Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ulfa Reskiani

NIM : B011201020

Mata Kuliah : Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (D)

Rencana Judul Penelitian:

“Analisis Teleologis : Penegakan Hukum Berbasis Kearifan Lokal Terhadap


Pelaku Penangkapan Ikan dengan Menggunakan Pukat Harimau (Pukat
Trawl) di Kabupaten Bone”

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sekaligus dua bentuk
geografis dari suatu ciri negara, yaitu negara kepulauan dan negara daratan.
Indonesia terletak di antara dua benua, yakni Benua Asia dan Benua Australia, serta
dua samudera, yakni Samudera Atlantik dan Samudera Hindia yang sangat luas.
Indonesia yang berada pada posisi diapit oleh dua samudera tersebut juga
menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Wilayah lautannya meliputi
5,8 juta km2 atau 70% dari luas total teritorial Indonesia 1. Perairan laut yang sangat
luas dan kaya akan jenis-jenis maupun potensi perikanannya, dengan potensi
penangkapan perikanan sebesar 6,4 juta ton, potensi budidaya 1,223,437 ha serta
potensi kelautan kurang lebih 4 milyar USD/tahun. Potensi tersebut apabila
diusahakan secara optimal dengan tetap berpegang pada penangkapan yang lestari
akan memberikan dampak2.

a. Meningkatnya devisa negara dari hasil ekspor komoditi perikanan laut

b. Meningkatnya gizi khususnya protein hewani bagi rakyat

c. Meningkatnya penghasilan/pendapatan nelayan

Penangkapan ikan menggunakan pukat trawl terjadi di seluruh dunia dan


merupakan gangguan fisik langsung dan langsung mendasar yang paling luas ke

1
Zakaria, M, “Penegakan Hukum Terhadap Illegal Fishing di Wilayah Perairan Jawa Tengah
(Studi Kasus di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah)”. Jurnal Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, (Agustus 2015), 2.
2
Marheni Ria Sihombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 2010, hlm.1.
habitat dasar luat3.Berbagai kebijakan telah dilakukan agar keseimbangan ekologis
dan keadilan sosial ekonomi dapat tercapai mulai dari dikeluarkannya berbagai
kebijakan, upaya pelestarian yang telah dilakukan hingga dikeluarkannya berbagai
regulasi. Ketentuan pidana perikanan ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor
45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang perikanan. Ketentuan pidana tersebut di luar Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang diatur menyimpang, karena tindak pidananya dapat
menimbulkan kerusakan dalam pengelolaan perikanan yang berakibat merugikan
masyarakat, bangsa dan hasil perikanan di Indonesia, masih banyak terdapat
pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan kita sendiri terutama dalam menggunakan
alat tangkap yang dilarang, alat tersebut bernama trawl (Pukat Harimau) 4.Juga
dikeluarkannya peraturan menteri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan tentang
larangan penggunaan pukat hela atau trawl. Berbagai kebijakan tersebut salah
satunya melalui Peraturan Menteri (PERMEN-KP) No. 2 Tahun 2015 tentang
larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawl) di wilayah
pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Peraturan tersebut adalah penegasan
dari UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, yakni Pasal 9 ayat (1) yang
menyebutkan larangan kepemilikan dan penggunaan alat tangkap ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah Indonesia,
termasuk jaring trawl dan atau kompresor. Tujuan dibentuknya peraturan ini adalah
untuk memulihkan kembali sumber daya ikan yang telah berkurang sampai pada
akhirnya dapat dimanfaatkan kembali secara optimal5.

Adanya peraturan tersebut sebagai legal substance tidak dengan sendirinya


mampu mencapai tujuannya atau yang dalam hal ini mencapai efektifitasnya.
Namun, haruslah diikuti dengan legal structure dan legal culture, sehingga apabila
ketiga legal tersebut telah ada maka peraturan yang ada mampu berjalan dengan
baik. Rendahnya penegakan hukum serta tidak adanya kesadaran oleh masyarakat

3
C. Roland Pitchera dkk, “Dampak Pukat Pada Status Relatif Komunitas Biotik Habitat
Sedimen Dasar Laut Di 24 Wilayah Di Seluruh Dunia” NAS 2022, Vol 119. No. 2. 4.
4
H Riyanda Elsera Yozani, “Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Terhadap Pelaku Penangkapan
Ikan Dengan Menggunakan Pukat Harimau (Trawl) Di Wilayah Pesisir Kabupaten Bengkalis, JOM
Fakultas Hukum, Vol 3 No. 1 (Februari 2016), 2.
5
Desi Sinta, Skripsi, “Evaluasi Penerapan Kebijakan Pelarangan Penggunaan Pukat Hela
(Trawl)” (Medan: USU, 2018), hlm, 18.
untuk menaati merupakan pertanda bahwa legal structure dan legal culture rendah
atau bahkan tidak ada sehingga menyebabkan aturan yang ada tidak lebih hanya
bagaikan tulisan yang bersifat semantik saja.

Legal structure dan legal culture yang rendah tersebut dalam hal
pemanfaatan laut, dapat dilihat pada maraknya terjadi illegal fishing terhadap
penangkapan ikan yang dilakukan dengan menggunakan bahan seperti peledak,
pukat hela (trawl), pukat tarik, cantrang dan lain sebagainya yang masih sering
ditemui, padahal alat tersebut mampu merusak keseimbangan ekosistem laut. Data
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Scientific Authority di
Indonesia status terumbu karang di Indonesia tahun 2017 dan menyatakan bahwa
dari 2,5 juta ha terumbu karang di Indonesia hanya terdapat 6,39% dalam kondisi
sangat baik, 23,40% dalam kondisi baik, 35,06% dalam kondisi buruk. Kesenjangan
tersebut menunjukkan belum terciptanya efektivitas hukum.

Sebagaimana pernyataan sebelumnya, terbentuknya regulasi tidak akan bisa


berjalan baik apabila tidak didukung oleh masyarakat sehingga menjadikan Permen
KP No. 2 Tahun 2015 menjadi mandul dalam pelaksanaannya sebagaimana halnya
dengan KEPPRES No. 39 Tahun 1980 karena melihat dari praktik di lapangan,
ternyata juga masih banyak temuan penggunaan pukat trawl6. Salah satunya
penggunaan pukat trawl masih banyak berlalu lalang sebagaimana yang ditemukan
di beberapa lokasi di wilayah perairan Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Di
samping permasalahan terhadap keberlanjutan sumber daya laut, nelayan
tradisional juga mendapatkan dampak buruk atas penggunaan pukat trawl tersebut,
dimana nelayan tradisional mendapatkan hasil yang jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan para nelayan yang menggunakan pukat trawl sehingga dapat memicu
terjadinya transformasi dari nelayan yang menggunakan alat tangkap sederhana
menjadi pukat trawl. Selain itu, dengan terjadinya ketimpangan tersebut yang
diakibatkan oleh salah satu pihak, maka akan menjadi bom waktu yang dapat
meledak dengan menciptakan konflik di antara para nelayan. Kondisi seperti inilah
yang selanjutnya patut untuk ditelaah, mengapa penggunaan pukat trawl masih

Arisandi, “Inkonsistensi Kebijakan Penggunaan Jaring Trawl (Studi Kasus Penggunaan Jaring
6

Trawl Oleh Nelayan Wilayah Perairan Gresik)” JKMP, Vol. 4, No. 1 (Maret 2016), 4.
sering terjadi meskipun telah ada regulasi yang mengatur mengenai larangan hal
tersebut.

Pukat Harimau atau nama lainnya pukat udang, merupakan alat tangkap yang
efektif namun tidak selektif untuk menjaring ikan, alat ini dapat merusak ekosistem
laut dikarenakan pukat harimau menjaring dan membawa semua apa pun yang
dilewatinya termasuk ikan-ikan kecil yang masih dapat berkembang biak dan
terumbu karang yang merupakan tempat bersarangnya ikan-ikan tersebut. Jaring-
jaring pada pukat harimau sangat lah kecil dibandingkan dengan jaring nelayan
tradisional, dengan demikian pada saat ikan-ikan kecil tersebut ikut terjaring, ikan
tersebut tidak dapat melepaskan diri diantara ikan yang besar dan celah jaring yang
kecil sehingga ikan-ikan kecil tersebut mati dan menghentikan proses berkembang
biaknya. Seperti pada kasus yang terjadi di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau,
marak pengguna jaring trawl.

