DISUSUN OLEH:
Lulu Ah Janah
1102017129
PEMBIMBING:
dr. Syafrizal, Sp. P
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan yang Maha Esa,
Allah SWT atas berkat dan rahmat Nya, sehingga laporan kasus ini telah berhasil
diselesaikan. Laporan kasus ini merupakan salah satu tugas sebagai prasyarat
dalam memenuhi kegiatan Kepaniteraan Klinik Pendidikan Profesi Dokter dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pembimbing dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang telah membimbing dan mengarahkan
proses pembuatan laporan kasus ini. Tidak ada hasil yang baik tanpa dukungan
dari pihak-pihak yang memberi bimbingan, konsultasi, serta pertolongan sehingga
tersusunnya dan terselesaikannya presentasi kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya sekiranya laporan kasus ini masih
memerlukan koreksi lebih lanjut. Oleh sebab itu, penulis memohon maaf atas
kekurangan dalam laporan kasus ini serta segala kritik dan saran apapun akan
penulis terima dengan sangat terbuka. Penulis berharap laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta bagi semua
pihak yang membutuhkan.
Jantung
Inspeksi : ictus kordis tidak terlihat
Abdomen
Inspeksi : Terlihat datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : pekak - timpani seluruh lapang abdomen, pekak alih (+),
undulasi (-)
Palpasi : nyeri tekan epigastrik (-), hepatomegali (-),
splenomegaly (-), massa (-)
Ekstremitas
Motorik : atas 55555/55555 & bawah 55555/5555
Sensorik : Normal, simetris kanan dan kiri
Edema tungkai (-), pitting edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik,
hematoma (-)
Kulit : sianosis (-), ikterik (-), turgor baik
Genital : tidak dilakukan pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin 9.9 g/dL 11.7 –
15.5
Hematokrit 31 % 32 – 47
Eritrosit 5.1 Juta / uL 3.8 – 5.2
Leukosit 12.5 103/ uL 3.60 –
5 11.00
Trombosit 458 Ribu / uL 150 – 440
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil 2 % 1–3
Neutrofil 0 % 3–5
Batang
Neutrofil Segmen 78 % 50 – 70
Limfosit 10 % 25 – 40
Monosit 10 % 2–8
LUC 0 % <4
Limfosit Absolut 1225 /uL 1500 –4000
Kimia Klinik
Hematologi
Hemoglobin 8,6 g/dL 11.7 – 15.5
Hematokrit 26 % 32 – 47
Eritrosit 4,2 Juta / uL 3.8 – 5.2
Leukosit 13,45 103/ uL 3.60 –
11.00
Trombosit 536 Ribu / uL 150 – 440
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil 1 % 1–3
Neutrofil Batang 0 % 3–5
Neutrofil Segmen 85 % 50 – 70
Limfosit 7 % 25 – 40
Monosit 7 % 2–8
LUC 0 % <4
Limfosit Absolut 807 /uL 1500 –4000
Neutrofil 7.80
Limfosit Ratio
Kimia Klinik
SGOT (AST) 20 U/L 0 – 35
SGPT (ALT) 12 U/L 0 – 35
Ureum Darah 21 mg/dL 20 – 40
Kreatinin Darah 0,77 mg/dL 0.35 – 0.93
KIMIA KLINIK
SGOT 8,9 g/dL 11.7 – 15.5
SGPT 26 % 32 – 47
Ureum Darah 3,1 Juta / uL 3.8 – 5.2
Kreatinin darah 3,05 103/ uL 3.60 – 11.00
eGFR 275 Ribu / uL 150 – 440
IMUNOLOGI
Anti HCV Non-reaktif
HBsAg Reaktif
Radiologi
Rontgen Thorax (AP) tanggal 26/03/ 2022
Pemeriksaan radiografi thorax proyeksi AP, dengan hasil sebagai berikut:
Pemeriksaan radiografi thorax proyeksi AP, dengan hasil sebagai berikut:
● Jantung kesan tidak membessar
● Aorta dan mediastinum superior ridak melebar
● Trakhea di garis tengah
● Kedua hilus menebal
● Corakan bronkhovaskuler meningkat
● Tampak infiltrat di kedua lapangan paru
● Lengkung diafragma regular
● Sinus kostofrenikus lancip
● Tulang – tulang tak tampak kelainan
Kesan:
TB paru dd/ Bronkopnemonia dg susp. covid
1.5 Resume
Tn, T 52 tahun, datang ke IGD RSUD Pasar rebo dengan keluhan sesak
sejak 3 bulan dan memberat 1 minggu SMRS. Sesak sering muncul setelah
batuk-batuk. Sesaksering sering timbul apabila pasien melakukan aktivitas
sedang-berat. Sesak juga tidak disertai mengi dan tidak dipengaruhi oleh
posisi. Pasien juga mengeluh batuk berdahak, dirasakan terus-menerus,
berwarna kuning dan tidak disertai darah. Selain itu pasien mengeluh
merasa perut terkadang terasa panas dan mual. pasien merasakan lebih
kurus karena BB menurun.
