Jurnal Imajinasi
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/imajinasi
Mujiyono 1
secara mentah-mentah dan asal tanpa ada Pada konteks tersebutlah, berdasarkan
penyesuaian dengan selera masyarakat dukungan data secara ilmiah melaui
yang terus berkembang dan berubah-ubah. penelitian dengan pendekatan Research
Menurut Gustami (2005: 10), banyak perajin and Development (R & D) yang dilaksanakan
saat ini dalam pengemasan cenderamata secara terstruktur dan tersistematis maka
asal menjiplak bentuk gaya modern yang telah dihasilkan beberapa desain kaos
menghilangkan karakteristik kelokalan yang berhasil mengeksplorasi berbagai
sehingga produk terkesan sangat mekanis kemungkinan komposisi bentuk simbol masa
dan keunikan seninya mulai pudar. lalu dan masa kini untuk diaktualisasikan
Oleh karena itu, inovasi adalah dalam gaya kontemporer. Pengembangan
kunci mutlak untuk diterapkan terhadap desain kaos bergaya kontemporer dalam
cenderamata agar desain menjadi lebih penelitian dilakukan melalui langkah
dinamis dan dapat diterima pasar. Salah satu penciptaan, perekayasaan, pengekplorasian
langkah inovasi tersebut, menurut penulis bentuk-bentuk desain kaos. Tahapan
adalah perlunya pengembangan desain pengembangan terdiri divergen, konvergen,
cenderamata ke dalam gaya kontemporer. dan muara akhir. Akhirnya melalui ketiga
Menurut Gustami (2005: 11), gaya tahap tersebut dihasilkan beberapa desain
kontemporer adalah sebuah kenderungan kaos. Dalam rangka memahami kualitas
dalam desain dan seni yang melihat bahwa estetika desain kaos yang telah berhasil
keberadaaan gejala masa lampau perlu diciptakan tersebut maka kajian secara
diterjemahkan sebagai the new world teoritik sangat diperlukan dalam memahami
culture yang memberi peluang dan harapan keunggulannya. Tujuan akhirnya adalah
positif terangkatnya kembali eksistensi terperolehnya pemahaman kualitas desain
seni-seni tradisional dalam memenuhi kaos yang dipertanggungjawabkan secara
tuntutan zaman, meskipun harus diolah ilmiah sehingga ketika diproduksi secara
dalam bentuk dan kemasan baru. Hal itu massal dapat turut serta meningkatkan
diperkuat pernyataan Soegiarty (2004) yang pendapatan para perajin dan penjual
menyatakan bahwa selera masyarakat akhir- cenderamata di obyek wisata religi
akhir ini memiliki kecenderungan menyukai Demak.
seni kontemporer yang menggunakan
ikon-ikon sebuah budaya tradisi baik PEMBAHASAN
untuk diambil dari nilai fisik maupun Sebagian besar kaos yang dijual di obyek
spiritualnya. Secara lebih lanjut, gaya wisata religi Demak adalah kaos yang
kontemporer menurut Piliang (2004: 12) bersubjek atau bergambar Masjid Agung
adalah sebuah gaya yang mengambil masa Demak dan Sunan Kalijaga di bagian depan
lalu untuk dirayakan secara politik citra dan kaos. Warna dasar atau background kaos
konsumsi. Salah satu cirinya adalah sering bervariasi dari yang polos hitam, biru,
mempertemukan berbagai idiom masa merah, putih dan lain sebagainya. Di
lalu dengan masa sekarang agar dihasilkan samping itu, ada beberapa kaos yang warna
kelucuan, kesegaran, dan terkadang parodi. dasarnya adalah warna pelangi. Desain kaos
Dengan demikian, gaya kontemporer sejalan berupa perpaduan gambar ikon dan tulisan
dengan mainstream selera dalam dunia seni identitas gambar yang diacu tersebut.
dan desain yang berkembang sekarang ini. Tulisannya lebih singkat dan sederhana.
Pada dasarnya manusia selalu berkeinginan Teks pendukung gambar tersebut berupa
dan rindu terhadap keindahan masa lampau tulisan “Masjid Agung Demak” dan “Sunan
yang sederhana, unik, dan manusiawi Kalijaga”. Gambar dan tulisan tersebut
(Cassirer, 1987). disablon dengan kualitas yang rendah dan
warna yang terbatas.
UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi X no 1 Januari 2016 23
Superman, Batman, Upin dan Ipin sebagai perkembangan baik secara ekstensifikasi
ikon masa sekarang. Desain didukung dan intensifikasi. Ketika sebuah kebudayaan
oleh subjek pendukung berupa teks yang diproduksi dalam ruang dan waktu yang
berupa teks populer untuk masa kini dan konkret, maka bagaimanapun juga dalam
teks populer untuk masa lalu sehingga ada proses penciptaan dan pengkajiannya akan
interaksi ganda antara gambar dan teks. melibatkan unsur-unsur budaya lainnya. Ia
Beberapa desain tersebut tentunya mesti berhubungan dan berdialog dengan
sangat menarik untuk dianalisis secara kebudayaan lainnya. Oleh karena itu, jika
semiotika postrukturalis atau berdasarkan dilakukan sebuah proses penafsiran maka
logika paham posmodern dalam rangka ketika terjadi proses signifikansi makna
menemukan kelogisan estetikanya. Hal suatu sign akan berhubungan dengan sign
ini penting untuk memperoleh landasan lainnya. Penyebabnya adalah makna sign
yang kuat ketika nanti desain-desain bukanlah innate meaning tetapi dihasilkan
tersebut diproduksi secara massal dalam lewat interaksi orang dalam komunitas atau
rangka pengembangan industri kreatif di historisasi (Sunardi, 2004).
obyek wisata kota Demak. Analisis lebih Hubungan signifier dan signified
difokuskan pada logika strategi atau metode akhirnya tidak hanya dapat terjadi dalam
yang dilakukan dalam upaya menghasilkan pembacaan tingkat pertama (denotasi) akan
desain kaos yang bergaya kontemporer. tetapi justru yang paling dahsyat adalah
Secara spesifik, penulis menggunakan logika pembacaan tingkat kedua (konotasi). Karena
atau strategi intertekstual, dekonstruksi, dalam pembacaan tingkat kedua ini akan
dan simulasi sebagap pondasi atau landasan dapat dihadirkan ribuan makna. Bahkan
teoritik dalam rangka memahami konsep makna akan dapat terus diproduksi tanpa
berkarya yang telah dilakukan oleh penulis henti. Persoalan jalinan makna ini semakin
terhadap desain kaos yang telah dibuat. unik karena proses kelahiran semiotika
postrukturalisme telah mendorong lahirnya
Intertekstual strategi untuk mengintertekstualisasikan
Secara umum semiotika struktural adalah antara berbagai signs yang sebelumnya
ilmu yang mempelajari tentang sign, dianggap tabu untuk disatukan.
berfungsinya sign, dan produksi makna. Sign
adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti
sesuatu yang lain. Seni sebagai sebuah
produk adalah sebuah sign yang terdiri
signifier dan signified. Signifer atau penanda
yaitu sesuatu yang berupa wujud fisik
verbal maupun non verbal. Signified atau
petanda yaitu acuan yang dimaksud oleh
penanda. Keduanya tidak bisa dipisahkan
tetapi suatu kesatuan utuh yang membentuk
sign. Intertekstual adalah reaksi terhadap Gambar 2. Kaos bergaya kontemporer
berpikir strukturalisme dalam kebudayaan. dengan menyilangkan atau menginterteks-
Strukturalisme seringkali membuat tualisasikan antara sistem kebudayaan lokal
pernyataan yang terlalu menyederhanakan dengan kebudayaan masa kini
bahwa kebudayaan merupakan relasi (Upin dan Ipin) dari Malaysia.
struktur bentuk dan makna, signifier dan
signified (Piliang, 2004). Konsep subject matter desain kaos
Akibat ada reaksi-reaksi tersebut, pada gambar 2 ingin menyampaikan
semiotika strukturalisme terus mengalami pentingnya ajakan sholat lima waktu. Secara
UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi X no 1 Januari 2016 25
historis, Sunan Kalijaga merupakan tokoh Kalijaga untuk dipertemukan dengan sign
Wali Songo sekaligus penyebar Agama system era sekarang yaitu Upin dan Ipin.
