Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh :
1. Audia Wardana (04)
2. Dinda Ratu M (09)
Kelas XI B
A. Latar belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur
hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan
muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang
biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama
inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal
dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang
berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan
umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang
dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti
melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si
penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan
menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara
langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman
sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan
kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah
pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah?Apa
saja syaratnya? Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman
sekarang sah menurut fiqih muamalah? Tentu ini akan menjadi
pambahasan yang menarik untuk dibahas.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan perdagangan atau jual beli ?
2. Apa sajakah dalil tentang jual beli ?
3. Apa saja rukun-rukun dan syarat-syarat jual beli ?
4. Apa sajakah macam-macam jual beli ?
5. Bagaimanakah penerapan jual beli dalam kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui yang di maksud dengan perdagangan atau jual beli.
2. Untuk mengetahui dalil tentang jual beli
3. Untuk mengetahui saja rukun-rukun dan syarat-syarat jual beli.
4. Untuk mengetahui macam-macam jual beli.
5. Untuk mengetahui penerapan jual beli dalam kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
1
Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz 4.
kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang
sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa.2
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah
suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai
nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima
benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian
atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.Inti dari
beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan
mengandunghal-hal antara lain :
1) Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan
tukar menukar.
2) Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang
dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah
pihak.
3) Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi
sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
4) Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua
belah pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan
adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.
2
Ibid
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.”
3
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut : Daral-
ma’rifah, 1975), hal. 56.
4
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997),
hlm. 26
ijab adalah ungkapan membeli dari pembeli, dan qabul adalah ungkapan
menjual dari penjual. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli
itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi
jual beli.Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang
sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi
yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang
menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual
beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui
cara saling memberikan barang dan harga barang5.
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada
empat, yaitu :
1) Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2) Ada sighat (lafal ijab qabul).
3) Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4) Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan
nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun
jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang
dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut :
1. Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual
beli itu harus memenuhi syarat, yaitu :
a. Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli
harus memiliki akal yang sehat agar dapat meakukan
transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang
dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila,
hukumnya tidak sah.
b. Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan
tidak dipaksa pihak manapun.
5
Nasrun Haroen, fiqh muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007), hlm. 7
c. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda,
maksudnya seorang tidak dapat bertindak dalam waktu
yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai
pembeli.
2. Syarat yang terkait dalam ijab qabul
a. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b. Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul
tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
c. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya
kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan
membicarakan topic yang sama.6
3. Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan
sebagai berikut :
a. Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli
barang najis, seperti bangkai, babi, anjing, dan sebagainya.
b. Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau
diberi kuasa orang lain yang memilikinya.
c. Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh
barang yang tidak bermanfaat adalah lalat, nyamauk, dan
sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah
diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang
ini bermanfaat akibat perkembangan tekhnologi atau yang
lainnya, maka barang-barang itu sah diperjualbelikan.
d. Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
e. Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya,
jenisnya, sifat, dan harganya.
f. Boleh diserahkan saat akad berlangsung.7
4. Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)
6
Ibid, hlm. 9.
7
MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008), hlm. 98
Nilai tukar barang yang dijull (untuk zaman sekarang adalah uang)
tukar ini para ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-
si’r.Menurut mereka, al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan al-si’r adalah
modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum
dijual ke konsumen (pemakai).Dengan demikian, harga barang itu
ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan
konsumen (harga dipasar). Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)
yaitu :
a. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas
jumlahnya.
b. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara
hukumseperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit.
Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka
pembayarannya harus jelas.
c. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan
barang maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang
yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar, karena
kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.8
8
Drs. Ghufron Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008),
hlm. 35
Jual beli benda yang tidak ada, Jual beli seperti ini tidak
diperbolehkan dalam agama Islam.
9
Thauam marufah, Jual Beli dan Khiyar, di kutip pada situs: http://bolo-
kiyai.blogspot.com/2011/11/makalah-jual-beli-dan-khiyar.html
10
Ibid
E. Contoh Penerapan Kegiatan Jual Beli dalam Kehidupan Sehari-hari.
Transaksi jual beli yang dilakukan oleh kedua belah pihak, hendaknya
dilaksanakan berdasarkan kebutuhan, dan dilakukan dengan ridha dan
sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun, sehingga salah satu pihak
(baik penjual maupun pembeli) tidak ada yang dirugikan. Berikut ini
adalah beberapa ilustrasi jual beli dalam kehidupan sehari – hari :
1. Seorang Pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh seseorang (pihak lain
atau calon pembeli). Karena pada saat transaksi pihak yang ditawarkan
belum memiliki uang tunai, maka pemilik tanah mengatakan
kepadanya; Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit seharga 200
juta rupiah dengan tenggang waktu pelunasan sampai dua tahun ke
depan. Namun beberapa waktu kemudian, pemilik tanah mengatakan
kepada pihak pembeli, sekarang saya membeli tanah itu lagi dengan
harga 170 juta secara tunai. Sebenarnya di sini, pemilik tanah telah
melakukan tipu muslihat, karena ia sesungguhnya ingin meminjamkan
uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah
hanya sebagai perantara. Namun keuntungan dari utang di atas, itulah
yang ingin dicari.
2. pedagang sembako menjual beras dengan takaran atau neraca yang
direkayasa (dilas atau dipasang magnet) sehingga berat barang tidak
sesuai dengan realitanya
3. pedagang menjual buah yang sesungguhnya sudah tidak layak namun
diberikan zat pewarna sehingga terkesan masih segar
4. Pedagang menjual ayam yang sudah menjadi bangkai (ayam tiren) lalu
direkayasa seolah ayam yang baru disembelih
5. Pedagang menjual barang kemasan yang sudah kadaluarsa atau terbuat
dari bahan-bahan haram lalu disembunyikan masa kadaluarsanya atau
ditempelkan label halal
Cara cerdas agar seseorang tidak menjadi korban penipuan dalam transaksi
jual beli adalah; hendaknya para calon pembeli berhati-hati dan waspada
dengan berbagai modus yang banyak dilakukan oleh para penipu yang
hanya mementingkan keuntungan pinansial tanpa memikirkan dampak dan
kerugian bagi para pembeli, tidak terlalu konsumtif dan harus jeli melihat
barang yang akan dibelinya baik yang terkait dengan bahan dasarnya,
rupanya hingga labelnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu
diperbolehkan dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana
manusia dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi
antara mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.Ada
juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual
beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab
kabul), subjek akad dan objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-
syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di
atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam
menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat
kesamaan, yang berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari
rukun dan syaratnya hampir sama.
B. Saran
Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia,
namun pada zaman sekarang manusia tidak menghiraukan hukum islam.
Oleh karena itu, sering terjadi penipuan dimana-mana. Untuk menjaga
perdamaian dan ketertiban sebaiknya kita berhati-hati dalam bertransaksi
dan alangkah baiknya menerapkan hukum islam dalam interaksinya. Allah
SWT telah berfirman bahwasannya Allah memperbolehkan jual beli dan
mengharamkan riba.Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita
melakukun riba. Karena sesungguhnya riba dapat merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA