ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTURAL
TINGGALAN KERAJAAN MENGWI
DI KABUPATEN BADUNG
Tim Pengusul:
ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTURAL
TINGGALAN KERAJAAN MENGWI
DI KABUPATEN BADUNG
Tim Pengusul:
i
DAFTAR ISI
Abstrak.............................................................................................................................. 1
Penelitian ini diajukan atas dasar adanya keinginan melakukan penelusuran dan
inventarisasi wujud arsitektural tinggalan Kerajaan Mengwi yang tersebar di wilayah
Kabupaten Badung. W ujud arsitektural yang diperoleh diperkirakan dapat dikategorisasikan
sebagai kompleks-kompleks bangunan puri; kom pleks bangunan pura; elemen-elemen jalan
dan ruang terbuka; bangunan suci tunggal (pelinggih); situs-situs suci; dan area-area lokasi
terjadinya peristiwa bersejarah atau event-event budaya dan ritual pada masa lalu.
Metode penelitian yang diterapkan dalam riset ini terdiri dari dua tipe metode sesuai
tahapan penelitian yang dijalankan. Pada tahap pengum pulan data, dijalankan metode
eksploratif, studi pustaka, dan wawancara. Pada tahap pem bahasan hasil. Dilakukan metode
rekonstruksi sejarah, rekonstruksi keruangan, dan komparasi. Pada tahap penyim pulan hasil
temuan diterapkan teknik penalaran secara indukt if.
Hasil penelitian yang diperoleh diperkirakan akan dapat menunjukkan: (a) adanya
relasi sejarah antarelem en tinggalan; (b) adanya kesatuan style tata ruang dan tata bangunan
antarelemen tinggalan; (c) adanya rangkaian kronologis sejarah antarelem en tinggalan; dan
(d) adanya satu konsep keruangan yang m elatarbelakangi semua elemen tinggalan arsitekt ural
Kerajaan Mengwi tersebut.
Kata kunci: Elemen tinggalan, Kerajaan Mengwi, Kabupat en Badung, arsitektural, sejarah.
1
BAB I
PENDAHULUAN
3
menjadikan Universitas Udayana sebagai salah satu perguruan tinggi negeri terkem uka
di Bali yang mam pu berperan aktif dalam uapaya pengem bangan dan pelestarian
budaya tradisional Bali.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian berikut ini, akan dijelaskan m engenai Kota Mengwi dari segi sejarah
kerajaan, sejarah peningalan kerajaan berupa puri, dan elemen utam a kota yang ada di kot a
Klungkung beserta dengan lokasinya.
Pura
Kerajaan
B ale Puri
Musyawara h
Pasar Alun-alun
Gambar 2.1 Pola Pem patan Agung Gambar 2.3 Pura Kerajaan Pemecutan
5
2.2 Elem en-elemen Kota Kerajaan
Pada bagian berikut ini dipaparkan tentang bangunan-bangunan utama kot a yang
pada um um nya terdapat di zona inti kota kerajaan di Bali.
a. Pem patan Agung merupakan perempatan utam a di pusat kota yang memiliki nilai
pent ing secara sosioreligius.Kompleks bangunan puri atau kediam an keluarga raja.
Lazimnya berada di pojok tim ur laut Pem patan Agung kota.
b. Pura Tri Kahyangan Desa adalah tiga pura pemujaan unt uk masyarakat di kot a yang
masing-masing terdiri Pura Puseh di daerah hulu kota sebagai tem pat suci pemujaan
Dewa W isnu (dewa pem eliharan); Pura Desa di daerah pusat kot a, di dekat Pempatan
Agung sebagai tem pat suci pemujaan Dewa Brahma (dewa pencipta); dan Pura Dalem
di daerah hilir kota sebagai tempat suci pemujaan Dewa Siwa (dewa pelebur).
Beberapa kota ada kalanya menggabungkan dua atau ketiga pura Kahyangan Desa ini
dalam satu area kompleks pura yang bernama Pura Kahyangan Tiga.
c. Pura Kerajaan adalah sebuah kom pleks pura yang dibangun dan dikelola oleh raja
untuk keperluan kegiatan ritual wilayah kerajaan. Bangunan pura ini dapat
difungsikan secara bersama oleh keluarga raja dan m asyarakat umum kota pada m asa
lalunya. Beberapa kerajaan di Bali disebutkan m em bangun dan m engelola tiga buah
pura kerajaan yang terdiri dari pura kerajaan pegunungan, pura kerajaan di dataran (di
pusat kota), dan pura kerajaan pesisir pant ai.
d. Alun-alun m erupakan ruang terbuka kota.
e. Pasar utama kota atau peken yang ada kalanya disatukan dengan alun-alun di pusat
kota.
