Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Stabilitas Sistem Keuangan

Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi yang memungkinkan sistem


keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap
guncangan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan
dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional. Sistem
keuangan adalah suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan,
infrastruktur keuangan, serta perusahaan non keuangan dan rumah tangga, yang saling
berinteraksi dalam pendanaan atau penyediaan pembiayaan pertumbuhan
perekonomian.

Peran bank indonesia dalam stabilisasi keuangan :

1.Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui
instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk
mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat
gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek
ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan
cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena
itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu
kebijakan yang disebut inflation targeting framework.

2. Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan
yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu
dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-
negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan.
Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan
dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut,
sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain
itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan
serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki
stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law
enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta
sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan
stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun
Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.

3. Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran


sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta
dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius
dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat
menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan
gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan
pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung
semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat
real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang
dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai
otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian
untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.

4. melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses
informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan
secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan
dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas
sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan
indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset
dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait
dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor
keuangan.

5. Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui
fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan
peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna
menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR
mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya
diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu
terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat
diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih
memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya
sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh
karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan
dalam penyediaan likuiditas tersebut.

Pentingnya stabilitas system keuangan ini berpengaruh langsung terhadap


stabilitas makro dalam sebuah sistem perekonomian dan begitu juga sebaliknya.
Ketika stabilitas makro bergejolak, stabilitas keuangan juga akan menerima
dampaknya. Kondisi makro ekonomi seperti stabilnya daya beli masyarakat, kuatnya
permintaan domestik,serta stabilnya nilai tukar rupiah bisa membawa pengaruh positif
bagi kestabilan sistem keuangan.

Ada beberapa alasan mengapa stabilitas system keuangan sangatlah penting


dalam sistem perekonomian.

a. sistem keuangan yang stabil akan dapat membentuk pasar yang sehat, terkontroldan
alokasi dari berbagai sumber daya yang ada dapat dikondisikan secaraoptimal.
b. sistem keuangan yang stabil akan memiliki dampak langsung pada kesehatan dunia
perbankan, dengan sistem keuangan yang stabil dunia perbankan dapat menjalankan
fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat secara maksimal, tentu
hal ini juga akan mempengaruhi sektor riil.

c. dengan stabilnya sistem keuangan tentu akan mempengaruhi perputaran jumlah


uang yang beredar di masyarakat. Hal ini karena sistem keuangan berjalan
denganbaik, sehingga inflasi-pun dapat dikendalikan.

d. biaya dari instabilitas sistem keuangan dapat ditekan karena pengaruh dari
instabilitas tersebut menyerang langsung sektor keuangan yang mempunyai biaya
restrukturisasi yang tidak murah, seperti sektor perbankan.

e. Instabilitas sistem keuangan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap


terjadinya krisis moneter, sehingga diperlukan upaya yang maksimal dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan.

stabilitas sistem keuangan memang sangat diperlukan seiring berjalannya


dinamika global, terbukti dari pelajaran berharga yang telah indonesia rasakan yaitu
krisis moneter yang terjadi pada priode 1997-1998, yang membuat kita tidak boleh
lengah pada dinamika tekanan global ini, untuk itu stabilitas sistem keuangan
sangatlah penting bagi sistem perekonomian indonesia karena pengaruhnya pada
kestabilan sistem moneter serta sektor perbankan. pentingnya stabilitas sistem
keuangan berdampak langsung pada kesehatan dunia perbankan, dengan
keseimbangan sistem keuangan maka dunia perbankan dapat menjalankan fungsinya
sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, dan juga tidak kita lupa bahwa
SSK atau sistem keuangan indonesia akan membentuk pasar yang sehat, terkontrol
dan alokasi dari berbagai sumber daya dapat dikondisikan secara optimal.

Untuk itu penerapannya stabilitas sistem keuangan tidak bisa berjalan dengan
sendirinya dan juga tidak lepas dari pihak-pihak yang bertanggung jawab dengan
jalannya stabilitas sistem keuangan tersebut, maka dari itu diperlukannya pihak-pihak
yang bertanggung jawab agar sisem keuangan berjalan semestinya, pihak- pihak yang
bertanggung jawab dan terlibat didalamnya yaitu:

a. otoritas keuangan (pemerintah, bank sentral, lembaga penjamin simpanan, dll)

b. pelaku keuangan (bank, pasar modal, lembaga keuangan non bank)

c. publik, khususnya pengguna jasa keuangan

Patut diketahui Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem
pembayaran. Tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter,
namun juga stabilitas sistem keuangan. Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas
moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan. Bila tidak seiring sejalan maka
tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan kedua stabilitas
ini yaitu stabilitas moneter dan stabilitas keuangan. Kebijakan moneter memiliki
dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas
keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Bila terjadi
ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat
berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan
mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem
keuangan. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter.
Untuk mencapai kondisi sektor keuangan yang stabil paling tidak diperlukan beberapa
prasyarat berikut:

1. Lembaga Keuangan yang Sehat

Lembaga-Iembaga keuangan yang berkiprah dalam sistem keuangan berada


dalam kondisi sehat dan stabil, dalam pengertian bahwa lembaga-lembaga tersebut
diyakini dapat memenuh Seluruh kewajibannya tanpa dukungan / bantuan pihak luar.

2. Pasar Keuangan yang Stabil

Peran penting dalam sistem keuangan dituntut untuk senantiasa stabil, yaitu
sehat, transparan, dan dikelola dengan baik. Kondisi pasar keuangan yang demikian
dapat membangun dengan baik, Kondisi pasar keuangan yang demikian dapat
membangun keyakinan para pelaku pasar untuk bertransasksi secara aktif, mendorong
terbentuknya tingkat harga pasar yang wajar, yaitu yang mencerminkan kekuatan
fundamental, serta memungkinkan para pelaku pasar mengukur dan mengelola resiko-
resiko pasar atas dasar informasi-informasi yang tersedia.

3. Lembaga Pengaturan dan Pengawasan yang Kompeten

Lembaga-lembaga penyangga yang berwenang melakukan fungsi pengaturan


dan pengawasan sektor keuangan, moneter dan fiskal mampu memformulasikan dan
menerapkan kebijakan Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting
dalam perekonomian. Sebagai bagian dari sistem perekonomian, sistem keuangan
berfungsi mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus kepada yang
mengalami defisit. Apabila sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi secara
efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi. Pengalaman menunjukkan, sistem keuangan
yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya
yang sangat tinggi untuk upaya penyelamatannya. Tahun 2003 Bank Indonesia mulai
berperan aktif dalam mendorong terciptanya stabilitas sistem keuangan di Indonesia,
antara lain melalui:

a. Pembentukan Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK);serta

b. Mengkomunikasikan hasil surveillance secara semesteran yang dituangkan dalam


laporan perdana yang dikenal dengan nama Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) No.1
Pelajaran berharga pernah dialami Indonesia ketika terjadi krisis keuangan
tahun 1998, dimana pada waktu itu biaya krisis sangat signifikan. Selain itu,
diperlukan waktu yang lama untuk membangkitkan kembali kepercayaan publik
terhadap sistem keuangan. Krisis tahun 1998 ini membuktikan bahwa stabilitas sistem
keuangan merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk dan menjaga
perekonomian yang berkelanjutan. Sistem keuangan yang tidak stabil cenderung
rentan terhadap berbagai gejolak  sehingga mengganggu perputaran roda
perekonomian. (www.bi.go.id)

Secara umum dapat dikatakan bahwa ketidakstabilan sistem keuangan dapat 


mengakibatkan timbulnya beberapa kondisi yang tidak menguntungkan seperti:

a. Transmisi kebijakan moneter tidak berfungsi secara normal sehingga kebijakan


moneter menjadi tidak efektif.

b. Fungsi intermediasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya akibat alokasi dana
yang tidak tepat sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.

c. Ketidakpercayaan publik terhadap sistem keuangan yang umumnya akan diikuti


dengan perilaku panik para investor untuk menarik dananya sehingga mendorong
terjadinya kesulitan likuiditas.

d. Sangat tingginya biaya penyelamatan terhadap sistem keuangan apabila terjadi


krisis yang bersifat sistemik.

Atas dasar kondisi di atas, upaya untuk menghindari atau mengurangi risiko
kemungkinan terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan sangatlah diperlukan,
terutama untuk menghindari kerugian yang begitu besar lagi.

Kerentanan (vulnerablity) sistem keuangan mengacu pasa sutau kondisi


ketidakseimbangan dalam sistem keuangan (financial imbalances) yng terjadi karena
perilaku pengambilan esiko (risk taking behaviour) dari agen perekonomian dalam
memaksimalkan keuntungan atau konsumsinya. Ketidakseimbangan ini antara lain
dapat terlihat dari peningkatan kredit yang tidak sesuai dengan kapasitas
perekonomian, perilaku prosiklikalitas perbankan, peningkatan konsentrasi resiko
kredit pada setor tertentu serta peningkatan utang luar negeri.

