Teknik Baru untuk Splinting Trauma Gigi Anterior atau Bagian Dentoalveolar
Disusun oleh:
Pembimbing:
JAKARTA
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................…… 1
BAB 1 PENDAHULUAN ..........................................................................…… 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………… 2
1.3 Pertanyaan Penulisan …………………………………………… 3
1.4 Tujuan Penulisan ………………………………………………... 3
1.5 Manfaat Penulisan ………………………………………………. 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 4
2.1 Kegoyangan Gigi.......................................................................…… 4
2.1.1 Etiologi Kegoyangan Gigi …………………………………….… 4
2.1.2 Klasifikasi Mobilitas gigi …….. ……………………………….. 4
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Oklusi merupakan salah satu aspek penting yang berkaitan dengan proses mengunyah,
menelan dan berbicara. Oklusi secara sederhana dapat diartikan sebagai kontak atau
bertemunya gigi geligi bawah dengan gigi geligi atas. Kontak ini akan menghasilkan suatu
tekanan yang kemudian diteruskan ke jaringan periodontal gigi yang terdiri dari gingiva,
ligamen periodontal, sementum, dan tulang alveolar. Jaringan periodontal memiliki fungsi
mendukung dan meredam tekanan oklusi yang diterima oleh gigi dan mempunyai batas
ambang menahan tekanan oklusi, artinya bila tekanan ini berlebih dapat mencederai jaringan
periodontal disekitarnya.
Gigi mobiliti (goyang) adalah masalah yang sering terjadi pada gigi yang dapat
berakibat hilangnya gigi dikarenakan penyakit ataupun cedera pada gingiva atau tulang yang
mendukung gigi.Mobiliti pada gigi dapat bersifat fisiologis ataupun patologis. Secara klinis
gigi mobiliti juga dapat dibedakan atas mobility reversibel ataupun mobiliti irreversibel.
Terjadinya peningkatan gigi mobiliti dapat disebabkan oleh banyak faktor. Namun terjadinya
inflamasi yang diakibatkan oleh akumulasi plak dan adanya trauma oklusi merupakan faktor
penyebab yang paling sering terlibat sebagai penyebab terjadinya gigi mobiliti (goyang).
Kegoyangan gigi merupakan salah satu penyakit periodontal yang disebabkan oleh
adanya kerusakan tulang yang mendukung gigi, trauma oklusi, dan adanya perluasan
peradangan dari gingiva ke jaringan pendukung yang lebih dalam serta proses patologi
rahang seringkali terjadi pada pasien dengan trauma oklusi disertai periodontitis kronis. 1
Perawatan terhadap kasus gigi mobiliti (gigi goyang) harus dilakukan dengan baik, diagnosa
yang tepat terhadap faktor penyebab terjadinya gigi mobiliti sangat dibutuhkan untuk
keberhasilan perawatan.2 Terdapat berbagai bentuk perawatan yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah gigi mobiliti. Untuk kasus gigi mobiliti yang disebabkan inflamasi maka
1
dapat dilakukan penyingkiran terhadap faktor penyebab inflamasi seperti scalling dan root
planning, penggunaan obat lokal dan sistemik serta terapi pembedahan. 3 Pada kasus gigi
mobiliti yang disebabkan karena adanya trauma oklusi maka harus dihilangkan terhadap
faktor penyebab terjadinya trauma oklusi. Perawatan seperti oklusal grinding, perbaikan
terhadap kebiasaan parafungsi, stabilisasi gigi dengan menggunakan splin, pemakaian alat
ortodonti dan rekonstruksi oklusal merupakan pilihan perawatan. Ekstraksi terhadap gigi
mobiliti (gigi goyang) merupakan pilihan terakhir apabila dukungan terhadap gigi mobiliti
menjadi tigaderajat. Derajat 1 yaitu kegoyangan sedikit lebih besar dari normal. Derajat 2
yaitu kegoyangan sekitar 1 mm, dan derajat 3 yaitu kegoyangan > 1 mm pada segala arah
dan/atau gigi dapat ditekan ke arah apikal. Salah satu perawatan untuk stabilisasi kegoyahan
2
ortodontik, splinting TTS, splinting resin, splinting kevlar/fiberglass (fiberglass), bahan
self-etching dan bonding, splinting jahitan. Secara teori, satu minggu cukup untuk
imobilisasi dalam kasus dengan cedera jaringan pendukung ringan. Karena ligamen
periodontal mencapai kekuatan normalnya 7 sampai 14 hari setelah trauma.1
Penelitian yang telah dilakukan oleh Tawfeeq BT, Al-Rawee RY, Sultan BM pada tahun
2019 mengatakan bahwa tujuan penelitian tersebut dilakukan untuk melakukan jenis baru
dari cold-cured acrylic (CCAR) splinting untuk merawat fraktur gigi atau dento-alveolar,
dalam percobaan untuk mengatasi situasi darurat dan untuk meminimalkan: Stres dan
ketidaknyamanan yang terkait dengan prosedur operatif, Kebutuhan waktu untuk mencapai
tujuan dan tambahan teknis yang diperlukan untuk splinting.1
Belum diketahuinya Teknik Baru untuk Splinting Trauma Gigi Anterior atau Bagian
Dentoalveolar
1.3 Pertanyaan Penulisan
Apakah ada Teknik Baru untuk Splinting Trauma Gigi Anterior atau Bagian Dentoalveolar?
