Anda di halaman 1dari 7

Nama : Merpin Bliker Sidabutar

NIM : 042416704
Mata Kuliah : PWKL4309/Perencanaan Wilayah
Jurusan : Perencanaan Wilayah dan Kota

Tugas 3:

1. a. Pengertian lain daya dukung lingkungan adalah kemampuan suatu tempat


dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu
yang panjang atau kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme
secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu wilayah .
Analisis daya dukung lingkungan merupakan suatu alat perencanaan pembangunan
yang memberikan gambaran hubungan antara penduduk, penggunaan lahan
dan lingkungan.

b. Beberapa manfaat dari adanya analisis daya dukung lingkungan antara lain adalah :

- Untuk mengetahui apakah suatu wilayah pertanian masih mampu

mendukung kebutuhan pokok penduduk dengan melihat  pertumbuhan

penduduk tersebut.

- Untuk mengambil langkah yang perlu dilakukan dengan melihat point

pertama di atas.

- Untuk memberikan informasi kepada para perencana pembangunan atau

pihak lain dalam rangka mengembangkan potensi penduduk dengan

aktivitas lain, terutama apabila daya dukung lahan sudah mulai berkurang

atau tidak seimbang dengan jumlah penduduk yang ada.

- Secara langsung maupun tidak, dapat digunakan sebagai bahan untuk

mensosialisasikan dan mengembangkan tingkat kesadaran berbagai

pihak mengenai pentingnya menjaga kelestarian lingkungan melalui

sistem pemanfaatan lahan yang sesuai dengan peruntukannya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis daya dukung

merupakan salah satu alat analisis perencanaan pembangunan yang penting dalam

konteks pembangunan berkelanjutan yang dapat digunakan oleh pengambil


kebijakan ketika akan melakukan proses pembangunan. Hal ini penting dalam

rangka melihat dan memprediksikan keseimbangan antara tingkat kebutuhan

manusia terhadap lahan dengan tingkat pertumbuhan penduduk.

c. Hitunglah nilai kemampuan lahan untuk aktivitas pertanian di Kabupaten Brebes!

Interpretasikan hasilnya :

A xr
CCR=
HxhxF

Keterangan :

CCR : kemampuan daya dukung


A : jumlah total area yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian
r : frekuensi panen/ha/thn
H : jumlah KK
h : persentase jumlah penduduk yang ada di sector pertanian
F : ukuran lahan pertanian yang wajar tiap keluarga petani.
Interpretasi :

Dengan melihat hasil perhitungan kemampuan daya dukung di 17 kecamatan

diatas, dimana semua hasilnya adalah setiap kecamatan >1. Berarti dilihat

berdasarkan kuantitas lahannya, wilayah tersebut masih memiliki kemampuan untuk

mendukung kebutuhan pokok penduduk dan masih mampu menerima tambahan

penduduk. Pembangunan masih dimungkinkan bersifat ekspansif dan eksploratif

lahan.
2. a. MSA atau multi sektor analisis menurut Roberts dan Stimson (1998) adalah teknik

analisa kualitatif yang menilai (assess) faktor-faktor pada daya saing yang

berkontribusi pada pengembangan wilayah.

Stimson, Stough, and Roberts (2005) mengemukakan Multi Sector Analysis (MSA)

adalah metode analisis yang digunakan untuk menilai daya saing dan resiko pada

suatu industri atau wilayah di masa mendatang. Jadi, MSA merupakan teknik

analisis kualitatif yang menilai faktor-faktor daya saing dan resiko yang akan terjadi

pada suatu wilayah di masa yang akan datang atau masa depan.

Multi sektor analisis atau MSA memiliki beberapa manfaat yaitu, untuk mengetahui

faktor dan industri apa saja yang berkontribusi untuk keunggulan kompetitif,

mengetahui kekuatan dan kelemahan dari sektor, serta untuk mengidentifikasi suatu

hubungan dan interdependensi dari faktor-faktor yang mendukung.

b. - Lembaga adat seperti sambat-sinambat dan bentuk solidaritas gotong royong lain

hendaknya dihidupkan kembali bukan semata untuk mendukung kelancaran

kegiatan proyek-proyek pemerintah semata melainkan juga untuk mendorong

terciptanya rasa kolektivitas. Budaya tradisional dan kegiatan gotong royong yang

difungsikan kembali sejauh mungkin harus mendorong terciptanya kemandirian dan

menghindari ketergantungan antara warga satu dengan yang lain.

- Memperhatikan dan dilakukan demi kepentingan masyarakat desa atau berpusat

pada rakyat. Hal itu dilakukan dengan upaya menciptakan kondisi struktur mata

rantai perdagangan yang mampu menjamin hak warga masyarakat desa setempat.

- Dilakukan untuk mendukung berfungsinya kembali mekanisme redistributif yang

bermanfaat untuk mengeliminasi terjadinya polarisasi dan beban hidup warga desa

miskin yang makin berat, misalnya dengan menghidupkan kembali lumbung desa.

- Diarahkan untuk mendongkrak kembali berfungsinya mekanisme kontrol sosial

dilingkungan desa. Semangat yang terkandung dalam lembaga rembug desa

hendaknya ditransformasikan kembali dengan konteks kembali untuk mengeliminasi

dan mencegah timbulnya dominasi perilaku aparat yang berlebihan.


