Anda di halaman 1dari 12

Prespektif Teori Ecofeminism terhadap Pasal-Pasal Kontroversi

tentang Lingkungan dalam Undang-Undang Cipta Kerja

Lanina Aprilia Kamil

2122011053

Abstrak

UU Cipta kerja dianggap memberi keuntungan kepada para pengusaha


tetapi tidak memperhatikan akibatnya terhadap lingkungan, terdapat kontroversi
dalam UU Cipta Kerja, seperti persoalan proses penyusunan AMDAL, perubahan
mengenai mekanisme keberatan atas AMDAL sampai syarat dokumen yang diubah
yaitu mengenai saran masukan serta tanggapan dari masyarakat. Isu lingkungan
hidup secara otomatis melekat pada perempuan karena lingkungan hidup dan
perempuan memiliki kesamaan, yaitu sama-sama dieksploitasi. Budaya tersebut
menempatkan perempuan layaknya objek yang tidak memiliki ‘hak istimewa’ apa
pun, sehingga sangat valid argumennya bahawa isu lingkungan adalah isu feminis.
Persoalan lingkunga harus dilihat denga posisi teori yang kritis dalam hal ini
merujuk pada ecofeminisme. Penulisan ini bersifat deskriptif analitis dengan
pendekatan normative.
Berdasarkan hasil analisis Ecofeminisme lahir melalui paradigma radical dalam
aliran social and political ecology akan tetapi ecofeminisme tidak sepenuhnya
berada pada posisi social and political. pasal-pasal kontroversi dari UU Cipta Kerja,
ketentuan-ketentuan tersebut masih menganggap alam sebagai objek dan bukan
subjek dan justru tidak sejalan atau bahkan menghalangin beberapa prinsip
ecofeminism. Secara keseluruhan UU Cipta Kerja dalam prespektif ecofeminis
masih berada pada paradigma house yang bersifat antroposentris, berpotensi untuk
mendorong terjadinya maldevelopment.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Undang-Undang Cipta kerja yang telah disah kan menuai banyak polemik dan
perdebatan, penting untuk diketahui mengenai hukum apa saja yang termasuk
kedalam hukum lingkungan, pada dasarnya terdapat rumpun hukum lingkungan
hidup yang melingkupi hukum administrasi, hukum kehutanan, hukum
pertambangan, hukum perizinan, hukum pengairan, hukum tata ruang, hukum
sumber daya alam, hukum Kesehatan, dan hukum lingkungan internasional
perdebatan mengenai persoalan lingkungan, banyak orang mulai dari civil
society sampai para akademisi berpendapat bahwa UU Cipta kerja memberi
keuntungan kepada para pengusaha tetapi tidak memperhatikan akibatnya
terhadap lingkungan.

Data dari WALHI menunjukan 61,46 persen daratan untuk investasi yang terdiri
dari pertambangan migas 86 juta hektar, sektor kehutanan 33 juta hektar, kelapa
sawit 11 juta hektar, dan 14,04 persen lautan untuk investasi, lalu data dari
Kementrian LHK luas hutan Indonesia 94,1 juta hektar yang berarti 50,1 persen
dari total daratan, dan desforestasi 2018-2019 462,4 ribu hektar. 1 Melihat
kondisi Indonesia, maka dirasa sangat penting untuk lebih memperhatikan
dampak dari adanya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terhadap
lingkungan.

Makalah ini memfokuskan perhatian kepada beberapa persoalan dalam UU


Cipta kerja, pertama adalah proses penyusunan Amdal, baik UU Ciptaker
maupun UU PPLH sama-sama mengatur mengenai keterlibatan masyarakat.
Namun, ketentuan dalam UU Ciptaker mempersempit definisi masyarakat.
Masyarakat yang dimaksud dalam UU PPLH adalah masyarakat yang terkena
dampak; pemerhati lingkungan hidup; dan/atau yang terpengaruh atas segala
bentuk keputusan dalam proses Amdal, sedangkan dalam UU Ciptaker,