Tujuan pembuatan makalah jurnal reading ini untuk menjelaskan terdapat Teknik Baru
untuk Splinting Trauma Gigi Anterior atau Bagian Dentoalveolar
1.5 Manfaat Penulisan
Bagi Masyarakat
Pembuatan makalah jurnal reading ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
masyarakat mengenai teknik baru untuk splinting trauma gigi anterior atau bagian
dentoalveolar sehingga dapat menjadi dasar pertimbangan dalam memilih perawatan untuk
meminimalisirkan kerugian pada kesehatan rongga mulut.
Bagi Penulis
Manfaat penelitian bagi penulis adalah menambah pengetahuan tentang teknik baru
untuk splinting trauma gigi anterior atau bagian dentoalveolar sehingga dapat berguna pada
masa klinik.
3
Bagi Ilmu Pengetahuan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.1.2 Klasifikasi Truma Oklusi
Trauma oklusi dapat diklasifikasikan berdasarkan:2
1. Berdasarkan durasi penyebab diklasifikasikan atas trauma oklusi akut dan kronis
Trauma oklusi akut terjadi akibat tekanan oklusal yang tiba-tiba seperti saat
menggigit benda keras. Selain itu, restorasi atau protesa yang mengganggu atau
mengubah arah tekanan oklusal pada gigi dapat menyebabkan trauma akut. Trauma
akut menyebabkan nyeri pada gigi, sensitivitas terhadap perkusi, dan meningkatnya
mobilitas gigi. Trauma kronis terjadi akibat perubahan bertahap pada oklusi karena
keausan gigi, gerakan drifting dan ekstrusi gigi dikombinasikan dengan kebiasaan
parafungsional seperti bruxism dan clenching
2. Berdasarkan sumber penyebab diklasifikasikan atas trauma oklusi primer dan
sekunder
Trauma oklusi primer disebabkan oleh perubahan tekanan oklusal. Trauma oklusi
primer terjadi jika trauma oklusi dianggap sebagai faktor etiologi primer pada
destruksi periodontal dan ketika hanya perubahan lokal gigi yang terkena tekanan
tersebut berasal dari oklusi. Contohnya cedera periodontal di daerah sekeliling gigi
yang sebelumya memiliki jaringan periodonsium normal setelah
a) tambalan yang terlalu tinggi;
b) penempatan protesa yang menyebabkan tekanan berlebihan pada gigi
penyangga atau antagonisnya;
c) gerakan drifting atau ekstrusi gigi ke ruang kosong karena adanya gigi
hilang dan tidak diganti;
d) pergerakan ortodonti terhadap gigi sehingga menyebabkan perubahan
posisi fungsional gigi
Trauma oklusi sekunder terjadi ketika ketika kapasitas adaptif jaringan yang
menahan tekanan oklusal mengalami gangguan akibat kehilangan tulang karena
proses inflamasi pada jaringan periodontal. Kondisi tersebut akan mengurangi level
perlekatan periodontal dan mengubah pengaruh dari jaringan pendukung yang ada.