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan tampak sakit sedang, status gizi
pasien termasuk kriteria underweight, pada pemeriksaan fisik ditemukan
auskultasi paru rhonki pada kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 26/03/2022 ditemukan Hb
menurun, Ht menurun, Leukosit meningkat, Trombosit tinggi, Neutrofil
Batang menurun, Neutrofil Segmen meningkat, Limfosit menurun,
Monosit meningkat, Kreatinin darah meningkat, Glukosa Darah Sewaktu
meningkat, Hiponatrium dan Hipoklorida. Pemeriksaan Rontgen thorax
(AP) pada tanggal 26/03/2022 menunjukkan adanya corakan
bronkovaskuler meningkat dan tampak infiltrat di kedua lapangan paru.
Pemeriksaan BTA (GenXpert) pada tanggal 28/03/2022 menunjukkan
MTB detected medium, pada pemeriksaan HBsAg reaktif.
Medikamentosa
RA 500 cc/8 jam
Curcuma 3x1 tab
Ranitudin 2x1 tab
Ondansentron 3x1 tab
OAT (paketan)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
1.10 Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS
2.1 DEFINISI
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam
(BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi
parenkim paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga
memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru)
seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya (1)
Penyakit tuberkulosis (TB) adalah suatu penyaki infeksi kronik
yang menyerang hampir semua organ tubuh manusia dan yang terbanyak
adalah paru – paru (2).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan Global TB Report 2018, diperkirakan di Indonesia pada tahun
2017 terdapat 842.000 kasus TB baru (319 per 100.000 penduduk) dan
kematian karena TB sebesar 116.400 (44 per 100.000 penduduk) termasuk
pada TB-HIV positif. Angka notifikasi kasus (case notification rate/CNR)
dari semua kasus dilaporkan sebanyak 171 per 100.000 penduduk. Secara
nasional diperkirakan insidens TB HIV sebesar 36.000 kasus (14 per
100.000 penduduk). Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 12.000
kasus (diantara pasien TB paru yang ternotifikasi) yang berasal dari 2.4%
kasus baru dan 13% kasus pengobatan ulang. Terlepas dari kemajuan yang
telah dicapai Indonesia, jumlah kasus tuberkulosis baru di Indonesia masih
menduduki peringkat ketiga di dunia dan merupakan salah satu tantangan
terbesar yang dihadapi Indonesia dan memerlukan perhatian dari semua
pihak, karena memberikan beban morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Tuberkulosis merupakan penyebab kematian tertinggi setelah penyakit
jantung iskemik dan penyakit serebrovaskuler. Pada tahun 2017, angka
kematian akibat tuberkulosis adalah 40/100.000 populasi (tanpa TBHIV)
dan 3,6 per 100.000 penduduk (termasuk TB-HIV) (1).
2.6 PATOGENESIS
Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan trakea-
bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di
mana nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus
yang kemudian akan memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap
basilus. Infeksi bergantung pada kapasitas virulensi bakteri dan
kemampuan bakterisid makrofag alveolus yang mencernanya. Apabila
basilus dapat bertahan melewati mekanisme pertahanan awal ini, basilus
dapat bermultiplikasi di dalam makrofag (1).
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23-
32 jam sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki
endotoksin ataupun eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera
pada host yang terinfeksi. Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-
12 minggu dan jumlahnya akan mencapai 103-104, yang merupakan
jumlah yang cukup untuk menimbulkan sebuah respon imun seluler yang
dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin skin test. Bakteri
kemudian akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk berupa
tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon
imun (1).
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan
menyebar melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke
dalam aliran darah dan menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan
jaringan diketahui memiliki resistensi terhadap replikasi basili ini.
Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan hampir selalu mudah
terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan dideposit di bagian atas
(apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak, di mana kondisi organ-organ
tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada
beberapa kasus, bakteri dapat berkembang dengan cepat sebelum
terbentuknya respon imun seluler spesifik yang dapat membatasi
multiplikasinya (1).
