Anda di halaman 1dari 12

PUSAT BAHASA

Pusat bahasa yaitu pelaksana tugas di bidang penelitian dan pengembangan bahasa yang
berada bawah Menteri Pendidikan Nasional. Kantor pusat bahasa beralamat di Jalan Daksinapati
Barat lV, Rawamangun, Jakarta timur, bertetangga dengan kampus Universitas Negeri Jakarta
yang dahulu bernama IKIP Negeri Jakarta

Riwayat Ringkas Pusat Bahasa :

Pada tahun 1947 Fakultas sastra dan Filsafat Universitas Indonesia di bawah
Departement van Onderwijs en Wetenschappen (kementerian Pengajaran, Kesenian, dan Ilmu
Pengetahuan) membentuk lembaga kegiatan ilmiah kebahasaan dan kebudayaan yang bernama
Intituut voor Taal en Cultuur Onderzoek (ITCO).Lembaga ini memiliki 3 bagian :

1. Bagian Ilmu Kebudayaan, pimpinan Prof. Dr. Gj. Held

2. Bagian Ilmu Bahasa dan Kesusastraan, pimpinan Prof. Dr. C. Hooykaas

3. Bagian Leksikografi, pimpinan W.J.S. Poerwadarminta. Tugasnya adalah meneliti dan


menyalin naskah lontar dari Yayasan Kirtya Liefrink van der Tuuk, Museum Sono Budoyo, dan
Yayasan Matthes di Makassar

Setelah pengakuan kedaulatan, pada tahun 1952 lembaga tersebut digabung dengan Balai
Bahasa yabg dibentuk oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Mr. Suwandi
semasa berkedudukan di Yogyakarta, tepatnya pada Maret 1948.

Gabungan ITCO dan Balai Bahasa itu menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya, dan pada 1
juni 1959 diubah menjadi Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang berkedudukan langsung di
bawah Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Perubahan terjadi pada 3
November 1966 berupa pembentukan Direktorat Bahasa dan Kesusastraan, kemudian pada 27
mei 1969 diubah menjadi lembaga Bahasa Nasional, pada 1 April 1975 menjadi Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan sejak 24 Januari 2000 bernama Pusat Bahasa
Fungsi pusat bahasa : merumuskan kebijakan Menteri dan kebijakan teknis di bidang
penelitian dan pengembangan bahasa, melaksanakan penelitian dan pengembangan bahasa serta
membina unit pelaksana teknis di daerah.

Tokoh-tokoh yang memimpin Pusat Bahasa :

1. Prof. Dr. G.J. Held (ITCO, 1947-1952)


2. Prof. Dr. Prijono (Lembaga Bahasa dan Budaya, 1952 - 1957)
3. Prof. Dr. P.A. Husein Djajadiningrat (Lembaga Bahasa dan Budaya, 1957 - 1959 )
4. Prof. Dr. P.A. Husein Djajadiningrat (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, 1959 -1960 )
5. Dra.Lukijati Gandasubrata (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, 1960-1962)
6. Dra. Moliar Achmad (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, 1962-1966)
7. Dra. Sri Wulan Rudjijati Muljati (Direktorat Bahasa dan Kesusastraan, 1966-1969)
8. Dra. Sri Wulan Rudjijati Muljadi (Lembaga Bahasa Nasional, 1970-1971)
9. Drs. Lukman Ali (Lembaga Bahasa Nasional, 1970-1971)
10. Dra. S.W. Rudjiati Muljadi (Lembaga Bahasa Nasional, 1971-1975)
11. Prof. Dr. Amran Halim (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1975-1984)
12. Prof. Dr. Anton M. Moeliono (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1984-1989
13. Drs. Lukman Ali (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989-1992)
14. Dr. Hasan Alwi (Pusat Bahasa, 1992-2001)
15. Dr. Dendy Sugono (Pusat Bahasa 2001-Sekarang)

o Ketika bernama Lembaga Bahasa dan Kesusastraan ( 1959-1966), telah melaksanakan


