Anda di halaman 1dari 21

Pengenalan Persalinan

Pimpinan Persalinan Normal

Persalinan normal adalah persalinan lewat vagina. Pada persalinan normal, proses
persalinan diawali dengan rasa mulas dan keluarnya lendir bercampur darah dari vagina. Rasa
mulas dan nyeri (his) biasanya datang secara teratur, semakin lama semakin kuat dan semakin
nyeri, sampai anak berhasil dilahirkan. Proses kelahiran anak diikuti oleh kelahiran ari-ari.
Seringkali jalan lahir mengalami robekan (ruptur perineum) dan butuh beberapa jahitan untuk
memperbaikinya. (Paisal, 2007)

Suatu pimpinan persalinan normal dilakukan dengan syarat-syarat:


1.Adanya Penolong Yang Terampil
a. Seorang pemberi asuhan yang profesional
b. Memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk:
- Menatalaksana persalinan, kelahiran dan masa nifas
- Dapat mengenali komplikasi-komplikasi

- Mendiagnosis, menatalaksana atau merujuk ibu atau bayi ke tingkat asuhan yang lebih
tinggi jika terjadi komplikasi yang memerlukan intervensi di luar kompetensi pemberi asuhan

c. Dapat melakukan semua intervensi dasar kebidanan


2. Kesiapan Menghadapi Persalinan dan Kesiapan Menghadapi
Komplikasi Bagi Pemberi Asuhan
a. Mendiagnosis dan menatalaksana masalah dan komplikasi dengan sesuai
dan tepat waktu
b. Mengatur rujukan ke tingkat yang lebih tinggi bila diperlukan
Memberikan konseling yang berpusat pada ibu tentang kesiapan
menghadapi persalinan dan kelahiran serta kesiapan menghadapi
komplikasinya
d. Mendidik masyarakat mengenai kesiapan menghadapi persalinan dan
kelahiran serta kesiapan menghadapi komplikasinya

3.Kesiapan Menghadapi Komplikasi Bagi Pemberi Asuhan


a. Mengenali dan merespon tanda-tanda bahaya
b. Menyusun rencana serta menentukan siapa yang berwenang untuk
mengambil keputusan di saat keadaan darurat
c. Membuat rencana untuk segera dapat mengakses dana (tabungan atau dana
masyarakat)
d. Mengidentifikasi dan merencanakan upaya yang harus dilakukan untuk
mendapatkan darah atau donor darah dengan segera bila diperlukan.
(Anonim, 2005)
Pengenalan Persalinan

Wanita hamil yang telah mendekati hari perkiraan pelahiran bayi wajib untuk mengetahui
tanda-tanda persalinan. Wanita hamil harus segera melapor pada awal persalinan daripada
menunda-nunda sampai waktu kelahiran telah dekat karena kekhawatiran mengalami
persalinan palsu. Penting bagi seorang tenaga kesehatan untuk mendiagnosa apakah yang
terjadi adalah persalinan sejati (sebenarnya) ataukah persalinan palsu. Persalinan sejati
didiagnosis apabila kontraksi yang menimbulkan nyeri (his) disertai oleh pendataran lengkap
serviks, bloody show (darah lendir), atau pecahnya keruban. Wanita dengan tanda-tanda ini
diharuskan melahirkan bayi dalam waktu 12 jam. (Cunningham, et.al 2006)

Tabel perbedaan persalinan sejati dan sebenarnya


Yang diamati
Persalinan sejati
Persalinan palsu
Interval kontraksi
teratur
Tidak teratur
Secara bertahap memendek Tetap dan lama
Intensitas kontraksi
Secara bertahap meningkat Tetap tidak berubah
Letak nyeri
Punggung dan abdomen
Perut bawah
Pembukaan serviks
ada
Tidak ada
Nyeri hilang dengan
sedasi
tidak
Ya

Jika dari hasil pemeriksaan di atas belum dapat dipastikan apakah persalinan sejati atau palsu
maka dilakukan observasi ibu tersebut sambil memeriksa keadaan umum ibu dan janin
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik (tekanan darah, suhu, dan denyut nadi). Setiap ibu
yang masuk ke unit bersalin dilakukan suatu surveillans janin (pemeriksaan janin waktu
masuk) meliputi:

- uji nonstress (NST): penilaian ada tidaknya akselerasi denyut jantung janin
dengan gerakan janin
- uji stress kontraksi (CST): penilaian frekuensi denyut jantung janin
sebelum, selama, dan setelah kontraksi uterus jika psaien telah in partu
Dengan pemeriksaan di atas dapat ditentukan apakah terdapat gawat janin atau tidak. Pada
kasus persalinan palsu dan telah dilakukan tes di atas dan hasilnya normal maka ibu dapat
dipulangkan dari unit bersalin. Jika terdapat hasil yang tidak normal maka ibu harus dirawat
untuk memperbaiki keadaan ibu dan janinnya. (Cunningham, et.al, 2006)

Persalinan normal terbagi dalam 4 fase (kala), yaitu:

Kala 1 : waktu untuk pembukaan serviks sampai pada pembukaan lengkap 10 cm.
Mengawasi wanita in-partu sebaik-baiknya. Serta menanamkan semangat diri kepada wanita
ini bahwa proses persalinan adalah fisiologis. Tanamkan rasa percaya diri dan percaya pada
penolong

Kala 2 : kala pengeluaran janin, waktu uterus dengan kekuatan his ditambah kekuatan
mengedan mendorong janin keluar hingga lahir. Pada umumnya kepala janin telah masuk
ruang panggul. Ketuban yang menonjol biasanya akan pecah sendiri. Bila belum pecah, harus
dipecahkan. His datang lebih sering dan lebih kuat, lalu timbullah his mengedan. Penolong
harus telah siap untuk memimpin persalinan

Kala 3 : waktu untuk pelepasan dan pengeluaran uri. Pengawasan pada kala pelepasan dan
pengeluaran ini cukup penting, karena kelalaian dapat mengakibatkan resiko pendarahan
yang dapat engakibatkan kematian. Biasanya, uri akan lahir spontan dalam 15-30 menit,
dapat ditunggu hingga 1 jam, tetapi tidak boleh ditunggu bila terjadi banyak pendarahan

Kala 4 : mulai dari lahirnya uri selama 1-2 jam. Merupakan kala pengawasan seteah uri lahir
1-2 jam. Darah yang keluar harus ditakar sebaik-baiknya. Kehilangan darah pada persalinan
adalah biasa disebabkan oleh luka karena pelepasan uri dan perobekan pada serviks dan
perinium. Rata-rata dalam batas normal jumlah pendarahan adalah 250cc. Biasanya 100-
300cc. Bila pendarahan sudah lebih dari 500cc, ini sudah dianggap abnormal. Harus dicari
sebabnya (Cunningham, et. al, 2006)

B. Pemeriksaan per Vaginam


Paling sering, kecuali kalau sudah ada perdarahan yg lebih dari darah lendir, pemeriksaan
vagina dgn kondisi aseptik dilakukan untuk mengetahui hal2 berikut:

a. Penipisan servix
b. Dilatasi servix
c. Posisi servix
d. Bagian presentasi
e. Stasi
f. Deteksi pecahnya selaput ketuban
Pemeriksaan Vagina

Pemeriksaan ini harus dilakukan secara halus dan hati-hati serta menyeluruh dalam
keadaan aseptis menggunakan sarung tangan. Sementara pasien berada dalam posisi lithotomi
atau posisi dorsal oleh karena dengan posisi tersebut pemeriksaan dan orientasi akan lebih
mudah dilakukan. Selain itu pula, posisi ini juga merupakan posisi terbaik untuk menentukan
imbangan antara bagian terendah janin dengan panggul. Dalam pemeriksaan vagina ada
beberapa hal yang dapat diperiksa diantaranya :

1. Palpasi Cervix,
Dengan melakukan palpasi cervix kita dapat menentukan

 Apakah cervix lunak / kenyal?

 Apakah cervix tipis dan mendatar atau tebal dan panjang?

 Apakah cervix mudah di dilatasikan / tidak?

 Apakah cervix tertutup atau terbuka? Kalau terbuka, perkirakan lebarnya

diameter cincin cervix.


2. Presentasi, yaitu dapat ditentukan :
 Apakah presentasinya– kepala, bokong, atau bahu?

 Apakah ada caput succendaneum? Dan apakah kecil atau besar?

 Sampai dimana turunnya bagian terendah janin? Dimanakah kedudukan

bgaian terendah janin (bukan caput succendaneum) terhadap garis spina


ischiadica kanan– kiri ?
Kalau di atas garis, maka stasiunnya : -1, -2, atau -3 cm. Kalau di
bawahnya : +1, +2, atau +3 cm.
3. Kedudukan, dapat diketahui :
 Kalau presentasinya bokong, dimanakah sacrumnya? Dan kaki dalam
keadaan fleksi atau extensi?
 Pada presentasi kepala carilah sutura sagitalisnya. Bagaimanakah
arahnya? Pada diameter panggul anteroposterior, oblique atau transversa?

 Apakah sutura sagitalis ada di tengah antara pubis dengan sacrum


(synclitismus) ; dekat promontorium (asynclitismus anterior) ; atau dekat
symphysis pubis (asynclitismus posterior)?
 Apakah bregma di kanan ata kiri ? anterior atau posterior ? (bregma
berbentuk baji dan merupakan pertemuan empat buah suture).
 Dimanakah fontanella posterior ? (fontanella berbentuk huruf Y dan
mempunyai tiga suturae).
 Apakah kepala dalam keadaan fleksi (occiput lebih rendah daripada
sinciput) atau ekstensi (sinciput lebih rendah dari occiput) ?
 Pada kasus-kasus kesulitan dalam mencari suturae, palpasi telinga dapat

membantu menetapkan arah sutura sagitalis dan dengan demikian juga diameter
anteroposterior sumbu panjang kepala. Tragus menunjuk ke arah muka.

4. Ketuban

Terabanya kantung ketuban merupakan bukti bahwa ketuban masih utuh. Keluarnya cairan,
meconium, dan rambut janin yang dapat dijepit dengan sebuah klem, semua itu menunjukkan
bahwa ketuban telah pecah.

5. Penilaian panggul secara umum, adalah untuk menilai :


 Dapatkah promontorium diraba? Conjugata diagonalis dapat diukur
secara klinis. Conjugata diagonalis adalah jarak antara tepi bawah symphysis pubis dengan
promontorium dan panjang rata-ratanya adalah 12,5 cm. Pada pemeriksaan vaginal diraba
promontorium. Setelah ujung jari distal jari-jari mencapai promontorium maka titik tempat
bagian proksimal jari-jari bersentuhan dengan angulus subpubicus diberi tanda. Kemudian
jari-jari dikeluarkan dari vagina dan kemudian kedua titik tersebut diukur. Dengan
mengurangi panjang conjugata diagonalis 1,5 cm, maka diperoleh ukuran conjugata
obstetrica. Umumnya promontorium tidak dapat diraba dan ini diterima sebagai bukti bahwa
diameter anteroposterior PAP adekuat. Apabila promontorium teraba dan conjugata obstetrica
diduga pendek maka harus dilakukan pelvimetri

dengan sinar tembus.

 Apakah bentuk PAP simetris?

 Apakah spina ischiadica menonjol dan posterior?

 Apakah sacrum panjang dan lurus atau pendek dan cekung?

 Apakah dinding samping sejajar atau konvergen?

 Apakah incisura ischiadica lebar / sempit?

 Apakah ada penonjolan tulang atau jaringan lunak ke dalam cavum

pelvis?
 Bagaimana lebarnya angulus subpubicus ? Jarak antara tuber ischiadicum

(rata-rata 10, 5 cm) secara kasar dapat diukur dengan meletakkan tinju diantara tuber
ischiadicum kanan dan kiri. Kalau ini dapat dikerjakan maka diameter transversa PBP
dianggap adekuat.

 Apakah jaringan-jaringan lunak dan perineum lemas dan elastis atau


keras dan kaku?
6. Hubungan Fetopelvik
 Bagaimana persesuaian antara bagian terendah dan panggul?
 Apabila engagement belum terjadi, maka dapatkah bagian terendah
didorong masuk panggul dengan tekanan pada fundus dan suprapubis?
 Apakah bagian terendah menonjol diatas symphysis?
(Hakimi, 1996)
C. Penatalaksanaan Partus Kala 1

Pemeriksaan fisik umum yang belum dilakukan harus diselesaikan sesegera mungkin setelah
pasien masuk rawat inap. Yang paling baik, seorang dokter dapat membuat kesimpulan
tentang normalnya kehamilan tersebut apabila semua pemeriksaan, termasuk tinjauan ulang
rekan medis dan laboratium, sudah dilaksanakan. Sebuah rencana yang rasional untuk
memantau persalinan kemudian dapat ditegakkan berdasarkan kepentingan janin dan ibunya.
Bila tidak ada kelainan yang ditemukan atau diduga, si ibu harus diyakinkan bahwa
semuanya beres. Meskipun durasi rata-rata persalinan kala satu pada wanita nulipara adalah
sekitar 7 jam dan wanita para sekitar 4 jam, terdapat variasi individual yang besar. Oleh
karena itu, pernyataan pasti lamanya persalinan tidaklah bijaksana

Pemantauan kesejahteraan janin selama persalinan. Untuk mendapatkan

hasil akhir kehamilan yang optimal, harus dibuat program yang tersusun rapi untuk
memberikan surveilans ketat tentang kesejahteraan ibu dan janin selama persalanin. Semua
observasi harus dicatat secara tepat. Frekuensi, intesitas, dan lamanya kontraksi uterus, serta
respons denyut jantung janin terhadap kontraksi tersebut harus diperhatikan benar. Aspek-
aspek ini dapat dievaluasi dengan tepat dalam urutan yang logis.

Frekuensi Denyut Jantung Janin. Frekuensi denyut jantung janin dapat

diketahui dengan stetoskop yang sesuai atau salah satu di antara berbagai macam alat
ultrasonik Doppler. Perubahan frekuensi denyut jantung janin yang kemungkinan besar
berbahaya bagi janin hampir selalu dapat ditemukan setelah kontraksi uterus. Karena itu,
jantung janin wajib diperiksa dengan auskultasi segera setalah terjadi kontraksi. Untuk
menghindari kebingungan antara kerja jantung ibu dan janinnya, denyut nadi ibunya
hendaknya dihitung pada saat menghitung frekuensi denyut jantung janin. Bila tidak,
takikardia ibu mungkin disalahartikan sebagai frekuensi denyut jantung janin normal.

Resiko, bahaya, atau gawat janin-yaitu hilangnya kesejahteraan janin-dicugai apabila


frekuensi denyut jantung janin yang diukur segera setelah kontraksi berulang kali berada di
bawah 110 denyut per menit. Gawat janin sangat mungkin terjadi apabila denyut jantung
terdengar kurang dari 100 denyut per menit sekalipun ada perbaikan hitung detak jantung
menjadi 110 sampai 160 denyut per menit sebelum kontraksi berikutnya. Apabila setelah
kontraksi ditemukan deselerasi semacam ini, persalinan tahap selanjutnya, jika
dimungkinkan, paling baik dimonitor secara elektronik
America Academy of Pediatrics dan America College of Obstetricians and
Gynecologists (1997) merekomendasikan bahwa selama persalainan kala I,

bila tidak ditemukan adanya kelainan, jantung janin harus diperikasa segera setelah kontraksi
setidaknya setiap 30 menit, kemudian setiap 15 menit pada persalinan kala II. Jika digunakan
pemantauan elektronik kontinu, grafik dinilai sekurangnya setiap 30 menit selama persalinan
kala I dan setidaknya setiap 15 menit selama persalinan kala II. Untuk ibu hamil yang
beresiko, auskultasi dilakukan setiap 15 menit selama persalinan kala I dan setiap 5 menit
selama persalinan kala II. Pemantauan elektronik kontinu dapat digunakan dengan penilaian
grafik setiap 15 menit selama persalinan kala II.

KONTRAKSI UTERUS. Dengan melakukan penekanan ringan oleh telapak

tangan diatas uterus, pemeriksa dapat menentukan waktu dimulainya kontraksi. Intensitas
kontraksi diukur berdasarkan derajat ketegangan yang dicapai uterus. Pada puncak kontraksi
efektif, jari atau ibu jari tangan tidak dapat menekan uterus. Selanjutnya, dicatat waktu ketika
kontraksi tersebut menghilang. Urutan ini diulangi untuk mengevaluasi frekuensi, durasi, dan
intensitas kontraksi uterus. Yang paling baik adalah mengukur kontraksi uterus dengan
menyebut derajat ketegangan atau resistensi terhadap indentasi.

Pemantauan Dan Penatalaksanaan Ibu Dan Selama Persalinan


TANDA VITAL IBU. Suhu, denyut nadi, tekanan darah ibu dievaluasi

setidaknya setiap 4 jam (Tabel13-3). Jika selaput ketuban telah pecah lama sebelum awitan
persalinan, atau jika terjadi kenaikan suhu ambang, suhu diperiksa tiap jam. Selain itu, bila
terjadi pecah ketuban yang lama-lebih dari 18 jam-disarankan untuk memberikan antibiotik
profilaksis terhadap infeksi steptokokus grup B. (American College of Obstetricians and

