Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN KASUS

TB Paru Putus Obat

DISUSUN OLEH:
Lulu Ah Janah

1102017129

PEMBIMBING:
dr. Syafrizal, Sp. P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 28 MARE – 7 MEI 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan yang Maha Esa,
Allah SWT atas berkat dan rahmat Nya, sehingga laporan kasus ini telah berhasil
diselesaikan. Laporan kasus ini merupakan salah satu tugas sebagai prasyarat
dalam memenuhi kegiatan Kepaniteraan Klinik Pendidikan Profesi Dokter dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pembimbing dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang telah membimbing dan mengarahkan
proses pembuatan laporan kasus ini. Tidak ada hasil yang baik tanpa dukungan
dari pihak-pihak yang memberi bimbingan, konsultasi, serta pertolongan sehingga
tersusunnya dan terselesaikannya presentasi kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya sekiranya laporan kasus ini masih
memerlukan koreksi lebih lanjut. Oleh sebab itu, penulis memohon maaf atas
kekurangan dalam laporan kasus ini serta segala kritik dan saran apapun akan
penulis terima dengan sangat terbuka. Penulis berharap laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Jakarta, 12 Januari 2022


Penulis,

Salsabila Azmi Qatrunnada


BAB I
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 6 November 1970
Alamat : Jl. Swadaya I
Pekerjaan : Buruh
Nomor Rekam Medik : 2022-912268
Tanggal Masuk : 26 Maret 2022
Tanggal Pemeriksaan : 31 Maret 2022
1.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan pasien dan istri
pasien di ruang bangsal melati, RSUD Pasar Rebo Jakarta pada tanggal 31
Maret 2022
Keluhan Utama
Sesak nafas 1 minggu SMRS
Keluhan Tambahan
Batuk berdahak (+), mual(+), perut terasa panas (+), penurunan berat badan (+),
lemes (+).
Riwayat Penyakit Sekarang
Tn, T 52 tahun, datang ke IGD RSUD Pasar rebo dengan keluhan sesak sejak
3 bulan dan memberat 1 minggu SMRS. Sesak sering muncul setelah batuk-
batuk. Sesak sering sering timbul apabila pasien melakukan aktivitas sedang-
berat. Sesak juga tidak disertai mengi dan tidak dipengaruhi oleh posisi.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak, dirasakan terus-menerus, berwarna
kuning dan tidak disertai darah. Selain itu pasien mengeluh merasa perut
terkadang terasa panas dan mual. pasien merasakan lebih kurus karena BB
menurun. Pasien tidak mengeluhkan adanya bengkak pada tungkai maupun
tangannya. BAB dan BAK pasien tidak ada keluhan dan nafsu makan pasien
menurun.
Pasien menyangkal adanya demam, pilek, hilangnya penciuman, pengecapan
rasa dan kontak dengan pasien COVID-19.
Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat TB paru : + (Pasien mempunyai riwayat TB paru
yang terdiagnosis pada bulan November 2021 . Pasien menjalani
pengobatan OAT Kategori 1 tetapi tidak tuntas (2 Bulan) berhenti atas
kemauan sendiri).
 Riwayat hipertensi : Disangkal
 Riwayat Penyakit jantung: Disangkal
 Riwayat gastritis : disangkal
 Riwayat diabetes melitus : disangkal
 Riwayat penyakit ginjal : disangkal
 Riwayat keganasan : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal
 Riwayat covid-19 : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat TB paru : disangkal
 Riwayat gastritis : disangkal
 Riwayat diabetes melitus : disangkal
 Riwayat penyakit ginjal : disangkal
 Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat Alergi
 Obat : disangkal
 Makanan : disangkal
Riwayat Pengobatan
 Pasien Pasien meminum obat OAT Kategori 1 selama 2 bulan setelah itu
memutuskan menghentikan pengobatan atas kemauan sendiri.

Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien bekerja sebagai buruh. Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 hari bisa
menghabiskan 1 bungkus rokok, pasien juga mengaku pernah mengkonsumsi
alkohol dan obat-obatan terlarang.

1.3 Pemeriksaan fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS 15)
Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/59 mmHg
Nadi : 102 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36,3℃
SpO2 : 100% dengan NK 4Lpm
Status Gizi
BB : 37 kg
TB : 165 cm
IMT : 13,7 kg/m2 (Kekurangan Bobot)
Status Generalis
Kepala : normocephal, dengan rambut berwarna putih,
pertumbuhan rambut baik
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), lagofthalmus
(-/- ), edeme palpebra (-/-), pupil isokor, RCL (+/+), RTCL
(+/+)
Telinga : bentuk normal, pendengaran dalam batas normal, serumen
-/-, liang telinga tidak menyempit
Hidung : napas cuping hidung (-), sekret (-), deviasi septum (-)
Mulut : Faring hiperemis (-), tonsil T1T1, deviasi uvula (-),
deviasi lidah (-)
Leher : Tidak ada pembesaran KGB, trakea di tengah, JVP normal
Paru

 Inspeksi : Bentuk normochest dan pergerakan dada simetris


kanan- kiri, retraksi sela iga (-)
 Palpasi : fremitus taktil dan vocal simetris kanan-kiri, massa (-)
 Perkusi : sonor kedua lapang paru, peranjakan paru hati (+)
 Auskultasi : vesikuler +/+ , rhonki +/+, wheezing -/-

Jantung
 Inspeksi : ictus kordis tidak terlihat

 Palpasi : ictus kordis teraba kuat di ICS V linea midclavicularis


sinistra

 Perkusi : batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dextra,


batas kiri jantung ICS V linea midclavicularis sinistra, batas
pinggang jantung ICS II linea midclavicularis sinistra

 Auskultasi : BJ I dan BJ II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
 Inspeksi : Terlihat datar
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : pekak - timpani seluruh lapang abdomen, pekak alih (+),
undulasi (-)
 Palpasi : nyeri tekan epigastrik (-), hepatomegali (-),
splenomegaly (-), massa (-)
Ekstremitas
 Motorik : atas 55555/55555 & bawah 55555/5555
 Sensorik : Normal, simetris kanan dan kiri
 Edema tungkai (-), pitting edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik,
hematoma (-)
Kulit : sianosis (-), ikterik (-), turgor baik
Genital : tidak dilakukan pemeriksaan

1.3 Pemeriksaan Penunjang


 Laboratorium

Laboratorium tanggal 26/03/2022


Jenis Hasil Satuan Hasil
Pemeriksaan Rujukan

Hematologi
Hemoglobin 9.9 g/dL 11.7 –
15.5
Hematokrit 31 % 32 – 47
Eritrosit 5.1 Juta / uL 3.8 – 5.2
Leukosit 12.5 103/ uL 3.60 –
5 11.00
Trombosit 458 Ribu / uL 150 – 440
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil 2 % 1–3
Neutrofil 0 % 3–5
Batang

Neutrofil Segmen 78 % 50 – 70
Limfosit 10 % 25 – 40
Monosit 10 % 2–8
LUC 0 % <4
Limfosit Absolut 1225 /uL 1500 –4000

Neutrofil Limfosit 7.80    


Ratio
Kimia Klinik
SGOT (AST) 24 U/L 0 – 35
SGPT (ALT) 12 U/L 0 – 35
Ureum Darah 28 mg/dL 20 – 40
Kreatinin Darah 1,45 mg/dL 0.35 – 0.93

eGFR 54,5 mL/min/1.73 m2  

Glukosa Darah 128 mg/dL < 200


Sewaktu
Elektrolit (Na, K, Cl)
Natrium (Na) 134 mmol/L 135 - 147

Kalium (K) 4,5 mmol/L 3.5 – 5.0


Klorida (Cl) 96 mmol/L 98 - 108
Imunologi

Antigen SARS-CoV-2 Negatif Negatif

Kimia Klinik

Bilirubun total 0,60 mg/dl <1.00

Bilirubin Direk 0,35 mg/dl 0.0-.


02
Biliribin Indirek 0,25 Mg/dl

Laboratorium tanggal 27/03/2022


Jenis Hasil Satuan Hasil
Pemeriksaan Rujukan

Hematologi
Hemoglobin 8,6 g/dL 11.7 – 15.5
Hematokrit 26 % 32 – 47
Eritrosit 4,2 Juta / uL 3.8 – 5.2
Leukosit 13,45 103/ uL 3.60 –
11.00
Trombosit 536 Ribu / uL 150 – 440
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil 1 % 1–3
Neutrofil Batang 0 % 3–5
Neutrofil Segmen 85 % 50 – 70
Limfosit 7 % 25 – 40
Monosit 7 % 2–8
LUC 0 % <4
Limfosit Absolut 807 /uL 1500 –4000

Neutrofil 7.80    
Limfosit Ratio
Kimia Klinik
SGOT (AST) 20 U/L 0 – 35
SGPT (ALT) 12 U/L 0 – 35
Ureum Darah 21 mg/dL 20 – 40
Kreatinin Darah 0,77 mg/dL 0.35 – 0.93

eGFR 113.2 mL/min/1.73 m2  

Glukosa Darah 96 mg/dL < 200


Sewaktu

Laboratorium tanggal 28/03/22


BTA (GenXpert)
MTB DETECTED MEDIUM
Rif Resistance NOT DETECTED

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Hasil Rujukan

KIMIA KLINIK
SGOT 8,9 g/dL 11.7 – 15.5
SGPT 26 % 32 – 47
Ureum Darah 3,1 Juta / uL 3.8 – 5.2
Kreatinin darah 3,05 103/ uL 3.60 – 11.00
eGFR 275 Ribu / uL 150 – 440
IMUNOLOGI
Anti HCV Non-reaktif
HBsAg Reaktif

 Radiologi
Rontgen Thorax (AP) tanggal 26/03/ 2022
Pemeriksaan radiografi thorax proyeksi AP, dengan hasil sebagai berikut:
Pemeriksaan radiografi thorax proyeksi AP, dengan hasil sebagai berikut:
● Jantung kesan tidak membessar
● Aorta dan mediastinum superior ridak melebar
● Trakhea di garis tengah
● Kedua hilus menebal
● Corakan bronkhovaskuler meningkat
● Tampak infiltrat di kedua lapangan paru
● Lengkung diafragma regular
● Sinus kostofrenikus lancip
● Tulang – tulang tak tampak kelainan
Kesan:
TB paru dd/ Bronkopnemonia dg susp. covid
1.5 Resume
Tn, T 52 tahun, datang ke IGD RSUD Pasar rebo dengan keluhan sesak
sejak 3 bulan dan memberat 1 minggu SMRS. Sesak sering muncul setelah
batuk-batuk. Sesaksering sering timbul apabila pasien melakukan aktivitas
sedang-berat. Sesak juga tidak disertai mengi dan tidak dipengaruhi oleh
posisi. Pasien juga mengeluh batuk berdahak, dirasakan terus-menerus,
berwarna kuning dan tidak disertai darah. Selain itu pasien mengeluh
merasa perut terkadang terasa panas dan mual. pasien merasakan lebih
kurus karena BB menurun.
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan tampak sakit sedang, status gizi
pasien termasuk kriteria underweight, pada pemeriksaan fisik ditemukan
auskultasi paru rhonki pada kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 26/03/2022 ditemukan Hb
menurun, Ht menurun, Leukosit meningkat, Trombosit tinggi, Neutrofil
Batang menurun, Neutrofil Segmen meningkat, Limfosit menurun,
Monosit meningkat, Kreatinin darah meningkat, Glukosa Darah Sewaktu
meningkat, Hiponatrium dan Hipoklorida. Pemeriksaan Rontgen thorax
(AP) pada tanggal 26/03/2022 menunjukkan adanya corakan
bronkovaskuler meningkat dan tampak infiltrat di kedua lapangan paru.
Pemeriksaan BTA (GenXpert) pada tanggal 28/03/2022 menunjukkan
MTB detected medium, pada pemeriksaan HBsAg reaktif.

1.6 Diagnosis Kerja


TB Paru Putus Obat BTA (+)

1.7 Diagnosis Banding


Pneumonia
Covid 19

1.8 Rencana pemeriksaan


1. Hematologi lengkap
2. Rongent thorax

1.9 Rencana Terapi


Non-Medikamentosa
 Observasi Ku & viral sign
 O2 nasal 4L/menit
 Diet nasi biasa

Medikamentosa
 RA 500 cc/8 jam
 Curcuma 3x1 tab
 Ranitudin 2x1 tab
 Ondansentron 3x1 tab
 OAT (paketan)
 30-37 kg  2 tablet 4KDT

1.10 Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS
2.1 DEFINISI
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam
(BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi
parenkim paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga
memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru)
seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya (1)
Penyakit tuberkulosis (TB) adalah suatu penyaki infeksi kronik
yang menyerang hampir semua organ tubuh manusia dan yang terbanyak
adalah paru – paru (2).

2.2 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan Global TB Report 2018, diperkirakan di Indonesia pada tahun
2017 terdapat 842.000 kasus TB baru (319 per 100.000 penduduk) dan
kematian karena TB sebesar 116.400 (44 per 100.000 penduduk) termasuk
pada TB-HIV positif. Angka notifikasi kasus (case notification rate/CNR)
dari semua kasus dilaporkan sebanyak 171 per 100.000 penduduk. Secara
nasional diperkirakan insidens TB HIV sebesar 36.000 kasus (14 per
100.000 penduduk). Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 12.000
kasus (diantara pasien TB paru yang ternotifikasi) yang berasal dari 2.4%
kasus baru dan 13% kasus pengobatan ulang. Terlepas dari kemajuan yang
telah dicapai Indonesia, jumlah kasus tuberkulosis baru di Indonesia masih
menduduki peringkat ketiga di dunia dan merupakan salah satu tantangan
terbesar yang dihadapi Indonesia dan memerlukan perhatian dari semua
pihak, karena memberikan beban morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Tuberkulosis merupakan penyebab kematian tertinggi setelah penyakit
jantung iskemik dan penyakit serebrovaskuler. Pada tahun 2017, angka
kematian akibat tuberkulosis adalah 40/100.000 populasi (tanpa TBHIV)
dan 3,6 per 100.000 penduduk (termasuk TB-HIV) (1).

2.3 ETIOLOGI DAN TRANSMISI TB


Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB: Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum,
Mycobacterium microti and Mycobacterium cannettii. M.tuberculosis
(M.TB), hingga saat ini merupakan bakteri yang paling sering ditemukan,
dan menular antar manusia melalui rute udara (1).
Tidak ditemukan hewan yang berperan sebagai agen penularan
M.TB. Namun, M. bovis dapat bertahan dalam susu sapi yang terinfeksi
dan melakukan penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi
jaringan limfe orofaring saat seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang
terinfeksi tersebut. Angka kejadian infeksi M.bovis pada manusia sudah
mengalami penurunan signifikan di negara berkembang, hal ini
dikarenakan proses pasteurisasi susu dan telah diberlakukannya strategi
kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak. Infeksi terhadap organisme
lain relatif jarang ditemukan (1).
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat
udara melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar
ketika seorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau
bicara. Percik renik juga dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui
prosedur pemeriksaan yang menghasilkan produk aerosol seperti saat
dilakukannya induksi sputum, bronkoskopi dan juga saat dilakukannya
manipulasi terhadap lesi atau pengolahan jaringan di laboratorium. Percik
renik, yang merupakan partikel kecil berdiameter 1 – 5 µm dapat
menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat infeksius, dan dapat bertahan
di dalam udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil, percik
renik ini memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru,
dimana bakteri kemudian melakukan replikasi (1).
Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB (1) :
1. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
2. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang dan
ventilasi.
3. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.
Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu
kali bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan,
dosis yang diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10
basil. Kasus yang paling infeksius adalah penularan dari pasien dengan
hasil pemeriksaan sputum positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling
infeksius. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum negative bersifat tidak
terlalu infeksius. Kasus TB ekstra paru hampir selalu tidak infeksius,
kecuali bila penderita juga memiliki TB paru. Individu dengan TB laten
tidak bersifat infeksius, karena bakteri yang menginfeksi mereka tidak
bereplikasi dan tidak dapat melalukan transmisi ke organisme lain (1).
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap,
dengan minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara
dalam waktu yang lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh
tuberkel basili dengan cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di
dalam keadaan yang gelap. Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan
orang terinfeksi meningkatkan risiko penularan. Apabila terinfeksi, proses
sehingga paparan tersebut berkembang menjadi penyakit TB aktif
bergantung pada kondisi imun individu. Pada individu dengan sistem imun
yang normal, 90% tidak akan berkembang menjadi penyakit TB dan hanya
10% dari kasus akan menjadi penyakit TB aktif (setengah kasus terjadi
segera setelah terinfeksi dan setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko
paling tinggi terdapat pada dua tahun pertama pasca-terinfeksi, dimana
setengah dari kasus terjadi. Kelompok dengan risiko tertinggi terinfeksi
adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan lanjut usia (1).
Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami
penyakit TB aktif dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang
normal. 50- 60% orang dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan
mengalami penyakit TB yang aktif. Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi
medis lain di mana sistem imun mengalami penekanan seperti pada kasus
silikosis, diabetes melitus, dan penggunaan kortikosteroid atau obat-obat
imunosupresan lain dalam jangka panjang (1).

2.4 FAKTOR RISIKO


Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah (1) :
a. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
b. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu
panjang.
c. Perokok
d. Konsumsi alkohol tinggi
e. Anak usia <5 tahun dan lansia
f. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang
infeksius.
g. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberculosis (contoh:
lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
h. Petugas kesehatan

2.5 KLASIFIKASI DAN TIPE PASIEN TB


Tipe pasien TB
Terduga (presumptive) pasien TB adalah seseorang yang mempunyai
keluhan atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai
terduga TB) (1)
Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB yang
terbukti positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan (contoh uji
bakteriologi adalah sputum, cairan tubuh dan jaringan) melalui
pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan (1)
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah (1):
1. Pasien TB paru BTA positif
2. Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif
3. Pasien TB paru hasil tes cepat M.TB positif
4. Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak
memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis
sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB (1)
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah (1) :
1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
2. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3. Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis
4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian
terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai
pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis (1)
Guna menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi yang
merugikan pasien, pemberian pengobatan TB berdasarkan diagnosis klinis
hanya dianjurkan pada pasien dengan pertimbangan sebagai berikut (1):
1. Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung diagnosis
TB
2. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal: pada kasus
meningitis TB, TB milier, pasien dengan HIV positif, perikarditis TB
dan TB adrenal.
Semua pasien termasuk anak-anak, dengan batuk yang tidak
diketahui penyebabnya yang berlangsung dua minggu atau lebih atau
dengan temuan lain pada foto toraks yang tidak diketahui penyebabnya
yang mendukung kearah TB harus dievaluasi untuk TB (1).
Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis (1):
a. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena
terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra
paru harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen,
saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus
TB ekstra paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah
diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan (1):
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT
sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (<
dari 28 dosis bila memakai obat program).
b. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat
program). Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil
pengobatan terakhir sebagai berikut :
c. Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir
pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali
(karena reaktivasi atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
d. Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
e. Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah
menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama
lebih dari 2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up
sebagai hasil pengobatan.
f. Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
g. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien
yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak
dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.
Penting diidentifikasi adanya riwayat pengobatan sebelumnya
karena terdapat risiko resistensi obat. Sebelum dimulai pengobatan
sebaiknya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat
menggunakan tercepat yang telah disetujui WHO (TCM TB MTB/Rif
atau LPA (Hain test dan genoscholar) untuk semua pasien dengan
riwayat pemakaian OAT (1).
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Berdasarkan hasil uji kepekaan, klasifikasi TB terdiri dari (1):
a. Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
b. Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid
(H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan
amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin
baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk
TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan
terhadap rifampisin.
4. Klasifikasi berdasarkan status HIV (1)
a. Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki
hasil tes HIV-positif, baik yang dilakukan pada saat penegakan
diagnosis TB atau ada bukti bahwa pasien telah terdaftar di
register HIV (register pra ART atau register ART).
b. Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki
hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan
diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian
hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.
c. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB
terkonfirmasi bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak
memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki bukti dokumentasi
telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui HIV
positif dikemudian hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.

2.6 PATOGENESIS
Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan trakea-
bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di
mana nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus
yang kemudian akan memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap
basilus. Infeksi bergantung pada kapasitas virulensi bakteri dan
kemampuan bakterisid makrofag alveolus yang mencernanya. Apabila
basilus dapat bertahan melewati mekanisme pertahanan awal ini, basilus
dapat bermultiplikasi di dalam makrofag (1).
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23-
32 jam sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki
endotoksin ataupun eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera
pada host yang terinfeksi. Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-
12 minggu dan jumlahnya akan mencapai 103-104, yang merupakan
jumlah yang cukup untuk menimbulkan sebuah respon imun seluler yang
dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin skin test. Bakteri
kemudian akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk berupa
tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon
imun (1).
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan
menyebar melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke
dalam aliran darah dan menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan
jaringan diketahui memiliki resistensi terhadap replikasi basili ini.
Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan hampir selalu mudah
terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan dideposit di bagian atas
(apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak, di mana kondisi organ-organ
tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada
beberapa kasus, bakteri dapat berkembang dengan cepat sebelum
terbentuknya respon imun seluler spesifik yang dapat membatasi
multiplikasinya (1).
1. TB primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili.
Hal ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering
diartikan sebagai TB anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia
berapapun pada individu yang belum pernah terpapar M.TB
sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan
menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian
bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili
kemudian mengalami terfagosistosis oleh makrofag; produk
mikobakterial mampu menghambat kemampuan bakterisid yang
dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat melakukan replikasi
di dalam makrofag. Makrofag dan monosit lain bereaksi terhadap
kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju fokus infeksi dan
memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian disebut
sebagai Ghon focus (1).
Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus
melalui jalur limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk
kompleks (Ghon) primer. Respon inflamasinya menghasilkan gambaran
tipikal nekrosis kaseosa. Di dalam nodus limfe, limfosit T akan
membentuk suatu respon imun spesifik dan mengaktivasi makrofag
untuk menghambat pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus
primer ini mengandung 1,000–10,000 basili yang kemudian terus
melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer akan
digantikan dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya
terdapat makrofag yang mengandung basili terisolasi yang akan mati
jika sistem imun host adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam
fokus primer untuk beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan
“kuman laten”. Infeksi primer biasanya bersifat asimtomatik dan akan
menunjukkan hasil tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi.
Dalam beberapa kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk
menghambat perkembangbiakan bakteri dan basili akan menyebar dari
sistem limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh,
menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB primer
progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus
primer, sehingga dapat ditemukan banyak area menunjukkan gambaran
nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran
klinis yang serupa dengan TB post primer (1).
2. TB pasca primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang
sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode
laten yang memakan waktu bulanan hingga tahunan (biasanya pada usia
15 – 40 tahun) setelah infeksi primer. Hal ini dapat dikarenakan
reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi (1)(3).
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan
selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer,
mulai kembali bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari
melemahnya sistem imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi
terjadi ketika seorang yang pernah mengalami infeksi primer terpapar
kembali oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif.
Dalam sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian dari proses
infeksi primer. Setelah terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat
menjadi penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding
pada orang dewasa (1). Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama
menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang
umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik
kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan
sebagai berikut (3) :
1) Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan
cacat
2) Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses
penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya
akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan
akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga
sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3) Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini:
 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik
baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan
seperti yang disebutkan diatas
 Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi
 Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut
open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus
diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti
yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang
(stellate shaped).
2.7 MANIFESTASI KINIS
Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam – macam atau malah
banyak dapat ditemukan TB paru tanpa keluhan sekali dalam pemeriksaan
kesehatannya (2).
Keluhan secara umum (2):
 Demam
Biasanya subferis meyerupai demam influenza, tetapi kadang – kadang
panas badan dapat mencapai 40 – 41°C. serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya hilang timbulnya demam seperti influenza ini, sehingga
pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam. Keadaan ini
sangat dipengaryhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya
infeksi kuman TB yang masuk.
 Malaise
Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama
makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
 Berat badan turun
Biasanya pasien tidak merasakan berat badannya turun. Sebaiknya kita
tanyakan berat badan sekarang dan beberapa waktu sebelum pasien
sakit. Pada pasien anak- anak biasanya berat badannya sulit naik
terutama dalam 2 – 3 bulan terakhir atau status gizinya kurang.
 Rasa lelah
Keluhan ini juga pada kebanyakan pasien hampir tidak dirasakannya.
Keluhan pada pernapasan (2):
 Batuk/batuk darah
Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang
keluar dari saluran napas bawah. Karena terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit TB
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu – minggu
atau berbulan – bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari
batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan
berubah menjadi produktif (menghasilkan dahak). Keadaan lebih lanjut
dapat berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah kecil yang
pecah. Kebanyakan batuk darah pada TB terjadi pada kavitas, tetapi
dapat juga terjadi pada ulkus dinding brokus. Batuk ini sering sulit
dibedakan dengan batuk karena sakit: pneumonia, asma, bronkitis,
alergi, Penyakit Paru Obstruksi Kronik dll.
 Sesak nafas
Pada penyakit TB paru yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan
adanya sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit TB paru
yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian
paru – paru.
 Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.
 Sering terserang flu
Gejala batuk – batuk lama kadang disertai pilek sering terjadi karena
daya tahan tubuh pasien yang rendah sehingga mudah terserang infeksi
virus seperti influenza.

2.8 PENEGAKKAN DIAGNOSIS


Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya (4).
 Anamnesis
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala
umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang
disertai (4):
1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis) dan/atau
2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat
badan, keringat malam dan mudah lelah).
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan sakitnya mulai dari ringan sampai berat. Pasien bisa terliat
kurus atau berat badan menurun, suhu badan demam (subferis),
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia. Sering pada
pemeriksaan fisik pasien tidak menunjukkan suatu kelainanpun
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtoomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak didalam,
akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, karena
hantaran getaran/suara yang kedalamannya pada jaringan paru >4 cm
sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara anamnesis
dan pemeriksaan fisik pun, TB paru sulit dibedakan dengan pneumoni
biasa (2).
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian
apeks (puncak) paru. bila dicurigai adanya infiltrasi yang agak luas,
maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas
bronkial. Mungkin didapatkan juga suara tambahan berupa ronki basah
kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura,
suara nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang
cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan
auskultasi memberikan suara amforik (2).
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot – otot inter – kostal. Bagian paru
yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau jaringan paru
lainnya. Bagian paru yang sehat menjadi hiperinflasi. Bila jaringan
fibrotiknya amat luas yakni > setengah jumlah semua jaringan paru,
akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya
meningatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti
terjadinya kor-pulmonal dan gagal jantung kanan. Disini akan
didapatkan tanda – tanda kor – pulmonal atau gagal jantung kanan
seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial
gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena
jugularis yang meningkat, hepatomegali, ascites dan edema (2).
Bila TB paru mengenai pleura akan terbentuklah efusi pleura. Paru
yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernafasan. Perkusi
memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara nafas yang
lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinik,
TB paru sering tidak memperlihatkan gejala (asimtomatik) dan penyakit
baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologik dada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (2).
Pada limfedinitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah
benig, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis
tumor), kadang – kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut
dapat menjadi “cold abscess” (2).
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
 Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang
– kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik.
Pada saat TB paru mulai (aktif) didalam darah tepinya akan
didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dan hitung
jenisnya terdapat pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih normal.
Laju endap darah mulai meningka. Bila penyakit mulai sembuh
jumah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi.
Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi (2).
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: 1) Anemia rigan
dengan gambaran normokrom dan normositer. 2) Gama globulin
meningkat. 3) kadar Natrium darah menurun. Pemeriksaan darah
tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik (2).
 Bakteriologis
Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis
untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis
merujuk pada pemeriksaan apusan dari sediaan biologis (dahak atau
spesimen lain), pemeriksaan biakan dan identifikasi M. tuberculosis
atau metode diagnostik cepat yang telah mendapat rekomendasi
WHO (5).
a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH) (3).
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut
atau dengan cara (3):
 Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Dahak Pagi ( keesokan harinya )
 Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
c. lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila (3):
 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif
bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif
Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau mutunya
melalui sistem pemantauan mutu eksternal, kasus TB Paru BTA
positif ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif,
minimal dari satu spesimen. Pada daerah dengan laboratorium yang
tidak terpantau mutunya, maka definisi kasus TB BTA positif bila
paling sedikit terdapat dua spesimen dengan BTA positif (5).
WHO merekomendasikan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
minimal terhadap rifampisin dan isoniazid pada kelompok pasien
berikut (1):
1. Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT. Hal ini
dikarenakan TB resistan obat banyak ditemukan terutama pada
pasien yang memiliki riwayat gagal pengobatan sebelumnya.
2. Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif. Khususnya
mereka yang tinggal di daerah dengan prevalensi TB resistan obat
yang tinggi.
3. Pasien dengan TB aktif yang terpajan dengan pasien TB resistan
obat.
4. Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resistan obat
primer >3%.
5. Pasien baru atau riwayat OAT dengan sputum BTA tetap positif
pada akhir fase intensif. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan
sputum BTA pada bulan berikutnya.
Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dapat dilakukan dengan 2
metode (1):
1. Metode konvensional uji kepekaan obat
Pemeriksaan biakan M.TB dapat dilakukan menggunakan 2
macam medium padat (Lowenstein Jensen /LJ atau Ogawa) dan
media cair MGIT (Mycobacterium growth indicator tube). Biakan
M.TB pada media cair memerlukan waktu yang singkat minimal
2 minggu, lebih cepat dibandingkan biakan pada medium padat
yang
memerlukan waktu 28-42 hari.
2. Metode cepat uji kepekaan obat (uji diagnostik molekular cepat)
Pemeriksaan molekular untuk mendeteksi DNA M.TB saat ini
merupakan metode pemeriksaan tercepat yang sudah dapat
dilakukan di Indonesia. Metode molekuler dapat mendeteksi
M.TB dan membedakannya dengan Non-Tuberculous
Mycobacteria (NTM). Selain itu metode molekuler dapat
mendeteksi mutasi pada gen yang berperan dalam mekanisme
kerja obat antituberkulosis lini 1 dan lini 2. WHO
merekomendasikan penggunaan Xpert MTB/RIF untuk deteksi
resistan rifampisin. Resistan obat antituberkulosis lini 2
direkomendasikan untuk menggunakan second line line probe
assay (SL-LPA) yang dapat mendeteksi resistensi terhadap obat
antituberkulosis injeksi dan obat antituberkulosis golongan
fluorokuinolon. Pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi gen
pengkode resistensi OAT lainnya saat ini dapat dilakukan dengan
metode sekuensing, yang tidak dapat diterapkan secara rutin
karena memerlukan peralatan mahal dan keahlian khusus dalam
menganalisisnya. WHO telah merekomendasi pemeriksaan
molekular line probe assay (LPA) dan TCM, langsung pada
specimen sputum.
Pemeriksaan dengan TCM dapat mendeteksi M.
tuberculosis dan gen pengkode resistan rifampisin (rpoB) pada
sputum kurang lebih dalam waktu 2 (dua) jam. Konfirmasi hasil
uji kepekaan OAT menggunakan metode konvensional masih
digunakan sebagai baku emas (gold standard). Penggunaan TCM
tidak dapat menyingkirkan metode biakan dan uji kepekaan
konvensional yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
definitif TB, terutama pada pasien dengan pemeriksaan
mikroskopis apusan BTA negatif, dan uji kepekaan OAT untuk
mengetahui resistensi OAT selain rifampisin (1).
Pada kondisi tidak berhasil mendapatkan sputum secara
ekspektorasi spontan maka dapat dilakukan tindakan induksi
sputum atau prosedur invasif seperti bronkoskopi atau
torakoskopi (1).
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang
terkonfirmasi bakteriologis maupun terdiagnosis klinis adalah
pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan
sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dan lain-lain
(1).
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambar: (6).

Gambar: Foto thorax lateral pasien dengan densitas lobus kanan atas
segmen posterior konsisten dengan tuberkulosis aktif (7).
Gambar: Foto thorax posteroanterior menunjukkan kavitas yang besar
dengan konsolidasi sekitarnya di bagian lingular lobus kiri atas (7).

Gambar: TB Milier (7)


Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif (3):
 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas Kalsifikasi
atau fibrotic Kompleks ranke Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru
dan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung ) (3) :
 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru
yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran
radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
Gambar: (8)
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan
aktiviti proses penyakit Luas lesi yang tampak pada foto toraks
untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada
kasus BTA dahak negatif) (3) :
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua
paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis
5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
Lesi luas:
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
TEST SCREENING
Uji Tuberkulin
Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan
uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada
orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi
dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan
dari uji yang didapat besar sekali atau bula. Biasanya dipakai Tes
Mantoux yakni dengan menyuntikkan 2 TU (Tuberculin Unit) dalam
0,1 mL PPD-RT23 (rekomendasi WHO dan IUALTD) secara
intrakutan (2).
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama
pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat
menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian. Terdapat beberapa
keadaan yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu)
yakni (2):
 Pasien yang baru 2 – 10 minggu terpajan TB
 Anergi, penyakit sistemik berat (Sarkoidosis, Lupus eritematosus)
 Penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili, cacar air,
poliomielitis)
 Reaksi hipersensitifitas menurun pada penyakit limforetikular
(Hodgkin)
 Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat – obat
imunosupresi lainnya
 Usia tua, malnutrisi
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya
menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi
peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang terkena infeksi
atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi
agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis) (3).

Hasilnya harus dibaca antara 48 dan 72 jam setelah pemberian.


Pada individu yang secara imunologis utuh, indurasi kurang dari 5 mm
merupakan hasil negative (7).
 Cutoff indurasi 5 mm – 9 mm - Pasien yang HIV positif, memiliki
temuan radiografi dada yang abnormal, memiliki imunosupresi yang
signifikan, atau memiliki kontak baru-baru ini dengan orang dengan
TB aktif
 Cutoff indurasi 10 mm – 14 mm - Pasien yang merupakan pengguna
narkoba suntikan, penghuni panti jompo, tahanan, atau anggota
kelompok minoritas
 Cutoff indurasi 15 mm atau lebih - Pasien yang masih muda dan
dalam keadaan sehat
Interferon-gamma release assay (7).
 Tes darah in vitro berdasarkan IGRA dengan antigen spesifik untuk
tuberkulosis M juga dapat digunakan untuk screening infeksi TB
laten
 Mengukur respons interferon-gamma sel T terhadap antigen yang
sangat spesifik untuk M tuberculosis dan tidak ada dalam vaksin
BCG dan M avium.
 Tes ini tidak memerlukan kunjungan kedua untuk membaca.
 Hasil dilaporkan sebagai positif, negatif, atau indeterminate. Pasien
dengan hasil indeterminate mungkin memiliki bukti imunosupresi
dan mungkin tidak reaktif pada tes kulit
 Keuntungan  Hanya diperlukan satu kunjungan pasien, Tes ex
vivo, Tidak ada efek penguat, Independen dari vaksinasi BCG
 Kerugian  Harga mahal, Lebih banyak sumber daya laboratorium
diperlukan, Proses pemisahan limfosit yang rumit, Kurangnya studi
prospektif
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi
DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam
pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara
pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan
ketelitian dalam pelaksanaannya (3).
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang
benar dan sesuai standar (3).
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak
ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak
dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB (3) ?
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen
pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan
organ yang terlibat (3).
Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda (3):
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi.
Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan
antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama (3).
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM)
yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir
plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila
di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka
akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan
mudah (3).
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi (3).
d. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah
uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum.
Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang
menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5
antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung
dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa
sebanyak 30 μl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum
akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung
antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan
dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji
dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis control dan
minimal satu dari empat garis antigen pada membrane (3).
Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh,
para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi
kadar antibody yang terdeteksi (3).
Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan
untuk diagnosis (3).
Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya
oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara
cepat untuk membantu menegakkan diagnosis (3).
Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah (3).
Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsy paru
dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy
(TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening
dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi
dengan jarum
halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsy dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra
paru (3).
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan
histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan
hasil berupa granuloma dengan perkejuan (3).