Jaringan periodonsium menjadi rentan terhadap cedera dan kemampuannya menahan
tekanan oklusal yang sebelumnya normal menjadi trauma
6
Ketiga kondisi yang berbeda dari tekanan oklusal yang berlebihan dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Periodonsium normal dengan ketinggian tulang normal
2. Periodonsium normal dengan kehilangan tulang
3. Periodontitis marginal dengan kehilangan tulang
Gambar 1 Tekanan oklusal dapat terjadi pada A. Periodonsium normal dengan ketinggian tulang normal. B.
Periodonsium normal dengan kehilangan tulang. C. Periodontitis marginal dengan kehilangan tulang
Gambar 1 menunjukkan kondisi pertama merupakan contoh dari trauma oklusi primer,
sedangkan kondisi kedua dan ketiga adalah contoh trauma oklusi sekunder.2
7
Gambar 1: Gambaran radiografis trauma karena oklusi
8
Digoyangkan dengan ibu jari dan telunjuk terasa tapi tidak terlihat klinis,
dan
termasuk normal karena adanya membran periodontal.
2. Derajat II: Dapat dirasakan adanya kegoyangan gigi secara horizontal dan tidak lebih
dari 1mm
Digoyangkan dengan jari terasa dan terlihat. Kerusakan tulang baru
mencapai 1/3 cervical akar gigi.
3. Derajat III: Kegoyangan gigi lebih dari 1 mm ke segala arah atau berotasi baik
horizontal maupun vertikal.
Gigi dapat digoyangkan dengan lidah secara horizontal maupun vertikal
atau secara fasiolingual dan mesiodistal. Kerusakan tulang mencapai 1/3
apikal akar gigi
Secara klinis, kegoyangan gigi terjadi akibat berkurangnya tulang alveolar, adanya
pelebaran ligament periodontal atau merupakan manifestasi kombinasi dari keduanya yang
disebabkan oleh penyakit periodontal. Kegoyangan gigi dapat diatasi dengan menghilangkan
penyebabnya, terutama bakteri yang berkembang dengan pemberian antibiotik,
menghilangkan faktor predisposisi, berupa trauma oklusi dan Tindakan pembedahan untuk
dilakukan regenerasi tulang dengan pemberian graft atau guided tissue regeneration.
Pemeriksaan mobilitas dapat dilakukan dengan menekan salah satu sisi gigi yang
bersangkutan dengan alat atau ujung jari dengan jari lainnya terletak pada sisi yang
berseberangan dan gigi tetangganya yang digunakan sebagai titik pedoman. Cara lain untuk
memeriksa mobilitas adalah menempatkan jari pada permukaan fasial gigi dengan pasien
mengoklusikan gigi-geliginya. Derajat mobilitas gigi dikelompokkan sebagai berikut:4
c. Grade 3. Pergeseran labiolingual lebih dari 1 mm, mobilitas gigi ke atas dan ke bawah
(aksial) Mobilitas gigi dinilai dari sisi statis dan dinamis. Tekanan diberikan ke gigi dengan
menggunakan benda keras menunjukkan pergerakan dengan evaluasi visual dan taktil.
9
akan diperiksa dapat digerakkan kearah labial-lingual atau bukal-lingual atau labial-palatal
atau bukal-palatal untuk pengukuran kegoyangan arah horizontal. Gigi juga dapat diukur
kegoyangan arah vertical dengan menekan bagian oklusal gigi dengan menggunakan gagang
instrument kearah apikal.4
2.3 Splinting
Splinting adalah alat yang digunakan untuk mendukung jaringan periodonsium yang
lemah serta bertujuan untuk memberikan sandaran terhadap jaringan pendukung gigi selama
proses penyembuhan setelah cedera atau proses pembedahan. Splinting juga membantu gigi
dalam melakukan fungsinya, ketika gigi dan jaringan pendukungnya tidak dapat berfungsi
secara adekuat. Splinting pada gigi merupakan salah satu perawatan terhadap gigi mobiliti
memiliki berbagai bentuk. Splinting dalam bentuk lepasan ataupun cekat yang dapat dibuat
dari bahan tambalan komposit, akrilik, kawat, ataupun kombinasi bahan komposit dengan
fiber memiliki keuntungan dan kerugian yang berbeda serta di indikasikan untuk tujuan yang
berbeda5
10
digunakan bila kapasitas adaptasi periodonsium telah dilampaui dan derajat kegoyangan gigi
tidak kompatibel dengan fungsi pengunyahan. Kegoyangan gigi dapat dibedakan menjadi
beberapa tingkatan, yaitu grade I bila terdapat gerakan ke arah bukolingual kurang dari 1mm,
grade II bila terdapat gerakan arah bukolingual sejauh 1-2mm, dan grade III bila gerakan
lebih dari 2 mm arah bukolingual dan atau terdapat gerakan vertikal-oklusal.5
Indikasi splinting7:
11
f. Dilakukan pada kasus satu atau lebih kegoyangan gigi dimana
tindakan ekstraksi dan implant bukan merupakan alternatif perawatan.
g. Pencegahan kegoyangan gigi pasca perawatan orthodontic
h. Pencegahan kegoyangan gigi baik imobilisasi atau replacement
pada kasus trauma akut seperti subluksasi dan avulse
Kontraindikasi splinting6:
Gambar 3: Continuous wire splinting pada bagian labial dan lingual dengan simpul wire pada
bagian interproksimal.
12
Gambar 4: Discontinuous wire splinting jika terdapat diastema lebih dari 2 mm.
Teknik yang dapat digunakan untuk removable wire ligature splinting adalah sebagai
berikut:8,9
1. Teknik Essig
13
Teknik Essig merupakan teknik yang menggunakan kawat minor dengan diameter
0,25 mm dan kawat mayor dengan diameter 0,3 mm untuk gigi anterior yang mengalami
kegoyangan dan tidak terdapat diastema. Bahan yang dibutuhkan, yaitu stainless steel wire,
stopper, monomer dan polimer.
2. Teknik Ivy Loop (Teknik Eyelet)
Teknik ivy loop merupakan teknik yang digunakan pada gigi posterior dan hanya
menggunakan satu kawat mayor.
3. Teknik Twisted
Teknik twisted merupakan teknik yang digunakan pada gigi yang terdapat diastema
dan hanya menggunakan satu kawat mayor dengan diameter 0,3 mm. Pada bagian gigi yang
terdapat diastema, kawat dipilin hingga bagian distal gigi sebelahnya.
14
Gambar 8 External acrylic splinting.
Internal Acrylic Splinting
Preparasi splinting menyerupai inlay dengan jumlah gigi yang dipreparasi
menyesuaikan. Ditengah-tengah gigi yang dipreparasi diberikan stainless steel dan diisi
dengan self cured acrylic.8,9
15
Acrylic Crown Splinting
Biasa digunakan untuk gigi anterior. Gigi yang akan dibuatkan splinting dipreparasi
seperti jacket crown, kemudian splinting disementasikan pada gigi yang telah dipreparasi.8,9
Composite Splinting
Composite splinting merupakan salah satu temporary splinting paling sederhana yang