Islam di Jawa sehingga keberadaannya Tujuannya adalah sengaja menciptakan
sangat identik dengan tokoh yang mengajak kategori estetika baru dalam wujud yang
kebaikan, salah satunya ajakan sholat lima bersifat alegori, parodi, hibrida, dan
waktu secara tepat waktu. Sedangkan di ekletisme. Inilah sejatinya estetika yang
jaman sekarang, sholat lima waktu juga diharapkan dalam desain gaya kontemporer.
diajarkan dalam film kartun tiga dimensi Dalam karya tersebutlah, akhirnya
produksi Malaysia yang berjudul Upin juga dilakukan dialog-dialog virtual antara
& Ipin. Dalam penggambarannya, Sunan tokoh masa lalu (Sunan Kalijaga) dan tokoh
Kalijaga berdiri tegak dan berbaju khas adat masa kini (Upin dan Ipin), antara kuno dan
Jawa Tengah dengan kain lurik, selop, dan populer, antara baru dan lama, dan lain
blangkon sambil menyapa karakter Upin & sebagainya. Maka makna yang mungkin
Ipin. Sunan kalijaga sedang bertanya kepada terjadi tidak hanya antara signs dari satu
Upin dan Ipin dengan kalimat kekinian, yaitu sistem tetapi selalu diperoleh makna yang
“Piye Jamanmu.....Jamanku Dho Sholat Bro....” mengoptimalkan jalinan signs system yang
. Kalimat kekinian yang tersebut dipertegas lain yang merupakan perpaduannya. Dengan
jawaban Upin & Ipin dengan jargon “betul, demikian, melalui strategi intertekstual ini
betul, betul”. Penggambaran tokoh Upin & dapat dinyatakan bahwa sejatinya sebuah
Ipin hanya ditampakkan kepalanya saja. ekspresi kebudayaan tidak pernah dapat
Keunikan desain ini adalah keberanian berdiri sendiri, dari, untuk dan bagi dirinya
menggabungkan ikon masa lalu dan masa sendiri, tetapi sebuah permainan dan mosaik
kini yang sebelumnya tidak pernah bersatu dari kutipan-kutipan, dari teks-teks yang
dalam satu sistem kebudayaan. Strategi mendahuluinya. Sebuah ekspresi budaya
intertekstual juga dilakukan dengan hanya dapat eksis, bila di dalam ruang
cara mengutip kata-kata masa lalu untuk ekspresi itu, beranekaragam ungkapan-
disilangkan dengan kata-kata yang sedang ungkapan yang diambil dari kebudayaan
menjadi trend. Dalam konteks ini, makna lain, saling silang-menyilang satu sama
tidak terlalu ditekankan akan tetapi lebih lain di dalam berbagai dialog. Hanya lewat
menonjolkan pada penggabungan ikon dialog dengan kebudayaan-kebudayaan
yang tidak semestinya untuk digabung lainlah sebuah kebudayaan dapat hidup
dalam satu kesatuan justru menjadi daya berkembang, berubah, dan bertransformasi
tarik yang indah. (Piliang, 2004).
Hubungan antara suatu sign dalam
satu sistem tanda dengan sign dalam satu Dekonstruksi
sistem tanda lain untuk menjadi satu Dekonstruksi adalah sebuah istilah, yang
kesatuan dalam satu sistem tanda yang digunakan untuk menerangkan lembaran
baru adalah sengaja dilakukan agar terjadi baru dalam filsafat, strategi intelektual, atau
proses parodi, kejanggalan, dan keanehan model pemahaman, yang dikembangkan
struktur simboliknya. Tentunya hubungan oleh Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis
sign-sign dalam gambar tersebut tetap dapat yang lahir di Aljazair pada tahun 1930.
