Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Sebagai murid Wirapati, ia diajar membenci semua macam senjata racun. Apalagi
yang berwujud senjata bidik. Teringat betapa seng-sara gurunya akibat kena racun,
darah ksatrianya terbangun dengan serentak. Melihat Edoh Permanasari hendak
menghabisi nyawa Sidi Mantra, ia memungut batu dan menyentilnya dengan
tenaga dua bagian. Pedang Edoh Permanasari yang turun deras ke bawah, terpental
ke udara dan tertancap separuh dalam tanah. Dengan demikian betapa dahsyat
tena-ga Sangaji tak dapat dibayangkan lagi.
Sedang ia mengira Edoh Permanasari bakal kabur oleh peristiwa itu, enam jarum
beracun menyambar Inu Kertapati.
Dalam dirinya mengalir ilmu sakti Mayangga Seta warisan Kyai Kasan Kesambi yang
sudah mendarah daging dengan ilmu sarwa sakti lainnya. Dahulu sebelum
memperoleh ajaran ilmu Mayangga Seta ia sudah dapat menangkap suara napas
Fatimah tatkala kena aniaya di seberang lapangan. Apalagi kini. Dengan tak
bersusah payah ia bisa menangkap jumlah enam batang jarum yang berdesingan.
Ilmu melepas jarum Edoh Permanasari sangat terkenal kecepatannya. Tapi ilmu
membidik senjata rahasia ajaran pendekar Gagak Seta lebih cepat lagi. Begitu
terlepas dari tangan Sangaji keenam batang jarum Gunung Gilu runtuh tersebar di
tanah.
Baik Edoh Permanasari maupun Inu Kertapati, tertegun seperti kena pukau. Edoh
Permanasari kabur dan Inu Kertapati mene-barkan penglihatannya mencari tempat
ber-adanya penolongnya. Dan pada saat itu, Sangaji muncul dari tempat
persembunyian-nya.
Waktu itu fajar hari masih berselimut tirai tebal. Inu Kertapati hanya melihat
sesosok ba-yangan yang datang menghampiri dengan tiba-tiba. Dengan terbata-
bata ia menyong-song.
Sangaji tidak mengindahkan kata-kata penyambut itu. Mengingat ucapan Edoh Per-
manasari, ia mengkhawatirkan keadaan Sidi Mantra, maka ia menyahut,
"Bagaimana keadaan Paman Sidi Mantra?"
Mendengar kata-kata Sangaji, Inu Kertapati tertegun. Ia nyaris tak percaya kepada
pen-dengarannya sendiri. Bukankah itu suara Sangaji. Ia berkata mencoba, "Apakah
Tuan... eh... Saudara Sangaji?"
Kalau orang menemukan sebutir berlian, tidaklah segirang rasa Inu Kertapati pada
saat itu. Hatinya terharu, lega dan bangga. Seperti kanak-kanak memperoleh
hadiah sebatang cokelat ia melompat dan menggandeng tangan Sangaji.
"Marilah kita periksa dahulu lukanya Paman Sidi Mantra!" ajak Sangaji.
Sidi Mantra kala itu tidak berkutik lagi. Napasnya kempas-kempis dan berada dalam
keadaan lupa ingat. Buru-buru Inu Kertapati menyalakan api. Ternyata kaki Sidi
Mantra menjadi bengkak dan bersemu hitam hangus.
Tak kusangka begini ganas racunnya, pikir-nya dalam hati. Hanya sebatang, namun
cukup kuat merenggut nyawa orang semacam Sidi Mantra.
Ia tak mengetahui, bahwa dalam tubuh Sangaji mengalir getah sakti Dewadaru dan
Madu Tunjungbiru penolak dan pelawan segala bisa di dunia betapa jahatpun.
Dengan tenang, Sangaji mengurut kaki Sidi Mantra. Kemudian ia mendorong bisa
jarum Gilu ke ujung kaki.
Sebentar saja, bisa yang sudah bercampur dengan darah merembes ke luar melalui
lubang keringat dan menetes ke tanah dengan warna hitam.
Semenjak kena diurut Sangaji, perasaan Sidi Mantra menjadi enteng. Ia sadar
kembali dengan begitu saja. Dan tatkala semua racun yang mengeram dalam
dirinya merembes ke luar, perasaan kakunya lenyap. Dengan mata kepalanya
sendiri ia menyaksikan betapa bisa jarum Gilu menetes ke tanah. Berbareng de-
ngan rasa ngerinya, ia heran dan kagum meli-hat penolongnya. Mau ia berkata,
mendadak suatu hawa yang nyaman luar biasa membanjir bagaikan air bah
merayap memasuki semua jalan darahnya. Seketika itu juga, seluruh perasaannya
menjadi segar bugar, bengkaknya hilang. Terus saja ia melompat bangun sambil
berseru, "Saudara Sangaji! Ilmu malaikat ini kau peroleh dari mana?"
Dengan air mata berlinangan, Sidi Mantra membungkuk membuat sembah. Hatinya
ter-haru sampai dadanya terasa menjadi sesak. Semenjak menjadi pemuda
tanggung, ia sudah mendengar tentang dahsyatnya jarum berbisa dari Gunung
Gilu. Sepanjang pendengarannya belum pernah ada seorangpun yang bisa hidup
kembali apabila kena bisa racun berbisa itu.
Kecuali bisa mendapat ampun dari pembidik-nya. Karena itu ucapannya terhadap
Sangaji benar-benar tidak berlebih-lebihan. Katanya lagi setelah menyusut air mata.
"Saudara dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan betapa benar kata-kata
pendekar Tunjungbiru. CJntuk zaman ini tiada manusia lain lagi yang melebihi
kesaktianmu. Sungguh. Demi Tuhan, maka benar-benarlah engkau yang pantas
memiliki kalung berlian pusaka Kerajaan Banten. Aku sekarang mati-pun puas."
Setelah berkata demikian ia membungkuk hormat lagi. Lalu berkata kepada Inu
Kerta-pati, "Kertapati! Salah tidak apa yang kuka-takan ini?"
"Ah, ya!" Inu Kertapati dan Sidi Mantra menyahut hampir berbareng. "Dia seperti
iblis. Sebentar datang, sebentar hilang. Ke mana perginya hanya setan yang tahu."
"Mari!" ajak Sangaji. Dan begitu menjejak-kan kaki, tubuhnya musnah dari
penglihatan.
Inu Kertapati dan Sidi Mantra kagum luar biasa. Setelah saling memandang mereka
segera menancap gas. Mereka termasuk go-longan pendekar utama, namun
demikian tak mampu melihat bayangan Sangaji meski sekelebatpun. Hati mereka
bertambah-tambah menjadi kagum. Diam-diam mereka merasa takluk. Terpaksalah
mereka membuang rasa kehormatan diri dan berteriak-teriak sekuat-kuatnya:
"Saudara Sangaji! Saudara Sangaji." Lucu kedengarannya. Mereka memanggil
Sangaji saudara. Sebaliknya Sangaji memanggilnya paman. Namun mereka tak
memperdu-likan kejanggalan itu.
Rupanya teriakan mereka terdengar oleh Sangaji. Pemuda itu yang sebenarnya
tidak berniat memamerkan kemampuannya segera melambatkan larinya. Sebentar
kemudian Inu Kertapati dan Sidi Mantra sudah datang menyusulnya. Dan mereka
bertiga berlari-lari-an sepanjang pantai ke jurusan barat.
Luar biasa anak ini, pikir Inu Kertapati. Selama hidupku baru kali ini aku
menyaksikan suatu tenaga ajaib. Masalah napasnya sama sekali tak terdengar
mengangsur seolah-olah berjalan menikmati alam fajar hari.
Mereka terus berlari-larian sampai hampir mendekati fajar hari. Tiba-tiba mereka
melihat sebuah kampung nelayan terbakar hebat. Apinya berkobar-kobar kena ayun
angin laut. Anehnya tiada terdengar suara manusia, seakan-akan sebuah kampung
tiada berpeng-huni.
"Paman! Nampaknya terjadi sesuatu hal yang tidak beres," kata Sangaji.
"Ya... ya... ya..." Mereka menyahut dengan menjenakkan napas. Mereka bertiga
meng-hampiri kampung dan melihat suatu peman-dangan yang mengerikan. Tua-
muda, laki-laki perempuan, kanak-kanak sampai keter-nak-ternaknya mati
bergelimpangan dengan tubuh cerai berai. Melihat pemandangan ini, Sangaji
mengerutkan kedua alisnya. "Perbuatan siapa ini?"
Inu Kertapati dan Sidi Mantra segera memeriksa. Mendadak mereka saling berte-
riak, "Lihat! Lihat!"
"Bukankah ini akibat bisa jarum siluman betina itu?" teriak Sidi Mantra bergusar.
Sangaji berdiri tertegun beberapa waktu lamanya. Kedua alisnya tiba-tiba mengke-
rut hebat. Sekonyong-konyong suatu gelombang suara bagaikan guntur keluar dari
mulutnya.
Inu Kertapati dan Sidi Mantra bukan orang lemah. Namun seperti kena dorong suatu
te-naga dahsyat, mereka terlempar dua puluh langkah.
Suara itu melambung dan mengalun tinggi menyusup udara seperti gerakan seekor
naga mulai terbang. Lautan api yang sedang me-musnahkan perkampungan
disibakkan berte-baran. Bumi tergetar dan pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang
pantai bergoyangan. Dan rumah-rumah nelayan itu akhirnya meluruk berguguran....
Selama hidupnya baru untuk yang pertama kali itu, Sangaji memperlihatkan rasa
marah-nya. Itupun sebenarnya tak disengajanya. Yang terasa di dalam dirinya
adalah suatu kegon-cangan hati oleh kesan suatu penglihatan yang menusuk darah
ksatrianya. Ia ingin berteriak menggugat terjadinya peristiwa itu. Dan berteriaklah
dia. Saling menyusul. Akibatnya hebat. Ilmu saktinya yang tersekam dalam lubuk
hatinya bergolak dahsyat. Meluap-luap dan akhirnya meruap tiada terbendung lagi.
Belum habis gelombang teriakan yang pertama sudah disusul yang kedua yang
ketiga dan seterusnya. Ia merasakan suatu kelegaan dan berhenti dengan
mendadak.
Inu Kertapati dan Sidi Mantra tadi tak berkesempatan menutup telinganya. Syukur,
mereka bukanlah orang lemah. Ilmu kepandaiannya sebanding dengan pendekar-
pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Namun masih saja mereka tak kuasa
mempertahankan diri. Setelah terpental dua puluh langkah mereka jatuh
bergulingan. Cepat-cepat mereka.duduk bersila mengatur napas. Tak urung
tubuhnya menggigil dan wajahnya pucat lesi.
"Saudara Sangaji! Ini ilmu apa?" seru Sidi Mantra dengan bergetar. Sepanjang
hidupnya baru kali itu ia menyaksikan ilmu sakti demikian, hingga mengira Sangaji
adalah penjelmaan Dewa Wisnu. Katanya lagi penuh rasa kagum, "Suara
tantanganmu benar-benar tak ubah jerit seratus ribu ekor gajah dengan
berbareng." Ia mengira Sangaji melepaskan teriakkan tantangan terhadap Edoh
Permanasari.
Inu Kertapati yang sudah berhasil mengua-sai diri, meloncat bangun dan berkata
kagum pula, "Hebat! Sungguh hebat! Dengan suara bergelora demikian seseorang
akan bisa me-nguasai seluruh Nusantara. Karena setiap orang akan mendengarkan
tiap titahnya. Sau-dara Sangaji! Engkaulah manusianya yang benar-benar tepat
memimpin kami."
Sangaji tak menyahut seolah-olah tak mendengar suara mereka. Hatinya pepat
meli-hat mayat-mayat tak berdosa bergelimpangan di antara reruntuhan
perkampungan. Dengan berdiam diri ia membuat lubang besar. Kemudian
mengumpulkan mayat-mayat itu dan menguburnya dengan penuh hormat. Sudah
barang tentu Inu Kertapati dan Sidi Mantra tak mau ketinggalan. Walaupun mere-ka
bukan manusia-manusia penjilat, tapi mereka bekerja seperti berebutan oleh rasa
bangga dan berbesar hati. Ini disebabkan karena mereka merasa takluk dan kagum
luar biasa terhadap Sangaji. Tidak mengherankan bahwa pekerjaan mengubur
mayat-mayat itu rampung berbareng dengan tibanya pagi hari.
Mereka balik memasuki kota Jakarta de-ngan berjalan. Setelah lama berdiam diri,
akhirnya Inu Kertapati membuka mulut.
Sangaji mendengar sejarah Ratu Fatimah hanya selintasan tatkala mengintip pem-
bicaraan pendekar Toha dan Kosim di dekat unggun batu Rababa Tapa. Hanya saja
ia sangsi akan kebenarannya. Karena itu ia tak menyahut. Sebaiknya bagi rakyat
Jawa Barat tidaklah asing. Maka oleh diamnya Sangaji, Inu Kertapati
menganggapnya sudah menger-ti. Segera ia berkata melompat, "Ratu Bagus Boang
mempersatukan segenap pendekar dari seluruh penjuru. Tetapi Ratu Fatimah
ternyata siluman cerdik. Ia meminta bantuan kompeni serta mengerahkan sekalian
murid-nya. Muridnya ditebarkan ke dalam tubuh laskar pejuang rakyat Banten
untuk ditu-gaskan menggempur dari dalam. Sedangkan kompeni menggencet dari
luar. Betapa hebat sepak terjang murid-murid Ratu Fatimah bisa dilihat dan diukur
dari sepak terjang serta ketangkasan Edoh Permanasari. Padahal dia termasuk
golongan murid termuda. Selain itu, Ratu Fatimah memecah pula golongan pen-
dekar. Ia menguasai pendekar-pendekar yang hidup di sekitar Serang sampai Teluk
Pela-buhan Ratu. Dari daerah sekitar Cibinong sampai Majalengka. Dan dari daerah
sekitar Sukabumi sampai Cibatu. Itulah hampir selu-ruh Jawa Barat, Bisa
dibayangkan betapa sempit daerah gerak pasukan Ratu Bagus Boang. Melihat
kenyataan ini Ratu Bagus Boang berduka. Kemudian beliau mencoba mendekati
pendekar sakti murid Resi Budha Wisnu. Tapi gagal."
"Siapa?" Sangaji terkejut sewaktu mende-ngar disebutnya nama Resi Budha Wisnu.
"Dialah pendekar sakti Watu Gunung. Mengapa? Apakah Saudara Sangaji kenal
tokoh sakti itu?"
Tiba-tiba terdengar suara Inu Kertapati berkata lagi, "Bagus! Jika engkau sudah me-
ngenal tokoh itu, setidak-tidaknya akan me-ngurangi kesukaran kami di kemudian
hari. Sebab pada waktu ini, dialah musuh kami yang utama. Gerak-geriknya sukar
diduga. Berapa banyak korban rakyat kita yang mati di tangannya, tak terhitung
lagi. Belum lagi bisa dan racun yang ditebarkan Ratu Fatimah. Belum lagi yang
tewas berguguran menghadapi laras senapan kompeni." la berhenti sejenak.
Meneruskan dengan suara rendah,"Selagi pihak kami terancam malapetaka, Ratu
Bagus Boang dikabarkan musnah tiada jejak. Berita ini benar-benar mengejutkan
hati segenap orang gagah. Seperti sebuah perahu layar kehilangan tiang agung,
kami berjuang tanpa tenaga dorong. Dan perjuangan macam begini berarti
menambah jumlah korban. Karena itu harapan kami kini hanya kepadamu."
"Ya hanya kepadamu," Sidi Mantra me-nguatkan. "Kau mempunyai ilmu sakti tak
ubah malaikat, masakan akan membiarkan kami menjadi bangkai-bangkai anjing."
Semenjak tadi Sidi Mantra membungkam mulut. Tapi sekali berbicara kata-katanya
tajam. Itulah yang membuat Edoh Perma-nasari menjadi kalap.
"Saudara Sangaji" katanya lagi. "Biarpun umurku sudah melampui setengah abad
dan engkau pantas menjadi cucuku tapi aku akan memanggilmu saudara. Peduli
apa? Malahan sebentar lagi aku akan bisa memanggilmu Gusti Aji. Engkau tadi
kusembah, karena engkau penolong jiwaku. Sekarang patutlah aku bersembah,
karena engkau akan menjadi junjunganku." Setelah berkata demikian, benar-benar
membuat sembah. Keruan saja Sangaji mengelak dengan tersipu-sipu.
"Kami datang membawa barang hantaran rakyat kepadamu dengan dalih memohon
per-tolonganmu untuk membebaskan Ki Tun-jungbiru semata. Itulah tidak benar
seluruhnya. Sebab di samping itu, kami atas nama rakyat Kerajaan Banten
memohon padamu agar membebaskan seluruh rakyat Jawa Barat dari penindasan
kompeni dan tindak sewenang-wenang sisa-sisa pengaruh Ratu Fatimah. Sekiranya
engkau tidak mau mengabulkan hal ini, biarlah aku mati kering di sini serata tanah.
Mendengar kata-kata dan perbuatan mere-ka, hati Sangaji yang sederhana menjadi
bi-ngung. Bergaul dengan para pendekar sema-cam mereka, bagi Sangaji bukan
asing lagi. Ki Tunjungbiru dan Ki Hajar Karangpandan, berkelahi mati-matian lima
hari lima malam semata-mata perkara pantat. Kemudian mengadu betah-betahan
tidak kawin. Dan Inu Kertapati serta Sidi Mantra adalah rekan Ki Tunjungbiru.
Mau tak mau Sangaji menghela napas pan-jang. Teringat kepada percakapan Inu
Ker-tapati dan Edoh Permanasari, ia jadi perasa. Mereka sesungguhnya datang
dengan barang mustika rakyat Jawa Barat oleh petunjuk Ki Tunjungbiru. Dan Ki
Tunjungbiru mempunyai saham sangat besar dalam dirinya. Itulah getah sakti
pohon Dewadaru. Tidak hanya itu. Pendekar Banten itu tak segan-segan pula
mengadu nyawa mulai dari Cibinong—Peka-longan Kubangan batu dan padepokan
Gunung Damar tanpa pamrih. Dan sekarang oleh petunjuk mereka datang padanya
dan rela pula bersimpuh serta menyembah seperti budak-budak tiada guna.
Masakan sampai hati hendak mengecewakan harapan orang tua itu?
Dalam sekejap saja otak Sangaji sudah dirumun suatu persoalan baru yang tidak
gampang-gampang diputuskan secara se-rampangan saja. la sekarang mengeluh
dalam hati. Dalam kebimbangan dan kebingungannya mendadak tangannya
menyentuh hulu pedang Sokayana. la terkesiap. Pedang inipun mempunyai
kesaktian semacam kesaktian Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Dan teringat
kedua pusaka warisan itu, teringat pulalah dia kepada sumpahnya di benteng batu
setelah selesai menekuni rahasia guratan keris Tunggulmanik. Bukankah dia
berjanji hendak mengamalkan ilmu sakti tiada tara itu untuk kebajikan sesama
hidup? Tak disadari pula ia seperti mendengar suara gurunya Jaga Sara-denta kala
dia hendak kembali ke Jakarta. "Ah, anak tolol! Karena itu engkau harus belajar
mempunyai keputusan yang cepat, tegas dan tepat. Sebab hidup ini bagaikan
gelanggang perkelahian. Kau akan diajak dan didorong untuk berkelahi. Kini kau
sudah menjadi laki-laki penuh. Kau harus berani menempuh perjalanan hidup
seorang diri..."
Teringat akan kata itu, teringatlah dia kepada semua gurunya yang telah berani
menge-sampingkan persoalan pribadi. Oleh pikiran itu terus saja ia menguatkan
diri. Dengan menegakkan kepala ia berkata, "Paman! Bangunlah! Baiklah hal ini
kupikirkan dahulu dengan perlahan-lahan." Lemah dan penuh bimbang bunyi
keputusan Sangaji. Tetapi ini bukan suatu ramalan di kemudian hari. Ilmu sakti
Bende Mataram dan Kyai Tunggulmanik menjanjikan pewarisnya akan merubah
otaknya menjadi cerdas luar biasa tegas dan gagah tak terlawan. Kebimbangannya
itu disebabkan karena dalam usia muda sudah dihadapkan suatu persoalan yang
maha berat dan maha pelik. Kelak setelah memperoleh pengalam-an-pengalaman
keputusannya bahkan akan mengejutkan dan menggegerkan pendekar-pendekar
tua yang sudah kenyang makan garam. Tetapi Sidi Mantra tak mau mengerti
persoalan rumit yang sedang dihadapi anak muda itu. Dengan masih membungkuk
ia berkata nyaring.
"Tidak! Selama barang hantaran rakyat belum engkau terima dengan keikhlasan
hatimu, biarlah aku mati membungkuk seperti binatang."
Itulah Sangaji. Dia seorang pemuda yang harus dipaksa, sehingga akhirnya harus
me-masuki dunia yang tidak dikehendaki sendiri.
"Bagus! Begitulah baru benar. Ucapan se-orang laki-laki berharga seribu gunung.
Biarlah aku bersembah lagi untuk kata-katamu," seru Sidi Mantra puas. la benar-
benar menyembah lagi kemudian menegakkan badan dengan mata berseri-seri.
Sebaliknya Inu Kertapati masih saja menelungkup mencium tanah. Sangaji jadi tak
mengerti.
Inu Kertapati 1 tak segera menjawab. Dan setelah Sangaji mengulangi ucapannya,
ia berkata, "Sama sekali aku tak menyangsikan kemuliaan hatimu. Hanya saja
seumpama seekor burung baru bersayap sebelah!"
"Mengapa begitu?"
"Dua hari lagi kami akan mengadakan suatu himpunan besar. Engkau sudi datang
tidak."
"Barat Daya."
"Gunung Cibugis," sahut Inu Kertapati. Setelah berkata demikian, ia melompat ba-
ngun.
Sangaji menjadi sibuk lagi. Teringatlah dia kepada pembicaraan Toha dan Kosim di
ung-gun batu Rababa Tapa seminggu yang lalu. Mereka harus datang di suatu
tempat di Barat Daya. Juga penunggang kuda yang dilihatnya di luar kota.
Mendadak suatu pikiran menusuk benaknya. Terus saja ia berkata, "Paman
sekalian. Aku pernah mendengar suatu nama, Gusti Amat. Tolong berilah
keterangan padaku, siapa sebenarnya beliau yang mulia itu!"
Inu Kertapati dan Sidi Mantra tercengang sejenak. Mereka saling memandang.
Kemu-dian Inu Kertapati menjawab, "Biarlah sampai di sini kita berpisahan. Kami
tak berani mem-beri keterangan. Tetapi dua hari lagi, engkau akan mengerti
sendiri."
Tak terasa Sangaji menghela napas, la sadar persoalan baru bakal dihadapi lagi.
Dengan merenung-renung ia mengawasi kepergian mereka. Setelah itu barulah ia
ingat pulang.
Pagi sudah tiba benar-benar. Langit cerah. Anginpun terasa riang. Mengingat
membawa pedang tak berani ia melalui keramaian kota. Segera ia menjejak tanah
dan seperti terbang melintasi tepi kota. Sebentar saja tibalah dia di depan
rumahnya.
Keesokan harinya pada pagi hari, Sonny datang. Inilah untuk yang pertama kalinya
gadis Indo itu datang berkunjung semenjak ia tiba kembali di Jakarta.
Sonny de Hoop mengenakan pakaian serba merah. Kulitnya yang putih nampak
menjadi menyolok. Bersih terawat dan berkesan ce-merlang. Rambutnya terurai
panjang. Kemi-lauan oleh minyak wangi dan sinar matahari. Hidungnya yang
mancung kelihatan tegas. Bibirnya bergincu. Alisnya bercelak. Matanya bening.
Semua itu menambah keserasian tubuhnya yang molek, montok lagi padat.
Seperti biasanya ia lincah dan polos hati. Begitu melihat Sangaji, terus saja ia
berkata, "Hallo! Kau bawalah senapanmu! Mari kita berburu!"
Menggandeng tangan bagi adat barat tiada lazim dilakukan, kecuali apa bila hati
sedang diamuk asmara. Tetapi manusia di manapun juga tahu apa arti
menggandeng tangan. Itulah tanda suatu penerimaan dengan hati terbuka. Karena
itu hati Sonny de Hoop me-rasa bahagia kena gandeng Rukmini.
"Ibu, Sangaji hendak kuajak berburu. Kukira ia sudah cukup beristirahat. Boleh tokh,
Ibu?"
Rukmini tertawa. Tertawa untuk membuat senang dan membesarkan hati sendiri.
Buat Rukmini, Sonny de Hoop masih nampak seba-gai majikannya. Meskipun ia
tahu gadis Indo itu bakal menjadi menantunya, dalam hati tetap merasa rendah diri.
"Jangan lagi Sangaji, akupun menjadi milik Nona. Masakan mesti minta ijin segala?
Jiwa kami berdua, siapakah yang memelihara?"
Bagi hati Rukmini yang sederhana, hutang budi berada di atas jiwanya sendiri.
Karena itu ucapannya keluar dari ketulusan hatinya sendiri. Sudah barang tentu
Sonny de Hoop tak enak mendengar pernyataan itu, meskipun diam-diam hatinya
senang. Bukankah berarti Sangaji menjadi miliknya? Teringat cara Sangaji menyia-
nyiakan radang birahinya di perkemahan dahulu, ia jadi terhibur. Namun dia
menyahut, "Mana bisa Ibu dan Sangaji menjadi milikku? Baik aku maupun ibu
berdua milik Tuhan. Ya tokh?"
"Sayang nona, kalau pakaian sebagus itu untuk pergi berburu. Lebih baik, ajaklah
Sangaji melihat-lihat kota. Mumpung udara terang."
Sudah beberapa hari ini udara Jakarta terus cerah setelah dikerumuni hujan hampir
sepuluh hari. Hawa yang lembap terasa menjadi hangat. Berpesiar dalam hari
demikian, memang menyenangkan.
Sudah semenjak dua tahun yang lalu ia membangunkan jembatan birahi. Tapi ja-
ngankan ia bisa berharap yang bukan-bukan, sebuah ciuman belum pernah
diperolehnya. Kini ia memutuskan hendak bertekad, mem-bawanya ke dunia itu.
Begitu Sangaji datang berkunjung, terus saja ia hendak memasang jala. Ternyata
Sangaji tak pernah muncul. Tak mengherankan ia jadi uring-uringan.
Sebenarnya dia ini manusia, atau batu karang? la mendongkol. Sonny de Hoop bu-
kannya seorang gadis murahan. la mempu-nyai kecantikan lembut yang jarang
dimiliki bangsanya sendiri. Ia seorang gadis terpelajar pula. Banyak pemuda-
pemuda yang gandrung padanya. Malahan sering pula opsir-opsir jejaka
memberanikan diri melamarnya. Namun semua itu dijauhi dan ditolaknya dengan
tegas. Itulah sebabnya ia menjadi heran sendiri, apa sebab dirinya bisa tertambat
pada seorang pemuda Bumiputra yang berhati beku. Dalam kebanyakan hal ia
bersikap mengalah. Setia menunggu masa kepergiannya. Menyusul ke Jawa
Tengah. Bersedia menyerahkan diri pada sembarang waktu dan sembarang tempat.
Namun masih saja ia menumbuk batu. Hati siapa yang tidak mendongkol?
"Sangaji bisa berkelana selama dua tahun ini. Masakan masih tertarik kepada
pengli-hatan-penglihatan di dalam kota," katanya nyaring. "Tetapi sekiranya
menurut Ibu hari ini bagus untuk berpesiar di dalam kota, biarlah kuajaknya ke
pantai."
"Ha... itulah lebih bagus," Rukmini menye-tujui. Kemudian berseru kepada Sangaji.
"Aji! Kaukenakanlah pakaian yang baik!"
"Ke mana saja baik," sahut Sangaji setelah berdiam diri selintasan. la menyiratkan
pan-dang kepada Sonny. Gadis itu tersenyum menyiasati. Katanya lagi merasa,
"Apakah pa-kaianku kurang serasi?" Dengan tak usah menunggu komentar, segera
ia masuk ke kamarnya kembali berganti pakaian.
Seperempat jam kemudian ia dan Sonny telah berada di jalan. Mereka berkuda
dengan perlahan-lahan. Pada dewasa itu, bepergian dengan menunggang kuda
adalah lazim. Kebanyakan, penduduk bahkan berjalan kaki, sedang kereta berkuda
hanya untuk yang kaya, para pembesar pemerintahan dan tuan-tuan tanah.
Sonny de Hoop nampak senang dan berba-hagia. Itulah untuk pertama kalinya ia
berkuda berjajar dengan Sangaji tanpa diganggu oleh orang lain. Dahulu dia sering
bepergian dengan Sangaji, tetapi bersama-sama ayahnya atau rombongan
pemburu. Sangat jauh bedanya dengan pagi itu. Ia merasa dunia seolah-olah
disediakan untuk dirinya seorang. Tak mengherankan pandang matanya berseri-
seri. Dan hal itu membuat kecantikannya semakin bertambah saja.
"Lutung kita dahulu sudah pandai menang-kap perintahku, kau masih ingat tidak?"
ia mulai berbicara.
"Tidak. Pagi ini tak kubiarkan diriku diganggu siapa saja," sahut Sonny de Hoop.
Setelah berkata demikian, ia kemudian membicarakan perkara lutung itu
bagaimana cara ia mendidiknya dan merawatnya. Sangaji mendengarkan dengan
berdiam diri. Hatinya berperihatin, teringat padanya yang mem-berinya lutung itu.
Dialah Ki Tunjungbiru yang tertawan oleh Mayor de Hoop dan sekarang entah di
mana disekapnya. Sekonyong-konyong Sonny de Hoop berkata mengalihkan
pembicaraan, "Sangaji! Mengapa engkau dahulu meninggalkan aku dengan
menjebol tenda?"
Diingatkan perkara itu, hati Sangaji terkejut. Dasar ia tak pandai berbicara, maka ia
menyahut sebenarnya, "Aku takut kepada ayahmu."
Sonny de Hoop tertawa. Katanya, "Meskipun andaikata Ayah memergoki dirimu, dia
takkan menyusahkan dirimu. Kau percaya tidak?"
"Mengapa begitu?"
Berbicara tentang pengalaman itu, Sonny de Hoop yang berhati polos menjadi
gemas. Dengan mata membelalak ia mendamprat. "Bagus ya! Kau pergi saja tanpa
pamit."
Dasar Sangaji tak pandai berbicara, ia lantas merasa diri bersalah. Maka dengan
sungguh-sungguh ia menyahut, "Itulah suatu kejadian yang memalukan sampai tak
berani aku minta maaf."
Sangaji merasa diri terdesak ia harus berkata dengan sebenarnya. Tetapi waktu itu
mereka berada di tengah kota. Maka ia berkata, "Sonny! Di sini kita tidak dapat
berbicara dengan leluasa. Bagaimana kalau kita ke pantai?"
"Bagus! Mengapa tidak semenjak dahulu?" sahut Sonny de Hoop bergembira. Itulah
untuk pertama kalinya Sangaji yang memegang peranan. Biasanya kegiatannya
datangnya dari dia. Hatinya lantas menjadi bahagia, ia mendahuluinya dengan
memacu kudanya. Karena itu pada tengah hari mereka telah tiba di tepi pantai.
"Hayo sekarang berceritalah!" seru Sonny de Hoop tegas, la amat berbahagia,
sehingga wajahnya menjadi segar bugar. Dengan sengaja ia merebahkan diri di
atas rerumputan, yang terlindung oleh dua batang pohon mangga yang bermahkota
rimbun. Kemudian rebah terlentang menatap atap udara yang terlalu cerah. Waktu
itu gemuruh ombak tiada begitu mengganggu pendengaran. Meskipun kemudian ia
berkata manja, "Kau dekat-dekatlah duduk di sini, agar aku dapat mendengarkah
tiap patah katamu."
Sangaji tidak menolak.. Dengan hati tawar ia duduk di samping dada Sonny de
Hoop. Kemudian mengisahkan riwayat pertemuan-nya dengan anak buah Ki
Tunjungbiru dan sebab-musababnya ia ikut serta menggera-yangi perkemahan
kompeni.
"Engkau begitu memperhatikan orang itu. Apa sebab?" tungkas Sonny de Hoop.
"Sebab, baik aku maupun engkau sendiri, pernah berhutang budi kepadanya,"
sahut Sangaji.
"Aku hanya mendengar ada beberapa tawanan dalam detasemen. Tetapi siapa
mere-ka, masakan aku pernah melihatnya."
Ya benar, pikir Sangaji. Sonny datang ke Jawa Tengah semata-mata ikut ayahnya.
Masakan dia mencampuri pekerjaan ayahnya. Memperoleh pikiran demikian ia
kemudian berkata, "Sonny! Lutung kita sudah sebesar bocah bukan?"
"Tatkala engkau kena culik Pringgasakti, siapakah yang merebut nyawamu dengan
mati-matian. Meskipun peranan kedua guruku tidak boleh diabaikan, tetapi dialah
yang mengatur semuanya. Waktu itu malam hari dan engkau dalam keadaan
terkejut. Maka tidaklah mengherankan, bahwa engkau tak mengenalnya."