 Alur Diagnosis TB (1)


Keterangan alur:
1. Prinsip penegakan diagnosis TB (1):
a. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih
dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan
bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, tes
cepat molekuler TB dan biakan.
b. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB,
sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan
dengan pemeriksaan mikroskopis.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat
menyebabkan terjadi over diagnosis ataupun under diagnosis.
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan
serologis.
2. Fasyankes yang mempunyai alat tes cepat molukuler (TCM) TB (1):
a. Fasyankes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan
diagnosis TB pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan
TCM. Pada kondisi dimana pemeriksaan TCM tidak
memungkinkan (misalnya alat TCM melampaui kapasitas
pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll.), penegakan
diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
b. Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan terduga TB
dengan HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan
penegakan diagnosis TB dengan TCM TB, dengan cara
melakukan rujukan ke layanan tes cepat molekuler terdekat, baik
dengan cara rujukan pasien atau rujukan contoh uji.
c. Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan
TCM sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh
uji untuk diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan
sementara dan akan diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil
indeterminate, pada hasil Rif Resistan pada terduga TB yang
bukan kriteria terduga TB RO, pada hasil Rif Resistan untuk
selanjutnya dahak dikirim ke Laboratorium LPA untuk
pemeriksaan uji kepekaan lini-2 dengan metode cepat)
d. Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF
terdiri atas cairan serebrospinal (cerebro spinal fluid/CSF),
jaringan biopsi, bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi
cairan lambung (gastric aspirate).
e. Pasien dengan hasil M.tb resistan rifampisin tetapi bukan berasal
dari kriteria terduga TB-RO harus dilakukan pemeriksaan TCM
ulang. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan
TCM yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.
f. Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang.
Jika hasil tetap sama, berikan pengobatan TB lini 1, lakukan
biakan dan uji kepekaan.
g. Pengobatan standar TB-MDR segera diberikan kepada semua
pasien TB-RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan
OAT lini 1 dan lini 2 keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan
MDR, lanjutkan pengobatan TB MDR. Bila ada tambahan
resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan harus disesuaikan
dengan hasil uji kepekaan OAT.
h. Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (line probe
assay) lini-2 atau dengan metode konvensional
i. Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar
TB pre XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.
j. Pasien dengan hasil TCM M.TB negatif, lakukan pemeriksaan
foto toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas
pertimbangan dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB
terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung
TB kemungkinan bukan TB, dicari kemungkinan penyebab lain.
3. Fasyankes yang tidak mempunyai alat tes cepat molukuler (TCM)
TB (1).
a. Fasyankes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan
mengakses TCM, penegakan diagnosis TB tetap menggunakan
mikroskop.
b. Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak
2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari
dahak sewaktu-sewaktu atau sewaktu-Pagi.
c. BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak
menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang
menunjukkan hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak pertama,
pasien dapat segera ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+)
d. BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil
BTA negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya
negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara
klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang
(setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan
ditetapkan oleh dokter.
e. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan
tidak memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka
dilakukan pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non- OAT
dan Non-kuinolon) terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak
ada perbaikan klinis setelah pemberian antibiotik, pasien perlu
dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan faktor risiko TB tinggi
maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko
TB yang dimaksud antara lain:
1) Terbukti ada kontak dengan pasien TB
2) Ada penyakit komorbid: HIV, DM
3) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat
penampungan pengungsi, daerah kumuh, dll.
4. Diagnosis TB ekstra paru (1).
a. Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya
kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura
(Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
b. Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari
contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena.
c. Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk
memastikan kemungkinan TB Paru.
d. Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB ekstra paru
dilakukan dengan contoh uji cairan serebrospinal (cerebro spinal
fluid/CSF) pada kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar
getah bening melalui pemeriksaan biopsi aspirasi jarum
halus/BAJAH (fine neddle aspirate biopsy/FNAB) pada pasien
dengan kecurigaan TB kelenjar, dan contoh uji jaringan pada
pasien dengan kecurigaan TB jaringan lainnya.
5. Diagnosis TB resistan obat (1)
Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-RO juga diawali
dengan penemuan pasien terduga TB-RO Terduga TB-RO adalah
pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap OAT, yaitu
pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau
lebih di bawah ini:
a. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2.
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3
bulan pengobatan.
c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak
standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua
paling sedikit selama 1 bulan.
d. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2
bulan pengobatan.
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT
kategori 1 dan kategori 2.
g. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai
berobat/default).
h. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien
TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di
lapas/rutan, hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.
i. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis
maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan
diagnosis awal tidak menggunakan TCM TB).
Selain 9 kriteria di atas, kasus TB-RO dapat juga dijumpai pada
kasus TB baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan
penegakan diagnosis dengan TCM yang saat ini sudah tersedia.
Kriteria terduga TB-MDR menurut program manajemen TB resistan
obat di Indonesia (1).
a. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak positif pada bulan
ke-5 atau pada akhir pengobatan
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3
bulan pengobatan
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak positif setelah
pengobatan tahap awal
c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak
standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi linikedua
minimalis selama 1 bulan Pasien TB yang memiliki riwayat
pengobatan TB tidak sesuai dengan paduan OAT standar, dan
atau menggunakan kuinolon serta obat injeksi lini kedua paling
sedikit selama 1 bulan
d. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal Pasien TB dengan
hasil pemeriksaan dahak positif pada bula ke-5 atau pada akhir
pengobatan.
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3
bulan pengobatan (yang tidak konversi)
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah
pengobatan tahap awal
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan 2
Pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap dan saat ini diagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis
g. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow up (lalai
berobat/default
Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan putus berobat
selama dua bulan berturut-turut atau lebih
h. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien
TB-MDR
Terduga TB yang pernah memiliki riwayat atau masih kontak
erat dengan pasien TB-RO
i. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara klinis
maupun bakteriologis terhadap pemberian OAT (bila penegakan
diagnosis awal tidak menggunakan TCM
Pasien ko-infeksi TB-HIV dalam penggunaan OAT selama dua
minggu tidak memperlihatkan perbaikan klinis
Diagnosis Banding
Tuberkulosis adalah peniru yang hebat dan harus dipertimbangkan dalam
diagnosis banding beberapa gangguan sistemik. Berikut ini adalah daftar
kondisi yang harus dipertimbangkan saat mengevaluasi kemungkinan
tuberkulosis paru (9).
 Pneumonia
 Keganasan
 Mycobacterium non-TB
 Infeksi jamur
 Histoplasmosis
 Sarkoidosis

2.9 TATALAKSANA
1. Tujuan pengobatan TB adalah (1) :
a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas
pasien
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
c. Mencegah kekambuhan TB
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
e. Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat
2. Prinsip Pengobatan TB (1) :
Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab
TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(pengawas menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
 Jenis obat utama (lini1) yang digunakan adalah (3):
a. Rifampisin
b. INH (Isoniazid)
c. Pirazinamid
d. Streptomisin
e. Etambutol
 Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari (3):
 Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin
150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275
mg dan
 Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg dan pirazinamid 400 mg
 Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) (3)
 Kanamisin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
 Derivat rifampisin dan INH
 Dosis OAT (3)
 Rifampisin: 10 mg/kg BB, maksimal 600 mg 2-3X/ minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40 – 60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
 INH 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kgBB 3X
seminggu, 15 mg/kgBB 2X seminggu atau 300 mg/hari untuk
dewasa. Intermiten: 600 mg/kali
 Pirazinamid: fase intensif 25 mg/kgBB, 35 mg/kgBB 3X
seminggu, 50 mg/kgBB 2X seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40 – 60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
 Etambutol: fase intensif 20 mg/kgBB, fase lanjutan 15
mg/kgBB, 30 mg/kgBB 3X seminggu, 45 mg/kgBB 2X
seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40 – 60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/kgBB/kali
 Streptomisin: 15 mg/kgBB atau
BB > 60 kg : 1000 mg
BB 40 – 60 kg : 750 mg
BB > 40 kg : sesuai BB
 Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap,
penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase
intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi
dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah
digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan (3).
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap
tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke
rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya (3).
4. Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu (1) :
1) Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum
pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua
pasien baru, harus diberikan selama 2 -3 bulan. Pada umumnya
dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu pertama.
2) Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi
tahap lanjutan selama 4 atau 7 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya
obat diberikan setiap hari.

*) Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari


500-700 mg perhari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10
mg/kg BB pada pasien kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan
di bawah 50 kg tidak dapat mentoleransi dosis lebih dari 500-750 mg
perhari.
5. Paduan Obat Anti Tuberkulosis
 TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap OAT kecuali
(1):
a. Pasien tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi resisten
isoniazid ATAU
b. Terdapat riwayat kontak dengan pasien TB resistan obat. Pasien
kasus baru seperti ini cenderung memiliki pola resistensi obat
yang sama dengan kasus sumber. Pada kasus ini sebaiknya
dilakukan uji kepekaan obat sejak awal pengobatan dan sementara
menunggu hasil uji kepekaan obat maka paduan obat yang
berdasarkan uji kepekaan obat kasus sumber sebaiknya dimulai.

Jika tidak tersedia paduan dosis harian, dapat dipakai paduan


2RHZE/4R3H3 dengan syarat harus disertai pengawasan yang lebih
ketat secara langsung untuk setiap dosis obat (Rekomendasi B) (1).

Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji


kepekaan OAT pada awal pengobatan. Uji kepekaan dapat dilakukan
dengan metode cepat atau rapid test (TCM, LPA lini 1 dan 2), dan
metode konvensional baik metode padat (LJ), atau metode cair (MGIT)
(1).
Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji kepekaan
obat berdasarkan uji molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2
hari maka hasil ini digunakan untuk menentukan paduan OAT pasien.
Bila laboratorium hanya dapat melakukan uji kepekaan obat
konvensional dengan media cair atau padat yang baru dapat
menunjukkan hasil dalam beberapa minggu atau bulan maka daerah
tersebut sebaiknya menggunakan paduan OAT kategori I sambil
menunggu hasil uji kepekaan obat (1).
Pada daerah tanpa fasilitas biakan, maka pasien TB dengan riwayat
pengobatan diberikan OAT kategori 1 sambil dilakukan pengiriman
bahan untuk biakan dan uji kepekaan (1).
 TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas (3)
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3
atau
(program P2TB)
2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas
(termasuk luluh paru)
c. TB di luar paru kasus berat
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7
bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/
7R3H3, seperti pada keadaan (3):
a. TB dengan lesi luas
b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat
imunosupresi / kortikosteroid)
c. TB kasus berat (milier, dll)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan hasil uji resistensi
 TB Paru (kasus baru), BTA negative (3)
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau
6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
b. TB di luar paru kasus ringan
 TB paru kasus kambuh (3)
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT
pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat
diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase
lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya,
sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif
diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program
P2TB)
 TB Paru kasus gagal pengobatan (3)
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan
minimal menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang
masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama
pengobatan minimal selama 1 – 2 tahun . Menunggu hasil uji
resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian
dilanjutkan sesuai uji resistensi
 Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif
diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program
P2TB)
 Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan
hasil yang optimal
 Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
 TB Paru kasus lalai berobat (10)
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan
kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
 Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu,
pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadual
 Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu
1. Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik
negatif, pengobatan OAT STOP
2. Berobat ≥ 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama
3. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang sama
4. Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif,
akan tetapi klinik dan atau radiologic positif : pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
5. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu
pengobatan diteruskan kembali sesuai jadual.
 TB Paru kasus kronik (3)
 Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi,
sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam
OAT yang masih sensitive dengan H tetap diberikan walaupun
resisten) ditambah dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam,
makrolid
 Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
 Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan
 Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
6. Pengobatan suportif / simptomatik
Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan
keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi
rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan
tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan
tubuh atau mengatasi gejala/keluhan (3).
1) Penderita rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan
vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan
untuk penderita tuberkulosis, kecuali untuk penyakit
komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk,
sesak napas atau keluhan lain.
2) Penderita rawat inap
a. Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
 Batuk darah (profus)
 Keadaan umum buruk
 Pneumotoraks
 Empiema
 Efusi pleura masif / bilateral
 Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
 TB paru milier
 Meningitis TB
b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan
keadaan klinis dan indikasi rawat
7. Terapi Pembedahan
Indikasi operasi
a. Indikasi mutlak (3)
 Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi
dahak tetap positif
 Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan
cara konservatif
 Penderita dengan fistula bronkopleura dan empyema yang tidak
dapat diatasi secara konservatif
b. Indikasi relatif
 Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
 Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
 Sisa kaviti yang menetap
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan) (3)
a. Bronkoskopi
b. Punksi pleura
c. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh (3)
a. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
b. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
c. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
5. Pemantauan respon pengobatan
Semua pasien harus dipantau untuk menilai respons terapinya.
Pemantauan reguler akan memfasilitasi pengobatan lengkap,
identifikasi dan tata laksana reaksi obat yang tidak diinginkan. Semua
pasien, PMO dan tenaga kesehatan sebaiknya diminta untuk
melaporkan gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala efek
samping OAT atau terhentinya pengobatan. Berat badan pasien harus
dipantau setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan dengan perubahan
berat badan. Respon pengobatan TB paru dipantau dengan sputum
BTA. Perlu dibuat rekam medis tertulis yang berisi seluruh obat yang
diberikan, respons terhadap pemeriksaan bakteriologis, resistensi obat
dan reaksi yang tidak diinginkan untuk setiap pasien pada kartu berobat
TB (1).
WHO merekomendasi pemeriksaan sputum BTA pada akhir fase
intensif pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama
baik kasus baru maupun pengobatan ulang. Pemeriksaan sputum BTA
dilakukan pada akhir bulan kedua (2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan
akhir bulan ketiga (2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan
ulang. Rekomendasi ini juga berlaku untuk pasien dengan sputum BTA
negatif (1).
Sputum BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan
beberapa hal berikut ini (1):
a. Supervisi yang kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien
yang buruk.
b. Kualitas OAT yang buruk.
c. Dosis OAT dibawah kisaran yang direkomendasikan.
d. Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah
kuman yang banyak
e. Adanya penyakit komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau
respons terapi.
f. Penyebab TB pada pasien adalah M. tuberculosis resistan obat yang
tidak memberikan respons terhadap terapi OAT lini pertama.
Pada kasus yang tidak konversi disarankan mengirimkan sputum
ke fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai TCM atau biakan (1).
Bila hasil sputum BTA positif pada bulan kelima atau pada akhir
pengobatan menandakan pengobatan gagal dan perlu dilakukan
diagnosis cepat TB MDR sesuai alur diagnosis TB MDR. Pada
pencatatan, kartu TB 01 ditutup dan hasil pengobatan dinyatakan
“Gagal”. Pengobatan selanjutnya dinyatakan sebagai tipe pasien
“Pengobatan setelah gagal”. Bila seorang pasien didapatkan TB dengan
galur resistan obat maka pengobatan dinyatakan “Gagal” kapanpun
waktunya (1).
Pada pasien dengan sputum BTA negatif di awal pengobatan dan
tetap negatif pada akhir bulan kedua pengobatan, maka tidak diperlukan
lagi pemantauan dahak lebih lanjut. Pemantauan klinis dan berat badan
merupakan indikator yang sangat berguna (1).

Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik,
dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat (3).
 Evaluasi klinik
 Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
 Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
 Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
 Evaluasi bakteriologik (0 – 2 – 6/9)
 Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
 Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
 Sebelum pengobatan dimulai
 Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
 Pada akhir pengobatan
 Bila ada fasiliti biakan: pemeriksaan biakan (0 – 2 – 6/9)
 Evaluasi radiologik (0 – 2 – 6/9)
 Sebelum pengobatan
 Setelah 2 bulan pengobatan
 Pada akhir pengobatan
 Evaluasi efek samping secara klinik
 Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi
ginjal dan darah lengkap
 Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah , asam urat untuk data dasar penyakit
penyerta atau efek samping pengobatan
 Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
 Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan
etambutol
 Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji
keseimbangan dan audiometri
 Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi
klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi
klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman
 Evaluasi keteraturan berobat
 Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang
digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat
tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang
diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan
 Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistens
 Evaluasi penderita yang telah sembuh
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui
terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA
dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh.
6. Menilai respons OAT lini pertama pada pasien TB dengan riwayat
pengobatan sebelumnya
Pada pasien dengan OAT kategori 2, bila BTA masih positif pada akhir
fase intensif, maka dilakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji
kepekaan. Bila BTA sputum positif pada akhir bulan kelima dan akhir
pengobatan (bulan kedelapan), maka pengobatan dinyatakan gagal dan
lakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji kepekaan. Hasil pengobatan
ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada akhir
pengobatan, seperti pada Tabel 3.3 (1).
Catatan :
Pasien TB sensitif OAT yang kemudian terbukti resistan obat dikeluarkan
dari pelaporan kohort hasil pengobatan.

7. Efek samping OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
mengalami efek samping yang bermakna. Namun, sebagian kecil dapat
mengalami efek samping yang signifikan sehingga mengganggu
pekerjaannya sehari-hari. Penting dilakukannya pemantauan gejala
klinis pasien selama pengobatan sehingga efek tidak diinginkan tersebut
dapat dideteksi segera dan ditata laksana dengan tepat (1).
Neuropati perifer menunjukkan gejala kebas atau rasa seperti
terbakar pada tangan atau kaki. Hal ini sering terjadi pada perempuan
hamil, orang dengan HIV, kasus penyalahgunaan alkohol, malnutrisi,
diabetes, penyakit hati kronik, dan gagal ginjal. Pada pasien seperti ini
sebaiknya diberikan pengobatan pencegahan dengan piridoksin 25
mg/hari diberikan bersama dengan OAT (1).
Efek tidak diinginkan dari OAT dapat diklasifikasikan menjadi
efek mayor dan minor. Pasien yang mengalami efek samping OAT
minor sebaiknya melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi
simtomatik. Pada pasien yang mengalami efek samping mayor maka
paduan OAT atau OAT penyebab sebaiknya dihentikan pemberiannya
(1).
Tata laksana efek samping dapat dilihat pada Tabel 3.4. Efek
samping dibagi atas 2 klasifikasi yaitu efek samping berat dan ringan.
Bila terjadi efek samping yang masuk ke dalam klasifikasi berat, maka
OAT dihentikan segera dan pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi
(1).
Penanganan efek samping obat (1):
 Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat
diatasi secara simptomatik
 Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian
salisilat / allopurinol
 Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan
seperti tertulis di atas
 Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada
kulit yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat
dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan
pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan
pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan
terhadap obat lainnya
 Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah
trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan
penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll karena
streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena
thiacetazon
 Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah
hingga jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali
dengan baik.
8. Pengawasan dan ketaatan pasien dalam pengobatan OAT
Ketaatan pasien pada pengobatan TB sangat penting untuk mencapai
kesembuhan, mencegah penularan dan menghindari kasus resistan obat.
Pada “Stop TB Strategy” mengawasi dan mendukung pasien untuk
minum OAT merupakan landasan DOTS dan membantu pencapaian
target keberhasilan pengobatan 85%. Kesembuhan pasien dapat dicapai
hanya bila pasien dan petugas pelayanan kesehatan bekerjasama dengan
baik dan didukung oleh penyedia jasa kesehatan dan masyarakat (1).
Pengobatan dengan pengawasan membantu pasien untuk minum
OAT secara teratur dan lengkap. Directly Observed Treatment Short
Course (DOTS) merupakan metode pengawasan yang
direkomendasikan oleh WHO dan merupakan paket pendukung yang
dapat menjawab kebutuhan pasien. Pengawas menelan obat (PMO)
harus mengamati setiap asupan obat bahwa OAT yang ditelan oleh
pasien adalah tepat obat, tepat dosis dan tepat interval, disamping itu
PMO sebaiknya adalah orang yang telah dilatih, dapat diterima baik dan
dipilih bersama dengan pasien. Pengawasan dan komunikasi antara
pasien dan petugas kesehatan akan memberikan kesempatan lebih
banyak untuk edukasi, identifikasi
dan solusi masalah-masalah selama pengobatan TB. Directly observed
treatment short course sebaiknya diterapkan secara fleksibel dengan
adaptasi terhadap keadaan sehingga nyaman bagi pasien (1).
9. Pencatatan dan pelaporan program penanggulangan TB
Pencatatan dan pelaporan adalah komponen penting dalam program
nasional TB, hal ini dilakukan agar bisa didapatkannya data yang
kemudian dapat diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan serta
kemudian disebarluaskan. Data yang dikumpulkan harus merupakan
data yang akurat, lengkap dan tepat waktu sehingga memudahkan
proses pengolahan dan analisis data. Data program TB diperoleh dari
pencatatan yang dilakukan di semua sarana pelayanan kesehatan dengan
satu sistem baku yang sesuai dengan program TB, yang mencakup TB
sensitif dan TB RO (1).

2.10 KOMPLIKASI
Penyakit TB bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas (9):
 Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, TB usus,
Poncet’s artropathy
 Komplikasi lanjut: obstruksi jalan nafas (Sindrom Obstruksi Pasca
TB), kerusakan parenkim berat (fibrosis paru),kor-pulmonal,
amiloidosis paru, sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), TB milier,
jamur paru (aspergilosis) dan kavitas.

2.11 PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara (1) :
 Terapi pencegahan
 Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan
Terapi pencegahan :
Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang
digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5
mg / kg BB (tidak lebih dari 300 mg ) sehari selama minimal 6 bulan.
2.12 PROGNOSIS
Mayoritas pasien dengan diagnosis TB memiliki hasil yang baik. Ini
terutama karena pengobatan yang efektif. Tanpa pengobatan, angka
kematian tuberkulosis lebih dari 50% (9).
Kelompok pasien berikut ini lebih rentan terhadap hasil yang lebih
buruk atau kematian setelah infeksi TB (9):
 Usia ekstrem, lanjut usia, bayi, dan anak kecil
 Keterlambatan dalam menerima pengobatan
 Bukti radiologis penyebaran luas.
 Gangguan pernapasan parah yang membutuhkan ventilasi mekanis
 Imunosupresi
 Multidrug Resistance (MDR) Tuberkulosis
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis [Internet]. 2020. Available from:
https://tbindonesia.or.id/wp-content/uploads/2021/06/UMUM_PNPK_revis
i.pdf
2. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis Paru. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
VI. Jakarta Pusat: InternaPublishing; 2017.
3. PDPI. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB).
4. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis. I. Tim
editor PB IDI, editor. 2017.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran: Tata Laksana Tuberkulosis. 2013. 1–110 p.
6. Herchline TE. Tuberculosis (TB). 2020; Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/230802-workup#c13
7. Herchline TE. Tuberculosis (TB). 2020; Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/230802-overview
8. Hyun BD, Young-Hwan H, So-Young L, Young-Kwon C, Su-Ah S.
Central Venous Stenosis Caused by Traction of the Innominate Vein due to
a Tuberculosis-Destroyed Lung. Cent Venous Stenosis Caused by Tract
Innominate Vein due to a Tuberc Lung [Internet]. Available from:
https://www.kjim.org/journal/Figure.php?xn=kjim-26-460.xml&id=
9. Adigun R, Singh R. Tuberculosis. In: StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing LLC; 2022. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/

Anda mungkin juga menyukai