Sebelumnya penulis telah melakukan pra-penelitian dengan mewawancarai


2 (dua) orang warga yang merupakan seorang nelayan yang bermukim di
Kabupaten Bone bagian selatan, dengan menanyakan terkait dengan “apakah
memang di kabupaten Bone ini larangan atas penggunaan pukat trawl sudah tidak
bisa diatasi lagi?”. Dari pertanyaan tersebut mereka mengungkapkan
ketidaktahuannya pula terkait bagaimana penegakan hukum yang terjadi, sebab
mereka sudah sering menghadap ke lembaga terkait untuk melaporkan adanya
praktik penangkapan dengan menggunakan pukat trawl, tetapi sampai sekarang
tidak menuai hasil apa pun bahkan telah membawa barang bukti yaitu kerusakan
yang diakibatkan oleh praktik tersebut. Berdasarkan dalam hal penegakan hukum
yang rendah atas penggunaan pukat trawl ditambah dengan hasil dari penggunaan
pukat yang memiliki hasil tangkapan yang besar (walaupun merusak), maka
menjadi daya tarik tersendiri oleh masyarakat untuk melakukan penangkapan ikan
dengan menggunakan pukat trawl tersebut, dalam hal ini terjadi transformasi dari
nelayan tradisional menjadi nelayan pengguna pukat trawl.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Desi Sinta (2018) yang berjudul
Evaluasi Penerapan Kebijakan Pelarangan Penggunaan Pukat Hela (Trawl) Kasus:
Kecamatan Sei Kepayang Barat Kabupaten Asahan, tulisan ini bertujuan untuk
mengetahui penerapan kebijakan pelarangan penggunaan pukat trawl dan untuk
menganalisis faktor apa yang menyebabkan nelayan mengambil keputusan untuk
tidak beralih alat tangkap. Berdasarkan pada riset sebelumnya, peneliti mencoba
untuk mengkajinya dengan menganalisis perilaku dari masyarakat nelayan biasa
bertransformasi menjadi nelayan trawl sehingga terjadinya pelanggaran, yaitu
penggunaan pukat trawl melalui analisis teleologis Adler (berorientasi tujuan).

Istilah teleologi berarti ilmu tentang tujuan. Ini adalah padanan dari tiology,
atau ilmu tentang sebab-sebab. Sekarang, dalam kasus sebab, kita dapat
menggunakan kata sebab itu sendiri, kata sebab akibat yang menyatakan tindakan
suatu sebab, dan kata kausalitas yang tak ternilai, yang menunjukkan prinsip itu
sendiri atau hubungan yang ada antara sebab dan efeknya. Dalam hal konsep akhir,
kita memiliki kata itu sendiri dan padanannya dalam bahasa Yunani rédos, dan kita
memiliki, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, kata yang menunjukkan ilmu
yang membahas atau mendefinisikan tujuan; tetapi kita tidak memiliki istilah yang
sesuai dengan sebab-akibat dan tidak ada istilah yang jelas dan diterima yang
berhubungan dengan kausalitas. Akibatnya kita bertemu, bahkan dalam tulisan-
tulisan filosofis yang cermat, dengan frasa yang berputar-putar dan tidak tepat
seperti "penyebab teleologis," yang dimaksudkan untuk menggambarkan efek dari
suatu tujuan atau akhir dalam menghasilkan realisasinya sendiri, sedangkan itu
hanya dapat berarti tujuan. jenis sebab-akibat yang dilihat oleh teleologi, atau ilmu
tentang tujuan7.Singkat kata teleologis yang kami maksud adalah ilmu yang
mempelajari tujuan dari suatu fenomena tertentu, ketimbang penyebabnya. Dalam
kaitan dengan masyarakat yang menggunakan pukat trawl tersebut pasti memiliki
tujuan (bukan sebabnya) walaupun mereka mengetahui tindakannya merupakan
tindakan yang merusak. Berdasarkan pra-penelitian, tujuan dari mereka
menggunakan pukat trawl adalah balas dendam atas kebijakan penegakan hukum
yang rendah dan kemudian akan dianalisis lebih lanjut.

Menanggapi kebijakan penegakan hukum (legal structure) yang rendah


dapat mempengaruhi legal culture, maka dalam hal legal structure yang mampu

7
Jane Griffith and Steven A. Maybell, “Adler’s Original Contributions to Psychology”, The
Journal of Individual Psychology, Vol. 76, No. 1 (2020), 1.
digunakan nilai berbasis kearifan lokal dalam hal penegakan hukum, supaya
kebijakan berupa larangan penggunaan pukat trawl sebagai legal substance mampu
mencapai tujuannya berupa pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan.
Berdasarkan hal demikian, penulis kemudian tertarik untuk mengangkat isu
tersebut dengan mengangkat judul berupa, Analisis Teleologis : Penegakan
Hukum Berbasis Kearifan Lokal Terhadap Pelaku Penangkapan Ikan dengan
Menggunakan Pukat Harimau (Pukat Trawl) di Kabupaten Bone.

Anda mungkin juga menyukai