Jika terjadi guncangan, maka agen perekonomian dalam sistem keuangan


yangsejak awal sudah dalam kondidi rentan akan mengalami peningkatan resiko yang
dapat berujung pada resiko sistemik kepada sebagian atau seluruh sistem keuangan.
Risiko sistemik adalah potensi instabilitas sebagai akibat terjadingan gangguan
yangmenular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi
dari daktor ukuran, kompleksitas usaha,keterkaitan antar institusi dan pasarkeuangan,
serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari perilaku atau institusi keuangan
untuk mengkuti siklus perekonomian. Resiko sistemik memiliki dua dimensi, yaitu
dimensi time series dan dimensi cross section. Dimensi time eries adalah dimensi
runtun waktu yang menekankan pada bagaimana resiko dalam sistem keuangan
berevolusi sepanjang wkatu, termasuk evolusi yang menggikuti siklus perekonomian.
Sedangkan dimensi cross section adalah dimensi antar subjek yang mencerminkan
bagaimana resiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada saru periode tertentu yang
disebabkan oleh secara individual atau sektoral terdapat resiko konsentrasi dan
kesamaan eksposur atau resiko tertularnya gangguan antar individu atau sektor karena
keterkaitan dalam sistem keuangan. Sehbungan dengan hal-hal tersebut, diperlukan
sebah kebijakan yang memtigasi resiko sistemik dan bertujuan untuk mendorong
stabilitas sistem keuangan yang disebut sebagai kebijakan makroprudensia. Kebijakan
makroprudensial memiliki fokus pada resiko dalam sistem keuangan secara
keseluruhan, tidak hanya berfokus pada resiko masing-masing individu pelaku
keuanagan.

B. Karakteristik kebijakan Makroprudensial

Kebijakan makroprudensial didefinisikan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk


membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemik. Sementara European Systemic Risk
Board (ESRB), yaitu badan yang memiliki misi mengawasi sistem keuangan Eropa,
serta mencegah dan membatasi terjadinya risiko sistemik di sistem keuangan Eropa,
mendefinisikan kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang ditujukan untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, termasuk dengan memperkuat
ketahanan sistem keuangan dan mengurangi penumpukan risiko sistemik, sehingga
memastikan keberkelanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Penjelasan serupa disampaikan oleh IMF, yang mendefinisikan
makroprudensial sebagai kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara stabilitas
sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan risiko sistemik.

Merujuk pada beberapa definisi di atas, setidaknya terdapat 3 (tiga) kalimat kunci
untuk menggambarkan kebijakan makroprudensial, yakni diterapkan dengan tujuan
menjaga stabilitas sistem keuangan, diterapkan dengan berorientasi pada sistem
keuangan secara keseluruhan (system-wide perspectives), dan diterapkan melalui
upaya membatasi terbangunnya (build-up) risiko sistemik. Secara sederhana kebijakan
makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan
guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi.
Menjaga stabilitas sistem keuangan merupakan tujuan yang dilakukan bersama antara
beberapa otoritas. Dalam hal ini, terdapat lebih dari 1 (satu) otoritas yang memiliki
kepentingan dalam mencapai stabilitas sistem keuangan. Yang membedakan adalah
kewenangan masingmasing otoritas dalam upaya mencapai tujuan tersebut, seperti
bank sentral melalui kewenangan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran;
pemerintah melalui kewenangan fiskal; dan otoritas pengawas industri jasa keuangan
melalui kewenangan mikroprudensial. Dengan demikian, implementasi kebijakan
makroprudensial sangat mungkin dilakukan melalui interaksi dengan kebijakan lain,
terutama dengan kebijakan yang memiliki dampak pada sistem keuangan. Biasanya
interaksi ini bersifat saling melengkapi sehingga menjadikan elemen sistem keuangan
menjadi lebih berhati-hati (prudent). Melalui interaksi antarkebijakan ini, diharapkan
agar permasalahan yang terjadi pada sistem keuangan tidak berdampak negatif pada
kondisi makroekonomi dan sektor riil, serta sebaliknya. Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan
Makroprudensial memberikan arahan bahwa stabilitas sistem keuangan merupakan
suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif
dan efisien, serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga
alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan
stabilitas perekonomian nasional. Sementara, sistem keuangan didefinisikan sebagai
suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur
keuangan, serta perusahaan non keuangan dan rumah tangga yang saling berinteraksi
dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan perekonomian.