dapat digunakan dalam keadaan darurat. Permukaan gigi yang mengalami kegoyangan
diaplikasikan bahan etsa, bonding, dan komposit.8,9
Fiber Splinting
Indikasi dari fiber splinting adalah sebagai berikut: 8.9
1. Untuk mencegah kegoyangan gigi pasca trauma akut.
2. Mencegah pergeseran gigi setelah kehilangan gigi sebelahnya.
3. Sebagai pengganti gigi yang hilang (menggunakan composite pontic).
4. Sebagai perawatan trauma oklusi sekunder untuk memberikan stabilitas fungsional.
5. Cross splinting pada restorasi yang luas di daerah gigi posterior.
6. Untuk retensi ortodontik pasca endodontik.
16
Orthodontic band
Orthodontic band merupakan salah satu bentuk temporary splinting yang digunakan
sebagai splinting pada daerah gigi posterior. Stainless steel band dipasangkan pada gigi
posterior, tepi band dipoles sehingga mampu mengurangi retensi plak dan iritasi jaringan
lunak. 8,9
17
Penggunan permanent splinting pada umumnya dikaitkan dengan protesa. Splinting
ini dapat dibuat beberapa bulan pasca perawatan periodontal dan harus memperhatikan
intonasi pasien. Jenis-jenis permanent splinting adalah sebagai berikut: 8,9
Perawatan splinting pada kasus kegoyangan gigi harus dilakukan dengan baik dan
benar.10 Pemeriksaan jaringan periodontal dan oklusal, diagnosis oral, serta teknik splinting
yang tidak tepat dapat menyebabkan kesalahan prosedur splinting dan kegagalan perawatan
periodontal.11
18
Syarat splinting yang baik yaitu12:
Tahap splinting12:
a) Isolasi daerah kerja dengan gulungan kapas
b) Potong kawat sesuai panjang yang dibutuhkan, lengkungkan membentuk jepitan
rambut. Kawat ini merupakan kawat mayor
c) Letakan kawat mayor mengelilingi gigi yang dipilin dari distal gigi 33 sampai dengan
gigi penyangga terakhir yaitu gigi 44. Kawat diletakan di daerah lingkar terbesar dari
gigi. Ujung kawat bagian labial dan lingual paling distal gigi penyangga terakhir
dipilin bersama searah jarum jam
d) Potong kawat minor kurang lebih 10 cm. Masukan kawat minor ke proksimal gigi dari
bagian labial kearah lingual di bawah kawat mayor. Lalu dari bagian lingual kawat di
tekuk dan dimasukan ke proksimal gigi ke bagian labial dan diletakan diatas kawat
mayor.
e) Pilin kawat minor searah jarum jam di bagian labial, sambil ditarik ke labial,
kencangkan lalu sisakan 2-3 mm dari ujung interdental. Pastikan tidak ada kawat yang
longgar. Pilin dan kencangkan juga ujung dari kawat mayor.
f) Sisa pilinan kawat minor ditekan kearah oklusal dengan amalgam stopper agar tidak
menggangu jaringan sekitarnya.
g) Etsa gigi 33-44 dengan asam phosporik 30% selama 15 detik, bilas dengan air dan
keringkan.
h) Aplikasi bonding agent disinar selama 10 detik.
19
i) Aplikasikan komposite diatas wire dan bentuk dengan plastic filling Lakukan
penyinaran masing-masing gigi selama 20 detik.
j) Penyinaran dilakukan bertahap pada masing-masing gigi, dengan cara membatasi
sinar dengan semen spatel yang ditekan ke interdental gigi.
Instruksi pasca splinting12:
a) Pasien di instruksikan untuk melakukan gerakan mengigit dan mengunyah tanyakan
apakah ada bagian yang mengganjal/kurang nyaman.
b) Pasien di instruksikan untuk tidak makan dan minum, meludah/berkumur selama satu
jam setelah pemasangan splinting
c) Oral hygiene instruction
Kontrol setelah 1 minggu
Kriteria Inklusi :
-Fraktur dento-alveolar
Kriteria Eksklusi :
20
Gambar (1): Pembuatan Splinting CCAR pada model cetakan gigi
Gambar (2): Pasien trauma dento-alveolar. A- Keadaan pra operasi pada trauma Dento-
alveolar, B - C Aplikasi splinting CCAR pada gigi yang mengalami trauma. D – E
Melanjutkan adaptasi splinting CCAR . F - 21 hari setelah pelepasan plat
HASIL PENELITIAN
Dari total 46 pasien yang dilakukan perawatan, 44 pasien berusia 6-12 tahun
mengalami trauma pada bagian dentoalveolar anterior rahang atas yang membutuhkan
perawatan dengan fiksasi, dan 2 pasien berusia 17 dan 19 tahun melakukan prosedur operatif
osteotomi ortognatik untuk memundurkan rahang atas (Gambar 3), splinting dilepas 14 hari
(untuk trauma gigi) hingga 21 hari (untuk trauma dentoalveolar) setelah fiksasi.
21
Gambar 3. Pasien osteotomi. A. Pasien wanita 17 tahun dengan splinting akrilik setelah
osteotomi bagian anterior. B. Pasien wanita 19 tahun dengan splinting akrilik setelah
osteotomi bagian anterior.
