mungkin hanya difokuskan pada menyimak informasi,
jadi perlu diadaptasi sehingga siswa dapat mendengarkan dua atau tiga kali
untuk tujuan yang berbeda. Atau sebuah aktivitas dapat dikembangkan untuk
memberikan kesempatan berlatih lebih personal.

35
Mengembangkan tugas yang ada, latihan-latihan mungkin terdiri atas
latihan-latihan yang tidak cukup sehingga tugas latihan tambahan perlu untuk
ditambahkan.
Kemampuan dalam mengadaptasi buku ajar seperti ini merupakan
sebuah keterampilan penting bagi guru untuk dikembangkan. Melalui proses
adaptasi, guru menjadikan buku tersebut lebih personal, menjadikannya
sebuah sumber mengajar yang lebih baik, dan mengkhususkannya bagi
sekelompok khusus siswa. Lasimnya, proses seperti ini berlangsung secara
bertahap sejalan dengan guru semakin paham dengan buku tersebut.

C. Menulis Materi Ajar


Kemungkinan ketiga yang dapat dilakukan oleh seorang guru dalam
pengadaan materi (buku) ajar adalah dengan cara menulis sendiri materi ajar
tersebut. Menurut Tomlinson (1999:2), menulis materi ajar merupakan
kegiatan dalam rangka seorang guru mengadakan sumber belajar dan
menggunakan sumber tersebut untuk memaksimalkan pencapaian
pemahamannya. Dengan kata lain, menyediakan informasi tentang dan/atau
pengalaman tentang bahasa dengan cara yang dirancang untuk memajukan
pembelajaran bahasa. Dalam hal ini, jika seorang guru bahasa itu seorang
pengembang materi, dia mungkin menulis buku, menulis cerita, membawa
membawa iklan ke dalam kelas, atau menunjukkan contoh-contoh
penggunaan bahasa. Apa pun yang disediakan, guru melakukan itu dengan
merujuk pada apa yang diketahui tentang bagaimana bahasa dapat secara
efektif dipelajari.
Membuat sendiri materi ajar tentunya banyak sekali membutuhkan
waktu. Jadi seberapa sering guru melakukan ini akan bergantung pada
ketersediaan waktu dan kebutuhannya. Tampaknya, menulis sendiri materi
ajar bukanlah sesuatu pekerjaan yang mudah, apalagi seseorang itu belum
mempunyai pengalaman sama sekali yang berhubungan dengan penulisan
mateir ajar. Padahal memiliki pengetahuan tentang ini merupakan suatu yang
disarankan. Dalam kesempatan ini ada baiknya kita lihat beberapa langkah
dalam proses penulisan materi ajar.
Ilustrasi yang digambarkan tersebut, nampaknya tidak mudah untuk
diterapkan, khususnya bagi penulis pemula. Usaha untuk itu, mungkin akan
sangat menyita waktu. Jadi seberapa sering seorang guru melakukan ini
bergantung pada waktu yang dimiliki dan kebutuhannya. Sebagian guru
menghasilkan sendiri materi ajar mereka dalam bentuk worksheet, handouts,
teks, dan lain lain dari waktu ke waktu secara bertahap.
36
37
BAB IV
PRINSIP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Pelaksanaan prinsip-prinsip pembelajaran Bahasa Indonesia di SD


tentunya tidak asing lagi bagi guru sekolah dasar yang sudah terbiasa
mengajarkan lima mata pelajaran pokok. Ada beberapa prinsip pembelajaran
bahasa Indonesia antara lain; prinsip kontekstual, integratif, fungsional, dan
apresiatif.

A. Prinsip Kontekstual
Purnomo (2002:10) mengungkapkan bahwa kontekstual adalah
pembelajaran yang dilakukan secara konteks, baik konteks linguistik maupun
konteks nonlinguistik. Sementara Depdiknas (2002:5) menjelaskan bahwa
pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang mengaitkan materi yang
diajarkan dengan dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, dijelaskan pula
bahwa pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen untuk
pembelajaran efektif, yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan,
masyarakat belajar, pemodelan, dan penilaian sebenarnya.

1. Konstruktivisme (Constructivism)
Dalam teori konstruktivisme dijelaskan bahwa struktur pengetahuan
dikembangkan oleh otak manusia melalui dua cara, asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi maksudnya struktur pengetahuan baru dibangun atas dasar
pengetahuan yang sudah ada. Sementara itu, akomodasi adalah struktur
pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan
menyesuaikan hadirnya pengalaman baru. Bagaimana pelaksanaannya di
kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia sehari-hari adalah dapat
diwujudkan dalam bentuk peserta didik disuruh menulis/mengarang dan atau
bercerita di depan kelas.

2. Menemukan (Inquiry)
Komponen inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran
berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta
didik bukan hasil mengingat seperangkat fakta, melainkan dari hasil
menemukan sendiri. Kegiatan inkuiri dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut.
38
a. Merumuskan masalah
b. Mengamati/melakukan observasi
c. Menganalisis dan menyajikan hasil
d. Mengkomunikasikan kepada pembaca

3. Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran berbasis
kontekstual. Tujuan bertanya adalah untuk menggali informasi,
mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian
kepada aspek yang belum diketahuinya. Kegiatan bertanya dapat diterapkan
dalam bentuk ketika peserta didik berdiskusi, bekerja dalam kelompok,
menemui kesulitan, mengamati sesuatu. Kegiatan bertanya ini dapat
dilakukan antara sesama peserta didik, guru dengan peserta didik, peserta
didik dengan guru, peserta didik dengan nara sumber.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)


Ciri kelas berbasis masyarakat belajar adalah pembelajaran dilakukan
dalam bentuk kelompok-kelompok. Hasil pembelajaran diperoleh dari kerja
sama. Kelompok belajar disarankan terdiri atas peserta didik yang
kemampuannya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang sudah
tahu membimbing yang belum tahu, yang memiliki gagasan segera
menyampaikan usulnya. Kelompok belajar bisa bervariasi, baik jumlahnya,
maupun keanggotaannya, bisa juga melibatkan peserta didik di kelas atasnya.

5. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan dalam pembelajaran dilakukan dengan cara memberikan
model atau contoh yang perlu ditiru. Anda yang merasa kurang mampu
membacakan puisi, atau bermain drama, tidak perlu cemas karena guru bukan
satu-satunya yang dapat dijadikan model. Anda dapat meminta kepada teman
sejawat, atau mendatangkan pihak luar, pembaca puisi, atau pemain drama
yang sudah terkenal. Dengan demikian Anda pun dapat melaksanakan
pembelajaran puisi drama lewat model tadi. Demikian pula pembelajaran
menulis/mengarang kita dapat memberikan contoh-contoh tulisan yang baik
yang telah kita pilih.

6. Refleksi (Reflection)
Anda mungkin sudah mendengar istilah “refleksi”, tetapi jangan keliru
dengan refleksi yang berkaitan dengan dunia “urut” atau “panti pijat”.

39
Refleksi yang dimaksud di sini adalah cara berpikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang baru dilakukan.
Refleksi juga merupakan tanggapan terhadap kegiatan yang baru dilakukan
atau pengetahuan yang baru diterima. Pada akhir pembelajaran, kita
menyediakan waktu sejenak agar peserta didik melakukan refleksi. Kegiatan
refleksi ini diwujudkan dalam bentuk:
a. pernyataan langsung tentang semua yang diperolehnya,
b. catatan di buku peserta didik,
c. kesan dan saran peserta didik tentang pembelajaran yang telah
d. berlangsung,
e. diskusi; dan
f. hasil karya.

7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)


Penilaian pembelajaran berbasis kontekstual ini dilakukan dengan
mengamati peserta didik menggunakan bahasa, baik di dalam kelas maupun
di luar kelas. Kemajuan belajar juga dinilai dari proses, bukan semata-mata
dari hasil. Penilaian bukan hanya oleh guru, melainkan bisa juga dari teman
atau orang lain. Asesmen autentik dilaksanakan selama dan sesudah proses
pembelajaran berlangsung secara berkesinambungan dan terintegrasi.
Asesmen tersebut pun dilaksanakan untuk keterampilan performansi.

Contoh Penerapan ketujuh komponen pendekatan kontekstual


Pelaksanaan pelajaran Bahasa Indonesia di kelas menurut
konstruktivisme diwujudkan dalam bentuk peserta didik disuruh
menulis/mengarang dan bercerita.
Kegiatan inkuiri dilakukan dengan langkah-langkah: (1)
merumuskan masalah, (2) melakukan pengamatan, (3) menganalisis hasil
pengamatan, dan (4) mengkomunikasikan kepada orang lain.
Kegiatan bertanya diterapkan pada waktu diskusi, kerja kelompok,
menemui kesulitan, dan mengamati sesuatu.
Prinsip “komponen masyarakat belajar” menghendaki agar kelas
dibagi atas beberapa kelompok. Pemodelan dalam pembelajaran dilakukan
dengan cara memberikan contoh yang harus ditiru oleh peserta didik.
Refleksi dilakukan untuk berpikir tentang apa yang baru dilakukan, untuk
direnungkan. Penilaian dilakukan dari proses dan hasil belajar.
Berdasarkan prinsip integratif pembelajaran bahasa dilakukan secara
terpadu antara beberapa unsure kebahasaan, dan aspek berbahasa.
40
Tujuan akhir yang hendak dicapai dalam pembelajaran bahasa
berdasarkan prinsip komunikatif adalah peserta didik dapat menggunakan
bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi.

B. Prinsip Integratif
Maksan (1994: 2) yang mengatakan, bahwa bahasa adalah suatu sistem.
Hal tersebut berarti suatu keseluruhan kegiatan yang satu dengan yang
lainnya saling berkaitan untuk mencapai tujuan berbahasa yaitu
berkomunikasi.
Manakah yang dimaksud dengan subsistem dari bahasa itu? Tentu
Anda masih ingat. Subsistem bahasa adalah fonologi, morfologi, sintaksis,
dan semantik. Keempat subsistem ini tidak dapat berdiri sendiri. Artinya,
pada saat kita menggunakan bahasa, tidak hanya menggunakan salah satu
unsur tersebut saja. Pada waktu berbicara, kita menggunakan kata. Kata
disusun menjadi kalimat. Kalimat diucapkan dengan menggunakan intonasi
yang tepat. Dalam kaitan ini, secara tidak sadar, kita telah memadukan unsur
fonologi (lafal, intonasi), morfologi (kata), sintaksis (kalimat), dan semantik
(makna kalimat).
Berdasarkan kenyataan di atas, maka pembelajaran bahasa hendaknya
tidak disajikan secara terpisah-pisah. Pembelajaran Bahasa Indonesia harus
secara terpadu atau terintegratif. Kita mengajarkan kosa kata, bisa dipadukan
pada pembelajaran membaca, menulis, atau berbicara. Mengajarkan kalimat,
bisa kita padukan dengan menyimak, berbicara, membaca, atau menulis.
Demikianlah pula pada saat pembelajaran keempat aspek keterampilan
berbahasa disajikan, kita tidak hanya mengajarkan berbicara saja, tetapi
secara tidak langsung kita pun mengajarkan menyimak. Kegiatan berbicara
tidak dapat berlangsung tanpa ada kegiatan menyimak. Begitu pula pada saat
pembelajaran menulis atau mengarang berlangsung, akan berpadu pulalah
dengan pembelajaran membaca.
Jadi jelaslah, bahwa pembelajaran bahasa Indonesia tidak dapat
disajikan secara terpisah-pisah. Pembelajaran bahasa Indonesia harus
diajarkan secara terpadu.

C. Prinsip Fungsional
Kurikulum 2004 dinyatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia adalah agar peserta didik dapat menggunakan bahasa Indonesia
dalam berkomunikasi dengan baik dan benar. Hal ini sejalan dengan prisip
pembelajaran bahasa yang fungsional, yaitu pembelajaran bahasa harus
41
dikaitkan dengan fungsinya, baik dalam berkomunikasi maupun dalam
memenuhi keterampilan untuk hidup (Purnomo, 2002: 10-11).
Prinsip fungsional pembelajaran bahasa pada hakikatnya sejalan
dengan konsep pembelajaran pendekatan komunikatif. Konsep pendekatan
komunikatif mengisyaratkan bahwa guru bukanlah penguasa dalam kelas.
Guru bukanlah satu-satunya pemberi informasi dan sumber belajar.
Sebaliknya, guru sebagai penerima informasi (Hairuddin, 2000:136). Jadi
pembelajaran didasarkan pada multisumber. Dengan kata lain, sumber belajar
terdiri atas guru, peserta didik, dan lingkungan. Lingkungan terdekat adalah
kelas. Lebih tegas lagi Tarigan (dalam Hairuddin, 2000: 136)
mengungkapkan bahwa dalam konsep pendekatan komunikatif peran guru
adalah sebagai pembelajar dalam proses belajar-mengajar, di samping
sebagai pengorganisasi, pembimbing, dan peneliti.
Pelaksanaan pembelajaran bahasa di kelas yang fungsional ini adalah
menggunakan teknik bermain peran.

D. Prinsip Apresiatif
Apa sebenarnya prinsip apresiatif ini? Prinsip apresiatif lebih
ditekankan pada pembelajaran sastra. Istilah prinsip apresiatif berasal dari
kata kerja dalam bahasa Inggris ”appreciati” yang berarti menghargai,
menilai, menjadi kata sifat “appresiative” yang berarti senang (Echols dan
Shadely, Hasan, 1993:35). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Depdikbud, 1988:46) kata “apresiasi” berarti “penghargaan”. Dalam buku
ajar ini istilah apresiatif dimaknai yang “menyenangkan”. Jadi prinsip
apresiatif berarti prinsip pembelajaran yang menyenangkan.
Menilik artinya tersebut berarti prinsip ini tidak hanya berlaku bagi
pembelajaran sastra, tetapi juga bagi pembelajaran aspek yang lain, bahkan
untuk mata pelajaran di luar mata pelajaran bahasa Indonesia. Namun, karena
yang menggunakan istilah ini hanya pembelajaran sastra, seperti yang
tercantum dalam Kurikulum 2004, apresiasi sastra merupakan salah satu
komponen dari standar kompetensi di SD dan MI (madrasah ibtidaiyah) yang
diintegrasikan pada aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca,
dan menulis.

42
BAB V
PENDEKATAN, METODE, DAN TEKNIK PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR

A. Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia


Pengajaran bahasa Indonesia pada hakikatnya adalah pengajaran
keterampilan berbahasa, bukan pengajaran tentang bahasa. Tata bahasa,
kosakata, dan sastra disajikan dalam konteks, yaitu dalam kaitannya dengan
keterampiln tertentu yang sedang diajarkan. Tata bahasa, kosakata, dan sastra
sekedar sebagai pendukung (Kurikulum 94:2).
Keterampilan berbahasa yang perlu ditekankan adalah keterampilan
reseptif (membaca-menyimak) dan produktif (menulis-berbicara). Pengajaran
bahasa diawali dengan keterampilan reseptif lalu dilanjutkan dengan
keterampilan produtif. Pada tahap selanjutnya peningkatan kedua
keterampilan itu dan tata bahasa serta kosakata menyatu sebagai kegiatan
berbahasa yang terpdu. Hal ini antara komponen-komponen itu saling
berkaitan dalam penggunaanya.
Penerapan keterampilan berbahasa (keterampilan membaca, menulis,
berbicara, menyimak) pelaksanaannya pada umumnya melalui beberapa
tahap: persiapan, pelaksanaan, tindak lanjut, dengan kata lain dikenal
prabaca/ pramenulis/ pramenyimak/ praberbicara, saatbaca/ saatmenulis,
saatmenyimak/ saatberbiara, pascabaca/ pascamenulis/ pascamenyimak/
pascaberbicara.

B. Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran Bahasa


Pendekatan dalam pengajaran bahasa mengacu kepada teori-teori
tentang hakikat bahasa yang berfungsi sebagai landasan/ prinsip pengajaran
bahasa. Teori tentang hakikat bahasa mengemukakan asumsi dan tesis
tentang hakikat bahasa, karakteristik bahasa, unsur-unsur bahasa, serta fungsi
dan pemakaiannya sebagai media komunikasi dalam suatu masyarakat
bahasa. Teori belajar bahasa mengemukakan proses psikologi dalam belajar
bahasa sebagaimana dikemukakan dalam psikolinguistik. Pendekatan bersifat
aksiomatik dalam arti bahwa kebenaran teori linguistik dan belajar bahasa
yang digunakan tak perlu dipersoalkan. Misalnya tesis yang dikemukakan
Pendekatan Struktural bahwa bahasa terdiri atas kaidah fonologis,
morfologis, sintaksis, dan semantik; asumsi pendekatan komunikatif, tujuan
utama belajar bahasa adalah terampil berbahasa; asumsi pendekatan terpadu

43
adalah unsur-unsur bahasa (kebhasaan dan membca-menulis, menyimak,
berbicara) tidak bersifat terpisah melainkan bersifat terpadu.
Metode pengajaran bahasa berarti perencanaan secara menyeluruh
untuk menyajikan pelajaran bahasa secara sistematis. Metode bersifat
prosedural, artinya penerapan suatu metode dalam mengajarkan bahasa
mestilah dikerjakan melalui langkah-langkah yang teratur dan bertahap,
yaitu: menyusun rencana pembelajaran, menyajikan materi, dan
mengevaluasi hasil dan proses belajar mengajar. Penyusunan metode selalu
berdasar pada pendekatan tertentu, misalnya pendekatan komunikatif, CBSA,
dan sebagainya.
Teknik dalam pengajaran bahasa mengacu pada pengertian
implementasi perencanaan pengajaran di depan kelas. Teknik mengajar
berupa berbagai macam cara atau kegiatan untuk menyajikan pelajaran dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran khusus. Tekni mengajar bersifat
individual dan situasional. Teknik mengajar berdasar pada metode tertentu.
Ada beberapa teknik mengajar yang bias digunakan dalam menyajikan
pembelajaran, misalnya ceramah, Tanya jawab, penugasan, dan sebagainya.

C. Pendekatan dalam Pembelajaran Bahasa


Kaitannya dengan pembelajaran bahasa Indonesia di SD, ada
pendekatan yang perlu dipahami dengan baik, yakni sebagai berikut.

1. Pendekatan Tujuan
Pendekatan tujuan berlandas pada pemikiran bahwa sebelum
merancang proses belajar mengajar terlebih dahulu menentukan tujuan yang
akan dicapai. Dengan mengetahui tujuan tersebut, maka guru dapat
menentukan teknik dan metode berdasarkan pendekatan yang sesuai. Jadi
proses pembelajaran dirancang setelah menentukan tujuan yang diharapkan
tercapai setelah pembeljaran berakhir.
Pendekatan tujuan pernah digunkan dalam kurikulum 1975 sehingga
seluruh mata pelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan termasuk mata
pelajaran bahasa Indonesia. Berdasar pada pendekatan tujuan, maka masalah
yang paling penting adalah tercapainya tujuan pembelajaran. Adapun
bagaimana proses pembelajarannya tidak menjadi masalah penting.
Pendekatan tujuan sering dikaitkan dengan cara belajar tuntas. Yakni
kegiatan belajar mengajar baru dianngap berhasil bilamana 85% siswa
memiliki tingkat pemahaman materi pelajaran yang iberikan guru mencapai
minimal 75% pada tes sumatif.
44
2. Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural adalah suatu pendekatan yang berlandas pada
asumsi bahwa bahasa adalah merupakan seperangkat struktur yang harus
dipatuhi, dengan asumsi tersebut pembelajaran bahasa henaknya menekankan
pada penguasaan struktur, yang meliputi tata bunyi (fonologi), tata bentuk
(morfologi), tata kalimat (sintaksis), dan tata makna (semantik).
Pembelajaran bahasa Indonesia dengan berdasar pada pendekatan structural,
siswa banyak berlatih menyusun kalimat berdasarkan struktur yang benar,
misalnya pola kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat majemuk, dan penggunaan
awalan me-, dan akhiran –an, dsb.
Pendekatan structural memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya, siswa dapat menjadi cermat dalam menyusun kalimat dengan
pola yang benar atau membetulkan kalimat yang salah berdasarkan struktur
dengan tepat. Kekurangannya siswa bukannya belajar berbahasa secara
komunikatif tetapi hanya belajar tentang struktur bahasa. Padahal tujuan
utama belajar bahasa adalah bagaimana dapat terampil berkomunikasi dengan
orang lain secara efektif. Berdasarkan kelemahan ini, Halliday dan Hasan
(1992) mengatakan bahwa dengan banyak belajar tentang struktur,
keterampilan berbahasa siswa tidak berkembang karena dihambat oleh
struktur itu sendiri.

3. Pendekatan Komunikatif (Communikatif Approach)


Menurut Syafi’l (1994) pendekatan komunikatif mengarahkan
pengajaran bahasa pada tujuan yang mementingkan fungsi bahasa sebagai
alat komunikasi. Siswa dibimbing untuk menggunakan bahasa dalam
berbagai peristiwa komunikasi. Pengajaran bahasa dengan pendekatan
komunikatif bertujuan membentuk kompetensi komunikatif, yakni
menggunakan kemampuan menggunakanbahasa dengan baik an benar dalam
berbagai peristiwa komunikasi sesuai konteks komunikasi itu.
Pedekatan komunikatif (PK) menekankan pada kebermaknaan dan
fungsi bahasa, dengan pendekatan ini pembelajaran beralih dari mengkaji
teori struktur bahasa ke panangan bahwa bahasa lebih tepat dipahami sebagai
sesuatu berkenaan dengan apa yang dapat dilakukan (fungsi) dan apa yang
dapat diungkapkan (nosi) melalui bahasa. Pembelajaran bahasa berdasarkan
PK siswa diharapkan untuk menggunakan bahasa dengan tujuan/ fungsi
tertentu, misalnya fungsi:

45
a. instrumental; menggunakan bahasa untuk memenuhi
keperluan seperti membuat surat lamaran kerja atau
pengumuman,
b. regulator; menggunakan bahasa untuk mengatur prilaku orang
lain seperti menyusun pedoman dan memberikan pengarahan,
c. interaksional; menggunakan bahasa untuk mengadakan
percakapan atau diskusi,
d. personal; menggunakan bahasa untuk mengungkapkan
pengalaman atau pendapat pribadi,
e. imajinatif; menggunakan bahasa untuk mengekspresikan
imajinasi dalam bentuk menulis cerita/ puisi,
f. heuristik; menggunakan bahasa untuk mencari dan
menemukan pemahaman seperti wawancara dan bermain
peran,
g. informative; menggunakan bahasa untuk menyampaikan
berita/ fakta (Hlliday, 1978). Dengan kata lain, siswa
diharapkan untuk terampil mengungkapan pikiran dan
perasaannya dengan baik dan benar.
Pembelajaran bahasa dengan berdasar pada pendekatan kominikatif,
siswa diarahkan untuk terampil berbahasa dengan memperhatikan 7 faktor
penentu komunikasi. Ketujuh faktor tersebut adalah :
1. Kepada siapa berbahasa
2. Untuk tujuan apa
3. Dalam situasi apa (tempat dan waktu)
4. Dalam konteks apa (kebudayaan, peserta lain)
5. Dengan jalur mana (lisan atau tertulis)
6. Media apa (tatap muka, telepon, telegram
7. Dalam peristiwa apa (berceramah, bercakap-cakap, upacara)
(Kurikulum, 1984).
Dengan memperhatikan ke-7 faktor tersebut, diharapkan siswa dapat
berkomunikasi melalui bahasa dengan baik dan benar.
Penekanan PK adalah pada kelancaran berkomunikasi secara efektif,
sedang ketepatan lafal dan perbaikan struktur kalimat dilakukan sambil
belajar berkomunikasi secara bertahap dan berkeinambungan. PK lebih
mengutamakan penguasaan keterampilan berbahasa (menyimak, membaca,
berbicara, dan menulis) daripada penguasaan teori-struktur bahasa, dengan
demikian aktivitas siswa selama pembelajaran selalu diarahkan untuk berlatih

46
berkomunikasi secara efektif dan bermakna, baik secara reseptif (menyimak-
mambaca) maupun prouktif (berbicara- menulis).
Sehubungan dengan PK di atas, Zuhdi dan Budiasih (1996)
mengemukakan contoh teknik pembelajaran di kelas rendah sebagai berikut:
 Mendeskripsikan buah-buahan: Siswa diminta menggambar
buah-buahan yang mereka gemari.
 Gambar tersebut digunting sehingga kelihatan berbentuk buah,
misalnya mangga, lalu siswa menulis karangan dalam gambar
tersebut tentang bentuk, warna, berat, besar, rasa, dll.

4. Pendekatan Terpadu
Pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa Indonesia berarti
bahwa aspek: (a) kebahasaan ejaan, fonologi, morfologi, sintakis, semantic,
(b) keterampilan berbahasa: (membaca-menyimak sebagai keterampilan
pemahaman dan berbicara-menulis sebagai keterampilan penggunaan)
disajikan secara terpadu dalam pembelajaran.
Artinya antara aspek bahasa yang satu dengan lainnya tidak
diajarkan secara terpisah dan lepas konteks secara bermakna. Bentuk
keterpaduan pembelajaran dapat meliputi 3 aspek atau hanya dua aspek,
misalnya:
 Menyimak- berbicara- menulis
 Membaca- menulis- berbicara
 Nenulis- berbicara- menyimak- membaca
 Berbicara- menulis- membaca- struktur. Dsb.
Apa yang melatar belakangi perlunya menerapkan pendekatan terpadu
dalam pembelajaran bahasa Indonesia? Jawabannya adalah:
a. Anak menggunakan komponen bahasa Indonesia tidak secara
terpisah melainkan sebagai suatu kesatuan;
b. Komponen kebahasaan , komponen pemahaman (menyimak-
berbicara) dan komponen penggunaan (berbicara-menulis),
bukan merupakan sesuatu yang terpisah melainkan suatu
kesatuan yang utuh;
c. Ketiga aspek BI tersebut secara potensial dapat membentuk
keutuhan (Aminudin, 199
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan sebelum guru merancang
pembelajaran BI secara terpadu adalah sebagai berikut:

47
 Murid tidak mempelajari bahasa secara artificial (terlepas dari
pengalaman berbahasa anak sebagaimana yang lazim
digunakan dalam komunikasi sehari-hari)
 Tidak mempelajari / menghafalkan pengetahuan yang tidak
bermakna bagi keperluan penggunaan bahasa bahasa dalam
kehidupan personal dan social
 Murid tidak mendapatkan pengetahuan dan latihan yang
dipilih secara terpisah sehingga pengetahuan dan pengalaman
yang diperoleh tiak berkesinambungan dengan yang lainnya.
 Murid tidak memroleh materi pembelajaran yang lepas dari
pengalaman actual anak didik, tidak menarik, dan tidak
mendorong rasa ingin tahu dan kreativitas mereka untuk
mengembangkan pengetahuan dan pengalaman yang iperoleh
dalam rangka meningkatkan keterampilan berbahasanya
(Aminudin, 1997)
Dengan menerapkan prinsip tersebut, anak akan lebih mudah
memahami materi pelajaran. Menurut Goodman(1991) ada sejumlah hal yang
menyebabkan sehingga anak dapat belajar bahasa dengan mudah sebagai
berikut:
BELAJAR BAHASA MUDAH, BELAJAR BAHASA SULIT,
JIKA JIKA
Terpadu Terpisah-pisah
Nyata dan alamih Artifisial
Bermakna Tak bermakna
Menarik Membosankan
Relevan dengan kemampuan siswa Tidak relevan dengan kemampuan
siswa
Bagian dari teks Keluar dari kontes/ situasi
Memiliki manfaat social Tak memiliki manfaat sosial
Memiliki tujuan Tak jelas tujuannya
Pilihan siswa Orang lain yang memilihkan
Siswa mampu menggunakannya Siswa tidak mampu
menggunakannya

Penerapan pendekatan terpadu dalam pembelajaran BI di kelas rendah


(1& 2), misalnya sebgai berikut:
- Kelas 1 semester 1, misalnya
Mengajarkan bahasa Indonesia dengan tema “ keluarga”.
48
Sebelum menyuruh anak membaca, guru mengadakan Tanya jawab
tentang gambar yang berkaitan dengan tema. Setelah itu, guru beralih
melatih siswa membaca wacana cerita untuk mengenal lafal, kosakata
serta maknanya. Selanjutnya, siswa disuruh menyalin cerita tersebut.
Pembelajaran di atas menggambarkan bahwa ada 3 aspek yang
dipadukan, yakini (a) kebahasaan: lafal, kosakata, dan makna kata, (b)
keterampilan berbahasa: berbicara, membaca, menulis, dan (c) sastra.
- Kelas 2 semester 1, misalnya
Guru bercerita singkat (30 kata), setelah itu siswa disuruh menulis
kembali cerita tersebut dengan kalimatnya sendiri. Selanjutnya siswa
disuruh menceritakan kembali cerita tersebut di dalam kelompoknya di
depan kelas setelah menyuruh beberapa siswa membaca karangannya
dengan lafal dan intonasi yang tepat secara individual di tempat masing-
masing.
Pembelajaran tersebut menggambarkan pembelajaran yang
mamadukan menyimak, menulis, membaca, dan berbicara/ bercerita
(keterampilan berbahasa), kebahasaan sastra.

5.Pendekatan Proses (Process Approach)


Aminuddin (1997) mengemukakan bahwa pendekatan proses dalam
pembelajaran bahasa Indonesia dilihat dari segi pelaksanaanya tidak
dilakukan seara serempak melainkan secara bertahap, yang meliputi tahap
persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap tindak lanjut, dengan kata lain tahap
persiapan sama dengan tahap pembelajaran prabaca, tahap pelaksanaan sama
dengan pembelajaran saat baca, dan tahap tindak lanjut sama dengan tahap
pascabaca. Untuk lebih memahami tentang pendekatan proses, Pamela (1993)
mengemukakan karakteristik pendekatan proses dengan pendekatan produk
sbb:

PENDEKATAN PRODUK PENDEKATAN PROSES


1. Anak diharapan menjadi 1. Anak diharapkan menjadi
partisipan pasif dalam proses partisipan aktif dalam proses
pembelajaran pembelajaran
2. Produk merupakan bagian penting 2. Proses merupakan bagian penting
pembelajaran Pembelajaran
3. Yang ditekankan dari bagian ke 3. Yang ditekankan dari keseluruhan
keseluruhan ke bagian
4. Motivasi belajar bersifat 4. Motivasi belajar bersifat instrinsik
49
ekstrinsik
5. Pembelajaran berdasarkan pada 5. Pembelajaran berdasar pada
urutan keterampilan pengalaman relevan dan alamiah
6. Siswa dikelompokkan 6. Siswa dikelompokkan menurut
berdasarkan pilihan topik
kemampuan
7. Bersifat kompetitif 7. Bersifat kooperatif
8. Guru membimbing secara 8. Guru membimbing secara langsung
langsung dan melayani secara dan melayani sebagai pasilitator
otoriter
9. Tes objektif dan subjektif 9. Sampel pekerjaan anak digunakan
digunakan sebagai alat evaluasi bahan penilaian (fortofolio)
10. Kelas terpusat pada buku paket 10. Kelas terpusat pada siswa

Dilihat dari segi tahapannya, Pendekatan Keterampilan Proses


terdiri atas 6 tahap: (1) mengamati (2) mengklasifikasi, (3)
mengkomunikasikan, (4) mengukur, (5) memprediksi, (6) menyimpulkan.
Sedangkan Pendekatan Proses meliputi 3 tahap: (1) prabaca/ pramenulis,
(2) saat-membaca/ saat-menulis. Implikasinya dalam pembelajaran
membaca adalah sbb:
Sebelum siswa disuruh membaca bacaan lebih dahulu diberikan
beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan isi bacaan untuk dijawab agar
pengetahuan awal (skemata) dan minat baca siswa dapat terbangkitkan
(prabaca). Pada saat membaa guru memberi bimbingan kepada siswa
yang mengalami kesulitan memahami isi bacaan melalui pertanyaan tak
langsung sehingga siswa dapat menyaari kekeliruannya (saat-baa).
Setelah membaca, siswa ditugasi menjawab pertanyaan pemahaman atau
menceritakan kembali, dan pertanyaan pengembangan (pascabaca).
Sedangkan implikasinya dalam pembelajaran menulis, sebelum
siswa disuruh menulis terlebih dahulu guru memberikan beberapa topik
untuk dipilih lalu membimbing siswa menulis judul dan membuat
kerangkanya (pramenulis). Setelah selesai menyusun kerangka, siswa
mengembangkan kerangka karangan tanpa terlalu memperhatikan
ketepatan aspek mekanik (ejaan dan struktur) agar gagasan siswa dapat
diungkapkan secara optimal (saat-menulis). Setelah draf selesai, siswa
dibimbing dan diarahkan untuk memperbaiki (menghilangkan-
menambah, mengganti, dan menukar kata/ kalimat yang berlebihan,
kurang, tidak tepat, tidak runtut) an selanjutnya siswa menyunting atau
50
mengedit kesalahan pemakaian tanda baca dan penulisan huruf/ kata, baik
terhadap karangannya sendiri maupun terhadap karangan temannya
(pascabaa).

6. Pendekatan Pengalaman Bahasa


Pendekatan Pengalaman Bahasa (PPB) merupakan pendekatan
yang berkaitan dengan perbedaan penggunaan bahasa dan pengalaman
bahasa setiap anak sebagai dasar untuk pembelajaran di kelas renah baik
untuk pembelajaran membaca maupun dalam menulis. Landasan rasional
pendekatan ini sebagaimana yang dinyatakan oleh R.V.Allen “Apa yang
saya pikirkan itu yang saya ucapkan; Apa yang saya bicarakan, itu yang
dapat saya tuliskan; Apa yang saya tuliskan , itu yang dapat say abaca;
Apa yang dapat say abaca, itu yang dapat saya tulis, dan yang ditulis
orang lain buat saya untuk dibaca.”
Pernyataan R.V.Allen tersebut berkaitan dengan ungkapan “ I
hear, I foget; I see, I remember; I do, I understand” (Saya dengar, saya
lupa; saya lihat, saya ingat; saya kerjakan, saya pahami).
PPB merupakan pendekatan yang berdasar pada teoti skema
(schema theory). Hal ini PPB menggunakan pengalaman anak sebagai
dasar untuk bahasa tulis, dengan demikian anak perlu mempunyai
skemata/ pengetahuan yang memaai untuk memahami isi baaan dan
mengembangkan skematanya saat membaca. Pola-pola bahaa yang
ditemukan siswa dalam cerita yang disusunnya nampaknya lebih mudah
dikuasai daripada kalimat dalam bacaan yang disusun oleh orang lain. Di
samping itu anak kelihatannya menemukan pola bahasanya sehingga
lebih mudah membaca dibandingkan pada bacaan lain.
Dengan PPB keterampilan membaca siswa dapat berkembang
secara alamiah dan berlangsung secara berkesinambungan. Hal ini anak
apat melihat hubungan yang nyata antara membaca dengan kata-kata
yang diucapkannya. PPB membantu siswa untuk memvisualisasikan
membaca sebagai suatu “ucapan yang tertulis” (talk written down) dan
memberikan kesempatan yang baik untuk mengembangkan konsep
tentang tulisan, kata-kata, dan kalimat. Saat proses penerapan pengalaman
bahasa, siswa melihat transformasi dari bahasa lisan ke bentuk bahasa
tertulis yang meliputi; jarak kata, tanda baca, dan penulisan huruf capital
(dalam Bum, Roe, Ross, 1996).
Adapun penerapan pendekatan pengalaman bahasa di SD kelas
rendah meliputi empat tahap yakni sebagai berikut:
51
a. Memancing pemunculan pengalaman siswa secara umum
b. Membicarakan pengalaman siswa
c. Menuliskan pengalaman siswa dalam bentuk cerita singkat
secara kooperatif
d. Mengadakan kegiatan pengembangan yang berkaitan dengan
cerita secara bersama-sama (dalam Bum, Roe, Ross, 1996:
353-355).

7. Pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif)


Secara umum pendekatan CBSA adalah suatu proes kegiatan
belajar mengajar yang di dalamnya siswa lebih terlibat secara aktif mulai
dari penyusunan perencanaan pengajaran, penyajian pengajaran, sampai
pada penilaian hasil belajar. Pengertian “siswa terlibat secara aktif”
bersifat relative, artinya kadar keterlibatannya tersebut dalam berbagai
peristiwa pengajaran bervariasi, yang penting dalam pendekatan CBSA
ini adalah adanya proses kegiatan belajar mengajar yang dapat memberi
makna yang konstruktif terhadap pengalaman siswa untuk diri siswa
sehingga mereka menyadari bahwa merekalah yang harus mengalami
PBM itusebagai suatu kebutuhan.
Sesuai dengan pengertian CBSA sebagaimana yang dipaparkan di
atas, pengajaran bahasa Indonesia dengan pendekatan CBSA
dilaksanakan dengan pengelolaan KBM yang melibatan siswa secara
aktif. Pengelolaan KBM bahasa Indonesia dilaksanakan sedemikian rupa
sehingga memberikan kemungkinan seluas-luasnyakepaa siswa untuk
secara aktif mengkaji, memahami, menghayati, berbagai fungsi
komunikasi bahasa Indonesia. Siswa berlatih menggunakan bahasa
Indonesia dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis sehingga
mereka menguasai keempat keterampilan berbahasa tersebut.
Selanjutnya, siswa berlatih bernalar sistematis dan logis melalui
bahasa Indonesia serta mengungkapkannya dalam bahasa Indonesia untuk
memeroleh pengetahuan dan pemahaman, serta kaidah fungsi ahaa. Siswa
berlatih menghayati nilai-nilai etetik dalam bahasa Indonesia. Latihan
tersebut dilaksanakan secara terprogram dengan menekankan aktivitas
siswa sebagai subjek belajar.
Dalam kurikulum 94 GBPP BI tidak tercantum secara eksplisit
pendekatan CBSA tersebut, tetapi jika dicermati esensi pendekatan
CBSA sejalan dengan pendekatan komunikatif, jadi bila menerapkan

52
pendekatan komunikatif dalam Pembelajaran bahasa Indonesia sama
halnya telah menerapkan pendekatan CBSA.

8. Strategi Pengajaran yang Berasosiasi dengan Pembelajaran Kontekstual

Strategi pengajaran yang berasosiasi dengan pendekatan kontekstual, yaitu:


pengajaran berbaasis masalah, pengajaran kooperatif, pengajaran berbasis
inkuiri, pengajaran berbasis proyek, pengajaran berbasis kerja, dan
pengajaran berbasis layanan. Selain strategi-strategi tersebut, masih
banyak strategi pembelajaran lain yang berasosiasi dengan pembelajaran
kontekstual. Namun, strategi tersebut lebih cocok untuk kelas tinggi.
Pendekatan atau strategi yang berasosiasi dengan pembelajaran
kontekstual memiliki kesamaan ciri dalam hal: (1) menekankan pada
pemecahan masalah, (2) menyadari kebutuhan akan pengajaran dan
pembelajaran yang terjadi dalam berbagai konteks seperti di rumah,
masyarakat, dan pekerjaan, (3) mengajar siswa memonitor dan
mengarahkan pembelajaran mereka sendiri sehingga mereka menjadi
pembelajar mandiri, (4) mengaitkan pengajaran pada konteks kehidupan
siswa yang berbeda-beda, (5) mendorong siswa untuk belajar dari sesama
teman dan belajar bersama, (6) menerapkan penilaian autentik, dan (7)
menyenangkan.

