Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

EPISTAKSIS

Oleh:
Fina Khairunnisa (030.11.103)
Amalia Almira (030.13.015)
Betti Merdiani Putri (030.13.040)
Melly Sartika (030.13.122)

Pembimbing:
dr. Satria Nugraha W, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 2 OKTOBER 2017 – 4 NOVEMBER 2017
2
KATA PENGANTAR

Puji Syukur senantiasa penulis hadirkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas berkah Rahmat dan Kuasa-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat ini.
Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit THT-KL, Program Studi Pendidikan
Dokter Universitas Trisakti, di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi pada
periode 2 Oktober – 4 November 2017. Pada penyusunan Referat ini banyak pihak
yang telah membantu dalam memberikan bantuan tenaga, doa, bimbingan, serta
dukungan. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr.
Satria Nugraha W, Sp. THT-KL, selaku pembimbing yang senantiasa memberikan
dukungan dan bimbingan selama masa pengerjaan Referat Epistaksis ini.
Penulis menyadari bahwa Referat ini masih jauh dari kata sempurna serta
tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk dapat memperbaiki Referat ini. Semoga Referat ini dapat
bermanfaat bagi Ilmu Pengetahuan, Tenaga Kesehatan, serta bagi Masyarakat.

Bekasi, Oktober 2017

Penulis

3
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Epistaksis” ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan, Kepala dan Leher di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi.
Periode 2 Oktober – 4 November 2017

Disusun oleh :
Fina Khairunnisa (030.11.103)
Amalia Almira (030.13.015)
Betti Merdiani Putri (030.13.040)
Melly Sartika (030.13.122)

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing,


Bekasi, Oktober 2017

dr. Satria Nugraha W, Sp. THT-KL

4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

LEMBAR PENGESAHAN 3

DAFTAR ISI 4

DAFTAR GAMBAR 5

BAB I PENDAHULUAN 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1. Perdarahan Hidung 7

2.2. Epistaksis 8
2.2.1. Definisi 8
2.2.2. Etiologi 8
2.2.3. Klasifikasi 9
2.2.4. Diagnosis 9
2.2.5. Tatalaksana 10
2.2.6. Komplikasi 12

BAB III KESIMPULAN 13

DAFTAR PUSTAKA 14

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pembuluh darah pada septum nasi 7


Gambar 2. Pembuluh darah pada dinding lateral hidung 8
Gambar 3. Tampon anterior hidung 10
Gambar 4. Tampon posterior (Bellocq) hidung 12

6
BAB I
PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan perdarahan akut dari hidung, kavum nasal, atau


nasofaring, walaupun sebagian besar epistaksis terjadi akibat perdarahan pada
septum nasal. Epistaksis merupakan sebuah kegawatdaruratan di bidang telinga
hidung tenggorok dan dapat terjadi mulai dari perdarahan ringan hingga yang
mengancam jiwa.1
Epistaksis umum terjadi pada anak-anak hingga remaja, biasanya pada
umur tiga sampai delapan tahun dan menurun seiring dengan pertambahan usia.
Insiden epistaksis dilaporkan sekitar 10% - 60% pada individu, dan sekitar 50%
dari individu usia dewasa pernah mengalami epistaksis saat masa kanak-kanak.
Sekitar 7% - 14% dari populasi umum pernah dibawa ke instalasi gawat darurat
karena mengalami epistaksis.1
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan perdarahan hidung, termasuk
gangguan pada darah, penggunaan obat-obatan antikoagulan, trauma pada hidung,
perforasi septum, alergi, infeksi saluran napas atas, dan benda asing pada kavum
nasi. Pertolongan segera pada epistaksis adalah pertolongan pertama, yang sangat
penting untuk mengurangi nyeri dan mencegah perburukan kondisi. Hal ini dapat
dilakukan dengan memberi penekanan pada hidung atau perdarahan dapat berhenti
spontan. Tetapi beberapa kasus epistaksis membutuhkan perawatan dan
pertolongan di rumah sakit 1

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perdarahan Hidung


Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan
karotis eksterna (AKE). Arteri oftalmika, yang merupakan cabang dari AKI,
bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior
lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap
rongga hidung, untuk menyuplai darah pada bagian superior dari septum nasi dan
dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris
interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis
superior.2
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri
sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri
sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media,
memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung.2

Gambar 1. Pembuluh darah pada septum nasi 3

Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina


mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis),
membentuk plexus Kiesselbach. Pada posterior dinding lateral hidung, bagian

akhir dari konka media terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis

dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal asendens.2

8
Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach. Epistaksis
anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi
dibandingkan epistaksis posterior. Batas yang membagi antara epistaksis anterior
dan epistaksis posterior adalah ostium sinus maksilaris.2

Gambar 2. Pembuluh darah pada dinding lateral hidung 3

2.2 Epistaksis
2.2.1 Definisi
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani yaitu epistazo, yang berarti hidung
berdarah. Perdarahan dari hidung ini dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab
umum (kelainan sistemik).2,4

2.2.2 Etiologi
Etiologi dari epistaksis secara garis besar dikelompokkan menjadi dua,
yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Beberapa faktor lokal yang menyebabkan
epistaksis, yaitu trauma pada hidung, penggunaan nasal spray contohnya
kortikosteroid secara terus menerus yang menyebabkan kerusakan epitel nasal dan
mudah berdarah karena krusta terlepas sehingga epistaksis dapat terjadi, kelainan
anatomi seperti spina, krista, dan deviasi septum, tumor intranasal atau sinonasal
yang biasanya ditandai dengan riwayat epistaksis berulang, iritasi dari zat kimia,
obat-obatan seperti dekongestan topikal, iritasi akibat penggunaan continuous
positive airway pressure (CPAP), kelainan vaskuler seperti Wagener’s
granulomatosis.2

9
Selain itu, faktor sistemik yang berperan dalam terjadinya epistaksis adalah
efek sistemik dari obat-obatan golongan antikoagulan (heparin, warfarin) dan
antiplatelet (aspirin, clopidogrel), Sindroma Rendu Osler Weber (hereditary
hemorrhagic telangiectasia) jika terjadi trauma walaupun ringan pada mukosa
hidung akan berakibat perdarahan hebat karena melemahnya kontraktilitas
pembuluh darah, kegagalan fungsi organ seperti sirosis hepatis dan sindrom
uremia, aterosklerosis, hipertensi, alkohol, serta kelainan hormonal seperti pada
pheochromocytoma.2

2.2.3 Klasifikasi
Epistaksis dapat di klasifikasikan menjadi epistaksis anterior dan epistaksis
posterior. Epistaksis anterior paling sering berasal dari pleksus Kiesselbach, yang
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Selain itu
juga dapat berasal dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan dapat berhenti dengan
sendirinya dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.5
Epistaksis posterior sumber perdarahannya adalah arteri sfenopalatina atau
arteri etmoidalis posterior. Epistaksis porterior sering terjadi pada orang dewasa
yang menderita hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskuler.
Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.5

2.2.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan keluar darah dari hidung atau
riwayat keluar darah dari hidung. Ditanyakan juga secara spesifik mengenai lokasi
keluarnya darah apakah dari depan rongga hidung atau ke tenggorokan, jumlah
darah yang keluar, frekuensi perdarahan, dan durasi perdarahan.5
Pemeriksaan fisik sederhana yang dapat dilakukan, yaitu rinoskopi anterior
dan posterior. Rinoskopi anterior harus dilakukan berurutan dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung, dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konka inferior harus diperiksa dengan teliti untuk mengetahui sumber perdarahan.
Rinoskopi posterior dilakukan dengan pemeriksaan nasofaring pada pasien dengan
rinoskopi berulang untuk menyingkirkan neoplasma. Pengukuran tekanan darah

10
juga penting untuk menyingkirkan hipertensi, karena hipertensi dapat
menyebabkan epistaksis posterior dan sering berulang. Pemeriksaan penunjang
dapat dilakukan bila dirasa perlu. Dapat dilakukan pemeriksaan darah perifer
lengkap dan skrining terhadap koagulopati (bleeding time dan clotting time).5

2.2.5 Tatalaksana
Penatalaksanaan epistaksis memiliki tiga prinsip utama, yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah timbulnya komplikasi, dan mencegah
epistaksis yang berulang. Hal-hal yang dapat dilakukan, yaitu:5
1. Pertama yang dapat dilakukan pada penderita epistaksis adalah memperbaiki
keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila
penderita sangat lemah atau mengalami syok, pasien bisa dibaringkan sambal
kepala dimiringkan.5
2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan kea rah septumselama 3-5 menit (metode Trotter).5
3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan suction
bersihkan kotoran yang ada di dalam hidung seperti cairan, secret, maupun
bekuan darah.5
4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan kapas yang dibasahi ke dalam
hidung dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan Pantokain 2% atau 2 cc
larutan Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini
bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi
pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk mencari
sumber perdarahan. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.5
5. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi larutan Nitras Argenti 15 –
25% atau asam Trikloroasetat 10%. Sesudahnya area tersebut diberi salep
antibiotik.5
6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi Vaselin

11
yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol
yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang 1⁄2 cm,
diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung.
Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat
dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Selama pemakaian
tampon, diberikan antibiotik sistemik dan analgetik.5 

Gambar 3. Tampon anterior hidung5

7. Untuk perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang


disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat
atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah
benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon
harus dapat menutupi koana (nares posterior). Teknik pemasangan tampon
posterior, yaitu: 5
a. Masukkan kateter karet melalui nares anterior dari hidung yang berdarah
sampai tampak di orofaring, lalu tarik keluar melalui mulut.5 
b. Ikatkan ujung kateter pada 2 buah benang tampon Bellocq, kemudian tarik
kembali kateter itu melalui hidung.5 
c. Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior dengan
bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke nasofaring. Jika dianggap perlu,
jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi.5 

12
d. Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah gulungan
kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di
nasofaring tidak bergerak.5
e. Lekatkan benang yang terdapat di rongga mulut dan terikat pada sisi lain
dari tampon Bellocq pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.5 
f. Berikan juga obat hemostatik selain dari tindakan penghentian perdarahan
itu.5

Gambar 4. Tampon posterior (Bellocq) hidung5

2.2.6 Komplikasi
Pemasangan tampon anterior dapat menimbulkan sinusitis (karena ostium
sinus tersumbat) dan sumbatan duktus lakrimal. Pemasangan tampon posterior
dapat menimbulkan otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan
sudut bibir bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.
Apabila perdarahan hebat dapat mengakibatkan syok dan anemia.5

13
BAB III

KESIMPULAN

Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir keluar dari hidung yang


berasal dari rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan. Hampir 90% epistaksis dapat berhenti
sendiri. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu.
Faktor etiologi dapat lokal atau sistemik. Sumber perdarahan harus dicari dan
dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif.

Kebanyakan kasus dapat ditangani dengan cepat, tetapi beberapa epistaksis


juga dapat mengancam jiwa. Pengetahuan terhadap anatomi pembuluh darah
sangat penting untuk cepat mengetahui pembuluh darah yang mengalami rupture.
Ketika lokasi pembuluh darah ditemukan, maka tatalaksana dapat dilakukan
dengan cepat dan tepat.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Alqarni ZM, Alajmi TA, Alhumaidi HH, Alhusain A, Alotaibi YM, Alzahrani
HS. Prevalence, Causes, Treatment, and Outcome of Epistaxis. IJMDC 2019;
3(5):446-449.
2. Budiman BJ, Hafiz A. Epistaksis dan Hipertensi: Adakah Hubungannya?.
Jurnal Kesehatan Andalas 2012;1(2):75-79.
3. Schlosser RJ. Epistaxis. N Engl J Med 2009;360:784-9.
4. Shrestha I, Pokharel M, Shrestha BL, Dhakal A, Amatya RCM. Evaluation of
Aetiology of Epistaxis and its Management in Dhulikhel Hospital.
Kathmandu Univ Med J 2015;49(1):49-55. 
5. PB IDI. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Faskes Tingkat Pertama. Jakarta:
Pengurus Besar IDI; 2017.

15

Anda mungkin juga menyukai