1 KompasTV, Benarkah Kelestarian Alam dan Lingkungan Bakal Terancam di UU Cipta Kerja?
Ini Penjelasannya, diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=l8LLcjPQj5k, pada 8 april
2022, pukul 01:43
masyarakat yang dimaksud adalah hanya masyarakat yang terkena dampak
langsung,2 kedua adalah perubahan mengenai mekanisme keberatan atas
Amdal. UU PPLH menyediakan ruang bagi masyarakat yang keberatan dengan
dokumen Amdal untuk dapat mengajukan keberatan atau upaya hukum,
sedangkan dalam UU Ciptaker tidak diatur mengenai mekanisme keberatan atas
Amdal. UU Ciptaker menghapus ketentuan mengenai mekanisme keberatan
tersebut, yaitu dengan menghapus ketentuan mengenai komisi penilai Amdal
yang dalam diatur dalam Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 UU PPLH, ketiga
adalah UU Ciptaker mengubah ketentuan Pasal 25 huruf c tentang berkas yang
harus ada dalam dokumen Amdal.3 Salah satu syarat dokumen yang diubah
yaitu mengenai saran masukan serta tanggapan dari masyarakat. Dalam UU
PPLH diatur bahwa dokumen Amdal salah satunya harus memuat saran
masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan
teradap rencana usaha/kegiatan,4 sedangkan dalam UU Ciptaker, saran masukan
serta tangapan dari masyarakat (tidak harus masyarakat yang terkena dampak
langsung).

Persoalan mengenai lingkungan merupakan persoalan yang sangat penting,


maka dari itu harus dilihat dari prespektif yang tajam, isu lingkungan hidup
secara otomatis melekat pada perempuan karena lingkungan hidup dan
perempuan memiliki kesamaan, yaitu sama-sama dieksploitasi. Budaya tersebut
menempatkan perempuan layaknya objek yang tidak memiliki ‘hak istimewa’
apa pun, sehingga sangat valid argumennya bahawa isu lingkungan adalah isu
feminis.


2 Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Izin Lingkungan Hidup UU Ciptaker,
diakses dari https://leip.or.id/diskusi-publik-izin-lingkungan-hidup-uu-ciptaker, pada 8 April 2022,
pukul 01:51
3 Undang-Undang Cipta Kerja pasal 25 huruf c tentang berkas AMDAL
4 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup
Ecofeminisme sebagai bentuk lain dari feminisme, hadir sebagai suatu paham
yang menghubungkan keterkaitan antara perempuan dan alam. Istilah ini
pertama kali muncul pada tahun 1974 oleh seorang feminis asal Perancis,
Françoise d’Eaubonne, dalam bukunya Le Féminisme ou La Mort.5 Terdapat
paradigma lingkungan yang menjadi dasar dari beberapa teori tentang
lingkungan yang salah satunya adalah ecofeminis, paradigma tersebut tentu
menjadi penting untuk melihat apa motif sebenarnya dari teori yang
mengadopsi paradigma tersebut, maka dari itu perlu untuk mengkategorikan
posisi ecofeminime dalam paradigma utama dari teori lingkungan.

B. Rumusan Masalab
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis merumuskan dua
persoalan yang akan di bahas dalam makalah ini, yaitu :
1. Paradigma apa yang digunakan ecofeminisme dalam spektrum
paradigma lingkungan mainstream ?
2. Bagaimana prespektif teori ecofeminisme dalam pasal-pasal kontroversi
Undang-Undang Cipta Kerja ?
C. Metode Penulisan
Penulisan ini bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan normative
hukum yang menggunakan sumber sekunder yang berupa peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup, teori hukum dan lingkungan dan
pendapat ahli hukum.


