Anda di halaman 1dari 22

May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

BAB I
PENDAHULUAN
Dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, sindrom Stevens-Johnson merupakan

hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang merupakan ekspresi berat dari eritema

multiforme. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom

mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa

maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang

mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik

sampai buruk.(Hamzah,2002)

SSJ merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel,

bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta mukosa

kelopak mata. Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal

yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma

pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Seperti pada kasus kematian

pasien di RS St Carolus dan terakhir yang di laporkan dari Jawa Timur , secara sepintas tampak

sebagai SSJ.

SSJ muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya

kerusakan yang ditimbulkan kadang tak berhubungan lansung dengan dosis, namun sangat

ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling diketahui jika

ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang

seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika

SSJ akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian

seperti syok anafilaktik.

Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 1


May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

Oleh beberapa kalangan disebut sebagai eritema multiforme mayor tetapi terjadi ketidak

setujuan dalam literatur. Sebagian besar penulis dan ahli berpendapat bahwa sindrom Stevens-

Johnson dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sama dengan manifestasi

yang berbeda. Dengan alasan tersebut, banyak yang menyebutkan SSJ/NET. SSJ secara khas

mengenai kulit dan membran mukosa. Walaupun presentasi minor dapat timbul tetapi gejala

signifikan dari membran mukosa oral, nasal, mata, vaginal, uretral, gastrointestinal dan saluran

napas bawah dapat terjadi selama perjalanan penyakit. Ikut sertanya gastrointestinal dan respiratori

dapat berlanjut menjadi nekrosis. SSJ merupakan kelainan sistemik yang serius dengan potensi

morbiditas berat dan mungkin kematian. Kesalahan diagnosis sering terjadi pada penyakit ini.

Walaupun beberapa skema klasifikasi telah dilaporkan, yang paling sederhana

mengelompokkan penyakit ini sebagai berikut:

1. Sindrom Stevens-Johnson – Bentuk minor dari NET, dengan luas permukaan tubuh yang

terkena kurang dari 10%.

2. SSJ/NET – Luas permukaan tubuh yang terkena sekitar 10-30%.

3. NET – Luas permukaan tubuh yang terkena lebih dari 30%.

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui manifestasi SSJ dan tata laksananya.

Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 2


May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1.Definisi SJS

Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang

sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa.

Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik

(toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema

multiforme (EM) (Adithan,2006).

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi

mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta

mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema

eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular,

dermatostomatitis, dll.

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan

dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan

penyebabnya (Adithan,2006).

II.2.Etiologi SSJ

1. Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa dan usia lanjut.

2. Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan atau reaksi obat.

Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karna imunitas belum berkembang

sepenuhnya.

3. NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-negara Barat. Di Asia

Timur allopurinol merupakan penyebab utama.


Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 3
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

4. Obat seperti sulfa, fenitoin atau penisilin telah diresepkan kepada lebih dari dua pertiga pasien

dengan SSJ.

5. Lebih dari setengah pasien dengan SSJ melaporkan adanya infeksi saluran napas atas.

6. 4 kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik.

◦ Penyakit viral yang pernah dilaporkan termasuk HSV, AIDS, infeksi virus coxsakie,

hepatitis, influensa, variola, lymphogranuloma venerum dan infeksi ricketsia.

◦ Etiologi bakterial termasuk streptokokus grup A, difteria, bruselosis, mikobakteria,

Mycoplasma pneumoniae dan tifoid.

◦ Koksidioidomikosis, dermatofitosis danhistoplasmosis merupakan kemungkinan dari infeksi

jamur.

◦ Malaria dan trikomoniasis dilaporkan sebagai penyebab dari protozoa.

◦ Pada anak-anak, EBV dan enterovirus telah diidentifikasi.

◦ Etiologi dari antibiotik termausk penisilin dan sulfa. Antikonvulsan termasuk fenitoin,

karbamazepin, asam valproat, lamotrigin dan barbiturat.

◦ Berbagai karsinoma dan limfoma juga dimasukkan sebagai faktor yang berhubungan.

◦ SSJ bersifat idiopatik pada 25-50% kasus.

II.3.Faktor predisposisi SSJ

Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SSJ terjadi 1-3 kasus per satu

juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.

Walaupun SSJ dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan.

Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2004).

II.4.Patofisiologi SJS

SSJ merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang


Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 4
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir ini kokain dimasukkan

dalam daftar obat yang dapat menyebabkan SSJ. Sampai dengan setengah dari total kasus, tidak ada

etiologi spesifik yang telah diidentifikasi.

SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut Coomb

dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama

SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel

T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama terdapat di

dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC-II.

Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat di epidermis. Oleh karena proses

hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) :

1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan

2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat

3. Kegagalan termoregulasi

4. Kegagalan fungsi imun

5. Infeksi

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa

didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa

mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk

trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung

hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita

mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu

ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan

minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik (Ilyas, 2004).

Walaupun tidak sepenuhnya relevan dengan praktek keadaan gawat darurat, penelitian
Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 5
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

terhadap patofisiologi SSJ/NET dapat memberikan kesempatan pemeriksaan untuk membantu

diagnosis selain untuk membantu pasien yang memiliki resiko.

Berdasarkan hasil penelitian Steven J Parrillo, DO, FACOEP, FACEP  Adjunct Professor,

School of Health and Science, Philadelphia University, secara patologis, nekrosis sel menyebabkan

pemisahan antara epidermis dan dermis. Reseptor nekrosis sel, Fas, dan ligannya, FasL, telah

dihubungkan dengan proses seperti TNF-alfa. Peneliti telah menemukan peningkatan kadar FasL

pada pasien dengan SSJ/NET sebelum pelepasan kulit atau inset dari lesi mukosa. Beberapa peneliti

lain menghubungkan sitokin inflamatori pada patogenesis.

Terdapat juga bukti kuat mengenai predisposisi genetik pada reaksi kutaneus berat dari efek

samping obat seperti SSJ. FDA dan Health Canada menyarankan screening terhadap antigen

leukosit manusia, HLA-B*1502, pada pasien etnis Asia Tenggara sebelum memulai terapi dengan

karbamazepin. Antigen lainnya, HLA-B*5801, memberikan reaksi yang berhubungan dengan

allopurinol.. Screening sebelum terapi belum tersedia.

II.5.Epidemiologi SSJ

Jumlah kasus di Amerika Serikat cenderung meningkat pada awal musim semi dan musim

dingin. Untuk kasus overlap SSJ/NET, NSAID oksikam (piroksikam, meloksikam, tenoksikam) dan

sulfonamid merupakan penyebab tersering di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.

Kontras dengan negara-negara Barat, penyebab tersering di negara-negara Asia Timur dan Tenggara

adalah allopurinol.

Predominansi kasus pada ras Kaukasia telah dilaporkan dan rasio pria:wanita adalah 2:1.

Kebanyakan pasien berusia antara 20-40 tahun, akan tetapi pernah dilaporkan terjadi kasus pada

bayi berusia 3 bulan.

Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 6


May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

II.6.Mortalitas dan Morbiditas SSJ

Mortalitas secara primer ditentukan oleh banyaknya kulit yang terkelupas. Ketika

pengelupasan kulit terjadi kurang dari 10%, angka kematian berkisar 1-5%. Akan tetapi, ketika

pengelupasan kulit mencapai lebih dari 30%, angka mortalitas menjadi 25-35% dan mungkin

mencapai 50%. Bakteremia atau sepsis juga berkontribusi terhadap kematian.

Lesi akan terus bererupsi pada jasad sampai 2-3 minggu. Pembentukan pseudomembran

mukosa dapat mengakibatkan scar mukosa dan kehilangan fungsi dari sistem organ yang terkena.

Striktur esofagus dapat terjadi ketika terdapat manifestasi yang hebat pada esofagus. Rusaknya

mukosa di trakeobronkial dapat mengakibatkan gagalnya pernapasan.

Sekuele okular dapat berupa ulserasi kornea dan uveitis anterior. Kebutaan dapat terjadi

sekunder terhadap keratitis berat atau panoftalmitis pada 3-10% pasien. Stenosis vaginal dan scar

penis pernah dilaporkan. Komplikasi renal jarang terjadi.

