Anda di halaman 1dari 7

Untuk Apa Kamu Hidup?

Ari Wahyudi, S.Si. Updated: 15 September 2020 1 Comment

 Share on Facebook
 Share on Twitter

Bismillah.

Sebagai manusia, kita tentu menyadari bahwa waktu yang Allah berikan kepada
kita di alam dunia ini sangat berharga. Sampai-sampai orang barat yang kafir
pun punya semboyan ‘time is money’ yaitu waktu adalah uang. Itu menurut
mereka, yang memiliki target dan cita-cita dunia semata.
Adapun bagi orang beriman, waktu ini ibarat pedang bermata dua. Ia bisa
menebas musuh atau justru melukai dan mencelakakan diri kita sendiri. Bukan
salah waktunya, tetapi kesalahan ada pada manusia yang tidak pandai
memanfaat waktu untuk kebaikan dan kebahagiaan. 

Allah Ta’ala berfirman,

‫ت‬ َّ ٰ ‫ِين َءا َم ُنو ْا َو َع ِملُو ْا ٱل‬


>ِ ‫صل ٰ َِح‬ َ ‫ ِإاَّل ٱلَّذ‬ ٢ ‫نس َ>ن َلفِي ُخ ۡس ٍر‬ ۡ ‫َو ۡٱل َع‬
َ ٰ ‫ ِإنَّ ٱِإۡل‬ ١ ‫ص ِر‬
َ ‫اص ۡو ْا ِب ۡٱل َح ِّق َو َت َوا‬
٣ ‫ص ۡو ْا ِبٱلص َّۡب ِر‬ َ ‫َو َت َو‬
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr : 1-3)

Imam Al-Qurthubi menukil tafsiran Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud al-’Ashr
adalah ad-Dahr/waktu atau masa (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 22/463)

Imam al-Baghawi menukil tafsiran sebagian ulama tentang maksud Allah


bersumpah dengan waktu, yaitu disebabkan pada waktu itu terdapat pelajaran
bagi setiap orang yang memperhatikan (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 1431)

Kerugian itu akan dialami manusia ketika tidak mengisi kehidupan ini dengan
iman dan amal salih. Imam Ibnu Katsir menjelaskan maksud dari ayat tersebut
bahwa Allah mengecualikan orang-orang yang beriman dengan hatinya dan
beramal salih dengan anggota badannya dari kerugian dan kehancuran. Mereka
yang saling menasihati dalam ketaatan dan meninggalkan keharaman. Demikian
pula mereka yang bersabar ketika tertimpa musibah dan sabar tatkala
menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dari segala bentuk
gangguan (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8/480)

Dengan begitu seorang muslim memahami tujuan hidupnya di alam dunia ini.
Sebagaimana yang telah diterangkan Allah dalam ayat (yang artinya),

َ ‫ت ۡٱل ِجنَّ َوٱِإۡل‬


ِ ‫نس ِإاَّل لِ َي ۡع ُب ُد‬
‫ون‬ ُ ‫َو َما َخ َل ۡق‬
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Ibadah kepada Allah tujuan hidup kita. Banyak orang lupa atau pura-pura lupa.
Inilah sebenarnya tujuan hidup mereka. Bukan sekedar mengumpulkan harta,
mengejar kesenangan dunia tanpa peduli hukum agama, atau menjual agama
demi menjilat recehan dunia. Hidup ini ujian dari Allah bagi kita; apakah kita mau
patuh kepada-Nya atau justru membangkang. Allah berfirman (yang artinya),

‫ت َو ۡٱل َح َي ٰو َ>ة لِ َي ۡبلُ َو ُكمۡ َأ ُّي ُكمۡ َأ ۡح َس ُ>ن َع َماٗل ۚ َوه َُو ۡٱل َع ِزي ُز ۡٱل َغفُو ُر‬
َ ‫ٱلَّذِي َخ َل َق ۡٱل َم ۡو‬
“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian;
siapakah diantara kalian yang lebih bagus amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2)

Ibadah kepada Allah adalah modal kebahagiaan hamba. Kebahagiaan yang


didambakan setiap insan. Kebahagiaan yang abadi di akhirat nanti. Oleh sebab
itu Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, tiada
penghidupan sejati kecuali penghidupan akhirat.” (HR. Bukhari)

