Share on Facebook
Share on Twitter
Bismillah.
Sebagai manusia, kita tentu menyadari bahwa waktu yang Allah berikan kepada
kita di alam dunia ini sangat berharga. Sampai-sampai orang barat yang kafir
pun punya semboyan ‘time is money’ yaitu waktu adalah uang. Itu menurut
mereka, yang memiliki target dan cita-cita dunia semata.
Adapun bagi orang beriman, waktu ini ibarat pedang bermata dua. Ia bisa
menebas musuh atau justru melukai dan mencelakakan diri kita sendiri. Bukan
salah waktunya, tetapi kesalahan ada pada manusia yang tidak pandai
memanfaat waktu untuk kebaikan dan kebahagiaan.
Allah Ta’ala berfirman,
Imam Al-Qurthubi menukil tafsiran Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud al-’Ashr
adalah ad-Dahr/waktu atau masa (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 22/463)
Kerugian itu akan dialami manusia ketika tidak mengisi kehidupan ini dengan
iman dan amal salih. Imam Ibnu Katsir menjelaskan maksud dari ayat tersebut
bahwa Allah mengecualikan orang-orang yang beriman dengan hatinya dan
beramal salih dengan anggota badannya dari kerugian dan kehancuran. Mereka
yang saling menasihati dalam ketaatan dan meninggalkan keharaman. Demikian
pula mereka yang bersabar ketika tertimpa musibah dan sabar tatkala
menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dari segala bentuk
gangguan (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8/480)
Dengan begitu seorang muslim memahami tujuan hidupnya di alam dunia ini.
Sebagaimana yang telah diterangkan Allah dalam ayat (yang artinya),
Ibadah kepada Allah tujuan hidup kita. Banyak orang lupa atau pura-pura lupa.
Inilah sebenarnya tujuan hidup mereka. Bukan sekedar mengumpulkan harta,
mengejar kesenangan dunia tanpa peduli hukum agama, atau menjual agama
demi menjilat recehan dunia. Hidup ini ujian dari Allah bagi kita; apakah kita mau
patuh kepada-Nya atau justru membangkang. Allah berfirman (yang artinya),
ت َو ۡٱل َح َي ٰو َ>ة لِ َي ۡبلُ َو ُكمۡ َأ ُّي ُكمۡ َأ ۡح َس ُ>ن َع َماٗل ۚ َوه َُو ۡٱل َع ِزي ُز ۡٱل َغفُو ُر
َ ٱلَّذِي َخ َل َق ۡٱل َم ۡو
“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian;
siapakah diantara kalian yang lebih bagus amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2)
Kebahagiaan berjumpa dengan Allah dan melihat wajah-Nya. Itu hanya akan
dapat digapai dengan iman dan amal salih ikhlas karena-Nya. Allah berfirman,
ان َي ۡرجُو ْا لِ َقٓا َء َ ِۖد َف َمن َكٞ ه ٰ َوحٞ ُوح ٰ ٓى ِإ َليَّ َأ َّن َمٓا ِإ ٰ َل ُه ُكمۡ ِإ ٰ َل
َ ر م ِّۡثلُ ُكمۡ يٞ قُ ۡل ِإ َّن َمٓا َأ َن ۠ا َب َش
صل ِٗحا َواَل ي ُۡش ِر ۡك ِب ِع َبا َد ِة َر ِّب ِهۦٓ َأ َح ۢ َدا َ ٰ َر ِّبهِۦ َف ۡل َي ۡع َم ۡل َع َماٗل
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya,
hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam
beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi : 110)
Kehidupan seorang hamba di alam dunia ini adalah dengan ilmu dan keimanan.
Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan ilmu dan
petunjuk yang beliau bawa seperti curahan air hujan yang membasahi bumi.
Adapun berjalan dengan kaki, memungut dengan tangan, dan mengeluarkan
suara dengan lisan, maka hewan pun bisa melakukan. Karena itulah sebagian
ulama terdahulu mengatakan, “Kalau bukan karena para ulama -setelah taufik
dari Allah tentu saja- niscaya manusia tidak ada bedanya dengan binatang.”
