Pusat bahasa yaitu pelaksana tugas di bidang penelitian dan pengembangan bahasa yang
berada bawah Menteri Pendidikan Nasional. Kantor pusat bahasa beralamat di Jalan Daksinapati
Barat lV, Rawamangun, Jakarta timur, bertetangga dengan kampus Universitas Negeri Jakarta
yang dahulu bernama IKIP Negeri Jakarta
Pada tahun 1947 Fakultas sastra dan Filsafat Universitas Indonesia di bawah
Departement van Onderwijs en Wetenschappen (kementerian Pengajaran, Kesenian, dan Ilmu
Pengetahuan) membentuk lembaga kegiatan ilmiah kebahasaan dan kebudayaan yang bernama
Intituut voor Taal en Cultuur Onderzoek (ITCO).Lembaga ini memiliki 3 bagian :
Setelah pengakuan kedaulatan, pada tahun 1952 lembaga tersebut digabung dengan Balai
Bahasa yabg dibentuk oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Mr. Suwandi
semasa berkedudukan di Yogyakarta, tepatnya pada Maret 1948.
Gabungan ITCO dan Balai Bahasa itu menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya, dan pada 1
juni 1959 diubah menjadi Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang berkedudukan langsung di
bawah Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Perubahan terjadi pada 3
November 1966 berupa pembentukan Direktorat Bahasa dan Kesusastraan, kemudian pada 27
mei 1969 diubah menjadi lembaga Bahasa Nasional, pada 1 April 1975 menjadi Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan sejak 24 Januari 2000 bernama Pusat Bahasa
Fungsi pusat bahasa : merumuskan kebijakan Menteri dan kebijakan teknis di bidang
penelitian dan pengembangan bahasa, melaksanakan penelitian dan pengembangan bahasa serta
membina unit pelaksana teknis di daerah.
o Setelah berganti nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional (1970), melakukan kegiatan
seperti
1. Penelitian
2. Seminar
3. Diskusi
4. Penataran di bidang bahasa dan sastra
Kegiatan berlanjut di bawah nama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada
tahun 1975-2000 dan atas nama Pusat Bahasa pada tahun 2000-sekarang.
Pusat Bahasa menddorong para staf di pusat dan daerah untuk meningkatkan derajat
akademik melalui program pascasarjana di dalam dan luar negeri untuk menghasilkan
sejumlah tenaga professional yang berkiprah di bidang penelitian bahasa dan sastra
Indonesia.
Taufik Abdullah berpendapat bahwa kejernihan bahasa dan terjalinnya komunikasi
simbolik yang rapi adalah landasan yang kuat bagi terjadinya integrasi sosial dan
nasional. Oleh karena itu, peranan Pusat Bahasa sangat penting dan harus mempunyai
strategi sosial bukan hanya kebijakan bahasa.
Memasuki abad atau millennium baru, munculnya 21 butir masalah sastra dan Pusat
Bahasa sebagai institusi terkemuka di bidang pengembangan bahasa dan sastra ikut
berttanggung jawab membereskannya. Pusat Bahasa telah mengurai berbagai masalah
kebahasaan dan kesastraan , hasil jerih payahnya telah dirasakan oleh kalangan luas, dan
boleh dipastikan akan terus bergiat menjawab tantangan masa depan yang merupakan
tanggung jawab banyak pihak.
para alumni fakultas sastra sudah mulai meniti karir masing masing, sedangkan pada
fakultas yang lain masih sibuk mengurus dirinya masing-masing. mereka pun berharap
bisa merintis karir setelah mengalami trauma politik akibat tragedi nasional 30 September
1965.
harapan masyarakat itu sejalan dengan janji pemerintah yang hendak mengutamakan
pembangunan ekonomi melalui tahap pembangunan lima tahun. dalam waktu yang relatif
singkat tampak pertumbuhan sektor ekonomi dan industri yang terdukung modal asing.