II.7.Riwayat Klinis SSJ

SSJ dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa

demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang

sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami

ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh

tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh

pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Secara khas, proses

penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas.

Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang akan bertahan dari

2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau perburukan lokal harus

dipikirkan ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari seluruh kasus.
Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 7
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien tidak dapat makan

dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi keluhan disuria. Riwayat penyakit

SSJ atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi dapat terjadi apabila agen yang

menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien mengalami pajanan kembali.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada

banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat

nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku

dan rambut rontok (Adithan, 2006).

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama

berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit

yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama

akibat TEN.

Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk

mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.

Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :

a) Ruam

b) Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

c) Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.

d) Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula

terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran

hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan

krusta hemoragis merupakan gambaran utama.

e) Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.

Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 8


May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

f) Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak

mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,

simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi

kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus

yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari

mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai

terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31

tahun.

Bila mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila baru mulai memakai obat baru,

segera periksa ke dokter.

II.8.Pemeriksaan Fisik SSJ

Trias kelainan pada Sindrom Stevens Johnson

1. Kelainan pada kulit

 Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikel,

bula, plak urtikaria atau eritema konfluen.

 Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik.

 Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan ekskoriasi pada kulit.

Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.

 Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik.

 Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan morbiditas.

 Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal dari tangan dan

permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling umum.

 Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling umum di batang
Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 9
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

tubuh.

2. Kelainan pada Selaput lendir di orifisium

 Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), 50% pada lubang alat genitalia, jarang

pada lubang hidung dan anus (masing-masing 8% dan 4%).

 Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang gampang pecah

sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman, terutama pada bibir. Juga dapat

timbul pseudomembran. Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian atas, faring dan

esofagus.

 Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan

 Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas.

 Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa lesi pada kulit tetapi

sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis.

Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau inkomplit.

3. Kelainan Mata

Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis

purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis.

4. Tanda-tanda yang mungkin ditemukan selama pemeriksaan:

 Demam

 Ortostasis

 Takikardia

 Hipotensi

 Penurunan kesadaran

 Epistaksis

 Konjungtivitis
Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 10
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

 Ulkus kornea

 Vulvovaginitis erosiva atau balanitis

 Kejang, koma

II.9.Diagnosa SSJ

Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,

mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target,

iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium

antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari

darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada

kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat

peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun

dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak

ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik (Siregar, 2004; Adithan,

2006).

II.10.Diagnosis Banding SSJ

Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :

1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN. SJS

dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.

2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai

dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena (Siregar, 2004).

Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 11


May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan yang

menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila diangkat timbul

perdarahan (Wijana, 1993).

II.11.Pemeriksaan Penunjang SSJ

Pemeriksaan Laboratorium :

Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ.

a) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau

leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan kemungkinan

infeksi bakteri berat.

b) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang serius

pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

c) mengevaluasi fungsi renal dan evaluasi urin untuk melihat adanya hematuria.

d) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakit

kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.

e) Elektrolit dan kimia lainnya mungkin diperlukan untuk membantu menangani masalah

lainnya.

f) Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya infeksi.

g) Bronkoskopi, esofagogastroduodenoskopi dan kolonoskopi dapat dilakukan.

Pemeriksaan Radiologi:

Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara klinis. Akan

tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.

Pemeriksaan Histopatologi:

Biopsi kulit merupakan pemeriksaan definitif tetapi pemeriksaan ini bukan merupakan prosedur
Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 12
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

ruang gawat darurat.

a) Spesimen biopsi kulit memperlihatkan bahwa bula terletak subepidermal.

b) Nekrosis sel epidermal dapat dilihat.

c) Area perivaskular diinfiltrasi oleh limfosit.

II.12.Penatalaksanaan SSJ

Sebelum sampai ke rumah sakit, paramedis harus mengenali adanya kehilangan cairan yang

banyak dan menangani pasien dengan SSJ sama dengan pasien yang mengalami luka bakar luas.

Kebanyakan pasien memperlihatkan gejala awal yang mengarah kepada gangguan hemodinamik.

Peran utama dokter UGD yang sangat penting adalah mendeteksi SSJ atau NET sesegera mungkin

dan memulai penanganannya.

Penghindaran dari agen yang menjadi penyebabnya merupakkan langkah yang sangat

penting. Perkiraan waktu berhubungan erat dengan keadaan akhir pasien.

1. Penanganan di UGD harus dilakukan secara langsung untuk mengganti cairan dan

koreksi elektrolit.

2. Lesi pada kulit ditangani sama seperti luka bakar.

3. Pasien dengan SSJ harus ditangani dengan perhatian khusus kepada airway dan stabilitas

hemodinamik, status cairan, penanganan lesi kulit dan kontrol nyeri.

4. Perawatan secara primer bersifat suportif dan simptomatis. Beberapa ahli menyarankan

pemberian kortikosteroid, siklofosfamid, hemodialisis dan imunoglobulin.

 Rawat lesi oral dengan obat kumur.

 Anestesi topikal sangat berguna untuk mengurangi rasa nyeri dan memberi

kesempatan kepada pasien untuk mendaapat cairan.

 Berikan profilaksis untuk tetanus.


Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 13
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

 Bagian kulit yang mengalami lesi harus ditutup dengan kompres larutan NaCl

fisiologis.

5. Penyakit utama dan infeksi sekunder harus diidentifikasi dan diterapi. Obat yang

menjadi penyebab harus langsung dihentikan.

6. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversial. Beberapa ahli menyebutkan bahwa

steroid merupakan kontraindikasi, terutama karena diagnosis masih belum pasti. Pasien

dengan eritema multiforme yang disebabkan infeksi akan memburuk dengan pemberian

steroid. Beberapa penulis menyimpulkan bahwa steroid IV dan terapi imunoglobulin

tidak meningkatkan atau memperbaiki keadaan umum pasien.

7. Pada penelitian besar di Eropa, menemukan bahwa tidak ada cukup bukti adanya

keuntungan dari berbagai terapi spesifik. Studi ini memperhatikan mortalitas pasien

yang diterapi dengan imunoglobulin IV dan kortikosteroid.

Konsultan dapat membantu menegakkan diagnosis dan memberikan terapi. Dermatologis

merupakan konsultan yang paling tepat untuk menegakkaan diagnosis, dengan atau tanpa biopsi.

a. Pada kasus-kasus yang berat sangat diperlukan bantuan daari ahli bedah plastik.

b. Dokter penyakit dalam atau spesialis anak diperlukan untuk membantu penanganan

pasien.

c. Konsultasi dengan spesialis mata merupakan keharusan untuk pasien dengan gejala

okular.

d. Berdasarkan sistem organ yang terkena, konsultasi dengan gastroenterologis,

pulmonologis dan nefrologis sangat membantu.

II.13.Medikamentosa SSJ

Tidak ada obat spesifik yang menunjukkan keuntungan secara konsisten pada terapi SSJ.
Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 14
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

Pemilihan antibiotik untuk infeksi bergantung kepada penyebab infeksi tersebut.

Gejala klinis dan hasil laboratorium memperlihatkan bahwa infeksi pada aliran darah

memastikan penggunaan antibiotik. Organisme yang paling umum antara lain Staphylococcus

aureus, Pseudomonas aeruginosa dan spesies Enterobacteriaceae.

Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial tetapi mungkin berguna jika

diberikan dalam dosis tinggi pada fase awal penyakit. Morbiditas dan mortalitas dapat meningkat

berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid. Imunoglobulin IV telah dijabarkan sebagai terapi

dan profilaksis.

Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang

diberikan biasanya adalah :

 Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

 Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari

sediaan lesi kulit dan darah.

 Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3

hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang

mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan

penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang

menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

 Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil)

dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15

mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia

anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan

kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

 Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.


Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 15
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

 Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

 Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

 Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum

luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-

16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

 Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan

6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses

kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).

Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :

 Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2

jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola

mata.

 Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya

perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).

II.14.Follow-Up SSJ

Untuk pasien rawat inap:

1. Kompres larutan garam fisiologis dapat diberikan pada kelopaak mata, bibir dan hidung.

2. Inspeksi harian sangat diperlukan untuk monitor adanya superinfeksi sekunder.

3. Antibiotik sistemik profilaksis tidak berguna terutama pada saat ini dimana terdapat

resistensi obat multipel.

4. Antibiotik diindikasikan pada kasus infeksi kulit atau traktus urinarius, dimana infeksi

tersebut dapat menyebabkan bakteremia.

Untuk pasien rawat jalan:


Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 16
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

1. Walaupun pasien dengan eritema multiforme minor dapat diterapi rawat jalan dengan

pemberian steroid topikal tetapi pasien dengan eritema multiforme mayor atau SSJ harus

dirawat inap.

2. Penyebab dari eritema multiforme minor harus diperhatikan seksama. Beberapa ahli

menyarankan follow-up setiap hari.

Untuk pencegahan, pasien haarus dihindarkan dari pajanan lanjutan terhadap agen yang

menyebabkan SSJ. Rekurensi sangat mungkin terjadi.

II.15.Prognosis SSJ

a. Lesi individual biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, kecali terdapat infeksi sekunder. Sebagian

besar pasien sembuh tanpa adanya sekuele.

b. Adanya sekuele serius seperti gagal napas, gagal ginjal dan kebutaan menentukan prognosis

pada sistem yang terkena.

c. Sampai dengan 15% ddari seluruh pasien SSJ meninggal akibat keadaan umum yang buruk.

Bakteremia dan sepsis memainkan peranan penting sebagai penyebab utama peningkatan

mortalitas.

d. Skor SCORTEN menilai banyak variabel dan menggunakannya untuk menentukan faktor resiko

kematian pada SSJ dan NET. Variabel tersebut adalah:

1. Usia >40 tahun

2. Keganasan

3. Heart rate >120

4. Persentase awal dari pengelupasan epidermal >10%

5. Kadar glukosa serum >14 mmol/L

6. Kadar bikarbonat <20 mmol/L


Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 17
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

7. Kadar BUN >10 mmol/L

e. Angka mortalitas sebagai berikut:

 SCORTEN 0-1 ≥ 3,2%

 SCORTEN 2 ≥ 12,1%

 SCORTEN 3 ≥ 35,3%

 SCORTEN 4 ≥ 58,3%

 SCORTEN 5 atau lebih ≥ 90%

II.16.Komplikasi SSJ

Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:

 Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan

 Gastroenterologi - Esophageal strictures

 Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina

 Pulmonari – pneumonia

 Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder

 Infeksi sitemik, sepsis

 Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002).

Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari,

dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya

perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa,

yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat

menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion,

trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat

berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan
Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 18
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi

tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan

pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa

pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren,

hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung

pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya

kelainan akibat komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius

seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan

mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya

harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata (Viswanadh, 2002)

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi


Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 19
May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta

mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya

berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi

hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Manifestasi SSJ pada kulit berupa eritema, vesikel, bula, kadang

terdapat purpura, pada selaput lendir orifisium berupa vesikel dan bula yang gampang pecah, mata

dapat berupa konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,

simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi

kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2

yaitu Toxic Epidermolysis Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) dan

konjungtivitis membranosa atau pseudomembranosa.

Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi cairan dan

elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat.

Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman

dari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang

mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan

yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid

menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 20


May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

LAMPIRAN FOTO

Pengelupasan kulit yang ekstensif pada pasien SSJ Krusta kehitaman/hemorrhagik

Konjungtivitis kataralis pada SSJ Simblefaron

Sindrom Stevens Johnson pada anak Lesi pada mukosa mulut

Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 21


May 19, 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Bagian Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. p:154-158.

Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Bagian

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. p:163-165.

Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of

Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:

www.jipmer.edu

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta

Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media

Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3 rd edition. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.

Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta.

2004. hal 141-142.

Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric

patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.

Parrilo, S. : Steven Johnson Syndrome In Emergency Medicine. Philadelphia University. 2010.

Access on : May 15, 2011. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/756523-

overview.

Apri Sufiana .H – 11.2009.246 | FK UKRIDA – RS Mardi Rahayu 22

Anda mungkin juga menyukai