9. Strategi Pembelajaran Bahasa di Kelas Awal SD


Strategi Menyimak di Kelas Awal
a. Simak - Ulang Ucap.
Metode simak-ulang ucap biasanya digunakan dalam
memperkenalkan bunyi bahasa dan cara mengucapkannya. Guru
sebagai model membacakan atau mengucapkan atau memutar rekaman
bunyi bahasa tertentu seperti fonem, kata, kalimat, ungkapan, kata-kata
mutiara, semboyan, atau puisi-puisi pendek dengan pelan-pelan, jelas,
dan intonasi yang tepat. Siswa meniru ucapan guru. Pengucapan
53
kembali itu dapat dilakukan secara klasikal, berkelompok, dan
individual. Contoh:
Guru : ini nani
Siswa : ini nani
Guru : ini mama
Siswa : ini mama
Guru : [m]
Siswa : [m]
Dan seterusnya
b. Simak - Kerjakan
Model ucapan guru berisi kalimat perintah. Siswa mereaksi atas
perintah guru. Reaksi siswa dalam bentuk perbuatan. Contoh:
Guru : "Amin, tunjukkan buku barumu!"
Amin : Memperlihatkan buku barunya.
Guru : ”Sidi, tutup pintu itu!”
Sidi : Menutup pintu.
Guru : ”Angkat tangan kirimu, Ani!”
Ani : Mengangkat tangan kirinya.
Selanjutnya:
Guru menyediakan kotak berisi kartu huruf di depan kelas. Siswa
diminta satu per satu i depan kelas mengambil dan menunjukkan huruf
tertentu.
Guru : Ambil dan tunjukkan huruf /a/, Didi!
Didi : Mengambil dan mempertunjukkan huruf /a/.
Guru Simin, tunjukkan huruf /i/.
Simin : Memperlihatkan huruf /i/.
Dan seterusnya
c. Simak - Terka
Guru mempersiapkan deskripsi sesuatu benda tanpa menyebut
nama bendanya. Deskrpsi disampaikan secara lisan kepada siswa.
Kemudian siswa diminta menerka nama benda itu. Contoh:
Guru : "Bentuknya kecil panjang. Ada yang lurus. Ada yang
keriting. Warnanya hitam, pirang, atau putih. Benda itu
disebut juga mahkota wanita.
Siswa : Menerka ” rambut ”
Contoh lain:
Guru : "Setiap makhluk memerlukan kami. Lebih-lebih manusia.
Sayangnya manusia sering mencemari kami. Kalau kami
54
marah, kami hancurkan tanah, ladang, rumah, dan manusia itu
sendiri. Kami telah berjalan jauh. Ke langit sudah. Ke dasar
laut sudah. Bahkan ke dalam tanah pun sudah. Bentuk kami
dapat bermacam-macam mengikuti bentuk tempat di mana
kami ditempatkan. Kami diperlukan oleh semua bangsa.
Siang, malam, di kala panas ataupun dingin kami selalu
dicari manusia. Memang sebagian besar dari tubuh manusia
berasal dari kami.
Siswa : Menyimak lalu menerka. (Air).
d. Simak- Jawab Cerita
Guru menceritakan sebuah dongen, lalu siswa menjawab pertanyaan
guru sehubungan dengan cerita tersebut.
e. Simak-Cocokkan Gambar
Guru menceritakan gambar seri, lalu siswa mencocokkan gambar
sesuai cerita guru tersebut.

Strategi Berbicara di Kelas Awal


a. Lihat-Ucapkan
Guru memperlihatkan kepada siswa benda tertentu kemudian siswa
menyebutkan nama benda tersebut. Benda-benda yang diperlihatkan
dipilih dengan cermat oleh guru disesuaikan dengan lingkungan siswa.
Bila bendanya tidak ada atau tidak memungkin dibawa ke dalam kelas,
maka benda tersebut dapat digantikan oleh tiruannya atau gambarnya.
Contoh:
Guru : mempertunjukkan bola tennis
Siswa : bola tenis
Guru : memperlihatkan mangga
Siswa : mangga
Guru : memperlihatkan gambar gajah
Siswa : gajah
Guru : memperlihatkan gambar mobil
Siswa : mobil
Guru : mempertunjukkan telur ayam
Siswa : telur ayam
b. Memerikan
Memerikan berarti menjelaskan, menerangkan, melukiskan atau
mendeskripsikan sesuatu. Siswa disuruh memperhatikan sesuatu benda atau
gambar benda, kesibukan lalu lintas, melihat pemandangan atau gambarnya
55
dengan teliti. Kemudian siswa diminta menjelaskan atau memeriksa apa
yang telah dilihatnya secara lisan.
Guru : (Memperlihatkan jarum kepada siswa untuk diperlihatkan
dalam beberapa menit).
Ani : (Setelah memperhatikan, menjelaskan benda yang
dilihatnya): Bentuknya bulat kecil memanjang. Warnanya
keputih-putihan. Salah satu ujungnya runcing.
Guru : Bagus, penjelasan Ani, bagus!
c. Menjawab Pertanyaan
Siswa yang susah atau malu berbicara, dapat dipancing untuk
berbicara dengan menjawab sejumlah pertanyaan mengenai dirinya
misalnya mengenai nama, usia, tempat tinggal, pekerjaan orang tua.
Pelaksanaannya sebagai berikut:
Guru : Siapa namamu?
Siswa : Nama saya Halimah.
Guru : Berapa usiamu?
Siswa : Usia saya 7 tahun.
Guru : Di mana engkau tinggal?
Siswa : Di Jalan Pendidikan.
Guru : Apa pekerjaan ayahmu?
Siswa : Ayah saya adalah seorang pedagang.
Guru : Apa pekerjaan Ibumu?
Siswa : Ibu saya guru SD.
Guru : Berapa saudaramu?
Siswa : Saudara saya seorang. Adik saya laki-laki, Umurnya 3
tahun.
d. Bertelepon
Bertelepon ialah percakapan antara dua pribadi dalam jarak
jauh. Komunikasi ini sejenis komunikasi lisan jarak jauh. Ciri khas
bertelepon ialah berbicara jelas, singkat, dan lugas. Faktor waktu harus juga
diperhitungkan. Terlalu lama berbicara menyebabkan biaya mahal
dan mengganggu orang lain yang ingin menggunakan telepon tersebut.
Telepon biasanya digunakan dalam hal-hal penting saja, seperti
penyampaian berita penting, melaporkan kecelakaaan, kebakaran.
perampokan. Teknik bertelepon dapat digunakan sebagai teknik pengajaran
berbicara.

56
Yesi dan Yeni teman sekelas. Kebetulan di rumah mereka masing-
masing ada telepon. Pada suatu malam Yesi menelepon Yeni. Mereka
merundingkan belajar bersama mengerjakan PR.
Yesi : (mencari nomor telpon ) "Hallo 081242711... Saya Yesi,
siapa yang berbicara ini?"
Yeni : "081242711... di sini. Saya Yeni."
Yesi : "Selamat malam Yeni. Ini Yesi."
Yeni : "Selamat malam Yesi. Ada apa?"
Yesi : "Saya usul kita belajar bersama untuk mengerjakan PR
kita”
Yeni : "Bagus, saya setuju. Bila, di mana, dan siapa anggotanya?"
Yesi : "Halo! Kita ajak Susi dan Tuti. Besok kan hari Minggu, jadi
bisa jam 10.00. pagi. Tempatnya di rumahku, setuju?"
Yeni : "Halo! Setuju, setuju!"
Yesi : "Halo Yeni! Betul, ya. Jangan sampai lupa."
Yeni : "Janji tak akan lupa. Selamat malam."
Yesi : "Sampai besok. Selamat malam."

Strategi Membaca di Kelas Awal


Pelajaran membaca permulaan ini diberikan di kelas I dan II, dan
III. Tujuannya ialah agar siswa memiliki kemampuan memahami dan
menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk
dapat membaca lanjut. Mengupayakan agar siswa dapat mengenal dan
membaca huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat
dengan lafal yang tepat dan lancar dan intonasi yang wajar. Pada awal
bacaan hendaknya diberikan materi bacaan dengan memperhatikan
pengenalan huruf secara bertahap (aimn. ulb, od, ks, dan seterusnya),
dan diupayakan menghindari baaan yang terdapat huruf yang sulit
dibaca anak, seperti: f, v, r, sy, ny, ng, dan str.
Di berbagai negara pengajaran membaca permulaan ini
merupakan persoalan yang sangat rumit. Di Indonesia pelaksanaan
pengajaran membaca permulaan dewasa ini dilakukan dengan
menggunakan bahan bacaan dalam bahasa Indonesia. Padahal, sebagin besar
anak Indonesia lahir dan tumbuh sebagai insan daerah yang
menggunakan bahasa daerah. Penggunaan bahasa Indonesia dalam
bahan bacaan untuk pengajaran membaca permulaan itu dimaksudkan
untuk sesegera mungkin mengindonesiakan mereka. Mungkin ini lebih
sulit dilaksanakan -- terutama pada tahap permulaan -- daripada jika
57
diberikan dalam bahasa daerah. Namun, selain lebih ekonomis, pada
masa selanjutnya siswa akan lebih banyak memeroleh manfaat.
Untuk melaksanakan pengajaran membaca permulaan itu, sampai
sekarang telah dikembangkan berbagai metode. Beberapa di antaranya
diuraikan sebagai berikut:

a. Metode Abdjad/ Metode Eja


Metode ini merupakan metode yang sudah sangat tua. Dengan
metode ini, pelajaran membaca dimulai dengan:
- pengenalan huruf secara alphabet dihafalkan dan dibaca
sesuai dengan bunyinya menurut abjad misalnya huruf a,
dibaca "a", huruf b dibaca "be", huruf c dibaca "ce", huruf d
dibaca "de" dan seterusnya. Dalam hal ini guru sering
mengajarkannya melalui lagu ABC. Lagu ini ada dalam
berbagai bahasa setelah siswa menguasai huruf-huruf itu.
- Tahap selanjutnya guru merangkaikan huruf-huruf konsonan
dengan huruf vokal menjadi suku kata, misalnya:
Huruf b dan a dirangkai dan dibaca (be,a --- ba)
Huruf c dan a dirangkai dan dibaca (ce, a --- ca)
- Selanjutnya suku-suku kata dirangkaikan menjadi kata
misalnya “ baca”, dan kata-kata dirangkaikan menjadi
kalimat sederhana.
Penggunaan metode ini kerapkali menimbulkan kecenderungan
mengeja, yaitu membaca huruf demi huruf. Kecenderungan ini
memperlambat proses penguasaan kemampuan membaca permulaan.
b. Metode Bunyi
Metode ini juga merupakan metode yang sudah sangat tua.
Pelaksanaannya hampir sama dengan metode abjad. Tetapi, huruf-huruf
tidak disebut dengan nama abjadnya, melainkan dengan bunyinya. Jadi,
huruf "m" tidak diucapkan sebagai [əm] atau [em] melainkan [m].
Bunyi-bunyi konsonan dirangkaikan dengan bunyi vokal sehingga
membentuk suku kata. Suku kata dirangkaikan menjadi kata, dan
akhirnya kata-kata dirangkaikan menjadi kalimat.
Baik metode abjad maupun metode bunyi sering menggunakan
kata-kata lepas untuk latihan membaca. Misalnya,
ma - ma ru – sa
ma - na ra – si
na - ma i − na
58
a – na ni – na
dan seterusnya
c. Metode Kupas Rangkai Suku Kata
Tahap pertama, metode ini dimulai dengan pengenalan
beberapa suku kata, misalnya /ma, mi, mu, me, mo/. Tahap kedua
setelah siswa mampu membacanya, suku-suku kata itu dirangkaikan
menjadi kata-kata dengan menggunakan tanda penghubung.
Misalnya:
o ma-ma
o mi – na
o ni-na
o i-na
o na – ni
Tahap ketiga tanda penghubung itu digunakan untuk beberapa
lamanya, selanjutnya siswa itu belajar membaca dengan proses
perangkaian kata menjadi kelompok kata atau kalimat sederhana.
Contoh:
o ma-na ni-na
o i-ni ni-na (dan seterusnya)
Dengan metode ini, anak belajar mengenali huruf dengan
mengupas/menguraikan suku kata yang diperkenalkan ke dalam unsur-
unsur hurufnya.
Misalnya:

ma m-a

m-a ma
Karena metode ini mulai dengan suku kata maka seringkali
juga disebut metode suku kata.

d. Metode Kata Lembaga


Siswa belajar membaca melalui kata-kata. Mereka
diperkenalkan beberapa kata. Salah satu di antaranya yang
merupakan kata lembaga, yaitu kata yang dikenal oleh siswa,
"diambil" dan diuraikan menjadi suku kata; suku-suku kata diuraikan
menjadi huruf. Dengan cara ini sekaligus siswa mempelajari beberapa
huruf. Setelah siswa mengenal huruf-huruf itu, guru merangkaikannyaa
kembali menjadi suku kata, dan akhirnya menjadi kata. Contoh:
59
rumah → ru-mah → r-u-m-a-h → ru-mah → rumah
Dari huruf-huruf yang dikenal melalui kata lembaga tadi dapat
dibentuk kata-kata lain, seperti: harum, murah, ramah, marah, haram,
umar, arum, dan sebagainya
e. Metode Global
Metode global ini timbul karena pengaruh aliran psikologi
Gestalt. Menurut aliran itu suatu kesatuan itu lebih bermakna daripada
jumlah bagian-bagiannya. Siswa akan lebih mudah belajar membaca
jika diperkenalkan dengan kalimat secara global.
Mula-mula kepada siswa diperkenalkan beberapa kalimat.
Setelah mereka dapat membacanya, salah satu kalimat diambil untuk
diuraikan. Mula-mula kalimat itu diuraikan menjadi kata, kemudian
kata diuraikan menjadi suku kata, dan akhinrya suku kata diuraikan
menjadi huruf-huruf. Dengan penguraian itu siswa mengenal dan membaca
huruf. Dengan pengenalan kalimat, kata, suku kata, dan huruf siswa
diharapkan dapat membaca kata-kata dan kalimat yang mengandung
huruf-huruf tersebut.
Penerapan metode global ini pada siswa kerap kali
mengakibatkan kecenderungan menghafal kalimat, bukan membaca
kalimat. Siswa menirukan guru membaca kalimat kemudian
menghafalnya. Jika kata-kata itu dilepaskan dari kalimat, siswa tidak
dapat membacanya.

Contoh:

dodi minum susu


dodi minum susu
do-di mi-num su-su
d -o- d- i m- i- n- u- m s - u- s- u

f. Metode Struktur Analitik Sintetik (SAS)


Metode SAS merupakan hasil karya Proyek Pembaharuan
Metode Mengajar (PKMM) dan mulai diterapkan di sekolah-sekolah
pada tahun tujuh puluhan. Metode ini diciptakan untuk memperbaiki
pengajaran membaca.
Beberapa alasan yang mendasari metode SAS yaitu:
60
a. pada dasarnya bahasa itu ucapan, bukan tulisan;
b. unsur bahasa terkecil yang bermakna ialah kalimat;
c. setiap bahasa memiliki struktur yang berbeda dengan bahasa
lain;
d. pada waktu mulai bersekolah, setiap anak telah menguasai
struktur bahasa ibunya;
e. bahasa ibu itu dikuasai siswa tanpa kesadaran tentang aturan-
aturan dalam bahasa tersebut;
f. potensi dan pengalaman bahasa siswa itu perlu
dikembangkan di sekolah;
g. melalui pendidikan di sekolah, siswa dilatih mencari dan
memecahkan masalah;
h. dalam mengamati sesuatu, manusia lebih dahulu melihat
strukturnya atau sosok keseluruhannya;
i. setiap siswa pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu, sehingga
ia ingin mengupas, merusak, atau membongkar sesuatu.
Metode SAS ini dilaksanakan dalam dua periode. Periode yang pertama
ialah periode tanpa buku dan periode yang kedua ialah periode dengan
buku.

1) Periode Membaca Permulaan Tanpa Buku


Periode ini merupakan tahap pertama dalam proses pengajaran
membaca permulaan. Pada periode ini guru menggunakan alat atau
media kecuali buku. Periode ini berlangsung dengan urutan sebagai
berikut:

a) Merekam Bahasa siswa


Hal ini erat hubungannya dengan siswa pada waktu masuk sekolah.
Dari segi kebahasaannya, mereka itu telah menguasai bahasa ibunya.
Mereka juga mempunyai berbagai pengetahuan dan pengalaman yang
diperolehnya dari lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar
rumahnya. Latar belakang kebahasaan, pengetahuan, serta pengalaman
mereka berbeda-beda.
Pada hari-hari pertama guru mencatat kalimat-kalimat yang
diucapkan siswa. Kalimat-kalimat inilah yang dijadikan pola dasar
untuk pengajaran membaca permulaan.

61
b) Bercerita dengan Gambar
Gambar-gambar yang dipajang pada dinding kelas selain
menyemarakkan kelas dapat juga dijadikan alat pengajaran. Tentu saja
dalam hal ini penempatan dan pemilihan gambar harus dilakukan dengan
seksama. Gambar-gambar itu harus menarik dan dapat dirangkaikan
menjadi cerita.
Contoh:

Pada hari-hari pertama siswa masuk sekolah di kelas I, guru dapat


menggunakan gambar-gambar yang ada dalam kelas atau menyiapkan
gambar sebagai alat praga untuk bahan cerita. Melalui pertanyaan-
pertanyaan pancingan dari guru, siswa mengemukakan kalimat
sehubungan dengan gambar yang ditampilkan satu per satu. Gambar-
gambar itu kemudian ditempelkan pada media kartun yang disiapkan
dalam urutan yang baik sehingga dapat dirangkaikan menjadi cerita
sederhana.
c) Membaca Gambar
Guru menunjukkan sebuah gambar, misalnya gambar seorang
anak perempuan berumur 7 tahun, dan memperlihatkan atau memasangnya
pada media kartun.

62
Guru mengatakan "ini Nana". Kemudian, guru melekatkan
tulisan/kalimat "ini nana" di bawahnya. Jika guru menunjuk gambar itu
siswa membaca kalimatnya. Demikian dilakukan oleh guru dan siswa
dengan beberapa gambar. Dalam hal ini siswa belajar membaca gambar.
d) Membaca Gambar dengan Kartu Kalimat
Kartu kalimat yang disertakan pada gambar yang dibaca siswa,
akan menarik perhatian siswa. Mereka memperhatikan kartu dan tulisan
tersebut. Siswa dapat melihat bahwa secara keseluruhan tulisan kalimat
itu berbeda-beda untuk setiap gambar.
Contoh:

ini nana ini nina

ini mama nana ini papa nana

e) Proses Struktural
Gambar-gambar yang memandu kalimat pada kartu kemudian
dihilangkan. Siswa mulai belajar membaca kalimat secara struktural atau
secara global. Untuk memeriksa apakah siswa telah mampu membaca
secara struktural, guru dapat menemukan urutan letak kartu, atau
mengangkat semua kartu kalimat kemudian menampilkannya satu-satu
secara acak dan meminta siswa membacanya.

63
f) Proses Analitik
Jika proses struktural berjalan dengan baik, maka siswa akan
mendengar dan melihat adanya kelompok-kelompok yang diucapkan atau
dibacanya.
Contoh:
ini mama nana
ini adik nana
ini ibu nuni
Dengan begitu proses selanjutnya yaitu proses analitik dapat
dimulai. Kalimat diurai menjadi kata, kata menjadi suku kata, dan suku kata
menjadi huruf. Melalui kegiatan analitik ini, siswa diharapkan mampu
mengenali huruf-huruf dalam kalimat itu.
ini nana
ini nana
i- ni na- na
i - n- i n - a - n - a
Siswa pada akhirnya mengenali huruf. Dari proses analitik ini
diperoleh kartu kalimat, kartu kata, kartu suku, dan kartu huruf.

g) Proses Sintetik
Sesudah siswa mampu mengenali huruf-huruf dalam kalimat, maka
huruf-huruf yang sudah terpisah-pisah itu digabungkan kembali menjadi
suku-kata, kata, dan akhirnya menjadi kalimat. Perhatikan contoh di bawah
ini:

ini nana
ini nana
a analitik
i ni na na
i n i n a n a

i ni na na
sintetik
ini nana
a
ini nana

64
Pengenalan huruf-huruf baru tetap dilakukan melalui kalimat
dengan proses struktural-analitik-sintetik seperti di atas, dengan
menggunakan kartu-kartu. Periode ini berlangsung selama satu setengah
bulan.

2) Periode Membaca Permulaan dengan Buku


Penggunaan buku baru dimulai pada pertengahan semester.
Buku pertama itu memuat kalimat-kalimat dan huruf-huruf yang sudah
dipelajarinya pada periode tanpa buku.
Kegiatan membaca dengan buku ini bertujuan untuk
melancarkan dan memantapkan siswa dalam membaca. Jadi, buku
pertama yang dibaca berfungsi sebagai pelancar. Selain itu juga untuk
membiasakan siswa membaca tulisan berukuran kecil, sebab selama
periode tanpa buku mereka berlatih membaca dengan huruf berukuran
besar.
Pengajaran membaca permulaan dengan metode tersebut
berakhir di kelas II. Pada waktu itu siswa diharapkan telah menguasai
dasar kemampuan membaca yang diperlukan untuk dapat melakukan
kegiatan membaca lanjut. Mereka telah mengenal semua huruf dan
tanda-tanda baca sederhana.
Perlu ditambahkan bahwa segera setelah siswa mampu membaca
kalimat yang ditulis dengan huruf cetak, mereka diperkenalkan juga
dengan tulisan tegak bersambung. Dalam pelaksanaannya pelajaran
membaca permulaan diberikan secara terpadu dengan pelajaran
menulis permulaan.

Strategi Pembelajaran Menulis di Kelas Awal

Berbagai metode pembelajaran menulis, namun tidak semua metode


dapat kita gunakan. Berikut ini akan diuraikan metode pembelajaran menulis
untuk kelas awal

65
a. Metode Mengeblat
Metode mengeblat (Depdikbud, 1993) terdiri atas beberapa jenis
yakni: memakai karbon, memakai kertas tipis, dan menghubungkan titik-
titik pada gambar yang telah disediakan.
Contoh:

b. Metode Menatap (meniru)


Metode ini mengarahkan siswa untuk menatap tutisan di buku/di
papan tulis dengan saksama lalu ditiru/disalin, selanjutnya dibaca
dengan lafal yang tepat. Di kelas I Semester I metode ini disebut
menatap (mengkoordinasikan mata, otak dan tangan).
Contoh:

c. Metod e h u ruf
Metode ini memperkenalkan sejumlah huruf yang dapat dirangkai
menjadi kata lalu dibentuk menjadi katimat . Adapun tangkah
pembelajarannya sebagai berikut:
Langkah ke-1: Tiap kelompok dibagikan gambar yang di dalamnya
terdapat sejumlah huruf (i n i d u r i a n, u b i, n e n a s, )

i i n d r a n u i, b u i, s a n n e
66
Langkah ke-2: Siswa merangkai huruf menjadi kata-baru dengan bantuan
gambar/prediksi (durian, ubi, nenas, buku, dsb)
Langkah ke-3: Siswa merangkai kata menjadi kalimat: Adik membeli buku, Adik
makan durian.
Langkah ke-4: Siswa membaca kalimat dengan lafal dan intonasi yang tepat.

d. Metode SAS
Penerapannya sama dengan pembelajaran membaca.

e. Metode Menulis Sesuai Gambar Seri


Metode menulis ini menggunakan gambar seri yang sesuai dengan
kemampuan berbahasa siswa kelas awal. Metode ini diberikan setelah siswa
mengenal semua huruf atau pada akhir semester satu. Jika anak kelas satu belum
pandai membaca secara keseluruhan, maka sebaiknya metode ini tidak digunakan.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a. Bertanya jawab tentang pengalaman siswa yang berkaitan dengan gambar seri
b. Guru menampilkan gambar seri

(1) .............. (2) ....... (3) ........ (4) ........

c. Bertanya jawab dengan siswa tentang setiap gambar, lalu siswa menulis kalimat
sederhana sesuai gambar.
d. Siswa membaca tulisan tersebut
e. Salah seorang siswa menceritakan secara keseluruhan di depan kelas.

10. Pembelajaran Literasi di Kelas Awal SD


Pada pembahasan terdahulu dijelaskan tentang berbagai metode
pembelajaran bahasa Indonesia di kelas awal. Mulai dari metode menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Setiap metode memiliki karakteristik
masing-masing. Untuk pengembangan diperlukan penerapan metode
pembelajaran yang kreatif dan inovatif, dengan memanfaatkan peran gambar
dan tulisan, lingkungan belajar, materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa,

67
serta pembelajaran yang menyenangkan sehinga kemampuan literasi bagi
anak di kelas awal SD bertambah maju dan berkembang.
Literasi adalah kemampuan berbahasa seseorang (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis) untuk berkomunikasi dengan cara yang
berbeda sesuai dengan tujuannya. Sulzby (1986) mengartikan literasi secara
sempit, yaitu literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Grabe dan Kaplan (1992) dan Graff (2006) yang
mengartikan literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran
literasi:
a. Menciptakan lingkungan kelas yang literat
b. Menggunakan media buku besar (big book) dalam membaca
c. Membuat kalender cerita
d. Memajangkan hasil karya siswa
e. Menciptakan perpustakaan kelas
f. Partisipasi orang tua
Adapun kompetensi literasi di setiap tingkat memiliki perbedaan.
Berikut ini adalah kompetensi literasi yang direkomendasikan untuk
diberikan di kelas awal menurut The University og The State of New York:
Menyimak:
a. Menyimak teks yang dibacakan
b. Menyimak untuk kebutuhan yang berbeda
c. Menyimak sebagai sikap menghormati

Berbicara:
a. Berbicara untuk kebutuhan yang berbeda.
b. Menggunakan kaidah bahasa yang tepat.
c. Menggunakan jenis bahasa yang bervariasi (formal, informal)
d. Berbicara denga ekspresi yang sesuai
e. Bergiliran saat berbicara di kelompok
f. Memberi respons yang sesuai

Membaca:
a. Mengenal bunyi huruf.
b. Membaca kata dengan menghubungkan bunyi huruf.
c. Mengenal konsep tulisan.
d. Membaca lancar.
e. Mengembangkan kosa kata.
68
f. Strategi membaca pemahaman.
g. Motivasi dalam membaca.

Menulis:
a. Mengeja
b. Handwriting
c. Menulis kreatif
d. Motivasi untuk menulis

Contoh Pembelajaran Literasi


a. Guru menyiapkan gambar-gambar
b. Guru menyiapkan kertas yang berbentuk huruf
c. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mencari gambar-
gambar yang dimulai dengan huruf “d” dan menempelnya di kertas
yang berbentuk huruf “d”

d. Siswa meyebutkan bunyi awal kata sesuai gambar

dadu daun

delman durian

69
dasi dokter

e. Siswa menemukan kata-kata yang diawali dengan huru ‘d” di


antaranya: dasi, dokter, daun, delman, dan duku
Dengan kegiatan ini siswa mengenal hubungan antara bunyi,
lambang bunyi, dan kata.

Contoh Pembelajaran menulis


Penekanannya adalah bahwa pembelajaran menulis mencakup
kegiatan menulis, mengeja, dan mengarang.
a. Guru melatih siswa membuat coretan sendiri sesuai
keinginannya dari kiri ke kanan, atas ke bawah, garis lurus,
garis lengkung, lingkaran. (menulis)
b. Guru melatih siswa menulis huruf, kemudian merangkai huruf
menjadi kata, (mengeja).
c. sampai akhirnya siswa dapat membuat kalimat sendiri.
(mengarang).

Contoh Pembelajaran berbicara.


Penggunaan visual pada saat pembelajaran literasi
a. Guru memperlihatkan sebuah gambar

b. Guru bertanya:
- Apa warna kucing?
- Berapa kucing pada gambar?
- Apa yang sedang dilakukan kucing?
- Siapa yang memelihara kucing?
- Bagaimana cara merawatnya?
- Bagaimana pendapatmu tentang kucing?
c. Guru meminta siswa menceritakan apa yang dilihat pada
gambar baik secara lisan maupun tertulis.
70
10. Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Tinggi
Sekolah Dasar
Latihan-latihan Mendengarkan
Berilah para siswa waktu yang cukup untuk mendengarkan.
Berikan situasi yang menyenangkan. Pelajaran jangan terlalu lama.
Mengapa? Karena berdasarkan psikologi perkembangan anak dan
pengalaman menunjukkan bahwa daya konsentrasi anak usia 6 atau 7
tahun hanya kurang lebih 20 menit. Hal ini dapat bertahan jika yang
didengar siswa menarik perhatiannya.
Bicaralah dengan jelas dan jangan terlalu cepat. Jagalah
ketenteraman kelas. Jangan meneruskan pembicaraan kalau ada
kegaduhan di dalam atau pun di luar kelas.
Di kelas IV, V, dan VI, siswa dibiasakan menuliskan 1 kalimat
kesimpulan dari apa yang didengar. Dapat pula diberikan latihan,
misalnya:
 Guru bercerita, kemudian siswa menuliskan rangkuman cerita
guru dalam satu kalimat.
 Guru bercerita, kemudian siswa menjawab pertanyaan
bacaan/cerita, menentukan ide pokok setiap cerita yang
didengar, pelaku/tokoh cerita.
 Guru membisikkan kalimat, kemudian siswa melanjutkan.

Strategi Pembelajaran berbicara di kelas tinggi SD


Pembelajaran berbicara di SD dalam proses belajar-mengajar
menitikberatkan kegiatan berbicara pada pengungkapan ide, pikiran dan isi
hati. Dalam pembelajarah ini semua siswa mendapat kesempatan untuk
berbicara. Untuk mencapai tujuan ini guru merancang strategi belajar-
mengajar dengan kegiatan proses di kelas sesuai dengan topik aktivitas
berbicara. Guru merencanakan pembelajaran, melaksanakan, dan menilai
kegiatan aktivitas berbiacara dengan menggunakan alat penilaian yang
tepat.

Aktivitas Berbicara
Melalui aktivitas berbicara diharapkan siswa memiliki pengetahuan
dan keterampilan yang dapat digunakan untuk berbicara. Aspek yang
ditekankan dalam berbicara adalah a) lafal, bunyi, (b) penempatan tekanan

71
kata, intonasi, nada, ritme, (c) penggunaan kata dan kalimat, dan (d) aspek
kebahasaan.

a. Bercakap-cakap dan Bercerita


Bercakap-cakap termasuk kepada penguasaan bahasa aktif.
Yang dimaksud dengan bercakap-cakap ialah melahirkan pikiran
dan perasaan yang teratur, dengan memakai bahasa lisan.
Banyak calon dan guru-guru yang kurang memahami
perbedaan antara kedua istilah tersebut dalam pengajaran bahasa.
Olah karena itu, kerapkali mereka kurang dapat berhasil
melaksanakannya. Sesungguhnya kedua pengertian itu memang
berbeda, dan digunakan untuk pengajaran yang berbeda maksud
serta pelaksanaannya.
Bercakap-cakap termasuk ke dalam kelompok pengajaran
bahasa. Di dalam pengajaran bercakap-cakap para siswa yang aktif
melakukannya, dan memang tujuannya ialah melatih anak-anak
supaya dapat melahirkan perasaan dan pikirannya dengan teratur,
secara lisan, an dilaksanakan secara berpasangan atau
berkelompok. Sedangkan guru dalam hal ini hanyalah memimpin
dan memberi petunjuk-petunjuk seperlunya.
Bercerita kecuali merupakan mata pelajaran, juga
merupakan bentuk mengajar yang dapat digunakan terhadap berbagai
mata pelajaran. Dalam pengajaran bercerita, kadang guru yang aktif
bercerita, para siswa mendengarkan. Demikian pula sebaliknya siswa
yang aktif bercerita, siswa lain dan guru mendengarkan.Tujuan
pengajaran bercerita bergantung kepada isi dan cara menyajikan
bahannya.

b. Bahan bercakap-cakap
Bahan bercakap-cakap antara lain:
- Pokok-pokok percakapan sebaiknya yang berasal dari dunia
sekitar anak-anak. Dapat juga dipilih dari dunia orang dewasa
yang telah dilihat anak, atau yang telah diketahuinya. Seperti
untuk anak-anak di desa membicarakan tentang: pasar, sawah,
penggilingan padi, sungai, perhelatan (pernikahan, sunatan, dan
sebagainya). Sedang untuk anak-anak di kota: lalu-lintas, stasiun,
kantor pos, pabrik-pabrik, perayaan hari-hari besar, dan lain-lain.

72
- Pokok percakapan harus bersifat individual. Umpama tentang
"Ayamku", bukan "Ayam".
- Usahakan supaya ada unsur emosi dalam jiwa anak yang
bercakap-cakap. Di dalam jiwa anak ada "sesuatu" yang
mendorong untuk berkata-kata. Oleh karena itu, carilah bahan-
bahan yang aktual, pergunakan tiap-tiap kejadian yang istimewa:
di sekolah, di rumah, di kota, dan sebagainya, untuk
menyatakan emosi dan memupuk dorongan akan melahirkan isi
hati mereka. Seperti: Kakakku Menikah, Pasar Malam, Hari
Kelahiran/Ulang Tahun, Pesta Sekolah, dan lain-lain.
- Di kelas-kelas tinggi boleh diambil pokok dari pelajaran lain
(seperti: IPA, IPS, Kesenian, dan sebagainya) yang telah
dipercakapkan. Tetapi dalam pelajaran ini jagalah supaya
tujuannya tetap pelajaran bercakap-cakap dan bukan mata
pelajaran lain.
- Biasakan siswa menuliskan inti sari dari percakapan mereka.
Bercakap-cakap spontan ini harus dibiasakan dari kelas I.
Penilaiannya melalui pengamatan. Untuk dinilai secara
menyeluruh, kegiatan ini dipadukan dengan kegiatan menulis.
Tujuan dari pelajaran ini adalah untuk membuat siswa berani
menyatakan pendapatnya, menghilangkan rasa malu dan rasa ragu-
ragu. Oleh karena itu, harus diusahakan supaya anak mengikuti
dengan tertib.

c. Cara menyampaikan pelajaran


Pelajaran ini dapat diberikan dengan cara:
- Setelah guru menceritakan sebuah cerita yang singkat, menurut
urutan-urutan yang tertentu, anak-anak menceritakan kembali cerita
itu dengan teratur pula.
- Menceritakan deretan gambar-gambar (gambar seri) dari buku
atau yang dibuat guru di papan tulis.
- Menceritakan kembali sebuah bacaan yang sudah dibaca.
Dalam hal ini perhatikan baik tidaknya isi bacaan yang
diceritakan mereka.
- Di kelas-kelas tinggi para siswa mengucapkan beberapa kalimat
yang telah disusun guru di papan tulis sebagai kalimat
percakapan.

73
- Membicarakan hal-hal yang menarik atau berita aktual saat itu
dengan cara berpasangan.

d. Diskusi
Diskusi hampir sama dengan percakapan tetapi lebih
direncanakan, bertujuan, membahas topik-topik khusus. Diskusi dapat
digunakan untuk merencanakan, menginformasikan, memecahkan
masalah, dan mengembangkan ekspresi verbal. Secara tradisional guru
seringkali memberi pertanyaan dan menjadi moderator, siswa
merespon, dan guru mengevaluasi masing-masing respon. Pertanyaan
guru seringkali terstruktur dan memerlukan jawaban pendek. Ini akan
membatasi perkembangan kognitif dan bahasa anak. Diskusi kelompok
kecil akan memberi lebih banyak kesempatan perkembangan bahasa
lisan. Dalam diskusi diperlukan keterampilan bertanya, guru perlu
membimbing kelompok mengembangkan keterampilan bertanya.

e. Memberi Petunjuk
Seperti petunjuk mengerjakan sesuatu, petunjuk mengenai arah letak
suatu tempat, memerlukan sejumlah persyaratan, Petunjuk harus jelas,
singkat, dan tepat. Siswa yang berlatih akan mendapat kesempatan
yang luas untuk berlatih memberi petunjuk.

f. Identifikasi Kalimat Topik


Guru membacakan sebuah paragraf, siswa menuliskan kalimat
topiknya.

g. Main Peran
Main peran adalah simulasi tingkah laku dari orang yang diperankan.
Tujuannya adalah (1) melatih siswa menghadapi situasi yang
sebenarnya, (2) melatih prektik berbahasa lisan secara intensif, (3)
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
kemampuannya berkomunikasi.
Dalam bermain peran, siswa bertindak, berlaku, dan berbahasa
seperti orang yang diperankan. Dari segi bahasa berarti siswa harus
mengenal dan dapat menggunakan ragam-ragam bahasa yang sesuai.

74
h. Bercerita
Bercerita menuntun siswa menjadi pembicara yang baik dan
kreatif. Dengan bercerita siswa dilatih untuk berbicara jelas dengan
intonasi yang tepat, menguasai pendengar, dan untuk berperilaku
menarik.
Kegiatan bercerita harus dirancang dengan baik. Sebelum
kegiatan ini dilaksanakan, jauh sebelumnya guru sudah meminta
siswa untuk memilih cerita yang menarik. Seteah itu siswa diminta
menghafalkan jalan cerita agar nanti pada pelaksanaannya, yaitu
bercerita di depan pendengarnya, tidak mengalami kesulitan.

i. Dramatisasi
Dramatisasi adalah kegiatan mementaskan lakon atau cerita.
Biasanya erita yang dilakonkan sudah dalam bentuk drama. Guru dan
siswa terlebih ahulu harus mempersiapkan naskah dan skenario,
perilaku, dan perlengkapan. Bermain drama lebih kompleks dari pada
bermain peran. Melalui dramatisasi, siswa dilatih untuk
mengekspresikan perasaan dan pikirannya dalam bentuk bahasa lisan.

Pembelajaran Bahasa Tulis (membaca-menulis) di kelas Tinggi SD


a. Reading Aloud
Reading Aloud adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh
guru dan siswa. Guru dapat menggunakan bacaan yang terdapat
dalam buku teks atau buku cerita lainnya dan membacakannya
dengan suara keras dan intonasi yang benar sehingga setiap siswa
dapat mendengarkan dan menikmati ceritanya. Kegiatan ini sangat
bermanfaat terutama jika dilakukan di kelas rendah. Manfaat yang
didapat dari reading aloud antara lain meningkatkan keterampilan
menyimak, memperkaya kosakata, membantu meningkatkan
membaca pemahaman, dan yang tidak kalah penting adalah
menumbuhkan minat baca pada siswa.
Nah, Anda dapat mencoba menerapkan reading aloud di kelas
Anda. Coba Anda pilih cerita pendek yang menarik dari buku cerita
atau dari buku teks yang Anda punya. Lakukan kegiatan ini dua-tiga
kali seminggu sebelum kemudian menjadi kegiatan rutin yang Anda
lakukan setiap hari. Kemudian perhatikan perubahan yang terjadi
pada siswa Anda dan juga diri Anda.

75
b. Sustained Silent Reading
Sustained Silent Reading (SSR) adalah kegiatan membaca
dalam hati yang dilakukan oleh siswa. Dalam kegiatan ini kesempatan
untuk memilih sendiri buku atau materi yang akan dibacanya. Pada
kegiatan ini guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih
bahan bacaan yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri
sehingga mereka dapat menyelesaikan membaca bacaan tersebut.
Guru dalam hal ini sedapat mungkin menyediakan bahan bacaan yang
menarik dari berbagai buku atau sumber sehingga memungkinkan
siswa memilih materi bacaan. Guru dapat memberi contoh sikap
membaca dalam hati yang baik sehingga mereka dapat meningkatkan
kemampuan membaca dalam hati untuk waktu yang cukup lama.
Pesan yang ingin disampaikan kepada siswa melalui kegiatan ini
adalah (a) membaca adalah kegiatan penting yang menyenangkan; (b)
membaca dapat dilakukan oleh siapa pun; (c) membaca berarti kita
berkomunikasi dengan pengarang buku tersebut; (d) siswa dapat
membaca dan berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang
cukup lama; (e) guru percaya bahwa siswa memahami apa yang
mereka baca; dan (f) siswa dapat berbagi pengetahuan yang menarik
dari materi yang dibacanya setelah kegiatan SSR berakhir.
c. Journal Writing
Salah satu cara yang dipandang cukup efektif untuk
meningkatkan keterampilan siswa menulis adalah dengan
mengimplementasikan pembelajaran menulis jurnal atau menulis
informal. Melalui menulis jurnal, siswa dilatih untuk lancar
mencurahkan gagasan dan menceritakan kejadian di sekitarnya tanpa
sekaligus memikirkan hal-hal yang bersifat mekanik. Tompkins
(1991:210) menyatakan bahwa penekanan pada hal-hal yang bersifat
mekanik membuat tulisan mati karena hal tersebut tidak mengizinkan
gagasan siswa tercurah secara alami. Dengan demikian, siswa dapat
bebas mencurahkan gagasan tanpa merasa cemas dan tertekan
memikirkan mekanik tulisannya.
Banyak manfaat yang dapat kita peroleh dari kegiatan menulis
jumal ini. Manfaat tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
1) Meningkatkan kemampuan menulis. Dengan menulis jurnal siswa
akan terbiasa mengungkapkan pikirannya dalam bentuk tulisan
yang kemudian membantunya untuk mengembangkan
kemampuan menulis.
76
2) Meningkatkan kemampuan membaca. Siswa secara spontan akan
membaca hasil tulisannya sendiri setiap la selesai menulis jurnal.
Dengan cara ini tanpa disadari siswa melatih kemampuan
membacanya, sehingga dengan menulis jurnal siswa tersebut juga
meningkatkan kemampuan membaca.
3) Menumbuhkan keberanian menghadap risiko. Karena menulis
jurnal bukanlah kegiatan yang harus dinilai, maka siswa tidak
perlu takut untuk berbuat salah. Bahkan kesempatan ini dapat
digunakan sebagai sarana untuk bereksplorasi.
4) Memberi kesempatan untuk membuat refleksi. Melalui menulis
jurnal dapat merefleksi apa yang telah dipelajarinya atau
dilakukannya.
5) Memvalidasi pengalaman dan perasaan pribadi. Kejadian apa
saja yang dialami oleh siswa baik di sekolah mapun di luar
sekolah dapat diungkapkan dalam jurnal. Dengan menghargai apa
yang ditulis siswa akan membuat siswa merasa dihargai.
6) Memberikan tempat yang aman dan rahasia untuk menults.
Terutama untuk siswa kelas tinggi, jurnal adalah sarana untuk
mengungkapkan perasaan pribadi. Jurnal ini sering disebut diary
atau buku harian. Untuk jurnal jenis ini siswa boleh memilih
apakah guru boleh membaca jurnalnya atau tidak.
7) Meningkatkan kemampuan berpikir. Dengan meminta siswa
menulis jurnal, berarti melatih mereka melakukan proses berpikir,
mengingat kembali, memilih kejadian mana yang akan
diceritakan, dan menyusun informasi yang dimiliki menjadi cerita
yang dapat dipahami pembaca. Dengan membaca jurnal, guru
mengetahui kejadian atau materi mana yang berkesan dan
dipahami siswa dan mana bagian yang membuatnya bingung.
8) Meningkatkan kesadaran akan peraturan menulis. Melalui
menulis jurnal siswa belajar tata cara menulis seperti penggunaan
huruf besar, tanda baca, dan struktur kalimat. Siswa juga mulai
menulis dengan menggunakan topik, judul, halaman, dan
subtopik. Mereka juga menggunakan bentuk tulisan yang berbeda
seperti dialog (percakapan) dan cerita besambung. Semua in]
diajarkan tidak secara formal.
9) Menjadi alat evaluasi. Siswa dapat melihat kembali jumal yang
ditulisnya dan menilai scndiri kemampuan menulisnya. Mereka
dapat melihat komentar atau respon guru atas kemajuannya. Guru
77
dapat menggunakan jurnal sebagai sarana untuk menilai
kemampuan bahasa siswa, di samping juga penguasaan materi dan
gaya penulisan.
10) Menjadi dokumen tertulis. .lurnal writing dapat digunakan siswa
sebagai dokumen tertulis mengenai perkembangan hidup atau
pribadinya. Setelah mereka dewasa, mereka dapat melihat kembali
hal-hal apa yang pernah mere-ka anggap penting pada waktu
dahulu.

Membaca (Pengajaran Membaca Lanjut)


1. Membaca Teknik
a. Tujuan Pengajaran Membaca Teknik
Tujuan pengajaran membaca teknik ialah untuk memperbaiki dan
melancarkan teknik membaca pada anak-anak. Artinva: melatih anak-
anak dengan tepat dan mudah mengubah tulisan menjadi suara dengan
memerhatikan ucapan, tekanan, dan irama." Teknik membaca yang
baik terutama terletak dalam soal menggerakkan pandangan mata",
demikian kata Emil Javal seorang sarjana Prancis.
Beberapa faktor yang memengaruhi kemampuan membaca:
1). Latihan-latihan.
2). Sifat bahan yang dibaca (mudah/sukar).
3). Besarnya perhatian.
Membaca dengan teknik yang baik tidak hanya soal gerakan
mata (soal lancar), tetapi meliputi pula tepatnya lagu, tekanan, dan
lafalnya. Dengan demikian tujuan membaca teknik dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1) Mengajarkan/melatih membaca dengan lancar dan jelas, dengan
jalan: membuat lompatan-lompatan mata yang besar.
2) mengurangi lompatan-lompatan balik.
3) memerhatikan isi bacaan sehingga proses asimilasi berlangsung
dengan baik
4) Mengajarkan membaca dengan tepat. (Ini juga dipengaruhi
proses asimilasi).
5) Mengajarkan membaca dengan lagu yang tepat (seperti orang
bercakap-cakap), penggunaan tanda baca.
6) Mengajarkan membaca dengan ucapan yang tepat (lafal harus
jelas).

78
b. Bahan
1) Pilihlah bahan bacaan yang sederhana, baik susunannya maupun
isinya.
2) Dapat/ boleh mengambil bahan yang telah dipercakapkan dalam
pelajaran membaca dalam hati; tetapi sebaiknya hendaklah bahan
yang baru.

2. Pengajaran Membaca dalam Hati


a. Tujuan
1) Melatih siswa menangkap arti bacaan itu dalam waktu yang
singkat.
2) Melatih siswa belajar sendiri, untuk memeroleh pengetahuan (nilai
praktis).
3) Melatih kesanggupan memusatkan perhatian dan pikiran
kepada suatu soal (nilai formal), melatih anak untuk dapat
mengambil kesimpulan dari apa yang dibacanya.
b. Bahan
Selain dari buku bacaan, boleh pula diambil dari buku-buku
bacaan pelajaran, seperti: IPS, IPA, bahkan dapat juga diambilkan
dari majalah-majalah, surat-surat kabar, dan lain-lain. Jadi isi tidak
hanya cerita saja, tetapi juga yang mengandung pengetahuan. Bahan
bacaan hendaklah yang mengandung kemungkinan untuk berpikir
dan uraiannya pendek. Isi bacaan sesuai jiwa anak, supaya dapat
menimbulkan dorongan ingin tahu secara spontan, dan tidak banyak
mengandung kata-kata sulit bagi anak-anak. Guru menjelaskan
semua kata-kata yang baru kenal siswa.
c. Metode pembelajaran membaca lanjut
1) DIA (Directed Inquiri Activity)
2) DRTA (Directed Reading Thinking Activity)
3) CTA (Concept Text Application)
4) KWLH (Know Wont Learned How)
5) SQ3R (Survey Question Read Recite Review)
Salah satu di antaranya yang dapat dijelaskan adalah metode
SQ3R sebagai berikut:
SQ3R yang diadaptasi dari buku Teaching Reading in Today’s
Elementary School oleh Burn dkk (1996) dijelaskan bahwa SQ3R
singkatan dari:

79
S (survey) membaca sekilas,
Q (question) bertanya,
R (read) baca,
R (recite) menjawab, imbas kembali atau nyatakan secara
lisan,
R (review) baca ulang/ semula/ meninjau kembali/
memeriksa ulang.
Survey (tinjau) ialah langkah membaca untuk mendapatkan
gambaran keseluruhan tentang apa yang terkandung di dalam bahan
yang dibaca. Ini dilakukan dengan meneliti garis besar, sub-sub topik,
gambar-gambar atau ilustrasi, grafik, sampai pada penelusuran
bahagian-bahagian akhir buku atau teks tersebut.
Question (soal atau tanya) ialah langkah yang memerlukan
siswa mengajukan pertanyaan mengenai teks tersebut. Pertanyaan
tersebut menggambarkan tujuan yang akan diperoleh dari bahan
tersebut, dan menjadi panduan ketika saatbaca dilakukan. Selanjutnya
siswa akan mencari jawaban soal-soal tersebut.
Read (baca) ialah membaca bahan atau teks tersebut secara
aktif serta berusaha mendapat segala jawaban atas soal-soal yang
telah diuraikan. Ketika membaca, siswa mungkin juga akan
menjawab soal-soal tambahan, berdasarkan perkembangan
pemahaman dan keinginannya sepanjang melakukan pembacaan.
Recite (imbas kembali) ialah setelah selesai membaca, siswa
mengingat kembali apa yang telah dibaca dan meneliti segala yang
telah diperoleh. Siswa juga boleh menjawab soal-soal yang diuraikan
sebelumnya tanpa merujuk kepada bahan yang telah dibaca.
Review (baca semula) merupakan langkah terakhir. Siswa
membaca bahagian-bahagian buku atau teks secara menyeluruh untuk
memeriksa/mencocokkan jawaban-jawaban soal yang dibuatnya pada
langkah ketiga.

Pembelajaran Menulis di Kelas Tinggi (4-6) SD


Menulis merupakan salah satu kemampuan yang perlu dimiliki
oleh siswa mulai sekolah dasar sampai sekolah lanjutan. Dengan
memiliki kemampuan menulis, siswa dapat mengomunikasikan ide,
penghayatan dan pengalamannya ke berbagai pihak.
Mengingat sangat pentingnya pelajaran menulis tersebut, maka
guru harus betul-betul memahami aspek-aspek menulis dan memiliki
80
kemampuan menulis yang memadai agar dapat membina
kemampuan menulis siswa. Rendahnya keterampilan menulis siswa
bukan disebabkan oleh minimnya kemampuan siswa melainkan
disebabkan oleh pendekatan yang dipilih guru kurang membimbing siswa
secara terarah ( Halik, 2001).
Di tingkat sekolah dasar mulai ditanamkan dasar-dasar
kemampuan menulis ini. Berbeda dengan kemampuan yang lain, pada
awal siswa disuruh menulis atau mengarang; semua komponen yang
membangun karangan itu sekaligus sudah dituntut. Itulah sebabnya
kemampuan menulis itu dikatakan sangat kompleks.
Adapun pembelajaran menulis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Menulis Sastra
a. Menulis Cerita
1) Mengurutkan kartu kalimat menjadi cerita.
Strategi ini membimbing siswa untuk menyusun kartu-
kartu yang berisi satu atau dua kalimat yang teracak sehingga
menjadi sebuah cerita yang runtut dan utuh.
2) Melengkapi (bagian awal, tengah, akhir) cerita.
Mengarahkan siswa untuk melengkapi bagian cerita yang
telah dikosongkan pada bagian awal, atau pada bagian tengah,
atau bagian akhir cerita.
3) Mengurutkan gambar seri untuk menulis cerita
Guru membimbing siswa mengurutkan gambar seri
sebelum menulis ceritanya. Berdasarkan gambar seri yang telah
diurutkan (maksimal 6 seri), sebagai sumber gagasan untuk
membuka daya imajinasi anak menulis cerita sederhana.
Melalui gambar seri, anak menentukan pokok pikiran
yang akan menjadi kerangka karangan, memahami alur dan
bentuk cerita secara utuh, dan pada akhirnya siswa dapat menulis
cerita dengan menggunakan sejumlah kalimat. Hal ini mudah
dilatihkan melalui mengarang dengan bantuan gambar seri
tersebut (Purwanto, 1997:63).

81
Contoh Skenario Pembelajaran Menulis dengan Menggunakan
Gambar Seri

 Guru menampilkan gambar seri.

 Melalui bimbingan/ pertanyaan guru, siswa menceritakan setiap


gambar seri secara lisan.
 Siswa secara bergantian menceritakan gambar seri baik secara sebagian
atau keseluruhan.
 Siswa menulis cerita yang telah diceritakan tersebut berdasarkan
gambar seri.
 Siswa mengungkapkan pesan/ kesan cerita yang telah ditulis.
4) Menulis cerita berdasarkan pengalaman.
Materi ini merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang
dapat mendorong siswa menulis dengan cara menulis pengalaman-
pengalaman siswa yang mereka anggap paling menarik.
5) Menulis cerita fiksi
Materi ini menuntut anak menuliskan secara utuh dan runtut
sebuah cerita fiksi yang pernah ia dengar atau tonton dengan
memperhatikan di mana, kapan, bagaimana, dan siapa pelaku dalam
cerita tersebut

82
b. Menulis puisi
1) Menulis puisi sesuai pengalaman
Sebelum menulis puisi, siswa dibimbing membuat kerangka
setiap bait dengan memperhatikan hubungan setiap larik.
Berdasarkan kerangka tersebut sebagai dasar untuk menuangkan
perasaannya dalam bentuk puisi.
Misalnya: Bait pertama =
Salah satu tempat rekreasi
Tempatnya
Keindahannya
Suasananya
Bait kedua
Manfaatnya
Melestarikannya
2) Menulis pantun tentang kehidupan
Mengarahkan siswa untuk dapat membedakan antara
sampiran dengan isi pantun secara tepat. Dengan demikian siswa
dapat mengurutkan larik pantun yang telah diacak, atau dapat pula
dengan melengkapi bait pantun.
Contoh:
Terang bulan di pinggir ........
Banyak ikan berenang-renang
Hidup di dunia buatlah bakti
Agar hidupmu ......................

Menulis Nonsastra
a. Menulis Karangan
Mengarang berarti menyusun/merangkai kata, kalimat, dan
alinea untuk menjabarkan atau mengulas topik dan tema tertentu
guna memroleh hasil akhir berupa karangan. (Finoza, 2005:211).

b. Strategi Pembelajaran Menulis Karangan


Kegiatan menulis adalah suatu proses, yaitu proses penulisan.
Ini berarti, bahwa kita melakukan kegiatan menulis dalam beberapa
tahap, yakni tahap prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap revisi.
(Akhadiah dkk, 1988:2).
Dengan demikian, salah satu strategi yang dapat diterapkan
pada pembelajaran menulis adalah strategi Aktivitas Menulis
83
Terbimbing ( Directed Writing Activity). Strategi ini berdasar pada
pendekatan proses, yang dirancang oleh Blake dan Spenato (1980)
menurut perancangnya strategi ini dapat meningkatkan keterampilan
menulis siswa (dalam Halik, 2001: 52). Adapun tahapan
pembelajarannya meliputi:

1) Tahap Pramenulis (prawriting)


Pada tahap ini fokus kegiatan pembelajaran menulis
adalah siswa mencurakan sejumlah topik berdasarkan tema
tertentu, memilih topik sendiri, mempertimbangkan tujuan,
bentuk, dan pembaca, Mencari bahan, menyusun kerangka
karangan, lalu mengembangkannya, serta menulis judul
karangan.

2) Tahap Menulis Buram (drafling)


Pada tahap ini siswa dibimbing untuk mencurahkan ide
atau gagasannya secara tertulis berdasarkan kerangka karangan
yang telah disusun tanpa terlalu memperhatikan aspek kesalahan
mekanik atau kesalahan penyusunan kalimat dan pilian kata serta
ejaan. Hal ini dilakukan karena kesalahan mekanik dapat
diperbaiki pada tahap selanjutnya. Yang utama, siswa dapat
menuangkan gagasannya secara utuh, runtut, dan logis.

3) Tahap Perbaikan (revising)


Pada tahap ini siswa dibimbing untuk memperbaiki aspek
isi gagasan yang telah ditulis dalam bentuk buram dengan cara:
a) Mengganti gagasan yang tidak logis.
b) Menambah gagasan yang tidak utuh.
c) Menukar letak gagasan yang dianggap tidak runtut/sistematis.
d) Menghilangkan sebagian gagasan yang dianggap sudah
berulang/mubazir.

4) Tahap Penyuntingan (editing)


Pada tahap ini, siswa dibimbing untuk menyunting
penggunaan tanda baca dan penulisan huruf kapital dan kata
dasar yang dianggap tidak tepat menurut kaidah Ejaan Yang
Disempurnakan pada karangan yang telah direvisi.

84
5) Tahap Publikasi (publishing)
Pada tahap ini, siswa mempublikasikan karangan yang
telah direvisi dan disunting kepada teman-teman atau guru, atau
orang tuanya, baik secara langsung (membacakan di depan kelas)
maupun secara tak langsung (di tempel di majalah dinding
sekolah atau dikirim ke majalah/surat kabar untuk diterbitkan.

Menulis Nonkarangan:
1. Menulis iklan
Contoh:

2. Menulis Slogan
Slogan adalah kalimat pendek yang menarik atau mencolok
dan mudah diingat serta untuk memberitahukan sesuatu.
(Subagyo, 2005:81)
Contoh:

3. Poster
Poster merupakan:
pemberitahuan/peringatan yang ditulis di papan, seng, kain,
kertas lebar dan dipasang di tepi jalan atau di tempat strategis.
Contoh motivasi Ramadhan:

85
4. Riwayat hidup, dll

86
BAB VI
EVALUASI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
DI SEKOLAH DASAR

A. Pengertian Evaluasi, Pengukuran, dan Tes


(Bloom, 1981) mendefinisikan evaluasi sebagai suatu kegiatan
pengumpulan bukti 'evidence' secara sistematik untuk melihat apakah
siswa telah mengalami perubahan perilaku serta bagaimana atau berapa
besarnya perubahan itu. Perubahan perilaku itu dihubungkan dengan
tujuan pengajaran yang menyangkut ranah kemampuan kognitif, afektif,
dan psikomotor.
Gronlund memandang evaluasi sebagai suatu proses sistematik yang
mencakup kegiatan mengumpulkan, menganalisis, serta menafsirkan
informasi untuk menentukan keberhasilan siswa dalam upaya pencapaian
hasil belajarnya.
Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, evaluasi lebih ditekankan
fungsinya untuk memantau perubahan tingkah laku yang terjadi dan
kemajuan yang dicapai siswa. Dengan melakukan evaluasi guru dapat
menjawab masalah seperti: sampai di mana kemampuan siswa
menggunakan konsep, apakah seorang siswa telah mencapai tujuan, adakah
kesulitan yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan soal fisika, dan
seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan serupa itu hanya dijawab dengan
melakukan evaluasi.
Yang dimaksud dengan pengukuran di sini ialah proses untuk
mendapatkan pemerian kuantitatif' mengenai tinggi rendahnya pencapaian
seseorang dalam suatu tingkah laku tertentu. Dengan demikian hasil
pengukuran selalu berbentuk angka seperti pada pernyataan, "Amara dapat
menjawab dengan benar C di antara 50 soal yang diberikan", untuk
mendapatkan angka tersebut digunakan alat ukur. Alat ukur ada yang
bersifat verbal dan ada yang non-verbal. Alat ukur yang banyak digunakan
di dalam bidang pendidikan ialah tes.
Tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas yang telah
direncanakan untuk memeroleh informasi tentarg apa yang hendak diketahui
yang mempunyai jawaban yang dianggap benar. Sehubungan dengan
pelaksanaan tes, ada empat hal yang harus diperhatikan yaitu kerahasiaan
hasil tes, keamanan tes, interpretasi hasil tes, dan penggunaan tes.

87
B. Tujuan Pengukuran, Evaluasi, dan Tes Pengajaran Bahasa
Tujuan tes, pengukuran, dan evaluasi ada empat yang paling pokok,
yaitu motivasi, belajar tuntas, sebagai indikator efektivitas pembelajaran, dan
umpan balik. Perkembangan tes bahasa dewasa ini yang harus diterapkan
yaitu kompetensi kebahasaan, kompetensi reseptif, kompetensi produktif, dan
kompetensi kesastraan
Seperti tujuan evaluasi pendidikan/pengajaran pada umumnya, evaluasi
pengajaran bahasa diselenggarakan terutama untuk meningkatkan mutu
pendidikan/pengajaran bahasa. Untuk mencapai tujuan itu evaluasi dapat
dilakukan baik terhadap program pengajaran bahasa maupun hasilnya,
mencakup dimensi konteks, proses belajar mengajar, dan hasilnya. Karena
itu, pada bagian ini akan dibahas dahulu hal-hal yang menyangkut evaluasi
terhadap hasil belajar bahasa.

C. Prinsip Umum Evaluasi


Harus diingat bahwa dalam pendidikan/pengajaran evaluasi itu
hanyalah sekedar cara untuk mencapai tujuan, bukan merupakan tujuan.
Evaluasi hanya dilakukan dalam hubungan dan merupakan bagian suatu
program, unit, atau kegiatan pengajaran. la merupakan cara untuk
memeroleh, menganalisis, serta menafsirkan informasi tentang perubahan
perilaku yang terjadi pada siswa. Tujuannya ialah untuk meningkatkan atau
memperbaiki pengajaran.
Gronlund mengemukakan 5 prinsip umum evaluasi sebagai
berikut: (1) dalam proses evaluasi yang terlebih dahulu harus dilakukan
ialah menentukan apa yang akan dievaluasi, (2) teknik evaluasi dipilih
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, (3) evaluasi secara meyeluruh
'comprehensive' memerlukan bermacam-macam teknik evaluasi, (4) harus
disadari benar bahwa setiap teknik evaluasi memiliki kekuatan dan
kelemahannya masing-masing, (5) evaluasi hanyalah sekedar alat untuk
mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri (Gronlund, 1985: 18 - 20).

D. Perbedaan Penilaian Proses dan Penilaian Hasil


Latif (1997) mengemukakan beberapa perbedaan antara Penilaian
proses (assessment) dengan penilaian hasil atau tes konvensional
(product). Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

88
1. Dari segi waktu
Penilaian hasil (tes konvensional) dilaksanakan pada akhir priode
tertentu seperti caturwulan atau semester, sedangkan Penilaian proses
dilaksanakan di sepanjang proses Pembelajaran atau seiring dengan
pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar, mulai dari awal, tengah, dan
akhir Pembelajaran.

2. Dari segi tujuan


Penilaian hasil bertujuan untuk menentukan hasil belajar yang
dicapai siswa pada akhir priode tertentu, misalnya pada akhir
semester/caturwulan, tengah semester, akhir Pembelajaran. Penilaian
hasil tersebut digunakan oleh guru untuk mengetahui tingkat keberhasilan
yang dicapai setiap siswa berdasarkan tujuan yang dirumuskan dalam
rencana Pembelajaran.
Sedang Penilaian proses bertujuan untuk mengetahui: 1) apakah
hasil belajar yang dicapai siswa sesuai dengan proses yang tepat, 2)
kesulitan belajar apa yang dihadap siswa dalam mencapai tujuan khusus
Pembelajaran secara tepat, 3) pola bimbingan belajar apa yang dapat
diberikan kepada siswa sehingga kesulitan belajar yang dialaminya dapat
terselesaikan secara tuntas.
Hasil Penilaian proses dipergunakan guru sebagai dasar penentuan
tindakan dalam memilih kegiatan belajar-mengajar yang dapat
meningkatkan kemampuan siswa secara maksimal, sebagai dasar untuk
membimbing siswa yang mengalami kesulitan belajar dalam menapa
tujuan khusus Pembelajaran yang telah dirumuskan dalam rencana
Pembelajaran secara optimal.

E. Alat Evaluasi
Alat evaluasi yang digunakan di dalam pengajaran Bahasa pada
dasarnya sama dengan yang digunakan di dalam pengajaran lainnya,
walaupun ada beberapa yang memang khusus digunakan dalam
pengajaran Bahasa saja. Alat ini dapat dikelompokkan sebagai alat ukur
tes dan nontes
Untuk mengukur kemampuan-kemampuan berbahasa. Pada bagian
ini hanya akan dibahas macam-macam tes yang akan digunakan baik
untuk evaluasi dalam proses maupun evaluasi hasil belajar berbahasa
termasuk hasil belajar berbahasa pada ranah afektif dan psikomotorik.
Perlu dipahami bahwa evaluasi hendaknya disesuaikan dengan indikator
89
atau tujuan yang ingin dicapai pada proses belajar-mengajar Bahasa
Indonesia.

F. Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Rendah


Sekolah Dasar

Tes Menyimak di Kelas Rendah SD


Kemampuan menyimak bersifat reseptif. Siswa memehami pesan
yang dikomunikasikan secara lisan.Kemampuan ini pada dasarnya lebih
bersifat kognitif, menganalisis suatu pesan yang disampaikan secara
lisan, menyimpulkan sejumlah pesan yang dikomunikasikan melalui
rekaman atau cerita yang disampaikan oleh guru. Aspek yang dinilai
(indicator Penilaian) adalah: ketepatan. Pilihan kata, susunan kalimat,
sikap.
Adapun Bentuk evaluasi menyimak di kelas awal SD menurut
kurikulum 2004 Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
1) Menyuruh siswa menjawab pertanyaan berkaitan dengan
cerita yang didengar.
2) Menyuruh siswa mengutarakan kembali isi cerita.
b. Tes Berbicara
Pada prinsipnya keterampilan berbicara memberikan kesempatan
kepada siswa untuk berbicara, bukan menulis. Oleh sebab itu penilaian
berbicara lebih ditekankan pada praktik berbicara. Mengevaluasi
kemampuan berbicara seseorang merupakan kegiatan yang kompleks,
yang tidak hanya sekadar mencakup persoalan ucapan/lafal dan intonasi
saja, melainkan kemampuan menggunakan kata, kalimat, dan wacana
yang sekaligus mencakup kemampuan kognitif dan psikomotorik atau
dapat dibagi atas dua aspek yakni kebahasaan dan nonkebahasaan. Aspek
kebahasaan yang dinilai adalah: ketepatan isi, lafal, intonasi, pilihan
kata/kalimat, struktur tatakata dan tatakalimat. Nonkebahasaan
mencakup:
penampilan/sikap/ekspresi.
Adapun contoh bentuk evaluasi berbicara di kelas rendah SD
adalah:
1) Siswa diminta memperkenalkan dirinya.
2) Siswa diminta berbicara melalui telepon sesuai dengan
etika atau santun bertelepon.
3) Siswa diminta menyebutkan tokoh-tokoh dalam dongeng.
90
4) Siswa diminta menjawab pertanyaan guru secara lisan.
Dsb.

c. Tes Membaca
Pengajaran membaca sekarang ditekankan pada pemahaman
bacaan sebagai keterampilan komunikasi. Tingkat kemampuan membaca
menurut taksonomi Barret ada lima tingkatan yakni: tingkat literal
(mengingat kembali), tingkat penataan kembali (menganalisis,
mensintesis, manata ide-ide dan informasi), tingkat inferensial
(kemampuan menggunakan ide-ide), tingkat evaluatif (kemampuan
memastikan dan menilai kualitas ide dalam bacaan), dan tingkat
apresiatif (menerapkan kepekaan emosional dan estetika yang dimiliki
siswa). Namun untuk kelas awal SD penekanannya adalah membaca
teknik lafal dan intonasi yang tepat dengan pemahaman isi bacaan.
Adapun contoh bentuk evaluasi membaca adalah:
1) Siswa diminta membaca kalimat sederhana dengan lafal
dan intonasi yang tepat.
2) Siswa diminta membacakan bait-bait puisi dengan intonasi
yang sesuai.
3) Siswa menjawab pertanyaan tentang isi bacaan.
Dsb.

d. Tes Menulis
Kemampuan ini mencakup kemampuan-kemampuan yang lebih
khusus di antaranya menyangkut pemakaian ejaan, struktur kalimat,
kosakata, serta penyusunan paragrap. Aspek yang dinilai adalah:
ketepatan, pengembangan topik (logis, relevan, dan jelas),
pengorganisasian isi (runtut, utuh, dan koheren), struktur, pilihan kata
(diksi), penerapan ejaan dan kerapian. Namun untuk kelas awal SD,
kegiatan menulis penekanannya pada menulis tegak bersambung,
menyalin, melengkapi, ketepatan penulisan huruf, dsb.
Adapun contoh evaluasi menulis adalah:
1) Siswa diminta menulis kalimat sederhana sesuai gambar
seri.
2) Siswa diminta menyambung garis putus-putus pada gambar
yang tersedia
3) Siswa menjiplak, mengubah/menyalin kalimat dari tulisan
terpisah menjadi tulisan tegak bersambung.
91
Dsb.

G. Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Tinggi Sekolah


Dasar
a. Tes Menyimak di kelas tinggi SD
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kemampuan menyimak
bersifat reseptif. Oleh karena itu maka tes menyimak berarti siswa
memahami pesan yang dikomunikasikan secara lisan. Kemampuan ini
pada dasarnya lebih bersifat kognitif, menganalisis suatu pesan yang
disampaikan secara lisan, menyimpulkan sejumlah pesan yang
dikomunikasikan melalui rekaman atau cerita yang disampaikan oleh
guru. Aspek yang dinilai (indikator Penilaian) adalah: ketepatan. pilihan
kata, susunan kalimat, sikap.

Penilaian proses: pengamatan aktivitas siswa dalam kelompok dan selama


proses pembelajaran dengan menggunakan tabel observasi aktivitas:
A. Bekerja sama dalam kelompok;
B. Memberikan sumbang saran/ide dalam kelompok;
C. Menerima saran dan kritik untuk perbaikan; dan
D. Cepat melaksanakan/menyelesaikan tugas
Contoh tabel:

No Nama Aktivitas siswa


siswa
A B C D

Ya Tidak Ya tidak ya tidak ya Tidak

Adapun bentuk evaluasi menyimak di kelas tinggi SD menurut


kurikulum 2004 Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
(a) Menyuruh siswa mencatat isi petunjuk atau atau membuat
sketsa petunjuk sesuai dengan yang didengar.
(b) Menyuruh siswa menjelaskan kembali isi petunjuk.
92
(c) Menyuruh siswa mengajukan pertanyaan berkaitan dengan
cerita yang didengar.
(d) Menyuruh siswa mengutarakan kembali isi cerita.
(e) Menyuruh siswa menyampaikan cerita yang isinya mirip.
(f) Menyuruh siswa menjelaskan isi pantun yang didengar.
(g) Menyuruh siswa menyimpulkan ciri-ciri pantun.

b. Tes Berbicara di kelas tinggi SD


Mengevaluasi kemampuan berbicara seseorang merupakan
kegiatan yang kompleks, yang tidak hanya sekadar mencakup persoalan
ucapan/lafal dan intonasi saja, melainkan kemampuan menggunakan kata,
kalimat, dan wacana yang sekaligus mencakup kemampuan kognitif dan
psikomotorik. Aspek yang dinilai adalah: ketepatan isi, lafal, intonasi,
pilihan kata/kalimat, struktur tatakata dan tatakalimat. Sedangkan aspek
nonkebahasan termaasuk: kenyaringan suara, kelancaran, mimik,
keberanianrelevan dengan judul, penguasaan topik, penalaran, sikap
berbicara, santun berbicara (penampilan/sikap/ekspresi).
Adapun contoh bentuk evaluasi berbicara adalah:
(1) Siswa diminta menceritakan
(2) kegemarannya.
(3) Siswa diminta memberi tanggapan, pendapat, dan saran
disertai alasan yang logis tehadap masalah-masalah aktual
yang terjadi di sekitar.
(4) Siswa diminta menerima telepon sesuai dengan etika atau
santun bertelepon.
(5) Siswa diminta menyebutkan tokoh-tokoh dalam dongeng.
(6) Siswa diminta menceritakan isi dongeng secara rinci dengan
bahasa yang runtut.
(7) Siswa diminta memerankan tokoh/bermain peran dalam
dialog/percakapan sesuai karakter tokoh.
Aspek yang dinilai:
(a) bahasa(lafal, intonasi, pilihan kata, susunan kalimat)
(b) ekspresi wajah dan anggota tubuh
(c) dialog (tepat, lancar, komunikatif
(d) penampilan (santun, penuh perhatian, luwes, berani) dsb.

93
c. Tes Membaca di kelas tinggi SD
Pengajaran membaca sekarang ditekankan pada pemahaman
bacaan sebagai keterampilan komunikasi. Tingkat kemampuan membaca
menurut taksonomi Barret ada lima tingkatan yakni: tingkat literal
(mengingat kembali), tingkat penataan kembali (menganalisis,
mensintesis, manata ide-ide dan informasi), tingkat inferensial
(kemampuan menggunakan ide-ide), tingkat evaluatif (kemampuan
memastikan dan menilai kualitas ide dalam bacaan), dan tingkat
apresiatif (menerapkan kepekaan emosional dan estetika yang dimiliki
siswa)
Contah
Penilaian Hasil:
1. Sebutkan gagasan pokok teks bacaan !
2. Ceritakan kembali isi teks bacaan dengan kalimat sendiri!

Contoh Format Penilaian untuk Menemukan Gagasan Pokok


Secara Cepat (soal no 1)

Nama Kecepatan Ketepatan (10- 100)

1. Tasrun
2. Asia
3. Amir

Adapun contoh lain bentuk evaluasi membaca adalah:


(1) Siswa diminta mengidentifikasi kata sulit dalam bacaan.
(2) Siswa diminta menjelaskan isi teks dengan runtut.
(3) Siswa diminta membaca teks pengumuman dengan lafal dan
intonasi yang tepat.
(4) Siswa diminta membacakan bait-bait pantun dengan intonasi yang
sesuai.
(5) Siswa diminta menemukan secara cepat dan tepat informasi yang
diperlukan.
(6) Siswa menjawab pertanyaan tentang isi teks.
(7) Siswa meringkas bacaan

94
Aspek yang dinilai:
- dari segi penggunaan bahasa: (pilihan kata dan susunan
kalimat
- pemaparan isi (tepat, runtut, utuh, ringkas)
- penulisan (ketepatan ejaan, kerapian tulisan
(8) Siswa diminta menceritakan kembali isi bacaan

d. Tes Menulis di kelas tinggi SD


Kemampuan ini mencakup kemampuan-kemampuan yang lebih
khusus di antaranya menyangkut pemakaian ejaan, struktur kalimat,
kosakata, serta penyusunan paragrap.
Aspek yang dinilai adalah:
 ketepatan, pengembangan topik (logis, relevan, dan jelas).
 pengorganisasian isi (runtut, utuh, dan koheren),
 struktur, pilihan kata (diksi)
 penerapan ejaan dan kerapian.
Adapun contoh evaluasi menulis adalah:
(1) Siswa diminta mengurutkan gambar seri secara logis.
(2) Siswa diminta menuliskan cerita yang padu dan utuh
berdasarkan gambar seri.
(3) Siswa diminta menulis butir-butir pokok karangan.
(4) Siswa diminta mengembangkan butir-butir pokok karangan
menjadi karangan yang padu.
(5) Siswa diminta mencatat hal-hal penting yang dialami
sepanjang hari, dsb.

TEKNIK NONTES
Dalam pengajaran bahasa, untuk mengevaluasi berbagai aspek
kemampuan berbahasa terutama yang mengandung unsur afektif,
psikomotor atau bersifat kompleks digunakan berbagai teknik nontes.
Termasuk portofolio, lembaran observasi, angket, dan sebagainya.
Adapun jenis tagihan nontes di antaranya berupa tugas-tugas yang
dilakukan di luar jam pembelajaran dapat berupa tugas rumah (PR) dan
tugas-tugas lain seperti membuat, menulis, melaporkan, menganalisis sesuatu
yang membutuhkan waktu yang relatif lama, baik secara individual maupun
kelompok. Di samping itu, jenis tagihan dapat juga berupa portofolio, yaitu
suatu prestasi yang diperoleh siswa pada snatu kurun tertentu.

95
a. Instrumen untuk Portofolio
Instrumen ini sengaja dibahas karena dalam kurikulum 2013 bahkan
kurikulum sebelumnya yakni KBK dan penilaian berbasis kelas, portafolio
merupakan salah satu bentuk penilaian. Portofolio adalah kumpulan
pekerjaan siswa. Penilaian portofolio pada dasarnya adalah penilaian
terhadap karya-karya siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, semua
tugas penulisan yang dikerjakan siswa baik perseorangan atau kelompok di
dalam atau di luar kelas dalam jangka waktu tertentu, misalnya satu semester
dikumpuikan, kemudian dilakukan penilaian.
Sebagaimana ditunjukkan dalam tugas-tugas menulis dan tes esai
dalam penilaian hasil belajar Bahasa Indonesia, siswa diharapkan untuk
berunjuk kerja secara aktif produktif lewat bahasa tulis. Kemampuan menulis
tersebut merupakan salah satu standar kompetensi yang harus dimi!iki oleh
siswa. Dalam bidang apresiasi sastra pun siswa banyak dituntut untuk mampu
berunjuk kerja lewat bahasa tulis, yang merupakan salah satu kemampuan
yang juga harus dimiliki siswa.
Semua itu menunjukkan bahwa dalam jangka waktu tertentu,
misalnya satu semester siswa telah menghasilkan sejumlah karya tulis, baik
yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan menulis maupun
kemampuan apresiasi sastra. Tulisan siswa tersebut, misalnya mulai dari
menulis berbagai jenis kalimat, membuat paragraf, membuat cerita, membuat
surat, membuat karangan dengan topik tertentu, menceritakan kembali
tuturan langsung lewat berbagai media dalam bentuk tulisan, membuat
sinopsis cerita, sampai dengan menulis karya sastra seperti puisi atau cerpen
sederhana. Hasil karya siswa inilah yang dijadikan bahan penilaian
portofolio.
Jika kumpulan karya sastra tersebut banyak, karya yang akan dinilai
secara portofolio tidak harus seluruhnya, tetapi dapat dibatasi pada karya
tertentu yang terpi!ih karena dalam penilaian portofolio siswa akan diminta
secara bersama untuk membahas dan menilai hasil karyanya, mereka sendiri
boleh menentukan tulisan mana yang diambil sebagai sampel. Lewat
portofolio dapat pula dinilai perkembangan kemampuan siswa dalam
menulis.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian
portofolio, yaitu: (1) karya yang dikumpulkaan benar-benar merupakan karya
siswa yang bersangkutan, (2) karya siswa yang dijadikan contoh pekerjaan
yang akan dinilai haruslah mencerminkan perkembangan kemampuan dan
mewakili, (3) kriteria yang dipakai untuk menilai portopolio haruslah telah
96
ditetapkan sebelumnya, (4) siswa diminta menilai secara terus-menerus hasil
portofolionya, (5) perlu dilakukan pertemuan dengan siswa yang dinilai.
Selain itu, penilaian portofolio memiliki karakteristik tertentu yang berbeda
dengan tes bentuk objektif sehingga penggunaannya juga harus sesuai dengan
tujuan atau kernampuan dasar dan substansi yang akan diukur.