ini memberikan dampak positif yaitu banyaknya lowongan pekerjaan termasuk di industri
pers yang besar pengaruh nya dalam perkembangan sastra Indonesia
didalam pendidikan tinggi mulai bertebaran perguruan tinggi swasta (pts) yang
menyiapkan tenaga terdidik disektor ekonomi dan pembangunan namun banyak
perguruan tinggi yang hanya papan nama dan tidak mengindahkan persyaratan pokok
masalah tersebut baru dibenahi oleh petinggi direktorat perguruan tinggi swasta. konsep
pembinaan dan pengembangan pts itu dirumuskan dalam pembangunan lima tahun
pertama (bilita) tujuannya untuk membantu pts agar dpt berfungsi dengan
tanggungjawab, mandiri, dan mendukung sistem pembangunan pendidikan tinggi
nasional. program tersebut menjangkau sekitar 340 pts yang kebanyakan berbentuk
akademi dengan prodi 'favotit' yang berorientasi ekonomi, industri,dan teknologi. ini
menjadi kabar gembira bagi anak muda yang menginginkan gelar sarjana tersebut karena
di ptn hanya terbatas.
tidak jauh beerbeda dengan pts, ptn mengutamakan prodi yang relevan dengan kebutuhan
pengembangan masa itu yaitu fakultas ekonomi,teknik, kedokteran, pertanian,
peternakan, perikanan, dll memperoleh fasilitas yang lebih besar dr pada fakultas lainnya.
kalaupun ada fakultas sastra itu pun terbatas untuk prodi bahasaa asing.
pada tahun 1970 an jurusan sastra Indonesia masih serba terbatas mulai dari fasilitas
gedung, perpustakaan,tenaga pengajar dan minat mahasiswa. kalaupun secara resmi
program akademi fakultas sastra dioayungitoleh fakultas sastra senior UI & UGM,
pertumbuhan dan perkembangan fakultas sastra, khususnya jurusan sastra menjadi
tanggungjawab masing-masing sesuai kondisi internal dan eksternal setempat. kondisi
internal nya adalah keterbatasan fasilitas dan staf pengajarnya, sedangkan faktor
eksternal nya adalah ketimpangan konsep dasar pembangunan orde baru yang cenderung
memandang masalah kebudayaan atau bumaniora sekadar pelengkap kehidupan.
Dari gambaran umum seperti itu dapatlah dipahami apabila persepsi masyarakat luas terhadap
bidang humaniora masih terbilang samar. Sangat tidak aneh apabila pada waktu itu sosok atau
identitas fakultas sastra masih sering dipertanyakan oleh banyak orang. Masa depan profesinya
dianggap tidak jelas, dan wajarlah apabila tidak diminati generasi muda. Masalah minat itu telah
diungkapkan juga oleh Ariel Heryanto dalam Seminar Perkembangan dan Pengembangan sastra
Indonesia di Semarang (1985). Bidang pendidikan pasti-alam dan ilmu terapannya menjanjikan
imbalan material maupun nonmaterial yang besar, sedangkan bidang pendidikan humaniora,
termasuk bahasa dan sastra, berkedudukan paling rendah. Belasan tahun kemudian warna buram
seperti itu masi terbaca juga pada catatan Taufiq Ismail, misalnya, betapa susah dan seret
menarik minat studi sastra Indonesia di perguruan tinggi yang juga terdapat di seluruh negara
berkembang. Rendahnya minat itu berdampak serius terhadap pertumbuhan jumlah pengulas dan
kritikus sastra, dan juga seretnya pertambahan S-3 ilmu sastra dibandingkan dengan S-3 ilmu
eksakta/sains dan ilmu ekonomi/sosial.
Pengamatan Selayang pandang pun dapat mencatat bahwa perkembangan sejumlah fakultas
sastra hingga tahun 1980-an belum menyentuh esensi yang mendasar, yaitu peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang sebenarnya merupakan modal penting dalam pembangunan
sector kebudayaan. Tercatat pada dekade 1970-an adalah penataran Metode Pengajaran Sastra di
Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada Febuari 1976 yang diikuti sejumlah dosen muda dari
Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Diponegoro
(Undip), dan Universitas Sam Ratulangi (Unsart), sedangkan penataran yang lebih serius baru
tampak pada Penataran Sastra 1978 yang dilaksanakan Pusat Bahasa dan ILDEP di Tugu Bogor
September-November 1978. Penataran itupun berkelanjutan hingga tahun 1980 berupa penelitian
lapangan.