Bila kebijakan mikroprudensial difokuskan pada tingkat kesehatan individu


institusi keuangan (bank dan nonbank) dalam upaya menjaga stabilitas sistem
keuangan, maka kebijakan makroprudensial lebih berorientasi pada sistem secara
keseluruhan. Dengan demikian, fokus kebijakan makroprudensial tak hanya mencakup
institusi keuangan, namun meliputi pula elemen sistem keuangan lainnya, seperti pasar
keuangan, korporasi, rumah tangga, dan infrastruktur keuangan. Mengapa demikian?
Karena kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan dengan tujuan akhir
meminimalkan terjadinya risiko sistemik. Dalam beberapa penelitian, risiko sistemik
didefinisikan sebagai risiko yang dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik
dan peningkatan ketidakpastian dalam sistem keuangan sehingga sistem keuangan
tidak dapat berfungsi dengan baik dan mengganggu jalannya perekonomian. Risiko
sistemik dapat terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga, atau terjadi secara perlahanlahan
tanpa disadari atau dideteksi oleh berbagai pihak sehingga kebijakan yang tepat dapat
terlambat diterapkan. Efek negatif risiko sistemik pada perekonomian dapat dilihat dari
peningkatan jumlah gangguan pada sistem pembayaran, aliran kredit, dan penurunan
nilai aset. Dalam definisi yang lain, risiko sistemik dirumuskan sebagai kombinasi dari
keadaan-keadaan yang mengancam stabilitas atau kepercayaan publik terhadap sistem
keuangan; serta sebagai risiko instabilitas keuangan yang menyebar sehingga dapat
melumpuhkan fungsi sistem keuangan pada titik yang dapat mengganggu pertumbuhan
ekonomi dan menurunkan kesejahteraan masyarakat.Sementara pada PBI Pengaturan
dan Pengawasan Makroprudensial, risiko sistemik didefinisikan sebagai potensi
instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau
seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha
(complexity), keterkaitan antarinstitusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness),
serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk
mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Merujuk pada definisi risiko sistemik
di atas, dapat disimpulkan 3 (tiga) hal berikut :

1. Sumber risiko sistemik tidak harus berasal dari institusi keuangan, namun dapat
berasal dari elemen sistem keuangan lainnya, seperti kegagalan korporasi atau
permasalahan di sistem pembayaran, atau bahkan berasal dari gangguan (shock) di luar
sistem keuangan.
2. keterkaitan (interconnectedness) di antara elemen sistem keuangan memunculkan
potensi menularnya atau merambatnya risiko dari suatu elemen sistem keuangan
kepada seluruh elemen sistem keuangan (contagion effect).

3. potensi dampak yang ditimbulkan oleh risiko sistemik sangat luas, tidak hanya
terbatas pada sektor keuangan, namun dapat mengganggu perekonomian. Dengan
demikian, tujuan makroprudensial untuk meminimalkan risiko sistemik sesungguhnya
merupakan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan yang mencakup seluruh elemen
sistem keuangan dengan tetap memerhatikan kondisi makroekonomi. Tiga hal tersebut
di atas menunjukkan bahwa kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan bukan
merupakan satu-satunya syarat untuk mengukur risiko sistemik dan menciptakan
stabilitas sistem keuangan. Secara lebih luas, kebijakan makroprudensial mengukur
risiko sistemik dari limpahan (spillover) dampak dan biaya yang ditimbulkan, termasuk
interaksinya dengan makroekonomi. Lebih lanjut dalam penelitian di BIS dinyatakan
bahwa dalam perspektif makroprudensial, meskipun semua institusi keuangan
memiliki kinerja dan tingkat kesehatan yang baik, namun kondisi tersebut belum cukup
untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan. Potensi risiko sistemik tetap dapat
muncul apabila institusi keuangan menghadapi faktor risiko yang sama (common risk
factor), antara lain akibat pemusatan risiko pada portofolio yang sama (concentration
risk). Sementara itu, kinerja dan tingkat kesehatan setiap institusi keuangan tidak lagi
menjadi syarat perlu apabila kegagalan atau risiko pada satu atau beberapa institusi
keuangan tidak menimbulkan dampak yang signifikan (sistemik) terhadap sistem
keuangan. Dengan penjelasan tersebut, kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan
tidak lagi menjadi syarat “cukup” dan “perlu” bagi makroprudensial dalam
menciptakan stabilitas sistem keuangan. Berangkat dari konsep tersebut, guna
meminimalkan risiko sistemik dalam cakupan makroprudensial, terdapat 2 (dua)
dimensi yang menjadi menjadi acuan dalam proses identifikasi risiko dan perumusan
kebijakan, yakni dimensi antarsubjek (cross section) yang berfokus pada perbedaan
perilaku antarelemen dan agen keuangan, serta dimensi runtun waktu (time series)
yang berfokus pada dinamika perilaku elemen/agen keuangan dari waktu ke waktu. Hal
ini berbeda dengan kebijakan mikroprudensial yang cenderung hanya fokus pada
dimensi antarsubjek (cross section), atau kebijakan moneter yang cenderung hanya
fokus pada dimensi runtun waktu (time series). Secara lebih detail, dimensi antarsubjek
(cross section) menekankan bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada
satu periode tertentu, yang disebabkan oleh terpusatnya portofolio pada eksposur
tertentu (concentration risk) atau adanya kesamaan eksposur (common risk factor),
sehingga potensi menyebarnya risiko antarindividu/sektor (contagion risk) menjadi
tinggi. Akibatnya, permasalahan yang terjadi di satu institusi dapat berakibat negatif
pada institusi lainnya baik melalui saluran langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan, dimensi runtun waktu (time series) menekankan pada bagaimana risiko
dalam sistem keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk evolusi dengan
mengikuti siklus ekonomi (procyclicality). Adanya fokus pada dimensi runtun waktu
ini yang mengakibatkan kebijakan makroprudensial umumnya bersifat time-varying
(bervariasi menurut waktu), artinya kalibrasi kebijakan bersifat dinamis sesuai dengan
evolusi terhadap siklus ekonomi. Permasalahan atau risiko yang mencakup dimensi
runtun waktu selanjutnya akan direspon dengan kebijakan yang bersifat berlawanan
dengan siklus ekonomi (countercyclical). Meskipun semakin banyak otoritas keuangan
yang mengimplementasikan kebijakan makroprudensial, namun belum ada teori
ekonomi yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan makroprudensial.
Berbeda dengan kebijakan moneter yang menargetkan tingkat inflasi dengan variasi
instrumen kebijakan yang jelas, seperti suku bunga, nilai tukar, dan uang beredar,
target kebijakan makroprudensial untuk mencapai stabilitas sistem keuangan dengan
meminimalkan risiko sistemik tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan satu
indikator. Hingga saat ini belum ada metode kuantitatif (model) yang secara
komprehensif dapat mengukur risiko sistemik pada sistem keuangan, selain model dan
metodologi yang menilai satu atau beberapa aspek risiko sistemik secara terpisah.
Belum berkembangnya teori yang menjadi pedoman pelaksanaan kebijakan
makroprudensial ini melatarbelakangi bank sentral dan otoritas keuangan negara-
negara untuk mulai mengembangkan kerangka kebijakan makroprudensial sebagai
pedoman untuk memastikan kebijakan makroprudensial, yang setidak-tidaknya
dirumuskan dengan prosedur yang tepat berdasarkan informasi yang akurat dan
dieksekusi dengan tepat waktu pada target yang sesuai. Upaya pengembangan
kerangka kebijakan tersebut terus dilakukan sejalan dengan upaya mitigasi risiko
sistemik melalui pengembangan metode identifikasi, monitoring, dan analisis risiko
yang komprehensif.

C. Instrumen kebijakan makroprudensial di indonesia

Berikut ini beberapa contoh instrumen kebijakan makroprudensial yang telah


diimplementasikan di Indonesia yang pengaturannya dilakukan oleh Bank Indonesia:

1. Loan-to-Value Ratio (LTV) atas Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Penentuan
Down Payment (DP) atas Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).

Perumusan kebijakan LTV atas KPR dan DP atas KKB dilatarbelakangi oleh
pertumbuhan kredit sektor properti dan kendaraan bermotor yang cukup tinggi saat itu,
sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya pembentukan risiko sistemik akibat
perilaku ambil risiko yang berlebihan (excessive risk taking behaviour). Kebijakan
batasan minimum atas LTV untuk KPR dan DP untuk KKB pertama kali
diimplementasikan pada tahun 2012. Hingga saat ini, kebijakan tersebut telah
disesuaikan 2 (dua) kali pada tahun 2013 dan 2015, yakni dengan melakukan
perubahan atas besaran nilai minimum LTV dan DP yang disesuaikan dengan siklus
perekonomian dan pertumbuhan kredit. Perubahan terakhir yang dilakukan bersifat
pelonggaran (ekspansi) dengan tujuan untuk menjaga momentum pertumbuhan
perekonomian melalui peningkatan fungsi intermediasi, agar bank dapat mengucurkan
lebih banyak kredit. Adapun besaran nilai minimum LTV dan DP yang saat ini berlaku
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 17/10/PBI/2015 tanggal 18 Juni 2015
tentang Rasio Loan-to-Value atau Rasio Financiang-to-Value untuk Kredit atau
Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor.

2. Giro Wajib Minimum (GWM) berdasarkan Loan-to-Funding Ratio (LFR)

GWM LFR adalah simpanan minimum dalam Rupiah yang wajib dipelihara oleh
bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia, sebesar persentase
tertentu dari dana pihak ketiga (DPK) yang dihitung berdasarkan selisih antara LFR11
yang dimiliki oleh bank dengan LFR target12. Kebijakan tersebut dikembangkan
dengan tujuan untuk mengurangi build-up risiko sistemik melalui pengendalian fungsi
intermediasi perbankan sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan
perekonomian, serta menjaga likuiditas perbankan. Dengan demikian, kebijakan ini
diharapkan mampu mendorong terciptanya fungsi intermediasi yang seimbang dan
berkualitas, dengan tetap menjaga kondisi likuiditas bank. Kebijakan mengenai GWM
LFR dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 17/11/PBI/2015 tanggal 26 Juni
2015 tentang Perubahan atas PBI No. 15/15/PBI/2015 tentang Giro Wajib Minimum
Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.

3. Countercyclical Capital Buffer (CCB)

CCB merupakan tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer)


untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan
perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem
keuangan. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kebijakan ini merupakan salah satu
kebijakan yang dirumuskan dalam mandat internasional, dengan melihat fenomena
adanya kecenderungan pertumbuhan kredit yang bersifat prosiklikal, yaitu
pertumbuhan pesat pada saat ekonomi sedang bertumbuh dengan cepat (boom) dan
pertumbuhan menurun bahkan negatif pada saat ekonomi menurun (bust), sehingga
berpotensi menyebabkan peningkatan risiko sistemik dalam kondisi ekonomi boom.
Implementasi kebijakan CCB di Indonesia diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.
17/22/PBI/2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Kewajiban Pembentukan.

D. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Moneter dan


Mikroprudensial

Sebagai kebijakan yang paling terakhir masuk menjadi bagian tugas dari bank
sentral, adalah wajar jika kebijakan makroprudensial harus beradaptasi dan
menghormati kebijakan lainnya yang sudah menjadi tugas utama bank sentral,
terutama kebijakan moneter. Namun perlu dicatat juga, bahwa kebijakan
makroprudensial yang bertujuan membatasi risiko sistemik untuk menjaga stabilitas
keuangan memang justru lahir karena stabilitas moneter tidak akan tercapai tanpa
adanya stabilitas keuangan. Demikian pula sebaliknya. Hal ini disebabkan karena
transmisi kebijakan moneter berlangsung melalui sistem keuangan, serta perilaku
institusi/agen keuangan sangat dipengaruhi oleh kebijakan moneter.Keunikan dari
kebijakan makroprudensial adalah kemampuannya dalam memberikan dampak kepada
target agen keuangan tertentu. Misalnya, kebijakan makroprudensial bisa saja hanya
ditujukan kepada agen keuangan yang berperilaku spekulatif dalam investasi di bidang
properti, seperti melalui kebijakan loan-to-value (LTV) yang dirancang untuk menahan
perilaku spekulatif dengan cara mempersyaratkan uang muka yang lebih besar untuk
kredit pembelian rumah kedua dan seterusnya. Kelebihan ini tidak dimiliki oleh
kebijakan moneter, di mana pada saat ditetapkan, akan berlaku rata bagi semua agen
keuangan.Namun, kebijakan makroprudensial juga bukanlah senjata pamungkas yang
dapat menyelesaikan semua permasalahan di perekonomian. Kebijakan ini dirancang
untuk melengkapi kebijakan makroekonomi termasuk moneter dan fiskal, serta
kebijakan mikroprudensial. Perlu diperhatikan bahwa target dari kebijakan
makroprudensial adalah keseluruhan atau bagian dari sistem keuangan demi
mengurangi potensi terjadinya risiko sistemik, yang jika tidak dimitigasi dapat
menyebabkan terjadinya krisis keuangan yang dapat mengganggu stabilitas
perekonomian. Kekuatan dari kebijakan makroprudensial adalah kemampuannya
menjaga keseimbangan antara pendekatan makroekonomi yang cenderung hanya
melihat kondisi perekonomian secara agregat dan pendekatan mikroprudensial yang
cenderung hanya memastikan individu institusi keuangan sehat. Interaksi antara
kebijakan makroprudensial dengan kebijakan mikroprudensial lebih mudah
diobservasi, karena pada dasarnya kebijakan makroprudensial diimplementasikan
dengan menggunakan instrumen mikroprudensial, namun diberlakukan dengan tujuan
yang berbeda dari tujuan mikroprudensial. Dalam kebijakan makroprudensial,
terkadang kesehatan beberapa institusi keuangan terpaksa dikorbankan jika hal tersebut
dapat menyelamatkan sistem keuangan secara keseluruhan. Misalnya, pada saat
penyaluran kredit sudah berlebihan, kebijakan makroprudensial akan
memformulasikan tambahan persyaratan minimum permodalan bank sehingga
mendorong bank mengurangi perilaku ambil untung (Countercyclical Capital
Buffer/CCB). Modal penyangga ini dimaksudkan untuk dapat dipergunakan oleh bank
untuk menyerap kerugian pada saat kondisi perekonomian menurun di mana kinerja
kredit cenderung menurun. Bagi bank, hal ini akan meningkatkan biaya dananya
sehingga mengurangi keuntungannya. Beberapa bank bisa saja mengalami kesulitan
untuk memenuhi peningkatan modal minimum ini sehingga tingkat kesehatannya
menurun, namun hal ini akan melindungi keseluruhan sistem perbankan yang perlu
berjaga-jaga terhadap membaliknya kondisi perekonomian. Oleh karena itu, wajar juga
jika kebijakan makroprudensial cenderung fokus pada institusi keuangan yang
memiliki dampak sistemik (misalnya bank sistemik atau systemically important bank),
dengan mengimplementasikan aturan-aturan yang ketat untuk menjaga
keberlangsungan institusi keuangan tersebut, sehingga tidak menimbulkan risiko
sistemik.Jika disinkronisasikan, kebijakan makroprudensial dan kebijakan moneter
memiliki kemampuan untuk saling menguatkan. Pada saat perekonomian melaju terlalu
cepat misalnya, kedua kebijakan ini bisa mencoba mengerem pertumbuhan kredit
perbankan. Kebijakan moneter dengan cara meningkatkan suku bunga acuan, dan
kebijakan makroprudensial dengan cara meningkatkan persyaratan permodalan bank
pada saat ekonomi sedang meningkat (CCB). Kedua kebijakan ini akan menyebabkan
biaya dana meningkat sehingga menurunkan ketersediaan dana untuk kredit, serta jika
biaya dana dibebankan kepada debitur dalam bentuk kenaikan suku bunga kredit akan
menambah biaya pelunasan kredit (repayment), sehingga akan mengurangi permintaan
kredit. Namun ada kalanya, kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial dapat
berlawanan dampaknya. Misalnya, dalam kondisi suku bunga yang rendah di mana
kebijakan moneter dilonggarkan karena kebutuhan untuk mendorong perekonomian
secara agregat, dapat memicu terjadinya penggelembungan harga properti (kenaikan
harga yang berlebihan karena permintaan yang lebih tinggi daripada persediaan) atau
biasa disebut bubble. Kondisi ini harus ditangani dengan kontraksi kebijakan
makroprudensial, berupa LTV yang lebih ketat, di mana uang muka harus lebih tinggi
untuk pembelian properti agar dapat menurunkan permintaan pembelian rumah.
Kondisi yang dapat menimbulkan konflik kebijakan lainnya yaitu kebijakan moneter
yang terlalu ketat untuk menurunkan tekanan pada nilai tukar Rupiah, yang berpotensi
memberikan tekanan likuiditas pada perbankan. Adanya contoh-contoh di atas semakin
menunjukkan perlunya sinergi antara kebijakan moneter dan kebijakan
makroprudensial, serta sinergi antara kebijakan makroprudensial dan kebijakan
mikroprudensial. Koordinasi antara kebijakan moneter dan makroprudensial telah
berlangsung di bawah satu atap Bank Indonesia. Sementara, koordinasi kebijakan
makroprudensial dan kebijakan mikroprudensial berlangsung antara Bank Indonesia
dan OJK dalam mekanisme yang disebut Forum Koordinasi Makro dan Mikro.

E. Kebijakan Makroprundensial di Indonesia

Sejak pendirian Biro Stabilitas Sistem Keuangan di Bank Indonesia (BI) pada 2003,
BI telah terlibat dalam mendukung terjadinya kestabilan sistem keuangan. Hal ini kemudian
dipertegas melalui UU No.21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang
menyatakan pengaturan dan pengawasan makroprudensial merupakan kewenangan Bank
Indonesia. Hal inilah yang menjadi dasar bagi BI untuk melaksanakan kebijakan
makroprudensial. Selanjutnya, kebijakan makroprudensial menjadi bagian dari strategi
bauran kebijakan BI untuk mendukung stabilitas perekonomian.

