SONNY DE HOOP
MAULANA SYAFRI berhenti menyusut ke-ringat. Bulan malam sudah berada tepat di
atasnya. Ia menatap wajah Sangaji yang nam-pak termangu-mangu. Kemudian
menerus-kan, "Demikianlah pula cara Titisari me-naklukkan Suryapranata. Benar-
benar luar biasa kepintaran putri Adipati Surengpati itu. Ilmu silatnya kita tak usah
kalah, tetapi kecer-dasannya berada jauh di atas kita sehingga dapat mengikat
kita."
"Tentu, tentu. Siapa lagi kalau bukan dia," sahut Maulana Syafri. "Dialah yang
mengatur benda-benda persembahan. Dia pulalah yang memberi tanda-tanda sandi
di tempat-tempat tertentu, tatkala Paduka menuju ke Gunung Cibugis. Dia pulalah
yang mengatur hubungan kita dengan Ki Tunjungbiru. Dan atas petunjuknya,
Suryapranata menjadi salah seorang penjaga penjara Glodok. Karena itu, Paduka
tak perlu mencemaskan keadaan Ki Tunjung-biru. Malam ini, dia sudah dapat
menghadap Paduka dengan selamat tak kurang suatu apa.
"Hanya satu hal aku tak mengerti. ltulah pe-racunan rombongan penyerbu di atas
dataran ketinggian Gunung Cibugis. Siapakah yang melakukan?" kata Sangaji.
"Gusti Aji," sahut Maulana Syafri lancar. "Sesungguhnya kalau hamba tidak
membuk-tikan sendiri takkan mau percaya, bahwa di dunia ini ada seorang gadis
memiliki otak secemerlang itu. Dia tidak hanya menguasai kita semua, tapipun
dapat menghancurkan rombongan musuh penyerbu markas besar Himpunan
Sangkuriang yang mula-mula dipergunakan untuk membangunkan persatu-an kita
kembali."
"Cobalah uraikan yang lebih jelas lagi. Aku jadi tidak mengerti," potong Tubagus
Simuntang.
"Begini," Maulana Syafri mulai. "Kau masih ingat betapa Edoh Permanasari
dikalahkan. Ternyata dia tidak hanya dikalahkan ilmu silat-nya, tapipun hatinya. Hal
itu terjadi, karena Titisari pandai mengikat suatu kisah yang senapas dengan
perjalanan hidup iblis itu. Bukankah dia bercerita tentang hubungannya dengan
Gusti Sangaji?"
"Benar."
"Di luar dugaan juga, semenjak itu Edoh Permanasari banyak mendengarkan kata-
kata puteri Adipati Surengpati. Katakan saja, dia patuh seperti diriku terhadapnya.
Dan semen-jak itu, iblis Edoh Permanasari menjadi duta keliling puteri Adipati
Surengpati. Dia disuruh menghubungi semua tokoh-tokoh pendekar lawan
Himpunan Sangkuriang untuk menyer-bu dataran tinggi Gunung Cibugis. Sudah
barang tentu puteri Adipati Surengpati me-ngarang cerita dahsyat tentang Gusti Aji.
Dikatakan bahwa Himpunan Sangkuriang kini sedang meminta bantuan tokoh sakti
dari Jawa Tengah. ltulah Gusti Sangaji. Dan ia menganjurkan, sebelum tokoh itu
mampu bertindak, hancurkan seluruh pendekar Himpunan Sangkuriang mumpung
mereka datang berkumpul. Puteri Adipati Surengpati pandai membakar hati pula.
Dikatakan, ia berani bertaruh bahwa semua pendekar Jawa Barat takkan dapat
memenangkan tokoh sakti itu. Kecuali dia sendiri. Maka pesannya, asal mereka
merasa diri tak ungkulan lekaslah turun gunung. Dia sendiri yang akan mem-
bereskan. Sudah barang tentu aku tahu mak-sudnya. Dia hendak memberi
kesempatan kepada Gusti Sangaji untuk mengangkat nama. ltulah sebabnya,
dengan kurang ajar aku memberanikan diri untuk menguji Gusti Aji. Maksudku, agar
Himpunan Sangkuriang jangan terpedaya oleh akal cerdik belaka sam-pai sudi
mengakui orang tak berguna menjadi junjungan kita. Tak tahunya, ternyata Gusti
Aji memang pantas menjadi junjungan kita. lnilah rejeki besar bagi laskar
perjuangan Himpunan Sangkuriang."
"ltulah bagianku," sahut Maulana Syafri. "Seperti kau ketahui aku menyandang
pakai-an kompeni. Gusti Aji sendiri menyaksikan, betapa aku mendapat
kepercayaan kompeni untuk mengawal puteri komandan Mayor de Hoop. Maka kau
bisa mengira-ngira sendiri, betapa aku berhasil menjilat pantat kompeni.
Demikianlah dengan berbisik puteri Adipati Surengpati memberi petunjuk
kepadaku, agar aku membuat laporan kilat tentang berkumpulnya tokoh-tokoh
Himpunan Sangkuriang yang sudah lama menjadi musuh kompeni. Hal ini perlu
untuk me-nguatkan kedudukan puteri Adipati Surengpati itu terhadap kesangsian
pihak pendekar penyerbu. Bukankah dengan demikian, kedudukannya lantas
menjadi terang bahwa dia berpihak kepada kompeni? Edoh Permanasari dan
kawan-kawannya jadi lebih mantap. Tak tahunya ... tak tahunya ... begitu mereka
habis tugasnya menyerbu dataran tinggi, putri Adipati Surengpati men-jebaknya
dengan jitu."
"Apa itu?" potong Tubagus Simuntang dan Tatang Sontani berbareng dengan
bernafsu.
"Lihatlah setelah aku berhasil menyerbu ke dataran tinggi, aku mendapat tugas lagi
menawan pendekar-pendekar penyerbu. Bukankah hebat akal itu?"
"Akal bagaimana?"
"Dengan menggunakan racun, mereka kita tangkap. Maka kesalahan tangan itu kini
ber-alih kepada pihak kompeni. Mereka lalu aku giring masuk ke kamp tawanan dan
aku se-ngaja melepaskan beberapa orang rombongan mereka masing-masing. Itu
semua kukerjakan atas petunjuk puteri Adipati Surengpati. Dengan begitu, mereka
bisa memberi laporan kepada ketua mereka, bahwa rombongan kini kena tawan
kompeni. Bukankah mereka lan-tas menjadi berbalik melawan kompeni? Inilah yang
dinamakan akal sekali menepuk dua lalat dengan sekaligus. Terbuktilah kini,
penjara di-serbu orang-orang pandai. Bukankah peristiwa ini akan menegangkan
hubungan antara mereka dan pihak kompeni? Sebaliknya kitalah kini yang ganti
menjadi penonton. Waktu menyerbu dataran tinggi Gunung Cibugis, mereka
bersatu padu dengan kompeni. Tapi begitu turun dari gunung, mereka cakar-
cakaran. Ini semua berkat otak puteri Adipati Surengpati yang cemerlang. Hayo
katakan bahwa puteri Adipati Surengpati itu tidak berotak luar biasa. Tatang
Sontani, kau selamanya membang-gakan diri sebagai seorang yang berotak gemi-
lang. Dapatkah kau melampaui otak puteri Adipati Surengpati itu?"
Gusti Aji? Sebab dengan hilangnya Ki Tunjungbiru tahulah kompeni, bahwa Himpun-
an Sangkuriang mengambil bagian dalam penyerbuan itu. Dan teringat kepada
Himpunan Sangkuriang, pastilah kompeni segera teringat kepada kedudukan Gusti
Aji. Kompeni pasti bertindak. Ya, kompeni pasti bertindak. Gusti Aji sendiri bisa
menyela-matkan diri. Tetapi ibunya? Bukankah ibunya berada dalam pengawasan
kompeni? Me-nawan ibunya bukankah sama halnya menawan hati Gusti Aji? Dan
kalau sampai ter-jadi begitu, Gusti Aji akan bermusuhan dengan kompeni. Hal itu
berarti pula, pecahnya hubungan antara Gusti Aji dengan tunangannya. Hebat tapi
berbahaya. Salah-salah bisa mengorbankan jiwa. Memikir sampai di situ, tubuh
Tatang Sontani bergemetaran. Lantas bertanya mencoba. "Kak Maulana, kau tadi
berkata bahwa malam ini Ki Tunjungbiru akan datang menghadap Gusti Aji. Apakah
pembe-basan Ki Tunjungbiru diatur pula oleh puteri Adipati Surengpati?"
"Ah, celaka!" Tatang Sontani terkejut. Ia su-dah dapat menduga, namun mendengar
jawab-an itu tak urung hatinya benar-benar terkejut.
"Ha, Gusti Aji sudah berada di sini. Kompeni bisa apa?" sahut Tubagus Simuntang.
"Benar, tapi ibu Gusti Aji?" kata Tatang Sontani dengan suara menggeletar. Men-
dengar kata-kata Tatang Sontani, kepala Sangaji seperti kena sambar geledek. Ia
se-orang pemuda yang berhati tenang. Terlalu tenang. Malah meskipun demikian,
tubuhnya bergemeteran mendengar pernyataan itu.
Terus saja dia berkata, "Paman sekalian ... sambutlah Aki Tunjungbiru. Aku sendiri
akan masuk ke kota."
Sonny de Hoop yang ikut pula lari ke pen-jara, mengetahui semua kejadian itu
dengan jelas. Sepulangnya dari penjara, ia berpikir keras. Himpunan Sangkuriang
ikut memegang saham penyerbuan itu. Hal itu berarti Sangaji akan terseret pula.
Kalau pihak kompeni de-ngan terang-terangan memusuhi Sangaji, sudah bisa
dibayangkan betapa akibatnya. Sangaji pasti akan meninggalkan kota Jakarta untuk
memasuki gunung. Bila ini terjadi, itulah berarti ia akan terpisah untuk selama-
lamanya. Memperoleh pikiran demikian, hatinya menjadi pedih pilu. Pikirannya
pepat, alisnya senantiasa berkerut-kerut. Akhirnya ia nampak gelisah.
Mayor de Hoop tahu apa sebab anak tung-galnya berduka cita. Malam itu ia datang
dengan membawa minuman keras. Sambil meneguk minuman, ia membawa sikap
girang luar biasa. Kerapkali ia memandang Sonny de-ngan mata berkilat-kilat untuk
menyatakan suka cita. Kemudian dengan tertawa ia berka-ta, "Sonny, kau tak usah
bersedih hati. Percayalah, Sangaji tidak akan meninggalkan kota Jakarta lagi. Aku
mempunyai suatu tipu daya untuk membawa dia kepadamu. Lihat saja esok pagi.
Percayalah kata-kataku ini! Tak usahlah kau bersangsi. Ingatlah, kau adalah anak
tunggalku. Seumpama kau meng-inginkan rembulan atau bintang-bintang di la-ngit
masih sanggup aku mengambilnya. Sonny, lihatlah betapa besar kasih sayang Ayah
kepadamu..."
Yang berbicara tegas, terang ayahnya. Lainnya seorang laki-laki yang mengenakan
pakaian preman. Setelah diamat-amati ternya-ta salah seorang pelayan yang
sengaja ditanam kompeni dalam rumah tangga Sangaji.
"Apakah rumah itu benar-benar dapat dibeli?" kata ayahnya. "Menyongsong zaman
baru yang bakal datang, tidaklah gampang."
"Apakah adat istiadat bangsa Inggris lain dengan bangsa Belanda?" tanya pelayan
itu.
Sonny de Hoop, tahu bahwa pembicaraan itu menyangkut tentang akan datangnya
pemerintah Inggris di Indonesia yang akan menggantikan kedudukan pemerintah
Be-landa. Dan mendengar pembicaraan itu, hati Sonny tak tertarik. Hampir ia
kembali ke kamar tidurnya, tetapi sebelum kakinya ber-gerak tiba-tiba ia
mendengar ayahnya meng-alihkan pembicaraan.
"Mungkin penduduk akan terkejut, tetapi mereka akan mengira suatu ledakan
petasan," jawab pelayan itu.
"Gedung pesanggrahan itu berada di tengah lapang terbuka. Terapit tangsi pasukan
berku-da dan terpisah jauh dari perkampungan. Seumpama penduduk terbangun
oleh rasa kaget, paling-paling mereka mengira suatu latihan militer. Hamba percaya
takkan menim-bulkan suatu kecurigaan yang bukan-bukan."
"Beberapa tahun tak pernah aku bertemu muka dengan Sangaji. Tetapi semenjak
dahulu aku tahu, dia berwatak keras hati dan tabah. Sangaji akan menyerah kepada
tutur kata yang lemah lembut daripada suatu kekerasan. Kukira, dia lebih senang
mengorbankan diri daripada menyerahkan diri. Apalagi dia kini menjadi seorang
pemimpin Besar laskar per-juangan. Harga martabatnya jauh lebih tinggi dari pada
gelegar meriam...." ujar Mayor de Hoop. Kemudian terdengar ia menghela napas
berat. Katanya lagi, "Sangaji kini bukan Sangaji beberapa tahun yang lampau.
Semenjak berada di Jawa, ia pandai ilmu silat dan memiliki ilmu pengetahuan
sangat tinggi pula. Ini terbukti, dia dipilih menjadi pucuk pimpinan tertinggi
Himpunan Sangkuriang. Peristiwa demikian, tidaklah gampang. Ber-puluh tahun
lamanya, pemimpin-pemimpin laskar perjuangan itu berpecah-belah karena saling
berebutan untuk memperoleh kursi pimpinan. Ternyata dengan sekali hantam saja,
Sangaji sudah berhasil merebutnya. Apalagi kalau bukan karena dia memiliki suatu
kepandaian melebihi semuanya. Sungguh sayang bahwa dia nampaknya tidak
bersedia bekerjasama dengan kompeni. Karena itu, kita sudah memutuskan untuk
mengepung ke-diamannya rapat-rapat. Sekali terlolos, baha-yanya tak dapat kita
bayangkan lagi. Tetapi, ah! Moga-moga dia teringat akan perhubung-annya dengan
Sonny. Kalau dia menyerah kepadaku, masih aku mempunyai daya untuk
menyelamatkan. Sebaliknya bila mem-bangkang demi kewajiban akan membuat
Sonny sangat berduka. Karena itu dia harus kita singkirkan untuk selama-lamanya
Sebagai seorang komandan, Mayor de Hoop sudah menerima laporan tentang diri
Sangaji semenjak tiba di Jakarta. Siang-siang ia sudah menduga buruk. Karena itu
Rukmini lantas saja dipindah kediamannya di sebuah gedung pesanggrahan yang
letaknya di tengah lapang dekat tangsi pasukan berkuda. Rukmini dijadikan
sandera dan jaminan untuk menji-nakkan pemuda itu.
Terbangun bulu roma Sonny de Hoop mendengar ucapan ayahnya. Ia kaget ber-
bareng kecewa. Lantas apa yang dimaksud-kan suatu daya untuk menahan
Sangaji? Apakah meriam itu? Ia kenal watak Sangaji. Pasti ia akan tersinggung.
Kalau ia merasa diri tersinggung, ia tak takut kepada segala. "Sangaji dalam
bahaya!" katanya di dalam hati. Dan ia jadi bergelisah. Di kejauhan ia mendengar
kentong tangsi tiga kali, ltulah suatu tanda, fajar akan tiba.
Syukurlah, ayahnya dan pelayan itu segera mengakhiri pembicaraan. Cepat Sony
de Hoop •menyelinap ke dalam dan memasuki kamar tidurnya. Ia mendengar
ayahnya masuk ke dalam juga, setelah mengantarkan pelayan itu di serambi
kanan.
Mayor de Hoop memasuki kamar tidurnya. Tapi sampai lama, lampu masih saja
menyala. Itulah suatu tanda, bahwa dia belum tidur. Melihat itu, hati Sonny jadi
bergelisah sendiri.
Dengan derun hati ia mengawaskan kamar ayahnya. Terus menerus ia berdoa, agar
ayah-nya cepat-cepat tidur. Akhirnya ia dapat bernapas lega. Nyala lampu ayahnya
padam. Itulah suatu tanda, ayahnya sudah menidurkan diri. Ia menunggu beberapa
saat, lalu melompat turun dari tempat tidur. Segera ia hendak keluar kamar,
mendadak teringatlah dia, bahwa di luar ada penjaga dinas. Mungkin pen-jaga
takkan merintangi kepergiannya, tetapi dia pun wajib memberi kabar kepada
ayahnya. Hal itu sudah barang tentu tak dikehendaki. Maka mau tak mau ia berpikir
keras untuk mengatasi.
Dalam pada itu, ia menaruhkan obat bius di dalamnya. Lalu menunggu kembalinya
si budak. Seperempat jam ia menunggu dengan hati memukul. la khawatir, tipu
dayanya tidak berhasil. Karena itu ia berjingkit-jingkit meng-intip dan
mendengarkan pembicaraan mereka. Kalau mampu, ingin ia menahan waktu yang
terus berjalan merangkak-rangkak. Akhirnya budaknya datang juga dengan warta
yang menggembirakan hati.
"Malam ini seluruh serdadu berjaga-aga karena peristiwa penjara. Moga-moga aku
selamat..." doanya dalam hatinya. Tetapi doanya ternyata justru meramalkan
dirinya. Di tengah jalan ia berpapasan dengan serdadu patroli. Ia segera dibawa
menghadap piket. Begitu ia berada di bawah penerangan lampu, komandan piket
kaget bercampur heran. Katanya, "Miss Sonny... hendak ke mana?"
"Bukan begitu, Nona. Soalnya ini sangat istimewa. Mereka melakukan kewajiban de-
ngan baik."
"Hm, sampai akupun dicurigai dan perlu ditangkap. Apakah baru kali ini mereka
tahu kebiasaanku? Bukankah setiap fajar hari aku mempunyai kebiasaan untuk
menghirup udara?"
Perwira piket itu tidak menyahut. Alasan Sonny de Hoop masuk akal. Namun ia
bercuri-ga. Katanya di dalam hati, malam ini ayahnya sendiri yang memberi
perintah agar mem-perkuat perondaan. Siapa saja dilarang berke-liaran dalam jam
malam. Masakan dia tidak diberi tahu? Mustahil! Setelah berpikir demikian, dia
berkata, "Ah mungkin ayahmu lupa untuk memberi kabar padamu, bahwa malam
ini berlaku jam malam sampai pukul enam pagi. Baiklah begini. Kau beristirahatlah
di sini sampai waktu jam malam habis. Aku berjanji peristiwa ini tidak akan
kulaporkan atau kubicarakan dengan siapa saja."
Sonny de Hoop bergelisah. Tetapi alasan opsir piket itu masuk akal. Maka mau tak
mau ia harus menyabarkan diri. Tetapi sabar itu sendiri merupakan suatu siksa luar
biasa baginya. Seluruh tubuhnya seakan-akan digerumuti ribuan semut api.
Jam lima pagi, sudah. Dari jauh Sonny mendengar suara roda bergeritan. la melo-
ngokkan kepalanya dan melihat satu peleton serdadu mendorong sebuah gerobak
berisi muatan berat. Setelah diamat-amati, hatinya memukul deras. Itulah sepucuk
meriam rak-sasa yang dikawal dengan sangat cermat.
"Letnan!" akhirnya ia tak dapat menyabar-kan diri lagi. "Pagi-pagi benar mereka
mem-bawa-bawa sepucuk meriam. Apakah mereka sedang berlatih?"
Sonny de Hoop menghela napas. Teringat kata-kata ayahnya semalam, seluruh bulu
romanya menggeridik. Ia harus cepat-cepat bertindak. "Sangaji harus secepat kilat
meninggalkan kediamannya. Moga-moga dia sudah pergi... moga-moga dia sudah
pergi, doanya deras dalam hati. Tetapi justru mendengar bunyi doanya, hatinya
kian menja-di gelisah. Akhirnya dia memberanikan diri. "Sampai jam berapa aku
harus tinggal di sini?"
Perwira itu tak segera menyahut, setelah berpikir sejenak baru ia menjawab,
"Minumlah kopi Nona dahulu. Setelah habis kurasa habis pulalah waktu jam
malam..."
Mendongkol hati Sonny de Hoop mendengar bunyi jawaban perwira itu. Tetapi baik
sikap maupun nada suara perwira itu tak dapat ter-cela, karenanya ia tak dapat
berbuat sesuatu. Tanpa merasa ia meruntuhkan pandang ke mangkok kopinya.
Sudah barang tentu, masih panas benar. Asapnya masih tebal meraba udara pagi
hari.
"Hm," ia gemas. Dan untuk menghindari pandang selidik perwira itu, mau tak mau
ia harus menghadapi hidangan itu dengan wajah cerah. Tetapi Sonny de Hoop
bukan Titisari yang bisa membawa diri amat licin. Meskipun ia berusaha keras untuk
meniadakan kesan kegelisahan hatinya, namun dia tak dapat meloloskan diri dari
pandang perwira itu yang sudah banyak berpengalaman.
"Rupanya Nona pagi hari ini tidak hanya bertujuan untuk menghirup hawa segar.
Apakah salah tebakanku," katanya sopan.
Kau memang pantas disambar geledek, maki Sonny de Hoop dalam hati. Lalu men-
jawab mengada-ada. "ltulah rahasiaku. Rahasia perempuan tidak berbeda jauh
dengan rahasia militer. Biarpun ia jarinya sendiri tidak boleh mengetahui."
Hati Sonny de Hoop sudah mendongkol kena siksa panas kopi. Keruan saja, begitu
mendengar ujar perwira itu, lantas saja ia meledak.
"Ya, benar ... aku hendak meledakkan kota Jakarta ini dengan meriam itu. Kau
percaya, tidak? Nah, laporkan aku kepada komandan-mu.
"Kalau aku mau pulang, masakan aku perlu diantarkan?" kata Sonny de Hoop
sengit. la mengulangi menghirup kopinya. Ia berhasil meneguk, tapi untuk
menghabiskan membu-tuhkan waktu seperempat jam. Waktu ia diperkenankan
meninggalkan tangsi, matahari sudah mengintip di ufuk timur. Melihat tiga peleton
mengepung kediaman Sangaji, Sonny de Hoop terus lari memasuki lapangan sambil
berteriak nyaring.
"Sangaji! Lariii...!"
Letnan Van Vuuren sudah sering menyertai Sonny di medan perang. Karena itu,
hubung-annya agak rapat juga. Mendengar teguran Sonny, ia tak bersakit hati,
menyahut dengan suara wajar.
"Ya."
Sonny de Hoop sudah tahu, mereka mengepung rumah Sangaji. Malahan semenjak
tadi malam ia mengetahui hal itu. Tetapi mendengar ketegasan Letnan Van Vuuren,
wajahnya berubah hebat. Pucat lesi tak ubah mayat. Tergagap-gagap ia berkata
menyang-gah. "Apakah kau lantas hendak menembak? Berbicaralah dahulu!"
Letnan Van Vuuren menghela napas. Ia tahu hubungan antara Sonny de Hoop dan
Sangaji. Dalam hati nuraninya tak sampai hati, ia melakukan perintah itu. Karena
itu mendengar perkataan Sonny de Hoop, ia mencoba mena-han perasaan diri. Lalu
berteriak keras, "Sangaji...! Kau dengar suaraku ini? Semenjak jam empat pagi tadi,
engkau kuberi kesem-patan untuk menyerah. Mengapa mem-bangkang? Jika jam
sudah memukul sampai enam kali, aku hanya bisa memberi perintah tembak! Kau
dengar perkataanku ini?"
"Bagus! Aku akan menghitung sampai sepuluh kali" sahut Letnan Van Vuuren. "Jika
aku sudah menghitung sampai sepuluh dan engkau tetap membandel, aku akan
memberi perintah menembak. Kau pikirkanlah masak-masak! Ingat, semutpun
masih sayang akan nyawanya..."
Di sini berkisar soal budi. Dengan keluarga Sonny de Hoop, ia merasa berutang
budi. Karena semenjak Sangaji bertunangan dengan Sonny, Mayor de Hoop
bersedia menjadi pelin-dungnya. Sebaliknya dengan Titisari, Sangaji berutang jiwa.
Kalau dinilai, utang jiwa itu lebih tinggi daripada utang budi. Apalagi Sangaji
nampaknya lebih condong kepada Titisari. Hanya saja persoalan ini dengan tidak
lang-sung menyangkut martabat bangsa. Bagai-manapun alasan Sangaji, dia sudah
menerima janji. Dan sebagai seorang laki-laki sejati, dia harus menepati janji itu.
Kalau tidak, namanya akan runtuh habis. Seumpama daun kering lebih berharga
dari padanya.
Sampai jam tiga pagi hari, ia menunggu. Tatkala ia hendak menjenguk pendapa, se-
orang letnan datang padanya.
Rukmini hidup lama di dekat tangsi militer. Meskipun tidak mengetahui urusan
militer, namun nalurinya berbicara juga. Nampaknya ada sesuatu yang tidak beres,
pikirnya. Memikir demikian, ia berkata gugup.
"Marilah duduk!"
Cukuplah sudah keterangan itu bagi Rukmini. Perasaan nalurinya sudah dapat
menebak sebelumnya. Mayor de Hoop akan membuat sulit keadaan anaknya.
Hanya saja tidak pernah ia mengira, bahwa kejadiannya sangat cepat dan terlalu
dahsyat.
Nah, apa kataku dahulu, bisiknya di dalam hati. Pusaka terkutuk itulah yang
menerbitkan keruwetan lagi.
Sudah hampir jam empat. Sangaji belum muncul juga. Rupanya dia tahu, rumahnya
dikepung militer, katanya di dalam hati. Tiba-tiba ia setengah berdoa. "Ya
Tuhan ...moga-moga Sangaji tak teringat akan pulang. Dengan begitu dia selamat.
Ya Tuhan ... lin-dungilah anakku..."
Ia duduk kembali di atas kursinya berdoa panjang pendek. Hal demikian itu, tidak
hanya dilakukan pada malam itu. Sudah sering ia berdoa demikian untuk
kebahagiaan anaknya pada saat-saat tertentu. Sebab bukankah dia meninggalkan
kampung halaman dan ikhlas menanggung derita sepanjang jalan dahulu semata-
mata demi anaknya belaka? Itulah sebabnya ancaman terhadap anaknya sama-lah
juga halnya mengancam dirinya sendiri. Malahan lebih hebat.
Sebab tiap ibu di mana saja akan rela meng-gantikan penanggung anaknya. Kalau
perlu rela pula mengganti dengan jiwanya sendiri.
Selagi demikian, tibalah Sangaji. Ilmu anaknya sangat tinggi sehingga dengan tiba-
tiba saja sudah berada di depannya seper-ti malaikat.
"Aji!" serunya entah bersyukur entah cemas. "Mengapa kau pulang? Rumah ini
dikepung."
"Hai! Mengapa kau bawa-bawa juga benda terkutuk itu?" tegur Rukmini. "Lihatlah!
Begini akibatnya. Bukankah aku sudah bilang?"
Soal beradanya kedua pusaka sakti itu, Sangaji memang belum pernah
mengisahkan. Tapi pada saat itu, kehilangan kegembiraan. Dasar ia memang
seorang yang selamanya tidak pandai berkata berkepanjangan. Selain itu, kini
menghadapi masalah pelik. Maka ia menyahut tak jelas.
"Kau bilang menjemput Ibu?" Rukmini menegas. la berpikir sejenak. Lalu berkata
lagi seperti terkejut. "Ah ya. Kompeni itu. Nah, apa kubilang tadi. Bukankah kusuruh
engkau berkata kepada Sonny, bahwa engkau ingin berbicara dengan ayahnya."
"Ya, Bu. Tapi saat ini nampaknya tidak mungkin lagi. Kompeni sudah bertindak.
Karena itu kita harus pergi secepat-cepatnya."
"Kita pulang ke kampung memang itulah tujuan kita. Tetapi kalau pergi begitu saja
seperti orang melarikan diri, rasanya kurang baik. Kau berbicaralah dahulu kepada
ayah Sonny. Pintalah ijinnya dan baru kita bisa pulang ke kampung dengan hati
lega. Bukankah kedatangan kita dahulu di sini de-ngan jalan terang juga?"
Sangaji tergugu. Ia seperti kena suatu pu-kulan telak. Sekian lamanya, baru dia
berkata memutuskan. "Baiklah, aku akan mencoba berbicara."
"Ibu menghendaki aku berbicara dengan Mayor de Hoop dan aku akan pergi
meskipun akhirnya aku ditangkapnya."
"Tidak ... tidak! Kalau begitu, tidak baik. Kau harus lari... Ya, harus lari...," kata
Rukmini de-ngan suara tinggi. Tetapi ia terkejut atas ucap-annya sendiri. Dan
wajahnya nampak menjadi bingung.
Sangaji melihat ibunya bingung, hatinya terasa berguguran. Lantas saja ia memeluk
ibunya sambil berkata memberi semangat.
"lbu! Mari kita berangkat! Semalam aku sudah mendengar wartanya Titisari. Benar-
benar ia berada di dekatku."
"Eh Aji, bagaimana kau bisa menanam pe-ngaruh begitu besar kepada para raja
muda?" serunya girang berbareng bangga.
"Itu semua berkat doa restu lbu. Karena itu, mari kita berangkat. Aku masih
sanggup me-nerobos kepungan ini. Kukira pula, rekan-rekan Himpunan Sangkuriang
tidak akan tinggal diam," kata Sangaji yakin. "Aku percaya Paman Maulana Syafri.
Sudah sekian tahun lamanya ia mengenakan pakaian se-ragam. Pastilah dia
mengetahui seluk beluk tata militer kompeni."
Mendengar kata-kata Sangaji, wajah Rukmini bersinar terang. Tetapi hanya seben-
tar. Mendadak suram kembali. Dengan menggelengkan kepala ia berkata dengan
suara berat.
"Anakku, kau berangkatlah sendiri! lbu akan tinggal di sini. lbu akan berusaha
berbicara dengan Mayor de Hoop."
Sangaji kenal tabiat ibunya yang keras. Sekali telah memutuskan sesuatu, dia
berani menanggung akibatnya. Kalau tidak, ia dahulu tidak akan tabah
menanggung siksaan batin. Kodrat yang membawanya lari ke Jakarta. Karena itu, ia
menundukkan kepalanya. Hatinya jadi lemas. Dasar ia seorang yang tak pandai
berbicara, dengan sendirinya tak pandai membujuk pula. Maka katanya menye-rah.
"Kau tak boleh berkata begitu. Kau harus berangkat! Hanya saja pesanku, kau
harus menjauhi kedua benda terkutuk itu! Aku tak rela engkau akan menanggung
sengsara lagi dengan Titisari. Engkau harus hidup tenteram dengan Titisari. Sebab
puteri itulah yang telah merebut jiwamu di benteng batu. Perkara ke-luarga Sonny,
itulah urusan Ibu. Biar mereka tahu, bahwa kita ini jelek-jelek mengerti mem-balas
budi," kata Rukmini dengan suara menggeletar.
"Anakku..." tiba-tiba suara Rukmini ter-dengar tenang. "Itulah urusan Ibu! Sebentar
tadi timbullah keputusanku ... Tuhan Maha Besar ... aku diberi penerangan, diberi
jalan yang baik. Rumah ini dikepung. Maksudnya untuk menangkapmu. Ah ya,
mengapa tadi aku tak bisa berpikir begitu? Kalau engkau harus berbicara dengan
Mayor de Hoop, bukankah berarti memasuki lautan api? Ah ... Tuhan Maha Besar,
hampir saja aku berbuat suatu kesalahan. Sebab, itulah kewajibanku. Akulah yang
akan berbicara. Sebab yang berhutang budi padanya adalah aku. Bukan engkau,
anakku ... Dan percayalah, serdadu yang mengepung rumah ini tidak akan berbuat
apa-apa terhadapku. Tadi aku sudah berbicara dengan opsirnya..."
"Tidak Bu... Ibu tidak berangkat, akupun tidak berangkat," kata Sangaji. Dan kata-
katanya itu disokong oleh pendiriannya yang kuat.
Hebat keputusan itu. Bunyinya bagaikan geledek baik bagi Letnan Van Vuuren
maupun Rukmini.
"Bagus! Aku akan menghitung sampai sepuluh kali!" Letnan Van Vuuren
mengancam. "Jika aku sudah menghitung sampai sepuluh dan engkau tetap
membandel, aku akan mem-beri perintah menembak. Kau pikirkanlah masak-
masak! Ingat semutpun masih sayang akan nyawanya..."
Pada saat itu juga, Sangaji mendengar suara melengking jernih yang sudah
dikenalnya: "Sangaji ... lariiii!" Itulah suara teriakan Sonny de Hoop. Dan mendengar
suara itu, hati Sangaji lemas. Dalam selintasan saja sadarlah dia, bahwa gadis itu
ternyata berada di pihaknya.
"Rubuhhh!" Terdengar suara keras bagaikan genta. Sangaji mengenal suara itu.
Sekali pan-dang, terlihatlah Tubagus Simuntang merabu lima serdadu dengan sekali
gerak. Berbareng dengan penglihatan itu, terdengar pula suara Letnan Van Vuuren
menggeram.
Sangaji tak bergerak dari tempatnya. Pandangnya dingin seakan-akan tidak meng-
hiraukan ancaman itu. Sebaliknya, Rukmini menjadi gelisah luar biasa. Dengan
suara membujuk ia berkata, "Aji, anakku! Kau larilah!"
Tetapi Sangaji masih saja tak mau bergerak dari tempatnya. Melihat sikap anaknya
itu, tiba-tiba timbullah ingatan Rukmini. Bergegas ia masuk ke dalam kamamya. Ia
memungut kedua pusaka hantaran laskar Jawa Barat. Itulah buah ajaib Dewaretna
dan kalung berlian. Berkatalah ia di dalam hati, kalau aku tak mau meninggalkan
rumah, betapa dia meninggalkan rumah ini pula. Baiklah!
Ia menghampiri Sangaji dan menyerahkan kedua benda hantaran itu. Katanya, "Kau
benar-benar tak mau meninggalkan lbu?" suaranya pilu berbareng terharu.
"Baiklah, kau benar-benar seorang anak yang dapat mem-bereskan hati ibumu. Tak
sia-sialah ayahmu menurunkan engkau di dunia. Tunggu, lbu akan berkemas-
kemas. Hanya saja pesan lbu jangan lupa. Kau kelak harus menjauhkan benda
terkutuk itu!"
"Berhenti!"
Tetapi Letnan Van Vuuren tak menghi-raukan. Dia terus menghitung. "Tujuh! ...
Delapan ...! Sembilan ...!
Letnan Van Vuuren melemparkan pandang kepada Sonny dengan mata terbelalak.
Ia seperti kebingungan. Sebagai seorang perwira, perintahnya tiada yang berani
membang-kangnya. Itulah termasuk peraturan dan tata tertib militer dengan sanksi
hukum. Karena itu ia heran mendengar bunyi suara Sonny. Ia seperti tak
mempercayai pen-dengarannya sendiri. Apakah gadis itu mem-punyai pegangan
kuat? Sebagai gerakan militer, mungkin pula dia menerima perintah tindakan lain.
Dugaannya diperkuat dengan wajah Sonny yang mendadak tertawa terhadap
Sangaji. Memang, meriam itu tidak boleh ditembakkan bila tidak terpaksa benar.
Tujuannya yang utama hanyalah untuk memecahkan kekerasan hati Sangaji.
Sebab, kalau Sangaji mau diajak bekerja sama, itulah jauh lebih bagus. Gntuk
memperoleh keya-kinan, ia menegas. "Dilarang menembak? Siapakah yang
memberi perintah?"
Letnan Van Vuuren adalah perwira keper-cayaan Mayor de Hoop. Biasanya terhadap
Sonny dia bersikap lemah-lembut. Bahkan mencari-cari muka agar mendapat kesan
baik dari ayahnya. Akan tetapi pagi itu, dia menerima perintah langsung dari Mayor
de Hoop.
kedua alis Sony de Hoop bangun, karena marahnya. Membentak garang. "Siapa
berani menembak, akan kubunuh! Tidak sekarang, nanti, besok atau lusa! Hayo
siapa berani me-nembak? Letnan Van Vuuren, mengapa kau tak menghargai diriku
lagi?"
Letnan Van Vuuren mendongkol oleh rin-tangan itu. Begitu mendongkol dia, sampai
ia tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Aku hanya tunduk kepada perintah
komandan. Apakah kau membawa surat ayahmu?"
"Aku justru datang kemari dengan membawa perintah ayahku. Dan perintah ayahku
berbunyi: Jangan tembak! Kau dengar?" Sudah barang tentu, itulah suatu dusta
karena gadis itu merasa diri terjepit ke pojok. Sebaliknya Letnan Van Vuuren jadi
bersangsi. Tadinya dia mengira demikian halnya. Namun melihat sikap Sonny tak
wajar serta pula suaranya terdengar agak menggeletar, timbul-lah syaknya. Dengan
hati-hati ia berkata meng-uji. "Jika benar, manakah surat perintahnya?"
Letnan Van Vuuren memberi hormat takzim kepada Sonny sambil berkata,
"Perintah ini sangat penting, Sonny. Ayahmu tahu akan hal itu. Andaikata tiada
sempat menulis lagi, mestinya Beliau harus datang. Sonny tahu sendiri, tanpa bukti
surat perintah, bagaimana aku kelak harus mempertanggung jawabkan?" Setelah
berkata demikian, suaranya kini berubah menjadi tegas berwibawa. "Aku minta
dengan hormat, kau mundurlah!" Lalu mem-beri perintah kepada penembak
meriam sambil menghunus pedangnya: "Tembak! Tembak! Siapa membangkang,
aku bunuh dengan ta-nganku sendiri!"
Selama berada di bawah pimpinan opsir itu, belum pernah serdadunya mendengar
Letnan
Van Vuuren memberi perintah begitu bengis. Maka dengan kaki dan tangan
bergemetaran, serdadu penembak meriam lantas menyulut bubuk obatnya. Tetapi
sebelum sumbu kena sulut, sekonyong-konyong berkelebatlah sesosok tubuh
menyambar dirinya.
"Apakah kau kira, aku tak berani mem-bunuhmu?" itulah suara Sonny sambil
menyambar.
"Sonny! Kau membuat aku susah. Ingatlah hal itu!" ia berkata setengah mengeluh.
Tatkala itu fajar hari hampir habis. Gdara mulai cerah benar-benar. Itulah waktu
yang ditentukan untuk menembakkan meriam.
"Aku perintahkan, semua mundur!" bentak Sonny kalap. "Siapa berani mendekati
meriam ini, akan kubunuh!" Letnan Van Vuuren benar-benar dalam kesulitan. Kalau
saja Sonny bukan puteri komandannya, dia dapat bertindak keras. Tetapi Sonny
anak koman-dannya yang menggenggam masa depannya. Sekali keliru tangan, dia
bisa dihukum atau dipecat. Kalau sampai terjadi demikian, habis-lah sudah harga
laki-lakinya di dunia ini. Karena itu, dia dalam kesangsian.
Sekonyong-konyong datanglah seorang bumi putera yang mengenakan pakaian
pelayan. Itulah pelayan semalam yang dilihat Sonny datang menghadap ayahnya.
Melihat kedatangannya, hatinya sudah merasa tak enak. Pastilah ini warta buruk
baginya. Dan dugaannya benar.
"Letnan," kata pelayan itu. "Perintah koman-dan harap terus dilakukan. Siapa saja
dilarang membatalkan perintahnya sekalipun puterinya sendiri."
"Ini," jawab pelayan itu. Rupanya pelayan itu yang ingin mengambil muka, dengan
diam-diam lari menghadap Mayor de Hoop setelah melihat peristiwa yang terjadi di
tengah lapangan. Seperti diketahui, kediaman Mayor de Hoop berada tak jauh dari
lapangan.
Letnan Van Vuuren dengan cepat membaca surat perintah itu. Bunyinya: Siapa saja
berani membatalkan perintah, wajib ditembak mati. Meskipun puterinya sendiri.
Membaca bunyi perintah itu, hati Letnan Van Vuuren menjadi mantap. Lalu
memandang kepada Sonny se-raya berkata, "Sonny, kau dengar sendiri bunyi
perintah ayahmu. Nah, minggirlah!"
Mendengar bunyi tulisan ayahnya, Sonny memekik kaget dengan tubuh gemetaran.
Bukan main sedihnya. Inilah untuk yang perta-ma kalinya ia mengenal tabiat
ayahnya. Selamanya ia senantiasa dimanjakan. Semua kehendaknya dipenuhi.
Meskipun yang dimin-ta sebenarnya bertentangan dengan martabat bangsanya.
Seperti tunangannya dengan Sangaji. Karena itu, dia berani menentang perintah
Letnan Van Vuuren dengan mengandal-kan kepada kasih sayang ayahnya. Di luar
dugaan, ia menumbuk batu. Ayahnya tidak hanya berkeras kepala tapi pun sampai
rela mengorbankan jiwanya bila perlu. Dia boleh dibunuh jika perlu! Alangkah
dahsyat bunyi perintah itu. Apakah ini benar-benar perintah ayahnya yang dahulu
sangat menyayanginya? Sungguh! Sama sekali ia tak pernah mem-bayangkan,
bahwa ayahnya dapat berbuat sekejam itu. Nyatalah kasih sayang ayahnya adalah
kasih sayang palsu. Alangkah jauh bedanya dengan almarhum ibunya. Teringat hal
itu, ia menangis dengan hati pedih.
"Sonny! Mundurlah! Perintah militer tak dapat dibatalkan dengan tangisanmu. Kau
mundurlah, sebelum aku terpaksa berlaku kasar terhadapmu," ancam Letnan Van
Vuuren. Perwira itu sudah memperoleh san-daran kuat. Karena itu, ia bersikap
mantap.
Sonny de Hoop menjadi putus asa. Hatinya terasa mendelong. Dunia seolah-olah
jadi lawan baginya. Ia kecewa benar. Kecewa luar biasa besarnya. Mendadak saja ia
memutar tubuhnya menghadap rumah Sangaji. Lalu berkata nyaring.
"Sangaji, kekasihku ... Bukannya aku tak mau membelamu ... tapi karena aku tak
ber-daya lagi. Sangaji hatiku ada padamu...."
Setelah berkata demikian, ia menikam ulu hatinya dengan bayonet rampasannya. la
rubuh terbalik. Tapi sebelum rebah di tanah, tangannya berhasil memeluk pangkal
meriam. Dan darahnya membanjir bagaikan dicu-rahkan.
Melihat peristiwa di luar dugaan itu, Letnan Van Vuuren kaget sampai memekik
tertahan. Tetapi dia seorang militer. Segera ia menguasai diri, lalu memberi
perintah.
Beberapa serdadu menarik tubuh Sonny de Hoop yang melengket pada pangkal
meriam. Setelah bersusah payah mereka berhasil menyingkirkan.
Letnan Van Vuuren tak sabar lagi. Ingin ia membuat jasa besar. Maka ia merebut
penyu-lut sumbu meriam, lalu dinyalakan. Dengan sekali gerak ia memasukkan
penyulut itu ke dalam ruang sumbu. Kemudian buru-buru melompat ke samping.
Tetapi meriam itu tidak meledak juga. Darah Sonny de Hoop masih dapat
menyelamatkan jiwa kekasihnya. Sumbu dengan bubuk mesiu jadi basah oleh
darah. Meskipun disulut berulang kali, tetap saja macet.
Semua kejadian itu tak terlepas dari pengamatan Sangaji. Dia seorang pemuda
yang memiliki ilmu tinggi. Dengan mena-jamkan pendengarannya, ia dapat
menang-kap semua pembicaraan yang terjadi di te-ngah lapangan itu dengan jelas.
Hatinya ikut bersitegang melihat Sonny de Hoop yang kemudian disusul dengan
membunuh diri, hatinya hancur seperti tergodam palu raksasa. Sesaat ia
kehilangan dirinya seolah-olah darahnya berhenti dengan tiba-tiba. Tak terasa ia
mengeluh sedih.
"lbu...! Kenapa?"