Penerimaan prosedur: pasien, sebagian besar anak-anak, menerima prosedur saat aplikasi
dan selama periode fiksasi tanpa resistensi pada anak-anak terhadap aplikasi. Anak-anak tetap
tenang tanpa rasa sakit atau ribut selama aplikasi dan manipulasi bahan meskipun tidak
dilakukan anestesi agar tidak terjadi gangguan saat proses makan.
Splinting lepas: hanya 2 splinting (4.3%) lepas 2 hari setelah pemasangan splinting, karena
adaptasi yang buruk.
Keberhasilan dan kegagalan: sebuah kasus dirawat 2 hari paska trauma, dengan gigi insisif
sentral atas kiri goyang, tetapi gagal merespon fiksasi (2.1%) setelah dilakukan splinting
selama 14 hari. Sebanyak 2 kasus memiliki kegoyangan tingkat 1 dan diedukasi untuk makan
yang cair dan lunak selama 2 minggu ke depan, dengan gigi yang bersangkutan keluar dari
22
beban kunyah pada kedua kasus, seluruh kasus-kasus lainnya menunjukkan gigi yang stabil
dan normal setelah periode perawatan.
Kebersihan mulut dan kesehatan gingiva: seluruh pasien memiliki riwayat kemerahan
ringan pada gingiva setelah splinting dilepas, tidak terdapat manifestasi klinis inflamasi
gingiva yang signifikan.
Susunan gigi setelah fiksasi: seluruh bagian dentoalveolar yang dirawat melewati periode
fiksasi yang dibutuhkan dengan tingkat oklusi normal.
Waktu aplikasi: waktu untuk melakukan splinting berkisar 3-5 menit, yaitu waktu untuk
menunggu akrilik menjadi set.
Penggunaan anestesi: 3 kasus dari total sampel membutuhkan anestesi lokal infiltrasi untuk
mengoreksi gigi anterior yang mengalami malposisi ke arah palatal sehingga mengganggu
oklusi.
BAB III
PEMBAHASAN
23
digunakan bila kapasitas adaptasi periodonsium telah dilampaui dan derajat kegoyangan gigi
tidak kompatibel dengan fungsi pengunyahan.
1) Splinting sementara yang dibuat dengan menggunakan kawat pada gigi anterior
sebelum prosedur pembedahan sampai dua atau tiga bulan pasca pembedahan dan dipasang
dalam waktu yang terbatas. Splinting ini tidak boleh dipasang lebih dari 6 bulan, sebab bila
mobilitas gigi belum a/dekuat maka dibutuhkan splinting permanen
2) Splinting semi permanen atau splinting diagnostik yang dapat dipertahankan dalam
waktu yang tidak terbatas untuk memberi kesempatan perbaikan jaringan periodontal dan
pada kegoyangan gigi dengan prognosis yang meragukan,
3) Splinting permanen adalah splinting yang digunakan dalam waktu yang lama bila
splinting sementara dan splinting semi permanen tidak menunjukan kemajuan.
Dalam penelitian ini yang telah dilakukan oleh Tawfeeq BT, Al-Rawee RY, Sultan
BM pada tahun 2019 mengatakan bahwa peneliti mencoba untuk mencatat hal-hal sebagai
berikut: Penerimaan prosedur yang dilakukan yaitu apakah pasien menerima atau menolak
pemasangan plat selama periode fiksasi. Kemudian, didapat yitu Splinting drop down
merupakan jenis splinting baru ini bergantung pada cara mekanis untuk retensi dan stabilitas
tanpa menggunakan bahan kimia atau penyemenan, yang memerlukan tindak lanjut yang
cermat dan hati-hati untuk mencatat penurunan alat. Adapun terdapat Keberhasilan dan
kegagalan yaitu peneliti mencatat hasil pasca-stabilisasi dari gigi yang rusak untuk
memastikan efektivitas prosedur.