Upaya penerbitan buku dari skripsi kesarjanaan yang pernah dilaksanakan penerbit Gunung
Agung pada pertengahan tahun 1960-an tampaknya belum diikuti oleh sejumlah penerbit
terkemuka, seperti Balai Pustaka, Djambatan, dan Pustaka Rakyat. Masalah itu memang tidak
sederhana karena industri penerbitan buku berkaitan dengan sejumlah aspek yang sangat rumit.
Sebab sangat mungkin kebanyakan dari penerbit, termasuk university pers (penerbit universitas),
masih meragukan pangsa (pasar buku-buku sastra). Pada tahun 1985 para pakar dari Gajah Mada
dan ITB Press ditugasi oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi untuk menatar sejumlah calon
manajer penerbit universitas dengan harapan semakin maraklah penerbit universitas dimana-
mana. Akan tetapi, perkembangan selanjutnya tidak seperti yang dibayangkan banyak pihak.
Pengamatan Yudiono K.S. sebagai Kepala Badan Penerbit Universitas Diponegoro (1984-1990)
mencatat kondisi kebanyakan penerbit universitas tetap saja kalah bersaing dengan penerbit
umum yang makin berkembang profesional. Akibatnya, publikasi ilmiah kalangan perguruan
tinggi, termasuk fakultas sastra, masih terbatas pada majalah atau jurnal profesi yang
terkendala nonteknis, seperti rendahnya anggaran dan kesibukan rutin para dosen untuk
pengajaran dan proyek penelitian.
Sejak tahun 1987 kegiatan seminar sastra makin terprogram secara berkala (2-3 tahunan)
sebagai agenda penting Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski), sebuah organisasi
profesi yang bertujuan menjalin komunikasi ilmiah para sarjana kesusastraan demi
kesemarakan dinamika ilmu sastra di negeri ini. Hiski digagas pada suatu penataran di Tugu,
Bogor (November 1984), kemudian dirumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
pada 3 Februari 1987 oleh Sapardi Djoko Damono, Zulfa Hanum, Ali Imron, M. Nurdin Matry,
Muhadi dan lain-lain.
Hiski mensyaratkan anggotanya sarjana dengan maksud mengukuhkan minat terhadap ilmu
sastra agar perkembangan apresiasi dan telaah sastra sejajar dengan perkembangan dunia
penciptaan sastra. Kedudukan sarjana sastra yang berurusan dengan telaah dan penelitian
(tentang) sastra sebenarnya sama atau sejajar dengan posisi sastrawan (pengarang). Dengan
segala kemampuan akademik para sarjana sastra harus mahir berbicara tentang berbagai
masalah sastra kepada masyarakat pembaca. Kalaupun ada sarjana sastra (anggota Hiski) yang
sastrawan hendaknya dianggap sebagai kebetulan saja.
Tampaknya kesadarean dan keyakinan para sarjana sastra terhadap profesi terpilih yang
sebenarnya harus berbeda dengan profesi sastrawan. Hal itu dapat dipahami dengan latar
belakang perkembangan fakultas fakultas sastra generasi kedua yang baru tampak pada1970
an. Itulah sebabnya Hiski mengutamakan kegiatan ilmiah sebagai sarana mempertajam ilmu
dan mengukuhkan keyakinan anggotanya.
Pada 4 Februari 1987 Hiski yang diketuai oleh Sapardi Djoko Damono berhasil melaksanakan
per temuan ilmiah nasional perdana di Pusat Bahasa Jakarta Kegiatan berikutnya tercatat di
Denpasar (17-19 Juli 1989), Bandung (14-16 Juni 1990), Malang (26-28 November 1990), Bogor
(15-17 Desember 1992), Yogyakarta (13-16 Desember 1993), Padang (12-14 Desember 1997),
dan di Solo (2-3 Oktober 2000). Ratusan makalah ilmiah dari sekian Pilnas itu jelas merupakan
khazanah pemikiran dan gagasan yang penting dalam dinamika ilmu sastra Indonesia.