Hidup untuk beribadah kepada Allah artinya adalah tunduk patuh kepada
perintah dan larangan-Nya. Mujahid menafsirkan maksud ‘kecuali supaya
mereka beribadah kepada-Ku’ yaitu ‘supaya Aku perintah dan Aku larang
mereka’, dan inilah tafsiran yang dipilih oleh Syaikhul Islam (lihat Ibthal at-
Tandid bi Ikhtishar Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 8)
Allah berfirman dalam ayat lain (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah
Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-
mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21). Syaikh Muhammad bin Shalih al-
Utsaimin menjelaskan bahwa hakikat takwa adalah memasang perlindungan dari
azab Allah dengan melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-
larangan-Nya (lihat Ahkam minal Qur’an al-Karim, 1/113)
Memang, ujian itu akan menampakkan kepada kita bagaimana sifat dan karakter
manusia. Mereka yang beriman dan tunduk kepada Allah akan membuktikan
imannya dan ketaatannya kepada hukum agama. Sebaliknya, mereka yang
beribadah kepada Allah di pinggiran; apabila tertimpa musibah maka ia pun
berbalik ke belakang meninggalkan keimanan, wal ‘iyadzu billah.
Allah berfirman,
Para ulama tafsir, diantaranya Qatadah dan Mujahid menafsirkan bahwa yang
dimaksud beribadah kepada Allah di tepian yaitu di atas keragu-raguan.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini
adalah orang munafik. Apabila urusan dunianya baik maka dia pun beribadah
tetapi apabila urusan dunianya rusak maka dia pun berubah. Bahkan pada
akhirnya dia pun kembali kepada kekafiran. Mujahid menafsirkan ‘berpaling ke
belakang’ maksudnya adalah menjadi murtad dan kafir (lihat Tafsir al-Qur’an
al-’Azhim, 5/400-401).
Syaikh As-Sa’di menafsirkan bahwa termasuk cakupan ayat ini adalah orang
yang lemah imannya. Dimana imannya itu belum tertanam di dalam hatinya
dengan kuat, dia belum bisa merasakan manisnya iman itu. Bisa jadi iman
masuk ke dalam dirinya karena rasa takut -di bawah tekanan- atau karena
agama sekedar menjadi adat kebiasaan sehingga membuat dirinya tidak bisa
tahan apabila diterpa dengan berbagai macam cobaan (lihat Taisir al-Karim ar-
Rahman, hal. 534)
اب مِن مُّصِ ي َب ٍة ِإاَّل بِِإ ۡذ ِن ٱهَّلل ِۗ َو َمن ي ُۡؤم ِۢن ِبٱهَّلل ِ َي ۡه ِد َق ۡل َب ُهۥۚ َوٱهَّلل ُ ِب ُك ِّل
َ صَ َمٓا َأ
ِيمٞ َش ۡي ٍء َعل
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke
dalam hatinya.” (at-Taghabun : 11).
َو َل َق ۡد َف َت َّنا٢ ون >َ ب ٱل َّناسُ َأن ي ُۡت َر ُك ٓو ْا َأن َيقُولُ ٓو ْا َءا َم َّنا َوهُمۡ اَل ي ُۡف َت ُن َ َِأ َحس
٣ ين >َ ص َدقُو ْا َو َل َي ۡع َل َمنَّ ۡٱل ٰ َكذ ِِب
َ ِين َ ِين مِن َق ۡبل ِِه ۡۖم َف َل َي ۡع َل َمنَّ ٱهَّلل ُ ٱلَّذ
َ ٱلَّذ
“Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan begitu saja mengatakan ‘Kami
telah beriman’ kemudian mereka tidak diberi ujian? Sungguh Kami telah
memberikan ujian kepada orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui
siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang
pendusta.” (QS. Al-’Ankabut : 2-3)
Sabar yang dipuji ada beberapa macam: [1] sabar di atas ketaatan kepada Allah,
[2] demikian pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah, [3] kemudian
sabar dalam menanggung takdir yang terasa menyakitkan. Sabar dalam
menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi perkara yang diharamkan itu
lebih utama daripada sabar dalam menghadapi takdir yang terasa
menyakitkan… (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 279)
Sumber: https://muslim.or.id/58455-untuk-apa-kamu-hidup.html