Makroprudensial lebih mengarah kepada analisis sistem keuangan secara keseluruhan


sebagai kumpulan dari individu lembaga keuangan. Dimana kegagalan regulasi maupun
kegagalan pasar yang menyebabkan krisis mendorong perlunya kebijakan makroprudensial

Berdasarkan PBI No. 16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan


Makroprudensial tanggal 1 Juli 2014, Kebijakan makroprudensial ditujukan untuk mengatur
dan mengawasi sistem keuangan, termasuk perbankan dalam rangka:

a. Mencegah dan mengurangi risiko sistemik

b. Mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas

c. Meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan

Penerapan kebijakan di bidang makroprudensial di Bank Indonesia dilakukan melalui


fungsi pengaturan, pengawasan (surveillance), serta pengembangan dan perluasan akses
keuangan. Berbeda dengan kebijakan mikroprudensial yang lebih berorientasi kepada
kesehatan individu lembaga keuangan dan perlindungan nasabah, kebijakan
makroprudensial lebih berorientasi pada sistem keuangan secara agregat. Walaupun bersifat
makro, kebijakan makroprudensial dapat diarahkan untuk mengendalikan risiko sektor
tertentu (targeted), seperti kebijakan Loan to Value Ratio untuk kredit perumahan dan
batasan uang muka minimum sektor otomotif. Selain itu, sifat kebijakan makroprudensial
yang countercyclical bermanfaat dalam meredam volatilitas makro ekonomi.

Sampai saat ini, Bank Iindonesia telah menerbitkan tiga kebijakan makroprudensial,
yaitu pembatasan pemberian kredit (Loan to Value-LTV) untuk mencegah penyaluran
kredit perumahan rakyat dan kredit kendaraan bermotor yang berlebihan, kebijakan dalam
menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dan pelaksanaan fungsi intermediasi
secara optimal melalui pengaturan likuiditas (Giro Wajib Minimum Sekunder dan Giro
Wajib Minimum-Loan to Deposit), dan pengaturan transparansi informasi suku bunga dasar
kredit (SBDK) untuk meningkatkan transparansi pricing suku bunga kredit, sekaligus
mencerminkan efektivitas transmisi suku bunga kebijakan dari bank sentral.

Secara keseluruhan, kebijakan-kebijakan ini telah mendukung terjaganya stabilitas


sistem keuangan Indonesia sampai saat ini. Tantangan ke Depan Memperhatikan
international best practise dan kondisi Indonesia saat ini dan masa mendatang, instrumen
kebijakan makroprudensial yang perlu dikembangkan di Indonesia menurut Darsono yang
merupakan Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial antara lain:

a. Instrumen pengaturan untuk mencegah dan mengurangi pertumbuhan kredit yang


berlebihan antara lain penetapan acuan risiko pertumbuhan kredit dalam rencana bisnis
lembaga keuangan, pengaturan rasio kredit terhadap nilai pasar agunan (load to value ratio)
dan rasio hutang terhadap pendapatan (debt to income ratio).

b. Instrumen pengaturan untuk mencegah dan mengurangi leverage yang berlebihan antara
lain pengaturan tambahan permodalan untuk antisipasi kondisi siklikal, dan
macroprudential leverage ratio.

c. Instrumen pengaturan untuk mencegah dan mengurangi maturity mismatch yang


berlebihan dan tidak likuidnya pasar antara lain pengaturan macroprudencial adjustment to
liquidity ratio (liqudity coverage ratio), macroprudencial restrictions on funding sources
(net stable funding ratio).

d. Instrumen pengaturan untuk membatasi konsentrasi eksposur antara lain pengaturan


batasan pemberian kredit kepada sektor tertentu dan persyaratan central counterparties
(CCP).

e. Instrumen pengaturan untuk membatasi dampak sistemik dari systemically important


financial institutions antara lain pengaturan tambahan permodalan

(capital surcharges).

f. Instrumen pengaturan untuk memperkuat ketahanan infrastruktur sistem keuangan antara


lain pengaturan disclosure (transparansi) dan persyaratan margin dan haircut terhadap
central counterparties . Bank Indonesia berkomitmen untuk memperkuat kerja sama dan
koordinasi dengan Kementerian Keuangan, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan yang diperlukan dalam menunjang pembangunan
nasional.
DAFTAR PUSTAKA

www.bi.go.id(http://www.bi.go.id/id/ruangmedia/infoterbaru/Documents/Sesi%201%20-
%20Stabilitas%20Sistem%20Keuangan%20-%20s.pdf)

Bank Indonesia. 2016. Kajian Stabilitas Keuangan. (e-book)

http://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/stabilitas-sistem-keuangan/Pages/Peran-Bank-
Indonesia.aspx (dilihat 2 April 2022)

Bank Indonesia.(2016).Mengupas tuntas makroprudensial.jakarta

http://www.bi.go.id/id/perbankan/ssk/serbaserbi/Documents/Makroprundensial.pdf (dilihat
2 april 2022)

Anda mungkin juga menyukai