sejumlah kegiatan penting, yaitu
1. membentuk Panitia Crash Program Ejaan Bahasa Indonesia di bawah pimpinan Drs.
Anton. M. Moeliono yang berhasil merumuskan konsep ejaan baru bahasa Indonesia.
2. Kemudian pada peringatan Hari Sumpah Pemuda yang ke-36 tahun 1966 berhasil
menyelenggarakan Simposium Bahasa dan Kesusastraan bertema "Bahasa dan
Kesusastraan Indonesia sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru" yang makalahnya
diterbitkan oleh Gunung Agung dengan judul Bahasa dan Kesusastraan Indonesia sebagai
Cermin Manusia Indonesia Baru (1967).
3. Berhasil menerbitkan Kamus Istilah pertanian dan Perikanan (1960), Kamus Istilah
Ekonomi/Keuangan (1960), Kamus umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S.
Poerwadarminta (cetakan ke-2, 1961), Kamus Istilah Kimia/Farmasi Inggris - lndonesia -
Jerman - Belanda (1965).

o Ketika bernama Direktorat Bahasa dan Kesusastraan (1966-1969), dapat melaksanakan


sejumlah kegiatan penting, yaitu
1. sosialisasi ejaan baru,
2. pameran dokumentasi bahasa dan sastra,
3. Seminar Bahasa Indonesia 26-28 Oktober 1969 di Jakarta,
4. Diskusi Kritik Sastra di Balai Budaya, Jakarta 31 Oktober 1968,
5. penerbitan Kamus Umum Bahasa Indonesia,
6. penerbitan majalah dua bulanan Bahasa dan Kesusastraan, dan
7. Pameran Dokumentasi Indonesia Modern bersama Dewan Kesenian Jakarta (1968)

o Setelah berganti nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional (1970), melakukan kegiatan
seperti
1. Penelitian
2. Seminar
3. Diskusi
4. Penataran di bidang bahasa dan sastra
Kegiatan berlanjut di bawah nama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada
tahun 1975-2000 dan atas nama Pusat Bahasa pada tahun 2000-sekarang.

Pada tahun 1970-1998 menghasilkan :


1. 472 topik penelitian kebahasaan
2. 182 topik penelitian kesastraan
3. 1.647 topik penelitian bahasa daerah yang meliputi 241 bahasa daerah di Indonesia
4. Penerbitan 370 judul penyusunan dan pembukaan kamus
5. Penerjemahan 67 judul buku yang sebagian merupakan hasil kerja sama dengan
ILDEP
Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 25-27 Juni 1983.
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, 28 Oktober – 2 November 1954.
Kongres III hingga VIII di Jakarta pada tahun 1978, 1983, 1988, 1993, 2003.
Dalam setiap kongres membahas tentang makalah kebahasaan dan kesastraan
yang rumusan-rumusanya merupakan rujukan penting bagi program pengembangan
bahasa dan sastra Indonesia.

Prestasi Pusat Bahasa Bidang Bahasa dan Sastra Indonesia :


1. Melaksanakan ratusan penelitian yang melibatkan puluhan peneliti dan dosen
diberbagai perguruan tinggi
2. Menerbitkan ratusan judul buku hasil penelitian. Selama tahun 1974 – 1978
tercatat 106 hasil penelitian bahasa, 44 penelitian sastra, 65 penelitian pengajaran,
dan 56 penelitian peristilahan.
Kekurangan Buku-Buku Pusat Bahasa :
1. Buku-buku Pusat Bahasa sulit diperoleh di toko buku dan perpustakaan umum
2. Perwajahannya terkesan terlalu formal
3. Sejumlah buku terkesan belum disunting secara tuntas
4. Tidak terpajang identitas atau biodata singkat para penulis buku
5. Tidak dapat dijual secara bebas karena merupakan proyek pemerintah

Pusat Bahasa menddorong para staf di pusat dan daerah untuk meningkatkan derajat
akademik melalui program pascasarjana di dalam dan luar negeri untuk menghasilkan
sejumlah tenaga professional yang berkiprah di bidang penelitian bahasa dan sastra
Indonesia.
Taufik Abdullah berpendapat bahwa kejernihan bahasa dan terjalinnya komunikasi
simbolik yang rapi adalah landasan yang kuat bagi terjadinya integrasi sosial dan
nasional. Oleh karena itu, peranan Pusat Bahasa sangat penting dan harus mempunyai
strategi sosial bukan hanya kebijakan bahasa.
Memasuki abad atau millennium baru, munculnya 21 butir masalah sastra dan Pusat
Bahasa sebagai institusi terkemuka di bidang pengembangan bahasa dan sastra ikut
berttanggung jawab membereskannya. Pusat Bahasa telah mengurai berbagai masalah
kebahasaan dan kesastraan , hasil jerih payahnya telah dirasakan oleh kalangan luas, dan
boleh dipastikan akan terus bergiat menjawab tantangan masa depan yang merupakan
tanggung jawab banyak pihak.

Fakultas Sastra (197-199)


pada tahun 1970 an fakultas sastra belum populer, kecuali fakultas sastra UI dan fakultas
sastra dan kebudayaan UGM dan fakultas sastra UNPAD

para alumni fakultas sastra sudah mulai meniti karir masing masing, sedangkan pada
fakultas yang lain masih sibuk mengurus dirinya masing-masing. mereka pun berharap
bisa merintis karir setelah mengalami trauma politik akibat tragedi nasional 30 September
1965.

harapan masyarakat itu sejalan dengan janji pemerintah yang hendak mengutamakan
pembangunan ekonomi melalui tahap pembangunan lima tahun. dalam waktu yang relatif
singkat tampak pertumbuhan sektor ekonomi dan industri yang terdukung modal asing.
ini memberikan dampak positif yaitu banyaknya lowongan pekerjaan termasuk di industri
pers yang besar pengaruh nya dalam perkembangan sastra Indonesia

didalam pendidikan tinggi mulai bertebaran perguruan tinggi swasta (pts) yang
menyiapkan tenaga terdidik disektor ekonomi dan pembangunan namun banyak
perguruan tinggi yang hanya papan nama dan tidak mengindahkan persyaratan pokok

masalah tersebut baru dibenahi oleh petinggi direktorat perguruan tinggi swasta. konsep
pembinaan dan pengembangan pts itu dirumuskan dalam pembangunan lima tahun
pertama (bilita) tujuannya untuk membantu pts agar dpt berfungsi dengan
tanggungjawab, mandiri, dan mendukung sistem pembangunan pendidikan tinggi
nasional. program tersebut menjangkau sekitar 340 pts yang kebanyakan berbentuk
akademi dengan prodi 'favotit' yang berorientasi ekonomi, industri,dan teknologi. ini
menjadi kabar gembira bagi anak muda yang menginginkan gelar sarjana tersebut karena
di ptn hanya terbatas.

tidak jauh beerbeda dengan pts, ptn mengutamakan prodi yang relevan dengan kebutuhan
pengembangan masa itu yaitu fakultas ekonomi,teknik, kedokteran, pertanian,
peternakan, perikanan, dll memperoleh fasilitas yang lebih besar dr pada fakultas lainnya.
kalaupun ada fakultas sastra itu pun terbatas untuk prodi bahasaa asing.

pada tahun 1970 an jurusan sastra Indonesia masih serba terbatas mulai dari fasilitas
gedung, perpustakaan,tenaga pengajar dan minat mahasiswa. kalaupun secara resmi
program akademi fakultas sastra dioayungitoleh fakultas sastra senior UI & UGM,
pertumbuhan dan perkembangan fakultas sastra, khususnya jurusan sastra menjadi
tanggungjawab masing-masing sesuai kondisi internal dan eksternal setempat. kondisi
internal nya adalah keterbatasan fasilitas dan staf pengajarnya, sedangkan faktor
eksternal nya adalah ketimpangan konsep dasar pembangunan orde baru yang cenderung
memandang masalah kebudayaan atau bumaniora sekadar pelengkap kehidupan.

Dari gambaran umum seperti itu dapatlah dipahami apabila persepsi masyarakat luas terhadap
bidang humaniora masih terbilang samar. Sangat tidak aneh apabila pada waktu itu sosok atau
identitas fakultas sastra masih sering dipertanyakan oleh banyak orang. Masa depan profesinya
dianggap tidak jelas, dan wajarlah apabila tidak diminati generasi muda. Masalah minat itu telah
diungkapkan juga oleh Ariel Heryanto dalam Seminar Perkembangan dan Pengembangan sastra
Indonesia di Semarang (1985). Bidang pendidikan pasti-alam dan ilmu terapannya menjanjikan
imbalan material maupun nonmaterial yang besar, sedangkan bidang pendidikan humaniora,
termasuk bahasa dan sastra, berkedudukan paling rendah. Belasan tahun kemudian warna buram
seperti itu masi terbaca juga pada catatan Taufiq Ismail, misalnya, betapa susah dan seret
menarik minat studi sastra Indonesia di perguruan tinggi yang juga terdapat di seluruh negara
berkembang. Rendahnya minat itu berdampak serius terhadap pertumbuhan jumlah pengulas dan
kritikus sastra, dan juga seretnya pertambahan S-3 ilmu sastra dibandingkan dengan S-3 ilmu
eksakta/sains dan ilmu ekonomi/sosial.

Pengamatan Selayang pandang pun dapat mencatat bahwa perkembangan sejumlah fakultas
sastra hingga tahun 1980-an belum menyentuh esensi yang mendasar, yaitu peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang sebenarnya merupakan modal penting dalam pembangunan
sector kebudayaan. Tercatat pada dekade 1970-an adalah penataran Metode Pengajaran Sastra di
Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada Febuari 1976 yang diikuti sejumlah dosen muda dari
Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Diponegoro
(Undip), dan Universitas Sam Ratulangi (Unsart), sedangkan penataran yang lebih serius baru
tampak pada Penataran Sastra 1978 yang dilaksanakan Pusat Bahasa dan ILDEP di Tugu Bogor
September-November 1978. Penataran itupun berkelanjutan hingga tahun 1980 berupa penelitian
lapangan.

Sebuah kebetulan selesainya Penataran Sastra tersebut bersambung dengan penyelenggaraan


Program Magister (S-2) Susastra Indonesia Angkatan pertama tahun 1980 di Universitas
Indonesia dan Universitas Gajah Mada dengan jumlah mahasiswa yang terbatas. Hingga sekian
tahun kemudian ternyata tidak lagi terdengar program lanjutan (S-3) yang seharusnya menjadi
tanggungan pemerintah. Kilas balik memberikan gambaran umum seputar perkembangan jurusan
sastra Indonesia yang hingga tahun 1980-an boleh dikatakan berjalan lamban. Tentu saja catatan
tersebut masi perlu ditinjau Kembali agar kemudian diperoleh gambaran yang objektif dan
akurat.

Upaya penerbitan buku dari skripsi kesarjanaan yang pernah dilaksanakan penerbit Gunung
Agung pada pertengahan tahun 1960-an tampaknya belum diikuti oleh sejumlah penerbit
terkemuka, seperti Balai Pustaka, Djambatan, dan Pustaka Rakyat. Masalah itu memang tidak
sederhana karena industri penerbitan buku berkaitan dengan sejumlah aspek yang sangat rumit.
Sebab sangat mungkin kebanyakan dari penerbit, termasuk university pers (penerbit universitas),
masih meragukan pangsa (pasar buku-buku sastra). Pada tahun 1985 para pakar dari Gajah Mada
dan ITB Press ditugasi oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi untuk menatar sejumlah calon
manajer penerbit universitas dengan harapan semakin maraklah penerbit universitas dimana-
mana. Akan tetapi, perkembangan selanjutnya tidak seperti yang dibayangkan banyak pihak.

Pengamatan Yudiono K.S. sebagai Kepala Badan Penerbit Universitas Diponegoro (1984-1990)
mencatat kondisi kebanyakan penerbit universitas tetap saja kalah bersaing dengan penerbit
umum yang makin berkembang profesional. Akibatnya, publikasi ilmiah kalangan perguruan
tinggi, termasuk fakultas sastra, masih terbatas pada majalah atau jurnal profesi yang
terkendala nonteknis, seperti rendahnya anggaran dan kesibukan rutin para dosen untuk
pengajaran dan proyek penelitian.
Sejak tahun 1987 kegiatan seminar sastra makin terprogram secara berkala (2-3 tahunan)
sebagai agenda penting Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski), sebuah organisasi
profesi yang bertujuan menjalin komunikasi ilmiah para sarjana kesusastraan demi
kesemarakan dinamika ilmu sastra di negeri ini. Hiski digagas pada suatu penataran di Tugu,
Bogor (November 1984), kemudian dirumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
pada 3 Februari 1987 oleh Sapardi Djoko Damono, Zulfa Hanum, Ali Imron, M. Nurdin Matry,
Muhadi dan lain-lain.

Hiski mensyaratkan anggotanya sarjana dengan maksud mengukuhkan minat terhadap ilmu
sastra agar perkembangan apresiasi dan telaah sastra sejajar dengan perkembangan dunia
penciptaan sastra. Kedudukan sarjana sastra yang berurusan dengan telaah dan penelitian
(tentang) sastra sebenarnya sama atau sejajar dengan posisi sastrawan (pengarang). Dengan
segala kemampuan akademik para sarjana sastra harus mahir berbicara tentang berbagai
masalah sastra kepada masyarakat pembaca. Kalaupun ada sarjana sastra (anggota Hiski) yang
sastrawan hendaknya dianggap sebagai kebetulan saja.

Tampaknya kesadarean dan keyakinan para sarjana sastra terhadap profesi terpilih yang
sebenarnya harus berbeda dengan profesi sastrawan. Hal itu dapat dipahami dengan latar
belakang perkembangan fakultas fakultas sastra generasi kedua yang baru tampak pada1970
an. Itulah sebabnya Hiski mengutamakan kegiatan ilmiah sebagai sarana mempertajam ilmu
dan mengukuhkan keyakinan anggotanya.

Pada 4 Februari 1987 Hiski yang diketuai oleh Sapardi Djoko Damono berhasil melaksanakan
per temuan ilmiah nasional perdana di Pusat Bahasa Jakarta Kegiatan berikutnya tercatat di
Denpasar (17-19 Juli 1989), Bandung (14-16 Juni 1990), Malang (26-28 November 1990), Bogor
(15-17 Desember 1992), Yogyakarta (13-16 Desember 1993), Padang (12-14 Desember 1997),
dan di Solo (2-3 Oktober 2000). Ratusan makalah ilmiah dari sekian Pilnas itu jelas merupakan
khazanah pemikiran dan gagasan yang penting dalam dinamika ilmu sastra Indonesia.

Pantas juga dicatat kegiatan seminar berkala tahunan yang telah berlangsung sejak tahun 1979
di kalangan perguruan tinggi negen dan swasta se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kegiatan yang kemudian populer dengan singkatan PIBSI (Pertemuan Ilmiah Bahasa
dan Sastra Indonesia Perguruan Tinggi se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta)
dirintis oleh M. Sudjati (Fakultas Sastra Budaya Undip), Sudaryanto (Fakultas Sastra dan
Kebudayaan UGM), Syaf E. Sulaiman (FKSS IKIP Negeri Yogyakarta), dan R.1. Mulyanto (Fakultas
Sastra UNS Surakarta).

Untuk pertama kali kegiatan PIBSI berlangsung di Semarang 26-27 Februari 1979 dan
selanjutnya dapat berlangsung setiap tahun pada bulan bahasa yaitu bulan Oktober dengan
penyelenggara yang terpilih secara bergiliran. Hampir semua perguruan tinggi negeri dan
swasta se-Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang me miliki program studi bahasa dan sastra
Indonesia pernah menjadi pelaksana atau tuan rumah PIBSI, antara lain: UNNES, UNS,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, IKIP Veteran Sukoharjo, UNY, Universitas Gadjah Mada,
Universitas Sarjana Wiyata Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Universitas
Ahmad Dahlan, Universitas Tidar Magelang, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, dan
Universitas Panca Sakti Tegal.

Berlangsungnya PIBSI setiap tahun jelas merupakan prestasi tersendiri karena merupakan bukti
semangat yang tak kunjung padam di kalangan para dosen sastra, sedangkan mutu atau
kualitasnya harus dipandang sebagai proses yang berkepanjangan.

Yang jelas sementara ini dari kampus fakultas sastra di berbagai universitas telah bermunculan
pakar sastra generasi baru yang gagasan, pemikiran, dan kerja samanya dengan berbagai pihak di
dalam dan luar negeri boleh diharapkan semakin memperkaya khazanah ilmu sastra Indonesia.

Berikut ini sejumlah nama yang "populer" karena kegiatan dan tulisan mereka. Di Jakarta ada
Melani Budianta, Ibnu Wahyudi, dan Sunu Wasono. Di Yogyakarta ada Faruk H.T, Sugihastuti,
Surninto A. Sayuti, dan Jabrohim. Di Semarang ada Nurdien H. Kistanto, Mudjahirin Tohir,
Rustono dan masih banyak lagi.

Boleh dipastikan bahwa sejumlah pakar sastra semakin mapan juga di Medan, Jambi, Pekanbaru,
Lampung, Banjarmasin, Makassar, Kendari, Manado, dan lain-lain.

Tampaknya kesemarakan itu harus dipahami secara kontekstual sebab memang bukan gejala
yang berdiri sendiri. Banyak pihak yang berperan dan berkontribusi dalam dinamika ilmu sastra
Indonesia, termasuk pusat-pusat studi sastra Indonesia di luar negeri yang berkemungkinan juga
semakin profesional.

Dewan kesenian Jakarta


DKJ diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 3 Juni 1968. Tujuan didirikannya
DKJ adalah untuk merumuskan konsep pembangunan budaya yang memberi ruang gerak leluasa
bagi seniman untuk menyuarakan pencerahan bangsa.

DKJ adalah lembaga atau organisasi kesenian yang menjadi mitra kerja Gubernur DKI jakarta
dalam perencanaan pembangunan kesenian.

Tugas dari DKJ sebagai berikut:

1. Menyampaikan usulan program pembangunan kesenian,


2. Memantau perkembangan kehidupan kesenian,
3. Mengevaluasi pelaksanaan program tahunan, dan
4. Menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain.

Adapun tokoh-tokoh yang pernah memimpin Dewan Kesenian Jakarta hingga tahun1990-an

1. Trisno Sumardjo (1968-1969)


2. Umar Kayam (1969-1972)
3. Ajib Rosidi (1973-1981)
4. Salim Said
5. Sulebar M. Sukarman
6. N. Riantiarno

Akademi jakarta merupakan lembaga kehormatan di bidang kesenian, beranggotaan warga


negara Indonesia yang diakui secara luas.

Tugas pokok akademi jakarta:

1. Memilih calon anggota DKJ


2. Memantau perkembangan kesenian, dan
3. Memberikan Anugerah seni.

Sementara itu, Pusat Kesenian Jakarta yang lebih dikenal dengan TIM merupakan perangkat
pelaksana yang bertugas mengaktualisasikan berbagai kegiatan kesenian, termasuk menjadi
fasilitas penyelenggaraan pendidikan kesenian yang dilaksanakan oleh IKJ.

Beberapa kegiatan sastra yang tercatat pada awal berdirinya TIM antara lain:

1. Pertemuan Sastrawan (1972,1974)


2. Diskusi Kritik Sastra (1974)
3. Festival Desember 1975
4. Penyair Muda di Depan Forum 1976
5. Lomba Baca Puisi DKJ 1980
6. Tema Kritikus Sastrawan 1984
7. Pembacaan Puisi
8. Pementasan Teater

Peranan DKj semakin penting pada awal tahun 11980-an sebagai model pembentukan dewan
kesenian di sejumlah provinsi setelah terjalin kontak dan pendekatan melalui Musyawarah
Dewan Kesenian se-Indonesia di Malang dan Makasar.

Dewan kesenian adalah mitra kerja pemerintah dengan tugas pokok mendorong dinamika dan
perkembangan kesenian setempat yang relevan dan berjalan degan program pembangunan
nasional dan daerah di bidang kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai