Anda di halaman 1dari 2

Antroposen : Kakawin, Rumah, Seni, dan Paradoks.

Pergeseran pola kehidupan nomaden ke arah sedenter


memperlihatkan pergeseran kuasa, manusia setidaknya
“Dan ketahuilah, kakanda, aku menjelma dalam bulan.
memegang suatu kontrol yang ia dasarkan pada pengalamannya.
Sungguh aku akan Bernama burung tadah asih yang dengan
Keputusan untuk menetap, mencerminkan kesediaan manusia
suka hati bermain-main dalam sinar bulan.
akan suatu konsekuensi. Konsep bertempat tinggal pun langgeng
Apabila bulan menjadi suram, akupun ikut mati, hingga sekarang, manusia modern senantiasa membutuhkan
Apabila bulan menjadi besar lagi, akupun ikut bersuka-suka tempat bernaung, bahkan dalam waktu yang singkat.
lagi.” Canggihnya, di era antroposen manusia bahkan mampu
mencapai suatu konsep dimana ia berjuang secara minimum
(Bharatayuddha, XV. 8-9)
dalam memenuhi kehidupannya; komoditas mampu
Puisi di atas merupakan kutipan terjemahan dari kakawin “mengantarkan” dirinya pada manusia, tidak perlu dicari. Namun
‘Bharatayuddha’ yang saya rujuk dari buku gubahan I Kuntara ihwal ini tidak berlaku pada semua orang, akses menjadi bentuk
Wiryamartana SJ, bertajuk “Sraddha”. Kakawin sendiri kemewahan tersendiri. Namun pada dasarnya, kehidupan
merupakan sebuah puisi Jawa Kuno yang diciptakan oleh manusia telah diakomodir dari berbagai sisi, oleh sistem yang
seorang pujangga. Alam, seringkali menjadi bagian integral diciptakan oleh manusia itu sendiri. Paradoks—berbagai
dalam kakawin—Banyak disebutkan persoalan embara sang keputusan seakan berada di tangan manusia, dan segala aspek
pujangga—mengasingkan diri, berdialog dengan alam dan di luar manusia seakan menjadi aksesori, hal pasif yang mampu
seisinya. Seorang pujangga pun seringkali disebut sebagai diakuisisi, sejalan dengan yang disebutkan dalam buku “Homo
“Hamba Keindahan” keyakinan spiritual, serta poros hidupnya Deus”; bahkan force majeure—kekuatan yang lebih besar—pada
terpusat pada sang-indah. Kekuatan besar nan ambivalen ihwalnya ditetapkan sebagai hal yang mampu memutus kontrak
senantiasa bersemayam halus dalam alam dan dirinya. Manusia antar manusia. Upaya memahami dan berekonsiliasi bersama
merupakan cerminan dari alam, dan tuhan, ia berperan sebagai alam, bukan murni dilandaskan keberdampingan segala aspek
mikrokosmos dari makrokosmos semesta. Namun dalam upaya dalam kehidupan, melainkan dalam perspektif untuk menjaga
dialognya dengan alam—yang tentu penuh penghormatan dan relevansi manusia di muka bumi; sebagai penjaga dan inhabitan.
kehati-hatian—ia memandang alam melalui kacamata Berbagai sistem dirancangnya guna mempermudah,
“personifikasi”, dan kecenderungan ini hampir tidak pernah luput mempersingkat, dan mengentaskan halangan dalam
dalam tiap gubahan; alam diposisikan sebagaimana manusia. keberlangsungan hidup umat manusia.
Kecenderungan ini menyiratkan perspektif antroposentris dalam Manusia kini mampu menata teritorinya; kompleks bangunan
pemikiran sang pujangga. Namun ihwal ini tidak dapat disalahkan didirikan di atas lahan terbuka yang kemudian, di atas beton-
juga, karena bagi sang pujangga pengalamannya sebagai beton itu kembali mereka tanami dengan tumbuhan. Alam
manusialah yang sahih—ia tidak mampu mewakili pengalaman diratakan, diproses kembali, lalu dikembalikan sesuai tatanan
tumbuhan, binatangnya secara langsung; ia mampu, melalui yang diharapkan manusia. Berlawanan dengan kecenderungan
empati dan persepsinya memosisikan diri, alam, dan sang di masyarakat pra-modern, tidak ada lagi upaya harmonisasi atas
kekuatan besar. Namun, cara pandang berbasis harmoni- yang paradoks. Kini peluang ditentukan berdasarkan pada
paradoks ini, seiring perkembangan zaman semakin bergeser— ‘cabang’, Adapun tendensi dalam memilih dibandingkan
hingga sepenuhnya berporos pada umat manusia. Cara pandang mengutamakan jalan tengah—sesuatu yang dilansir sebagai
yang pada awalnya mengutamakan keseimbangan dan peranan sang paradoks.
dari masing-masing entitas di muka bumi berubah menjadi Era antroposen secara konkrit tercerminkan dalam infrastruktur
manusia sang-paling berperan; sebagai penyintas utama, dan berbagai sarana prasarana yang diciptakan. Tidak berhenti
penentu, bahkan penyelamat bagi seluruh aspek kehidupan di pada tingkat tersebut, kesadaran radikal juga mencerminkan
muka bumi. antroposen. Berbagai diskursus dan wacana—semua muncul
Antroposen merupakan terminologi yang digunakan oleh para atas kecenderungan manusia dalam mencipta, merumuskan, dan
ilmuwan dalam merangkum epos manusia—selaku protagonis— mengaplikasikan pemahamannya. Cipta, rasa, dan karsa hasil
di muka bumi. Masa ketika ekosistem bumi mulai berubah berkat manusia inilah yang kita kenali sebagai kebudayaan; dan ia
aktivitas manusia menandakan dimulainya Era Antroposen, dan mampu mewujud dalam berbagai aspek kehidupan. Kesenian,
kini wacana tersebut mampu dengan mudah tercerminkan dalam termasuk dalam tujuh unsur kebudayaan yang dirumuskan oleh
seluruh aspek kehidupan—baik secara konkrit maupun filosofis. Koentjaraningrat dan sebagaimana unsur lainnya, ia mampu
Revolusi Industri seringkali dirujuk sebagai masa yang signifikan mewujud dalam berbagai bentuk—baik gagasan, sistem sosial,
dalam menandakan antroposen; betapa tidak dipungkiri, manusia maupun objek duniawi. Kritisi terhadap era antroposen sendiri
menentukan sistem organisasinya yang hierarkal, memonopoli demikian nampak dalam seni kontemporer. Berbagai pameran
material, menetapkan kapital, semuanya didasari oleh kesadaran diadakan dengan kritisinya masing-masing, dari wacana post-
dan itikad manusia. human hingga wacana yang didasarkan pada spiritualitas dan
insting manusiawi. Seni kini tidak terbatas dalam mediumnya, DAFTAR PUSTAKA
perihal ini mencerminkan analogi dua sisi koin yang berbeda
secara sempurna. Di sisi satu sisi, kemungkinan dalam Harari, Y. (2018). Homo deus (1st ed.). PT Pustaka Alvabet.
menyampaikan narasi semakin luas; begitupun narasi yang Sumardjo, Jakob. (). Estetika Paradoks.

disampaikan. Namun di sisi lain, kecenderungan ini semakin Wiryamartana, I., & Budi Subanar, G. (2019). Sraddha - Jalan Mulia: Dunia Sunyi Jawa
Kuna (2nd ed., p. 19). KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
menampakkan bahwa semua hal mampu menjadi instrument bagi
manusia itu sendiri. Penerapan rekayasa genetika dalam bio-art
bukan perihal baru yang ditemukan pada medan seni,
kebangkitan wacana post-human juga didasarkan dari proyeksi
kekhawatiran manusia terhadap keselamatan dirinya. Kembali
lagi kita saksikan paradoks atas kekuasaan; di satu sisi rekayasa
genetika menunjukkan kewenganan mutlak manusia, namun di
sisi lain terdapat proyeksi kekhawatiran atas kemusnahan diri.
Berbagai pemikiran dan pendapat yang saling ebrtumpang tindih
menyebabkan suatu derajat ironi tertentu.
Kemungkinan besar, uraian yang saya sampaikan di atas
berkesan agak melompat dari satu hal pada yang lain. Tidak ada
kaitan yang indeksikal antara satu aspek dengan lainnya, namun
keseluruhannya mampu dirangkum dalam payung besar
antroposen. Bijaknya, hal ini tidak mampu kita salahkan;
keberpihakan bukanlah jawaban yang akan memuaskan.
Alangkah baiknya kita kembali berpikir dan merenungkan hakikat
kemanusiaan beserta alam, dan kekuatan yang lebih besar dan
berterimakasih atas pengalaman tanpa pamrih yang diberikan
kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai