I. PENDAHULUAN 2
1. Tindakan administratif 11
2. Pidana Pokok 11
3. Pidana tambahan 15
IX. KESIMPULAN 22
3
Ada dua kata kunci yang harus dingat dalam ilmu ekonomi, yaitu unlimited needs pada satu sisi dan limited resources
pada sisi yang lain. Ketidakseimbangan kedua sisi tersebut memunculkan masalah ekonomi (economic problem)1.
Dalam prakteknya, masalah ekonomi dapat berbenturan dengan masalah hukum. Perlu diingat dalam ilmu hukum
dikenal bahwa sekurang kurangnya terdapat tiga syarat utama menentukan bahwa suatu ketentuan hukum dapat
dikatakan baik, yakni secara filosofis dapat menciptakan keadilan, bermanfaat secara sosiologis dan menciptakan
kepastian secara yuridis2.
Kartel dipercaya merupakan persimpangan antara ilmu ekonomi dan ilmu hukum. Kartel merupakan tindakan anti
persaingan yang membawa dampak paling signifiakan, baik terhadap pesaing maupun konsumen, sehingga
dibeberapa negara, kartel dianggap sebagai tindakan kriminal disertai denda pidana dan/atau kurungan3. Biasanya
dampak atas kartel terhadap konsumen berupa kerugian, dan terhadap pesaingnya berwujud hambatan masuk (entry
barrier) ke pasar bersangkutan.
Kartel menurut pengertiannya adalah wadah resmi yang merupakan wujud perjanjian dua atau lebih penjual/pembeli
untuk melakukan sesuatu untuk kepentingan bersama4. Bentuk dari wadah tersebut bisa berupa asosiasi, pemasaran
bersama atau bentuk bentuk lainnya. Kepentingan bersama yang dimaksud adalah mendapatkan keuntungan yang
lebih tinggi daripada jika mereka tidak melakukan hal tersebut bersama-sama. Untuk itu banyak jalan yang dapat
dilakukan oleh sebuah kartel, yaitu:
• Melakukan penentuan harga bersama;
• Menentukan jumlah produksi;
• Menentukan pembagian wilayah; atau
• kombinasi dari ketiga hal tersebut;
2
Contoh gampangnya dan paling klasik untuk kartel adalah OPEC, dimana negara pengekspor minyak bersatu untuk
membatasi jumlah produksi, sehingga harga dapat dinaikkan dengan nilai yang sangat tinggi dibandingkan dengan
nilai awalnya.
Dalam sebuah seminar pernah dipaparkan bahwa bentuk bentuk kartel dapat berupa:
a. Kartel produksi (production allocation);
b. Penetapan harga (horizontal price fixing);
c. Persengkongkolan tender (bid rigging);
d. Pembagian wilayah (market allocation);
e. Pembagian wilayah pangsa pasar (market share allocation);
Dalam prakteknya kartel dapat diketahui dari karekateristik yang muncul, beberapa pola yang seringakali terdeteksi
antara lain 5:
a. Persengkongkolan antara para pelaku usaha;
b. Asosiasi pelaku usaha seringkali dijadikan sarana untuk terciptanya kartel;
c. Informasi yang terdistribusi diantara para anggota kartel;
d. Adanya ancaman dan sanksi yang nyata apabila anggota kartel tidak menajalankan kesepakatan;
e. Penetapan harga oleh anggota kartel;
f. Seringkali melibatkan karyawan senior pada perusahaan;
g. Adanya mekanisme kompensasi bagi para anggota kartel untuk terus menjaga tindakan kartelnya tetap
berlangsung.
5Dr.Jur. Udin Silalahi, SH., LLM., Mengungkap Kartel Dengan Bukti Tidak Langsung, (Asean Competition Institute, Jakarta Juni 2015), hal
27.
3
Di Amerika Serikat, Australia dan Uni Eropa, kartel dianggap sebagai per se illegal. Di Amerika Serikat Section 1 of the
Sherman Act, memperlakukannya per se illegal. Artinya perjanjian kartel sendiri dilarang tanpa melihat kewajaran
tingkat harga yang disepakati, tanpa melihat market power para pihak, bahkan tanpa melihat apakah perjanjian kartel
tersebut sudah dilaksanakan atau belum.
Di Australia, dengan Section 45 jo.4D (1) dan 45 A dari Trade Practice Act 1974 juga mengkategorikan kartel sebagai
per se illegal. Begitu juga Uni Eropa, denga Article 85 dari Treaty of Rome6.
Sedangkan di Indonesia, menurut Pasal 11 Undang Undang No. 5 tahun 1999 menyatakan Kartel sebagai pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (rule of reason). Dalam Pasal 11 tersebut dapat dilihat
bahwa hukum negara negara barat tidak mempengaruhi ketentuan pasal ini.
Hal ini mungkin dipengaruhi oleh penegakan Sherman Act 1890. Sherman Act awalnya diterapkan dengan tegas
sehingga berkesan kaku. Setiap ada perjanjian perjanjian yang dilakukan para pelaku usaha, tanpa melihat dari
dampak perjanjian tersebut kepada pasar. langsung dikenakan ketentuan Sherman Act 1890 dan dikenakan hukuman
dan sanksi. Akibatnya, perekonomian Amerika Serikat menjadi tidak berkembang, dan para pelaku usaha enggan
melakukan perjanjian yang walau dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan perusahaan. Berdasarkan kondisi ini
pada tahun 1911 Supreme Court Amerika Serikat mengeluarkan pendekatan rule of reason pertama kali pada kasus
Standard Oil Co. of New Jersey vs United Satates 221U.S.1(1911), yang menyatakan bahwa perjanjian perjanjian yang
menghambat perdagangan tidak harus tunduk pada ketentuan Anti-trust law demikian juga kepemilikan bukan
monopoli bukanlah sesuatu yang illegal. Sedangkan yang dilarang adalah praktek (conduct)nya. Namun demikian
dalam perkembangan nya para pelaku usaha melakukan praktek praktek kartel secara tersembunyi dan secara lisan,
yang tidak mudah untuk membuktikannya. Praktek kartel dapat dirasakan tetapi susah untuk dibuktikan7.
6Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama: 2004), hal 56.
7Dr.Jur. Udin Silalahi, SH., LLM., Mengungkap Kartel Dengan Bukti Tidak Langsung, (Asean Competition Institute, Jakarta Juni 2015), hal
xiii.
4
Didalam peraturan KPPU No.4 Tahun 2010 tentang Kartel (Pedoman Pasal 11), dijelaskan bagaimana penerpan rule of
reason di Indonesia. Menurut peraturan in, harus dilakukan secara mendalam tentang alasan alasan mengapa para
pelaku usaha terlapor membuat kartel8. KPPU harus mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Apakah terdapat tanda tanda adanya pengurangan produksi barang dan atau jasa atau ada tidaknya kenaikan
harga? Jika tidak ada maka perbuatan para pelaku usaha tidak bertentangan dengan hukum persaingan.
2. Apakah perbuatan tersebut naked (semata-mata, langsung bertujuan untuk mengurangi atau mematikan
persaingan) atau bersifat anchillary bukan tujuan dari kolaborasi melainkan hanya akibat ikutan. Apakah
kolaborasi bersifat naked, maka akan melawan hukum.
3. Bahwa kartel mempunyai market power. Apabila kartel mempunyai pangsa pasar (market power) yang cukup,
maka mereka mempunyai kekuatan untuk menyalahgunakan kekuatan tersebut.
4. Terdapat bukti yang kuat bahwa kartel menghasilkan efisiensi yang cukup besar, sehingga melebihi kerugian
yang diakibatkannya. Apabila tidak membawa efisiensi berarti kartel hanya membawa kerugian.
5. Adanya reasonable necessity. Artinya tindakan para pelaku kartel tersebut memang secara akal sehat perlu
dilakukan. Dengan kata lain untuk mencapai keuntungan keuntungan yang propersaingan yang ingin dicapai,
maka perbuatan kartel tersebut perlu dilakukan, dan tidak terdapat cara lain atau alternative lain yang
seharusnya terpikirkan oleh para pelaku usaha.
