NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2021
TENTANG
Menimbang :
1. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit ,maka diperlukan
penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi;
2. bahwa agar pelayanan di Rumah Sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya
Peraturan Direktur tentang Kebijakan Pelayanan Rumah Sakit sebagai landasan bagi
penyelenggaraan seluruh pelayanan di Rumah Sakit ;
3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a dan b, perlu
ditetapkan dengan Peraturan Direktur Rumah Sakit .
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Undang-undang nomor 29 tahun 2009 tentang kesehatan
3. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang praktik kedokteran
4. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI
/SK- P/I/2018 tentang Kebijakan Pelayanan Perawatan Hiv
Aids RSU Santo Yoseph Labuan Bajo.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG
KEBIJAKAN PELAYANAN VCT RUMAH SAKIT
2. Kebijakan pelayanan Rumah Sakit sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan ini.
3. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan Rumah Sakit
dilaksanakan oleh Direksi dan Manajer Pelayanan Rumah Sakit
4. Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan apabila
dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini,
akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.
1. Pelayanan VCT, PITCT dan CST dilaksanakan setiap hari kerja senin – jumat jam 13.00
s/d 16.00
2. Pelayanan dilaksanakan RS
3. Pelayanan VCT dilakukan oleh Konselor.
4. Pelayanan PITCT dilakukan oleh bagian terkait (rawat jalan/rawat inap)
5. Pemeriksaan labolatorium dilakukan di laboratorium RS . Reagent untuk pemeriksaan
tes HIV dan CD4 di sediakan oleh dinas kesehatan.
6. Pelayanan CST dilakukan oleh Koordinator CST.
7. Melakukan Rujuk keluar apabila ada pasien PMTCT atau fasilitas rumah sakit terbatas.
8. Konsulen CST dilakukan oleh dokter spesialis Internis.
9. Memberikan support dan penjelasan tentang HIV yang dilaksanakan oleh MK (Manager
Kasus).
10. Pengambilan obat ARV dilakukan di instalasi farmasi RS. Apabila obat-obat ARV di
RS kosong maka pengambilan obat dilakukan di RS lain yang ditunjuk melakukan
pelayanan ARV sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
11. Persediaan obat-obatan ARV disediakan oleh dinas kesehatan.
12. Pelaporan dialakukan setiap bulan oleh petugas pembuatan laporan, untuk laporan VCT
dan PITCT dilakukan oleh adm VCT dan untuk laporan CST dilakukan oleh adm CST
Tentang
MEMUTUSKAN :
Di tetapkan
di: Ternate
Tanggal; 2021
RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
Tanggal :
A. Pendahuluan
Mutu pelayanan kesehatan merupakan suatu produk yang diberikan kepada pelanggan
untuk memberikan kepuasan akan kebutuhan dalam pelayanan jasa kesehatan yang
diberikan kepada pelanggan, dengan menjamin kualitas pelayanan yang
berkesinambungan, efektif dan efisien serta tanggap terhadap adanya indikator yang
menyebabkan ketidakpuasan. Mutu yang lebih tinggi memungkinkan untuk mengurangi
tingkat kesalahan, mengurangi pekerjaan ulang, mengurangi kegagalan di lapangan,
mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi keharusan memeriksa dan menguji,
meningkatkan hasil kapasitas, memberikan dampak utama pada biaya, dan biasanya mutu
lebih tinggi biaya lebih sedikit.
Mutu pelayanan kesehatan perlu dilakukan pengukuran, dengan cara mengetahui
tentang pengertian indikator, kriteria, dan standar. Indikator adalah petunjuk atau tolak ukur.
Indikator mutu asuhan kesehatan atau pelayanan kesehatan dapat mengacu pada indikator
yang relevan berkaitan dengan struktur, proses, dan outcome. Indikator terdiri dari indikator
proses, indikator outcome. Indikator proses memberikan petunjuk tentang pelaksanaan
kegiatan pelayanan kesehatan, prosedur asuhan yang ditempuh oleh tenaga kesehatan
dalam menjalankan tugasnya.
Indikator outcomes merupakan indikator hasil daripada keadaan sebelumnya, yaitu input
dan proses seperti BOR, LOS, dan Indikator klinis lain seperti: Angka Kesembuhan
Penyakit, Angka Kematian 48 jam, Angka Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan, dan
sebagainya. Indikator dispesifikasikan dalam berbagai kriteria. Untuk pelayanan kesehatan,
kriteria ini adalah fenomena yang dapat dihitung. Selanjutnya setelah kriteria ditentukan
dibuat standar-standar yang eksak dan dapat dihitung kuantitatif, yang biasanya mencakup
hal-hal yang standar baik.
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan yang dapat mengukur mutu pelayanan
kesehatan menurut Depkes (2006) yaitu melalui indikator, kriteria, dan standar. Indikator
adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi. Indikator
merupakan suatu variabel yang digunakan untuk dapat melihat perubahan. Kriteria adalah
spesifikasi dari indikator. Standar adalah tingkatan performance atau keadaan yang dapat
diterima oleh seseorang yang berwenangan dan merupakan suatu norma atau persetujuan
mengenai keadaan atau prestasi yang sangat baik.
B. Tema
Peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien menuju pelayanan rumah sakit
yang berkualitas dan professional.
C. Tujuan
1. Terlaksananya kegiatan pemantauan terhadap indikator klinis yang meliputi keefektifan
klinis yang berfokus pada pasien, keamanan dan keselamatan pasien serta orientasi staf
dan manajerial
2. Terlaksananya kegiatan audit medis
3. Terlaksananya 7 (tujuh) langkah keselamatan pasien
4. Termanfaatkannya alat kedokteran
5. Terlaksananya kegiatan pendidikan dan pelatihan
6. Terlaksananya kegiatan survey kepuasaan pasien, keluarga dan staf rumah sakit.
D. Sasaran
Program Peningkatan mutu dan keselamatan pasien ini dituangkan ke dalam perspektif
kinerja dan sasaran strategis sebagai berikut.
1. Perspektif keuangan, dengan sasaran strategis:
a. Optimalisasi pendapatan
b. Pengaturan struktur anggaran
c. Pengendalian biaya (penghematan keuangan)
2. Perspektif pelanggan
a. Terwujudnya mutu pelayanan dan terjangkau oleh masyarakat.
b. Peningkatan kunjungan pasien
c. Tercapainya loyalitas pelanggan
E. Bentuk Kegiatan
1. Pemantauan Indikator Klinis
a. Kepala Rumah Sakit membentuk Komite Mutu Pelayanan Rumah Sakit (yang
diantaranya akan membuat perencanaan peningkatan mutu dan keselamatan p
Pasien melalui pembuatan dan menilai indikator pelayanan rumah sakit).
b. Komite Mutu melakukan pemantauan terhadap indikator-indikator sebagai
berikut:
1) Keefektifan klinis yang meliputi:
2) Asesment terhadap area klinik
3) Pelayanan laboratorium
4) Pelayanan radiologi dan diagnostic imaging
5) Prosedur bedah
6) Penggunaan antibiotika dan obat lainnya
7) Kesalahan medis (medication error) dan Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
8) Anestesi dan penggunaan sedasi
9) Penggunaan darah dan produk darah
10) Ketersediaan, isi dan penggunaan catatan medis
11) Pencegahan dan kontrol infeksi, surveilans dan pelaporan
12) Riset klinik
2. Keselamatan pasien yang meliputi :
a. Ketetapan identifikasi pasien
b. Peningkatan Komunikasi yang efektif
c. Peningkatan Keamanan Obat yang perlu diwaspadai
d. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi
e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
f. Pengurangan risiko jatuh
3. Aspek Manajerial yang meliputi :
a. Pengadaan rutin peralatan kesehatan dan obat untuk memenuhi kebutuhan
pasien.
b. Pelaporan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
c. Manajemen Resiko
d. Manajemen penggunaan sumber daya
e. Harapan dan kepuasan pasien dan keluarga
f. Harapan dan kepuasan staf
g. Demografi pasien dan diagnosis klinik
h. Manajemen keuangan
i. Pencegahan dan pengendalian dari kejadian yang dapat menimbulkan masalah
bagi keselamatan pasien, keluarga pasien dan staf.
j. Hasil pemantauan indikator disusun dalam bentuk laporan.
k. Laporan hasil pemantauan indikator klinis disampaikan kepada seluruh
stakeholder rumah sakit
l. Membuat tindak lanjut dari hasil evaluasi peningkatan mutu dan keselamatan
pasien.
F. Audit Medis
1. Kepala Rumah sakit membentuk Tim Audit Medis
2. Tim Audit Medis menyelenggarakan kegiatan audit medis, paling sedikit tiga kali
dalam setahun
3. Hasil kegiatan audit medis dibuat notulen dan yang hadir diabsen
4. Bila ada yang perlu ditindaklanjuti dibuat surat kepada direktur
G. Keselamatan Pasien
1. Kepala Rumah Sakit membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
2. Komite menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit
3. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
4. Pimpin dan dukung staf anda
5. Integrasikan aktivitas resiko
6. Kembangkan sistem pelaporan
7. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
8. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keamanan pasien
9. Cegah cedera melalui implementasi sistem keamanan pasien.
10. Pendidikan dan Pelatihan Tiap Departemen
11. Masing-masing Departemen mengajukan usulan pelatihan yang akan dilakukan
oleh personilnya masing-masing.
12. Usulan pelatihan direkapitulasi oleh Departemen Bangdiklat
13. Departemen Bangdiklat mengajukan usulan pelatihan kepada Kepala Rumah
Sakit.
14. Kegiatan diklat dievaluasi untuk perbaikan usulan diklat tahun berikutnya
15. Survey Kepuasan Pasien
16. Tim survey di Surat Perintah oleh Kepala Rumah Sakit
17. Tim survey menyusun kuesioner untuk survey
18. Tim survey melakukan uji coba terhadap kuesioner
19. Tim survey melakukan revisi terhadap kuesioner
20. Tim survey melaksanakan survey dalam waktu 30 hari (pengumpulan data
analisa)
21. Hasil survey dipresentasikan dihadapan stakeholder rumah sakit
22. Dibuat rekomendasi untuk tindak lanjut survey
MENIMBANG :
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO TERNATE
NOMOR :
TANGGAL :
REKONSILIASI OBAT
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan Obat yang
telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat
(medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi
Obat.Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu
Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari
Rumah Sakit kelayanan kesehatan primer dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi Obat adalah:
a. Memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan pasien.
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter.
c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.
c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian dokumentasi. Bila ada
ketidak sesuaian , maka dokter harus dihubungi kurang dari 24 jam. Hal lain yang harus
dilakukan oleh Apoteker adalah:
1. menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak
disengaja.
2. mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti.
3. memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi Obat.
d. Komunikasi, melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga
pasien atau perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab
terhadap informasi Obat yang diberikan. (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit.
Nama Pasien :
No. RM :
Tanggal Lahir :
Tentang
MENIMBANG :
1. Bahwa perbekalan farmasi adalah terdiri dari obat, alat kesehatan, reagen,
gas medis, ataupun film.
2. Bahwa perbekalan farmasi harus dikelola dan menjadi tanggung jawab
Instalasi Farmasi.
3. Bahwa dalam pengelolaan perbekalan farmasi perlu dilakukan penyimpanan
perbekalan farmasi sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga tidak
mengurangi mutu dari perbekalan farmasi tersebut.
4. Bahwa untuk menjamin perbekalan farmasi disimpan secara aman, sesuai
dengan dan menjaga mutu dan stabilitas obat maka perlu ditetapkan Surat
Keputusan Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo tentang Pedoman
Penyimpanan Obat.
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
7. Arsip
LAMPIRAN SURAT PERATURAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR :
TANGGAL :
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengelolaan obat di rumah sakit sangat penting karena ketidakefisienan akan
memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medis maupun ekonomis
(Anonim, 1994). Pengelolaan obat tidak hanya mencakup aspek logistik saja, tetapi juga
mencakup aspek informasi obat, supervisi dan pengendalian menuju penggunaan obat yang
rasional (Justicia, 2009).
Dalam pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit tahapan yang penting adalah
proses penyimpanan. Penyimpanan merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi
menurut persyaratan yang telah ditetapkan disertai dengan sistem informasi yang selalu
menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan. Tujuan dari manajemen
penyimpanan obat adalah untuk melindungi obat-obat yang disimpan dari kehilangan,
kerusakan, kecurian, terbuang sia-sia, dan untuk mengatur aliran barang dari tempat
penyimpanan ke pengguna melalui suatu sistem yang terjangkau (Anonim, 2006).
Definisi Penyimpanan perbekalan farmasi secara umum adalah suatu kegiatan
menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada
tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat.
Penyimpanan perbekalan farmasi dimaksudkan juga untuk pengaturan tempat penyimpanan
perbekalan farmasi sesuai dengan peraturan yang berlaku dan memudahkan dalam
pengontrolan ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.
Dalam upaya terciptanya sistem penyimpanan perbekalan farmasi yang baik, Rumah
sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk mengatur
tempat penyimpanan menurut bentuk sediaan dan jenisnya, suhu dan kestabilannya, sifat
bahan (b3, mudah tidaknya meledak atau terbakar), tahan tidaknya terhadap cahaya, tingkat
kewaspadaan (obat-obat kewaspadaan tinggi ).
B. TUJUAN
Tujuan Umum :
Terwujudnya sistem penyimpanan yang baik, memudahkan dalam pengelolaan dan
pencarian sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tujuan Khusus :
1. Memelihara mutu sediaan farmasi
2. Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab
3. Menjaga ketersediaan
4. Memudahkan dalam pencarian dan pengawasan
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup penyimpanan perbekalan farmasi meliputi :
1. Instalasi Farmasi
2. Gudang Farmasi
3. Ruang perawatan
4. Poliklinik rawat jalan
5. ICU
6. Laboratorium
7. Radiologi
BAB II
TATA LAKSANA
A. PENERIMAAN
Tahapan awal sebelum obat disimpan adalah penerimaan. Penerimaan perbekalan
farmasi dari distributor di rumah sakit menggunakan sistem 1 pintu dilakukan di logistik
farmasi. Penerimaan perbekalan farmasi harus sesuai dengan surat pesanan dan
memperhatikan kualitas dan kuatintas perbekalan farmasi yang diterima. Sebelum diterima
perbekalan farmasi harus dicek. Pengecekan perbekalan farmasi meliputi :
a. Nama pemesan di faktur
b. Nama perbekalan farmasi
c. Jumlah
d. Kekuatan untuk obat
e. Waktu kadaluarsa dan
f. Kondisi fisik obat.
B. PENYIMPANAN
Penyimpanan perbekalan farmasi di rumah sakit dikendalikan oleh kepala instalasi
farmasi. Penyimpanan dilakukan di depo – depo farmasi, laboratorium, radiologi,
poliklinik, ruang perawatan dan unit khusus. Penyimpanan di depo farmasi dibedakan
menurut :
1. Bentuk Sediaan dan Jenisnya, Perbekalan farmasi di tata menurut bentuk sediaannya
meliputi:
a. Tablet, kaplet, kapsul dan puyer di tata sesuai abjad
b. Syrup dan larutan obat minum ditata sesuai abjad
c. Injeksi dan infus obat di tata sesuai abjad
d. Salep, cream, lotion dan powder ditata sesuai abjad
e. Tetes mata dan salep mata ditata sesuai abjad
f. Tetes telinga di tata sesuai abjad
g. Infus dasar ditata di atas palet
h. Alkes ditata terpisah dari obat disesuaikan dengan tempat
penyimpanannya.
i. Bahan – bahan kimia yang bukan termasuk B3 di tata tersendiri terpisah dengan obat
dan alkes.
Perbekalan farmasi ditatas menurut jenisnya meliputi :
1. Obat narkotika di simpan dilemari terpisah, tertutup, rangkap dua dan terkunci
2. Obat psikotropika di simpan dilemari terpisah, tertutup, dan terkunci
3. Obat generik
4. Obat HIV
5. Obat paten
2. Suhu dan Kestabilannya
Suhu penyimpanan perbekalan farmasi meliputi :
a. Suhu ruang terkontrol (20˚C-25˚C)
b. Suhu Refrigerator (2˚C-8˚C)
c. Suhu Freezer (-20˚ C) - (-10˚C). Freezer yang digunakan untuk menyimpan obat
berupa freezer yang terpisah dari refrigerator, bukan kombinasi refrigerator-
freezer.
d. Suhu Warmer (maksimun tidak boleh lebih dari 43˚C).
Untuk memantau suhu penyimpanan perbekalan farmasi, maka :
1) Setiap tempat dan atau ruang penyimpanan perbekalan farmasi harus
dipasang termometer ruangan.
2) Suhu ruangan dan suhu kulkas dicek dan dicatat pada blangko suhu yang di
tempatkan di dekat thermometer suhu.
3) Pemantauan suhu ruang dan suhu kulkas penyimpanan obat dilakukan setiap
hari oleh asisten apoteker atau staff terlatih yang ditunjuk secara sah.
4) Pemantauan suhu di dalam ruang dan suhu di kulkas penyimpanan obat
dilakukan dengan cara melihat dan membaca suhu yang tertera pada
termometer dan kulkas. Suhu dicatat pada log temperatur pada jam 08.00
pagi, jam 15.00 siang dan jam 22.00 malam untuk unit pelayanan 24 jam.
5) Khusus pada hari libur, untuk depo dan unit yang tutup pemantauan suhu
dilakukan setelah petugas masuk kerja.
6) Pada kondisi suhu ruang atau suhu kulkas penyimpanan perbekalan farmasi di
luar rentang suhu yang seharusnya, maka petugas harus segera menghubungi
unit pemeliharaan alat rumah sakit.
Dokumentasi pemantauan suhu penyimpanan perbekalan farmasi dilakukan
setiap hari dengan menggunakan form log temperatur yang telah ditentukan
dan pada akhir bulan ditandatangani oleh kepala bagian/kepala unit/kepala
ruangan
3. Sifat Bahan ( mudah tidaknya meledak atau terbakar ).
Penyimpanan B3 ( bahan berbahaya dan beracun ) :
a. Mengikuti standar dalam MSDS masing-masing bahan
b. Terpisah dari obat dan alat kesehatan lainnya.
c. Tempat penyimpanan tersendiri dan selalu terkunci, Memiliki ventilasi
yang baik dan memiliki wastafel
4. Tahan Tidaknya Terhadap Cahaya.
5. Penyimpanan obat yang tidak tahan cahaya dilakukan di dalam kemasan tertutup
dan gelap. Tingkat Kewaspadaan (obat-obat HAM). Penyimpanan obat-obat HAM
diatur dalam kebijakan penyimpanan obat-obat kewaspadaan tinggi.
1. Obat untuk pasien rawat inap disimpan diloker tempat penyimpanan obat pasien yang
dikelola oleh perawat bekerja sama dengan bagian farmasi.
2. Obat untuk pasien rawat inap harus memiliki label identitas pasien dan nama, jumlah dan
kekuatan obat.
3. Obat yang digunakan untuk banyak pasien di rawat inap di simpan dengan diberi label dan
terpisah dari obat yang belum digunakan.
4. Obat obat yang digunakan untuk banyak pasien di rawat inap , setelah dibuka diberikan
label informasi tanggal dibuka dan disimpan sesuai persyaratan penyimpanan. Masa obat
setelah dibuka dibatasi maksimal 30 hari setelah obat pertama kali segel dibuka
Obat injeksi di kamar operasi bentuk ampul yang sudah dipakai sebagian, sisa obatnya
di spuit, diberi label yang baik dan disimpan dalam kulkas yang berisi tanggal pemakaian
terakhir, nama obat, dosis obat, dan nama perawat (batas maksimal obat dapat digunakan
24 jam setelah obat pertama kali dibuka segelnya). Obat sisa penyimpanannya tidak lebih
dari 24 jam.
BAB III
PENUTUP
MENIMBANG :
1. Bahwa dalam pelayanan kefarmasian harus diberikan dengan berpedoman
pada peningkatan mutu pelayanan farmasi dan mengutamakan
keselamatan pasien.
2. Bahwa dalam pemberian pelayanan farmasi kepada pasien harus diberikan
secara benar, tepat dan sesuai untuk pasien sehingga bisa mencegah atau
mengurangi terjadinya kesalahan obat (medication error).
3. Kesalahan obat (medication error) merupakan kejadian yang salah dalam
pemberian obat dan alat kesehatan yang dapat menciderai pasien atau
membahayakan bagi pasien.
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR :
TANGGAL :
1. Kesalahan obat (medication error) merupakan kejadian yang salah dalam pemberian obat
dan alat kesehatan yang dapat menciderai pasien atau membahayakan pasien.
2. Setiap kesalahan obat yang ditemukan wajib dilaporkan oleh petugas yang menemukan
kejadian tersebut atau terlihat langsung dengan kejadian tersebut, kepada kepala
unit.penanggung jawab ruang. Kepala unit/penanggung jawab ruang akan melaporkan
kejadian kesalahan obat kepada komite keselamatan Rumah Sakit
3. Laporan kesalahan obat dibuat secara tertulis dengan menggunakan alur dan format insiden
keselamatan pasien yang sudah ditetapkan.
4. Jenis jenis/tipe kesalahan obat (medication error) yang harus dilaporkan sebagai berikut:
a. Kejadian Nyaris Cidera (KNC) adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke
pasien pengadaan, penyimpanan, distribusi dispensing, permintaan, peresepan, pemberian
dan pemantauan tetapi diketahui sebelum obat diberikan kepada pasien sehingga obat
tidak digunakan oleh pasien.
b. Kejadian Tidak Cidera (KTC) adalah terjadinya insiden yang sudah sampai terpapar ke
pasien tetapi tidak menimbulkan cidera berkaitan dengan kesalahan obat (medication error)
yang telah terjadi pada proses pengadaan, penyimpanan, distribusi, dispensing,
permintaan, peresepan, persiapan, pemberian, dan pemantauan tetapi pasien tidak
mengalami cidera.
c. Kejadian tidak diharapkan (KTD) / adverse event adalah suatu kejadian yang tidak
diharapkan yang mengakibatkan cidera pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan dan bukan karena penyakit
dasarnya atau kondisi pasien. Jenis KTD ini adalah yang berdampak cidera ringan sampai
sedang dan bersifat reversibel, yang tidak termasuk dalam kategori sentinel events,
berkaitan dengan kesalahan obat (medication error) yang terjadi pada proses pengadaan,
penyimpanan, distribusi, dispensing, permintaan, peresepan, persiapan, pemberian, dan
pemantauan dan pasien mengalami cidera.
d. Sentinel event adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cidera yang serius
atau permanen yang terjadi tidak terkait dengan penyakit yang diderita pasien berkaitan
dengan kesalahan obat (medication error) yang terjadi pada proses pengadaan,
penyimpanan, distribusi, dispensing, permintaan, peresepan, persiapan, pemberian dan
pemantauan sehingga pasien mengalami cidera irreversible dan kematian.
5. Tipe kesalahan obat (medication error) adalah sebagai berikut:
a. Prescribing error (kesalahan peresepan)
Kesalahan pemilihan obat (berdasarkan indikasi, kontraindikasi, alergi yang telah
diketahui, terapi obat yang sedang berlangsung dan faktor lainnya) dosis, bentuk sediaan
obat, kuantitas, rute, konsentrasi, kecepatan pemberian atau instruksi untuk penggunaan
obat, penulisan resep yang tidak jelas dan lain lain yang menyebabkan terjadinya
kesalahan pemberian obat kepada pasien.
b. Unauthorized error
Memberikan obat yang tidak diinstruksikan oleh dokter
c. Wrong patient
Memberikan obat kepada pasien yang salah
d. Improrer dose error
Memberikan dosis obat kepada pasien lebih besar atau lebih kecil daripada dosis yang
diinstruksikan oleh dokter, atau memberikan dosis duplikasi.
e. Wrong dosage-form error
Memberikan obat kepada pasien dengan bentuk sediaan obat yang berbeda dengan yang
diinstruksikan oleh dokter, misal : Parasetamol tablet diberikan Parasetamol sirup.
f. Deteriorated drug error
Memberikan obat yang telah kadaluwarsa atau yang telah mengalami penurunan integritas
fisik atau kimia.
g. Form pelaporan, grading resiko (risk grading), tindakan tindak lanjut dan pencegahan
mengikuti format pelaporan yang telah ditentukan oleh Komite Keselamatan Pasien.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
RUMAH SAKIT
MENIMBANG :
1. Bahwa pelaksanaan peresepan, pemesanan dan pencatatan obat dan data
pasien mengenai penggunaan untuk dilakukan oleh petugas FRS.
2. Pelaksanaan peresepan, pemesanan dan pencatatan obat yang dilakukan
bertujuan agar penggunaan obat dengan memperhatikan keamanan
penggunaan obat oleh pasien.
3. Pengelolaan obat dilakukan oleh petugas IFRS dan melakukan
pendokumentasian pemesanan dan penggunaan obat.
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
IFRS memperoleh obat atau perbekalan farmasi berasal dari Pedagang Besar Farmasi
(PBF) atau dari rumah sakit lain. Pedagang Besar Farmasi secara intensif mensuplai
ketersediaan obat, jarak pengirimannya memiliki waktu yang berbeda-beda, ada yang datang
untuk mensuplai setiap tiga kali perminggu, bahkan juga ada pengiriman datang setiap hari.
Waktu pengiriman barang berbeda-beda, ada yang sekarang pesan, besok barang
dikirim, adapula yang selang satu hari setelah pemesanan.Sistem pembayaran yang dilakukan
terhadap Pedagang Besar Farmasi (PBF) dapat dilakukan secara tunai ataupun kredit.
B. Pemesanan Obat
Pemesanan obat yang dilakukan di IFRS yaitu dengan system pemesanan regular (umum).
Oleh karena itu, surat pesanan yang digunakan adalah surat pesanan regular, atau bisa juga
menggunakan fasilitas media komunikasi.
M. Laporan Penjualan
Laporan penjualan berfungsi untuk mencatat hasil dari penjualan, untuk mengetahui omset
penjualan yang digunakan sebagai dasar laporan keuangan di IFRS setiap bulannya ke WaDir
Keuangan.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
MENIMBANG :
1. Bahwa dalam pemberian informasi dan edukasi kepada pasien dan Keluarga
dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku kesehatan untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal
2. Bahwa penyelenggaraan pendidikan pasien dan pemberian informasi di
Rumah Sakit diperlukan adanya Panduan Pemberian Informasi dan Edukasi.
MENGINGAT :
1. Undang-Undang RI Nomor 72 tahun 1963 tentang Farmasi.
2. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan
Pasien.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI
/SK-P/I/2018 tentang Panduan Pemberian Informasi Dan Edukasi Rumah
Sakit RSU Santo Yoseph Labuan Bajo.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Panduan pemberian informasi dan edukasi Rumah Sakit sebagaimana
terlampir dalam keputusan ini
2. Panduan berlaku sejak ditetapkan dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
(satu) tahun sekali
3. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
dilakukan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
TEMBUSAN Yth :
1. Wadir Pelayanan Medis
2. Komite Medis
3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit
4. Kepala Bagian Keperawatan
5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR :
TANGGAL :
BAB I
DEFINISI
1. Informasi
Informasi adalah pesan yang disampaikan seseorang komunikator kepada komunikan.
Menurut Rakhmat (1986), proses informasi meliputi empat tahap, yakni tahap sensasi,
persepsi, memori dan berpikir. Tahap sensasi merupakan tahap yang paling awal dalam
penerimaan informasi melalui alat indera, sehinnga individu dapat memahami kualitas fisik
lingkungannya. Selanjutnya individu mempersepsikan objek, peristiwa, atau pun hubungan-
hubungan yang diperoleh, kemudian menyimpulkan atau menafsirkan informasi tersebut.
Sensasi yang telah dipersepsikan oleh individu direkam oleh memori.
Memori berperan penting dalam mempengaruhi baik persepsi maupun berpikir. Dengan
memori inilah informasi dapat direkam, disimpan, dan kemudian digunakan kembali, jika
diperlukan. Tahap terakhir proses pengolahan informasi adalah berpikir, yang
mempengaruhi penafsiran individu terhadap stimuli. Berpikir dilakukan untuk memahami
realitas dalam rangka mengambil keputusan, memecahkan persoalan, dan menghasilkan
pengetahuan baru. Proses pengolahan informasi ini akan dapat menimbulkan suatu
perubahan pada sikap atau tindakan individu. Menurut Aristoteles (dalam fisher, 1986),
(dalam Tina Afianti, 2007), informasi dapat digunakan sebagai alat persuasi. Informasi dapat
digunakan untuk membujuk dan mempengaruhi perilaku manusia, atau untuk mengubah
perilaku manusia, sesuai yang diinginkan pemberi informasi. Melalui informasi individu
mendapatkan pengetahuan.
2. Edukasi
Edukasi Kesehatan adalah kegiatan upaya meningkatkan pengetahuan kesehatan
perorangan paling sedikit mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup
bersih dan sehat dalam upaya meningkatkan status kesehatan peserta, mencegah
timbulnya kembali penyakit dan memulihkan penyakit. Menurut Ross (1998) dalam (Afiatin,
2007), pendidikan yang berusaha mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku, lebih penting
dibandingkan hanya sekedar memberikan informasi tanpa disertai usaha pembentukan
sikap dan perubahan perilaku nyata. Haloran (1970) menyatakan bahwa interaksi dengan
tatap muka langsung antara pihak penerima pesan dan pihak penyampai pesan merupakan
intervensi dua arah yang lebih memungkinkan untuk menghasilkan perubahan. Dengan
demikian peningkatan pengetahuan yang bertujuan untuk mengubah sikap akan lebih efektif
jika disampaikan dengan cara tatap muka langsung.
Menurut Ross (1998) dalam (Afiatin, 2007), pendidikan yang berusaha mengubah
pengetahuan, sikap dan perilaku, lebih penting dibandingkan hanya sekedar memberikan
informasi tanpa disertai usaha pembentukan sikap dan perubahan perilaku nyata. Haloran
(1970) menyatakan bahwa interaksi dengan tatap muka langsung antara pihak penerima
pesan dan pihak penyampai pesan merupakan intervensi dua arah yang lebih
memungkinkan untuk menghasilkan perubahan. Dengan demikian peningkatan
pengetahuan yang bertujuan untuk mengubah sikap akan lebih efektif jika disampaikan
dengan cara tatap muka langsung. Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi
perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, himbauan, ajakan, memberikan
informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya, melalui kegiatan yang disebut
pendidikan atau penyuluhan kesehatan. Memang dampak yang timbul dari cara ini terhadap
perubahan perilaku masyarakat memakan waktu yang lama, dibanding dengan cara koersi.
Namun demikian bila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat, maka akan langgeng,
bahkan selama hidup dilakukan.
Dalam rangka pembinaan dan peningkatan perilaku kesehatan masyarakat,
tampaknya pendekatan edukasi (pendidikan kesehatan) lebih tepat dibandingkan dengan
pendekatan koersi. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan adalah suatu bentuk
intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk
kesehatan. Dengan perkataan lain pendidikan kesehatan mengupayakan perilaku individu,
kelompok, atau masyarakat mempunyai pengaruh positf terhadap pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan.
BAB II
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pemberian informasi dan edukasi dapat dilihat dari berbagai dimensi,
antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau aplikasinya, dan
dimensi tingkat pelayanan kesehatan.
1. Sasaran Pendidikan Kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
a. Pendidikan kesehatan individual, dengan sasaran individu
b. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok
c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat
2. Tempat Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan
Menurut dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di
berbagai tempat. Dengan sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya:
a. Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan sasaran murid, guru
b. Pendidikan kesehatan di Rumah Sakit, dilakukan di rumah sakit dengan sasaran pasien,
keluarga pasien, pengunjung, petugas Rumah Sakit, dan masyarakat sekitar Rumah Sakit
c. Pendidikan kesehatan di Posyandu atau Desa Binaan dengan sasaran masyarakat sekitar
3. Tingkat Pelayanan Pendidikan Kesehatan
Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat dilakukan berdasarkan
lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari Leavel and Clark, sebagai berikut:
a. Promosi Kesehatan (Health Promotion).
Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam peningkatan gizi,
kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan, higiene perorangan, dan sebagainya.
b. Perlindungan Khusus (Specifik Protection)
Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan khusus ini pendidikan
kesehatan sangat diperlukan terutama di negara-negara berkembang. Hal ini karena
kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisasi sebagai cara perlindungan terhadap
penyakit pada orang dewasa maupun pada anak-anaknya masih rendah.
c. Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment)
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan
penyakit, maka sering sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang terjadi di dalam
masyarakat. Bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati
penyakitnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan
kesehatan yang layak. Oleh sebab itu pendidikan kesehatan sangat diperlukan pada tahap
ini.
d. Pembatasan Cacat (Disability Limitation)
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan
penyakit, seringkali mengakibatkan masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya sampai
tuntas. Dengan kata lain mereka tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang
komplit terhadap penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna dapat
mengakibatkan orang yang bersangkutan menjadi cacat atau memiliki ketidakmampuan
untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu pendidikan kesehatan juga diperlukan pada
tahap ini.
e. Rehabilitasi (rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi cacat. Untuk
memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan-latihan tertentu. Oleh
karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak atau segan
melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Di samping itu orang yang cacat setelah
sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi
pula masyarakat tidak mau menerima mereka sebagai anggota masyarakat yang normal.
Oleh sebab itu jelas pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat
tersebut, tetapi juga perlu pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
Rumah Sakit dalam memberikan materi dan proses edukasi pada pasien dan keluarga
minimal berupa topik sebagai berikut :
1) Penggunaan obat - obatan yang didapat pasien secara efektif & aman, termasuk
potensi efek samping obat
2) Penggunaan peralatan medis secara efektif & aman
3) Potensi interaksi antara obat yang diresepkan dengan obat lainnya, serta
makanan
1) Diet dan nutrisi
2) Manajemen nyeri dan teknik rehabilitasi
BAB III
TATA LAKSANA
Dalam memberikan pelayanan informasi dan edukasi pada sasaran (pasien, keluarga,
pengunjung, dll) harus menggunakan komunikasi yang efektif agar tepat, akurat, jelas, dan
mudah dipahami oleh sasaran, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan
(kesalahpahaman). Komunikasi itu bisa bersifat informasi (asuhan) dan edukasi (pelayanan
promosi)
1. Komunikasi yang bersifat infomasi asuhan didalam rumah sakit adalah :
a. Jam pelayanan
b. Pelayanan yang tersedia
c. Cara mendapatkan pelayanan
d. Sumber alternatif mengenai asuhan dan pelayanan yang diberikan ketika kebutuhan
asuhan pasien melebihi kemampuan rumah sakit. Akses informasi ini dapat diperoleh
melalui Customer Service, Admission, dan Website.
2. Komunikasi yang bersifat Edukasi (Pelayanan Promosi) :
a. Edukasi tentang obat
b. Edukasi tentang penyakit
c. Edukasi pasien tentang apa yang harus di hindari
d. Edukasi tentang apa yang harus dilakukan pasien untuk meningkatkan kualitas hidupnya
pasca dari rumah sakit
e. Edukasi tentang Gizi
Akses untuk mendapatkan materi edukasi melalui unit PKRS (Promosi Kesehatan
Rumah Sakit). Pemberian edukasi dan informasi diberikan oleh semua petugas yang ada di
Rumah Sakit baik petugas medis maupun non medis. Edukasi dapat diberikan kepada siapa
saja yang berada di lingkungan Rumah Sakit maupun di luar Rumah Sakit, misalnya
pelanggan intern (Yayasan Badan Wakaf Rumah Sakir, petugas Rumah Sakit dan keluarga)
dan pelanggan ekstern (pasien, pengunjung, keluarga, pedagang, masyarakat).
Dalam pemberian materi atau pesan yang akan diberikan kepada sasaran harus
disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan pasien keluarga dan masyarakat, sehingga dapat
dirasakan langsung manfaatnya. Sebelum melakukan edukasi, langkah awal petugas harus
menilai kebutuhan edukasi pasien dan keluarga (asesmen) berdasarkan: (data ini didapatkan
dari RM):
1) Identitas dasar pasien
2) Kemampuan berbicara
3) Perlu penerjemah atau tidak
4) Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga
5) Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang digunakan
6) Hambatan emosional dan motivasi (emosional: depresi, senang dan marah)
7) Keterbatasan fisik dan kognitif
8) Ketersediaan pasien untuk menerima informasi
Secara ringkas ada 6 (enam) hal yang penting diperhatikan agar efektif dalam berkomunikasi
dengan pasien, yaitu:
1. Materi informasi apa yang disampaikan
a. Tujuan anamnesis dan pemeriksaan fisik (kemungkinan rasa tidak nyaman/sakit saat
pemeriksaan)
b. Kondisi saat ini dan berbagai kemungkinan diagnosis
c. Berbagai tindakan medis yang akan dilakukan untuk menentukan
diagnosis, termasuk manfaat, risiko, serta kemungkinan efek samping/komplikasi
d. Hasil dan interpretasi dari tindakan medis yang telah dilakukan untuk menegakkan
diagnosis
e. Prognosis
f. Dukungan (support) yang tersedia
2. Siapa yang diberi informasi
a. Pasien, apabila dia menghendaki dan kondisinya memungkinkan
b. Keluarganya atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien
c. Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali/pengampu dan bertanggung jawab atas
pasien jika kondisi pasien tidak memungkinkan untuk berkomunikasi sendiri secara
langsung
3. Kapan menyampaikan informasi Segera, jika kondisi dan situasinya memungkinkan
4. Di mana menyampaikannya
a. Ruang praktik dokter
b. Bangsal/ruangan tempat pasien dirawat
c. Ruang diskusi
5. Bagaimana menyampaikannya
a. Informasi penting sebaiknya dikomunikasikan secara langsung, tidak melalui telepon,
juga tidak diberikan dalam bentuk tulisan yang dikirim melalui pos, faksimile, sms,
internet.
b. Persiapan meliputi:
1). Materi yang akan disampaikan (bila diagnosis, tindakan medis, prognosis sudah
disepakati oleh tim).
2). Ruangan yang nyaman, memperhatikan privasi, tidak terganggu orang lalu lalang,
suara gaduh dari tv/radio, telepon.
3). Waktu yang cukup.
4). Media yang digunakan, seperti leaflet, lembar balik, dll.
c. Tanyakan kepada pasien/keluarga, sejauh mana pengertian pasien/keluarga tentang hal
yang akan dibicarakan, informasi yang diinginkan dan amati kesiapan pasien/keluarga .
Ada empat langkah yang terangkum dalam satu kata untuk melakukan komunikasi, yaitu
SAJI (Poernomo, Ieda SS, Program Family Health Nutrition, Depkes RI, 1999).
S = Salam
A = Ajak Bicara
J = Jelaskan
I = Ingatkan
Secara rinci penjelasan mengenai SAJI adalah sebagai berikut :
1. Salam:
Beri salam dan sapa, tunjukkan bahwa petugas kesehatan bersedia meluangkan waktu
untuk berbicara dengan pasien/keluarga
2. Ajak Bicara:
Usahakan berkomunikasi secara dua arah. Jangan bicara sendiri. Dorong agar
pasien/keluarga mau dan dapat mengemukakan pikiran dan perasaannya. Tunjukkan bahwa
petugas kesehatan menghargai pendapatnya, dapat memahami kecemasannya, serta
mengerti perasaannya. Petugas kesehatan dapat menggunakan pertanyaan terbuka
maupun tertutup dalam usaha menggali informasi.
3. Jelaskan:
Beri penjelasan mengenai hal-hal yang menjadi perhatiannya, yang ingin diketahuinya,
dan yang akan dijalani/dihadapinya agar ia tidak terjebak oleh pikirannya sendiri. Luruskan
persepsi yang keliru. Berikan penjelasan mengenai penyakit, terapi, atau apapun secara
jelas.
4. Ingatkan:
Pemberian informasi dan edukasi yang dilakukan bersama pasien mungkin memasukkan
berbagai materi secara luas, yang tidak mudah diingatnya kembali. Di bagian akhir
percakapan, ingatkan pasien/keluarga untuk hal-hal yang penting dan koreksi untuk persepsi
yang keliru. Selalu melakukan klarifikasi apakah pasien telah mengerti benar, maupun
klarifikasi terhadap hal-hal yang masih belum jelas bagi kedua belah pihak serta mengulang
kembali akan pesan-pesan kesehatan yang penting. Pendukung dalam pelaksanaan
pemberian materi edukasi dengan menggunakan 2 metoda, yaitu secara langsung (tanya
jawab, seminar, ceramah, demonstrasi) dan tidak langsung (leaflet, lembar balik,
pemasangan poster, papan pengumuman, media elektronik, majalah, dll). Metode yang
diberikan untuk pasien rawat inap dapat menggunakan teknik secara langsung maupun tidak
langsung dengan menggunakan teknik tanya jawab, ceramah, demonstrasi, dan pemberian
leaflet. Sedangkan pemberian edukasi dan informasi untuk pasien rawat jalan dapat melalui
tatap muka, pemberian leaflet, pemasangan poster, papan pengumuman, dan media
elektronik.
Dengan diberikannya informasi dan edukasi kepada sasaran diharapkan komunikasi
yang disampaikan dapat dimengerti dan diterapkan oleh pasien. Pada tahap selanjutnya
diperlukan proses verifikasi bahwa pasien dan keluarga menerima dan memahami edukasi
yang diberikan. Pemahaman yang ditunjukkan oleh pasien dan atau keluarga dapat
diwujudkan dalam bentuk :
a. Mengulangi materi yang diberikan
b. Mendemonstrasikan/memperagakan ketrampilan yang diajarkan
c. Mampu menunjukkan perubahan perilaku sesuai yang diajarkan
d. Bila kesulitan dengan bahasa, pasien dapat menggunakan bahasa isyarat atau dengan
melibatkan keluarganya.
Berikut ini contoh petugas kesehatan melakukan verifikasi tentang edukasi dan informasi
kepada pasien dan keluarga :
1. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, kondisi pasien baik
dan senang, maka verifikasi yang dilakukan dengan menanyakan kembali edukasi yang
telah diberikan. Pertanyaannya adalah: “ Dari materi edukasi yang telah disampaikan,
kira-kira apa yang bpk/ibu bisa pelajari ?”.
2. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, pasiennya
mengalami hambatan fisik, maka verifikasinya adalah dengan pihak keluarganya dengan
pertanyaan yang sama: “Dari materi edukasi yang telah disampaikan, kira-kira apa yang
bpk/ibu bisa pelajari ?”.
3. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, ada hambatan
emosional (marah atau depresi), maka verifikasinya adalah dengan tanyakan kembali
sejauh mana pasiennya mengerti tentang materi edukasi yang diberikan dan pahami.
Proses pertanyaan ini bisa via telepon atau datang langsung ke kamar Pasien setelah
pasien tenang.Setiap petugas kesehatan dalam memberikan informasi dan edukasi
kepada pasien wajib untuk mengisi formulir edukasi dan informsi, dan ditandatangani
kedua belah pihak antara dokter dan pasien atau keluarga pasien. Hal ini dilakukan
sebagai bukti bahwa pasien dan keluarga pasien sudah diberikan edukasi dan informasi
yang benar.
BAB IV
DOKUMENTASI
A. Pengertian
Dokumentasi keperawatan merupakan bukti pencatatan dan pelaporan berdasarkan
komunikasi tertulis yang akurat dan lengkap yang dimiliki oleh perawat dalam melakukan
asuhan keperawatan dan berguna untuk kepentingan klien, tim kesehatan, serta kalangan
perawat sendiri (A. Aziz Alimul). Dokumentasi dalam Bahasa Inggris berarti satu atau lebih
lembar kertas resmi dengan tulisan diatasnya.
Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang berarti bahan pustaka, baik berbentuk tulisan
maupun berbentuk rekaman lainnya seperti pita suara/kaset, video, film, gambar dan foto
(Suyono trimo 1987, hal 7). Pemberian informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga
perlu didokumentasikan oleh tim kesehatan yang telah memberikan edukasi untuk
meningkatkan pengetahuan pasien.
B. Tujuan
Tujuan dari kegiatan pendokumentasian asuhan, antara lain sebagai sarana komunikasi.
Dokumentasi yang dikomunikasikan secara akurat dan lengkap dapat berguna untuk
membantu koordinasi asuhan yang diberikan oleh tim kesehatan, mencegah informasi yang
berulang terhadap pasien atau anggota tim kesehatan atau mencegah tumpang tindih,
bahkan sama sekali tidak dilakukan untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan
ketelitian dalam memberikan asuhan pada pasien.
Dokumentasi asuhan pada pasien dibuat untuk menunjang tertibnya administrasi dalam
rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
MENIMBANG :
1. Bahwa perbekalan farmasi adalah terdiri dari obat, alat kesehatan, reagen,
gas medis, ataupun film.
2. Bahwa perbekalan farmasi harus dikelola dan menjadi tanggung jawab
Instalasi Farmasi.
3. Bahwa dalam pengelolaan perbekalan farmasi perlu dilakukan
penyimpanan perbekalan farmasi sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga tidak
mengurangi mutu dari perbekalan farmasi tersebut.
4. Bahwa untuk menjamin perbekalan farmasi disimpan secara aman, sesuai
dengan dan menjaga mutu dan stabilitas obat maka perlu ditetapkan Surat
Keputusan Direktur tentang Pedoman Penyimpanan Obat.
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
MENIMBANG :
1. Bahwa Formularium Rumah Sakit adalah suatu pedoman yang berisi daftar
obat yang digunakan sebagi pengobatan di Rumah Sakit yang dibuat oleh
Komite Farmasi dan Terapi dan disetujui oleh Direksi Rumah Sakit.
2. Bahwa Formularium Rumah Sakit dapat digunakan untuk mengukur
indikator mutu pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit berjalan baik atau
tidaknya.
3. Bahwa Formularium seyogyanya menjadi panduan penulisan resep dan
pemberian obat, telah memenuhi aspek aspek akuntibilitas, reabilitas serta
validitas yang diperlukan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan yang
bermutu dan rasional.
4. Bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit
dan untuk mendapatkan pengobatan yang berkualitas maka diperlukan
kebijakan Direktur yang mengatur tentang Formularium Rumah Sakit
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
TEMBUSAN Yth :
1. Wadir Pelayanan Medis
2. Komite Medis
3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit
4. Kepala Bagian Keperawatan
5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : 181//Dir-SK/XII/2018
TANGGAL : 30 Desember 2018
MENIMBANG:
1. Bahwa Efek samping obat yang berbahaya yang tidak diinginkan dari obat
yang timbul pada pemberian obat dengan dosis yang digunakan untuk
profilaksis, diagnosis, dan terapi atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.
2. Pencatatan adalah kegiatan atau proses pendokumentasian suatu
aktivitas dalam bentuk tulisan.
3. Pelaporan adalah catatan yang memberi informasi tentang kegiatan
tertentu, KTD adalah insiden yang mengakibatkan cidera pada pasien.
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Pamantauan dan pelaporan efek samping obat di Rumah Sakit dilakukan
oleh petugas farmasi (Apoteker) dibantu oleh Panitia Keselamatan Pasien.
2. Panitia Keselamatan Pasien di Rumah Sakit terdiri dari dokter spesialis,
dokter umum, farmasi dan perawat.
3. Metode pemantauan dan pelaporan efek samping obat dilakukan dengan
cara monitoring terhadap pasien.
4. Monitoring pengawasan dan keamanan obat berpedoman pada :
a. Indikasi penggunaan (dosis obat dan rute pemberian obat)
b. Efektivitas obat dan keamanan obat (safety)
c. Resiko obat
d. Biaya obat
5. Setiap Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang tidak diantisipasi atau kondisi
yang berhubungan dengan obat baru selama periode pengenalan.
6. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
7. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
dilakukan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Labuan Bajo
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : …//Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau
tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis dan terapi.
a. Tujuan :
1. Menemukan ESO (Efek Samping Obat) sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal, frekuensinya jarang.
2. Menentukan frekuensi dan insidensi Efek Samping Obat yang sudah dikenal
sekali, yang baru saja ditemukan.
3. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
timbulnya Efek Samping Obat atau mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya
Efek Samping Obat.
b. Kegiatan :
1. Menganalisa laporan Efek Samping Obat Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien
yang mempunyai resiko tinggi mengalami Efek Samping Obat.
2. Mengisi formulir Efek Samping Obat
3. Melaporkan ke Panitia Efek Samping Obat Nasional
c. Faktor yang perlu diperhatikan :
1. Kerjasama dengan Panitia Farmasi dan Terapi dan ruang rawat
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa Rumah Sakit harus menetapkan obat-obat yang harus tersedia untuk
diresepkan dan dipesan oleh praktisi pelayanan kesehatan.
2. Bahwa obat-obat yang tersedia di Rumah Sakit harus diawasi penggunaan dan
keamanan obatnya melalui penunjukkan Komite dan pemilihan metode yang tepat
dalam pengawasan.
3. Bahwa untuk menjamin mutu pengawasan, penggunaan obat dan keamanan obat
tersebut maka perlu ditetapkan Surat Keputusan Direktur tentang pengawasan,
penggunaan obat dan keamanan obat.