"Ah," Sonny de Hoop berseru perlahan. "Kuingat sekarang. Bukankah dia yang
berada di antara kedua gurumu tatkala aku mencari padamu untuk menyampaikan
berita ancaman almarhum Mayor de Groote?"
"Ya benar," Sangaji bersemangat. "Karena itu, masakan kita akan membiarkan
dirinya dalam keadaan sengsara?"
Sangaji dan hatinya tertarik melihat kekasih-nya begitu bersemangat. Selama enam
tujuh tahun bergaul, belum pernah ia melihat Sangaji dalam keadaan demikian.
Menurut pendapatnya pemuda itu tak ubah sebuah pelita tanpa nyala. Dan selama
itu ingin ia menyalakan. Hanya saja ia belum memper-oleh kesempatan. Keruan
saja hatinya bersyukur. Suatu harapan yang hanya dike-tahui gadis itu sendiri
menyerah dalam dadanya. Lantas saja ia berkata, "Dahulu hari, akupun
menceritakan pengalamanku yang mengerikan itu kepada Ayah. Ayah sangat
bersyukur dan ingin membalas jasa. Sayang aku tak bisa menerangkan siapa dia,
kecuali kedua gurumu." la berhenti sebentar. Matanya tak beralih dari wajah
kekasihnya yang mengharapkan pengertiannya. "Kau berkata pula, pernah
berhutang budi kepadanya? Dalam hal apa?"
"Itulah Dewadaru."
Sangaji tak pernah bisa membohong. Dan dengan singkat ia menceritakan kembali
beta-pa ia dahulu menemukan kesukaran sampai akan berputus asa sewaktu
menyelami ajaran-ajaran kedua gurunya. Kemudian ia dibawa Ki Tunjungbiru ke
Pulau Edam untuk menghisap getah pohon Dewadaru. Tentang daya sakti getah
Dewadaru, tak banyak ia menerangkan. Ia hanya berkata, semenjak itu merasa
menjadi manusia baru. Itulah dise-babkan pula, ia memperoleh warisan ilmu tata
semedi yang tinggi.
Selama itu Sonny de Hoop mengamat-amati wajah Sangaji. Pemuda itu bukan main
sema-ngatnya sampai terasa berkobar-kobar. Dan lambat-laun terasalah dalam
hati, bahwa ia dibutuhkan. Memperoleh kesan demikian, ia menjadi bersyukur.
Terus saja ia berkata, "Sangaji! Apakah hatimu senang apabila Ayah
membebaskannya?"
"Tentu! Dia lebih berharga daripada jiwaku sendiri," sahut Sangaji setengah
bersorak.
Sonny de Hoop tahu, itulah jawaban berlebih-lebihan. Tetapi dia sudah memu-
tuskan hendak membuat hati kekasihnya senang dan merasa puas. Barangkali
itulah gerbang pembuka jalan untuk mengetuk pintu hatinya. Maka ia berkata,
"Biarlah kucobanya untuk membicarakannya dengan Ayah. Aku akan bekerja demi
hatimu. Jika engkau menjadi senang akan kebebasannya, hatiku puaslah sudah.
Tetapi seandainya aku mengalami kegagalan, apakah yang hendak kaulakukan?"
Sonny de Hoop tersenyum. Pada saat itu ia mengharapkan sebuah ciuman. Tetapi
Sangaji bukanlah orangnya untuk dapat diharapkan demikian.
Sonny de Hoop tak berkata lagi. Teringat Sangaji tadi tak menolak ia menyandarkan
kepalanya pada dadanya. Kali ini pemuda itu tidak mengadakan reaksi pula. Maka
ia sudah harus merasa puas.
Waktu itu matahari sudah condong ke barat. Hawa mulai terasa sejuk. Angin sudah
datang waktunya untuk berceritera. Ia membawa arus laut sehingga menjadi
bergelombang. Sonny de Hoop merenungi garis cakrawala dengan pikiran
menumbuk diri. Semenjak pagi hari perutnya belum kemasukan sesuatu, tetapi ia
tak merasa lapar.
"Tidak."
Panca indera Sonny de Hoop tentu saja tidaklah setajam Sangaji. Namun setelah
menajamkan pendengaran, ia mendengar suara kesibukan juga. Ia menegakkan
badan dan pandangannya mengarah ke tenggara. Kira-kira tiga ratus meter dari
tempatnya ber-teduh adalah bekas-bekas kampung Cina yang terbakar pada
seabad yang lampau. Meskipun bangunannya tiada lagi, namun sebuah kelenteng
masih nampak tegak di antara reruntuhan tembok. "Mari!" ajak Sangaji.
"Sangaji! Ini ilmu apa? Apakah ini kau per-oleh dari Ki Tunjungbiru pula?"
Dahulu ia melihat Sangaji berada di kubang batu sewaktu ikut ayahnya memasuki
gelang-gang pertempuran. Hanya saja ia tidak menyaksikan betapa Sangaji
bertempur menghalau musuh-musuhnya.
"Sonny. Jangan bersuara! Kita bukankah lagi mengintip orang bertempur?" bisik
Sangaji. Sonny de Hoop cepat dibuat mengerti dan ia membiarkan dirinya dibawa
terbang kekasihnya. Waktu berada di balik reruntuhan, ia melihat tiga orang lagi
bertempur seru di atas atap kelenteng.
"Rostika meskipun dia dahulu murid Edoh Permanasari kini sudah menjadi istriku.
Mengapa engkau berbicara tak keruan?" ger-tak Suhanda.
"Apakah itu?"
Pada saat itu, Suhanda menghantam de-ngan sepenuh tenaga. Pasong Grigis
segera menyambut dengan tak kurang dahsyatnya. Dengan satu suara keras, tubuh
kedua orang itu terhuyung ke belakang. Hampir berbareng dengan itu, debu dan
pasir menyiprat beter-bangan dan dengan suatu suara gemuruh tembok kelenteng
bagian depan roboh berguguran.
Rostika yang pundaknya kena pukulan, meloncat turun pula. Melihat suaminya
berhadap-hadapan lagi dengan Pasong Grigis, ia tak menghiraukan keselamatan
diri. Terus saja ia melesat mendampingi suaminya. Matanya yang tajam bersinar
lembut nampak menyala berkilatan. Ia melihat Pasong Grigis dan suaminya, berdiri
tegak seperti patung, la tahu, masing-masing menderita luka dalam. Mereka
memejamkan mata, dan sedang mengatur pernapasan. Dan tidak lama kemu-dian,
mereka bersama-sama pula memuntah-kan darah segar.
Pada detik itu, terdengarlah salah seorang anak memanggil-manggil ibunya. "Mak...
Mak!" Rostika menjadi gelisah, namun tak berani berkisar dari tempatnya. Sejenak
kemudian, seorang anak perempuan kurang lebih berumur tiga tahun tersembul
"dari reruntuhan atap. Anak itu berusaha merayap ke luar.
"Ah, anak itu!" seru Sonny de Hoop. Seruan itu mengejutkan semuanya. Baik yang
sedang mengadu nyawa maupun Sangaji sendiri. Akan tetapi Sonny de Hoop tidak
memeduli-kan kesan mereka. Ia keluar dari tempat per-sembunyiannya dan lari
menghampiri si bo-cah. "Jangan takut! Jangan takut! Mari kuto-long," bujuknya.
Tubuh Pasong Grigis jungkir balik tiga kali berturut-turut. Tatkala berdiri tegak suatu
hawa hangat menusuk dalam jalan darahnya. Pasong Grigis tercengang. Dadanya
terasa nyaman luar biasa. Tahulah dia, bahwa seseorang menolong menyembuhkan
luka dalamnya sambil menangkis serangannya. Itulah suatu ilmu kepandaian yang
susah diukur betapa tingginya. Segera ia membungkuk hormat seraya berkata,
"Pendekar besar yang bersembunyi, perkenankan aku menghaturkan terima kasih."
Setelah berkata demikian, ia menjejak tanah mundur berjumpalitan. Dalam sekejap
mata ia hilang dari penglihatan.
Tanpa menoleh Sonny de Hoop menyahut, "Kau tolonglah suamimu! Anak ini biar
aku yang menolong. Apakah dia anakmu?"
"Ya"
"Siapa namanya?"
Mendengar suara Sonny de Hoop yang ra-mah dan berkesan tulus hati, Rostika
menya-hut tanpa ragu-ragu, "Astika"
"Akh nama manis," tungkas Sonny de Hoop. Lalu membujuk si anak. "Astika! Mari
kutolong keluar, ya? Satu-dua-tiga, hup!"
Astika ternyata tak takut, melihat seorang Indo Belanda. Apalagi ibunya berada di
dekat-nya. Ia menurut saja tatkala dirinya kena angkat Sonny de Hoop. Seluruh
tubuhnya kena rontokan atap dan dinding. Dan dengan iba, Sonny de Hoop
membersihkannya dengan membujuk-bujuk. Tiba-tiba ia berkata kepada Rostika,
"Hai! Kena apa suamimu tak kau tolong? Dia kan muntah darah?"
"Dia sudah ditolong. Eh... siapa dia apakah dia teman Nona?" sahut Rostika.
Sonny de Hoop menoleh, la melihat Sangaji sedang menolong Suhanda. Dan oleh
per-tanyaan Rostika wajahnya menjadi merah muda. Menjawab agak sulit,
Tadi tiada niatnya hendak memperlihatkan diri. Hatinya sedang disibukkan oleh
mereka yang sedang bertempur mengadu nyawa. Mereka sesama golongan, apa
sebab bertem-pur begitu hebat hanya soal Rostika. Terasa sekali bahwa
pertempuran itu mempunyai latar belakang yang berdasar kuat.
Selagi ia sibuk menduga-duga, tiba-tiba Sonny de Hoop memekik dan terus saja
keluar dari persembunyiannya. Hampir saja ia me-nyesali kesemberonoannya.
Tetapi apabila ia mengetahui alasan Sonny de Hoop yang tidak menghiraukan
keselamatannya sendiri, hati-nya mendadak terasa menjadi hangat. Pada detik itu,
Pasong Grigis menyerang Sonny de Hoop karena salah duga. Ia terkesiap. Terus
saja ia mengibaskan lengan menangkis. (Jntung dia tadi mendengar kalimat
percakap-an yang pertama kali tentang Gunung Cibugis. Meskipun masih samar-
samar, dapatlah ia menduga bahwa mereka segolongan dengan pendekar Inu
Kertapati dan Sidi Mantra. Maka sambil menangkis ia menyalurkan hawa saktinya
yang menolong pula menyembuhkan luka dalam. Syukur, Pasong Grigis dapat
dibuatnya mengerti. Setelah pergi, segera ia menghampiri Suhanda yang masih
saja tegak bagai tugu.
Sonny de Hoop yang bangga bukan kepa-lang terhadap kemampuan Sangaji yang
dapat menyembuhkan Suhanda begitu cepat, terus saja menyahut dengan polos,
"Dia bernama Sangaji"
Mendengar nama itu, baik Suhanda maupun Rostika kaget sampai berjingkrak.
Wajah mereka berubah hebat. Mereka saling memandang seolah-olah lagi minta
pendapat masing-masing. Kemudian Suhanda menegas:
"Panggillah aku saudara, seperti cara memanggil Paman Inu Kertapati dan Sidi
Mantra."
"Akh, kalau begitu benarlah Tuan. Eh... Saudara yang disebut anak Kompeni,"
tungkas Suhanda.
"Ha... sekarang menjadi agak terang," ujar Suhanda berlega hati. Sebab barang
hantaran itu menjadi heboh di antara mereka, lebih-lebih Edoh Permanasari yang
ingin merebut kembali pusaka Jawa Barat pedang Sokayana.
Melihat Suhanda yang masih tampak beragu terhadap dirinya, Sangaji mengerutkan
dahi, sebentar ia berpikir, kemudian berkata meyakinkan. "Tetapi tinggal dalam
lingkungan kompeni belum tentu menjadi pengikutnya bukan?"
Kini Sangaji benar-benar mengerti bahwa barang hantaran itu menjadi rebutan
beberapa pihak, karenanya ia segera meninggalkan tempat itu untuk
mempersiapkan diri menjaga kemungkinannya yang terjadi, ia sadar bahwa
perjuangannya masih panjang.
Otak Sangaji tidaklah secerdas Titisari. Selamanya tak pernah ia bisa memecahkan
suatu teka-teki atau sesuatu masalah yang tidak cukup gamblang. Karena itu, ia
mene-gas, "Ya dan tidak, bagaimana?"
Melihat kesukaran Suhanda, hati Sangaji jadi tak enak sendiri. Terus saja ia berkata,
"Sudahlah, jangan memaksa diri. Tadi aku mendengar selintasan tentang tuduhan-
tuduhan lawanmu. Dia tak senang kepadamu karena memperis-terikan salah
seorang bekas anggota Kerajaan Banten. Agaknya dia tak mau sudah, sebelum
memperoleh keputusan siapa diantaramu berdua yang menang dan yang kalah."
"Ya, aku sudah berjanji kepada Paman Inu Kertapati dan Paman Sidi Mantra."
"Bagus! Beginilah, aku baru merasa puas. Sekarang, meskipun seribu geledek me-
nyambar diriku, takkan aku mundur biar se-langkahpun". Suhanda gembira.
Kemudian dengan bersemangat ia berkata, "Saudara Sangaji, tadi sudah
kuterangkan, bahwa di antara kami terjadi suatu perpecahan hebat semenjak
pemimpin kami hilang tiada beri-tanya. Sementara itu, permusuhan antara
himpunan kami dan murid-murid Ratu Fatimah kian hari kian meningkat. Ratu
Fatimah benar-benar seorang lawan yang licin luar biasa. Dari depan ia
menggempur bersama dengan kekuatan kompeni. Dari be-lakang ia menebarkan
hamba sahaya dan murid-muridnya untuk mengacau dan me-lumpuhkan sendi
kekuatan kami. Itulah sebabnya, betapa benci Pasong Grigis ter-hadapku begitu ia
mengenal isteriku sebagai salah seorang bekas murid Ratu Fatimah. Meskipun
Rostika, isteriku sudah menjadi orang lain, betapa dapat aku membuat Pasong
Grigis dan anggota-anggota golongan lain mau mengerti. Mereka semua mencurigai
aku, termasuk teman-temanku. Dan dengan sendirinya memusuhi golongan kami,
anak-anak pasukan panji-panji Garuda. Celaka-nya... justru pusaka-pusaka Jawa
Barat jatuh kepadamu. Engkau yang dikabarkan sebagai anak kompeni. Kompeni
yang bekerja sama dengan golongan Ratu Fatimah musuh kami turun-temurun.
Tapi sekarang... setelah men-dengar ketegasanmu, hatiku menjadi lapang. Apalagi,
engkau hendak pergi pula ke Gunung Cibugis. Justru inilah tujuan kami apa sebab
pusaka Jawa Barat kami persembahkan kepadamu. Kami tidak hanya
mengharapkan suatu penyelesaian perpecahan kami ini dengan segera, tetapi
mengharapkan pula kebangunan Himpunan Sangkuriang kami kembali seperti
sediakala."
Tiba-tiba saja, dia seperti dihadapkan pada suatu cermin besar mengingat-ingat
kembali semua sepak terjang Ki Tunjungbiru yang pendiam dan saleh. Tiga belas
tahun yang lalu, ya tiga belas tahun yang lalu, selagi ia menghadapi jalan buntu
untuk menyelami rahasia jurus Wirapati dan Jaga Saradenta, tiba-tiba muncullah Ki
Tunjungbiru. Dan itulah riwayat pertemuannya yang pertama. Kemudian ia dibawa
menyeberang laut. Dibawa menghisap getah sakti pohon Dewadaru. Dipenuhi
dengan kisah tentang sejarah penuntutan dendam terhadap kematian ayahnya
mencemaskan. Benarkah ayahnya mati karena kena hisap pohon Dewadaru
ataukah hanya suatu cerita khayal dengan tujuan berencana? Lantas memberi
petunjuk cara bersemadi dan kemudian mengikuti perjalanannya ke Jawa Tengah
dan selalu bersedia melindungi. Apakah semuanya itu sudah masuk dalam rencana
kerjanya?"
Teringat betapa Ki Tunjungbiru selalu me-nyaksikan dan selalu hadir pada tiap-tiap
perkembangan ilmu saktinya, hati Sangaji jadi tergetar, la lantas merasa diri
menjadi sangat kecil apabila dibandingkan dengan sepakter-jang Ki Tunjungbiru
yang sukar diduga dan dijajaki. Benar ilmu saktinya kini jauh lebih tinggi
daripadanya, tetapi sepakterjang Ki Tunjungbiru yang memiliki lapangan luas dan
jauh, alangkah besar luar biasa.
Ki Hajar Karangpan yang pernah bertanding lima hari lima malam, kini berkesan
jadi kerdil. Bahkan gurunya Gagak Seta dan pendekar-pendekar sakti yang pernah
dijumpainya bukan pula pantas dibandingkan dengan ke-luarbiasaan Ki
Tunjungbiru. Sekarang sadarlah dia apa sebab Ki Tunjungbiru dipuja sebagai
seorang pahlawan Jawa Barat yang tiada taranya dalam sejarah. Ia mempunyai cara
kerja sendiri dan memiliki jalannya sendiri pula.
"Aki Tunjungbiru memang seorang pahla-wan tiada tara. Tapi kalau dia
mengharapkan aku dapat membangun kembali himpunan pejuang Jawa Barat
seperti yang dikehendaki adalah mustahil. Benar-benar mustahil! Aku seorang diri
masakan mampu berbuat demi-kian. Seumpama aku malaikat atau dewa sak-tipun
tidaklah mungkin dapat menjangkau setiap jengkal tanah yang tergelar di persada
bumi Jawa Barat. Mustahil! Sungguh mustahil!"
"Aki Tunjungbiru jauh lebih besar dari-padaku. Sekiranya pekerjaan itu dapat
dilakukan, pastilah dia sudah bekerja. Mengapa mesti mengharapkan tenagaku. Aku
rasa, ada sesuatu yang kurang tepat."
"Tidak! Tidak! Sama sekali tidak!" bantah Suhanda dengan cepat. Dalam tiap
perjuang-an, nyala api adalah dasar dan sumber tenaga yang mahapenting. Sudah
semenjak pemimpin kami hilang tiada berita, kami kehilangan api perjuangan.
Kehilangan api daya gerak. Kini api itu telah diketemukan kembali oleh Ki
Tunjungbiru. Itulah api hidup yang bersemayam dalam dadamu!" la berhenti
mengesankan. Meneruskan, "seumpama perjuangan jagat luar ini adalah kegiatan
kodrat tubuh maka kami adalah angan-angannya. Dan engkau adalah sumber
geraknya. Seseorang boleh mempunyai angan-angan setinggi bintang dan seluas
samudera, tapi tiada geraknya adalah seumpama orang tidur dengan mimpi indah
semata. Orang boleh berangan-angan hendak menghirup semangkuk air teh, tapi
lumpuh tiada gerak, betapa mungkin semangkuk air teh itu akan tiba di tepi
bibirnya?"
Mendengar uraian Suhanda, hati Sangaji yang sederhana jadi mati kutu. Ingin ia
men-coba mengemukakan pendapatnya, namun ia tak pandai menemukan kata-
katanya. Karena itu ia jadi gelisah sendiri. Setelah tergugu be-berapa saat lamanya,
akhirnya ia berkata juga.
"Saudara Suhanda! Aku seolah-olah kau persamakan dengan pemimpin kalian yang
sejati. Betapa mungkin?"
"Dalam urutan kedudukan, mereka berdua berada di atasku. Kalau mereka berdua
tidak menjelaskan, betapa mungkin aku dapat ber-buat begitu."
"Tidak, bukan begitu. Soalnya, tidak sem-barang orang mengenal peribadi Gusti
Amat. Kukira, seperti aku merekapun hanya menge-nal nama beliau yang mulia."
"Orang itu aneh gerak-geriknya," kata Sonny de Hoop. "Dia berbicara apa kepada-
mu?"
"Sangaji! Engkau sudah memperlihatkan ilmu saktimu yang tinggi kepadaku. Tapi
be-lum pernah sekali juga memperlihatkan nyala hatimu kepadaku. Mengapa?"
katanya kesal.