Kebahagiaan berjumpa dengan Allah dan melihat wajah-Nya. Itu hanya akan
dapat digapai dengan iman dan amal salih ikhlas karena-Nya. Allah berfirman,

‫ان َي ۡرجُو ْا لِ َقٓا َء‬ َ ‫ِۖد َف َمن َك‬ٞ ‫ه ٰ َوح‬ٞ ‫ُوح ٰ ٓى ِإ َليَّ َأ َّن َمٓا ِإ ٰ َل ُه ُكمۡ ِإ ٰ َل‬
َ ‫ر م ِّۡثلُ ُكمۡ ي‬ٞ ‫قُ ۡل ِإ َّن َمٓا َأ َن ۠ا َب َش‬
‫صل ِٗحا َواَل ي ُۡش ِر ۡك ِب ِع َبا َد ِة َر ِّب ِهۦٓ َأ َح ۢ َدا‬ َ ٰ ‫َر ِّبهِۦ َف ۡل َي ۡع َم ۡل َع َماٗل‬
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya,
hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam
beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi : 110)

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi menjelaskan, “Harapan itu disertai dengan


mengerahkan kesungguhan dan bertawakal dengan sebaik-baiknya. Namun ia
berubah menjadi angan-angan tatkala upayanya dilakukan dengan bermalas-
malasan.” (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 59) 

Kehidupan seorang hamba di alam dunia ini adalah dengan ilmu dan keimanan.
Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan ilmu dan
petunjuk yang beliau bawa seperti curahan air hujan yang membasahi bumi.
Adapun berjalan dengan kaki, memungut dengan tangan, dan mengeluarkan
suara dengan lisan, maka hewan pun bisa melakukan. Karena itulah sebagian
ulama terdahulu mengatakan, “Kalau bukan karena para ulama -setelah taufik
dari Allah tentu saja- niscaya manusia tidak ada bedanya dengan binatang.”

Hidup untuk beribadah kepada Allah artinya adalah tunduk patuh kepada
perintah dan larangan-Nya. Mujahid menafsirkan maksud ‘kecuali supaya
mereka beribadah kepada-Ku’ yaitu ‘supaya Aku perintah dan Aku larang
mereka’, dan inilah tafsiran yang dipilih oleh Syaikhul Islam (lihat Ibthal at-
Tandid bi Ikhtishar Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 8)
Allah berfirman dalam ayat lain (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah
Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-
mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21). Syaikh Muhammad bin Shalih al-
Utsaimin menjelaskan bahwa hakikat takwa adalah memasang perlindungan dari
azab Allah dengan melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-
larangan-Nya (lihat Ahkam minal Qur’an al-Karim, 1/113)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, pada saat-saat pandemi masih


berkecamuk seperti sekarang ini kita bisa melihat bersama ada orang-orang
yang taat dengan protokol dan arahan para ahli dan pemerintah dalam
mencegah penularan wabah. Di sisi lain, ada juga orang-orang yang abai dan
tidak peduli dengan aturan dan tidak peka dengan keadaan. Akibatnya, bisa kita
lihat bagaimana wabah di negeri ini pun semakin membuncah. Ini baru soal
aturan dunia yang berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia. Bagaimana lagi
dengan aturan agama; yang itu menjaga keselamatan manusia di dunia dan di
akhirat. Bukankah tidak sedikit orang yang abai dan tidak mematuhinya?

Memang, ujian itu akan menampakkan kepada kita bagaimana sifat dan karakter
manusia. Mereka yang beriman dan tunduk kepada Allah akan membuktikan
imannya dan ketaatannya kepada hukum agama. Sebaliknya, mereka yang
beribadah kepada Allah di pinggiran; apabila tertimpa musibah maka ia pun
berbalik ke belakang meninggalkan keimanan, wal ‘iyadzu billah. 

Allah berfirman,

ۡ ‫صا َبهُۥ َخ ۡي ٌر‬


‫ٱط َمَأنَّ ِب ِهۦۖ َوِإ ۡن‬ َ ‫ف َفِإ ۡن َأ‬ ٖ ۖ ‫اس َمن َي ۡع ُب ُد ٱهَّلل َ َع َل ٰى َح ۡر‬ ‫َوم َِن ٱل َّن‬
ِ
>ُ ‫ك ه َُو ۡٱل ُخ ۡس َر‬
‫ان‬ َ ِ‫ب َع َل ٰى َو ۡج ِههِۦ َخسِ َر ٱل ُّد ۡن َيا> َوٱأۡل ٓخ َِر ۚ َة ٰ َذل‬ >َ ‫صا َب ۡت ُه ف ِۡت َن ٌة ٱن َق َل‬
َ ‫َأ‬
ُ‫ۡٱلم ُِبين‬
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang beribadah kepada Allah di tepian.
Apabila menimpanya kebaikan dia pun merasa tenang dengannya. Akan tetapi
apabila menimpanya fitnah/ujian maka dia pun berpaling ke belakang. Dia pun
merugi dunia dan akhirat, dan itulah kerugian yang sangat nyata.” (QS. Al-Haj :
11)

Para ulama tafsir, diantaranya Qatadah dan Mujahid menafsirkan bahwa yang
dimaksud beribadah kepada Allah di tepian yaitu di atas keragu-raguan.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini
adalah orang munafik. Apabila urusan dunianya baik maka dia pun beribadah
tetapi apabila urusan dunianya rusak maka dia pun berubah. Bahkan pada
akhirnya dia pun kembali kepada kekafiran. Mujahid menafsirkan ‘berpaling ke
belakang’ maksudnya adalah menjadi murtad dan kafir (lihat Tafsir al-Qur’an
al-’Azhim, 5/400-401).

Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Sebagian manusia apabila terkena


fitnah/cobaan-cobaan maka dia pun menyimpang dari agamanya, hal itu
disebabkan dia sejak awal tidak berada di atas pondasi yang benar -dalam
beragama, pent-…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hal. 10) 

Beliau juga menjelaskan, “Fitnah-fitnah ini apabila datang maka manusia


menghadapinya dengan sikap yang berbeda-beda. Ada diantara mereka yang
tetap tegar di atas agamanya walaupun dia harus mendapati kesulitan-kesulitan
bersama itu, dan ada pula orang yang menyimpang; dan mereka yang semacam
itu banyak…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hal. 11)

Hasan Al-Bashri menjelaskan termasuk golongan orang yang beribadah kepada


Allah di tepian itu adalah orang munafik yang beribadah kepada Allah dengan
lisannya, tetapi tidak dilandasi dengan hatinya (lihat Tafsir al-Baghawi, hal.
859-860)

Syaikh As-Sa’di menafsirkan bahwa termasuk cakupan ayat ini adalah orang
yang lemah imannya. Dimana imannya itu belum tertanam di dalam hatinya
dengan kuat, dia belum bisa merasakan manisnya iman itu. Bisa jadi iman
masuk ke dalam dirinya karena rasa takut -di bawah tekanan- atau karena
agama sekedar menjadi adat kebiasaan sehingga membuat dirinya tidak bisa
tahan apabila diterpa dengan berbagai macam cobaan (lihat Taisir al-Karim ar-
Rahman, hal. 534)

Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya


menyebutkan firman Allah,

‫اب مِن مُّصِ ي َب ٍة ِإاَّل بِِإ ۡذ ِن ٱهَّلل ِۗ َو َمن ي ُۡؤم ِۢن ِبٱهَّلل ِ َي ۡه ِد َق ۡل َب ُهۥۚ َوٱهَّلل ُ ِب ُك ِّل‬
َ ‫ص‬َ ‫َمٓا َأ‬
‫ِيم‬ٞ ‫َش ۡي ٍء َعل‬
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke
dalam hatinya.” (at-Taghabun : 11).

Alqomah -seorang ulama tabi’in- mengatakan, “Ayat ini berkenaan dengan


seorang yang tertimpa musibah; dia mengetahui bahwa musibah datang dari sisi
Allah, maka dia pun ridha dan pasrah.” Diantara faidah ayat itu ialah sabar
menjadi sebab datangnya hidayah ke dalam hati, selain itu diantara balasan bagi
orang yang sabar adalah mendapatkan tambahan hidayah (lihat al-
Mulakhkhash fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 278) 
Dari Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apabilah Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya maka
Allah segerakan untuknya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman itu akibat dosanya
sampai Allah sempurnakan hukumannya nanti di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi dan
Baihaqi, dinyatakan sahih oleh al-Albani).

Dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya adanya musibah-musibah


adalah salah satu cara menghapuskan dosa-dosa. Selain itu dengan adanya
musibah akan membuat orang kembali dan bertaubat kepada Rabbnya. Bahkan
dihapuskannya dosa-dosa itu merupakan salah satu bentuk nikmat yang paling
agung, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah (lihat Ibthal at-Tandid, hal. 175).

Allah berfirman (yang artinya),

 ‫ َو َل َق ۡد َف َت َّنا‬٢ ‫ون‬ >َ ‫ب ٱل َّناسُ َأن ي ُۡت َر ُك ٓو ْا َأن َيقُولُ ٓو ْا َءا َم َّنا َوهُمۡ اَل ي ُۡف َت ُن‬ َ ِ‫َأ َحس‬
٣ ‫ين‬ >َ ‫ص َدقُو ْا َو َل َي ۡع َل َمنَّ ۡٱل ٰ َكذ ِِب‬
َ ‫ِين‬ َ ‫ِين مِن َق ۡبل ِِه ۡۖم َف َل َي ۡع َل َمنَّ ٱهَّلل ُ ٱلَّذ‬
َ ‫ٱلَّذ‬
“Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan begitu saja mengatakan ‘Kami
telah beriman’ kemudian mereka tidak diberi ujian? Sungguh Kami telah
memberikan ujian kepada orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui
siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang
pendusta.” (QS. Al-’Ankabut : 2-3)

Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin.
Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada
kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka
dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa
kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan
untuknya.” (HR. Muslim)

Sabar yang dipuji ada beberapa macam: [1] sabar di atas ketaatan kepada Allah,
[2] demikian pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah, [3] kemudian
sabar dalam menanggung takdir yang terasa menyakitkan. Sabar dalam
menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi perkara yang diharamkan itu
lebih utama daripada sabar dalam menghadapi takdir yang terasa
menyakitkan… (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 279)

Ketundukan seorang hamba kepada Allah dibuktikan dengan ketundukan dirinya


terhadap perintah dan larangan Allah. Pengagungan seorang mukmin terhadap
perintah dan larangan Allah merupakan tanda pengagungan dirinya kepada
pemberi perintah dan larangan. Sebuah ketundukan yang harus dilandasi
dengan keikhlasan dan kejujuran. Ketundukan yang dibangun di atas akidah
yang lurus dan bersih dari kemunafikan akbar. Karena bisa jadi seorang
melakukan perintah karena ingin dilihat orang. Atau karena mencari kedudukan
di mata mereka. Atau dia menjauhi larangan karena takut kedudukannya jatuh
dalam pandangan mereka. Maka orang yang semacam ini ketundukannya
kepada perintah dan larangan bukan berasal dari pengagungan kepada Allah;
Yang memberikan perintah dan larangan itu (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal.
15-16)

Diantara cara paling efektif untuk menumbuhkan pengagungan kepada Allah


adalah mempelajari dan mengamalkan konsekuensi dari nama dan sifat Allah.
Sebagaimana disebutkan oleh Kamilah Al-Kiwari bahwa ilmu tentang nama Allah
dan sifat-sifat-Nya, pemahaman makna dan pengamalan terhadap
tuntutan/konsekuensinya serta berdoa kepada Allah dengan nama-nama
itu/asma’ul husna akan membuahkan pengagungan kepada Allah di dalam hati,
munculnya penyucian dan kecintaan kepada-Nya, harap dan takut, tawakal dan
inabah kepada-Nya. Dengan cara inilah seorang bisa merealisasikan tauhid di
dalam sanubari dan terwujudlah ketenangan jiwa tunduk kepada keagungan
Allah jalla wa ‘ala (lihat al-Mujalla, hal. 22-23)

Sumber: https://muslim.or.id/58455-untuk-apa-kamu-hidup.html

Anda mungkin juga menyukai