Selain itu, kebersihan mulut dan kesehatan gingiva untuk mewujudkan kesehatan
jaringan gingiva setelah aplikasi plat, peneliti mencatat perubahan inflamasi klinis pada
gingiva selama dan setelah periode stabilisasi. Kemudian, Penyesuaian oklusi setelah fiksasi
yaitu peneliti mencoba memantau secara klinis keselarasan oklusal sebelum dan sesudah
stabilisasi. Waktu aplikasi yang telah dilakukan adalah waktu prosedur perawatan merupakan
faktor penting untuk mengevaluasi integritas keseluruhan plat ini. Adapun faktor yang
memengaruhi seperti Pengaruh panas pada saat plat mengeras yaitu pembentukan panas pada
saat pengaturan cold-cured, dapat mempengaruhi keefektifan hasil perawatan. Selain itu,
diperhatikan peneliti Instruksi selama stabilisasi dengan pasien dan orang tua diinstruksikan
untuk menjaga kebersihan mulut sebersih mungkin, mencuci mulut setiap hari, mulai makan
24
secara oral, dan tetap dipasang bila plat jatuh. Setelah itu, Pelepasan plat dan kontrol jangka
pendek dengan cara dua hingga tiga minggu kemudian, area yang difiksasi diperiksa dan plat
dilepas dengan bur, dengan membuat groove di sepanjang tepi insisal dan atau oklusal lalu
dilepas perlekatan gigi dengan plat, kemudian pasien dirujuk ke dokter gigi anak untuk
perawatan gigi lebih lanjut.
BAB IV
KESIMPULAN
Mobilitas gigi merupakan tanda klinis yang sering menyertai inflamasi ataupun
cedera pada gingiva dan tulang pendukung gigi. Terjadinya mobilitas pada gigi
25
menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan pasien sewaktu mengunyah. Splinting adalah
suatu jenis perawatan untuk menstabilkan atau mengencangkan gigi-gigi yang goyang
akibat suatu injuri atau penyakit periodontal. Pemilihan alternatif splinting periodontal
hendaknya lebih memelihara kebersihan mulutnya karena alat splinting bisa menjadi
DAFTAR PUSTAKA
1. Tawfeeq BT, Al-Rawee RY, Sultan BM. New Technique For Splinting
Traumatized. Al – Rafidain Dent J Vol. 19, No1, 2019:19:(1):80-89
26
2. Maizar PO, Suprianto K. Identifikasi Penyebab Kegagalan Dan Aplikasi Fiber
Reinforced Composite Pada Splinting. Andalas Dental Journal. 2018:1:(1):106-
115
3. Ambarawati IGAD. Penatalaksanaan Mobilitas Gigi Dengan Splinting Fiber
Komposit. Medicina. 2019:50(2): 226-229
4. Marselly L. Splinting pada periodontitis kronik generalis. Program Study
Kedokteran gigi Fakultas Kedokteran Sriwijawa, Palembang, 2017:1:(1):1-9
5. Djais AI, Adhawanty, Eri Hendra Jubhari EH, Alfrida Pasangallo A, Nurmasyta.
The Role Of Denture As Periodontal Splinting. Makassar Dental Journal.
2021:10:(2): 119-121
6. Krismariono A. A Simple Way to Splinting Teeth : A Case Report. The 4th
Periodontics seminar (Perios IV). 2019:1:(1):107-110
7. Aulia Damayanti A, Kurnia S. Pendekatan Bidang Ortodontik-Periodontik Pada
Perawatan Migrasi Gigi Patologi. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas
Padjadjaran. November 2020:32(1):78-84
8. Bernal G, Carvajal J. A review of the clinical management of mobile teeth. JCDP.
2002; 3(4): 10-22.
9. Kathariya R, Devanoorkar A, Golani R, Bansal N, Vallakatla V, Bhat MYS. To
splinting or not to splinting – the current status of periodontal splinting. J Int Acad
Periodontol. 2016; 18(2): 45-56.
10. Ichwana DL. Fiber composites as a method of treatment splinting tooth mobility
in chronic periodontitis. J Dentomaxillofac Sci. 2016; 1(3): 190-2.
11. Mangla C, Kaur S. Splinting – A dilemma in periodontal theraphy. IJRHS. 2018;
4(3): 76-82.
12. Cahyani I, Putri GG. Jurnal reading: Perawatan Splinting Wire pada Pasien
Periodontitis disertai Diabetes Melitus. Stomatognatic (J.K.G Unej) 2021:18:(2):
41-46
27