5 Hanifah Aulia, Ekofeminis: Perempuan dan Lingkungan Menurut Vandana Shiva, diakses dari
https://ibtimes.id/ekofeminisme-perempuan-dan-lingkungan-ala-vandana-shiva, pada 8 April 2022,
Pukul 02:03
II. PEMBAHASAN
A. Posisi Ecofeminisme dalam Paradigma Lingkungan Mainstream

Teori arus utama etika lingkungan, dalam kerangka yang dibuat oleh Karren G
Warrant beberapa teori utama etika lingkungan dikelompokan untuk
mempermudah mengetahui bagaimana paradigma teori-teori etika lingkungan
tersebut, yang pertama terdapat paradigma house, dalam paradigma house ini
terdapat teori yang dalam filsafat disebut sebagai teori konsekwensional dan
non-konsekwensional6 yang berdasarkan etika merupakan suatu tindakan yang
mengandung suatu konsekwensi dan terdapat suatu tindakan yang tidak selalu
ada konsekwensinya tetapi suatu tindakan itu terdapat kewajiban atau dalam
pandangan Immanuel kant disebut sebagai tuntutan moralitas,7 dengan kata lain
tindakan dikatakan benar karena pelaku yang melakukan tindakan tersebut
merasa apa yang dilakukan itu benar shingga kebenaran suatu tindakan tidak
dinilai dari konsekwensi, dalam paradigma ini tindakan terhadap alam dianggap
terdapat akibat dan juga terdapat kewajiban akan tetapi akibat dan kewajiban
tersebut diperuntukan untuk dirinya sendiri dalam hal ini adalah manusia,
sehingga dapat dikatakan bahwa paham house ini masih bersifat antroposentris,
alam atau lingkungan disini masih dilihat sebagai objek atau instrumental yang
bisa menguntungkan manusia sehingga dalam paradigma ini sangat minim
tanggung jawab moral manusia pada non-manusia

Paradigma kedua adalah paradigma reformist, paradigma ini menganggap


bahwa sebagian yang non-manusia bisa diberi status moral, non-manusia dalam
hal ini adalah seperti binatang, karena binatang dianggap memiliki perasaan
yang dimana kemudian argument ini menjadi dasar petter singer menulis
bukunya yang berjudul animal liberation dan menjelaskan mengapa binatang
itu berhak memiliki status moral,8 akan tetapi petter singer belum berfikir
apakah status moral tersebut dapat diberikan kepada tumbuhan, jadi paradigma
reformist ini manganggap bahwa seandainya terdapat kemampuan untuk


6 Karren J Warrant, Ecological Feminist Perspective, (Blommingtoon: Indiana University Press,
1996)
7 Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif : Prinsip-Prinsip Teoritis Untuk Mewujudkan

Keadilan Dalam Hukum dan Politik, (Bandung: Nusa Media, 2009)


8 Peter Singer, Animal Liberation, (United States: Harper Collins, 1975)
merasakan sakit itu artinya kita harus mempertimbangkan segi moral untuk
objek tersebut. Paradigma ketiga terdapat paradigma mixed reform dan house,
dalam paradigma ini terdapat perkembangan karena paradigma ini membuat
perluasan batasan kepentingan moral, sehingga bukan hanya binatang yang
dianggap punya hak untuk diberi status moral, tetapi tanah, air dan tumbuhan,
paradigma ini mengedepankan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas
biotik, keempat adalah paradigma radical atau non-house yang dimana
paradigma ini sama sekali menolak ketiga paradigma sebelumnya atau menolak
secara telak anggapan bahwa alam, binatang atau lingkungan ada objek, dalam
paradigma radical ini terdapat beberapa aliran yaitu aliran deep ecology yang
menganggap bahwa yang non-manusia adalah benar-benar subjek,9 selain deep
ecology terdapat juga aliran bioregionalism, ini adalah pemahaman yang
mengatakan bahwa dimanapun kita berada kita harus memahami sekaligus
menghormati lingkungan, masyarakat, dan budaya yang ada disana, aliran ini
termasuk kedalam paradigma radical karena aliran ini beranggapan bahwa tidak
ada yang boleh memiliki suatu tempat atau dengan kata lain hak milik ivdividu
untuk usatu tempat ataua wilayah itu tidak diakui dalam aliran ini, lalu selain
dua aliran tersebut juga ada aliran social political ecology yang dilepopori oleh
Murray Bookchin, aliran ini menganggap bahwa perjuangan-perjuangan
lingkungan adalah perjuangan-perjuangan hak, perjuangan untuk menentang
dominasi,10 dari aliran social political ecology ini lah mulai lahir ekofeminisme,
karena pergerakan social political ecology dilihat sebagai persoalan sosial dan
bagi aliran ini alam merupakan konstruksi sosial

Kendati ecofeminisme muncul dari social political ecology akan tetapi


ecofeminisme tidak sepenuhnya termasuk pada aliran social political ecology
karena ecofeminisme juga memberi kritik terhadap pemikiran Murray
Bookchin yang masih mendefinisikan dominasi dan penindasan belum
berdasarkan unsur gender, kemudian juga ecofeminisme memberi kritik
terhadap aliran deep ecology karena ecofeminisme menganggap bahwa

9 Arne Naess, “A Deffence of the Deep Ecology Movement”, Enviromental Ethic, No.6 Vol.3
(1984):265
10 Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy,

(United States: Cheshire Books, 1982)


persoalannya bukan tentang hal yang transcendental atau teologis tetapi
persoalannya adalah mengenai adanya ketidakadilan, adanya dominasi, adanya
penindasan dan exploitasi terhadap alam dan perempuan

B. Prespektif Ecofeminisme dalam UU Cipta Kerja

Definisi masyarakat dalam keterlibatan proses penyusunan AMDAL di UU


PPLH mencakup banyak pihak diantaranya adalah masyarakat terdampak,
pemerhati lingkungan hidup, dan segala yang terpengaruh dalam proses
keputusan amdal, akan tetapi UU Cipta Kerja mempersempit definisi
masyarakat tersebut dengan menetapkan hanya masyarakat yang terdampak,
dalam prepektif ecofeminism perubahan tersebut tentu bertentangan dengan
prinsip equality, pada dasarnya memang masyarakat terdampaklah yang benar-
benar touch the earth atau bersentuhan langsung dan mempunyai pengalaman
basah dalam persoalan tersebut, akan tetapi keputusan untuk menetapkan
definisi masyarakat dengan hanya dengan masyarakat yang terdampak justru
hal tersebut menodai kesetaraan pengetahuan pihak lain untuk ikut serta dalam
proses penyusunan AMDAL, hal ini akan sangat berpotensi menghasilnya
AMDAL yang justru tidak ramah lingkungan karena kekurangan pengetahuan
tentang pengelolaan lingkungan, jelas hal tersebut bertentangan dengan etika
lingkunga (Enviromentalisme Ethic).

Undang-undang merupakan produk hukum yang suatu saat perlu penyesuaian


akan tetapi penyesuaian ini harus lebih baik dan kompatibel dengan dinamika
yang mengharuskan adanya penyesuaian. UU cipta kerja menghapus ketentuan
mengenai mekanisme keberatan dengan menghapus ketentuan mengenai
komisi penilai Amdal yang dalam diatur dalam Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31
UU PPLH, ketentuan tersebut menutup adanya perubahan dan penyesuaian,
sedangkan alam dan lingkungan memiliki sifat yang dinamis dan tidak statis,
pengajuan keberatan diperuntukan untuk mengubah apa yang sebelumnya
sebagai upaya pembaharuan yang lebih efektif, ecofeminisme berprinsip bahwa
alam harus keluar dari keterjebakan antroposentris, ketentuan mengenai
dihapusnya mekanisme keberatan mengenai AMDAL tentu menghalangi alam
untuk keluar dari jeratan antroposentris bila terjadi. Dampak apabila terjadi
exploitasi atau pelanggaran hukum, bukan hanya faktor ekologis yang
mengalami kerugian tetapi faktor ekonomis juga dan menyebabkan hukum
tidak dapat ditegakkan sebagaimana mestinya, apabila perusahaan di tutup dan
dicabut izinnya maka aka nada puluhan atau ratusan buruh akan kehilangan
pekerjaan. 11

UU PPLH diatur bahwa dokumen Amdal salah satunya harus memuat saran
masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung, akan tetapi
dalam UU cipta kerja tidak diharuskan masyarakat yang terkena dampak,
dengan kata lain masukan serta tanggapan dapat diwakilkan oleh orang yang
tidak terkena dampak langsung, masukan serta tanggapan masyarakat
merupakan hal yang penting sebagai syarat dokumen AMDAL sehingga
masyarakat yang mengalami harus terlibat untuk membuat masukan serta
tanggapan mengenai dokumen AMDAL untuk mengetahui seluruh variable
yang mempengaruhi sebagai bahan pertimangan, apabila masyarakat yang
terdampak tidak ikut serta dalam memberi masukan serta tanggapan atau
diwakilkan oleh masyarkat yang tidak mengalami langsung maka hal tersebut
berpotensi mengurangi kualitas masukan serta tanggapan karena yang tidak
terkena dampak tidak mempunyai a history atau pengalam yang sama dengan
masyarakat yang mengalami langsung, jadi masyarakat terdampak dan pihak
terkait harus diwajibkan untuk memberi saran masukan serta tanggapan
mengenai AMDAL.

Ecofeminism menuntut kehidupan sebagai sesuatu yang aktif, interaktif,


proaktif, relasional, dan kontekstual antara manusia dan alam untuk
menghasilkan otherness sebagai yang setara, hal itu hanya akan terjadi apabila
seluruh variable mengenai lingkungan dipertimbangkan dalam AMDAL.
Kendati terdapat penegakan hukum tetapi penegakan hukum lingkungan


11 Eka Deviani, “Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap Analisis Dampak Lingkungan
(AMDAL) Reklamasi Pantai di Kota Bandar Lampung”, Fiat Justitia Jurnal Hukum, No.1 Vol.6
(Januari-April 2012):327-328
mengedepankan asas ultimum remedium, dengan kata lain hukum pidana
merupakan sarana terakhir dan mengutamakan sarana hukum administrasi. 12

Ecofeminisme sosiopolitik menurut Vandana Shiva berfokus pada


maldevelopment yang diartikan sebagai pembangunan yang bententangan
dengan prinsip ekologi feminis,13 ketiga bahasan diatas mengenai UU cipta
kerja dapat dikatakan berpotensi untuk mendorong terjadinya maldevelopment.
Lebih jauh lagi Marry Mellor yang mengatakan bahwa budaya patriarki bukan
hanya soal dominasi budaya, tetapi juga dominasi ekonomi dan materi, hal ini
tentu berkaitan dengan apa yang dikatakan Vandana Shiva mengenai
maldevelopment, adanya dominasi ekonomi dan meteri cenderung mendorong
terjadinya maldevelopment, terlebih lagi memang UU cipta kerja ini bertujuan
untuk mempermudah investasi, hal ini senada melanggengkan apa yang disebut
Maria Mies sebagai kombinasi antara kapitalis dan patriarki (Capitalist
Patriarchy).14

III. PENUTUP
A. Kesimpulan dan Saran

Ecofeminisme lahir melalui paradigma radical dalam aliran social and political
ecology akan tetapi ecofeminisme tidak sepenuhnya berada pada posisi social
and political yang dimaksud oleh Murray Bookchin, ecofeminism justru
memberi kritik terhadap tiga aliran yang berada pada paradigma radical
tersebut karena belum mengadaptasi unsur pemikiran gender. Terdapat enam
prinsip ecofeminisme, yaitu, pertama kehidupan sebagai yang aktif, interaktif,
proaktif, relasional, dan kontekstual, kedua alam harus keluar dari keterjebakan
moral antroposentris, ketiga alam selalu hadir dalam kondisi manusia, keempat
hubungan non-hierarkis antara alam dan manusia, kelima hubungan non-