2.3 Relasi antara Konsep Sorga dan Perwujudan Pusat Kota Kerajaan di Bali
Dalam mitologi klasik Hindu, disebutkan bahwa alam semesta tercipta dari satu titik
awal yang akhirnya berkembang ke empat arah berbeda secara seimbang. Gambaran ini
direpresentasikan sebagai sosok Brahma sebagai dewa pencipt a dan gunung Meru
sebagai gunung utama kosm ik yang sama-sam a digambarkan m em iliki em pat wajah
serupa itu (lihat gambar 13). Konsep tentang keberadaan empat wajah serupa ini sangat
nyata terlihat pada perwujudan pusat kot a Cakranegara maupun kota-kot a di Bali yang
berbentuk pem patan agung. Pusat kota berbent uk pertem uan em pat ruas jalan - dari
utara, timur, selatan, dan barat - yang saling bertemu di satu titik bernama pempatan
agung.
Pada bangunan kuil maupun stupa, konsep empat wajah ini juga mudah
dicermat i. Sebagai representasi alam semesta, bangunan-bangunan suci Asia Tenggara
6
klasik pada um um nya juga dirancang memiliki empat wajah serupa dengan empat pintu
dan em pat tangga masuk yang menghadap em pat arah yang berbeda pula.
Dalam konsepsi yang berkenaan tent ang tata wilayah kerajaan dan tata pemerintahan
raja-raja Asia Tenggara, dikenal adanya konsepsi Dewa Raja. Konsepsi ini pada intinya
menguraikan bahwa raja-raja di kawasan Asia Tenggara – term asuk Indonesia – adalah
diposisikan dan m em posisikan dirinya sebagai titisan satu tokoh dewa untuk bertugas
menata dan m engelola kerajaan di bum i. Seorang raja sebagai kepala suatu negara di
tataran dunia adalah analogi dari sosok Dewa Indra sebagai raja para dewata yang
memerintah kerajaan sorga di puncak Gunung Meru. Adapun wilayah kerajaannya di
dunia dianalogikan sebagai pusat dunia atau wilayah kerajaan sorga yang diperintah
Dewa Indra (Geldern, 1982: 2-4). Di Indonesia, konsepsi semacam ini pernah diterapkan
dalam penataan lingkungan dan wilayah kerajaan-kerajaan kuno yang bercorak Hindu.
Konsepsi pempatan agung desa-desa di Bali atau konsepsi monco pat di Jawa merupakan
titik pusat wilayah dan simbolisasi dari konsepsi gunung mitologis, Meru.
Konsepsi pem patan agung sebagai pusat kerajaan dan wilayah ini ditiruterapkan
pada hampir sem ua desa adat di Bali. Eksistensinya itu ditunjukkan oleh keberadaan
elem en-elem en arsitekt ural utama suatu wilayah pada zone di sekitar pempatan agung
seperti elem en puri (rum ah keluarga bangsawan penguasa wilayah pada m asa lalu), pura,
wantilan atau balai desa, pasar, dan alun-alun desa. Zone-zone yang berada di luar
wilayah pusat itu mem iliki nilai tingkatan yang lebih rendah dan makin merendah pada
zone-zone lingkaran terluar wilayah.
Konsepsi tent ang titik pusat wilayah ini selanjutnya berkembang pula menjadi
konsepsi lain yang berkenaan dengan pola pem patan agung. Bent uk swastika dan cakra
sendiri merupakan simbolisasi garis edar 'perjalanan' m atahari yang dilihat berdasarkan
sudut pandang mata manusia di bum i (Sudhi, 1988: 234-235). Konsepsi ini m emiliki
kesesuaian yang cukup besar dengan gambaran m itologi Gunung Meru sebagai pusat
utama alam sem esta yang pada puncaknya terdapat kerajaan sorga dengan sebuah
matahari utam a (Skt . Mahāvairocana) sebagai sumber cahaya abadinya (Snodgrass,
1985: 25).
Bentuk pempat an agung, swastika, dan cakra juga telah dikenal sebagai bentuk dasar
pola penataan wilayah dan kot a-kota kuno bercorak Hindu Indonesia, seperti kota
Cakranegara (cf. Mulyadi, 2001: 4-5) dan Trowulan Majapahit (Hermanislamet, 1999:
153).
7
BAB III
METO DE PENELITIAN
Penelitian yang diusulkan ini tergolong penelitian kualitatif yang dalam proses
pelaksanaannya akan menerapkan beberapa m etode penelitian sesuai tahapan yang
dijalankan. Pada bagian berikut ini dijelaskan secara berurutan tentang (1) m ateri penelitian;
(2) inform an penelitian; (3) metode penelitian; dan (4) instrum en penelitian.
Utara
Pada bagian berikut ini dipaparkan gambaran elemen-elem en tinggalan Kerajaan Mengwi
yang utam a sesuai hasil grand tour yang dijalankan pada tanggal 25 Maret 2015.
8
Gambar: Pura Uluwatu Gambar: Pura Pucak Mangu Gambar: Pura Sada Kapal
Gam bar: Pura Taman Ayun Gam bar: Pura Dalem Sakenan Gambar: Pura Sakenan
Gambar: Pura Bukit Sari Gambar: Puri Agung Mengwi Gambar: Pempatan Agung
Mengwi
3.3 Informan Penelitian
Informan penelitian ditetapkan berdasarkan kompetensi pengetahuan yang dikuasainya
berkenaan dengan topik penelitian yang diangkat. Ada beberapa informan yang sedianya
dipilih sebagai narasumber penelitian ini, seperti: (a) warga inti puri; (b) pemuka agam a dan
adat desa setempat; (c) tetua desa; dan (d) akademisi.
3.4 Me tode Penelitian
a. Tahap Pengumpulan Data Awal
Pada tahap pengum pulan data awal, tim peneliti melakukan grand tour ke lokasi
penelitian dan wawancara dengan para narasum ber di lokasi dan beberapa pihak yang
berkompeten tentang elem en-elem en tinggalan Kerajaan Mengwi di Kabupaten Badung.
Kegiatan grand tour ini pada akhirnya akan m enghasilkan gambaran tentang topik dan
permasalahan penelitian yang akan dijadikan fokus kajian penelitian ini. Tim peneliti telah
m elakukan grand tour penelitian ke wilayah Badung pada tanggal 25 Maret 2015. Fokus
9
penelitian yang akhirnya ditetapkan adalah berkenaan dengan elemen-elemen tinggalan
Kerajaan Mengwi yang terdapat di dalam wilayah Kabupaten Badung.
b. Tahap Pengum pulan Data Lanjutan
Kegiatan pengumpulan data lanjutan sedianya dijalankan setelah adanya pengumuman
resm i tentang pem biayaan rencana penelitian ini. Pada tahap pengumpulan data lanjutan ini,
tim peneliti akan menjalankan setidaknya tiga tipe kegiatan pengkoleksian data berdasarkan
karakter data target, yaitu sesuai tabel berikut ini.
No. Kegi atan Data/hasil target capaian Durasi
Data fisik elemen-elemen tinggalan
Jumlah dan lokasi persebaran objek am atan
Pengumpulan data
1. Varian wujud objek am atan tiga bulan
lapangan
Fungsi dan aktivitas yang berlangsung di objek
Elem en atribut objek
2. Pengumpulan Tradisi aktivitas sakral dan sekular sekitar
secara oral/ objek
tiga bulan
wawancara Kepercayaan masyarakat terhadap objek
Rekonstruksi wujud fisik dan fungsi objek
3. Pengumpulan data Data kependudukan
instansional sebulan
Data sosial, ekonom i, budaya terkait objek
c. Tahap Analisis
Tahap analisis data pada dasarnya dijalankan tentang beberapa teknik kajian, yaitu (1)
analisis tipomorfologi objek studi; (2) analisis rekonstruksi berdasarkan data oral informan;
(3) analisis komparatif ant arobjek am atan serta antara objek am atan dan objek setara di luar
wilayah studi; dan (4) analisis secara rasionalis dengan menggunakan beberapa teori dan
konsep lokal keruangan yang relevan. Tahap analisis ini diperkirakan akan berlangsung
selam a empat bulan kalender penelitian. Dalam tabel berikut ini terpaparkan gambaran
kegiatan analisis penelitian yang sedianya akan dijalankan.
No. Kegi atan O bjek studi/penjelasan Targe t hasil
Tipologi objek
Analisis
1. W ujud elemen-elem en tinggalan berdasarkan
tipomorfologi
wujudnya diperoleh
Latar konsepsi elemen
Fungsi dan prosesi ritual di elem en- Gambaran fungsi,
Analisis elemen tersebut konsepsi, wujud
2.
rekonstruktif W ujud elemen tinggalan pada m asa objek, dan t radisi
lalu ritualnya diperoleh
Tradisi ritual pada m asa lalu
W ujud zona sakral tinggalan di lokasi Gambaran
3. Analisis komparatif studi kedudukan dan
W ujud zona utama lain di wilayah fungsi elemen
10
studi tinggalan pada m asa
Atribut zona sakral di lokasi lalu
Aspek-aspek lain yang terkait
Ritual di zona sakral di lokasi
Ritual di zona sakral di daerah lain
Telaah wujud objek dan tradisi ritual Keterkaitan objek
4. Analisis rasionalis penyertanya dikaji berdasarkan teori studi dan
dan konsep lokal teori/konsep lokal
d. Tahap Sintesis
Tahap sintesis dalam penelitian ini dijalankan dengan fokus kegiatan berupa studi
tentang keterkaitan ant arelem en yang diperoleh pada tahap analisis. Hasil telaah pada tahap
ini belum dapat digam barkan, m engingat gambaran hasil analisis data yang sedianya akan
dijalankan pada tahap sebelumnya. Tahap sint esis ini dapat diartikan juga sebagai tahap
pendialogan ant ara kom ponen-kom ponen hasil analisis yang saling berkaitan.
Pada bagian akhir tahap sintesis dilakukan pula pendialogan ant ara hasil telaah atau hasil
studi lapangan dan teori-teori keruangan secara um um yang m em iliki relevansi dengannya.
Tahap ini dijalankan dalam dua bulan kalender penelitian.
e. Tahap Penyimpulan
Tahap penyim pulan hasil penelitian m erupakan tahap paling akhir dari rangkaian
penelitian ini. Tahap ini diperkirakan berlangsung dalam wakt u sebulan kalender penelitian.
11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian berikut ini, akan dijelaskan m engenai Kota Mengwi dari segi sejarah
kerajaan, sejarah peningalan kerajaan berupa puri, dan elemen utama kot a yang ada di
kot a Mengwi beserta dengan lokasinya.
12
Sebelum menjalankan upaya mem balas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih
dahulu bersiap-siap menjalankan tapa di puncak Gunung Mangu yang m enjadi lokasi
Pura Pucak Mangu pada m asa sekarang. Di puncak Gunung Mangu, I Gusti Agung Putu
m em peroleh petunjuk gaib (Bali: pewisik) keagam aan tentang kem enangannya itu.
Setelah m em peroleh berkat itu I Gusti Agung Putu pun kem bali menantang bertarung I
Gusti Ngurah Batu Tumpeng. Hasil tapa bratanya ternyata tidak sia-sia, di Gunung
Mangu itulah selajutnya I Gusti Agung Putu berhasil m eraih kemenangannya saat
m elawan I Gusti Ngurah Batu Tum peng beserta para m usuhnya. Berdasarkan penuturan
oleh Keluarga Kerajaan Mengwi, I Gusti Agung Putu sedang bertapa di Pucak Mangu,
kemudian beliau dititahkan oleh Ida Batara Pucak Mangu melihat ke sekelilingnya (Bali:
ngelengan). Daerah mana pun yang terlihat olehnya terang dari puncak itu maka daerah
itu di kemudian hari akan m enjadi wilayah kekuasaannya. Sejak itulah maka Pucak
Mangu juga dikenal dengan nama Pucak Pengelengan.
Gambar: Pura Taman Ayun sebagai Salah Satu Pura Kerajaan Mengwi
Sumber: dokumentasi pribadi
13
4.2 Sejarah Puri Mengwi
I Gusti Agung Putu adalah putra dari I Gusti Agung Anom. Ia bergelar I Gusti
Agung Made Agung m endirikan kerajaan Mengwi dan menjadi Raja Mengwi I pada
tahun 1723. Sebelum menjadi Raja, I Gusti Agung Putu di tawan oleh Raja Tabanan
yang bergelar Sri Megada Sakt i/I Gusti Alit Dawuh dan dibesarkan di Kerajaan Marga.
Kem udian, oleh Raja Marga I Gusti Balangan diberikan bimbingan spiritual, sehingga I
Gusti Agung Putu diberikan sebidang tanah untuk mendirikan Kerajaan/Puri pertam anya
di Desa Peken dengan nama Puri Balayu. Nam un tidak bertahan lam a I Gusti Agung
Putu melanjutkan perjalanan ke selatan dengan tujuan balas dendam dengan I Gusti
Ngurah Batu Tumpang dari Kekeran. Kemenangan inilah membawa m asa kejayaan
sampai ke Blambangan.
Mengwi pada zam an dahulu m erupakan sebuah kerajaan m andiri. Namun,
Mengwi kalah perang dan akhirnya pada tahun 1891 wilayahnya dibagi-bagi antara
Tabanan dan Badung.
Puri Gede Mengwi yang berlokasi di kota Kecam atan Mengwi, tepatnya terletak
di sebelah barat daya perempatan atau Catus Patha Mengwi. Puri Agung Mengwi yang
juga disebut dengan nama Puri Gede Mengwi, tercatat pernah mengalam i kehancuran
sejak tahun 1891 akibat dari laskar gabungan Kerajaan Badung dan Tabanan yang
sempat menghancurkan keraton Puri Gede Mengwi (1700-1891) di Bali hingga
14
Blam bangan di Jawa Timur. Di atas puing kehancurannya tersebut, Puri Agung Mengwi
m ulai dibangun kembali pasca gempa bumi sepulang Gusti Ketut Agung yang
m erupakan putra m ahkota yang baru pulang dari tem pat pengasingan yaitu di Puri
Abiansemal. Sampai saat ini Puri Ageng Mengwi telah menjadi pusaka budaya seperti
keberadaan puri di Bali pada umumnya hingga m enjadi spirit kekerabatan dengan basis
akar sejarah. Selain m engunjungi Puri Ageng Mengwi, para pengunjung juga bisa
m engunjungi pasar Mengwi, hingga Pura Tam an Ayun, maupun Museum Yadnya yang
jaraknya sangat dekat dengan Puri Ageng Mengwi.
15
kesenian dan kebudayaan serta sering dipergunakan juga sebagai tem pat m enyabung
ayam (tajen).
Tam an Ayun dengan penataan pertamanan tradisional Bali yang dikelilingi dengan
sungai buatan, juga ditanami dengan berbagai jenis tanaman langka khas Bali. Taman
Ayun juga m erupakan satu kesatuan pura yang penataannya menyatu dengan lingkungan
taman dan kolam di sekitarnya. Pura Taman Ayun pada tahun 2002 diajukan oleh
PEMDA Bali kepada UNESCO agar dapat menjadi sebagai salah satu warisan budaya.
Pembugaran pertam a sendiri terjadi pada tahun 1937, pembugaran kedua terjadi pada
tahun 1949 yang berpusat pada pem benahan Kori Agung, Candi Bent ar, dan wantilan
dalam skala yang cukup besar. Tahun 1972 dan 1976 terjadi pula renovasi pada Pura
Tam an Ayun.
16
Gambar 30. Bagian Luar Pura Taman Ayun
Sumber: Dokumentasi Pribadi
17
Gambar 32. Bagian Dalam Pura Taman Ayun
Sumber: Dokumentasi Pribadi
18
Niskala.
Pura Dalem Jambangan merupakan Pura yang terletak pada sebelah timur setra
gede Desa Adat Pekraman Mengwi. Pura yang tidak m egah dan besar, tetapi Pura ini
m em iliki keistimewaan yang luar biasa. Spiritual merupakan salah satu hal yang penting
didalam hidup ini. Pada Jaba Pura terdapat pohon matua yang berfungsi sebagai
penyejuk dan m enciptakan suasana dam ai dan hening. Nama lain dari Pura Dalem
Jambangan mem iliki nama lain yaitu Pura Kawisesaan dan Pura Tegal Penangsaran,
banyak warga yang berdatangan guna m eningkatkan kerohanian, spiritual, dan
penyembuhan pengobatan secara niskala, didalam Lontar Panca Durga disebutkan
terdapat pengertian Jam bangan yang berarti kawah perputaran m andara giri. Pura Dalem
Jambangan ini juga mem iliki fungsi sebagai penampih Pura Dalem.
19
pun segera menuju asal suara gerombolan lebah tersebut. Ketika diselidikinya, ternyata
tepat di lokasi sumber dengungan suara gerombolan lebah tersebut ditem ukan suatu
reruntuhan bangunan suci pelinggih yang lengkap dengan sebentuk lingga di dalamnya.
Kuat dugaan bahwa bangunan suci tersebut selanjutnya dipugar kem bali oleh I Gusti
Agung Putu dan diberi nama Pura Pucak Mangu. Selanjutnya, setelah I Gusti Agung
Putu berhasil menjadi Raja Mengwi, didirikanlah sebuah Pura Penataran di tepi Danau
Beratan.
Sam pai pada abad ke-13, bangunan pelinggih utama di Pura Pucak Mangu ini hanya
berupa Lingga Yoni dan beberapa bangunan suci pelengkap lainnya. Memasuki era
pem erintahan I Gusti Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun,
pura tersebut selanjutnya dilengkapi dengan sebuah bangunan Meru Tumpang Lima
yang m erupakan bangunan pelinggih untuk Ida Batara Pucak Mangu; bangunan Meru
Tum pang Tiga tempat m elinggih Batara Teratai Bang; dan bangunan Tepasana sebagai
tem pat menyimpan Lingga tersebut.
Gunung Mangu berada di tim ur laut Danau Beratan. Berkat lokasinya itu, gunung ini
dikenal juga dengan nam a Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan.
Orang-orang yang berasal dari wilayah Desa Beratan pada um um nya menyebut gunung
ini sebagai Pucak Beratan. Adapun orang-orang yang berasal dari wilayah Desa Tinggan
menyebutnya sebagai Pucak Tinggan.
Nam a Pucak Pengelengan sesuai penuturan dari keluarga Raja Mengwi adalah
berkaitan dengan peristiwa pada saat I Gusti Agung Putu sedang bertapa di Pucak
Mangu, dititahkan oleh Ida Batara Pucak Mangu melihat ke sekelilingnya (Bali:
ngelengan). Daerah m ana pun yang terlihat olehnya terang dari puncak itu m aka daerah
itu di kem udian hari akan menjadi wilayah kekuasaannya. Sejak itulah m aka Pucak
Mangu juga dikenal dengan nama Pucak Pengelengan.
20
Gambar 35. Pura Pucak Mangu
Sumber: dokumentasi pribadi
21
Siwa pada atap kedua arah barat. Langgam yang digunakan merupakan langgam
seperti yang dapat ditemukan pada daerah jawa timur, sehingga dapat dipastikan
dibangun pada awal abad ke-16 m asehi. Nam un berdasarkan lontar kapal. Pura ini
dibangun pada kisaran tahun 830 masehi sebagai pemujaan terhadap Siwa Guru.
Pura Sada ini telah direnovasi pada tahun 1917 akibat gem pa bum i, sehngga I
Made Nama seorang insinyur yang ditugaskan oleh kepala dinas kebudayaan bedulu
pada tahun 1945 untuk m erestorasi, sehingga Pura Sada memiliki ketinggian hingga
16 m eter tersebut menjadi kokoh dan indah, namun menurut lontar kapal. Pura ini
sudah direnovasi pada tahun1260 isaka, pada m asa pemerintahan Dalem Bali
dengan rajanya yang bergelar Asta Aura Ratna Bumi Bant en. Pada saat itu Kebo
Iwa diutus guna m engawasi Pura Sada yang direnovasi, Kebo Iwa mem buat sebuah
tempat pem ujaan pada sebelah tenggara Pura Sada. Pada tahun 1400 t erjadi renovasi
juga yang diutus oleh Pangeran Kapal Beringkit dan pada tahun 1600an juga
dilaksanakan renovasi.
22
Agung Madhe Alangkajeng, raja III yang bergelar Cokorda Nyoman Bagus Munggu,
kemudian dilanjutkan I Gusti Agung Putu Mbahyun raja IV, dan raja V adalah I Gusti
Agung Madhe M unggu.
23
Gambar 39. Pura Bukit Sari, Sangeh
Sumber: dokumentasi pribadi
Pohon sakral yang tum buh pada pura ini ialah pohon lanang wadon. Pohon jenis
Pule ini merupakan salah satu jenis pohon sakral yang berada di daerah Bali. Pohon ini
berbentuk aneh karena pada bagian tengah pohon berlubang seperti menyerupai alat
kelamin wanita. Sedangkan pada bagian tengah pohon juga tumbuh batang yang
m engarah ke bawah sehingga menggambarkan kelamin laki-laki. Hutan ini m enjadi
tempat tinggal 600 jenis m onyet ekor panjang. Kera-kera ini dapat diwujudkan sebagai
jelmaan prajurit putri Beliau sehingga keberadaan monyet-m onyet begitu dihormati dan
disakralkan.
24
Gambar 40. Pohon Pule menyerupai Lanang Wadon
Sumber: dokumentasi pribadi
9) Pura Uluwatu
Pura Uluwatu m erupakan salah satu pura terbesar dan tertua di Bali. Nama Uluwatu
sendiri berasal dari Ulu yang berarti kepala dan W atu yang berarti Batu, m aka Pura
Uluwatu berarti Pura yang berada di ujung bebatuan terumbu karang. Mpu Kuturan
m erupakan pendiri pura ini pada abad ke-10. Danghyang Dwijendra m em ilih Pura ini
sebagai tempat terakhir peristirahatan beliau untuk bertapa hingga menuju moksa. Pada
sisi lain Meru (Pagoda) yang terdapat pada Pura Uluwatu terdapat sebuah patung batu
yang diwujudkan sebagai Danghyang Dwijendra, Kom pleksi pada pura uluwat terdapat
sebuah perahu yang diyakini m ilik Beliau ketika m elakukan perjalanan dari daerah Jawa
25
Gambar 41, Pura Uluwatu
Sumber: dokumentasi pribadi
26
11) Pura Agung Mengwi
Pura Agung Mengwi m erupakan Pura dari Puri Agung Mengwi
27
BAB V
PEMBIAYAAN DAN JADWAL KEG IATAN
5.1 Pembiayaan
Pada bagian berikut ini diperlihat kan gambaran umum tent ang alokasi dana
penelitian yang diusulkan pada em pat pos penelitian sebagai berikut.
Adapun jadwal kegiatan penelitian dalam tahun 2015 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tahun 2015
No. Jenis Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Grand tour dan studi
pustaka awal
2. Observasi lanjutan
3. Studi pustaka lanjutan
4. Wawancara
5. Kom pilasi dan Analisis
data
6. Sint esis data
7. Penulisan artikel
8. Penyusunan laporan
9. Pengum pulan laporan
28
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Mengenal Pura Sad Kahyangan & Kahyangan Jagat. Denpasar: Pustaka
Balipost.
Anonim. 2007. Balipost edisi 24 Oktober 2007.
Geldern, Robert von Heine. Konsepsi tentang Nagara dan Kedudukan Raja di Asia
Tenggara. Diterjemahkan oleh Deliar Noer. Jakarta: CV. Rajawali, 1982.
Hermanislamet, Bondan. 1999. Tata Ruang Kot a Majapahit: Analisis Keruangan Bekas
Pusat Kerajaan Hindu Jawa Abad XIV di Trowulan Jawa Timur. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada (disertasi belum diterbitkan).
Mulyadi, Lalu. 2001. Verifikasi Spasial Permukim an Hindu di Cakranegara Lom bok
Nusa Tenggara Barat. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gadjah
Mada (tesis belum diterbitkan).
Patra, Made Susila. 1985. Hubungan Seni Bangunan dengan Hiasan dalam Rum ah
Tinggal Adati Bali. Jakarta: Balai Pustaka.
Purna, I Made. 1994. Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan. Denpasar: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direkt orat Jenderal Kebudayaan. Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai
Budaya.
Snodgrass, Adrian. 1985. The Sym bolism of The Stupa. New York: Southeast Asia
Program, 120 Uris Hall, Cornell University, It haca.
Soekmono, R. 1990. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta:
Kanisius.
Sudhi, Padma. 1988. Sym bols of Art, Religion, and Phylosophy. New Delhi: Intellectual
Publishing House.
29