1. TB primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili.
Hal ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering
diartikan sebagai TB anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia
berapapun pada individu yang belum pernah terpapar M.TB
sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan
menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian
bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili
kemudian mengalami terfagosistosis oleh makrofag; produk
mikobakterial mampu menghambat kemampuan bakterisid yang
dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat melakukan replikasi
di dalam makrofag. Makrofag dan monosit lain bereaksi terhadap
kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju fokus infeksi dan
memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian disebut
sebagai Ghon focus (1).
Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus
melalui jalur limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk
kompleks (Ghon) primer. Respon inflamasinya menghasilkan gambaran
tipikal nekrosis kaseosa. Di dalam nodus limfe, limfosit T akan
membentuk suatu respon imun spesifik dan mengaktivasi makrofag
untuk menghambat pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus
primer ini mengandung 1,000–10,000 basili yang kemudian terus
melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer akan
digantikan dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya
terdapat makrofag yang mengandung basili terisolasi yang akan mati
jika sistem imun host adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam
fokus primer untuk beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan
“kuman laten”. Infeksi primer biasanya bersifat asimtomatik dan akan
menunjukkan hasil tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi.
Dalam beberapa kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk
menghambat perkembangbiakan bakteri dan basili akan menyebar dari
sistem limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh,
menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB primer
progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus
primer, sehingga dapat ditemukan banyak area menunjukkan gambaran
nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran
klinis yang serupa dengan TB post primer (1).
2. TB pasca primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang
sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode
laten yang memakan waktu bulanan hingga tahunan (biasanya pada usia
15 – 40 tahun) setelah infeksi primer. Hal ini dapat dikarenakan
reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi (1)(3).
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan
selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer,
mulai kembali bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari
melemahnya sistem imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi
terjadi ketika seorang yang pernah mengalami infeksi primer terpapar
kembali oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif.
Dalam sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian dari proses
infeksi primer. Setelah terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat
menjadi penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding
pada orang dewasa (1). Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama
menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang
umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik
kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan
sebagai berikut (3) :
1) Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan
cacat
2) Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses
penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya
akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan
akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga
sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3) Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini:
Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik
baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan
seperti yang disebutkan diatas
Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi
Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut
open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus
diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti
yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang
(stellate shaped).
2.7 MANIFESTASI KINIS
Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam – macam atau malah
banyak dapat ditemukan TB paru tanpa keluhan sekali dalam pemeriksaan
kesehatannya (2).
Keluhan secara umum (2):
Demam
Biasanya subferis meyerupai demam influenza, tetapi kadang – kadang
panas badan dapat mencapai 40 – 41°C. serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya hilang timbulnya demam seperti influenza ini, sehingga
pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam. Keadaan ini
sangat dipengaryhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya
infeksi kuman TB yang masuk.
Malaise
Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama
makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
Berat badan turun
Biasanya pasien tidak merasakan berat badannya turun. Sebaiknya kita
tanyakan berat badan sekarang dan beberapa waktu sebelum pasien
sakit. Pada pasien anak- anak biasanya berat badannya sulit naik
terutama dalam 2 – 3 bulan terakhir atau status gizinya kurang.
Rasa lelah
Keluhan ini juga pada kebanyakan pasien hampir tidak dirasakannya.
Keluhan pada pernapasan (2):
Batuk/batuk darah
Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang
keluar dari saluran napas bawah. Karena terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit TB
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu – minggu
atau berbulan – bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari
batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan
berubah menjadi produktif (menghasilkan dahak). Keadaan lebih lanjut
dapat berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah kecil yang
pecah. Kebanyakan batuk darah pada TB terjadi pada kavitas, tetapi
dapat juga terjadi pada ulkus dinding brokus. Batuk ini sering sulit
dibedakan dengan batuk karena sakit: pneumonia, asma, bronkitis,
alergi, Penyakit Paru Obstruksi Kronik dll.
Sesak nafas
Pada penyakit TB paru yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan
adanya sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit TB paru
yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian
paru – paru.
Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.
Sering terserang flu
Gejala batuk – batuk lama kadang disertai pilek sering terjadi karena
daya tahan tubuh pasien yang rendah sehingga mudah terserang infeksi
virus seperti influenza.
Gambar: Foto thorax lateral pasien dengan densitas lobus kanan atas
segmen posterior konsisten dengan tuberkulosis aktif (7).