12 Mashuril Anwar, “Paradigma Holistik kontradiksi Asas Ultimum Remedium Terhadap Asas
Legalitas dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan”, Administrative and Enviromental Law
Review, No.3 Vol.1 (18 mei 2020):46-47
13 Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India, (New Delhi: Indraprastha

Press, 1988)
14 Maria Mies, “Ecofeminism”, Feminist Review, No,49 (1995):86
dominasi hieraki adalah kontruksi sosial, dan keenam “otherness” sebagai yang
setara

Berdasarkan prespektif ecofeminism, pasal-pasal kontroversi dari UU Cipta


Kerja, ketentuan-ketentuan tersebut masih menganggap alam sebagai objek dan
bukan subjek dan justru tidak sejalan atau bahkan menghalangin beberapa
prinsip ecofeminism. Secara keseluruhan UU Cipta Kerja dalam prespektif
ecofeminis masih berada pada paradigma house yang bersifat antroposentris,
bila dikaitkan dalam ranah teori hukum lingkungan produk undang-undang
cipta kerja masih berorientasi pada hukum lingkungan klasik, yang berorientasi
pada penggunaan lingkungan (Use-Oriented Law). Pemerintah harus segera
merubah orientasinya pada hukum lingkungan modern yang merupakan hukum
lingkungan berorientasi pada lingkungan (environment-oriented law), dalam
hukum lingkungan modern ini pendekatan yang digunakan adalah ekosentris
atau dengan kata lain dimaksudkan untuk melestarikan kemampuan lingkungan
yang serasi dan seimbang.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bookchin Murray, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of


Hierarchy, (United States: Cheshire Books, 1982)

Karren J Warrant, Ecological Feminist Perspective, (Blommingtoon: Indiana


University Press, 1996)

Kelsen Hans, Dasar-Dasar Hukum Normatif : Prinsip-Prinsip Teoritis Untuk


Mewujudkan Keadilan Dalam Hukum dan Politik, (Bandung: Nusa Media, 2009)

Shiva Vandana, Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India, (New
Delhi: Indraprastha Press, 1988)

Singer Peter, Animal Liberation, (United States: Harper Collins, 1975)

Artikel/Website

KompasTV, Benarkah Kelestarian Alam dan Lingkungan Bakal Terancam di UU


Cipta Kerja? Ini Penjelasannya, diakses dari https://www.youtube.com/watch?v
=l8LLcjPQj5k, pada 8 april 2022, pukul 01:43

Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Izin Lingkungan Hidup UU


Ciptaker, diakses dari https://leip.or.id/diskusi-publik-izin-lingkungan-hidup-uu-
ciptaker, pada 8 April 2022, pukul 01:51

Hanifah Aulia, Ekofeminis: Perempuan dan Lingkungan Menurut Vandana Shiva,


diakses dari https://ibtimes.id/ekofeminisme-perempuan-dan-lingkungan-ala-
vandana-shiva, pada 8 April 2022, Pukul 02:03
Jurnal dan Produk Hukum

Eka Deviani, “Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap Analisis Dampak


Lingkungan (AMDAL) Reklamasi Pantai di Kota Bandar Lampung”, Fiat Justitia
Jurnal Hukum, No.1 Vol.6 (Januari-April 2012):327-328

Mashuril Anwar, “Paradigma Holistik kontradiksi Asas Ultimum Remedium


Terhadap Asas Legalitas dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan”,
Administrative and Enviromental Law Review, No.3 Vol.1 (18 mei 2020):46-47

Maria Mies, “Ecofeminism”, Feminist Review, No,49 (1995):86

Arne Naess, “A Deffence of the Deep Ecology Movement”, Enviromental Ethic,


No.6 Vol.3 (1984):265

Undang-Undang Cipta Kerja pasal 25 huruf c tentang berkas AMDAL

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan


dan pengelolaan lingkungan hidup

Anda mungkin juga menyukai