EDEMA PARU
Dokter Pembimbing :
dr. Puji Astuti, Sp.P
Disusun Oleh:
Clement Panduwinata
112019205
Kardiogenik
Non-valvular
Peningkatan
Non-kardiogenik Permeabilitas
Alveolus
Neurogenik
Patogenesis
Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan
sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau
integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang Terdapat dua mekanisme
terjadinya edema paru:
a. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang interstisial
atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan
aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran cairan,
koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial.
Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada
sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)
Dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah tekanan
hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis adalah tekanan
hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan ke kapiler; dan I adalah
koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding kapiler dalam mencegah filtrasi
protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid plasma, yang cenderung menarik cairan
ke kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan osmotic koloid dalam cairan interstitial, yang
menarik cairan keluar dari kepiler.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada Peningkatan tekanan
vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral); Peningkatan tekanan
vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri; Peningkatan tekanan kapiler
paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri pulmonalis
b. Sistem limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan cairan balik dari
pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di daerah interstisial peribronkial dan
perivascular dan dengan peningkatan kemampuan dari interstisium non alveolar ini, cairan
lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran
limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah
cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat badan 70 kg dalam
keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan
kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata.
Jika terjadi peningkatan tekanan di atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami
hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrate kapiler dalam jumlah
yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai
konsekuensinya terjadi edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan
terkompresi.
Diagnosis
Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak
(EPNK)
EPK EPNK
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
meter)
S3 gallop/kardiomegali (+) Nadi kuat
JVP Meningkat (-)
Ronki Basah Tak meningkat
Kering
Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
Gambaran Radiologi
Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran tersebut
adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau kerley lines,
peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa interlobar biasanya tidak
terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika terdapat akumulasi cairan di daerah
tersebut. Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika jaringan
ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya sekitar 6 cm dari hilus
dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis ini biasanya disebut sebagai septal
lines, garis ini akan muncul biasanya di basis paru atau di sekitar sudut costofrenikus.
Panjang garis horizontal ini 1-2 cm dengan tebal hanya 1 mm. Kerley lines C merupakan
Kerley lines B en face, merupakan opasitas reticular pada basis paru. Kerley lines D,
merupakan garis yang sama dengan Kerley lines B, dan akan terlihat hanya pada lateral chest
radiograph. Peribronchial cuffing adalah penebalan dinding bronkus dan terlihat seperti
ringlike density. Peribronchial cuffing terjadi ketika terdapatnnya akumulasi cairan di
jaringan ikat sekitar dinding bronkus. Peribronchial cuffing bentuknya ringerlike, kecil,
multiple, seperti donat.
Gambar 1. [Gambar Kiri] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala panah putih),
Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Kanan] Peribronchial cuffing, pleural
effusion.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari penyakit
yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat penting dalam
pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya.
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab diketahui, maka
pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah mempertahankan fungsi
fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara memperbaiki jalan napas, ventilasi yang
adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu
ditinjau, infus juga perlu dipasang.
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan
tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1
ml/kgBB/jam.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 –
10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka
dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak
memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis
atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital (10).
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.