dimaknai betapa pentingnya ajaran sholat Derrida menolak linguistik strukturalnya
lima waktu. Namun dalam konteks ini, nilai Saussuren dengan mengembangkan prinsip
gaya kontemporernya yang menjadikan oposisi biner. Oposisi biner sejalan dengan
keunikan karya desain adalah intertekstual. filsafat barat antara makna/bentuk, jiwa /
Intertekstual di atas adalah pelintasan badan, transendental/imanensi, dan baik/
sistem-sistem tanda (sign system) dari buruk. Dalam oposisi biner yang pertama
sistem tanda kebudayaan Jawa era Sunan dianggap superordinat istilah tersebut milik
UNNES JOURNALS
26 Mujiyono, Logika Intertekstual, Dekonstruksi, dan Simulasi dalam Karya Seni Rupa Posmodern: Studi
Kasus pada Karya Redesain Kaos Cenderamata Obyek Wisata Religi Demak
logos kebenaran dari kebenaran. Tradisi baik secara intuitif maupun ilmiah telah
tersebutlah disebut logosentrisme (Adams, menghasilkan berbagai karya sebagai tindak
1996). Dalam runutan perkembangannnya, lanjut kemajuan tersebut. Akhirnya secara
semiotika bermula sebagai bermodel sadar atau tidak sadar ketika para seniman
kajian yang sifatnya struktural dengan berkarya meskipun tidak menggunakan
tokoh Saussure, dilanjutkan ke tokoh konsep tersebut akan tetapi jika dikaji
Roland Barthes untuk berkembang menjadi secara semiotik akan menunjukan sebuah
postrukturalis yang dalam hal ini telah titik terang logika analisisnya. Derrida
menjadi sebuah lompatan teoretik yang kemudian melakukan penyangkalan akan
sangat penting dalam perkembangan oposisi biner ucapan/tulisan, ada/tidak
keilmuan semiotika. ada, murni/tercemar. Tulisan adalah sebuah
Jika semiotika strukturalis lebih ke permainan bebas unsur-unsur dalam bahasa
positivistik maka Barthes dalam melihat dan komunikasi. Tulisan adalah proses
karya seni lebih suka menggunakan “analisis perubahan makna secara terus-menerus,
tekstual”. Analisis tekstual lebih didasarkan dan perubahan menempatkannya pada
ada upaya untuk menghilangkan signified. posisi di luar jangkauan kebenaran mutlak
Yang ada adalah signifier untuk memahami (logos). Dalam hal ini, Derrida melihat tulisan
sebuah karya seni tidak lagi menggunakan sebagai jejak (trace) bekas tapak kaki yang
epistemologi makna struktur secara tetap mengharuskan seseorang menelusurinya
atau signified yang baku tetapi pleasure. untuk mencari empunya kaki. Adalah proses
Makna telah bergeser menjadi kode, berpikir, menulis, berkarya berdasarkan
signification menjadi signifiance, struktur prinsip jejak inilah oleh Derrida disebut
dengan strukturisasi, the will to knowledge sebagai difference.
menjadi the will to desire, the reading dengan Bila dikaitkan dengan linguistik
writing, karya menjadi teks (Adams, 1996). Saussuren, apa yang telah dikembangkan
Dengan demikian ketika melakukan Derrida lebih jauh dari proses difference.
pembacaan bukan dalam rangka mencari Derrida menolak terhadap petanda
kepastian yang dijamin oleh struktur absolut atau makna absolut. Penolakan
melainkan ketidakpastian struktur sehingga terhadap kemungkinan pemahaman makna
dihasilkan teks-teks yang baru. Tugas transendental. Hal ini disebabkan petanda
penafsir seni harus menciptakan teks absolut selalu mengalami atau adanya
tandingan dan bukan sekedar mencari proses penjarakan dan difference selalu
makna dan struktur tulisan yang dibacanya. berada di belakang sebuah jejak. Selalu saja
Hal ini berbeda ketika membaca karya secara ada celah di antara penanda dan petanda,
struktural. Sebuah karya seni atau teks antara teks dan maknanya. Disebabkan
modern selalu dilekatkan dengan seniman oleh celah inilah, pencarian makna absolut
atau pengarangnya. Sebagai contoh ketika sangat mustahil. Apa yang ditemukan
mengamati lukisan Edvard Munch berjudul dalam pencarian hanyalah selalu jejak
scream, maka dengan mudah maknanya setelah jejak atau efek makna. Atau dengan
akan diketahui yaitu kegelisahan, ketakutan, menggunakan istilah Derrida penanda
keterasingan, dan kesendiriannya. Karya dari penanda. Sebuah penanda tidak akan
dan penciptanya adalah sama. Pembaca mungkin sampai pada terminal akhirnya,
tidak bisa mengartikan secara lain. Dalam yaitu apa yang disebut Saussuren disebut
konsep struktural, maka seni selaras dengan referensi.
konsep karya seni merupakan ekspresi diri
dari subjek.
Melalui lompatan tersebut, kemudian
banyak para seniman kemudian berkarya
UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi X no 1 Januari 2016 27
UNNES JOURNALS
28 Mujiyono, Logika Intertekstual, Dekonstruksi, dan Simulasi dalam Karya Seni Rupa Posmodern: Studi
Kasus pada Karya Redesain Kaos Cenderamata Obyek Wisata Religi Demak
UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi X no 1 Januari 2016 29
ke konsep realitas yang diacunya secara perayaan. Signs yang dipilih biasanya dari
penuh. Ketika makna innate meaning sign sistem sign yang saling silang menyilang
subjek yang mewakili masa kini sudah tidak tidak ada kaitan sama sekali bisa dari
mampu ditampilkan secara utuh maka tempo dulu, masa kini, dan masa sekarang.
yang lahir akhirnya makna yang tidak Begitupula cara pengkomposisian atau
pernah ada ada secara tepat sesuai realitas sintagmatiknya bukan bertujuan untuk
yang diacunya . Karya semacam ini akan menyampaikan realitas yang diacunya
kehilangan makna asalnya karena sifat di luar sign itu sendiri tetapi bagaimana
permainan ini. Dengan demikian sign yang menghasilkan kesan lucu, enigmatik, dan
hadir adalah sign itu sendiri. kebaruan. Ketiga strategi pengembangan
Sebab, semuanya kini serba artifisial, desain kontemporer tersebut tujuannnya
serba permainan. Oleh Piliang (2003) adalah satu yaitu menghasilkan desain yang
permainan inilah yang menjadi orientasi lebih posmodern, hidup, dan dinamis dengan
akhir dari penciptaan ini sehingga akan ciri gaya pengungkapannya yang bersifat
menimbulakan kesan pastiche, kitsch, camp, pastiche, kitsch, camp dan schizophrenia.
dan schizophrenia Dengan demikian, apa
yang dihadirkan hanya lebih bermuatan
DAFTAR PUSTAKA
untuk kenikmatan permainan. Trend
Adams, LS. 1996. The Methodologies of Art an
semacam inilah yang disebut seni rupa Introduction. New York: Harper Collins
kontemporer. Dalam hal ini sign yang hadir Publishers.
adalah sebuah metasign, yaitu menciptaka Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan:
sign yang khusus berbicara sign itu sendiri. Sebuah Esei Tentang Manusia, Terjemahan
Alois A Nugroho. Jakarta: PT Gramedia.
Cavallaro, Dani. 2001. Critical And Cultural
SIMPULAN
Theory, Yogyakarta: Niagara
Hasil analisis kaos redesain cenderamata
obyek wisata religi Demak menunjukkan Chernyshevsky, N.G. 2005. Hubungan Estetik
bahwa desain kaos lebih menggunakan dengan Realitas, Terjemahan Samanjaya.
logika intertekstual, dekonstruksi, dan Bandung: Ultimus.
simulasi dalam mengolah simbol-simbol Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika: Sebuah
Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni
lokal untuk dipadukan dengan simbol
Pertunjukan Indonesia.
kekinian. Interstekstual adalah memadukan Feldman, Edmund Burke. 1967. Art As Image
ikon masa lalu dan tradisi (Sunan Kalijaga and Idea. New Jersey: Englewood Cliffs,
dan Masjid Agung Demak) dengan ikon Prentice Hall, Inc.
masa kini (Doraemon, Superman, Batman, Piliang, Yasraf Amir. 1998. “Realitas Baru Estetik
dan Ironman) sehingga menjadi kesatuan Perspektif Seni dan Desain Menuju
Abad 21” Seni: Jurnal Pengetahuan dan
daur ulang yang menarik. Dekonstruksi
Penciptaan VI/01 Mei 1998.
adalah langkah membongkar makna Soedarso, Sp. 2006. Trilogi Seni: Penciptaan
asli (innate meaning) sign masa lalu dan Eksistensi dan Kegunaan Seni. Yogyakarta:
masa kini sehingga yang terjadi adalah Badan Penerbit ISI.
perlawanan-perlawanan dari makna yang Sudjiman dkk. 1992. Serba Serbi Semiotika.
telah pakem atau terstrukutur berdasarkan Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filasafat Seni. Bandung:
logosentrisme. Simulasi adalah logika
Penerbit ITB.
untuk selalu mereplika terhadap realitas Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa.
yang ada (simbol masa lalu dan masa Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.
kini) tetapi bukan untuk mewakili realitas Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.
yang diacunya akan tetapi dengan sengaja Jakarta: PT Bumi Aksara.
mereduksi nilai sehingga menjadi realitas
atau sign yang sama sekali baru dan sekedar
UNNES JOURNALS
30 Mujiyono, Logika Intertekstual, Dekonstruksi, dan Simulasi dalam Karya Seni Rupa Posmodern: Studi
Kasus pada Karya Redesain Kaos Cenderamata Obyek Wisata Religi Demak
UNNES JOURNALS