6. Balancing test. Setelah faktor faktor lainya tersebut diatas diperiksa, maka perlu dilakukan pengukuran
terhadap keuntungan yang diperoleh melalui kartel, dengan kerugian yang diakibatkannya. Apabila keuntungan
yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkannya, maka perbuatan atau tindakan
para pelaku usaha tersebut dapat dibenarkan.
Kewenangan KPPU dan Kartel dipertemukan dalam Pasal 47 Undang undang Larangan Praktek Monopoli dan
Persainga Usaha Tidak Sehat, KPPU berwenang memberikan sanksi tindakan administrasi dengan denda maksimal 25
milyar.
5
Namun demikian perlu diingat secara umum terdapat hal yang dikecualikan dari ketentuan larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah:
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang undangan yang berlaku;
atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak
cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba; atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau
menghalangi persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan
atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau
pasokan pasar dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya
6
Jerih payah KPPU menetapkan Kartel ternyata dalam prakteknya menemukan pendapat yang lain seperti:
7
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membatalkan putusan KPPU soal kartel atas biaya atas
tambahan bahan bakar (fuel surcharge). Dalam putusan itu, majelis hakim yang diketuai Yulman mengabulkan
gugatan yang diajukan sembilan maskapai penerbangan yang keberatan atas putusan KPPU itu. Majelis hakim
beralasan, adanya fakta besaran harga fuel surcharge yang sama antar maskapai tidak terbukti. Mengabulkan
permohonan keberatan dari pemohon keberatan serta membatalkan putusan KPPU No.25/KPPU/2010 Tanggal 4 Mei
2010.
8
Pasalnya, putusan PN Jakarta Barat dianggap benar karena pengafkiran dini terhadap ternak ayam potong
bukan merupakan hasil kesepakatan atau perjanjian para termohon sebagaimana Pasal 1 angka 7 UU No. 5/1999.
Pengafkiran itu dinilai oleh majelis merupakan perintah Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian
Pertanian yang mengandung sanksi jika tidak dilaksanakan oleh para terlapor.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis menilai ternyata putusan PN Jakarta Barat dengan nomor
01/Pdt.Sus-KPPU/2017/PN.Jkt.Brt. pada 29 November 2017 tidak bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu,
permohonan kasasi yang diajukan oleh KPPU harus ditolak12.
9
Peraturan
1. LaporanKomisi
atau inisiatif.
Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun
9. Keberatan:
2019 tanggalPelaku
2 Januari
usaha
2019dapat
tentangmengajukan
Tata Cara
Penangan
2. Klarifikasi
Perkara
oleh
Praktik
KPPU
Monopoli
kepada
dan Persaingan
pelapor Usaha
untukTidak Sehat
keberatan
mengatur
kepada
secaraPengadilan
singkatnya sebagai
Negeri berikut:
selambat-
memberitahukan dan mengembalikan kepada Pelapor lambatnya 14 (empat belas) hari setelah
paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya menerima pemberitahuan putusan tersebut
laporan. dan/atau diumumkan melalui website Komisi
3. Tahap penyelidikan dalam jangka waktu paling lama berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik
60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang Indonesia Nomor : 03 Tahun 2005 Tentang Tata
berdasarkan keputusan Rapat Koordinasi. Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan
4. Pemeriksaaan Pendahuluan: Pemeriksaan Terhadap Putusan KPPU.
Pendahuluan dilakukan dalam jangka waktu paling 10. Keberatan terhadap Putusan KPPU hanya diajukan
lama 30 (tiga puluh) hari dimulai sejak persidangan oleh Pelaku Usaha Terlapor kepada Pengadilan
pertama yang dihadiri oleh Terlapor. Negeri ditempat kedudukan hukum usaha Pelaku
5. Kesempatan kepada Terlapor untuk melakukan Usaha tersebut
perubahan perilaku setelah Laporan Dugaan 11. Pengadilan: Pengadilan Negeri harus memberikan
Pelanggaran dibacakan dan/atau disampaikan kepada putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
Terlapor. dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.
6. Pelaksanaan Pakta Integritas Perubahan Perilaku 12. Kasasi: Pihak yang keberatan terhadap putusan
menjadi objek pengawasan oleh Komisi dilakukan Pengadilan Negeri dalam waktu 14 (empat belas)
paling lama 60 (enam puluh) hari. hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah
7. Pemeriksaaan Lanjutan: Komisi wajib melakukan Agung Republik Indonesia.
menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat- 13. Putusan Akhir: Mahkamah Agung harus
lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dilakukan memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh)
pemeriksaan lanjutan dapat diperpanjang paling lama hari sejak permohonan kasasi diterima.
30 (tiga puluh) hari
8. Alat bukti dapat berupa a. keterangan saksi; b.
keterangan ahli; c. surat dan/atau dokumen; d.
petunjuk; e. keterangan pelaku usaha
10
Untuk mudahnya, KPPU berwenang menjatuhkan sanksi sebagai berikut:
11
4. Kartel: perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5. Trust: perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang
bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
6. Oligopsoni: perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama
menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan
atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
7. Perjanjian vertical: perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi
sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana
setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
8. Perjanjian dengan luar negeri: perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
9. Monopoli: melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
10. Monopsoni: menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau
jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
11. Penguasaan Pasar: melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku
usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat berupa : a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku
usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;
atau c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
atau d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
12
12. Posisi Dominan: Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk: a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi
harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c.
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar
bersangkutan.
13. Pemilikan Saham: memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan
kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan
beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama,
apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; b.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
14. Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan: yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
B. Pelanggaran pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-
tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 5 (lima) bulan:
I. Penetapan harga:
1. perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau
jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
2. perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda
dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
3. perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
4. perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau
jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan
harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
13
III. Penguasaan Pasar:
1. pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang
sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
2. melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian
dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat
IV. Persengkongkolan:
1. bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
2. bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang
diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
3. bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan
atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun
ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
V. Jabatan Rangkap:
menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang
bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila
perusahaan-perusahaan tersebut:
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelanggaran terhadap menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam
penyelidikan dan atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan.
ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-
tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-
lamanya 3 (tiga) bulan.
14
2. Pidana tambahan:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang
ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-
lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
15
Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana prakteknya Mahkamah Agung dapat memiliki pendapat yang
berbeda dengan KPPU, dibawah ini adalah pertimbangan hakim dalam memutus perkara Kartel yang mementahkan
pendapat KPPU:
16
5. Menyatakan bahwa penerapan ganti rugi oleh KPPU/Termohon Keberatan, sebagaimana
amar putusan No. 25/KPPU-I/2009 butir ke-15, adalah keliru dan melanggar peraturan
perundang-undangan, khususnya Pasal 47 ayat (2) huruf (f) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat jo
Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 252/KPPU/Kep/VII/2008 tertanggal
31 Juli 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 47 dari UU No. 5/1999.
6. Menyatakan putusan KPPU / Termohon Keberatan No.25/KPPU-I/2009 batal demi
hukum (null and void/van rechtwege nietig), khususnya amar putusan KPPU/Termohon
Keberatan No. 25/KPPU-I/2009 butir ke-1, ke-4, ke-5, ke-6, dan ke-15; dan
7. Menghukum KPPU/Termohon Keberatan untuk membayar biaya perkara. Apabila Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Perkara a quo
berpendapat lain, kami mohon agar perkara ini diputus dengan seadil-adilnya (ex aequo
et bono).
II. Putusan Pengadilan Negeri: Bahwa terhadap keberatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 02/KPPU/2010/PN.Jkt.Pst., tanggal 28
Pebruari 2011 yang amarnya sebagai berikut :
1. Mengabulkan Permohonan keberatan dari Pemohon Keberatan I sampai dengan
Pemohon Keberatan IX untuk seluruhnya ;
2. Membatalkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU)
No.25/KPPU-I/2009, tanggal 04 Mei 2010 ;
3. Menghukum Termohon Keberatan untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam
pemeriksaan ini , yang hingga Putusan ini dibacakan ditaksir sebesar Rp.3.511.000,- (tiga
juta lima ratus sebelas ribu rupiah)
17
C. Kartel Obat 2012
Putusan Mahkamah Agung No. 294 K/PDT.SUS/2012 pada hari Kamis tanggal 28 Juni 2012 antara
KPPU dan PT. PFIZER INDONESIA, PT. DEXA MEDICA, PFIZER INC, PFIZER OVERSEAS LLC (d/h.
PFIZER OVERSEAS INC), PFIZER GLOBAL TRADING (co. PFIZER), PFIZER CORPORATION PANAMA,
menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Termohon Keberatan KPPU.
MENGADILI:
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Keberatan yang diajukan oleh
Pemohon Keberatan/Pfizer Indonesia.
2. Membatalkan seluruh putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 17/KPPU-I/2010
tanggal 27 September 2010 atau menyatakan putusan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha No. 17/KPPU-I/2010 tanggal 27 September 2010 tidak berlaku, tidak mengikat,
dan/atau tidak dapat dilaksanakan terhadap Pemohon Keberatan/Pfizer Indonesia
M E N G A D I L I SENDIRI:
1. Menyatakan Pemohon Keberatan/Pfizer Indonesia tidak melanggar Pasal 5, Pasal 11,
Pasal 16 dan Pasal 25 ayat 1 huruf a dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2. Menghukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau Termohon Keberatan/KPPU
untuk membayar seluruh biaya perkara.
3. Menghukum Turut Termohon Keberatan I hingga Turut Termohon Keberatan V untuk
mematuhi putusan Majelis Hakim dalam perkara ini.
4. Atau, jika Majelis Hakim yang terhormat mempertimbangkan lain, kami mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
II. Putusan Pengadilan Negeri: Bahwa terhadap keberatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat telah menjatuhkan putusan, yaitu putusan No. 05/Pdt.KPPU/2010/PN.Jkt.Pst., tanggal
7 September 2011 yang amarnya sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemohon Keberatan I, II, III,
IV, V, dan VI untuk seluruhnya.
2. Membatalkan putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010 tertanggal 27 September 2010
untuk seluruhnya.
3. Menghukum Termohon Keberatan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
18 1.271.000,00 (satu juta dua ratus tujuh puluh satu ribu Rupiah).
III. Pertimbangan Mahkamah Agung menguatkan Pengadilan Negeri dan membatalkan
putusan KPPU:
2. Bahwa bukti perintah untuk melakukan komunikasi di antara para pesaing dalam
Supply Agreement dan Distribution Agreement, menurut pendapat para ahli, hal
tersebut diperlukan dalam tujuan bisnis, dalam proses bisnis melakukan pertukaran
informasi adalah diperbolehkan. Kemudian penggunaan bahan baku yang sama
untuk membuat suatu produk yang saling bersaing dan juga penggunaan distributor
yang sama dalam memasarkan suatu produk yang saling bersaing bukan
merupakan bukti adanya pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
(kartel).
3. Bahwa Termohon Kasasi melanggar Pasal 16 (perjanjian dengan pihak luar negeri),
terhadap hal ini dalam pertimbangan Termohon Keberatan menguraikan tentang
obyek perjanjian adalah masalah sengketa paten, maka menurut Judex Facti
(Pengadilan Negeri), hal tersebut menyangkut masalah HKI, yang dikecualikan
menurut Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Namun demikian
setelah Majelis Hakim mencermatinya, perjanjian a quo hanya berlaku bagi para
pihak yang menandatanganinya, bukan untuk pihak yang lain. Perjanjian a quo tidak
terbukti memenuhi unsur yang terdapat dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 5 Tahun
1999. Adanya posisi dominan Termohon Kasasi : Pasal 25 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999, terkait dengan hal ini program HCCP bukan suatu keharusan bagi dokter
untuk ikut serta.
18
D. Kartel Ayam 2018
Putusaan Mahkamah Agung No. 444 K/Pdt.Sus-KPPU/2018 hari Selasa tanggal 15 Mei 2018 antara
KPPU dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk, PT Malindo Feedmil
Indonesia Tbk, PT CJ-PIA (Cheil Jedang Superfreed), PT Taat Indah bersinar, PT Cibadak Indah Sari
Farm, PT Hybro Indonesia, PT Wonokoyo Jaya Corporindo, CV Missouri, PT Reza Perkasa, PT Satwa
Borneo Jaya, menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN
USAHA REPUBLIK INDONESIA (KPPU RI) tersebut; Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar
biaya perkara pada tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
II. Putusan Pengadilan Negeri: Bahwa terhadap keberatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta
Barat telah menjatuhkan putusan, yaitu putusan No. 01/Pdt.Sus-KPPU/2017/PN Jkt.Brt. tanggal
29 November 2017 yang amarnya sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan keberatan dari Pemohon I, Pemohon II,
Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI , Pemohon VII, Pemohon VIII,
Pemohon IX, Pemohon X dan Pemohon XI tersebut di atas;
2. Membatalkan putusan KPPU Register Perkara Nomor 02/KPPU-I/2016, tanggal 13
Oktober 2016, tersebut di atas;.
Mengadili Sendiri:
1. Menyatakan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon
VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X dan Pemohon XI tidak
terbukti melanggar pasal 11 Undang Undang Nomo5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monoploli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2. Membebankan Biaya perkara kepada Negara.
19
III. Pertimbangan Mahkamah Agung menguatkan Pengadilan Negeri dan membatalkan putusan
KPPU:
Karena berdasarkan fakta-fakta dalam perkara a quo Judex Facti telah memberikan
pertimbangan yang cukup, dimana tidak terbukti bahwa “pengafkiran dini” terhadap ternak
ayam potong produk Para Termohon Kasasi I sampai dengan XI bukan merupakan hasil
kesepakatan atau perjanjian antar Para Termohon Kasasi I sampai dengan XI untuk mengikatkan
diri terhadap Para Termohon Kasasi I sampai dengan XI sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 7
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, tetapi pengafkiran dini tersebut merupakan instruksi pemerintah dalam hal ini
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI yang mengandung sanksi
kepada Para Termohon Kasasi I sampai dengan XI apabila tidak melaksanakan instruksi
tersebut serta pelaksanaan pengafkiran dini dimaksud dilaksanakan secara terbuka dan
diawasi Team Cross antara lain Asosiasi Gabungan, Perguruan Tinggi dan Pemerintah.
20
5. Menyatakan Putusan Termohon Keberatan Nomor 09/KPPU-L/2016 tanggal 14
November 2017 tidak mempunyai kekuatan hukum eksekutorial;
6. Menyatakan Pemohon Keberatan secara sah dan meyakinkan tidak terbukti melanggar
Pasal 17 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat;
7. Membebaskan Pemohon Keberatan dari pembayaran denda sebesar Rp9.923.848.407
(sembilan miliar sembilan ratus dua puluh tiga juta delapan ratus empat puluh delapan
empat ratus tujuh rupiah);
8. Membebaskan Pemohon Keberatan untuk membayar biaya perkaraa dan
membebankannya kepada Termohon Keberatan.
II. Putusan Pengadilan Negeri: Bahwa terhadap keberatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta
Barat telah menjatuhkan putusan, yaitu putusan 02/Pdt.Sus.KPPU/ 2017/PN Jkt.Brt., tanggal
1 Februari 2018 yang amarnya sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan keberatan dari Pemohon;
2. Membatalkan putusan KPPU Register Perkara Nomor 09/KPPU-L/2016, tanggal 14
November 2017 tersebut di atas ;
Mengadili Sendiri:
1. Menyatakan Pemohon tidak terbukti melanggar Pasal 17 Undang Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
2. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp316.000,00 (tiga
ratus enam belas ribu rupiah).
1. Ketentuan Pasal 50 adan b Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat :
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang undangan yang
berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek
dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta
perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
2. Penggunaan bukti tidak langsung tidak sama dengan alat bukti dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 (alat bukti) dan tidak dikenal dalam Undang-undang di Indonesia sebagaimana diputuskan
dalam perkara Kartel Obat.
22