Contoh kisi-kisi penilaian untuk portofolio

No Karya yang Tanggal Prestasi/skor


dihasilkan diperoleh/dibuat
1 Lomba baca puisi 2 Desember 2017 Juara 1/skor
tingkat kabupaten 8
2 Karya tulis untuk 1 Januari 2018 7
majalah dinding
3 Cerita pendek 10 Januari 2018 7

b. Observasi (pengamatan)
Evaluasi yang dilakukan dengan teknik pengamatan atau observasi
adalah evaluasi dengan cara mengadakan pengamatan terhadap sesuatu
hal secara langsung; teliti, dan sistematis. Kegiatan pengamatan ini
disertai dengan kegiatan pencatatan terhadap sesuatu yang diamati. Oleh
karena itu, diperlukan format pengamatan.
Berdasarkan rencana kerja pihak pengamat, observasi dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu observasi berstruktur dan tak
berstruktur. Dalam pengamatan berstruktur, kegiatan pengamatan telah
diatur, dibatasi dengan kerangka kerja tertentu yang telah disusun secara
sistematis. Contoh pengamatan berstruktur adalah evaluasi terhadap
keterampilan berpidato, berdeklamasi, bercerita, wawancara. Aspek yang
dinilai adalah: lafal, struktur kalimat, pilihan kata, kelancaran, dan
penampilan.
Pengamatan tak berstruktur, sebaliknya tidak membatasi
pengamatan dengan kerangka kerja yang telah dipersiapkan, melainkan
hanya dibatasi oleh tujuan pengamatan yang dilakukan. Sebagai contoh
pengamatan yang dilakukan terhadap tingkah laku siswa dalam kegiatan
belajar-mengajar sehari-hari
Instrumen nontes hasil belajar bahasa Indonesia harus mencakup
performansi dan sikap atau afeksi siswa terhadap bahasa dan Sastra
lndonesia, lnstrumen penilaian terhadap hasil belajar bahasa berupa
97
pengamatan terhadap performansi berbahasa yang dimaksudkan untuk
mengukur keterampilan berbahasa siswa secara langsung. Siswa diminta agar
mampu melakukan aktivitas berbahasa sebagaimana halnya dalam kehidupan
yang nyata dalam situasi yang sengaja diciptakan atau disimulasikan.
Beberapa hal yang perlu di!akukan dalam penyiapan tugas ini antara lain
sebagai berikut.
1) Pilih tugas tertentu yang menuntut siswa menampilkan
kemampuan berbahasanya secara langsung, misalnya tugas
berpidato dan bercerita,
2) Siapkan bahan yang mendukung pelaksanaan tugas, misalnya
rekaman pita radio, televisi, teks tertulis yang sesuai dengan
kondisi siswa.
3) Tuliskan rambu-rambu atau aspek-aspek yang akan diamati dan
dinilai misalnya: dalam bentuk pedoman dan tentukan bobot tiap
aspek.
Komponen afektif ikut menentukan keberhasilan belajar berbahasa
siswa. Siswa yang memiliki tingkat afektif tinggi memiliki peluang untuk
berhasil jauh lebih baik daripada yang tidak memilikinya. Komponen afektif
antara lain berupa sikap, minat, motivasi, dan kesungguhan belajar. Dalam
rangkaian kegiatan pembelajaran komponen afektif perlu diungkap. Hal itu
dimaksudkan untuk mengetahui tingkat afektif siswa terhadap siswa yang
berafeksi kurang, dan diberi motivasd agar meningkat:
Untuk memeroleh data afektif siswa, perlu disusun instrumen nontes
yang khusus dirancang. untuk tujuan itu, misalnya lembar observasi.
Observasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan guru untuk mendapatkan
informasi tentang siswa dengan cara mengamati tingkah laku dan
kemampuannya selama kegiatan observasi berlangsung. Observasi dapat
ditujukan kepada siswa secara perseorangan ataupun kelompok. Dalam
kegiatan observasi perlu dipersiapkan format pengamatan. Di dalam format
pengamatan di antaranya berisi: (1) perilaku-perilaku atau kemampuan yang
akan dinilai, dan (2) batas waktu pengamatan.
Jika instrumen yang dimaksud sudah ada, dapat dipergunakan, tetapi
dapat pula instrumen itu dikembangkan sendiri dengan cara memberikan
sejumlah pertanyaan yang disertai sejumlah jawaban. Hampir sama dengan
penggunaan angket. Jawaban dibuat dalam bentuk skala (skala Likert),
misalnya 5-1, yang menunjukkan sikap positif, nilai 5 untuk yang
menunjukkan sikap sangaf senang, senang (4), netral (3), kurang senang (2),
dan tidak senang (1).
98
Pelaksanaan kegiatan observasi memerlukan waktu yang relatif lebih
lama dibanding kegiatan tes. Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan
pengamatan secara berkali-kali, terutama yang berstruktur dengan
menciptakan situasi khusus, kiranya kurang efisien.
Pelaksanaan pengamatan yang terkondisi sebaiknya sekali saja,
kecuali yang tak berstruktur yang dapat dilakukan setiap hari dalam kegiatan
belajar rnengajar. Bagaimanapun kegiatan pengamatan sangat diperlukan
karena dapat rnemberikan informasi yang tak dapat diperoleh rnelalui
kegiatan tes. Oleh karena itu, para guru hendaknya juga memanfaatkan
pengumpulan informasi penilaian melalui kegiatan pengamatan, atau teknik
nontes pada umumnya.

(6) Penilaian melalui wawancara


Wawancara merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk
mendapatkan informasi dari siswa dengan melakukan tanya jawab. Dalam
kaitannya dengan evaluasi kebahasaan dan kesastraan misalnya saja
dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang keadaan siswa di luar
sekolah, membantu menafsirkan hasil belajar kebahasaan siswa; seperti
bahasa yang dipergunakan di rumah, buku yang dibaca tentang apa saja,
dan sebagainya
Teknik wawancara ini diperlukan guru untuk tujuan mengungkapkan
atau mengejar lebih lanjut tentang hal-hal yang dirasa guru kurang jelas
informasinya. Teknik wawancara ini dapat pula digunakan sebagai alat untuk
menelusuri kesukaran yang dialami siswa tanpa ada maksud untuk menilai.
Sebelum menentukan teknik dan alat penilaian, penulis soal perlu
menetapkan terlebih dahulu tujuan penilaian dan kompetensi dasar yang
hendak diukur.

99
BAB VII
PENGANTAR PENGEMBANGAN SILABUS

A. Pengertian Silabus
KTSP: Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok
mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi ,
kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu,
dan sumber belajar. (BSNP, 2006:14).
K13: Silabus merupakan rencana pembelajaran pada suatu mata pelajaran
yang mencakup kompetensi inti, kompetensi dasar, materi pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, penilaian, alokasi waktu, dan sumbe belajar. (Permen
No 59 tahun 2014)

B. Prinsip Pengembangan Silabus


1. Ilmiah
Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus
harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

2. Relevan
Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi
dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan spritual peserta didik.

3. Sistematis
Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional
dalam mencapai kompetensi.

4. Konsisten
Adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi
dasar, indikator, materi pokok/pembelajaran, pengalaman belajar, sumber
belajar, dan sistem penilaian.

5. Memadai
Cakupan indikator, materi pokok/pembelajaran, pengalaman belajar,
sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian
kompetensi dasar.

100
6. Aktual dan Kontekstual
Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar,
dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni
mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.

7. Fleksibel
Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman
peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan
tuntutan masyarakat.

8. Menyeluruh
Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif,
afektif, psikomotor).
C. Unit Waktu Silabus
1. Silabus mata pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu
yang disediakan untuk mata pelajaran selama penyelenggaraan
pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
2. Penyusunan silabus memperhatikan alokasi waktu yang disediakan
per semester, per tahun, dan alokasi waktu mata pelajaran lain yang
sekelompok.
3. Implementasi pembelajaran per semester menggunakan penggalan
silabus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
untuk mata pelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia pada
struktur kurikulum. Bagi SD/MI menggunakan penggalan silabus
berdasarkan satuan kompetensi.
D. Pengembangan Silabus
Pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri
atau berkelompok dalam sebuah sekolah/madrasah atau beberapa sekolah,
kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) pada atau Pusat
Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendikan.
1. Disusun secara mandiri oleh guru apabila guru yang bersangkutan
mampu mengenali karakteristik peserta didik, kondisi
sekolah/madrasah dan lingkungannya.
2. Apabila guru mata pelajaran karena sesuatu hal belum dapat
melaksanakan pengembangan silabus secara mandiri, maka pihak
sekolah/madrasah dapat mengusahakan untuk membentuk kelompok
101
guru mata pelajaran untuk mengembangkan silabus yang akan
digunakan oleh sekolah/madrasah tersebut.
3. Di SD/MI semua guru kelas, dari kelas I sampai dengan kelas VI,
menyusun silabus secara bersama. Di SMP/MTs untuk mata
pelajaran IPA dan IPS terpadu disusun secara bersama oleh guru
yang terkait.
4. Sekolah/Madrasah yang belum mampu mengembangkan silabus
secara mandiri, sebaiknya bergabung dengan sekolah-
sekolah/madrasah-madrasah lain melalui forum MGMP/PKG untuk
bersama-sama mengembangkan silabus yang akan digunakan oleh
sekolah-sekolah/madrasah-madrasah dalam lingkup MGMP/PKG
setempat.
5. Dinas Pendidikan/Departemen yang menangani urusan
pemerintahan di bidang agama setempat dapat memfasilitasi
penyusunan silabus dengan membentuk sebuah tim yang terdiri dari
para guru berpengalaman di bidangnya masing-masing.
E. Langkah-langkah Pengembangan Silabus

1. Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar/ Kompetensi


Inti dan Kompetensi Dasar.
Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran
sebagaimana tercantum pada Standar Isi, dengan memperhatikan hal-hal
berikut:
a. urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat
kesulitan materi, tidak harus selalu sesuai dengan urutan yang ada di
SI;
b. keterkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam
mata pelajaran;
c. keterkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar
antarmata pelajaran.

2. Mengidentifikasi Materi Pokok/Pembelajaran


Mengidentifikasi materi pokok/pembelajaran yang menunjang
pencapaian kompetensi dasar dengan mempertimbangkan:

102
a. potensi peserta didik;
b. relevansi dengan karakteristik daerah;
c. tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan
spritual peserta didik;
d. kebermanfaatan bagi peserta didik;
e. struktur keilmuan;
f. aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
g. relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan;
dan
h. alokasi waktu.
3. Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan
pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui
interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan
sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar.
Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan
pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta
didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu
dikuasai peserta didik.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan
kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.
a. Kegiatan pembelajaran disusun untuk memberikan bantuan kepada
para pendidik, khususnya guru, agar dapat melaksanakan proses
pembelajaran secara profesional.
b. Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus
dilakukan oleh peserta didik secara berurutan untuk mencapai
kompetensi dasar.
c. Penentuan urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan
hierarki konsep materi pembelajaran.
d. Rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal
mengandung dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan
pengalaman belajar siswa, yaitu kegiatan siswa dan materi.

103
4. Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi
Indikator merupakan penanda pencapaian kompetensi dasar yang
ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik,
mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata
kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator
digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.

5. Penentuan Jenis Penilaian


Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan
berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non
tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran
sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk,
penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memroleh,
menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta
didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga
menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian.
a. Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian kompetensi.
Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa
dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan
bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
b. Sistem yang direncanakan adalah sistem penilaian yang
berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti semua indikator ditagih,
kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar
yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui
kesulitan peserta didik.
c. Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak
lanjut berupa perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program
remedi bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya di bawah
kriteria ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta didik yang
telah memenuhi kriteria ketuntasan.
d. Sistem penilaian harus disesuaikan dengan pengalaman belajar yang
ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran
menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan maka evaluasi
harus diberikan baik pada proses (keterampilan proses) misalnya

104
teknik wawancara, maupun produk/hasil melakukan observasi
lapangan yang berupa informasi yang dibutuhkan.

6. Menentukan Alokasi Waktu


Penentuan alokasi waktu pada setiap kompetensi dasar didasarkan
pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per minggu
dengan mempertimbangkan jumlah kompetensi dasar, keluasan, kedalaman,
tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan kompetensi dasar. Alokasi waktu
yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk
menguasai kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik yang
beragam.

7. Menentukan Sumber Belajar


Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan
untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan elektronik,
narasumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya.
Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan
kompetensi dasar serta materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
dan indikator pencapaian kompetensi.
F. Hal-hal yang Perlu diperhatikan dalam Pengembangan Silabus
1. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia harus mencakup empat
aspek, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis,
sedangkan pelaksanaannya terintegrasi.
2. Pembelajaran materi kebahasaan dan kesastraan terintegrasi ke
dalam empat aspek keterampilan berbahasa sebagaimana tersebut di
atas.
3. Penentuan alokasi waktu harus memperhatikan jumlah jam yang
tersedia dalam satu semester atau satu tahun.
4. Alokasi waktu setiap Kompetensi Dasar (KD) harus memperhatikan
kedalaman dan keluasan materi pembelajaran.
5. Kompetensi Dasar (KD) yang membutuhkan waktu lebih dari yang
tersedia dalam contoh silabus dapat dilakukan di luar jam tatap
muka.
6. Tanda bintang (*) pada contoh silabus menunjukkan materi
pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi

105
BAB VIII
PENYUSUNAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
DAN SIMULASI

A. Pengertian RPP
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan
pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP adalah
rencana pembelajaran yang dikembangkan secara rinci dari suatu materi
pokok atau tema tertentu yang mengacu pada silabus untuk mengarahkan
kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi
Dasar. RPP yang dimaksud merupakan RPP Kurikulum 2013 khusus jenjang
Sekolah Dasar yang tentunya sudah direvisi Tahun 2017.
Revisi tersebut salah satunya memuat Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) di dalam pembelajaran. Karakter yang diperkuat terutama 5
karakter, yaitu: religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
Selain PPK pada pembelajaran perlu juga diintegrasikan literasi;
keterampilan abad 21 atau diistilahkan dengan 4C (Creative, Critical
thinking, Communicative, dan Collaborative); dan Higher Order Thinking
Skill (HOTS).

B. Karakteristik RPP yang baik adalah sbb:


1. Memuat aktivitas proses belajar mengajar yang akan dilaksanakan
oleh guru yang akan menjadi pengalaman belajar bagi siswa.
2. langkah-langkah pembelajaran disusun secara sistematis agar
tujuan pembelajaran dapat dicapai.
3. langkah-langkah pembelajaran disusun serinci mungkin sehingga
apabila RPP digunakan oleh guru lain (misalnya ketika guru kelas
tidak hadir) mudah dipahami dan tidak menimbulkan penafsiran
ganda.

C. KOMPONEN RPP K13 revisi 2017


1. IDENTITAS
Adapun identitas RPP yang dituliskan adalah:
o Identitas Sekolah : (Diisi nama sekolah/satuan pendidikan)
o Mata Pelajaran : (Diisi nama mata pelajaran)
o Kelas/Semester : (Diisi dengan jenjang kelas dan semester)
106
o Materi Pokok : (Diambil dari Kompetensi Dasar/KD)
o Alokasi Waktu : sesuai dengan keperluan untuk pencapaian
KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran
yang tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai.

2. KOMPETENSI INTI/ KI
a). KI dikutib dari Permendikbud no 21 Tahun
2016
b). Kompetensi Inti mencakup:
- KI-1: sikap spiritual,
- KI-2: sikap sosial,
- KI-3: pengetahuan,
- KI-4: keterampilan
yang berfungsi sebagai pengintegrasi muatan pembelajaran, mata
pelajaran atau program dalam mencapai SKL.

3. KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR PENCAPAIAN


KOMPETENSI/ KD DAN IPK

a. KD dikutib dari Permendikbud No 24 Tahun 2016


b. KD merupakan kemampuan minimal dan materi pembelajaran minimal
yang harus dicapai peserta didik untuk suatu mata pelajaran pada
masing-masing satuan pendidikan yang mengacu pada KI.
c. IPK dikembangkan dari KD, merupakan kemampuan minimal yang
dapat diobservasi untuk disimpulkan sebagai pemenuhan KD pada KI 1
dan KI 2, dan kemampuan yang dapat diukur dan/atau diobservasi
untuk disimpulkan sebagai pemenuhan KD pada KI 3 dan KI 4.
d. IPK dari KD pengetahuan menggambarkan dimensi proses kognitif dan
dimensi pengetahuan meliputi faktual, konseptual, prosedural, dan/atau
metakognitif
e. IPK dari KD keterampilan memuat keterampilan abstrak dan/atau
ketrampilan konkret
f. IPK disusun menggunakan kata kerja opresional yang dapat
diukur/dilakukan penilaian sesuai dengan karakteristik mata pelajaran.

107
Pengertian Indikator
• Indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh
perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
• Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata
pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam
kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN
a. Dirumuskan berdasarkan KD, dengan menggunakan kata kerja
operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan
b. Dituangkan dalam bentuk deskripsi, memuat kompetensi yang hendak
dicapai oleh peserta didik
c. Memberikan gambaran proses pembelajaran
d. Memberikan gambaran pencapaian hasil pembelajaran

5. MATERI PEMBELAJARAN
a. Memuat fakta, konsep/prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis
dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator ketercapaian
kompetensi/IPK
b. Ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan cakupan materi yang
termuat pada IPK atau KD pengetahuan
c. Cakupan materi sesuai dengan alokasi waktu yang ditetapkan
d. Mengakomodasi muatan lokal dapat berupa keunggulan lokal, kearifan
lokal, kekinian dll yang sesuai dengan cakupan materi pada KD
pengetahuan

6. METODE PEMBELAJARAN
a. Harus mampu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik mencapai KD yang disesuaikan dengan karakteristik
peserta didik dan KD yang akan dicapai
b. Menerapkan pembelajaran aktif (peserta didik yang aktif) yang
bermuara pada pengembangan Higher Order Thinking Skills (HOTS)
c. Menggambarkan sintaks/tahapan yang jelas (apabila menggunakan
model pembelajaran tertentu).
d. Sesuai dengan tujuan pembelajaran
e. Menggambarkan proses pencapaian kompetensi
108
7. MEDIA PEMBELAJARAN
a. berupa alat bantu proses pembelajaran untuk menyampaikan materi
pelajaran
b. Mendukung pencapaian kompetensi dan pembelajaran aktif dengan
pendekatan ilmiah
c. Sesuai dengan karakterisitik peserta didik
d. Memanfaatan teknologi pembelajaran sesuai dengan konsep dan prinsip
tekno-pedagogis

8. SUMBER BELAJAR
o dapat berupa buku,
o media cetak dan elektronik,
o alam sekitar, atau
o sumber belajar lain yang relevan

9. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
Hendaknya mengintegrasikan:
a. Disingkat 4C (Communication, Collaborative, Critical Thinking, dan
Creativity) kemampuan berkomunikasi, kemampuan berinteraksi,
kemampuan berpikir/lebih luas dari Higher Order Thinking Skill
(HOTS):
- Communication (komunikasi) merupakan kegiatan mentransfer sebuah
informasi baik secara lisan maupun tulisan
- Creativity (kreativitas): kemampuan mengembangkan solusi, ide,
konsep, teori, prosedur, produk. inovasi adalah bentuk kreativitas
(sintesis antara fullan, 2013 dan oecd, 2014),
- Collaboration (kerjasama): kemampuan kerjasama dalam kelompok
baik tatap muka atau melalui komunikasi dunia maya untuk
memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, membuat keputusan,
dan negosiasi untuk mencapai tujuan tertentu (sintesis antara lai, 2011
dan dede, 2010)
- communication (berkomunikasi): kemampuan mengemukakan pikiran
atau pandangan dan hasil lain dalam bentuk lisan, tulisan,
menggunakan IT, dan kemampuan mendengar, kemampuan memahami
pesan (revisi dari fullan, 2013, canada, 2014)

109
b. Higher Order Thinking Skill (HOTS) kemampuan berpikir
c. Literasi, antara lain pengembangan budaya membaca dan menulis yang
dirancang untuk mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman
beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan, dll
d. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)
e. Pembelajaran dirancang: interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi pesertadidik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik
f. Dilakukan melalui tahapan:
- pendahuluan,
- inti, dan
- penutup
1) Kegiatan Pendahuluan:
- menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti
proses pembelajaran;
- memberi motivasi belajar peserta didik secara kontekstual sesuai
manfaat dan aplikasi materi ajar dalam kehidupan sehari-hari,
dengan memberikan contoh dan perbandingan lokal, nasional dan
internasional, serta disesuaikan dengan karakteristik dan jenjang
peserta didik;
- mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan
pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
- menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang
akan dicapai; dan
- menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan
sesuai silabus.
2) Kegiatan Inti:
- menggunakan model pembelajaran, metode pembelajaran, media
pembelajaran, dan sumber belajar yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan mata pelajaran.
- Menggunakan pendekatan saintifik atau pendekatan lain yang
relevan dengan karakteristik materi dan mata pelajaran.
- Mengembangkan sikap melalui proses afeksi mulai dari
menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, hingga
mengamalkan (seluruh aktivitas pembelajaran berorientasi pada

110
tahapan kompetensi yang mendorong peserta didik untuk
melakukan aktivitas tersebut)
- Mengembangkan pengetahuan melalui aktivitas mengetahui,
memahami, menerapkan,menganalisis, mengevaluasi, hingga
mencipta.
- Mengembangkan keterampilan melalui kegiatan mengamati,
menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta.
- Seluruh isi materi mata pelajaran yang diturunkan dari
keterampilan harus mendorong peserta didik untuk melakukan
proses pengamatan hingga penciptaan.
3) Kegiatan Penutup
- guru bersama peserta didik baik secara individual maupun
kelompok melakukan refleksi untuk mengevaluasi hal-hal
berikut.
- seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran dan hasil-hasil yang
diperoleh untuk selanjutnya secara bersama menemukan manfaat
langsung maupun tidak langsung dari hasil pembelajaran yang
telah berlangsung;
- memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil
pembelajaran;
- melakukan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pemberian tugas,
baik tugas individual maupun kelompok; dan
- menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk
pertemuan

10. PENILAIAN HASIL BELAJAR


Untuk menyusun penilaian hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
- Sesuai dengan kompetensi (IPK dan atau KD)
- Sesuai dengan kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran
- Sesuai materi pembelajaran
- Memuat soal HOTS dan soal-soal keterampilan khusus mata pelajaran
(misalnya Agama, Seni Budaya, Bahasa, dll)
- Memuat:
1) Lingkup penilaian: sikap, pengetahuan, keterampilan
2) Teknik penilaian
- Sikap: observasi, jurnal, penilaian diri, penilaian antar teman
- Pengetahuan: tes tulis, tes lisan, penugasan
111
- Keterampilan: praktik, proyek, portofolio
3) Bentuk instrumen
- Lembar observasi, lembar penilaian diri, lembar penilaian antar teman
- Soal pilihan ganda, soal esai, isian singkat, dll (mengembangkan soal
HOTS/tingkat berpikir tinggi dari suatu kemampuan kognitif)
- Rubrik praktik/unjuk kerja, rubrik proyek, rubrik portofolio

11. LAMPIRAN
Hal-hal yang mendukung, misalnya
a. Uraian materi yang memang diperlukan
b. Instrumen penilaian dilengkapi dengan pedoman penskoran, dll

D. Format RPP KTSP:


Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Mata Pelajaran :…
Kelas/Semester :…
Pertemuan Ke- :…
Alokasi Waktu :…

Standar Kompetensi :…
Kompetensi Dasar :…
Indikator :…
I. Tujuan Pembelajaran :…
II. Materi Ajar :…
III. Metode Pembelajaran :…
IV. Langkah-langkah Pembelajaran
A. Kegiatan Awal :…
B. Kegiatan Inti :…
C. Kegiatan Akhir :…
V. Alat/Bahan/Sumber Belajar :…
VI. Penilaian :…

112
E. Contoh RPP K13

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN


(RPP)
Satuan Pendidikan : ___________________________
Kelas / Semester : I (Satu) / 1
Tema 1 : Diriku
Sub Tema 1 : Aku dan Teman Baru
Pembelajaran : 1
Alokasi Waktu : 1 x Pertemuan (6 x 35 menit)
A. KOMPETENSI INTI (KI)

KI 1 : Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya


KI 2 : Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan
percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman dan guru
KI 3 : Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati mendengar, melihat,
membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk
ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah,
sekolah
KI 4 : Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis dan
sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan anak
sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan
berakhlak mulia

B. KOMPETENSI DASAR (KD) & INDIKATOR

Bahasa Indonesia

Kompetensi Dasar (KD) :

3.4. Mengenal teks cerita diri/personal tentang keluarga secara mandiri dalam bahasa
Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah untuk membantu
penyajian

4.4. Menyampaikan teks cerita diri/personal tentang keluarga secara mandiri dalam
bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah untuk
membantu penyajian

Indikator :

- Mengidentifikasi cara cara memperkenalkan diri


113
- Memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap
- Memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama panggilan
- Menyebutkan nama temannya

PPKn

Kompetensi Dasar (KD) :

3.2. Mengenal tata tertib dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah
dan di sekolah

4.2. Melaksanakan tata tertib dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di
rumah dan di sekolah

Indikator :

- Mengidentifikasi aturan permainan di sekolah


- Menjalankan peraturan pada permainan di sekolah

PJOK

Kompetensi Dasar (KD) :

3.3 Mengetahui konsep gerak dasar manipulatif sesuai dengan dimensi anggota tubuh
yang digunakan, arah, ruang gerak, hubungan, dan usaha, dalam berbagai bentuk
permainan sederhana dan atau permainan tradisional.

4.3 Mempraktikkan pola gerak dasar manipulatif sesuai dengan dimensi anggota tubuh
yang digunakan, arah, ruang gerak, hubungan, dan usaha, dalam berbagai bentuk
permainan sederhana dan atau permainan tradisional.

Indikator :

- Mengidentifikasi gerakan melempar bola sebagai gerak manipulatif


- Melakukan gerakan melempar bola
- Melakukan gerakan menangkap bola

SBdP

Kompetensi Dasar (KD) :

3.1. Mengenal cara dan hasil karya seni ekspresi

4.1. Menggambar ekspresi dengan mengolah garis, warna dan bentuk berdasarkan hasil
pengamatan di lingkungan sekitar

114
Indikator :

- Mengidentifikasikan cara menghias kartu nama


- Memberi hiasan pada kartu nama

C. TUJUAN PEMBELAJARAN

Teman Baru

- Setelah mengikuti permainan lempar bola, siswa dapat memperkenalkan diri dengan
menyebutkan nama panggilan secara benar.
- Dengan melakukan permainan siswa dapat menyebutkan nama lengkap dengan benar.

Menghias Kartu Nama

- Setelah mendengarkan penjelasan guru, siswa dapat menghias kartu nama dengan rapi.

E. MATERI PEMBELAJARAN

- Perkenalan diri
- Peraturan permainan
- Permainan memperkenalkan diri
- Gerakan melempar dan menangkap
- Menghias gambar kartu nama
- Lirik lagu “Siapa Namamu”

F. METODE PEMBELAJARAN

- Pendekatan : Saintifik
- Metode : Permainan/simulasi, diskusi, tanya jawab, penugasan dan ceramah

G. KEGIATAN PEMBELAJARAN

Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu

Pendahuluan  Guru memberikan salam dan mengajak semua 10 menit


siswa berdo’a menurut agama dan keyakinan masing-
masing.

 Guru mengecek kesiapan diri dengan mengisi


lembar kehadiran dan memeriksa kerapihan pakaian,
posisi dan tempat duduk disesuaikan dengan kegiatan

115
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu

pembelajaran.

 Menginformasikan tema yang akan dibelajarkan


yaitu tentang ”Aku dan Teman Baru”.

 Guru menyampaikan tahapan kegiatan yang


meliputi kegiatan mengamati, menanya,
mengeksplorasi, mengomunikasikan dan
menyimpulkan.

Inti Teman Baru 35 Menit


X 30 JP
 Pada awal pelajaran, guru memperkenalkan diri
kepada siswa. (Mengasosiasi)

 Guru meminta siswa membuka buku siswa hal.


1-3. (Mengamati)

 Guru menunjukkan cara berkenalan, seperti yang


dilakukan Edo dan Beni di buku siswa hal. 3.
(Mengekplorasi)

 Siswa diajak untuk saling berkenalan melalui


sebuah permainan lempar bola dan guru menjelaskan
aturan bermainnya. (siswa diminta melingkar, boleh
duduk atau berdiri, dan guru mencontohkan cara
melempar dan menangkap bola dengan tepat).
(Mengekplorasi)

 Permainan dimulai dari guru dengan memperke-


nalkan diri, ”Selamat pagi, nama saya Ibu/ Bapak...
nama panjang.... biasa dipanggil Ibu/ Bapak....
kemudian, melempar bola pada salah satu siswa
(hindari pelemparan bola dengan keras)
(Mengekplorasi)

 Siswa yang berhasil menangkap bola harus

116
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu

menyebutkan nama lengkap dan nama panggil an.


Kemudian, dia melempar kepada teman lain. Teman
yang menangkap lemparan bola, menyebutkan nama
lengkap dan nama panggilan. (Mengekplorasi)

 Setelah semua memperkenalkan diri, guru


mengajak siswa untuk bernyanyi sambil mengingat
kembali nama-nama teman di kelas. Guru bisa
menggunakan lagu yang ada di buku siswa.
(Mengkomunikasikan)

Lirik lagu “Siapa Namamu”

Ciptaan A.T. Mahmud

1 2 / 3 . / 3 4 / 5 ./

Sia pa kah na ma mu

5 4 / 3 . / 3 3 /1 . //

Na ma ku .............

(sebutkan nama anak)

 Siswa tetap berada pada posisi lingkaran. Guru


menyanyi sambil menepuk salah satu siswa, lalu siswa
itu menyebutkan namanya. Lalu siswa tersebut sambil
menyanyi “Siapakah Namamu” menepuk teman di
sebelahnya dan teman tersebut menyebutkan namanya
sambil mengikuti irama lagunya dan seterusnya.
(Mengkomunikasikan)

 Kegiatan ditutup dengan diskusi pentingnya


saling mengenal, karena tak kenal maka tak sayang,
upayakan guru memberikan penguatan tentang
pentingnya saling mengenal. (Mengasosiasi)

 Setelah diskusi tentang pentingnya saling


mengenal, guru menjelaskan bahwa untuk dapat

117
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu

mengenal nama teman, kita bisa juga menggunakan


kartu nama. (Mengkomunikasikan)

Menghias Kartu Nama

 Guru menyampaikan bahwa siswa akan


membuat kartu nama mereka masing-masing.

 Guru membagikan potongan-potongan karton


seukuran kartu nama.

 Guru membagikan kertas bertuliskan nama siswa


kepada masing-masing siswa untuk dijadikan contoh
untuk menulis.

 Lalu, Siswa diminta menuliskan namanya di


karton kartu nama dan menghias atau mewarnai kartu
nama mereka masing-masing.

 Setelah itu, guru menjelaskan bahwa kartu nama


tersebut akan digunakan selama berada di sekolah atau
dipajang di kelas.

Penutup  Bersama-sama siswa membuat kesimpulan / 15 menit


rangkuman hasil belajar selama sehari

 Bertanya jawab tentang materi yang telah dipelajari


(untuk mengetahui hasil ketercapaian materi)

 Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk


menyampaikan pendapatnya tentang pembelajaran
yang telah diikuti.

 Melakukan penilaian hasil belajar

 Mengajak semua siswa berdo’a menurut agama dan


keyakinan masing-masing (untuk mengakhiri
kegiatan pembelajaran)

118
H. SUMBER, ALAT DAN MEDIA PEMBELAJARAN

 Buku Siswa Tema : Diriku Kelas 1 (Buku Tematik Terpadu Kurikulum 2014,
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014).
 Bola plastik atau bola dari kertas bekas yang dibuat menjadi bentuk bola
 Karton/kertas/kardus bekas yang sudah dipotong-potong dan diberi nama masing-
masing siswa
 Pensil warna/spidol yang bisa digunakan untuk menghias kartu yang sudah
disediakan
 Tali/peniti/alat lain untuk memasangkan kartu nama

I. PENILAIAN PEMBELAJARAN

Perubahan Tingkah Laku


N Nama
Percaya Diri Disiplin Bekerjasama
o Siswa
BT MT MB SM BT MT MB SM BT MT MB SM

1 Ekal

2 Aisy

3 Zidan

4 ………

1. Penilaian Sikap

Keterangan:

BT : Belum Terlihat
MT : Mulai Terlihat
MB : Mulai Berkembang
SM : Sudah Membudaya

Berilah tanda centang () pada kolom yang sesuai

119
2. Penilaian Pengetahuan

Instrumen penilaian: tes tertulis (lembar kerja)

3. Penilaian Keterampilan

a. Penilaian : Unjuk Kerja


Memperkenalkan diri lewat permainan
Perlu Bimbi-
No Kriteria Baik Sekali 4 Baik 3 Cukup 2
ngan 1

1. Kemampuan Siswa mampu Siswa mampu Siswa hanya mampu Siswa belum
memperkenal menyebutkan nama menyebutkan nama Menyebutkan nama mampu
-kan diri panjang dan nama panjang panggilan memperkenalka
panggilan n diri

2. Kemampuan Siswa mampu Siswa mampu Siswa mampu Siswa belum


menjalankan melakukan permainan melakukan permainan melakukan permainan mampu
peraturan sesuai dengan instruksi sesuai aturan tetapi sesuai aturan, tetapi melakukan
pada tanpa pengarahan ulang dengan 1 kali arahan dengan lebih dari 1 permainan
permainan ulang kali arahan ulang sesuai dengan
aturan

3. Kemampuan Siswa mampu melempar Siswa melempar dan Siswa melempar dan Siswa belum
melakukan dan menangkap bola menangkap bola, menangkap bola, mampu
gerakan dengan akurat (tidak tetapi 1-2 kali meleset tetapi lebih dari 3 kali melempar dan
melempar pernah meleset) meleset menangkap bola
dan
menangkap

b. Penilaian : Unjuk Kerja


Rubrik Penilaian Membuat Kartu Nama

No Kriteria Baik Sekali 4 Baik 3 Cukup 2 Perlu Bimbingan 1

1. Kompon Memenuhi 3 Memenuhi 2 Hanya memnuhi 1 Tidak memenuhi 3


en kartu komponen dari 3 dari 3 komponen komponen
nama (gambar/foto diri, komponen
hiasan, dan bentuk
yang unik)

2. Jumlah Menggunakan 4 Menggunakan Menggunakan 2 Menggunakan 1 warna


warna warna atau lebih 3 warna warna
yang
digunak
an

Mengetahui ......, ........................ 20 .....


Kepala Sekolah, Guru Kelas 1

( ___________________ ) ( ___________________ )
NIP .................................. NIP ..................................

120
KEPUSTAKAAN

Akhadiah,S. 1988. Evaluasi dalam Pengajaran Bahasa. Jakarta:


Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

______. 1992. Bahasa Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan


Tinggi.

Aminuddin. 1997. Isi dan Strategi Pengajaran Bahasa dan Sastra. Malang.
FPBS IKIP Malang.

Burn dkk. 1996. Teaching Reading in Today’s Elementary School. New


Jersey: Hougton Million Company

Dardjowijoyo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman


Bahasa Manusia. Jakarta: Unika Atma Jaya.

Darmiati dan Budiasih. 1997. Pendidikan Bahasa Indonesia di Kelas


Rendah. Jakarta. Depdikbud.

Depdikbud. 1979. Membaca dan Menulis Permulaan Metode SAS. Jakarta:


P3G.

_____. 1984. Petunjuk Membaca dan Menulis Permulaan di Kelas 1 dan 2.


Jakarta: Balai Pustaka.

_____. 1994. Petunjuk Penilaian di Sekolah Dasar. Jakarta: Balai Pustaka.

______. 1993. Kurikulum Pendidikan Dasar GBPP SD. Jakarta: Balai


Pustaka.

______. 1999. Penyempurnaan Penyesuaian Kurikulum 1994 (Suplemen


GBPP) Mata Pelajaran BI SD dan MI. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi.


Jakarta: BPP Depdiknas.

______. 2004. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran


Bahasa Indonesia SD dan MI. Jakarta: Balai Pustaka.

Faisal, dkk. 2007. Kajian Bahasa Indonesia SD.Jakarta: Direktorat


Jenderal Pendiodikan Tinggi.

121
Iskandarwassid dan Sunendar, Dadang. 2009. Strategi Pembelajaran
Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset

Nurhadi dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam


KBK. Malang: Universitas Malang.

Permendikbud Nomor 20-24 RPP Revisi 2017 tentang Implementasi


Kurikulum 2013 Tahun 2014. Jakarta. Kemendikbud.

Rofi’uddin, dkki. Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia di Kelas


Tinggi.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rubin, Dorothy. 1995. Teaching Elementary Language Arts: An Integrated


Approach. Massachussetts: Allyn and Bacon.

Syafi’le, Imam. 1994. Pengajaran Bahasa Indonesia di SD Berdasarkan


Kurikulum BI 1994. Dalam Sekolah Dasar Kajian Teori dan Praktik
Pendidikan. Tahun 3 No.2 November Hal. 115-135: PPS IKIP
Malang.

Tarigan, Djago. 1991. Pendidikan Bahasa Indonesia I. Jakarta: Depdikbud.

Trianto. 2017. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jakarta:


pprsby@plasa.com.

Usaid Prioritas. 2014. Pembelajaran Literasi Kelas Awal di LPTK. Jakarta:


USAID

122
123

Anda mungkin juga menyukai