Gynecologists,1996).
PEMERIKSAAN VAGINA SELANJUTNYA. Pada persalinan kala satu,
perlunya pemeriksaan vagina selanjutnya untuk mengetahui status serviks dan

station serta posisi bagian terbawah akan sangat bervariasi (Tabel13-3). Bila selaput ketuban
pecah, pemeriksaan hendaknya diulangi secara cepat jika pada pemeriksaan sebelumnya
kepal janin belum cakap (engaged). Frekuensi denyut jantung janin harus diperiksa segera
dan pada kontrasi uterus berikutnya untuk mendeteksi kompresi tali pusat yang tidak
diketahui. Di Parkland Hospital, pemeriksaan panggul sering dilakukan secara periodik
dengan interval 2-3 jam untuk menilai kemajuan persalinan

ASUPAN ORAL. Makanan harus ditunda pemberiannya selama proses

persalainan aktif. Waktu pengosongan lambung memanjang secara nyata saat proses
persalinan berlangsung dan diberikan obat analgesik. Sebagai akibatnya, makanan dan
sebagian besar obat yang dimakan tetap berada di lambung dan tidak diabsorpsi; melainkan,
dapat dimuntahkan dan teraspirasi Terdapat kecenderungan memberikan cairan dengan
jumlah yang terbatas untuk wanita in partu (Tabel13-3). Guyton dan Gibbs (1994)
mengadakan suatu penelitian mengenai pemberian cairan sebanyak 150 mL per oral 2 jam
sebelum pembedahan elektif. Insiden aspirasi tidak terpengaruh. Belum jelas apakah
penelitian ini dapat diterapkan pada wanita in partu, yang berisiko menjalani seksio sesarea
segera setiap saat.

CAIRAN INTRAVENA. Meskipun telah menjadi kebiasaan di banyak rumah

sakit untuk memasang sistem infus intravena secara rutin pada awal persalinan, jarang ada
ibu hamil normal yang benar-benar memerlukannya, setidaknya sampai analgesia diberikan.
Sistem infus intravena menguntungkan selama masa nifas dini untuk memberikan oksitosin
profilaksis dan seringkali bersifat terapeutikketika terjadi atonia uteri. Selain itu, persalinan
yang lebih lama, pemberian glukosa, natrium dan air untuk wanita yang sedang berpuasa
dengan kecepatan 60 sampai 120 ml per jam, efektif untuk mencegah dehidrasi dan asidosis
(Tabel13-3).

Tabel 13-3. Rekomendasi Pimpinan Persalinan Kala I dan II Normal pada


Wanita tanpa Faktor Risiko Anestetik, Medis atau Obstetris
1. Tanda vital ibu diperiksa sekurang-kurangnya setiap 4 jam.
2. Pemeriksaan vagina periodik menggunakan pelumas larut-air dan steril;
hindari antiseptik povidon-iodin dan heksaklorofen.
3. Diizinkan untuk minim cairan jernih, kadang-kadang potongan es batu, sedikit demi sedikit
dan memakai pelembab bibir. Hidrasi intravena diindikasikan bila persalinan memanjang.

4. Si ibu harus mempunyai pilihan untuk dapat berjalan-jalan selama


persalinan kala I.
5. Pereda nyeri harus bergantung pada kebutuhan dan keinginan si ibu.
Dari American Academy of Pediatrics dan American College of Obstetricians and
Gynecologists, 1997, dengan izin.
POSISI IBU SELAMA PERSALINAN. Ibu yang dalam proses bersalin tidak

perlu berbaring di tempat tidur pada awal persalinan. Sebuah kursi yang nyaman mungkin
lebih bermanfaat secara psikologis. Di tempat tidur, ibu hendaknya diperolehkan mengambil
posisi yang rasanya enak, paling sering adalah berbaring miring. Ibu tidak harus ditahan pada
posisi terlentang. Bloom dkk. (1998) melakukan percobaan acak untuk berjalan selama
persalinan pada 1000 wanita dengan kehamilan risiko rendah. Mereka menemukan bahwa
berjalan tidak mempercepat atau mengganggu persalinan aktif dan tidak berbahaya.

ANALGESIA. Seperti tercantum pada Tabel13-3, analgesi paling sering

mulai diberikan berdasarkan rasa nyeri pada wanita yang bersangkutan. Jenis analgesia,
jumlahnya, dan frekuensi pemberian hendaknya didasarkan pada kebutuhan untuk
menghilangkan nyeri di satu pihak, dan kemungkinan melahirkan bayi yang sakit di lain
pihak

Penetapan waktu, metoda pemberian, dan ukuran dosis awal serta lanjutan obat-obat
analgesik yang bekerja secara sistemik sangat didasarkan pada interval waktu yang
diharapkan sampai pelahiran. Oleh karenanya, pemeriksaan vagina berulang sebelum
memberikan analgetik lebih banyak sering kali dapat diterima. Dengan munculnya gelaja-
gejala khas persalinan kala dua, yaitu dorongan untuk mengejan, status serviks dan bagian
terbawah janin harus dievaluasi kembali.

AMNIOTOMI. Bila selaput ketuban masih utuh, ada dorongan yang besar-

bahkan pada persalinan normal sekalipun-untuk melakukan amniotomi. Manfaat yang


diperkirakan adalah persalinan bertambah cepat, deteksi dini kasus pencemaran mekonium
pada cairan amnion, dan kesempatan untuk memasang elektroda ke janin serta memasukkan
pressure catheter ke dalam rongga uterus. Jika amniotomi dilakukan, harus diupayakan
menggunakan teknik aseptik. Yang penting, kepala janin harus tetap berada di serviks dan
tidak dikeluarkan dari panggul selama prosedur; karena tindakan seperti itu akan
menyebabkan prolaps tali pusat.

FUNGSI KANDUNG KEMIH. Distensi kandung kemih harus dihindarkan

karena dapat mengakibatkan persalinan macet dan selanjutnya menimbulkan hipotonia serta
infeksi kandung kemih. Setiap melakukan pemeriksaan abdomen, daerah suprapubik
hendaknya diinspeksi dan dipalpasi untuk mendeteksi pengisian kandung kemih. Jika
kandung kemih dengan mudah dapat dilihat dan dipalpasi di atas simfisis, wanita tersebut
dianjurkan untuk berkemih. Sewaktu-waktu ibu diperbolehkan untuk berjalan dengan bantuan
ke toilet dan berhasil berkemih, sekalipun ibu tidak dapat berkemih di tempat tidur. Jika
kandung kencing terdistensi dan tidak dapat berkemih, diindikasikan kateterisasi intermiten

(Cunningham et. al, 2006)

D. Kala IIKala II mulai bila pembukaan serviks lengkap. Umumnya pada akhir

kala I atau permulaan kala II dengan kepala janin sudah masuk dalam ruang panggul, ketuban
pecah sendiri. Bila ketuban belum pecah spontan, ketuban harus dipecahkan (amniotomi).
Kadang-kadang pada permulaan kala II ini wanita tersebut ingin muntah disertai rasa ingin
mengedan kuat. His akan timbul lebih sering dan merupakan tenaga pendorong janin.
Disamping his, wanita tersebut harus dipimpin meneran (untuk membuat kontraksi dinding
abdomen dan diafragma menekan uterus) pada waktu his. Di luar his denyut jantung janin
harus sering diawasi. Ada 2 cara mengedan :

1. Wanita tersebut dalam letak berbaring merangkul kedua pahanya sampai batas siku. Kepala
sedikit diangkat, sehingga dagu mendekati dada dan ia dapat melihat perutnya.

2. Sikap seperti di atas, tetapi badan dalam posisi miring ke kanan atau kiri tergantung pada letak
punggung anak. Hanya satu kaki dirangkul, yakni kaki yang berada di atas. Posisi yang
menggulung ini memang fisiologis. Posisi ini baik dilakukan bila putaran paksi dalam belum
sempurna. Dokter atau penolong persalinan berdiri pada sisi kanan wanita tersebut.

Bila kepala janin telah sampai pada dasar panggung, vulva mulai membuka. Rambut
kepala janin mulai tampak. Perineum dan anus tampak mulai meregang. Perineum mulai
lebih tinggi, sedangkan anus mulai membuka. Anus pada mulanya bulat berubah berbentuk
"D" dan tampak dinding depan rektum. Perineum ditahan dengan tangan kanan sebaiknya
dengan kassa steril, bila tidak ditahan akan robek (Ruptura perinei) (Winkjosastro, 2006)

Dianjurkan untuk melakukan episiotomi (insisi pada perineum dengan gunting) pada
primigravida dan pada perineum kaku. Episiotomi dilakukan pada saat perineum tipis dan
kepala tidak masuk kembali ke dalam vagina. Ketika kepala janin akan mengadakan defleksi
dengan suboksiput di bawah simfisis sebagai hipomoklion, sebaiknya tangan kiri menahan
bagian belakang kepala dengan maksud agar gerakan defleksi tidak terlalu cepat. Dengan
demikian, ruptura perinei dapat dihindarkan. Untuk mengawasi ruptura perineum ini posisi
miring (Sims position) lebih menguntungkan dibandingkan posisi biasa. Akan tetapi, bila
perineum jelas telah tipis dan menunjukkan akan timbul ruptura perinei, maka sebaiknya
dilakukan epistotomi,. Dikenal : a). epistotomi mediana (pada garis tengah, baik dilakukan
pada multipara), b). epistotomi mediolateralis (pada garis tengah dan diperluas ke lateral saat
mendekati anus, baik dilakukan pada primi), dan c). epistotomi lateralis (langsung miring
terhadap sumbu perineum, dapat memberikan pembukaan yang terbesar, kadang dilakukan
pada keadaan direncanakan ekstraksi forceps atau ekstraksi vakum) (Winkjosastro, 2006)

Gambar: Berbagai Jenis Epistotomi

Keuntungan epistotomi mediana ialah tidak menimbulkan perdarahan banyak dan penjahitan
kembali lebih mudah, sehingga sembuh per primam dan hampir tidak berbekas. Bahayanya
ialah dapat menimbulkan ruptura perinei totalis (robekan perineum tembus sampai m.sfingter
ani, bahkan kadang sampai mukosa rektum).Perawatan ruptura perinei totalis harus
dikerjakan serapi-rapinya, agar jangan sampai gagal dan timbul inkontinensia alvi. Untuk
menghindarkan robekan perineum dapat dilakukan perasat Ritgen : bila perinuem meregang
dan menipis, tangan kiri menahan dan menekan bagiana belakang kepala janin ke arah anus.
Tangan kanan pada perineum, dengan ujung-ujung jari tangan kanan tersebut melalui kulit
perineum dicoba menggait dagu janin dan ditekan ke arah simfisis dengan hati-hati. Dengan
demikian, kepala janin dilahirkan perlahan-lahan ke luar. Setelah kepala lahir diperhatikan
apakah tali pusat melilit leher janin. Lilitan dapat dilonggarkan dan bila sukar dapat
dilepaskan dengan menjepit tali pusat dengan 2 cunam Kocher kemudian dipotong
diantaranya dengan gunting yang tumpul ujungnya (Winkjosastro, 2006).

Gambar: Manuver Ritgen


E. Kelahiran spontan

Pada waktu kepala meregangkan vulva dan perineum pada saat kontraksi sehingga cukup
untuk membuka introitus vagina menjadi berdiameter sekitar 5 cm, perlu memasang duk
steril dengan satu tangan untuk melindungi introitus dari anus dan kemudian menekan ke
depan pada dagu janin melalui perineum tepat di depan coccygis, sementara tangan lainnya
memberikan tekanan di atas pada occiput. Kepala dilahirkan secara berlahan dengan basis
occiput berputar di tepi bawah symphisis pubis sebagai titik tumpu, sementara bregma
(fontanela anterior), dahi dan wajah berturut-turut terlihat di perineum. Setelah kepala lahir,
kepala mengadakan putaran paksi luar ke arah letak punggung janin. Usaha selanjutnya
melahirkan bahu janin. Mula-mula lahirkan bahu depan, dengan kedua telapak tangan pada
samping kiri dan kanan kepala janin. Kepala janin ditarik perlahan kearah anus sehingga lahir
bahu depan, tarikan tidak boleh terlalu keras dan kasar oleh karena dapat menimbulkan
robekan pada muskulus sternokleidomastoidues. Kemudian, kepala janin diangkat kearah
simfisis untuk melahirkan bahu belakang.

Setelah kedua bahu janin dapat dilahirkan, maka usaha selanjutnya ialah melahirkan
badan janin, trokanter anterior dan disusul trokanter posterior. Dengan kedua tangan di bawah
ketiak janin dan sebagaian di atas dipunggung atas berturut-turut dilahirkan badan janin,
trokanter anterior dan trokanter posterior.

Setelah janin lahir, bayi sehat dan normal akan segera menarik napas dan langsung
menangis keras. Kemudian bayi diletakkan dengan kepala ke bawah kira-kira membentuk
sudut 30 derajat dengan bidang datar.
Lendir pada jalan napas segera dibersihkan atau diisap dengan pengisap lendir. Tali
pusat dipotong 5-10 cm dari umbilikus diantara 2 cunam Kocher. Bila kemungkinan akan
melakukan exchange transfusion pada bayi maka pemotongan tali pusat diperpanjang sampai
antara 10-15cm. Ujung tali pusat bagian bayi didesinfeksi dan diikat kuat. Hal ini harus
diperhatikan benar karena bila ikatan kurang kuat, ikatan dapat terlepas dan perdarahan dari
tali pusat masih dapat terjadi yang membahayakan bayi tersebut. Kemudian diperhatikan
kandung kencing ibu. Bila penuh, dilakukan pengosongan kandung kencing, sedapat-
dapatnya wanita bersangkutan disuruh kencing sendiri. Kandung kencing yang penuh dapat
menimbulkan atonia uteri dan mengganggu pelepasan plasenta yang berarti menimbulkan
perdarahan postpartum. (Winkjosastro, 2006)

F. Janin terlilit tali pusat

Tali pusat yang melilit janin bisa memicu kematian. Tetapi ternyata lilitan tali pusat
tidaklah terlalu membahayakan. Lilitan tali pusat menjadi bahaya ketika memasuki proses
persalinan dan terjadi kontraksi rahim

(mulas) dan kepala janin mulai turun memasuki saluran persalinan. Lilitan tali pusat menjadi
semakin erat dan menyebabkan penekanan atau kompresi pada pembuluh-pembuluh darah
tali pusat. Akibatnya, suplai darah yang mengandung oksigen dan zat makanan ke bayi akan
berkurang, mengakibatkan bayi menjadi sesak atauh i p o k s i a.

Sebab Janin terlilit tali pusat

Pada usia kehamilan sebelum 8 bulan umumnya kepala janin belum memasuki bagian
atas panggul. Pada saat itu ukuran bayi relatif masih kecil dan jumlah air ketuban banyak
sehingga memungkinkan bayi terlilit tali pusat. Pada kehamilan kembar dan air ketuban
berlebihan atau polihidramnion kemungkinan bayi terlilit tali pusat meningkat. Tali pusat
yang panjang dapat menyebabkan bayi terlilit. Panjang tali pusat bayi rata-rata 50 sampai 60
cm. Namun tiap bayi mempunyai panjang tali pusat berbeda-beda. Dikatakan panjang jika
melebihi 100 cm dan dikatakan pendek jika panjangnya kurang dari 30 cm.

Penyebab bayi meninggal karena tali pusat


Puntiran tali pusat secara berulang-ulang ke satu arah. Biasanya terjadi pada trimester
pertama atau kedua. Ini mengakibatkan arus darah dari ibu ke janin melalui tali pusat
tersumbat total. Karena dalam usia kehamilan tersebut umumnya bayi masih bergerak dengan
bebas. Lilitan tali pusat pada bayi terlalu erat sampai dua atau tiga lilitan. Hal tersebut
menyebabkan kompresi tali pusat sehingga janin mengalami kekurangan oksigen

Penanganan

Memberikan oksigen pada ibu dalam posisi miring. Namun, bila persalinan masih akan
berlangsung lama dan detak jantung janin semakin lambat (bradikardia), persalinan harus
segera diakhiri dengan tindakan operasi caesar. Melalui pemeriksaan teratur dengan bantuan
USG untukk melihat apakah ada gambaran tali pusat di sekitar leher. Namun, tidak dapat

dipastikan sepenuhnya bahwa tali pusat tersebut melilit leher janin atau tidak. Apalagi untuk
menilai erat atau tidaknya lilitan. Namun, dengan USG berwarna (collor dopper) atau USG 3
dimensi, Anda dapat lebih memastikan tali pusat tersebut melilit atau tidak di leher janin,
serta menilai erat tidaknya lilitan tersebut.

Tanda tanda bayi terlilit tali pusat

Pada bayi dengan usia kehamilan lebih dari 34 minggu, namun bagian terendah janin
(kepala atau bokong) belum memasuki bagian atas rongga panggul. Pada janin letak
sungsang atau lintang yang menetap meskipun telah dilakukan usaha untuk memutar janin
(Versi luar/knee chest position) perlu dicurigai pula adanya lilitan tali pusat. Tanda
penurunan detak jantung janin di bawah normal, terutama pada saat kontraksi rahim.
(Conectique, 2008)

G. Pelahiran Bahu

Setelah lahir, kepala jatuh ke posterior, sehingga wajah hampir menempel ke anus.
Oksiput segera memutar kearah salah satu paha ibunya sehingga kepala mengambil posisi
melintang. Gerakan-gerakan restitusi selanjutnya (rotasi eksterna) menunjukkan bahwa
diameter biakromion (diameter transversal dada) telah memutar menyesuaikan dengan
diameter anteroposterior panggul. Paling sering, bahu terlihat di vulva tepat setelah rotasi
eksternal dan lahir spontan. Kadangkala, terjadi pelambatan dan tampaknya perlu dianjurkan
ekstraksi segera. Pada keadaan itu, sisi kepala dipegang dengan kedua tangan dan lakukan
traksi kearah bawah secara perlahan, dilakukan sampai bahu anterior terlihat dibawah arkus
pubis. Beberapa praktisi lebih memilih melahirkan bahu anterior sebelum menghisap
nasofaring atau memeriksa tali pusat untuk menghindari distosia bahu. Lalu, dengan gerakan
keatas bahu posterior dilahirkan. (Cunningham, et.al, 2006)

Sisa badan hampir selalu mengikuti bahu tanpa kesulitan, tetapi pada kasus persalinan
yang berkepanjangan, pelahiran badan dapat dipercepat dengan tarikan sedang pada kepala
dan tekanan sedang pada fundus uteri. Mengaitkan jari-jari di aksila hendaknya dihindari,
karena akan mencederai saraf ekstremitas superior sehingga menimbulkan paralisis
sementara atau mungkin permanen. Selanjutnya, traksi hendaknya hanya dikerjakan searah
sumbu panjang bayi karena kalau ditarik miring dapat menyebabkan tertekuknya leher dan
peregangan belebihan pleksus brakialis. (Cunningham, et.al, 2006)

H.Membersihkan nasofaring

Membersihkan nasofaring dilakukan untuk meminimalkan kemungkinan aspirasi debris


cairan amnion dan darah yang mungkin terjadi setelah dada lahir dan bayi menarik nafas,
wajah cepat-cepat diusap dan lubang hidung serta mulut bayi diaspirasi. (Cunningham, et.al,
2006)

Teknik Intubasi
Kepala janin dalam posisi menghadap ke atas. Laringoskop dimasukkan ke dalam sisi dalam
mulut, kemudian diarahkan ke posterior ke arah orofaring kemudian laringoskop digerakkan
secara perlahan ke dalam ruangan di antara dasar lidah dan epiglottis. Elevasi perlahan ujung
laaringoskop akan mengangkat ujung epiglotis serta memajankan glottis dan pita suara. Pipa
endotrakeal dimasukkan melaui sisi kanan mulut dan dimasukkan melalui pita suara sampai
bahu pipa mencapai glotis. Ukuran pipa endutrakeal harus sesuai dengan janin. Langkah yang
diambil untuk memastikan pipa berada dalam trakea dan bukan di esofagus adalah dengan
mendengarkan bunyi napas atau suara gurgling jika udara dimasukkan ke dalam lambung.
Setiap benda asing yang menghalangi pipa endotrakea harus segera disingkirkan dengan cara
pengisapan. Mekonium, darah, mucus dan debris tertentu pada cairan amnion atau pada jalan
lahir mungkin telah dihisap in utero atau saat melalui jalan

lahir. (Cunningham, et.al, 2006)


I. Pemotongan Tali Pusat
Tali pusat dipotong di antara dua klem seperti yang dipasang 4 atau 5 cm dari abdomen
janin dan kemudian satu klem tali pusat dipasang 2 atau 3 cm dari abdomen janin. Sebaiknya
dalam memilih klem, gunakan klem plastik yang aman, efisien, mudah disterilkan dan tidak
terlalu mahal. (Cunningham, et.al, 2006)

Saat yang tepat mengklem tali pusat

Jika setelah lahir, bayi ditempatkan setinggi introitus vagina atau di bawahnya selama 3
menit dan sirkulasi fetoplasenta tidak segera disumbat dengan klem tali pusat, sekitar 80 ml
darah dapat berpindah dari plasenta ke janin. Satu keuntungan dari transfusi plasenta tersebut
adalah fakta bahwa hemoglobin pada 80 ml darah plasenta yang berpindah ke bayi tersebut,
memberikan 50 mg besi sebagai simpanan bayi dan tentu saja mengurangi frekuensi anemia
gizi besi pada masa bayi.

Pada percepatan perusakan eritrosit, seperti yang terjadi pada alloimunisasi ibu, bilirubin
yang terbentuk dari eritrosit tambahan tersebut ikut memperberat bahaya hiperbilirubinemi.
Meskipun secara teori risiko beban sirkulasi yang berlebihan akibat hipervolemia berat
mengkhawatirkan, terutama pada bayi prematur dan pertumbuhan terhambat, tambahan darah
plasenta ke dalam sirkulasi bayi tersebut biasanya tidak menimbulkan kesulitan. Oleh karena
itu mengklem tali pusat setelah pembersihan saluran nafas bayi pertama kali selesai biasanya
memerlukan waktu 30 detik. Bayi tidak dinaikkan di atas introitus pada persalinan
pervaginam, juga tidak terlalu tinggi di atas dinding abdomen ibu pada seksio sesarea.
(Cunningham, et. al, 2006)

J. Penatalaksanaan Kala III Persalinan

Partus kala III disebut kala uri. Kelalaian dalam memimpin kala III dapat
mengakibatkan kematian karena perdarahan. Kala uri dimulai sejak bayi lahir lengkap sampai
plasenta lahir lengkap. Ada 2 tingkat pada kelahiran plasenta, yaitu :

1. melepasnya plasenta dari implantasinya pada dinding uterus


2. pengeluaran plasenta dari dalam kavum uteri
(Winkjosastro, 2006)

Seperti telah dikemukakan, setelah janin lahir, uterus masih mengadakan kontraksi yang
mengakibatkan penciutan permukaan kavum uteri. Akibatnya plasenta akan lepas dari tempat
implantasinya. Pelepasan ini dapat dimulai dari tengah (sentral menurut Schultze) atau dari
pinggir plasenta (marginal menurut Mahews-Duncan) atau serempak dari tengah dan dari
pinggir plasenta. Cara yang pertama ditandai oleh makin panjang keluarnya tali pusat dari
vagina (tanda ini dikemukakan oleh Ahlfeld) tanpa adanya perdarahan per vaginam,
sedangkan cara yang kedua ditandai adanya perdarahan dari vagina apabila plasenta mulai
terlepas. Umumnya perdarahan tidak melebihi 400 ml, bila lebih maka hal ini patologis.
(Winkjosastro, 2006)

Segera setelah bayi lahir, tinggi fundus uteri dan konsistensinya hendaknya dipastikan.
Selama uterus tetap kencang dan tidak ada perdarahan yang luar biasa, menunggu dengan
waspada sampai plasenta terlepas biasa dilakukan. Jangan dilakukan masase; tangan hanya
diletakkan di atas fundus, untuk memastikan bahwa organ tersebut tidak menjadi atonik dan
terisi darah dibelakang plasenta yang terlepas (Cunningham, et.al , 2006)

Tanda-tanda pelepasan plasenta

Karena usaha-usaha untuk mengeluarkan plasenta sebelum terlepas sia-sia saja dan
mungkin berbahaya, yang paling penting adalah mengenali tanda- tanda pelepasan plasenta
sebagai berikut:

1. Uterus menjadi globular, dan biasanya lebih kencang. Tanda ini terlihat
paling awal.
2. Sering ada pancaran darah mendadak

3. Uterus naik di abomen karena plasenta yang telah terlepas, berjalan turun masuk ke segmen
bawah uterus dan vagina, serta massanya mendorong uterus ke atas.

4. Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina, yang menunjukkan bahwa
plasenta telah turun. (Cunningham & et, 2006)

Tanda-tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir dan
biasanya dalam 5 menit. Kalau plasenta sudah lepas, dokter harus memastikan bahwa uterus
tetap berkontraksi kuat. Ibu boleh diminta untuk mengejan dan tekanan intraabdominal yang
ditimbulkan mungkin cukup untuk mendorong plasenta. Kalau upaya ini gagal atau kalau
pengeluaran spontan tidak mungkin karena anestesi, dan setelah memastikan bahwa uterus
berkontraksi kuat, tekan fundus uteri dengan tangan untuk mendorong plasenta yang sudah
terlepas ke dalam vagina (Cunningham, et. al, 2006)

Kelahiran plasenta

Pengeluaran plasenta jangan dipaksakan sebelum pelepasan plasenta karena ditakutkan


menyebabkan inversio uteri. Pada saat uterus ditekan, tali pusat tetap tegang. Uterus diangkat
ke arah atas dengan tangan diatas abdomen. Manuver ini diulangi beberapa kali sampai
plasenta mencapai introitus. Saat plasenta melewati introitus, penekanan pada uterus
dihentikan. Plasenta kemudian secara perlahan dikeluarkan dari introitus. Traksi pada tali
pusat tidak dibenarkan untuk menarik plasenta keluar dari uterus. Membran yang melekat
dilepaskan dari perlekatannya untuk mencegah terjadi robek atau tertahan di jalan lahir.
Apabila membran mulai robek, pegang robekan tersebut dengan klem dan tarik perlahan.
Permukaan maternal plasenta harus diperiksa dengan hati-hati untuk memastikan bahwa tidak
ada bagian plasenta yang tertinggal di uterus. (Cunningham, et.al, 2006)

K. Kala IV

Plasenta, selaput ketuban, dan tali pusat hendaknya diperiksa kelengkapannya dan
kelainan– kelainan yang ada. Satu jam segera setelah kelahiran plasenta adalah masa kritis
dan disebut oleh beberapa ahli obstetri

sebagai persalinan “kala empat”.(Cunningham, et. al, 2006)

Hal ini dimasudkan agar dokter, bidan, atau penolong persalinan masih mendampingi
wanita selesainya bersalin, sekurang– kurangnya 1 jam postpartum. Dengan cara ini
diharapkan kecelakaan– kecelakaan karena perdarahan postpartum dapat dikurangi atau
dihindarkan. Sebelum meninggalkan wanita postpartum, harus diperhatikan 7 pokok penting:

1. Kontraksi uterus harus baik


2. Tidak ada perdarahan dari vagina atau perdarahan– perdarahan dalam alat
genitalia lainnya
3. Plasenta dan selaput ketuban harus telah lahir lengkap
4. Kandung kencing harus kosong
5. Luka–luka pada perineum terawat dengan baik dan tidak ada hematoma
6. Bayi dalam keadaan baik

7. Ibu dalam keadaan baik. Nadi dan tekanan darah normal, tidak ada pengaduan sakit kepala
atau enek. Adanya frekuensi nadi yang menurun dengan volume yang baik adalah suatu
gejala baik. (Winkjosastro, 2006)

Sekalipun diberikan oksitosin, perdarahan postpartum akibat atonia uterus paling


mungkin terjadi pada saat ini (satu jam setelah plasenta lahir lengkap). Uterus harus sering
diperiksa selama masa ini. Demikian pula, daerah perineum harus sering diperiksa untuk
mendeteksi perdarahan yang banyak.

American Academy of Pediatricsdan American College of Obsetricians and


Gynecologist (1997) merekomendasikan untuk mencatat tekanan darah dan
denyut nadi segera setelah melahirkan dan setiap 15 menit selama satu jam
pertama setelah melahirkan. (Cunningham, et. al, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2005). Pelatihan APN. Retrieved October 18, 2008, from Instalasi
Kesehatan Reproduksi Pemalang: http://kesehatanreproduksi.tripod.com/apn.html

Conectique. (2008). Pregnancy-Waspadai, Janin Terlilit Tali Pusat. Retrieved


October 19, 2008, from Conectique-connecting women: http://www.conectique.com

Cunningham, et. al. (2006). Obstetri Williams. Jakarta. Jakarta: EGC

Hakimi, M. (1996). Harry Oxon Ilmu Kebidanan: Patologi dan Fisiologi


Persalinan Human Labor and Birth. Jakarta: Yayasan Essentia Medica.

Paisal. (2007, October 20). Persalinan: Operasi Sesar atau Normal. Retrieved
Oktober 19, 2008, from Warta Medika:http://www.wartamedika.com/2007/10/persalinan-
operasi-sesar-atau-normal.html>Persalinan : Operasi Sesar atau Normal?

Winkjosastro, H. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo

Anda mungkin juga menyukai