Pantas juga dicatat kegiatan seminar berkala tahunan yang telah berlangsung sejak tahun 1979
di kalangan perguruan tinggi negen dan swasta se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kegiatan yang kemudian populer dengan singkatan PIBSI (Pertemuan Ilmiah Bahasa
dan Sastra Indonesia Perguruan Tinggi se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta)
dirintis oleh M. Sudjati (Fakultas Sastra Budaya Undip), Sudaryanto (Fakultas Sastra dan
Kebudayaan UGM), Syaf E. Sulaiman (FKSS IKIP Negeri Yogyakarta), dan R.1. Mulyanto (Fakultas
Sastra UNS Surakarta).
Untuk pertama kali kegiatan PIBSI berlangsung di Semarang 26-27 Februari 1979 dan
selanjutnya dapat berlangsung setiap tahun pada bulan bahasa yaitu bulan Oktober dengan
penyelenggara yang terpilih secara bergiliran. Hampir semua perguruan tinggi negeri dan
swasta se-Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang me miliki program studi bahasa dan sastra
Indonesia pernah menjadi pelaksana atau tuan rumah PIBSI, antara lain: UNNES, UNS,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, IKIP Veteran Sukoharjo, UNY, Universitas Gadjah Mada,
Universitas Sarjana Wiyata Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Universitas
Ahmad Dahlan, Universitas Tidar Magelang, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, dan
Universitas Panca Sakti Tegal.
Berlangsungnya PIBSI setiap tahun jelas merupakan prestasi tersendiri karena merupakan bukti
semangat yang tak kunjung padam di kalangan para dosen sastra, sedangkan mutu atau
kualitasnya harus dipandang sebagai proses yang berkepanjangan.
Yang jelas sementara ini dari kampus fakultas sastra di berbagai universitas telah bermunculan
pakar sastra generasi baru yang gagasan, pemikiran, dan kerja samanya dengan berbagai pihak di
dalam dan luar negeri boleh diharapkan semakin memperkaya khazanah ilmu sastra Indonesia.
Berikut ini sejumlah nama yang "populer" karena kegiatan dan tulisan mereka. Di Jakarta ada
Melani Budianta, Ibnu Wahyudi, dan Sunu Wasono. Di Yogyakarta ada Faruk H.T, Sugihastuti,
Surninto A. Sayuti, dan Jabrohim. Di Semarang ada Nurdien H. Kistanto, Mudjahirin Tohir,
Rustono dan masih banyak lagi.
Boleh dipastikan bahwa sejumlah pakar sastra semakin mapan juga di Medan, Jambi, Pekanbaru,
Lampung, Banjarmasin, Makassar, Kendari, Manado, dan lain-lain.
Tampaknya kesemarakan itu harus dipahami secara kontekstual sebab memang bukan gejala
yang berdiri sendiri. Banyak pihak yang berperan dan berkontribusi dalam dinamika ilmu sastra
Indonesia, termasuk pusat-pusat studi sastra Indonesia di luar negeri yang berkemungkinan juga
semakin profesional.
DKJ adalah lembaga atau organisasi kesenian yang menjadi mitra kerja Gubernur DKI jakarta
dalam perencanaan pembangunan kesenian.
Adapun tokoh-tokoh yang pernah memimpin Dewan Kesenian Jakarta hingga tahun1990-an
Sementara itu, Pusat Kesenian Jakarta yang lebih dikenal dengan TIM merupakan perangkat
pelaksana yang bertugas mengaktualisasikan berbagai kegiatan kesenian, termasuk menjadi
fasilitas penyelenggaraan pendidikan kesenian yang dilaksanakan oleh IKJ.
Beberapa kegiatan sastra yang tercatat pada awal berdirinya TIM antara lain:
Peranan DKj semakin penting pada awal tahun 11980-an sebagai model pembentukan dewan
kesenian di sejumlah provinsi setelah terjalin kontak dan pendekatan melalui Musyawarah
Dewan Kesenian se-Indonesia di Malang dan Makasar.
Dewan kesenian adalah mitra kerja pemerintah dengan tugas pokok mendorong dinamika dan
perkembangan kesenian setempat yang relevan dan berjalan degan program pembangunan
nasional dan daerah di bidang kebudayaan.