Gambar: Foto thorax posteroanterior menunjukkan kavitas yang besar
dengan konsolidasi sekitarnya di bagian lingular lobus kiri atas (7).
2.9 TATALAKSANA
1. Tujuan pengobatan TB adalah (1) :
a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas
pasien
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
c. Mencegah kekambuhan TB
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
e. Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat
2. Prinsip Pengobatan TB (1) :
Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab
TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(pengawas menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Jenis obat utama (lini1) yang digunakan adalah (3):
a. Rifampisin
b. INH (Isoniazid)
c. Pirazinamid
d. Streptomisin
e. Etambutol
Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari (3):
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin
150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275
mg dan
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg dan pirazinamid 400 mg
Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) (3)
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT (3)
Rifampisin: 10 mg/kg BB, maksimal 600 mg 2-3X/ minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40 – 60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
INH 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kgBB 3X
seminggu, 15 mg/kgBB 2X seminggu atau 300 mg/hari untuk
dewasa. Intermiten: 600 mg/kali
Pirazinamid: fase intensif 25 mg/kgBB, 35 mg/kgBB 3X
seminggu, 50 mg/kgBB 2X seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40 – 60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Etambutol: fase intensif 20 mg/kgBB, fase lanjutan 15
mg/kgBB, 30 mg/kgBB 3X seminggu, 45 mg/kgBB 2X
seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40 – 60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/kgBB/kali
Streptomisin: 15 mg/kgBB atau
BB > 60 kg : 1000 mg
BB 40 – 60 kg : 750 mg
BB > 40 kg : sesuai BB
Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap,
penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase
intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi
dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah
digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan (3).
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap
tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke
rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya (3).
4. Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu (1) :
1) Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum
pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua
pasien baru, harus diberikan selama 2 -3 bulan. Pada umumnya
dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu pertama.
2) Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi
tahap lanjutan selama 4 atau 7 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya
obat diberikan setiap hari.
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik,
dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat (3).
Evaluasi klinik
Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 – 2 – 6/9)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
Sebelum pengobatan dimulai
Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan: pemeriksaan biakan (0 – 2 – 6/9)
Evaluasi radiologik (0 – 2 – 6/9)
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan
Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi
ginjal dan darah lengkap
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah , asam urat untuk data dasar penyakit
penyerta atau efek samping pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan
etambutol
Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji
keseimbangan dan audiometri
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi
klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi
klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman
Evaluasi keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang
digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat
tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang
diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistens
Evaluasi penderita yang telah sembuh
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui
terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA
dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh.
6. Menilai respons OAT lini pertama pada pasien TB dengan riwayat
pengobatan sebelumnya
Pada pasien dengan OAT kategori 2, bila BTA masih positif pada akhir
fase intensif, maka dilakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji
kepekaan. Bila BTA sputum positif pada akhir bulan kelima dan akhir
pengobatan (bulan kedelapan), maka pengobatan dinyatakan gagal dan
lakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji kepekaan. Hasil pengobatan
ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada akhir
pengobatan, seperti pada Tabel 3.3 (1).
Catatan :
Pasien TB sensitif OAT yang kemudian terbukti resistan obat dikeluarkan
dari pelaporan kohort hasil pengobatan.
2.10 KOMPLIKASI
Penyakit TB bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas (9):
Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, TB usus,
Poncet’s artropathy
Komplikasi lanjut: obstruksi jalan nafas (Sindrom Obstruksi Pasca
TB), kerusakan parenkim berat (fibrosis paru),kor-pulmonal,
amiloidosis paru, sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), TB milier,
jamur paru (aspergilosis) dan kavitas.
2.11 PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara (1) :
Terapi pencegahan
Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan
Terapi pencegahan :
Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang
digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5
mg / kg BB (tidak lebih dari 300 mg ) sehari selama minimal 6 bulan.
2.12 PROGNOSIS
Mayoritas pasien dengan diagnosis TB memiliki hasil yang baik. Ini
terutama karena pengobatan yang efektif. Tanpa pengobatan, angka
kematian tuberkulosis lebih dari 50% (9).
Kelompok pasien berikut ini lebih rentan terhadap hasil yang lebih
buruk atau kematian setelah infeksi TB (9):
Usia ekstrem, lanjut usia, bayi, dan anak kecil
Keterlambatan dalam menerima pengobatan
Bukti radiologis penyebaran luas.
Gangguan pernapasan parah yang membutuhkan ventilasi mekanis
Imunosupresi
Multidrug Resistance (MDR) Tuberkulosis
DAFTAR PUSTAKA