3. Isu strategis atau Permasalahan :

Kota-kota kecil di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan selama


periode 2000-2010. Namun demikian, berkembangnya kota-kota kecil ini belum sejalan
dengan perkembangan cara pengelolaan kota dan kawasan perkotaan. Ada
kecenderungan pengelolaan kota-kota kecil belum menjadi perhatian serius pemerintah
daerah, khususnya pada kawasan perkotaan yang tidak mempunyai status
pemerintahan kota yang otonom. Penelitian ini menganalisis pengelolaan kota-kota
kecil di Jawa Tengah dengan mengambil kasus di empat kota kecil pada wilayah
koridor Joglosemar (YogyakartaSurakarta-Semarang). Penelitian ini dilakukan dengan
metode kualitatif yang memadukan telaah dokumen, wawancara, dan analisis regulasi
yang berhubungan dengan pengelolaan perkotaan. Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa terdapat kesenjangan antara perkembangan kota dengan
pengelolaan perkotaan. Pengelolaan kota juga masih sangat bertumpu kepada
pemerintah, meskipun terdapat permasalahan dalam kapasitas kelembagaan
pengelolaan pembangunan kotanya.

Solusi Pemecahannya :

Beberapa kegiatan wawancara dilakukan sebagai upaya melengkapi dan memperoleh


informasi tambahan. Wawancara dilakukan untuk menggali informasi, pengalaman,
serta problematika pengelolaan perkembangan kota. Dalam penelitian ini, wawancara
bukan menjadi instrumen pokok dalam penelitian ini karena sifatnya hanya melengkapi
hasil kajian dokumen dan analisis data sekunder. Wawancara dilakukan terhadap
pelaku pokok pembangunan pada tingkat kecamatan, yaitu Kepala Kecamatan atau
Camat. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur dan dalam prakteknya juga
melibatkan aparatur lain pada tingkat pemerintahan kecamatan, seperti Sekretaris
Kecamatan dan Kasi Pembangunan. Selain wawancara, pengumpulan data juga
dilkaukan melalui pengamatan terhadap proses perumusan kebijakan dalam forum
Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) tingkat kecamatan. Kegiatan
ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui permasalahan aktual yang terjadi di
kota-kota kecil dalam unit amatan. Penggalian informasi melalui pengamatan terhadap
kegiatan Musrenbang yang dilakukan di empat kecamatan pada kurun waktu Februari
2016. Analisis pengelolaan perkotaan dilakukan dengan teknik kualitatif melalui telaah
dokumen, yang meliputi dokumen rencana dan dokumen regulasi yang menjadi basis
normatif pengelolaan perkotaan. Kajian ini dilengkapi dengan pendalaman terhadap
informasi yang diperoleh dari proses Musrenbang dan wawancara terhadap pimpinan
pemerintahan tingkat kecamatan. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pengelolaan perkotaan yang terjadi dalam praktek.

Pada saat sekarang, pola pengelolaan perkotaan kecil di wilayah Joglosemar masih
sangat bergantung kepada pemerintah kabupaten. Bahkan pada aspek perencanaan
tata ruang perkotaan, peranan pemerintah pusat juga dominan karena menjadi penentu
proses dan produk perencanaannya. Peran masyarakat lokal dan pemerintah
kecamatan di mana kawasan perkotaan kecil itu berada masih sangat kecil, kecuali
pada beberapa hal yang berkaitan dengan urusan administrasi yang didelegasikan
kepada pemerintah kecamatan. Dengan pendekatan yang demikian itu, pengelolaan
perkotaan cenderung seragam antara satu kota dengan kota lainnya. Keseragaman ini
dimulai dari proses perencanaan tata ruang, di mana prosedur yang dipakai di dalam
praktek perencanaan telah dibakukan, tidak saja dari sisi substansi rencananya tetapi
juga cara analisis dan prosedur penetapan rencana menjadi dokumen peraturan yang
mengikat. Pendekatan perencanaan statutori dengan model perencanaan
komprehensif atau sinoptik ini berpotensi untuk menghilangkan elemen kelokalan yang
menjadi penciri kota kecil. Di samping itu, perencanaan komprehensif bisa tidak sesuai
dengan kebutuhan pengembangan kota kecil. Berbeda dengan kota besar atau
metropolitan, pengembangan kota kecil tidak memerlukan gagasan perencanaan yang
bersifat grand design karena fungsi pokoknya sebagai pusat permukiman hanya
membutuhkan arahan tertentu untuk menfungsikan kota sebagai tempat pemenuhan
kebutuhan dasar bagi warganya. Selain kebutuhan dasar tersebut, elemen penting dari
perencanaan yang dibutuhkan kota kecil adalah fasilitas dan prasarana pendukung
yang memperkuat fungsinya sebagai kota perantara, khususnya bagi pengembangan
kawasan perdesaan di sekitarnya.

Sumber :
- Penulis : 1.Jawoto Sih Setyono; 2. Hadi Sabari Yunus;
3. Sri Rum Giyarsih
- Tahun Terbit : 2017
- Sumber Tulisan : Jurnal Tataloka PENGELOLAAN KOTA-KOTA KECIL DI
JAWA TENGAH: STUDI KASUS PADA EMPAT KOTA KECIL DI WILAYAH
JOGLOSEMAR
https://www.researchgate.net/publication/318611478_PENGELOLAAN_KOTA-
KOTA_KECIL_DI_JAWA_TENGAH_STUDI_KASUS_PADA_EMPAT_KOTA_KE
CIL_DI_WILAYAH_JOGLOSEMAR

Anda mungkin juga menyukai