MENGINGAT:
1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan
Pasien.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Pengawasan, Penggunaan Obat Dan Keamanan Obat RSU
Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
Beberapa evaluasi yang digunakan dalam penyimpanan obat adalah (Pudjaningsih, 1996):
1. Persentase kecocokan antara barang dan stok komputer atau kartu stok
Proses pencocokan harus dilakukan pada waktu yang sama untuk menghindari
kekeliruan karena adanya barang yang keluar atau masuk (adanya transaksi). Apabila
tidak dilakukan bersamaan maka kemungkinan ketidakcocokan akan meningkat.
Ketidakcocokan akan menyebabkan terganggunya perencanaan pembelian barang dan
pelayanan terhadap pasien.
2. Turn Over Ratio (TOR)
TOR = perbandingan Harga Pokok Penjualan (HPP) dalam 1 tahun dengan nilai rata –
rata persediaan pada akhir tahun.
TOR digunakan untuk mengetahui berapa kali perputaran modal dalam 1 tahun,
menghitung efisiensi dalam pengelolaan obat. Apabila TOR rendah, berarti masih banyak stok
obat yang belum terjual sehingga mengakibatkan obat menumpuk dan berpengaruh terhadap
keuntungan (Jati, 2010).
Kebijakan Penulisan Resep Memuat 9 Elemen
Penjelasan :
1. Identifikasi data pasien :
a. Rawat inap : nama lengkap, TTL, Nomor rekam medis, diberi gelang
identitas pasien.
b. Rawat jalan : Nama lengkap, Nomor rekam medis.
2. Elemen penulisan resep
a. Identifikasi dokter : Nama, SIP, alamat rumah dan praktik, NO. Telepon,
Hari & jam praktek.
b. Inscriptio : Nama kota tempat praktek, tanggal penulisan resep.
c. Invocatio : Tanda R/ sebagai tanda pembuka penulisan resep.
d. Praescriptio / Ordinatio : Nama obat, jumlah & kekuatan obat, cara
pembuatan, bentuk sediaan obat yang dipilih dan jumlahnya.
e. Signatura : aturan penggunaan obat (frekuensi, jumlah perkali pakai, waktu
obat diminum, dan informasi lain yang diperlukan)
f. Identifikasi pasien : Nama pasien pada bagian “pro”, bila pendirita anak
anak atau lansia perlu dituliskan umurnya, sebaiknya cantumkan pula berat
badan pasien dan alamat pasien.
g. Penutup : tanda penutup dan tanda tangan dokter penulis resep.
4. Bilamana indikasi untuk penggunaan diperlukan pada suatu “prn”/bila perlu atau pesanan
obat lain.
a. Untuk aturan pakai jika perlu atau “pro re nata”, harus dituliskan dosis maksimal dalam sehari.
Perhitungan dosis pada anak secara ideal menggunakan dasar ukuran fisik (berat badan atau
luas permukaan tubuh). Apabila dosis anak dihitung dengan perbandingan dengan dosis
dewasa, yaitu dengan memakai rumus perhitungan dosis anak (antara lain Young, Clark), maka
perlu diperhatikan tentang ketelitian dari rumus yang dipakai.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PENDELEGASIAN PELAYANAN KEFARMASIAN KE PERAWAT
RUMAH SAKIT
MENGINGAT:
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Direktur
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
Hal hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan tugas pelimpahan wewenang:
1. Mengacu pada SOP Pelayanan Klinis yang berlaku di Rumah Sakit .
Demikian surat pelimpahan wewenang apoteker ini dibuat untuk dipergunakan sebagaiaman
mestinya.
MENIMBANG :
1. Bahwa peracikan ovbat adalah kegiatan untuk mencampur beberapa bahan obat
atau obat untuk dijadikan obat sediaan baru sesuai dengan aturan minum ilmu
meracik obat.
2. Bahwa peracikan obat menjadi tanggung jawab dari Instalasi Farmasi agar
sesuai dengan aturan peracikan obat.
3. Bahwa untuk menjamin petugas yang meracik obat berkompetensi untuk meracik
obat itu menjadi tanggung jawab kepala Instalasi Farmasi untuk mensosialisasi
dan memberikan pelatihan tentang cara peracikan obat.
4. Bahwa untuk menjamin peracikan obat seragam sesuai standar peracikan obat
perlu ditetapkan surat keputusan direksi tentang kebijakan peracikan obat.
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
Rumah Sakit
C. Petugas yang melakukan peracikan obat memakai APD (Alat Pelindung Diri)
APD (Alat Pelindung Diri) yang digunakan dan fungsinya untuk peracikan obat, meliputi:
1. Handscoon non steril
- Melindungi kontaminasi dari tangan ke obat yang sedang diracik
- Menghindarkan terkontaminasinya tangan oleh obat yang sedang diracik
2. Standar masker
- Melindungi kontaminasi dari mulut dan hidung ke obat yang sedang diracik
- Menghindari terhirupnya obat yang sedang diracik
3. CelemeMenghindarkan terkontaminasinya pakaian seragam saat melakukan peracikan.
MENIMBANG :
1. Bahwa Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter
gigi atau Dokter hewan kepada Apoteker untuk membuat dan
memberikan obat kepada pasien.
2. Bahwa Rumah Sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan,
pemesanan dan pencatatan resep, karena peresepan obat yang tidak terbaca atau
pemesanan yang mengacaukan keselamatan pasien bisa menunda pengobatan.
3. Bahwa Rumah Sakit perlu mengatur tindakan untuk mengurangi tidak terbacanya
resep.
4. Bahwa untuk mekanisme tersebut diatas maka rumah sakit perlu menerbitkan
Panduan tentang Penulisan Resep.
MENGINGAT:
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Resep merupakan permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker, untuk
menyediakan obat dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Obat
merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat
merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Anonim,
2006).
Obat merupakan salah satu bagian dalam peningkatan kualitas hidup pasien sehingga
diperlukan adanya manajemen yang harus berperan secara kritis untuk memastikan
keselamatan pasien (Anonim, 2011).
Rumah sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan, pemesanan dan pencatatan
yang aman diarahkan oleh kebijakan dan prosedur. Para staf medis, keperawatan, farmasi dan
administrative berkolaborasi untuk mengembangkan dan memonitor kebijakan dan prosedur.
Staf yang terkait dilatih untuk praktek penulisan resep, pemesanan dan pencatatan yang benar.
Karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesanan yang mengacaukan keselamatan
pasien bisa menunda pengobatan, maka kebijakan rumah sakit mengatur tindakan untuk
mengurangi tidak terbacanya resep.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk
membuat cara penulisan resep yang tepat untuk mengurangi kesalahan pemberian obat
(medication errors) berdasarkan system yang ada dirumah sakit.
B. DEFINISI
Penulisan resep yang tepat adalah Tata cara penulisan resep yang tepat sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Rumah Sakit .
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum :
Meningkatkan keselamatan pasien dalam kebenaran pemberian obat
2. Tujuan Khusus:
a. Meningkatkan kesadaran sejawat penulisan resep akan pentingnya penulisan
resep yang dapat dibaca.
b. Mengurangi tidak terbacanya resep yang dapat memperpanjang waktu tunggu
obat.
c. Mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat
d. Meningkatkan mutu pelayanan farmasi dalam rangka penulisan resep yang tepat.
BAB II
RUANG LINGKUP KEGIATAN
Secara umum seluruh ruangan bagian klinis yaitu bagian keperawatan, penunjang medis dan
unit khusus.
Ruang lingkup penulisan resep yaitu :
1. Poliklinik rawat jalan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter umum, dokter
spesialis dan dokter gigi.
2. Ruang perawatan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter umum, dokter
spesialis dan dokter gigi.
3. Bidan dan perawat hanya boleh menulis resep berupa alat kesehatan, cairan infuse.
4. Bidan dan perawat yang di ijinkan menulis resep adalah bidan dan perawat yang
memiliki STR (Surat Tanda Registrasi).
BAB III
TATA LAKSANA
BAB IV
DOKUMENTASI
Penulisan resep yang tepat di Rumah Sakit merupakan komitmen Rumah Sakit yang di dukung
dengan adanya :
A. Kebijakan
1. Kebijakan Penulisan Resep yang Tepat.
2. Kebijakan Penanggulangan Resep yang Tidak Terbaca.
3. Kebijakan Telaah Resep
B. SPO
1. SPO Penulisan Resep yang Tepat.
2. SPO Penanggulagan Resep yang Tidak Terbaca.
3. SPO Telaah Resep.
BAB V
PENUTUP
Demikianlah panduan ini disusun sebagai pedoman dalam penulisan resep. Panduan ini masih
jauh dari sempurna, oleh sebab itu panduan akan dievaluasi kembali setiap 2 sampai 3 tahun
sesuai dengan tuntutan layanan dan standar akreditasi baik akreditasi Nasional maupun standar
International.
DAFTAR PUSTAKA
Tentang
RUMAH SAKIT
MENGINGAT:
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit
6. Instalasi Farmasi
7. Arsi
Waktu pengiriman barang berbeda-beda, ada yang sekarang pesan, besok barang dikirim,
adapula yang selang satu hari setelah pemesanan.Sistem pembayaran yang dilakukan terhadap
Pedagang Besar Farmasi (PBF) dapat dilakukan secara tunai ataupun kredit.
Pemesanan Obat
Pemesanan obat yang dilakukan di IFRS yaitu dengan system pemesanan regular (umum).
Oleh karena itu, surat pesanan yang digunakan adalah surat pesanan regular, atau bisa juga
menggunakan fasilitas media komunikasi.
1. Bentuk sediaan (tablet, sirup, drops, salep, dan bentuk sediaan lainnya) yang disusun
secara alfabetis.
2. Berdasarkan FIFO (First In First Out), yaitu obat-obat yang pertama masuk dan pertama
keluar dan FEFO (First Expired First Out), yaitu obat-obat yang kadaluarsanya cepat,
pertama keluar.
3. Berdasarkan sifat obatnya yang meliputi penyimpanan obat berdasarkan suhu yang telah
ditentukan.
4. Berdasarkan golongan obatnya, seperti untuk obat golongan bebas dan bebas terbatas
disimpan di etalase bagian depan (tidak apa-apa terlihat oleh konsumen), karena
golongan obat ini dijual secara bebas kepada pasien. Sementara untuk golongan obat
keras dan keras terbatas disimpan di etalase bagian belakang (tidak boleh terlihat oleh
konsumen), karena obat golongan ini tidak dijual secara bebas kepada pasien. Begitu
pula, untuk golongan obat psikotropika disimpan di suatu lemari yang terpisah dari obat-
obat lainnya.
Program Komputer
Fungsi dari program ini untuk mencatat barang yang masuk dan keluar yang ditulis perjenis
obat.
Obat
Bahan Baku
Obat Tradisional (Obat asli Indonesia)
Alat Kesehatan
Kosmetik
Obat terdiri dari enam golongan yaitu :
Obat Narkotik
Obat Psikotropika
Obat Keras
Obat Obat Tertentu
Obat Bebas Terbatas
Obat Bebas
Obat Prekusor
1. Phenobarbital (Luminal) 30 mg
2. Analsik tablet
3. Diazepam 2 mg
4. Sanmag tablet
5. Stesolid rektal 5 mg
6. Stesolid rektal 10 mg
Pemesanan obat psikotropika dapat dilakukan dengan menyertakan Surat Pesanan (SP) khusus
dan dipisahkan dari SP obat-obat lain. SP obat psikotropika ini dibuat rangkap tiga, hanya saja
pemesanan obat psikotropika dapat dipesan dari beberapa Pedagang Besar Farmasi (PBF)
tertentu.
Administrasi IFRS
Administrasi Pembukuan
Administrasi pembukuan ini berguna untuk mencatat seluruh kegiatan-kegiatan dan transaksi-
transaksi yang telah dilaksanakan. Di IFRS, buku-buku yang digunakan adalah sebagai berikut :
Laporan Penjualan
Laporan penjualan berfungsi untuk mencatat hasil dari penjualan, untuk mengetahui omset
penjualan yang digunakan sebagai dasar laporan keuangan di IFRS setiap bulannya ke WaDir
Keuangan.
Tentang
MENIMBANG:
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
1. Instalasi farmasi melakukan pelayanan sesuai dengan waktu tunggu yang berlaku.
2. Waktu tunggu untuk pasien rawat inap berlaku untuk pasien yang akan pulang, waktu tunggu
untuk pasien rawat jalan berlaku untuk semua pasien.
3. Ketentuan waktu tunggu adalah sebagai berikut:
a. Resep non racikan ≤ 20 menit
b. Resep racikan ≤ 45 menit
4. Setiap bulan apoteker penanggung jawab membuat laporan sasaran mutu waktu tunggu obat
untuk rawat inap/rawat jalan. (indikator mutu terlampir)
5. Pembinaan dan pengawasan waktu tunggu pelayanan obat dilaksanakan oleh Kepala IFRS.
Tentang
KEBIJAKAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah
Sakit , maka diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu
tinggi tentang pelayanan informasi obat.
2. Bahwa untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat
kepada pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana
dengan baik, perlu adanya Peraturan Direktur tentang Pelayanan
Informasi obat oleh FRS Rumah Sakit sebagai landasan bagi
penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
Nomor : 341/Dir-SK/XII/2018
Tanggal :
Tentang
KEBIJAKAN PELAYANAN RESIKO TINGGI RUMAH SAKIT
Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;
MENIMBANG :
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit maka diperlukan
penyelenggaraan pelayanan pasien dengan resiko tinggi.
2. Bahwa agar pelayanan pasien resiko tinggi di Rumah Sakit dapat terlaksana dengan
baik, perlu adanya kebijakan Direktur Rumah Sakit sebagai landasan bagi
penyelenggaraan pelayanan pasien resiko tinggi di Rumah Sakit.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam 1 dan 2, perlu
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Rumah Sakit
MENGINGAT :
1. Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
3. Keputusan menteri kesehatan Nomor 129/Menkes/SK II/2008 tentang standar pelayanan
minimal rumah sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 772/Menkes/SK/VI/ 2002 tentang
Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-
P/I/2018 Tentang Kebijakan Pelayanan Resiko Tinggi Rumah Sakit Dharma
Ibu Ternate.
MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN :
1. Kebijakan Pelayanan Resiko Tinggi Rumah Sakit sebagaimana
berikut :
1.1. Pasien yang masuk dalam pelayanan risiko tinggi yaitu yang
Memerlukan peralatan yang kompleks, yang diperlukan untuk
pengobatan penyakit yang mengancam jiwa (pasien dialisis), sifat
pengobatan (penggunaan darah atau produk darah), potensi yang
membahayakan pasien atau efek toksik dari obat berisiko tinggi
(misalnya kemoterapi).
1.2. Beberapa pasien yang digolongkan risiko-tinggi karena umur,
kondisi, atau kebutuhan yang bersifat kritis. Anak dan lanjut usia
dimasukkan dalam kelompok ini karena mereka sering tidak dapat
menyampaikan pendapatnya, tidak mengerti proses asuhan dan
tidak dapat ikut memberi keputusan tentang asuhannya. Demikian
pula, pasien yang ketakutan, bingung atau koma tidak mampu
memahami proses asuhan bila asuha harus diberikan secara
cepat dan efisien.
1.3. Pelayanan resiko tinggi melibatkan beberapa interdisiplin yang
kompeten dalam penanganannya.
1.4. Staf terlatih melakukan identifikasi risiko sampingan sebagai akibat
dari suatu prosedur atau rencana asuhan
2. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan resiko
tinggi
dilakukan oleh direksi dan manager pelayanan medis.
3. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan
diadakan perbaikan sebagaimana mestinya
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Direktur
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PENDISTRIBUSIAN BARANG FARMASI RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi.
2. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pendistribusian barang farmasi Rumah Sakit sebagai
landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit .
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
Nomor : 291/RSQ/Dir-SK/XII/2016
Tanggal :
A. Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk
pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk
menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk
dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan :
1. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada
2. Metode sentralisasi atau desentralisasi
3. Sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi
a. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Inap
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien
rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dengan sistem persediaan
lengkap di ruangan, sistem resep perorangan, sistem unit dosis.
b. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien
rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dengan sistem resep
perorangan oleh Apotik Rumah Sakit.
NOMOR : ……./RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah
Sakit, maka diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang
bermutu tinggi tentang pelayanan visite Apoteker ke rawat inap.
2. Bahwa untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat
kepada pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pelayanan Visite Apoteker ke ruang rawat
jalan / rawat inap oleh IFRS Rumah Sakit sebagai landasan bagi
penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit .
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
RUMAH SAKIT
A. RONDE/VISITE
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga
kesehatan lainnya
1. Tujuan :
a. Pemilihan obat
b. Menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik
c. Menilai kemajuan pasien
d. Bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.
2. Kegiatan :
a. Apoteker harus memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari kunjungan
tersebut kepada pasien.
b. Untuk pasien baru dirawat, Apoteker harus menanyakan terapi obat terdahulu dan
memperkirakan masalah yang mungkin terjadi.
c. Apoteker memberikan keterangan pada formulir resep untuk menjamin penggunaan
obat yang benar.
d. Melakukan pengkajian terhadap catatan perawat akan berguna untuk pemberian
obat.
e. Setelah kunjungan membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian
masalah dalam satu buku dan buku ini digunakan oleh setiap Apoteker yang
berkunjung ke ruang pasien untuk menghindari pengulangan kunjungan.
3. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
a. Pengetahuan cara berkomunikasi
b. Memahami teknik edukasi
c. Mencatat perkembangan pasien
Tentang
KEBIJAKAN PENYIMPANAN DAN PENGELOLAAN OBAT SAMPEL
RUMAH SAKIT
1. Bahwa yang dimaksud dengan obat sampel adalah obat yang didapat secara gratis dari
perusahaan farmasi diluar obat droping dari pemerintah.
2. Agar dalam pengelolaan obat sampel di Rumah Sakit dapat terlaksana dengan baik
maka diperlukan adanya kebijakan Direksi Rumah Sakit sebagai acuan pengelolaan obat
sampel di RS .
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : 216/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :
1. Penyimpanan dan pengendalian obat sampel/donasi dapat digunakan dalam rangka promosi
kesehatan serta pada kasus tertentu dimana obat tersebut belum ada di pasaran. Selain itu juga
dapat diberikan pada kejadian luar biasa (KLB)
2. Apabila pihak rumah sakit memperoleh obat sampel/donasi dari pihak tertentu maka perbekalan
farmasi tersebut wajib mendapatakan pengesahan dari KFT.
3. Obat yang disediakan untuk keperluan program kesehatan tertentu hanya boleh dipergunakan
bagi pasien tertentu sesuai dengan kriteria, target dan sasaran program tersebut. Selain itu obat
tersebut tidak boleh diperjualbelikan kepada pasien.
4. Bantuan perbekalan farmasi sampel/donasi yang diterima pihak rumah sakit untuk kasus tertentu
misalnya kejadian luar biasa (KLB), maka pihak rumah sakit segera menyalurkan bantuan
tersebut kepada pasien tanpa pungutan biaya.
5. Perbekalan farmasi donasi/sampel dapat dijadikan aset rumah sakit.
6. Perbekalan farmasi yang disahkan oleh KFT harus memenuhi persyaratan kelengkapan data
antara lain hasil penelitian mengenai indikasi obat serta kandungan obat tersebut. Koordinasi
obat dan perbekalan kesehatan yang berasal dari pihak donor harus diverifikasi oleh:
1) Pihak dinas kesehatan kabupaten/kota berkoordinasi dengan BPBD
kabupaten/kota bila obat dan perbekalan kesehatan langsung dikirim ke
kabupaten/kota;
2) Dinas Kesehatan Provinsi berkoordinasi dengan BPBD Provinsi bila obat dan
perbekalan kesehatan donasi langsung dikirim ke Provinsi;
3) Pihak Kementerian Kesehatan (Ditjen Binfar dan Alkes) bila obat dan Perbekalan
Kesehatan di terima di tingkat Nasional;
4) Bila obat dan perbekalan kesehatan diterima oleh BPBD atau BNPB, maka BPBD
atau BNPB memberikan informasi bantuan ke Dinas Kesehatan Provinsi di
tingkat provinsi atau Kementerian Kesehatan di tingkat nasional.
5). Persyaratan teknis obat sumbangan, hibah, donasi, sampel antara lain:
a. Masa kadaluarsa obat dan perbekalan kesehatan sumbangan minimal 2 (dua) tahun
pada saat diterima oleh penerima bantuan. Hal ini dimaksudkan agar obat dan
perbekalan kesehatan tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan
program maupun situasi darurat.
b. Obat dan perbekalan kesehatan sumbangan yang diterima harus berasal dari
sumber resmi dan terdaftar/mempunyai izin edar di negeri pemberi atau mendapat
pengakuan dari WHO atau lembaga independen lainnya. Hal ini diperlukan untuk
menjamin keamanan dari obat dan perbekalan kesehatan yang akan diterima.
c. Obat yang diterima sebaiknya sesuai dengan DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional),
hal ini diperlukan agar tidak mengganggu Program Penggunaan Obat Esensial di
sarana kesehatan).
d. Kekuatan/potensi/dosis dari obat sebaiknya sama dengan obat yang biasa
digunakan oleh petugas kesehatan.
e. Semua obat dan perbekalan kesehatan menggunakan label berbahasa Indonesia
atau bahasa Inggris.
6). Obat dan perbekalan kesehatan sumbangan sebaiknya memenuhi aturan
internasional pengiriman barang yaitu setiap obat dan perbekalan kesehatan yang
dikirim hendaknya disertai dengan detail isi karton yang menyebutkan secara
spesifik bentuk sediaan, jumlah, nomor batch, tanggal kadaluarsa (expire date),
volume, berat dan kondisi penyimpanan yang khusus.
7). Obat dan perbekalan kesehatan sumbangan donor bisa mendapat fasilitas
pembebasan tarif pajak sesuai ketenyuan perundang undangan yang berlaku.
8). Obat dan perbekalan kesehatan donasi yang rusak/kadaluwarsa dilakukan
pemusnahan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlak
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN TENTANG PETUGAS YANG BERWENANG MENELAAH PESANAN OBAT
(RESEP) RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, Dokter gigi atau dokter
Hewan kepada apoteker untuk membuat dan memberikan obat kepada
pasien.
2. Untuk meningkatkan mutu dan keamanan pelayanan farmasi, khususnya
dalam pemberian obat kepada pasien baik di rawat jalan maupun rawat inap, maka
Rumah Sakit bertanggung jawab untuk mengidentifikasi petugas yang berkompeten atau
berwenang dan juga yang diijinkan dengan lisensi, sertifikat, hukum atau peraturan untuk
menyerahkan obat.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada point 2 diatas maka Rumah Sakit
perlu menerbitkan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit tentang petugas
yang berhak menelaah pesanan obat (resep).
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Petugas yang berwenang menelaah pesanan obat (resep) adalah orang Kompeten
untuk melakukannya baik atas dasar pendidikan maupun latihan sesuai dengan
kewenangan atau telah membuktikan kompetensinya dalam proses review.
2. Penelaahan ketepatan resep tidak perlu pada keadaan darurat apabila dokter pemesan
hadir untuk pemesanan, pemberian dan monitoring pasien.
3. Tata cara telaah resep yang dilakukan sebagai berikut :
a. Setiap resep yang masuk di Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus
dilakukan telaah resep terlebih dulu, sebelum obat diserahkan kepada
pasien.
b. Telaah resep yang dilakukan meliputi:
Tanggal resep
c. Persyaratan farmasis, meliputi:
- Kejelasan tulisan resep
- Tepat obat
- Tepat dosis
- Tepat rute
- Tepat waktu
- Duplikasi
d. Persyaratan klinis,meliputi
- Interaksi obat
- Alergi
- Berat badan untuk pasien anak
- Kontra indikasi
e. Telaah resep dilakukan oleh Apoteker.
f. Setiap pasien memiliki profil pengobatan untuk membantu proses telaah resep
atau pengobatan.
g. Telaah resep tidak perlu dilakukan pada keadaan darurat atau bila dokter pemesan
hadir untuk pemesanan, pemberian dan monitoring pasien (misal di kamar bedah
atau UGD) atau dalam tindakan radiologi intervensional atau diagnostik imajing
dimana obat merupakan bagian dari prosedur.
h. Telaah resep tetap dilakukan ketika Apoteker tidak hadir, telaah resep ketika
apoteker tidak hadir dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang ditunjuk
ataupun yang sudah terlatih.
i. Jika resep yang tertulis tidak memenuhi persyaratan, maka harus segera dilakukan
klarifikasi kepada dokter penulis resep sebelum diberikan kepada pasien.
j. Semua klarifikasi dan pertanyaan kepada dokter penulis resep harus dilakukan
pendokumentasian.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi
minimal
1 tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka
akan
dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : 298//Dir-SK/XII/2016
TANGGAL :
1. Pemberian obat
a. Perawat harus selalu melakukan pengecekan ganda (double-check)
terhadap semua
Obat dan Alkes serta obat obat high alert medications sebelum diberikan
kepada pasien.
b. Pengecekan Ganda Terhadap Obat dan Alkes serta obat obat High Alert
Medications
1). Tujuan:
Identifikasi obat-obatan yang memerlukan verifikasi atau pengecekan ganda oleh petugas
kesehatan lainnya (sebagai orang kedua) sebelum memberikan obat dengan tujuan
meningkatkan keselamatan dan akurasi.
2). Kebijakan:
a. pengecekan ganda diperlukan sebelum memberikan high alert medications tertentu /
spesifik dan di saat pelaporan pergantian jaga atau saat melakukan transfer pasien.
b. Pengecekan ganda ini akan dicatat pada rekam medis pasien atau pada catatan
pemberian medikasi pasien.
c. Pengecekan pertama harus dilakukan oleh petugas yang berwenang untuk
menginstruksikan, meresepkan, atau memberikan obat-obatan, antara lain: perawat, ahli
farmasi, dan dokter.
d. Pengecekan kedua akan dilakukan oleh petugas yang berwenang, teknisi, atau perawat
lainnya. (petugas tidak boleh sama dengan pengecek pertama)
e. Kebutuhan minimal untuk melakukan pengecekan ganda/verifikasi oleh orang kedua
dilakukan pada kondisi-kondisi seperti berikut:
Setiap akan memberikan injeksi obat
Untuk infuse:
- Saat terapi inisial
- Saat terdapat perubahan konsentrasi obat
- Saat pemberian bolus
- Saat pergantian jaga perawat atau transfer pasien
- Setiap terjadi perubahan dosis obat
f. Pengecekan tambahan dapat dilakukan sesuai dengan instruksi dari dokter
Tentang
KEBIJAKAN PENCATATAN / PELAPORAN OBAT NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA RUMAH
SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit ,
maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang pencatatan dan
pelaporan obat narkotika dan psikotropika.
2. Bahwa untuk memastikan semua proses dalam pelayanan obat golongan narkotika
memenuhi undang undang yang berlaku dan Memastikan pengeluaran obat golongan
narkotika aman dan akurat.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pencatatan dan Pelaporan obat Narkotika dan
Psikotropika oleh IFRS Rumah Sakit sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh
pelayanan farmasi Rumah Sakit .
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
Tentang
KEBIJAKAN TELAAH RESEP RUMAH SAKIT
MENIMBANG :
1. Bahwa yang dimaksud telaah resep adalah cara mengkaji resep meliputi kejelasan
tulisan resep, tepat obat, tepat dosis, tepat rute, tepat waktu, duplikasi, alergi, interaksi
obat, berat badan pasien untuk pasien anak dan kontra indikasi lainnya
2. Bahwa dalam pemberian pelayanan farmasi dibutuhkan suatu proses pemberian
peresepan obat yang tepat dan rasional.
3. Bahwa untuk mendukung tercapainya peresepan obat yang tepat dan rasional
dibutuhkan suatu proses yang baik.
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Peresepan obat yang diberikan kepada pasien harus diberikan secara baik dan rasional.
2. Sebelum obat diserahkan kepada pasien, petugas farmasi (Apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian) harus melakukan telaah resep terlebih dahulu.
3. Tata cara telaah resep yang dilakukan sebagai berikut :
a. Setiap resep yang masuk di Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dilakukan telaah
resep terlebih dulu, sebelum obat diserahkan kepada pasien.
b. Telaah resep yang dilakukan meliputi:
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di tempat tidur,
gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien
tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien
mengangguk. Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental
atau kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung
kepada keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2.Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama dagang yang
kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama generiknya, bila perlu
hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya atau kandungan obat. Sebelum
memberi obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga
kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua
label botol dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak
obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke
bagian farmasi.
Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat
perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama obat
dan kerjanya.
3.Benar Dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat harus
berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum dilanjutkan ke
pasien. Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada
beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau
tabletnya. Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya berapa ? Ini penting !! karena 1 amp
ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga 8 mg. ada antibiotik 1 vial dosisnya 1 gr, ada
juga 1 vial 500 mg. jadi Anda harus tetap hati-hati dan teliti.
a. Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai, karena ekonomis,
paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi melalui rongga mulut (sublingual
atau bukal) seperti tablet ISDN.
b. Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping, enteron berarti usus, jadi
parenteral berarti diluar usus, atau tidak melalui saluran cerna, yaitu melalui vena (perset
/ perinfus).
c. Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa. Misalnya salep, losion, krim,
spray, tetes mata.
d. Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria yang akan mencair
pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti
konstipasi (dulkolax supp), hemoroid (anusol), pasien yang tidak sadar / kejang (stesolid
supp). Pemberian obat perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian
obat dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam bentuk
supositoria.
e. Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas memiliki epitel untuk
absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna untuk pemberian obat secara lokal
pada salurannya, misalnya salbotamol (ventolin), combivent, berotec untuk asma, atau
dalam keadaan darurat misalnya terapi oksigen.
5.Benar Waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk mencapai
atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum sebelum
makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan.
Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu
dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada obat yang harus
diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan pada lambung
misalnya asam mefenamat.
6.Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa
obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat
diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.
7. Benar Informasi
Semua rencana tindakan/ pengobatan harus dikomunikasikan pada pasien & atau
keluarganya, termasuk pasien di ICU (hak pasien!).
Jelaskan tujuan & cara mengkonsumsi obat yang benar.
Jelaskan efek samping yang mungkin timbul.
Rencana lama terapi juga dikomunikasikan pada pasien.
semua informasi yang telah diberikan pada pasien & keluarganya ini ditulis dalam
“Form Penjelasan & Pendidikan Dokter kepada Pasien” yang ada di dalam paket
rekam medik dan ditandatangani oleh dokter dan pasien/ keluarga pasien.
Alamat :
Usia :
Tentang
KEBIJAKAN EVALUASI DAN PENGENDALIAN MUTU FARMASI RUMAH SAKIT
MENIMBANG :
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit ,
maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang Evaluasi dan
Pengendalian mutu farmasi.
2. Bahwa untuk memberikan pelayanan farmasi yang memenuhi standar
pelayanan dan
dapat memuaskan pelanggan.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan
baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Evaluasi dan pengendalian mutu oleh IFRS
Rumah Sakit sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi
Rumah Sakit .
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
Nomor : 335//Dir-SK/XII/2016
Tanggal :
Tentang
MENGINGAT :
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
7. Arsip
Tentang
KEBIJAKAN PANDUAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT
MENIMBANG :
1. Bahwa Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter gigi atau Dokter hewan
kepada Apoteker untuk membuat dan memberikan obat kepada pasien.
2. Bahwa Rumah Sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan, pemesanan dan
pencatatan resep, karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesanan yang
mengacaukan keselamatan pasien bisa menunda pengobatan.
3. Bahwa Rumah Sakit perlu mengatur tindakan untuk mengurangi tidak terbacanya resep.
4. Bahwa untuk mekanisme tersebut diatas maka rumah sakit perlu menerbitkan Panduan
tentang Penulisan Resep.
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
A. LATAR BELAKANG
Resep merupakan permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker, untuk
menyediakan obat dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Obat
merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat
merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Anonim,
2006).
Obat merupakan salah satu bagian dalam peningkatan kualitas hidup pasien sehingga
diperlukan adanya manajemen yang harus berperan secara kritis untuk memastikan
keselamatan pasien (Anonim, 2011).
Rumah sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan, pemesanan dan pencatatan
yang aman diarahkan oleh kebijakan dan prosedur. Para staf medis, keperawatan, farmasi dan
administrative berkolaborasi untuk mengembangkan dan memonitor kebijakan dan prosedur.
Staf yang terkait dilatih untuk praktek penulisan resep, pemesanan dan pencatatan yang benar.
Karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesanan yang mengacaukan keselamatan
pasien bisa menunda pengobatan, maka kebijakan rumah sakit mengatur tindakan untuk
mengurangi tidak terbacanya resep.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk
membuat cara penulisan resep yang tepat untuk mengurangi kesalahan pemberian obat
(medication errors) berdasarkan system yang ada dirumah sakit.
B. DEFINISI
Penulisan resep yang tepat adalah Tata cara penulisan resep yang tepat sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Rumah Sakit .
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum :
Meningkatkan keselamatan pasien dalam kebenaran pemberian obat
2. Tujuan Khusus:
a. Meningkatkan kesadaran sejawat penulisan resep akan pentingnya penulisan resep
yang dapat dibaca.
b. Mengurangi tidak terbacanya resep yang dapat memperpanjang waktu tunggu obat.
c. Mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat
d. Meningkatkan mutu pelayanan farmasi dalam rangka penulisan resep yang tepat.
BAB II
RUANG LINGKUP KEGIATAN
Secara umum seluruh ruangan bagian klinis yaitu bagian keperawatan, penunjang medis dan
unit khusus.
Ruang lingkup penulisan resep yaitu :
1. Poliklinik rawat jalan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter
Umum dokter spesialis dan dokter gigi.
2. Ruang perawatan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter
umum, dokter spesialis dan dokter gigi.
3. Bidan dan perawat hanya boleh menulis resep berupa alat kesehatan, cairan
infuse.
4. Bidan dan perawat yang di ijinkan menulis resep adalah bidan dan perawat yang
memiliki STR (Surat Tanda Registrasi).
BAB III
TATA LAKSANA
6. Perubahan pemberian terapi obat (jenis dan dosis), maka obat sebelumnya harus dihentikan dan
ditulis sesuai aturan penghentian terapi. Penulisan resep yang salah tidak boleh dihapus akan
tetapi dengan cara mencoret dengan satu garis lurus kemudian resep yang benar di tulis di
atas resep yang dicoret tersebut.
a. Penulisan pesanan obat /resep harus jelas, lengkap dan dapat terbaca oleh tenaga teknis
kefarmasian dan apoteker.
b. Petugas farmasi (Tenaga teknis kefarmasian dan Apoteker) harus melakukan klarifikasi kepada
penulis resep bila pesanan obat/resep tidak jelas, tidak terbaca, atau tidak lengkap.
c. Penulis resep harus menulis resep atau instruksi pengobatan yang baru jika ingin meneruskan
terapi obat yang sempat terhenti karena adanya automatic stop order, tindakan operasi maupun
karena alasan lain.
d. Penulis resep harus membandingkan order pertama obat dengan daftar obat pasien sebelum
masuk rawat inap yang diperoleh dari anamnesa oleh dokter atau perawat.
e. Penulis resep harus menggunakan singkatan, symbol dan penunjukan dosis yang diperbolehkan
oleh rumah sakit.
f. Tenaga Kesehatan yang menerima order/perintah/resep yang menggunakan singkatan, symbol,
dan penunjuk dosis yang dilarang harus melakukan klarifikasi dan konfirmasi kepada penulis
order/perintah/resep jika order/perintah/resep tersebut tidak jelas/tidak terbaca.
g. Setiap dokter, perawat dan bidan harus mengikuti cara penulisan resep yang benar sesuai
dengan kebijakan peresepan.
BAB IV
DOKUMENTASI
Penulisan resep yang tepat di Rumah Sakit merupakan komitmen Rumah Sakit yang di dukung
dengan adanya :
A. Kebijakan
1. Kebijakan Penulisan Resep yang Tepat.
2. Kebijakan Penanggulangan Resep yang Tidak Terbaca.
3. Kebijakan Telaah Resep
B. SPO
1. SPO Penulisan Resep yang Tepat.
2. SPO Penanggulagan Resep yang Tidak Terbaca.
3. SPO Telaah Resep.
BAB V
PENUTUP
Demikianlah panduan ini disusun sebagai pedoman dalam penulisan resep. Panduan ini masih
jauh dari sempurna, oleh sebab itu panduan akan dievaluasi kembali setiap 2 sampai 3 tahun
sesuai dengan tuntutan layanan dan standar akreditasi baik akreditasi Nasional maupun standar
International.
DAFTAR PUSTAKA
Tentang
MENIMBANG:
MENGINGAT:
MENETAPKAN :
1. Penyerahan obat dilakukan oleh petugas yang berkompeten yaitu Apoteker dan Tenaga
Teknis Kefarmasian Senior dan Perawat.
2. Tahapan dalam penyerahan obat meliputi pengecekan obat dengan 7 benar (benar
pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar cara pemberian, benar
dokumentasi, benar informasi)
3. Penyerahan obat harus menyampaikan cara pemberian obat, dosis obat, waktu
penggunaan obat dan aturan pakai.
4. Penyerahan obat harus disertai informasi obat meliputi informasi nama obat, fungsi, efek
samping potensial, makanan dan gaya hidup yang dihindari dan dilakukan serta cara dan
aturan pakai.
5. Penyaluran obat sudah dalam bentuk yang paling siap
6. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
7. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
1. Benar Pasien
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di
tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau
keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non
verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak sanggup
mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara
identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Bayi
harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2. Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama
dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama
generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya
atau kandungan obat. Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol
atau kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan
obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan
obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak
terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat
memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu
mengingat nama obat dan kerjanya.
3. Benar Dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat
harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum
dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus
memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis
yang berbeda tiap ampul atau tabletnya. Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya
berapa ? Ini penting !! karena 1 amp ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga
8 mg. ada antibiotik 1 vial dosisnya 1 gr, ada juga 1 vial 500 mg. jadi Anda harus
tetap hati-hati dan teliti.
4. Benar Cara/Rute Pemberian
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja
yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal,
rektal, inhalasi.
a. Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai,
karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN.
b. Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping, enteron
berarti usus, jadi parenteral berarti diluar usus, atau tidak melalui saluran
cerna, yaitu melalui vena (perset / perinfus).
c. Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa. Misalnya
salep, losion, krim, spray, tetes mata.
d. Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria yang
akan mencair pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp), hemoroid
(anusol), pasien yang tidak sadar / kejang (stesolid supp). Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria.
e. Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas memiliki
epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna untuk
pemberian obat secara lokal pada salurannya, misalnya salbotamol
(ventolin), combivent, berotec untuk asma, atau dalam keadaan darurat
misalnya terapi oksigen.
5. Benar Waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk
mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum
sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam
sebelum makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama
susu karena susu dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada
obat yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan pada
lambung misalnya asam mefenamat.
6. Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh
siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu
tidak dapat diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.
7. Benar Informasi
Semua rencana tindakan/ pengobatan harus dikomunikasikan pada pasien &
atau keluarganya, termasuk pasien di ICU (hak pasien!).
Jelaskan tujuan & cara mengkonsumsi obat yang benar.
Jelaskan efek samping yang mungkin timbul.
Rencana lama terapi juga dikomunikasikan pada pasien.
semua informasi yang telah diberikan pada pasien & keluarganya ini ditulis
dalam “Form Penjelasan & Pendidikan Dokter kepada Pasien” yang ada di dalam
paket rekam medik dan ditandatangani oleh dokter dan pasien/ keluarga pasien.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PENYERAHAN OBAT RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa untuk mendapatkan pelayanan kefarmasian yang bermutu, berkualitas, dan
mempertimbangkan keselamatan pasien di Rumah Sakit diperlukan suatu Pedoman
Penyerahan Obat.
2. Bahwa penyerahan obat yang tepat adalah penentu utama dari ketepatan pemberian obat
dan dapat mengurangi kesalahan pemberian obat.
3. Bahwa untuk memberikan obat yang tepat dan benar, maka perlu ditetapkan Surat
Keputusan Direktur tentang Penyerahan Obat di Rumah Sakit .
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Penyerahan obat di Rumah Sakit Tangerang menjadi tanggung jawab dari Instalasi
Farmasi.
2. Apoteker bertanggung jawab melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam hal penyerahan obat.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
PENYERAHAN OBAT
Peresepan obat yang diberikan kepada pasien harus diberikan secara baik dan rasional,
sebelum obat diserahkan kepada pasien, petugas farmasi (Apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian) harus melakukan telaah resep terlebih dahulu.
Tata cara telaah resep yang dilakukan sebagai berikut :
1. Setiap resep yang masuk di Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dilakukan telaah resep terlebih
dulu, sebelum obat diserahkan kepada pasien.
2. Telaah resep yang dilakukan meliputi:
a. Persyaratan administrasi, meliputi:
- Nama, tgl lahir dan nomor rekam medis (label identitas pasien)
- Tanggal resep
b. Persyaratan farmasis, meliputi:
- Kejelasan tulisan resep
- Tepat obat
- Tepat dosis
- Tepat rute
- Tepat waktu
- Duplikasi
c. Persyaratan klinis,meliputi
- Interaksi obat
- Alergi
- Berat badan untuk pasien anak
- Kontra indikasi
3. Telaah resep dilakukan oleh Asisten Apoteker Penanggung Jawab dan Apoteker .
4. Setiap pasien memiliki profil pengobatan untuk membantu proses telaah resep atau pengobatan.
5. Telaah resep tidak perlu dilakukan pada keadaan darurat atau bila dokter pemesan hadir untuk
pemesanan, pemberian dan monitoring pasien (misal di kamar bedah atau IGD) atau dalam
tindakan radiologi intervensional atau diagnostik imajing dimana obat merupakan bagian dari
prosedur.
6. Telaah resep tetap dilakukan ketika Apoteker tidak hadir, telaah resep ketika apoteker tidak hadir
dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang ditunjuk ataupun yang sudah terlatih.
7. Jika resep yang tertulis tidak memenuhi persyaratan, maka harus segera dilakukan klarifikasi
kepada dokter penulis resep sebelum diberikan kepada pasien.
8. Semua klarifikasi dan pertanyaan kepada dokter penulis resep harus dilakukan
pendokumentasian.
Tentang
KEBIJAKAN PENARIKAN PERBEKALAN FARMASI DARI PEREDARAN DAN PEMUSNAHAN
PERBEKALAN FARMASI KADALUARSA
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Pengelolaan seluruh obat obat dan alat kesehatan kadaluwarsa atau rusak di seluruh
rumah sakit menjadi tanggung jawab instalasi farmasi.
2. Penarikan dan pemusnahan obat obat dan alat kesehatan kadaluwarsa menjadi
tanggung jawab instalasi farmasi.
3. Kabag Pengadaan dan atau Logistik Farmasi memberikan informasi secara tertulis
kepada Kepala Instalasi Farmasi dan diteruskan ke unit pelayanan apabila perbekalan
farmasi tersebut ditarik dari peredaran atau dihentikan produksinya.
4. Penarikan perbekalan farmasi (obat dan alkes) dilakukan apabila :
a. Rusak yaitu terjadi perubahan warna, bau dan rasa, konsistensi, keruh,
kemasan rusak/sobek atau bocor dan sudah tidak sesuai dengan mutu
yang tercantum pada kemasan.
b. Akan kadaluarsa dalam waktu 6 bulan kecuali untuk vaksin 3 bulan
sebelum obat dan alkes tersebut kadaluwarsa
c. Terdapat informasi penarikan dari BPOM (Badan Pengawasan Obat dan
Makanan), instansi yang berwenang, atau distributor yang berkaitan
mengenai keamanan produk.
5. Perbekalan farmasi yang rusak dan kadaluarsa yang tidak bisa dikembalikan ke
distributor akan dimusnahkan. Pemusnahan perbekalan farmasi mengikuti aturan
perundang-undangan yang berlaku.
6. Pemusnahan obat dan alkes yang rusak dan kadaluwarsa dilakukan oleh bagian sanitasi
dengan membuat Berita Acara Pemusnahan (BAP) disaksikan oleh petugas farmasi,
petugas sanitasi dan petugas yang terkait.
7. Untuk pemusnahan obat-obat dan alkes yang tergolong narkotika didampingi oleh
petugas Dinas Kesehatan Kota.
8. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
9. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : …../Dir-SK/XII/2018
TANGGAL : 30 Desember 2018
Tentang
KEBIJAKAN DISPENSING OBAT RUMAH SAKIT
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
Nomor : 337/RSQ/Dir-SK/XII/2018
Tanggal : 30 Desember 2018
A. DISPENSING
Tentang
KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang pelayanan evaluasi
penggunaan obat.
2. Bahwa untuk memantau penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan
untuk menjamin obat obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau
oleh pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya
Peraturan Direktur tentang Pelayanan Informasi obat oleh IFRS Rumah Sakit sebagai
landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
1. Definisi
Program evaluasi penggunaan obat (EPO) di rumah sakit adalah suatu proses jaminan
mutu yang terstruktur, dilaksanakan terus-menerus, dan diotorisasi rumah sakit, ditujukan untuk
memastikan bahwa obat-obatan digunakan dengan aman, tepat, dan efektif.
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, penggunaan obat yang ekonomis harus juga
diberikan prioritas tinggi dan karena itu, menjadi suatu komponen dari definisi ini. Definisi
program EPO tersebut di atas difokuskan pada penggunaan obat secara kualitatif.
Sasaran EPO secara umum adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan Pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus menerus
2. Meningkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat
3. Mengidentifikasi bidang yang perlu untuk materi edukasi berkelanjutan
4. Meningkatkan kemitraan antar pribadi professional pelayanan kesehatan
5. Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan
6. Mengurangi resiko tuntutan hukum pada rumah sakit
7. Mengurangi biaya rumah sakit dan perawatan pasien sebagai akibat dosis akurat,
efek samping yang lebih sedikit, dan waktu hospitalisasi yang lebih singkat.
Panitia EPO
Beberapa rumah sakit membentuk suatu panitia khusus dengan tanggung jawab khusus untuk
EPO. Keanggotaan dan hubungan pelaporan dari panitia harus diresmikan (diformalkan) dalam
struktur organisasi rumah sakit.
4. Pelaksanaan EPO
EPO dapat dengan mudah divisualisasikan sebagai kegiatan jaminan mutu. Penetapan dan
pemeliharaan suatu program EPO sangat rumit. Walaupun pengembangan dari berbagai
langkah tertentu dapat berubah-ubah, pendekatan berikut dapat membantu mengkonsepsikan
dan melakukan EPO sebagai suatu kegiatan jaminan mutu.
1. Membentuk tim EPO dan menunjuk penanggung jawab
2. Mengkaji data pola penggunaan obat secara menyeluruh (secara kuantitatif)
3. Mengidentifikasi obat dan golongan obat-obat tertentu untuk dipantau dan
dievaluasi
4. Mengembangkan kriteria penggunaan obat (KPO)
5. Mengumpulkan dan mengorganisasikan data
6. Mengevaluasi penggunaan obat dengan mengacu pada KPO
7. Mengambil tindakan untuk solusi masalah atau menyempurnakan penggunaan obat
8. Mengkaji keefektifan tindakan yang diambil dan membuktikan penyempurnaan.
9. Mengkomunikasikan informasi kepada individu dan kelompok yang tepat di dalam
rumah sakit.
Tentang
MENIMBANG:
1. Bahwa kebersihan tangan merupakan salah satu kewaspadaan standar
yang
2. masuk
program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit.
3. Bahwa untuk melindungi tenaga kesehatan dan tenaga lainnya di rumah
sakit
agar aman, nyaman dan sehat perlu menjaga kebersihan tangan yang sesuai
standar.
4. Bahwa untuk maksud tersebut diatas perlu dibuat Kebijakan Kebersihan
Tangan
di rumah sakit.
MENGINGAT:
1. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 270/Menkes/SK/III/2007
Tentang
Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
Fasilitas Kesehatan Lainnya.
2. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 382/Menkes/SK/III/2008
Tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas
Kesehatan Lainnya
3. ART YBW-SA Pasal IV ayat 12.
4. Buku Pedoman dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan Lainnya, DEPKES RI, 2007.
5. Buku Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di
Rumah Sakit
Dan Fasilitas Kesehatan Lainnya, Depkes RI
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-
P/I/2018 tentang Kebijakan Penyimpanan Perbekalan Farmasi Rumah Sakit
Dharma IbuTernate.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN:
2. KEBIJAKAN HAND HYGIENE
3. Kebijakan Hand Hygiene melalui kepatuhan melakukan prosedur Hand Hygiene.
4. Kebijakan Hand Hygiene melalui kepatuhan melakukan prosedur Hand Hygiene di Rumah Sakit.
a. Penyusunan SPO Hand Hygiene berdasarkan pedoman pelaksanaan Hand Hygiene terbaru
b. Sosialisasi SPO Hand Hygiene
c. Edukasi mengenai prosedur Hand Hygiene dan 5 saat harus melakukan Hand Hygiene
d. Audit kepatuhan Hand Hygiene
e. Evaluasi hasil audit Hand Hygiene dan penetapan RTL (Rencana Tindak Lanjut
4.
digunakan di seluruh area RSI(poli rawat jalan, rawat inap, ruang tunggu,
laboratorium, ruang kantor, dan seluruh instalasi penunjang lain di RS).
5. Kebijakan Hand Hygiene melalui kepatuhan melakukan prosedur Hand
Hygiene di RS dijadikan acucn dan pedoman bagi petugas medis, petugas non medis,
pasien, pengunjung yang berada di RS dan akan selalu dievaluasi dan direvisi dengan
memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi.
6. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila ada
kekeliruan dikemudian hari akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.
: 09 Rabiul Awwal
1435.H
11 Januari 2014.M
GA
Tembusan Yth :
2. Unit terkait
3. Arsip
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PELAYANAN KONSELING OBAT RUMAH SAKIT
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
A. KONSELING
MENIMBANG:
1. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, Dokter gigi atau dokter hewan
kepada apoteker untuk membuat dan memberikan obat kepada pasien.
2. Untuk meningkatkan mutu dan keamanan pelayanan farmasi, khususnya dalam
pemberian obat kepada pasien baik di rawat jalan maupun rawat inap, maka
Rumah Sakit bertanggung jawab untuk mengidentifikasi petugas yang
berkompeten atau berwenang dan juga yang diijinkan dengan lisensi, sertifikat,
hukum atau peraturan untuk menyerahkan obat.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada point 2 diatas maka Rumah Sakit perlu
menerbitkan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit tentang petugas yang berhak
menelaah pesanan obat (resep).
MENGINGAT:
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
1. Pemberian obat
a. Perawat harus selalu melakukan pengecekan ganda (double-check) terhadap semua Obat
dan Alkes serta obat obat high alert medications sebelum diberikan kepada pasien.
b. Pengecekan Ganda Terhadap Obat dan Alkes serta obat obat High Alert Medications
1) Tujuan:
Identifikasi obat-obatan yang memerlukan verifikasi atau pengecekan ganda oleh
petugas kesehatan lainnya (sebagai orang kedua) sebelum memberikan obat dengan
tujuan meningkatkan keselamatan dan akurasi.
2) Kebijakan:
1. pengecekan ganda diperlukan sebelum memberikan high alert medications
tertentu / spesifik dan di saat pelaporan pergantian jaga atau saat melakukan
transfer pasien.
2. Pengecekan ganda ini akan dicatat pada rekam medis pasien atau pada catatan
pemberian medikasi pasien.
3. Pengecekan pertama harus dilakukan oleh petugas yang berwenang untuk
menginstruksikan, meresepkan, atau memberikan obat-obatan, antara lain:
perawat, ahli farmasi, dan dokter.
4. Pengecekan kedua akan dilakukan oleh petugas yang berwenang, teknisi, atau
perawat lainnya. (petugas tidak boleh sama dengan pengecek pertama)
5. Kebutuhan minimal untuk melakukan pengecekan ganda/verifikasi oleh orang
kedua dilakukan pada kondisi-kondisi seperti berikut:
Setiap akan memberikan injeksi obat
Untuk infuse:
- Saat terapi inisial
- Saat terdapat perubahan konsentrasi obat
- Saat pemberian bolus
- Saat pergantian jaga perawat atau transfer pasien
- Setiap terjadi perubahan dosis obat
6. Pengecekan tambahan dapat dilakukan sesuai dengan instruksi dari
dokter.
MENIMBANG:
1. Bahwa Instalasi Farmasi merupakan suatu bagian atau unit atau fasilitas rumah
sakit, sebagai tempat penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian
yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit yang dipimpin oleh Apoteker yang
berkompeten dan dibantu oleh Tenaga Teknis kefarmasian (TTK).
2. Bahwa dalam pelayanan kefarmasian menggunakan perbekalan farmasi (obat obat
termasuk bahan yang terkontrol atau controlled substances, alat kesehatan, cairan
infuse, reagen dan film).
3. Bahwa obat obat terkontrol tersebut harus dilaporkan secara akurat sesuai dengan
undang undang dan peraturan yang berlaku.
4. Bahwa untuk menjamin mutu pelaporan obat yang baik di Instalasi Farmasi maka
perlu ditetapkan Surat keputusan Direktur tentang Pelaporan Obat.
MENGINGAT:
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : 209/Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016
Tentang
KEBIJAKAN PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
MENIMBANG :
1. Bahwa rumah sakit mempunyai kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan
pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Bahwa rumah sakit membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien
3. Bahwa setiap rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.
4. Bahwa dalam upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien Rumah Sakit
dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya Kebijakan Direktur Rumah Sakit
sebagai landasan bagi penyelenggaraan pelayanan kesahatan yang bermutu
tinggi dalam rangka keselamatan pasien di rumah sakit.
5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a, b, c dan d,
perlu diterbitkan Surat Keputusan Direktur tentang Kebijakan Peningkatan Mutu
dan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit
MENGINGAT:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992
tentang Pokok-Pokok Kesehatan
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien
Rumah Sakit
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK II/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/SK
III/2008 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Peningkatan Mutu Dan Keselamatan Pasien RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN :
1. Kebijakan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah
Sakit sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Keputusan ini.
2. Direktur rumah sakit berpartisipasi dalam perencanaan,
monitoring, dan pengawasan program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien.
3. Pemilik rumah sakit bertanggung jawab penuh terhadap mutu
dan keselamatan pasien.
4. Pelaksanaan Program peningkatan mutu dan keselamatan pasien
Rumah Sakit dilaksanakan oleh Komite Mutu
dan Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perbaikan maka akan
diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate Direktur
Tanggal :
RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo
A. Kebijakan Umum
1. Program mutu dan keselamatan pasien wajib dijalankan di seluruh unit rumah
sakit.
2. Pelaksanaan indikator mutu dan pelaporan insiden wajib dilaporkan, dianalisis,
ditindak lanjuti dan dievaluasi bersama unit terkait di rumah sakit.
3. Unit rumah sakit wajib menjalankan pencegahan terjadinya insiden di rumah
sakit melalui pelaporan insiden, tindak lanjut dan solusi guna pembelajaran
supaya tidak terulang kembali
4. Unit rumah sakit wajib melaksanakan peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
B. Kebijakan Khusus
1. Prioiritas pelaksanaan peningkatan mutu dan keselamatan pasien meliputi 5
(lima) area yaitu rawat jalan, rawat inap, Instalasi Gawat Darurat (IGD), kamar
bedah dan Sasaran Keselamatan Pasien.
2. Jenis indikator mutu yang dilaksanakan di rumah sakit yaitu jenis indkator mutu
pelayanan, terdiri atas Indikator Area Klinis, Indikator Area Manajerial, Indikator
Area Sasaran Keselamatan pasien, Indikator Area Sasaran dan Indikator JCI library
of measure
3. Pelaksanan indikator mutu meliputi penyusunan, jenis indikator, Kamus Profil
Indikator, sosialisasi indikator, trial indikator, implementasi indikator mutu,
validasi, pencatatan dan pelaporan analisis data, rapat pimpinan, benchmarking,
publikasi data, evaluasi dan tindak lanjut (monitoring dan evaluasi) indikator
mutu serta pelaporan ke direksi dan yayasan.
4. Manajemen tata kelola mutu dan keselamatan pasien dilaksanakan oleh Komite
Mutu dan Komite Keselamatan Pasien berdasarkan pedoman, panduan, kebijakan
serta SPO mutu dan keselamatan dalam menjalankan program mutu dan
keselamatan pasien rumah sakit.
5. Yayasan menyetujuai rencana mutu dan keselamatan pasien serta secara regular
menerima dan menindaklanjuti laporan tentang pelaksanaan program perbaikan
mutu dan keselamatan pasien.
6. Apabila dalam upaya pencapaian target dari suatu proses, program/sistem tidak
sesuai yang diharapkan, rumah sakit membuat rancangan baru dan melakukan
modifikasi dari sistem dan proses sesuai prinsip peningkatan mutu dan
keselamatan pasien. Rancangan proses yang baik adalah :
a. Konsisten dengan misi dan organisasi
b. Memenuhi kebutuhan pasien, masyarakat dan staf lainnya
c. Menggunakan pedoman praktek terkini, standar pelayaan medis, kepustakaan
Tentang
KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : 186//Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016
Tentang
KEBIJAKAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
RUMAH SAKIT
MENIMBANG :
1. Bahwa pemberian antibiotika yang tidak tepat dapat menimbulkan pemborosan dan
juga menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotika.
2. Bahwa untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit agar aman, nyaman
dan sehat perlu penggunaan antibiotika yang sesuai standar.
3. Bahwa untuk maksud tersebut diatas perlu dibuat Kebijakan Penggunaan
Antibiotika di rumah sakit.
MENGINGAT :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor :
2406/Menkes/PER/XII/2011 Tentang Pedoman umum penggunaan antibiotik.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1045/MENKES/PER/XI/2006, Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Di
Lingkungan Departemen Kesehatan
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 986/Menkes/Per/XI/1992
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 382/Menkes/SK/III/2008 Tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas
Kesehatan Lainnya
6. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 270/Menkes/SK/III/2007 Tentang
Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
Fasilitas Kesehatan Lainnya.
7. Buku Pedoman dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Lainnya, DEPKES RI, 2007.
MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN:
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Dr. Sutomo Raharjo, SpA
Direktur
TEMBUSAN Yth :
1. KPPI RS
2. Instalasi Farmasi
3. Ruang Perawatan
4. IGD
5. ICU
6. Poliklinik
7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
TANGGAL :
A. PENGERTIAN :
Antibiotika adalah obat yang diberikan kepada pasien yang menderita infeksi bakteri.
Pemberian antibiotika yang tidak tepat dapat menimbulkan pemborosan dan juga menimbulkan
resistensi bakteri terhadap antibiotika tertentu.
B. TUJUAN :
Untuk memberikan antibiotik yang rasional berdasarkan therapy empiric / sesaat dan
pertimbangan cost effective.
C. KEBIJAKAN :
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi bekerjasama dengan Farmasi dan terapi
dalam :
1. Membuat Standar Terapi Rumah Sakit dan Formularium Rumah Sakit yang mengacu
pada
aturan penggunaan antibiotik.
4. Jenis-jenis antibiotika yang digunakan di rumah sakit adalah antibiotika yang sudah
masuk
dalam daftar formularium obat yang telah ditetapkan oleh Direktur rumah sakit.
1. Tepat pasien
2. Tepat dosis
4. Tepat jenis
5. Waspada terhadap efek samping yang mungkin timbul
Tentang
KEBIJAKAN PENGKAJIAN PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
Nomor : ….//Dir-SK/XII/2018
Tanggal :
A. Pendahuluan
B. Pembahasan
Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur
dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman
dan terjangkau oleh pasien. Kriteria penggunaan obat rasional harus sesuai dengan indikasi
pasien, pemberian dosis yang tepat, interval waktu yang tepat, dan lainnya. Evaluasi
penggunaan obat rasional yaitu
1. Tepat Indikasi
Maksud dari tepat indikasi misalnya adalah ketepatan penggunaan suatu obat atas dasar
diagnosis yang ditegakkan, sesuai dengan diagnosis yang tercantum di rekam medik. Sebagai
contoh, diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan
klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Kedua dengan TTGO, meskipun TTGO dengan beban
75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa darah puasa,
namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan. Ketiga, dengan pemeriksaan glukosa darah puasa yang lebih
mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan
untuk diagnosis diabetes mellitus.
2. Tepat Obat
Ketepatan obat adalah kesesuaian pemilihan suatu obat diantara beberapa jenis obat yang
mempunyai indikasi. Untuk menjamin obat yang diberikan benar, label atau etiket harus dibaca
dengan teliti setiap akan memberikan obat. Label atau etiket yang perlu diteliti antara lain nama
obat, sediaan, konsentrasi, dan cara pemberian serta expired date.
3. Tepat Dosis
Dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi atau timbul efek berbahaya.
Paramedik harus mengerti cara mengkonversi dosis dari orang dewasa normal dan dihitung
dosisnya secara cermat.
Dosis yang sesuai juga dilihat dari keadaan fungsi organ tubuh pasien, misalnya dalam keadaan
fungsi ginjal yang menurun pemberian dosis terapi akan terpengaruh, bahkan jika fungsi ginjal
telah memburuk pemberian dapat diberikan secara parenteral untuk menghindari keparahan
penyakit pasien.
4. Tepat Pasien
Pemberian obat yang tidak tepat pasien dapat terjadi, seperti pada saat pemesanan lewat
telepon, pasien yang masuk bersamaan, kasus penyakit sama, suasana sedang tidak kondusif
atau adanya pindahan pasien dari ruang satu ke ruang lainnya. Untuk mengurangi kejadian
tidak tepat pasien dapat dilakukan antara lain menanyakan nama pasien dan mengecek
identifikasi pasien dengan seksama.
Interaksi obat merupakan suatu reaksi yang terjadi bila obat satu mengubah efek obat yang lain.
Hal ini harus diperhatikan apabila pasien menderita beberapa penyakit yang berbeda. Sebagai
contoh, antidiabetik yang diberikan secara bersamaan dengan obat lain dapat berinteraksi
sehingga efek antidiabetik dapat dihambat atau ditingkatkan. Bila efek antidiabetik dihambat
maka kadar gula darah akan tetap tinggi (hiperglikemik), tetapi bila efek antidiabetik ditingkatkan
oleh obat lain maka akan terjadi penurunan gula darah yang drastis, sehingga kemungkinan
akan terjadi hipoglikemik.
C. Tatalaksana Pengkajian Penggunaan Obat
Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai pemeriksaan,
pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat diperoleh dari rekam medik,
antara lain: data demografi pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
terdahulu, riwayat penggunaan obat, riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik,
laboratorium, diagnostik, diagnosis dan terapi.
Profil pengobatan pasien di rumah sakit dapat diperoleh dari catatan pemberian obat oleh
perawat dan kartu/formulir penggunaan obat oleh tenaga farmasi. Profil tersebut mencakup data
penggunaan obat rutin, obat p.r.n (obat jika perlu), obat dengan instruksi khusus (contoh:
insulin).
Semua data yang sudah diterima harus dikumpulkan, dikaji, diringkas dan diorganisasikan ke
dalam suatu format. Sering kali data yang diperoleh dari rekam medis dan profil pengobatan
pasien belum cukup, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan data yang diperoleh dari
wawancara pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.
3. Tindak Lanjut
Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker harus
dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama dengan tenaga kesehatan lain
diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi. Informasi dari dokter tentang
kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan untuk menetapkan target terapi yang optimal.
Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan untuk mencegah
kemungkinan timbulnya masalah baru. Kegagalan terapi dapat disebabkan karena
ketidakpatuhan pasien dan kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus
mendapatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi yang tepat
sebaiknya :
tidak bertentangan/berbeda dengan informasi dari tenaga kesehatan lain,
tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat,
dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengkajian penggunaan obat yaitu tepat indikasi,
tepat obat, tepat dosis, tepat pasien, dan interaksi obat dengan obat lain.
b. Cara tatalaksana pengkajian penggunaan obat yaitu pengumpulan data pasien, identifikasi
masalah terkait obat, dan tindak lanjut.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PENCATATAN / PELAPORAN PENGGUNAAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH
SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit \, maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang pencatatan /
pelaporan penggunaan perbekalan farmasi.
2. Bahwa untuk memantau penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan
untuk menjamin obat obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan
terjangkau oleh pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pencatatan / pelaporan Penggunaan
Perbekalan Farmasi oleh IFRS Rumah Sakit sebagai landasan bagi
penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : …../RSUSY/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :
LAMPIRAN SALAH
A. Penggunaan Obat
Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di rumah sakit
dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal
yang perlu diperhatikan adalah :
• Tepat pasien
• Tepat indikasi
• Tepat waktu pemberian
• Tepat obat
• Tepat dosis
• Tepat label obat (aturan pakai)
• Tepat rute pemberian
B. Monitoring dan Evaluasi
Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui efek terapi,
mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan evaluasi
didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan mencegah pengulangan
kesalahan. Seluruh personal yang ada di tempat pelayanan kefarmasian harus terlibat didalam
program keselamatan pasien khususnya medication safety dan harus secara terus menerus
mengidentifikasi masalah dan mengimplementasikan strategi untuk meningkatkan keselamatan
pasien.
Faktor-faktor lain yang berkonstribusi pada medication error antara lain :
Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi )
Kegagalan dalam berkomunikasi merupakan sumber utama terjadinya kesalahan.
Institusi pelayanan kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas
kesehatan dan membuat SOP bagaimana resep/permintaan obat dan informasi obat
lainnya dikomunikasikan. Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan petugas
kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda
atau ketidak lengkapan informasi dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat
daftar singkatan dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk
diwaspadai.
Kondisi lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan, area
dispensing harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk
menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman.
Selain itu area kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan.
Obat untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah.
Gangguan/interupsi pada saat bekerja
Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik
langsung maupun melalui telepon.
Beban kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk mengurangi stres dan
beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.
Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan
insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan
dalam sistem menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya dapat menerapkan Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Pada Pelayanan Kefarmasian yang mengacu pada buku
Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) (diterbitkan oleh Depkes
tahun 2006) :
C. PENCATATANDAN PELAPORAN
Di Indonesia data tentang Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera
(KNC) dan Kejadian Sentinel masih sangat langka. Setiap kegiatan pelayanan kefarmasian baik
di rumah sakit maupun di komunitas diharapkan melakukan pencatatan dan pelaporan semua
kejadian terkait dengan keselamatan pasien meliputi KTD, KNC, dan Kejadian Sentinel.
Pelaporan di rumah sakit dilakukan sesuai dengan Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety) dan Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) yang
dikeluarkan oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit - Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI). Kejadian terkait dengan keselamatan pasien dalam pelayanan farmasi
komunitas di Indonesia belum mempunyai panduan pelaporan, sehingga kegiatan yang
dilakukan adalah pencatatan untuk monitoring dan evaluasi. Tujuan dilakukan pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien adalah untuk menurunkan Insiden Keselamatan Pasien yang terkait
dengan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel serta meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan
pasien.
Sistem pelaporan mengharuskan semua orang dalam organisasi untuk peduli terhadap
bahaya/potensi bahaya yang dapat terjadi pada pasien. Pelaporan juga penting digunakan
untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya kesalahan sehingga diharapkan dapat
mendorong dilakukannya investigasi lebih lanjut. Pelaporan akan menjadi awal proses
pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali. Setiap kejadian
dilaporkan kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menggunakan formulir yang sudah
disediakan di rumah sakit untuk diinvestigasi.
2 Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien (KP) Di Rumah Sakit (Internal)
a. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/Kejadian Sentinel) terkait dengan pelayanan
kefarmasian, wajib segera ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/
akibat yang tidak diharapkan.
b. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi Formulir Laporan
Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada Apoteker penanggung jawab dan jangan
menunda laporan (paling lambat 2 x 24 jam).
c. Laporan segera diserahkan kepada Apoteker penanggung jawab
d. Apoteker penanggung jawab memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilaporkan.
e. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisis yang akan dilakukan :
Grade biru : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu maksimal 1
minggu
Grade hijau : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu maksimal
2 minggu.
Grade kuning : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim KP di
RS, waktu maksimal 45 hari.
Grade merah : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim KP di RS,
waktu maksimal 45 hari.
3. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan
insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
4. Tim KP di RS akan menganalis kembali hasil investigasi dan Laporan insiden untuk
menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan Root Cause Analysis (RCA) dengan
melakukan Regrading.
5. Untuk Grade kuning/merah, Tim KP di RS akan melakukan Root Cause Analysis (RCA)
6. Setelah melakukan Root Cause Analysis (RCA), Tim KP di RS akan membuat laporan dan
Rekomendasi untuk perbaikan serta “pembelajaran” berupa : Petunjuk / Safety alert untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
7. Hasil Root Cause Analysis (RCA), rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada
Direksi
8. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik kepada instalasi
farmasi.
9. Apoteker penanggung jawab akan membuat analisis dan tren kejadian di satuan kerjanya
10. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.
5. Dokumentasi
Semua laporan yang telah dibuat harus didokumentasikan di Instalasi Farmasi/ sarana
pelayanan kesehatan lain untuk bahan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut.
Sebagai tindak lanjut terhadap Program Keselamatan Pasien, Apoteker perlu melakukan
kegiatan monitoring dan evaluasi di unit kerjanya secara berkala. Monitoring merupakan
kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian terkait Program
Keselamatan Pasien. Evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian
terkait Program Keselamatan Pasien. Tujuan dilakukan monitoring dan evaluasi agar pelayanan
kefarmasian yang dilakukan sesuai dengan kaidah keselamatan pasien dan mencegah
terjadinya kejadian yang tidak diinginkan dan berulang dimasa yang akan datang.
Tentang
KEBIJAKAN MEDICATION ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang medication
error dan keselamatan pasien.
2. Bahwa untuk memberikan keamanan pemberian obat yang tepat dengan
pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Medicatio Error dan keselamatan Pasien oleh
IFRS Rumah Sakit sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan
farmasi Rumah Sakit .
MENGINGAT:
1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan
Pasien.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Medication Error Dan Keselamatan Pasien RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
Dalam membangun keselamatan pasien banyak istilah-istilah yang perlu difahami dan
disepakati bersama. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah:
1. Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event)
2. Kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near miss)
3. Kejadan Sentinel
4. Adverse Drug Even
5. Adverse Drug Reaction
6. Medication Error
7. Efek samping obat
Menurut Nebeker JR dkk. dalam tulisannya Clarifying Adverse Drug Events: A Clinician’s Guide
to terminology, Documentation, and Reporting, serta dari Glossary AHRQ (Agency for
Healthcare Research and Quality) dapat disimpulkan definisi beberapa istilah yang berhubungan
dengan cedera akibat obat sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 1.
TABEL 1
RINGKASAN DEFINISI YANG BERHUBUNGAN DENGAN CEDERA AKIBAT OBAT
Istilah Definisi Contoh
Terjadi cedera Kejadian cedera pada pasien Iritasi pada kulit karena
• Kejadian yang selama proses penggunaan perban.
tidak diharapkan terapi/penatalaksanaan Jatuh dari tempat tidur.
(Adverse Event) medis.
Penatalaksanaan medis
mencakup seluruh aspek
pelayanan, termasuk
diagnosa, terapi, kegagalan
diagnosa/terapi, sistem,
peralatan untuk pelayanan.
Adverse event dapat dicegah
atau tidak dapat dicegah.
Istilah Definisi Contoh
• Reaksi obat yang Kejadian cedera pada pasien Steven-Johnson Syndrom
tidak diharapkan selama proses terapi akibat : Sulfa, Obat epilepsi dll
(Adverse Drug penggunaan obat.
Reaction)
• Kejadian tentang Respons yang tidak • Shok anafilaksis
obat yang tidak diharapkan pada penggunaan
diharapkan terhadap terapi obat dan antbiotik golongan
(Adverse Drug mengganggu atau penisilin
Event) menimbulkan cedera pada • Mengantuk pada
penggunaan obat penggunaan CTM
dosis normal.
Reaksi Obat Yang Tidak
Diharapkan (ROTD) ada
yang
berkaitan dengan efek
farmakologi/mekanisme kerja
(efek samping) ada yang
tidak berkaitan dengan efek
farmakologi (reaksi
hipersensitivitas).
• Efek obat yang Respons yang tidak Shok anafilaksis pada
tidak diharapkan (Adverse diharapkan terhadap terapi penggunaan antbiotik
drug obat dan mengganggu atau golongan penisilin.
effect) menimbulkan cedera pada Mengantuk pada
penggunaan obat dosis lazim penggunaan CTM
Sama dengan ROTD tapi
dilihat dari sudut pandang
obat. ROTD dilihat dari sudut
pandang pasien.
Cedera dapat terjadi
atau tidak terjadi
• Medication Error Kejadian yang dapat dicegah Peresepan obat yang
akibat penggunaan obat, tidak rasional.
yang menyebabkan cedera. Kesalahan perhitungan
dosis pada peracikan.
Ketidakpatuhan pasien
sehingga terjadi dosis
berlebih.
Istilah Definisi Contoh
• Efek Samping Efek yang dapat diprediksi, (sebaiknya istilah ini
tergantung pada dosis, yang dihindarkan)
bukan efek tujuan obat. Efek
samping dapat dikehendaki,
tidak dikehendaki, atau tidak
ada kaitannya.
JCAHO (2007) menetapkan tentang keamanan terhadap titik kritis dalam proses
manajemen obat : sistem seleksi (selection), sistem penyimpanan sampai distribusi (storage,
distribution), sistem permintaan obat, interpretasi dan verifikasi (ordering and transcribing),
sistem penyiapan, labelisasi/etiket, peracikan, dokumentasi, penyerahan ke pasien disertai
kecukupan informasi (preparing dan dispensing), teknik penggunaan obat pasien
(administration), pemantauan efektifitas penggunaan (monitoring). Didalamnya termasuk system
kerjasama dengan tenaga kesehatan terkait baik kompetensi maupun kewenangannya, sistem
pelaporan masalah obat dengan upaya perbaikan, informasi obat yang selalu tersedia,
keberadaan apoteker dalam pelayanan, adanya prosedur khusus obat dan alat yang
memerlukan perhatian khusus karena dampak yang membahayakan.
WHO dalam developing pharmacy practice-a focus on patient care membedakan tentang
praktek farmasi (berhubungan dengan pasien langsung) dan pelayanan farmasi (berhubungan
dengan kualitas obat dan sistem proses pelayanan farmasi)
- Praktek pekerjaan kefarmasian meliputi obat-obatan, pengadaan produk farmasi dan
pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan.
- Pelayanan kefarmasian meliputi semua pelayanan yang diberikan oleh tenaga farmasi dalam
mendukung pelayanan kefarmasian. Di luar suplai obat-obatan, jasa kefarmasian meliputi
informasi, pendidikan dan komunikasi untuk mempromosikan kesehatan masyarakat, pemberian
informasi obat dan konseling, pendidikan dan pelatihan staf.
- Pekerjaan kefarmasian meliputi penyediaan obat dan pelayanan lain untuk membantu
masyarakat dalam mendapatkan manfaat yang terbaik.
Klasifikasi aktivitas apoteker (American Pharmacists Association/APha)
A. Memastikan terapi dan hasil yang sesuai
a. Memastikan farmakoterapi yang sesuai
b. Memastikan kepahaman/kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatannya
c. Monitoring dan pelaporan hasil
B. Dispensing obat dan alat kesehatan
a. Memproses resep atau pesanan obat
b. Menyiapkan produk farmasi
c. Mengantarkan obat atau alat kesehatan
C. Promosi kesehatan dan penanggulangan penyakit
a. Pengantaran jasa penanggulangan klinis
b. Pengawasan dan pelaporan issue kesehatan masyarakat
c. Promosi penggunaan obat yang aman dalam masyarakat
D. Manajemen sistem kesehatan
a. Pengelolaan praktek
b. Pengelolaan pengobatan dalam sistem kesehatan
c. Pengelolaan penggunaan obat dalam sistem kesehatan
d. Partisipasi dalam aktivitas penelitian
e. Kerjasama antardisiplin
Pada tahun 1998, FIP menerbitkan suatu statemen tentang Standard profesional mengenai
kesalahan pengobatan yang berhubungan dengan peresepan obat dengan tujuan
mendefinisikan istilah "kesalahan pengobatan" dan untuk menyarankan suatu tatanama
standard untuk mengkategorikan hal-hal seperti kesalahan dan disain sistemnya untuk
meningkatkan keselamatan dalam pabrikasi, pemesanan, pelabelan, penyiapan, administrasi
dan penggunaan obat.
Dalam, relasi antara dokter sebagai penulis resep dan apoteker sebagi penyedia obat
(pelayanan tradisional farmasi), dokter dipercaya terhadap hasil dari farmakoterapi. Dengan
berubahnya situasi secara cepat di system kesehatan, praktek asuhan kefarmasian diasumsikan
apoteker bertanggung jawab terhadap pasien dan masyarakat tidak hanya menerima asumsi
tersebut.
Dengan demikian apoteker bertanggung jawab langsung pada pasien tentang biaya,
kualitas, hasil pelayanan kefarmasian. Dalam aplikasi praktek pelayanan kefarmasian untuk
keselamatan pasien terutama medication error adalah : menurunkan risiko dan promosi
penggunaan obat yang aman.
Berbagai metode pendekatan organisasi sebagai upaya menurunkan medication error yang jika
dipaparkan menurut urutan dampak efektifitas terbesar adalah :
1. Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function& constraints) : suatu upaya
mendesain sistem yang mendorong seseorang melakukan hal yang baik, contoh :
sediaan potasium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10% Nacl 0.9%, karena sediaan
di pasar dalam konsentrasi 20% (>10%) yang mengakibatkan fatal (henti jantung dan
nekrosis pada tempat injeksi)
2. Otomasi dan komputer (Computerized Prescribing Order Entry) : membuat statis
/robotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan dukungan teknologi, contoh :
komputerisasi proses penulisan resep oleh dokter diikuti dengan ”/tanda peringatan” jika
di luar standar (ada penanda otomatis ketika digoxin ditulis 0.5g).
3. Standard dan protokol, standarisasi prosedur : menetapkan standar berdasarkan bukti
ilmiah dan standarisasi prosedur (menetapkan standar pelaporan insiden dengan
prosedur baku). Kontribusi apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi serta pemenuhan
sertifikasi/akreditasi pelayanan memegang peranan penting.
4. Sistem daftar tilik dan cek ulang : alat kontrol berupa daftar tilik dan penetapan cek ulang
setiap langkah kritis dalam pelayanan. Untuk mendukung efektifitas sistem ini diperlukan
pemetaan analisis titik kritis dalam sistem.
5. Peraturan dan Kebijakan : untuk mendukung keamanan proses manajemen obat pasien.
contoh : semua resep rawat inap harus melalui supervisi apoteker
6. Pendidikan dan Informasi : penyediaan informasi setiap saat tentang obat, pengobatan
dan pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang prosedur untuk meningkatkan kompetensi
dan mendukung kesulitan pengambilan keputusan saat memerlukan informasi
7. Lebih hati-hati dan waspada : membangun lingkungan kondusif untuk mencegah
kesalahan, contoh : baca sekali lagi nama pasien sebelum menyerahkan.
Penggunaan obat rasional merupakan hal utama dari pelayanan kefarmasian. Dalam
mewujudkan pengobatan rasional, keselamatan pasien menjadi masalah yang perlu di
perhatikan. Dari data-data yang termuat dalam bab terdahulu disebutkan sejumlah pasien
mengalami cedera atau mengalami insiden pada saat memperoleh layanan kesehatan,
khususnya terkait penggunaan obat yang dikenal dengan medication error. Di rumah sakit dan
sarana pelayanan kesehatan lainnya, kejadian medication error dapat dicegah jika melibatkan
pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang sudah terlatih. Saat ini di negara-negara maju sudah
ada apoteker dengan spesialisasi khusus menangani medication safety. Peran Apoteker
Keselamatan Pengobatan (Medication Safety Pharmacist) meliputi :
1. Mengelola laporan medication error
• Membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk
• Mencari akar permasalahan dari error yang terjadi
2. Mengidentifikasi pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk menjamin medication safety
• Menganalisis pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error
• Mengambil langkah proaktif untuk pencegahan
• Memfasilitasi perubahan proses dan sistem untuk menurunkan insiden yang sering terjadi
atau berulangnya insiden sejenis
3. Mendidik staf dan klinisi terkait lainnya untuk menggalakkan praktek pengobatan yang aman
• Mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan medication safety dan
kepatuhan terhadap aturan/SOP yang ada
4. Berpartisipasi dalam Komite/tim yang berhubungan dengan medication safety
• Komite Keselamatan Pasien RS
• Dan komite terkait lainnya
5. Terlibat didalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan obat
6. Memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan Pasien yang ada
Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu aspek
manajemen dan aspek klinik. Aspek manajemen meliputi pemilihan perbekalan farmasi,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem pengendalian
(misalnya memanfaatkan IT). Sedangkan aspek klinik meliputi skrining permintaan obat (resep
atau bebas), penyiapan obat dan obat khusus, penyerahan dan pemberian informasi obat,
konseling, monitoring dan evaluasi. Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada
pasien yang menerima pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim
pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat keberadaannya melalui kegiatan farmasi klinik
terbukti memiliki konstribusi besar dalam menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi :
1. Pemilihan
Pada tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/error dapat diturunkan dengan
pengendalian jumlah item obat dan penggunaan obat-obat sesuai formularium.
2. Pengadaan
Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman efektif dan sesuai peraturan yang
berlaku (legalitas) dan diperoleh dari distributor resmi.
3. Penyimpanan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk menurunkan kesalahan pengambilan
obat dan menjamin mutu obat:
1. Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike
medication names) secara terpisah.
2. Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan cedera
jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus. Misalnya :
3. menyimpan cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin, warfarin, insulin, kemoterapi,
narkotik opiat, neuromuscular blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik.
4. kelompok obat antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara alfabetis,
tetapi tempatkan secara terpisah
5. Simpan obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.
4. Skrining Resep
Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication error melalui
kolaborasi dengan dokter dan pasien.
1. Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor rekam
medik/ nomor resep,
2. Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter.
Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi
dokter penulis resep.
3. Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan
keputusan pemberian obat, seperti :
4. Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi, diagnosis dan
hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien
yang menerima obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk keperluan perhitungan
dosis.
5. Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium, tanda-tanda vital dan
parameter lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui data laboratorium yang
penting, terutama untuk obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis (seperti
pada penurunan fungsi ginjal).
6. Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
7. Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penggunaan
otomatisasi (automatic stop order), sistem komputerisasi (e-prescribing) dan pencatatan
pengobatan pasien seperti sudah disebutkan diatas.
8. Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan
itupun harus dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar,
dengan mengeja nama obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting
harus diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang
menerima permintaan harus menulis dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat
konfirmasi.
5. Dispensing
1. Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP.
2. Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali : pada saat
pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah, pada saat
mengembalikan obat ke rak.
3. Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.
4. Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai,
pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.
7. Penggunaan Obat
Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di rumah sakit
dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal
yang perlu diperhatikan adalah :
a. Tepat pasien
b. Tepat indikasi
c. Tepat waktu pemberian
d. Tepat obat
e. Tepat dosis
f. Tepat label obat (aturan pakai)
g. Tepat rute pemberian
b. Kondisi lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan, area
dispensing harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk
menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman.
Selain itu area kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan.
Obat untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah.
c. Gangguan/interupsi pada saat bekerja
Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik
langsung maupun melalui telepon.
d. Beban kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk mengurangi stres dan
beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.
e. Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan
insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan
dalam sistem menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya dapat menerapkan
Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Pada Pelayanan Kefarmasian yang mengacu pada
buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) (diterbitkan oleh
Depkes tahun 2006) :
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien Ciptakan kepemimpinan dan budaya
yang terbuka dan adil:
a. Adanya kebijakan Instalasi Farmasi RS/Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya tentang
Keselamatan Pasien yang meliputi kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian
nyaris cedera (KNC), Kejadian Sentinel, dan langkah-langkah yang harus dilakukan
oleh apoteker dan tenaga farmasi, pasien dan keluarga jika terjadi insiden.
b. Buat, sosialisasikan dan penerapan SOP sebagai tindak lanjut setiap kebijakan
c. Buat buku catatan tentang KTD, KNC dan Kejadian Sentinel kemudian laporkan ke
atasan langsung
Di Indonesia data tentang Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera
(KNC) dan Kejadian Sentinel masih sangat langka. Setiap kegiatan pelayanan kefarmasian baik
di rumah sakit maupun di komunitas diharapkan melakukan pencatatan dan pelaporan semua
kejadian terkait dengan keselamatan pasien meliputi KTD, KNC, dan Kejadian Sentinel.
Pelaporan di rumah sakit dilakukan sesuai dengan Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety) dan Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) yang
dikeluarkan oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit - Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI). Kejadian terkait dengan keselamatan pasien dalam pelayanan farmasi
komunitas di Indonesia belum mempunyai panduan pelaporan, sehingga kegiatan yang
dilakukan adalah pencatatan untuk monitoring dan evaluasi. Tujuan dilakukan pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien adalah untuk menurunkan Insiden Keselamatan Pasien yang terkait
dengan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel serta meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan
pasien.
Sistem pelaporan mengharuskan semua orang dalam organisasi untuk peduli terhadap
bahaya/potensi bahaya yang dapat terjadi pada pasien. Pelaporan juga penting digunakan
untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya kesalahan sehingga diharapkan dapat
mendorong dilakukannya investigasi lebih lanjut. Pelaporan akan menjadi awal proses
pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali. Setiap kejadian
dilaporkan kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menggunakan formulir yang sudah
disediakan di rumah sakit untuk diinvestigasi.
B. Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien (KP) Di Rumah Sakit (Internal)
1. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/Kejadian Sentinel) terkait dengan pelayanan
kefarmasian, wajib segera ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi
dampak/ akibat yang tidak diharapkan.
2. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi Formulir Laporan
Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada Apoteker penanggung jawab dan jangan
menunda laporan (paling lambat 2 x 24 jam).
3. Laporan segera diserahkan kepada Apoteker penanggung jawab.
4. Apoteker penanggung jawab memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilaporkan.
5. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisis yang akan dilakukan :
a. Grade biru: Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu
maksimal 1 minggu
b. Grade hijau: Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu
maksimal 2 minggu
c. Grade kuning: Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45 hari
d. Grade merah: Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45 hari.
6. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan
insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
7. Tim KP di RS akan menganalis kembali hasil investigasi dan Laporan insiden untuk
menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan Root Cause Analysis (RCA)
dengan melakukan Regrading.
8. Untuk Grade kuning/merah, Tim KP di RS akan melakukan Root Cause Analysis (RCA)
9. Setelah melakukan Root Cause Analysis (RCA), Tim KP di RS akan membuat laporan
dan Rekomendasi untuk perbaikan serta “pembelajaran” berupa : Petunjuk / Safety alert
untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
10. Hasil Root Cause Analysis (RCA), rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada
Direksi.
11. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik kepada
instalasi farmasi.
12. Apoteker penanggung jawab akan membuat analisis dan tren kejadian di satuan
kerjanya
13. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.
Dokumentasi
Semua laporan yang telah dibuat harus didokumentasikan di Instalasi Farmasi/ sarana
pelayanan kesehatan lain untuk bahan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut.
Sebagai tindak lanjut terhadap Program Keselamatan Pasien, Apoteker perlu melakukan
kegiatan monitoring dan evaluasi di unit kerjanya secara berkala. Monitoring merupakan
kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian terkait Program
Keselamatan Pasien. Evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian
terkait Program Keselamatan Pasien. Tujuan dilakukan monitoring dan evaluasi agar pelayanan
kefarmasian yang dilakukan sesuai dengan kaidah keselamatan pasien dan mencegah
terjadinya kejadian yang tidak diinginkan dan berulang dimasa yang akan datang.
Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap :
a. Sumber daya manusia (SDM)
b. Pengelolaan perbekalan farmasi (seleksi, perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan dan distribusi/penggunaan)
c. Pelayanan farmasi klinik (pengkajian resep, penyerahan obat, pemberian informasi
obat, konseling obat, rekonstitusi obat kanker, iv.admixture, total parenteral nutrition,
therapeutic drug monitoring)
d. Laporan yang didokumentasikan.
Dari hasil monitoring dan evaluasi dilakukan intervensi berupa rekomendasi dan tindak lanjut
terhadap hal-hal yang perlu diperbaiki seperti perbaikan kebijakan, prosedur, peningkatan
kinerja SDM, sarana dan prasarana ataupun organisasi. Hasil dari rekomendasi dan tindak
lanjut ini harus diumpan balikkan ke semua pihak yang terkait dengan program keselamatan
pasien rumah sakit. Untuk mengukur keberhasilan program kegiatan yang telah ditetapkan
diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap
prosedur yang telah ditetapkan.
Tentang
KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI SERAGAM RUMAH SAKIT
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Direktur
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR :….//Dir-SK/XII/2018
TANGGAL : 2018
B. PENJELASAN
1. Penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke instalasi farmasi/ruangan
a. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi
dilakukan pada jam kerja gudang farmasi (dari jam 08.00 wib – jam 17.00 wib)
b. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke
instalasi farmasi dilakukan dengan cara petugas instalasi farmasi menyerahkan bukti
permintaan perbekalan farmasi.
c. Perbekalan farmasi yang diminta oleh ruangan disediakan oleh petugas gudang
farmasi.
d. Pelayanan permintaan obat-obat terkontrol (narkotika,psikotropika, obat prekusor
dan anestesi umum) dilakukan sesuai dengan kebijakan obat terkontrol.
e. Apabila perbekalan farmasi yang diminta tidak tersedia maka gudang farmasi
mengajukan permintaan ke bagian pengadaan dan menginformasikan kepada
ruangan bahwa perbekalan farmasi tersebut masih dipesankan.
3. Penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke unit lain (keperawatan,
Laboratorium dan Radiologi).
a. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi di gudang farmasi dilakukan
pada jam kerja gudang farmasi (dari jam 08.00 wib – jam 17.00 wib)
b. Kegiatan pelayanan perbekalan dari unit lain dengan cara menulis permintaan di
lembar anfrah perbekalan farmasi nama dan jumlah perbekalan farmasi yang diminta
dan kemudian menyerahkan kepada petugas gudang farmasi.
c. Perbekalan farmasi yang diminta oleh unit lain disediakan oleh petugas gudang
farmasi.
d. Gudang farmasi hanya sebagai tempat transit perbekalan farmasi berupa reagensia
dan bahan radiologi sesuai dengan permintaan dari unit laboratorium atau radiologi.
Tentang
KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI
RUMAH SAKIT
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
Pengelolaan Perbekalan Farmasi merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan,
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian,
penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan
pelayanan.
A. Tujuan
Mengelola perbekalan farmasi yang efektif dan efesien
Menerapkan farmako ekonomi dalam pelayanan
Meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga farmasi
Mewujudkan Sistem Informasi Manajemen berdaya guna dan tepat guna
Melaksanakan pengendalian mutu pelayanan
C. Perencanaan
Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan
farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain Konsumsi, Epidemiologi, Kombinasi metode
konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
D. Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan
disetujui, melalui :
a. Pembelian :
Secara tender (oleh Panitia Pembelian Barang Farmasi)
Secara langsung dari pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan)
Sumbangan/droping/hibah
Beberapa evaluasi yang digunakan dalam pengadaan obat adalah (Pudjaningsih, 1996):
1. Frekuensi pengadaan tiap item obat setiap tahunnya
Digolongkan menjadi 3 kategori: rendah (<12), sedang (12-24), tinggi (>24).
Banyaknya obat dengan frekuensi sedang dan tinggi → kemampuan IFRS dalam
merespon perubahan kebutuhan obat dan melakukan pembelian obat dalam jumlah
sesuai dengan kebutuhan saat itu.
Pengadaan obat yang berulang menunjukkan bahwa yang tersedia di IFRS merupakan
obat dengan perputaran cepat (fast moving).
Banyaknya obat yang masuk kedalam jenis slow moving → kerugian bagi rumah sakit.
2. Frekuensi kesalahan faktur
Kriteria kesalahan faktur: adanya ketidakcocokan jenis obat, jumlah obat dalam suatu
item, atau jenis obat dalam faktur terhadap surat pesanan yang bersesuaian
Penyebab:
a. Tidak ada stok, atau barang habis di PBF
b. Stok barang yang tidak sesuai
c. Reorder atau frekuensi pemesanan terlalu banyak
3. Frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang disepakati
Tingginya frekuensi tertundanya pembayaran menunjukkan kurang baiknya manajemen
keuangan pihak rumah sakit.
Hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan pihak pemasok kepada rumah sakit sehingga
potensial menyebabkan ketidaklancaran suplai obat di kemudian hari.
E. Produksi
Merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi
steril atau nonsteril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Produksi/pembuatan sediaan farmasi:
Produksi Steril
Produksi Non Steril
Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil
F. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai dengan
aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan.
Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi:
Pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa
Barang harus bersumber dari distributor utama
Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS)
Khusus untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of origin
Expire date minimal 2 tahun
Setelah barang yang diorder tersebut datang, barang tersebut diterima bersama dengan faktur
dan di periksa oleh petugas gudang farmasi. Petugas gudang memeriksa tanggal kadaluarsa
dari obat tersebut dan nomor faktur.
Bila barang yang diperiksa telah sesuai dengan faktur, kemudian faktur tersebut ditanda tangani
oleh petugas yang menerima di bagian gudang. Setelah itu, barang dimasukkan ke dalam
gudang dan dicatat pada kartu stok.
G. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan obat-obat yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta
gangguan baik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan obat adalah sebagai
berikut:
Memelihara mutu obat.
Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab.
Menjaga kelangsungan persediaan.
Memudahkan pencarian dan pengawasan.
Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang ditetapkan:
Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya
Dibedakan menurut suhunya, kestabilannya
Mudah tidaknya meledak/terbakar
Tahan/tidaknya terhadap cahaya disertai dengan sistem informasi yang selalu menjamin
ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.
Beberapa evaluasi yang digunakan dalam penyimpanan obat adalah (Pudjaningsih, 1996):
1. Persentase kecocokan antara barang dan stok komputer atau kartu stok
Proses pencocokan harus dilakukan pada waktu yang sama untuk menghindari kekeliruan
karena adanya barang yang keluar atau masuk (adanya transaksi). Apabila tidak dilakukan
bersamaan maka kemungkinan ketidakcocokan akan meningkat.
Ketidakcocokan akan menyebabkan terganggunya perencanaan pembelian barang dan pelayanan
terhadap pasien.
2. Turn Over Ratio (TOR)
TOR = perbandingan Harga Pokok Penjualan (HPP) dalam 1 tahun dengan nilai rata – rata
persediaan pada akhir tahun.
TOR digunakan untuk mengetahui berapa kali perputaran modal dalam 1 tahun, menghitung
efisiensi dalam pengelolaan obat. Apabila TOR rendah, berarti masih banyak stok obat
yang belum terjual sehingga mengakibatkan obat menumpuk dan berpengaruh terhadap
keuntungan (Jati, 2010).
H. Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan
individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang
pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh
pasien dengan mempertimbangkan:
Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada
Metode sentralisasi atau desentralisasi
Sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi
J. Pemusnahan Resep
Dilakukan selama 4 tahun sekali, setelah dimusnahkan dibuat berita acara pemusnahan.
Dilaporkan ke kantor dinas kesehatan, dan ke kepala balai besar pemeriksaan obat dan
makanan serta kepada kepala dinas kesehatan provinsi.
Tata Cara Pemusnahan :
Resep Narkotika dihitung lembaranya
Resep lainya ditimbang
Resep dihancurkan dengan mesin penghancur, dikubur, atau dibakar.
L. Stelling
Stelling adalah kegiatan mencatat dan menyesuaikan data di kartu stock dengan keadan
sebenarnya. ini berfungsi untuk mengetahui persediaan obat agar tidak terjadi kekosongan.
Kegiatan ini harus kita lakukan setiap mengambil obat atau pun memasukan obat ke dalam
tempatnya . dengan kegiatan ini pula apoteker dapat mengevaluasi tingkat perputaran obat
tersebut.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PETUGAS YANG BERHAK MENULISKAN RESEP
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, Dokter gigi atau dokter hewan
kepada apoteker untuk membuat dan memberikan obat kepada pasien.
2. Untuk meningkatkan mutu dan keamanan pelayanan farmasi, khususnya dalam
pemberian obat kepada pasien baik di depo farmasi rawat jalan maupun depo
farmasi rawat inap, maka Rumah Sakit bertanggung jawab untuk mengidentifikasi
petugas yang berkompeten atau berwenang dan juga yang diijinkan dengan lisensi,
sertifikat, hukum atau peraturan untuk menyerahkan obat.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada point 2 diatas maka Rumah Sakit perlu
menerbitkan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit tentang petugas yang berhak
memberikan obat kepada pasien.
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Petugas yang menuliskan resep adalah dokter, dokter gigi yang berkompeten
dan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktek (SIP).
2. Perawat dan bidan diijinkan atau diperbolehkan untuk menuliskan resep yang
berupa alat kesehatan dan cairan infus dasar.
3. Daftar nama petugas yang berkompeten dalam menuliskan resep terlampir dalam
surat keputusan ini.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
7. Arsip
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PEMBENTUKAN KOMITE FARMASI DAN TERAPI
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam rangka meningkatkan mutu Rumah Sakit dan melaksanakan Visi dan
Misi Rumah Sakit , maka dipandang perlu untuk dibentuk Komite Farmasi dan
Terapi di Rumah Sakit
2. Bahwa dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, perlu ditetapkan dengan surat
keputusan.
MENGINGAT:
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
LAMPIRAN SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : …./RSUSY/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :
Pengertian
Komite Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para
staff medis dengan farmasi sehingga anggotanya terdiri dari para dokter yang mewakili
spesialisasi – spesiliasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari farmasi rumah sakit,
serta tenaga kesehatan lainnya.
Ketua komite farmasi dan terapi dipilih dari dokter yang ada jika ada ahli Farmakologi klinik
maka sebagai ketua. Sekretaris Apoteker dari IFRS. Mengadakan rapat secara teratur
sedikitnya 2 (dua) bulan sekali. Untuk RS besar 1(satu) bulan sekali.
1. Tujuan
Menerbitkan kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya.
Melengkapi staff fungsional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang
berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan.
2. Kebijakan
a. Mengatur penggunaan obat dirumah sakit sesuai dengan peraturan yang berlaku.
b. Memberikan rekomendasi pada pimpinan Rumah Sakit untuk mencapai budaya
pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional.
c. Khusus untuk pasien kelas tiga agar menggunakan obat generik.
3. Landasan Hukum
a. KEPMENKES no. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang standar pelayanan farmasi.
b. Peraturan Presiden RI no 77 tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit.
c. KEPMENKES no. 631/Menkes/SK/IV/2015 tentang pedoman peraturan internal staff
medis di rumah sakit.
Ketua :
Wakil Ketua :
Sekretaris :
Anggota :
Tentang
KEBIJAKAN PETUGAS YANG BERWENANG MEMBERIKAN OBAT
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Petugas yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah apoteker, Tenaga
Teknis Kefarmasian (TTK) dan perawat.
2. Apoteker yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah Apoteker yang
berkompeten dan memiliki Surat Tanda Registrasi apoteker (STRA) dan Surat Ijin
Praktek Apoteker (SIPA).
3. Apabila Apoteker berhalangan hadir atau tidak ada di tempat maka obat diberikan
oleh TTK yang berkompeten terlatih dan memiliki Surat Tanda Registrasi Teknis
kefarmasian (STRTTK) dan Surat Ijin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian
(SIKTTK).
4. Perawat yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah perawat yang
berkompeten dan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR)
5. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
6. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
7. Arsip
Tentang
KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang pelayanan
evaluasi penggunaan obat.
2. Bahwa untuk memantau penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan
untuk menjamin obat obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan
terjangkau oleh pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pelayanan Informasi obat oleh IFRS Rumah
Sakit sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah
Sakit
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsi
1. Definisi
Program evaluasi penggunaan obat (EPO) di rumah sakit adalah suatu proses jaminan
mutu yang terstruktur, dilaksanakan terus-menerus, dan diotorisasi rumah sakit, ditujukan untuk
memastikan bahwa obat-obatan digunakan dengan aman, tepat, dan efektif.
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, penggunaan obat yang ekonomis harus juga
diberikan prioritas tinggi dan karena itu, menjadi suatu komponen dari definisi ini. Definisi
program EPO tersebut di atas difokuskan pada penggunaan obat secara kualitatif.
Sasaran EPO secara umum adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan Pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus menerus
2. Meningkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat
3. Mengidentifikasi bidang yang perlu untuk materi edukasi berkelanjutan
4. Meningkatkan kemitraan antar pribadi professional pelayanan kesehatan
5. Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan
6. Mengurangi resiko tuntutan hukum pada rumah sakit
7. Mengurangi biaya rumah sakit dan perawatan pasien sebagai akibat dosis akurat, efek
samping yang lebih sedikit, dan waktu hospitalisasi yang lebih singkat.
Jaminan mutu mendorong suatu perspektif solusi masalah untuk meningkatkan pelayanan
pasien. Untuk solusi permasalahan yang dihadapi sangatlah penting, unsur-unsur dasar berikut
yang harus diperhatikan:
1. Kriteria / standar penggunaan obat, dalam penggunaan obat harus yang dapat
diukur (standar) yang menguraikan penggunan obat yang tepat.
2. Mengidentifikasi masalah penting dan yang mungkin, memantau dan menganalisis
penggunaan obat secara terus menerus, direncanakan secara sistematik untuk
mengidentifikasi masalah nyata atau masalah yang mungkin. Secara ideal, kegiatan ini
sebaiknya diadakan secara prospektif.
3. Menetapkan prioritas untuk menginvestigasi dan solusi masalah.
4. Mengkaji secara objektif, penyebab, dan lingkup masalah dengan menggunakan
Tentang
KEBIJAKAN PENGADAAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit ,
maka diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang Pengadaan
Perbekalan Farmasi.
2. Bahwa perbekalan farmasi harus dikelola dan menjadi tanggung jawab Instalasi
Farmasi.
3. Bahwa untuk menjamin mutu pelayanan rumah sakit maka perlu ditetapkan Surat
Keputusan Direktur tentang Pengadaan Perbekalan Farmasi.
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
1. Pengertian
Pelayanan kefarnasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
5. Prosedur pelayanan
a. Pemilihan / seleksi
Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit,
identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan criteria pemilihan dengan
memprioritaskan ibat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar
obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan
Terapi untuk menentukan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian.
b. Perencanaan
Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi
yang seusai dengan kebutuhan dan anggaranm utnuk menghindari kekosongan ibat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain Konsumsi, Epidemiologi, Kombinasi
metode komsumsi dan Pedoman Perencanaan:
1. DOEN, Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, ketentuan
setempat yang berlaku.
2. Data catatan medic
3. Anggaran yang tersedia
4. Penetapan prrioritas
5. Siklus penyakit
6. Sisa persediaan
7. Data pemakaian periode yang lalu
8. Rencana pengembangan
c. Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan
disetujui, melalui:
1. Pembelian:
a. Secara tender (oleh panitia / unit layanan pengadaan)
b. Secara langsung dari pabrik/distributor.pedagang besar farmasi/rekanan.
2. Produksi / pembuatan sediaan farmasi
d. Pengemasan / Produksi
Merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk dan pengemasan kembali sediaan farmasi
steril atau nonsteril untuk memnuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakir.
Kriteria obat yang diproduksi:
1. Sediaan farmasi dengan formula khusus
2. Sediaan farmasi dengan harga murah
3. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil
4. Sediaan farmasi yang tidak tersedia dipasaran
e. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai
dengan aturan kefarmasian melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau
sumbangan.
Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi:
1. Pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa
2. Barang harus bersumber dari distribusi utama
3. Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS)
4. Khusus untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of origin
5. Expire date minimal 2 tahun
f. Penyimpanan
Merupakan kegiatan pengaturan perbakalan farmasi menurut persyaratan yang
ditetapkan:
1. Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya
2. Dibedakan menurut suhunya, kestabilannya
3. Mudah tidaknya meledak atau terbakar
4. Tahan/tidaknya terhadap cahaya disertai dengan system informasi yang selalu
menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan
g. Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan
individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang
pelayanan medis.
1. Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pasien rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan
dengan system persediaan life saving di ruangan dan system resep perorangan.
2. Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pasien rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dengan
system resep perorangan oleh apotik rumah sakit.
3. Pendistribusian perbekalan farmasi di luar jam kerja
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pasien di luar jam kerja yang diselenggarakan oleh:
a. Apotik rumah sakit yang dibuka 24 jam
b. Ruang rawat yang menyediakan perbekalan farmasi emergensi.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PERESEPAN, PEMESANAN DAN PENCATATAN OBAT
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa pelaksanaan peresepan, pemesanan dan pencatatan obat dan data pasien
mengenai penggunaan untuk dilakukan oleh petugas IFRS.
2. Pelaksanaan peresepan, pemesanan dan pencatatan obat yang dilakukan bertujuan agar
penggunaan obat dengan memperhatikan keamanan penggunaan obat oleh pasien.
3. Pengelolaan obat dilakukan oleh petugas IFRS dan melakukan pendokumentasian
pemesanan dan penggunaan obat.
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Pemesanan obat yang dilakukan di IFRS dengan sistem pemesanan reguler yang
menggunakan fasilitas media komunikasi.
2. Peresepan obat yang dilakukan oleh petugas IFRS sesuai dengan resep yang ditulis
oleh pihak penulis resep dan pengelolaan resep dilakukan oleh petugas IFRS.
3. Pencatatan obat yang tersedia dalam lemari penyimpanan dicatat dalam kartu stok dan
program komputer secara lengkap.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
Waktu pengiriman barang berbeda-beda, ada yang sekarang pesan, besok barang dikirim,
adapula yang selang satu hari setelah pemesanan.Sistem pembayaran yang dilakukan terhadap
Pedagang Besar Farmasi (PBF) dapat dilakukan secara tunai ataupun kredit.
Pemesanan Obat
Pemesanan obat yang dilakukan di IFRS yaitu dengan system pemesanan regular (umum).
Oleh karena itu, surat pesanan yang digunakan adalah surat pesanan regular, atau bisa juga
menggunakan fasilitas media komunikasi.
Mencocokan nama barang, nomor batch, jumlah barang, harga barang, expired date dengan
keterangan yang tertera pada surat pesanan dan faktur.
Setelah semua barang sesuai dengan pesanan maka faktur diparaf dan distempel. Namun
apabila terjadi ketidaksesuaian barang, maka pihak gudang farmasi meretur barang tersebut
disertai dengan bukti returnya.
Faktur asli diberikan kepada ke PBF, sedangkan copyannya disimpan sebagai arsip gudang
farmasi. Apabila pembayaran obat sudah lunas faktur asli yang berada di PBF diserahkan ke
gudang farmasi.
1. Bentuk sediaan (tablet, sirup, drops, salep, dan bentuk sediaan lainnya) yang disusun
secara alfabetis.
2. Berdasarkan FIFO (First In First Out), yaitu obat-obat yang pertama masuk dan pertama
keluar dan FEFO (First Expired First Out), yaitu obat-obat yang kadaluarsanya cepat,
pertama keluar.
3. Berdasarkan sifat obatnya yang meliputi penyimpanan obat berdasarkan suhu yang telah
ditentukan.
4. Berdasarkan golongan obatnya, seperti untuk obat golongan bebas dan bebas terbatas
disimpan di etalase bagian depan (tidak apa-apa terlihat oleh konsumen), karena
golongan obat ini dijual secara bebas kepada pasien. Sementara untuk golongan obat
keras dan keras terbatas disimpan di etalase bagian belakang (tidak boleh terlihat oleh
konsumen), karena obat golongan ini tidak dijual secara bebas kepada pasien. Begitu
pula, untuk golongan obat psikotropika disimpan di suatu lemari yang terpisah dari obat-
obat lainnya.
Obat
Bahan Baku
Obat Tradisional (Obat asli Indonesia)
Alat Kesehatan
Kosmetik
Obat Narkotik
Obat Psikotropika
Obat Keras
Obat Obat Tertentu
Obat Bebas Terbatas
Obat Bebas
Obat Prekusor
1. Phenobarbital (Luminal) 30 mg
2. Analsik tablet
3. Diazepam 2 mg
4. Arkine tablet
5. Stesolid rektal 5 mg
6. Stesolid rektal 10 mg
Pemesanan obat psikotropika dapat dilakukan dengan menyertakan Surat Pesanan (SP) khusus
dan dipisahkan dari SP obat-obat lain. SP obat psikotropika ini dibuat rangkap tiga, hanya saja
pemesanan obat psikotropika dapat dipesan dari beberapa Pedagang Besar Farmasi (PBF)
tertentu.
Administrasi IFRS
Administrasi Pembukuan
Administrasi pembukuan ini berguna untuk mencatat seluruh kegiatan-kegiatan dan transaksi-
transaksi yang telah dilaksanakan. Di IFRS, buku-buku yang digunakan adalah sebagai berikut :
Laporan Penjualan
Laporan penjualan berfungsi untuk mencatat hasil dari penjualan, untuk mengetahui omset
penjualan yang digunakan sebagai dasar laporan keuangan di IFRS setiap bulannya ke WaDir
Keuangan.
Buku Penerimaan Barang.
Buku penerimaan barang dibuat untuk mencatat pembelian barang, retur penjualan.
Buku Pencatatan Resep.
Buku yang digunakan untuk mengarsipkan resep-resep yang ada di IFRS.
Buku Pencatatan Psikotropika.
Buku yang digunakan untuk mencatat pemasukkan dan pengeluaran obat psikotropika.
Tentang
KEBIJAKAN PENGADAAN OBAT YANG TIDAK TERSEDIA DI
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dengan memperhatikan jenis pelayanan di Rumah Sakit dan untuk memenuhi
kebutuhan pasien, Instalasi Farmasi menetapkan obat-obat yang harus tersedia,
sehingga dapat memenuhi kebutuhan saat diresepkan atau dipesan oleh pembuat
resep di setiap unit pelayanan.
2. Bahwa ketersediaan obat dengan jumlah dan jenis yang cukup, sesuai dengan
kebutuhan Rumah Sakit harus diupayakan agar dapat memenuhi kebutuhan dan
meningkatkan pelayanan di Rumah Sakit.
3. Bahwa penetapan obat yang harus tersedia adalah suatu proses yang
mempertimbangkan kebutuhan dan keselamatan pasien dan faktor ekonomi.
4. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pelayanan, penggantian obat
yang tidak tersedia, dapat dilaksanakan bila obat pengganti telah mendapat persetujuan
dari pembuat resep.
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Bila terjadi obat yang dibutuhkan tidak tersedia, maka petugas farmasi memberitahukan
kepada pembuat resep tentang kekurangan atau kekosongan obat yang diminta dan
saran substitusinya
2. Penggantian obat merek dagang dengan obat generik atau obat merek dagang lain
dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pembuat resep yang
dicatat/didokumentasikan sebagai bukti verifikasi bahwa benar penggantian obat telah
disetujui.
3. Bila penggantian obat yang tidak tersedia, tidak disetujui oleh pembuat resep maka
pengadaan obat sementara dapat dilakukan melalui apotik luar.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
7. Arsip
Pelayanan pembelian obat yang tidak tersedia di Instalasi Farmasi Rumah Sakit berlaku untuk
pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dimana obat tersebut:
1. Stok yang tersedia di RS habis/kosong.
2. Obat diluar formularium yang sangat dibutuhkan pasien dan tidak ada padanannya di
formulairum.
3. Obat tersebut bukan merupakan suplemen.
Prosedur:
1. Pembuatan Copy Resep harus terkendali dan ditujukan untuk kepentingan pasien.
2. Petugas harus menggali informasi pasien dan mampu memberi motivasi jika ada obat
yang tidak dibeli pasien atau dibeli sebagian.
3. Petugas wajib mencari alternatif pengganti (substitusi) jika dokter menulis resep obat
non-formularium atau stok farmasi kosong dengan memperhatikan aspek farmasetik dan
klinis dari sediaan obat tersebut
4. Apoteker diperbolehkan mengganti resep obat-obatan dan atau alat kesehatan dari
dokter tanpa harus melakukan konfirmasi sejauh kandungan dan kegunaan obat-obatan
dan atau alat kesehatan yang diresepkan tersebut sebanding secara kelas farmakologi
dan atau nama generic
5. Penulisan Copy Resep harus memperhatikan:
a. Penulisan nama obat harus sesuai ISO/MIMS
b. Jika tidak ada di kedua buku tersebut wajib konfirmasi kepada dokter penulis resep
tentang zat aktif obat tersebut kemudian menuliskan zat aktif obat di sebelah tulisan
brand name nya dalam tanda kurung. Bila kekuatan sediaan dari suatu produk obat
lebih dari satu maka dosis yang dikehendaki harus ditulis dengan jelas sesuai dengan
resep asli dari dokter.
c. Aturan pakai (signa) harus jelas dan benar sesuai resep asli dari dokter
d. Keterangan jumlah yang telah diserahkan atau dibeli harus jelas dan benar (jika resep
ada tulisan iter pemberian pertama beri keterangan det orig, selanjutnya det iter 1x
dan seterusnya sejumlah angka iter resep asli)
6. Copy Resep karena obat non-formularium menjadi tugas Apoteker Jaga untuk
mengkonfirmasikan dan memastikan dibelikan di apotek luar atau diganti dengan
sediaan yang ada.
7. Copy resep karena obat formularium yang stoknya habis bisa dibelikan di apotek luar
atau diganti dengan sediaan yang ada
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PENGOBATAN SENDIRI / SWAMEDIKASI RUMAH SAKIT
Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;
MENIMBANG:
1. Bahwa yang dimaksud dengan pengobatan sendiri/swamedikasi adalah pengobatan yang
dilakukan sendiri oleh pasien untuk mengatasi sakit ringan.
2. Bahwa untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya
Peraturan Direktur tentang Pengobatan sendiri oleh pasien / Swamedikasi di Rumah Sakit
sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : ….//Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :
PENGOBATAN SENDIRI/SWAMEDIKASI
Swamedikasi, atau pengobatan sendiri adalah perilaku untuk mengatasi sakit ringan sebelum
mencari pertolongan ke petugas atau fasilitas kesehatan. Lebih dari 60% dari anggota
masyarakat melakukan swamedikasi, dan 80% di antaranya mengandalkan obat modern.
Swamedikasi adalah Pengobatan diri sendiri yaitu penggunaan obat-obatan atau menenangkan
diri bentuk perilaku untuk mengobati penyakit yang dirasakan atau nyata. Pengobatan diri
sendiri sering disebut dalam konteks orang mengobati diri sendiri, untuk meringankan
penderitaan mereka sendiri atau sakit. Dasar hukumnya permekes
No.919/MENKES/PER/X/1993, secara sederhana swamedikasi adalah upaya seseorang dalam
mengobati gejala sakit atau penyakit tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Namun
bukan berarti asal mengobati, justru pasien harus mencari informasi obat yang sesuai dengan
penyakitnya dan apoteker-lah yang bisa berperan di sini. Apoteker bisa memberikan informasi
obat yang objektif dan rasional. Swamedikasi boleh dilakukan untuk kondisi penyakit yang
ringan, umum dan tidak akut. Setidaknya ada lima komponen informasi yang yang diperlukan
untuk swamedikasi yang tepat menggunakan obat modern, yaitu pengetahuan tentang
kandungan aktif obat (isinya apa?), indikasi (untuk mengobati apa?), dosage (seberapa banyak?
seberapa sering?), effek samping, dan kontra indikasi (siapa/ kondisi apa yang tidak boleh
minum obat itu?).
Swamedikasi bermanfaat dalam pengobatan penyakit atau nyeri ringan, hanya jika dilakukan
dengan benar dan rasional, berdasarkan pengetahuan yang cukup tentang obat yang digunakan
dan kemampuan nengenali penyakit atau gejala yang timbul. Swamedikasi secara serampangan
bukan hanya suatu pemborosan, namun juga berbahaya.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN RETUR PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
LAMPIRAN SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : …./Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :
Tentang
KEBIJAKAN PENGAMANAN ATAU PERLINDUNGAN PERBEKALAN FARMASI
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa Rumah Sakit harus memastikan melakukan pengelolaan obat (manajemen obat)
dengan baik secara menyeluruh melalui system manajemen perbekalan farmasi yang
tepat.
2. Bahwa salah satu pengelolaan obat adalah untuk memastikan obat terlindungi dari
kehilangan atau pencurian baik dari farmasi atau dari setiap lokasi yang lain dimana obat
disimpan atau disalurkan.
3. Bahwa untuk menjamin obat terlindungi dari kehilangan atau pencurian maka perlu
ditetapkan Surat Keputusan Direksi tentang pengamanan atau perlindungan perbekalan
farmasi.
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : //Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :
Penyimpanan perbekalan farmasi adalah proses penyiapan stok dalam rangka pemenuhan
kebutuhan selama proses pelayanan berjalan. Beberapa ketentuan terkait dengan proses
penyimpanan perbekalan farmasi.
1. Inspeksi/pengawasan tempat dan fasilitas penyimpanan
a. Untuk menjamin standarisasi penyimpanan obat dengan menggunakan prosedur
pemantauan/inspeksi fasilitas penyimpanan perbekalan farmasi secara periodik.
b. Monitoring dan pengendalian fasilitas ruang penyimpanan obat dilakukan oleh
petugas yang sedang dinas sesuai jadwal yang telah ditetapkan, materi
pemerikasaan meliputi:
1. Kebersihan ruang/tempat penyimpanan.
2. Keamanan ruang penyimpanan, kunci, gembok, cctv, lainnya.
3. Penempatan posisi perbekalan farmasi pada tempat penyimpanan.
4. Fungsi dari fasilitas penyimpanan yang meliputi AC pendingin, kulkas,
pallet, rak, lemari, kardus/box dan lainnya.
5. Kebocoran atap dari aliran air hujan atau rembesan air pada lantai.
6. Fungsi dari aliran listrik ruang/tempat penyimpanan.
7. Ada atau tidaknya serangga pengerat, semut, rayap dan lainnya.
8. Ada atau tidaknya hewan pengerat, tikus dan lainnya.
2. Monitoring suhu serta kelembapan ruangan dilakukan setiap hari oleh petugas yang
sedang bertugas diruangan tersebut. Monitoring dilakukan selama 2(dua) tahap yaitu
pada saat pertama kali masuk ruangan (shift pagi) dan pada saat akan meninggalkan
ruangan (shift sore). Kegiatan monitoring dan pengendalian dilakukan dengan
memeriksa dan mencatat suhu lemari pendingin, suhu ruangan, kelembapan ruang pada
kartu monitor suhu, jika ditemukan suhu tidak sesuai standar maka dibuat laporan
kepada bagian maintenance untuk dilakukan kalibrasi dan perbaikan alat dalam waktu
secepatnya.
3. Sediaan Nutrisi yang terbuat dari asam amino dan lipid cair serta sediaan nutrisi lainnya,
maka penyimpanan sediaan tersebut dilakukan pada suhu ruangan dengan kelembapan
normal dan terhindar dari cahaya matahari secara langsung. Pengaturan penyimpanan
produk nutrisi dilakukan sesuai dengan prosedur penyimpanan produk nutrisi parenteral.
5. Sediaan vaksin disimpan dalam suhu dingin, yaitu disimpan di refrigerator yang
dilengkapi dengan indikator suhu dan dimonitor setiap hari sehingga diharapkan dapat
melindungi sediaan farmasi dari kemungkinan kerusakan sediaan akibat suhu
penyimpanan yang tidak terkendali.
7. Akses masuk ke ruang penyimpanan di IFRS dan Gudang Farmasi terbatas hanya untuk
petugas dan orang-orang yang berkepentingan.
Tentang
KEBIJAKAN PELABELAN OBAT YANG DIKELUARKANKAN DARI WADAH ASLI
MENIMBANG:
1. Bahwa untuk menjamin keamanan penggunaan obat yang tepat, maka obat yang di
gunakan di Rumah Sakit harus diberi label sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
yang telah ditetapkan.
2. Bahwa kegitan pelabelan obat yang tepat sesuai dengan spesifikasi dan pesyaratan,
dilaksanakan untuk menjamin keamanan obat yang akan digunakan di Rumah Sakit.
3. Bahwa agar kegiatan pelabelan obat dapat dilaksanakan dengan baik, diperlukan suatu
kebijakan melalui peraturan Direktur.
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
1. Obat yang dikeluarkan dari wadah asli hanya untuk obat lepasan atau racikan.
2. Pemberian label/etiket obat berdasarkan rute pemberian (obat oral atau obat luar).
3. Obat oral sedian padat (tablet, kaplet, kapsul dan pil) menggunakan etiket plastik dengan
menuliskan nomor resep, tanggal resep, nama pasien, nama obat, dosis obat, aturan/durasi
pemakaian obat, sebelum/sesudah makan, habiskan/jika perlu.
4. Obat racikan sedian padat (puyer dan kapsul) pemakaian oral; untuk puyer dikemas ke dalam
kertas puyer beridentitas logo/alamat Rumah Sakit dan untuk racikan kapsul dimasukkan ke
dalam cangkang kapsul nomor yang sesuai, selanjutnya dimasukkan ke dalam etiket plastik
dengan menuliskan nomor resep, tanggal resep, nama pasien, nama obat, dosis obat,
aturan/durasi pemakaian obat, sebelum/sesudah makan, habiskan/jika perlu.
5. Obat racikan semi padat (lotion, krim, salep) pemakaian luar; racikan dimasukkan ke dalam pot
plastik yang sesuai ukuran kemudian ditempelkan label/etiket biru dengan menuliskan nomor
resep, tanggal resep, nama pasien, aturan/durasi pemakaian obat, rute pemberian obat.
6. Obat racikan larutan (sirup) ditempelkan label/etiket putih dengan menuliskan nomor resep,
tanggal resep, nama pasien, aturan/durasi pemakaian obat, sebelum/sesudah makan,
habiskan/jika perlu, dan tanggal stabilitas obat (khususnya antibiotik)
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI EMERGENCY
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa perbekalan emergency adalah perbekalan emergency yang digunakan dalam
keadaan darurat dan disimpan dalam troli emergency, ditempatkan di seluruh ruang
keperawatan dan unit khusus dan poliklinik rawat jalan.
2. Bahwa pengelolaan perbekalan farmasi di troli emergency yang baik dan tepat dapat
meningkatkan mutu pelayanan farmasi.
3. Bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian khususnya dalam hal
pengelolaan perbekalan farmasi emergency diperlukan adanya kebijakan Driektur Rumah
Sakit.
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : …. /RSUSY/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :
1. Perbekalan farmasi emergency disimpan di troli emergency yang terkunci dengan menggunakan
kunci plastik yang bernomor seri berurutan. Troli emergency di bagi atas troli emergency
pediatrik dan dewasa. Kunci troli emergency dipegang oleh perawat penanggung jawab pada
shift tersebut.
3. Jenis dan jumlah obat obat emergensi yang disimpan di dalam troli sesuai dengan daftar yang
telah ditetapkan.
a. Daftar perbekalan farmasi yang disimpan di luar troli emergency:
Oxygen Supply
Defibrilator dengan monitor
Stetoskop
Lembar informasi khusu obat emergency
Kartu pengendali stok
Tentang
KEBIJAKAN PANDUAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter gigi atau Dokter hewan
kepada Apoteker untuk membuat dan memberikan obat kepada pasien.
2. Bahwa Rumah Sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan, pemesanan dan
pencatatan resep, karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesanan yang
mengacaukan keselamatan pasien bisa menunda pengobatan.
3. Bahwa Rumah Sakit perlu mengatur tindakan untuk mengurangi tidak terbacanya resep.
4. Bahwa untuk mekanisme tersebut diatas maka rumah sakit perlu menerbitkan Panduan
tentang Penulisan Resep.
MENGINGAT:
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Resep merupakan permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker, untuk
menyediakan obat dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Obat
merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat
merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Anonim,
2006).
Obat merupakan salah satu bagian dalam peningkatan kualitas hidup pasien sehingga
diperlukan adanya manajemen yang harus berperan secara kritis untuk memastikan
keselamatan pasien (Anonim, 2011).
Rumah sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan, pemesanan dan pencatatan
yang aman diarahkan oleh kebijakan dan prosedur. Para staf medis, keperawatan, farmasi dan
administrative berkolaborasi untuk mengembangkan dan memonitor kebijakan dan prosedur.
Staf yang terkait dilatih untuk praktek penulisan resep, pemesanan dan pencatatan yang benar.
Karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesanan yang mengacaukan keselamatan
pasien bisa menunda pengobatan, maka kebijakan rumah sakit mengatur tindakan untuk
mengurangi tidak terbacanya resep.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk
membuat cara penulisan resep yang tepat untuk mengurangi kesalahan pemberian obat
(medication errors) berdasarkan system yang ada dirumah sakit.
B. DEFINISI
Penulisan resep yang tepat adalah Tata cara penulisan resep yang tepat sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Rumah Sakit .
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum :
Meningkatkan keselamatan pasien dalam kebenaran pemberian obat
2. Tujuan Khusus:
a. Meningkatkan kesadaran sejawat penulisan resep akan pentingnya penulisan resep
yang dapat dibaca.
b. Mengurangi tidak terbacanya resep yang dapat memperpanjang waktu tunggu obat.
c. Mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat
d. Meningkatkan mutu pelayanan farmasi dalam rangka penulisan resep yang tepat.
BAB II
RUANG LINGKUP KEGIATAN
Secara umum seluruh ruangan bagian klinis yaitu bagian keperawatan, penunjang medis dan
unit khusus.
Ruang lingkup penulisan resep yaitu :
1. Poliklinik rawat jalan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter umum, dokter
spesialis dan dokter gigi.
2. Ruang perawatan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter umum,
dokter spesialis dan dokter gigi.
3. Bidan dan perawat hanya boleh menulis resep berupa alat kesehatan, cairan infuse.
4. Bidan dan perawat yang di ijinkan menulis resep adalah bidan dan perawat yang
memiliki STR (Surat Tanda Registrasi).
BAB III
TATA LAKSANA
BAB IV
DOKUMENTASI
Penulisan resep yang tepat di Rumah Sakit merupakan komitmen Rumah Sakit yang di dukung
dengan adanya :
A. Kebijakan
1. Kebijakan Penulisan Resep yang Tepat.
2. Kebijakan Penanggulangan Resep yang Tidak Terbaca.
3. Kebijakan Telaah Resep
B. SPO
1. SPO Penulisan Resep yang Tepat.
2. SPO Penanggulagan Resep yang Tidak Terbaca.
3. SPO Telaah Resep.
BAB V
PENUTUP
Demikianlah panduan ini disusun sebagai pedoman dalam penulisan resep. Panduan ini masih
jauh dari sempurna, oleh sebab itu panduan akan dievaluasi kembali setiap 2 sampai 3 tahun
sesuai dengan tuntutan layanan dan standar akreditasi baik akreditasi Nasional maupun standar
International.
DAFTAR PUSTAKA
Tentang
KEBIJAKAN KRITERIA INFORMASI SPESIFIK PASIEN YANG DIBUTUHKAN UNTUK TELAAH
RESEP
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan telaah resep pada pasien dengan kriteria spesifik.
2. Bahwa agar penyelenggaraan telaah resep pada pasien dengan criteria spesifik dapat
terlaksana dengan baik, perlu adanya kebijakan Direktur Rumah Sakit .
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication error melalui
kolaborasi dengan dokter dan pasien.
1. Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor rekam medik/
nomor resep
Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan keputusan
pemberian obat, seperti :
a. Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi, diagnosis dan
hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien
yang menerima obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk keperluan perhitungan
dosis.
b. Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium, tanda-tanda vital dan
parameter lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui data laboratorium yang
penting, terutama untuk obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis (seperti
pada penurunan fungsi ginjal).
2. Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
3. Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penggunaan otomatisasi
(automatic stop order), sistem komputerisasi (e-prescribing) dan pencatatan pengobatan pasien
seperti sudah disebutkan diatas.
4. Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun harus
dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan mengeja nama
obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus diberikan kepada petugas
yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang menerima permintaan harus menulis
dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI SERAGAM RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
MENGINGAT:
MEMUTUSKAN
Dr. Sutomo Raharjo, SpA
MENETAPKAN :
Direktur
1. Penyaluran perbekalan Farmasi menjadi tanggung
jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit
2. Tata aturan tentang penyaluran perbekalan farmasi seragam sebagaimana terlampir.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
TEMBUSAN Yth :
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
B. PENJELASAN
1. Penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke instalasi farmasi/ruangan
a. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi
dilakukan pada jam kerja gudang farmasi (dari jam 08.00 wib – jam 17.00 wib)
b. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke
instalasi farmasi dilakukan dengan cara petugas instalasi farmasi menyerahkan bukti
permintaan perbekalan farmasi.
c. Perbekalan farmasi yang diminta oleh ruangan disediakan oleh petugas gudang
farmasi.
d. Pelayanan permintaan obat-obat terkontrol (narkotika,psikotropika, obat prekusor
dan anestesi umum) dilakukan sesuai dengan kebijakan obat terkontrol.
e. Apabila perbekalan farmasi yang diminta tidak tersedia maka gudang farmasi
mengajukan permintaan ke bagian pengadaan dan menginformasikan kepada
ruangan bahwa perbekalan farmasi tersebut masih dipesankan.
2. Penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke unit lain (keperawatan,
Laboratorium dan Radiologi):
a. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi di gudang farmasi dilakukan
pada jam kerja gudang farmasi (dari jam 08.00 wib – jam 17.00 wib)
b. Kegiatan pelayanan perbekalan dari unit lain dengan cara menulis permintaan di
lembar anfrah perbekalan farmasi nama dan jumlah perbekalan farmasi yang diminta
dan kemudian menyerahkan kepada petugas gudang farmasi.
c. Perbekalan farmasi yang diminta oleh unit lain disediakan oleh petugas gudang
farmasi.
d. Gudang farmasi hanya sebagai tempat transit perbekalan farmasi berupa reagensia
dan bahan radiologi sesuai dengan permintaan dari unit laboratorium atau radiologi.
MENIMBANG:
1. Bahwa untuk mendapatkan pelayanan kefarmasian yang bermutu, berkualitas, dan
mempertimbangkan keselamatan pasien di Rumah Sakit diperlukan suatu pedoman
Pelabelan Obat.
2. Bahwa pelabelan obat yang tepat adalah penentu utama dari ketepatan pemberian obat
dan dapat mengurangi kesalahan pemberian obat.
3. Bahwa untuk memberikan obat yang tepat dan benar, maka perlu ditetapkan Surat
Keputusan Direktur tentang Pelabelan Obat di Rumah Sakit .
MENGINGAT:
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
TEMBUSAN Yth :
1. Wadir Pelayanan Medis
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
1. Pelabelan perbekalan farmasi adalah pemberian label atau etiket pada obat, bahan obat dan
bahan kimia.
2. Pelabelan perbekalan farmasi dilakukan oleh petugas farmasi (Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian)
3. Pelabelan perbekalan farmasi dilakukan pada obat minum (tablet, kaplet, kapsul, puyer, sirup),
obat suppositoria, salep, krim, lotion, tetes mata, tetes telinga, obat semprot, dan obat injeksi.
4. Penyimpanan Obat : Obat, sediaan farmasi dan bahan kimia yang sudah dikeluarkan dari wadah
aslinya harus diberi label atau etiket.
5. Pelabelan obat, sediaan farmasi dan bahan kimia yang dikeluarkan dari bahan asli meliputi :
a. Nama
b. Konsentrasi ( kekuatan )
c. Tanggal kadaluarsa
d. Peringatan
6. Produksi :
Semua hasil produksi harus diberi label atau etiket yang berisi :
c. Cara penyimpanan.
e. Beyond Use Date (untuk obat racikan maksimal 30 hari digunakan setelah peracikan).
a. Nama
b. Konsentrasi ( kekuatan )
c. Tanggal kadaluarsa
d. Peringatan
8. Penyiapan :
a. Semua Perbekalan Farmasi yang disiapkan dari Instalasi Farmasi harus diberi label atau
etiket.
b. Semua perbekalan farmasi yang disiapkan perawat harus diberi label atau etiket.
1. PENDAHULUAN
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu
penting yang terkait dengan keselamatan (safety)di rumah sakit yaitu : Keselamatan pasien
(patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan
peralatan di rumah sakit yang berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas,
keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan
dan keselamatan “bisnis: rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit.
Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit.
Namum harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena itu
keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait
dengan isu mutu dan citra perumahsakitan.
3. LATAR BELAKANG
Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif Kejadian Tidak
Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Kriteria/Syarat :
a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, mengacu pada visi,
misi dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis
terkini, praktek bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai
dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”
b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan :
pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan dan keuangan.
c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian Tidak
Diharapkan, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus resiko tinggi.
d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk
menemukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
4. TUJUAN UMUM DAN KHUSUS
a. Tujuan Umum
Menurunnya Insiden Keselamatan Pasien (KTD dan KNC) dan meningkatnya mutu pelayanan
dan keselamatan pasien.
b. Tujuan Khusus
1) Terlaksananya sistem pelaporan dan pencatatan insiden keselamatan pasien di rumah
sakit.
2) Diketahui penyebab insiden keselamatan pasien sampai pada akar masalah.
3) Didapatkannya pembelajaran untuk perbaikan asuhan kepada pasien agar dapat
mencegah kejadian yang sama di kemudian hari.
2) Bagaimana memulainya?
Dibuat suatu sistem pelaporan insiden di rumah sakit meliputi kebijakan, alur
pelaporan, formulir pelaporan dan prosedur pelaporan yang harus disosialisasikan
pada semua karyawan.
3) Apa yang harus dilaporkan?
Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi
ataupun yang nyaris terjadi.
E. SASARAN
Seluruh karyawan RS
Sub-komite KPRS RS
7. JADWAL PELAKSANAAN KEGIATAN
JA PE M AP ME JU JU AG SE OK NO DE
NO KEGIATAN
N B AR R I N L T P T P S
1. Pelatihan KTD & KNC
2. Monitoring berkala
9. PENUTUP
Demikian Program Monitoring Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) dan Kejadian Nyaris Cedera
(KNC) RS ini dibuat agar. Keselamatan pasien rumah sakit ini dapat terjamin. Diharapkan
partisipasi dari berbagai pihak untuk ikut memberi sumbangan saran, perbaikan dan
penyempurnaan program ini dalam rangka terjaminnya keselamatan pasien rumah sakit di RS
Harapan kami, program ini dapat menjadi alat bagi RS dalam upaya meningkatkan kinerja sub
komite keselamatan pasien rumah sakit di RS, khususnya yang berkaitan dengan mutu
pelayanan keselamatan pasien rumah sakit.
Tangerang, Mengetahui :
Ketua Sub-komite KPRS Direktur,
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
A. KebijakanUmum :
1. Untuk kebutuhan pelayanan, pegawai dapat dikenakan alih tugas ke posisi yang
lain dengan uraian tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Alih tugas meliputi
rotasi dan mutasi kerja.
2. Rotasi adalah perpindahan pegawai ke unit kerja lain tetapi tetap dengan
pekerjaan (job family) yang sama untuk memenuhi kebutuhan ; status
kepegawaian meliputi grade, golongan, maupun tingkat kompetensi tidak
berubah.
3. Mutasi adalah perpindahan pegawai ke unit kerja lain dengan pekerjaan (job
family) yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan ; status kepegawaian meliputi
grade, golongan, maupun tingkat kompetensi berubah.
4. Rotasi dan mutasi dilakukan dengan lebih dahulu memberitahukan kepada
pegawai yang bersangkutan dan ditetapkan dengan keputusan Surat Keputusan
Direktur.
5. Rotasi maupun mutasi dapat terjadi karena promosi maupun demosi yang diatur
secara khusus pada kebijakan tentang system kepegawaian.
6. Pegawai dapat juga mengalami pelimpahan tanggungjawab dari profesi lain
untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kepada pasien, misalnya alih tanggung
jawab tindakan tertentu dari dokter kepada perawat. Pelimpahan wewenang
dalam tindakaan infasif dari dokter kepada perawat terlebih dahulu diberikan
informasi oleh dokter.
B. KebijakanKhusus :
1. Pelaksanaan alih tugas di unit kerja terkait meliputi :
a. Pemaparan uraian tugas baru kepada pegawai.
b. Pembekalan terkait uraian tugas baru tersebut kepada pegawai
oleh kepala unit kerja. Uraian tugas yang baru kepada pegawai
yang dirotasi maupun mutasi dan
c. Kepala unit kerja membuat laporan evaluasi kemampuan
melaksanaka nuraian tugas yang baru kepada pegawai yang
dirotasi maupun mutasi dan tindak lanjutnya.
d. Laporan alih tugas tanggung jawab disimpan dalam file pegawai.
2. Pegawai yang rotasi dilakukan evaluasi pada saat 3 bulan masa transisi rotasi.
Bila pegawai dinilai tidak memenuhi standar dapat dikembalikan kepada posisi
3. Pegawai yang dimutasi dilakukan evaluasi pada saat 3 bulan masa transisi dan 6
bulan masa percobaan mutasi. Pada masa transisi dievaluasi penguasaan uraian
tugasnya, sedangkan 6 bulan dinilai soft kompetensi dan hard kompetensinya.
4. Bila pegawai dinilai tidak memenuhi standar dapat dikembalikan kepada posisi
sebelumnya.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit , maka diperlukan
penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi.
2. Bahwa agar pelayanan di Rumah Sakit dapat terlaksana dengan baik, maka perlu adanya
Peraturan Direktur tentang Kebijakan Pemeliharaan Peralatan dan Perlengkapan Farmasi
sebagai landasan bagi penyelenggaraan pelayanan Instalasi Farmasi di Rumash Sakit .
MENGINGAT:
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR : …/…/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :
RUMAH SAKIT
1. Yang dimaksud peralatan dan perlengkapan farmasi adalah alat alat yang digunakan untuk
keperluan dalam pengelolaan perbekalan farmasi dan pelayanan farmasi serta sarana dan
prasarana farmasi Rumah Sakit
2. Rumah Sakit melakukan pemeliharaan peralatan dan perlengkapan yaitu upaya yang dilakukan
agar peralatan dan perlengkapan farmasi selalu dalam kondisi baik dan dapat difungsikan
dengan baik dan dapat mencapai usia pakai yang lebih lama.
3. Rumah Sakit melakukan pemeliharaan peralatan dan perlengkapan untuk semua sarana dan
prasaran penunjang unit kerja farmasi yang berada di IFRS dan Gudang Farmasi serta ruangan
lain yang terkait.
4. Pemeliharaan peralatan dan perlengkapan farmasi di Rumah Sakit dibagi dalam dua macam
jenis pemeliharaan yakni pemeliharaan terencana dan pemeliharaan tidak terencana.
5. Pemeliharaan terencana meliputi pemeliharaan preventif/pencegahan dan pemeliharaan
korektif/perbaikan.
6. Pemeliharaan Preventif meliputi pemantauan fungsi (maintenaince) dan kalibrasi/verifikasi dan
safety test.
7. Pemeliharaan tidak terencana adalah kegiatan pemeliharaan yang bersifat darurat berupa
perbaikan terhadap kerusakan peralatan dan perlengkapan yang mendadak/tidak terduga dan
harus segera diperbaiki.
8. Pemeliharaan peralatan dan perlengkapan di Rumah sakit dilakukan oleh IFRS sedangkan
perbaikan dilakukan oleh Teknisi bagian Maintenance.
WHITE PAPER
APOTEKER
A. Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
kesehatan, tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan semakin
meningkat.Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan, khususnya di rumah sakit,
mempunyai tanggung jawab untuk dapat melayani dengan professional.Dalam rangka
menciptakan apoteker di rumah sakit yang kompeten maka memerlukan standard yang jelas
agar apoteker mampu bekerja dan berkembang sesuai dengan tuntutan.
Dalam White Paper ini, standar kompetensi yang dibuat mengacu pada Standar Kompetensi
Apoteker Indonesia tahun 2011. Standar kompetensi ini menjadi acuan setiap Apoteker yang
bekerja di rumah sakit….
Apoteker Senior :
1. Lulus pendidikan formal minimal S1 Sarjana Farmasi dan Profesi Apoteker
2. Lama Kerja lebih 3 tahun
3. Memiliki Sertifikat Kompetensi Apoteker, Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), Surat
Izin Kerja (SIK) Apoteker yang masih berlaku
4. Telah melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker secara mandiri dan disupervisi
5. Telah mengikuti pelatihan berkaitan farmakoterapi minimal satu kali setahun
6. Pengisian Logbook secara keseluruhan minimal 80 % untuk dapat diajukan dalam proses
Asesmen kompetensi
KOMPETENSI APOTEKER
Apoteker Farmasi Yunior
1. Mampu Melakukan Praktik Kefarmasian secara Profesional Dan Etik
1.1. Menguasai Kode Etik yang Berlaku dalam Praktik Profesi.
1.1.1. Artikulasi Kode Etik dalam Praktik Profesi
1.2. Mampu menarapkan Praktik Kefarmasian secara Legal dan Profesional
sesuai Kode Etik Apoteker Indonesia.
1.2.1. Perilaku profesional sesuai dengan Kode Etik Apoteker Indonesia
1.2.2. Integritas personal dan professional
1.3. Memiliki Keterampilan Komunikasi
1.3.1. Mampu menerapkan prinsip-prinsip Komunikasi Terapetik
1.3.2. Mampu mengelola Informasi yang ada dalam diri untuk
dikomunikasikan
1.3.3. Mampu memfasilitasi proses komunikasi
1.4. Mampu Berkomunikasi dengan Pasien
1.4.1. Mampu menghargai pasien
1.4.2. Mampu melaksanakan tahapan komunikasi dengan pasien
1.5. Mampu Berkomunikasi dengan Tenaga Kesehatan
1.5.1. Mampu melaksanakan tahapan komunikasi dengan tenaga
kesehatan
1.6. Mampu Berkomunikasi Secara Tertulis
1.6.1. Pemahaman Rekam Medis (Medical Record) atau Rekam
Kefarmasian/Catatan Pengobatan (Medication Record)
1.6.2. Mampu komunikasi tertulis dalam Rekam Medis (Medical Record) atau
Rekam Kefarmasian/Catatan Pengobatan (Medication Record) secara
benar
1.7. Mampu Melakukan Konsultasi/Konseling Sediaan farmasi dan Alat
Kesehatan (Konseling Farmasi)
1.7.1. Melakukan persiapan konseling sediaan farmasi dan alat
kesehatan
1.7.2. Melakukan konseling farmasi
1.7.3. Membuat dokumentasi Praktik Konseling
2. Mampu Menyelesaikan Masalah Terkait dengan Penggunaan Sediaan Farmasi
2.1. Mampu Menyelesaikan Masalah Penggunaan obat yang rasional
2.1.1. Mampu Melakukan Penelusuran riwayat pengobatan pasien (patient
medication history)
2.1.2. Mampu Melakukan Tinjauan Penggunaan Obat Pasien
2.1.3. Melakukan Analisis Masalah Sehubungan Obat (DTPs/DrugTherapy
Problem)
2.1.4. Mampu Memberikan Dukungan Kemandirian Pasien Dalam
Penggunaan Obat
2.1.5. Mampu Monitoring Parameter Keberhasilan Pengobatan
2.1.6. Mampu Evaluasi hasil akhir terapi obat Pasien
2.2. Mampu Melakukan Telaah Penggunaan Obat Pasien
2.2.1. Melakukan Tindak lanjut Hasil Monitoring Pengobatan Pasien
2.2.2. Melakukan Intervensi/Tindakan Apoteker
2.2.3. Membuat Dokumentasi Obat Pasien
2.3. Mampu Melakukan Monitoring Efek Samping Obat
2.3.1. Melakukan Sosialisasi Pentingnya Pelaporan Efek Samping Obat
2.3.2. Mengumpulkan Informasi Untuk Pengkajian Efek Samping Obat
2.3.3. Melakukan Kajian data yang Terkumpul
2.3.4. Memantau Keluaran Klinis(Outcome Clinic) Yang Mengarah Ke
Timbulnya Efek Samping
2.3.5. Memastikan Pelaporan Efek Samping Obat
2.3.6. Menentukan Alternatif Penyelesaian Masalah Efek Samping Obat
2.3.7. Membuat Dokumentasi MESO
2.4. Mampu Melakukan Evaluasi Penggunaan Obat
2.4.1. Menentukan Prioritas Obat Yang Akan Dievaluasi
2.4.2. Menetapkan Indikator Dan Kriteria Evaluasi Serta Standar
Pembanding
2.4.3. Menetapkan Data pengobatan yang Relevan Dengan Kondisi
Pasien
2.4.4. Melakukan Analisis Penggunaan Obat Dari Data Yang Telah
Diperoleh
2.4.5. Mengambil Kesimpulan Dan Rekomendasi Alternatif Intervensi
2.4.6. Melakukan Tindak lanjut dari rekomendasi
2.4.7. Membuat Dokumentasi Evaluasi Penggunaan Obat
2.5. Mampu Melakukan Praktik Therapeutic Drug Monitoring (TDM)*
2.5.1. Melakukan Persiapan kelengkapan pelaksanaan TDM
2.5.2. Melakukan Analisis Kebutuhan Dan Prioritas Golongan Obat
2.5.3. Melakukan Assessment Kebutuhan Monitoring Terapi Obat
Pasien
2.5.4. Melakukan Praktik TDM
2.5.5. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan Praktik TDM
2.5.6. Membuat Dokumentasi Praktik TDM
2.6. Mampu Mendampingi Pengobatan Mandiri (Swamedikasi) oleh Pasien
2.6.1. Mampu Melakukan Pendampingan Pasien dalam Pengobatan Mandiri
2.6.2. Meningkatkan pemahaman masyarakat terkait pengobatan mandiri
2.6.3. Melaksanakan pelayanan pengobatan mandiri kepada masyarakat
2.6.4. Membuat Dokumentasi Pelayanan Pendampingan pengobatan mandiri
oleh Pasien
3. Mampu Melakukan Dispensing Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
3.1. Mampu Melakukan Penilaian Resep
3.1.1. Memeriksa Keabsahan resep
3.1.2. Melakukan Klarifikasi Permintaan obat
3.1.3. Memastikan Ketersediaan Obat
3.2. Melakukan Evaluasi Obat Yang Diresepkan
3.2.1. Mempertimbangkan Obat Yang Diresepkan
3.2.2. Melakukan Telaah Obat Yang Diresepkan Terkait Dengan Riwayat
Pengobatan Dan Terapi Terakhir Yang Dialami Pasien
3.2.3. Melakukan Upaya Optimalisasi Terapi Obat
3.3. Melakukan Penyiapan Dan Penyerahan Obat Yang Diresepkan
3.3.1. Menerapkan Standar Prosedur Operasional Penyrapan Dan
Penyerahan Obat
3.3.2. Membuat Dokumentasi Dispensing
3.3.3. Membangun Kemandirian Pasien Terkait Dengan Kepatuhan
Penggunaan Obat
4. Mampu Memformulasi dan Memproduksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
sesuai Standar yang Berlaku.
4.1. Mampu Melakukan Persiapan Pembuatan/Produksi Obat
4.1.1. Memahami Standar Dalam Formulasi Dan Produksi
4.1.2. Memastikan Jaminan Mutu Dalam Pembuatan Sediaan
4.1.3. Memastikan Ketersediaan Peralatan Pembuatan Sediaan
Farmasi
4.1.4. Melakukan Penilaian Ulang Formulasi
4.2. Mampu Membuat Formulasi dan Pembuatan/Produksi Sediaan Farmasi
4.2.1. Mempertimbangkan Persyaratan Kebijakan Dan Peraturan Pembuatan
Dan Formulasi
4.2.2. Melakukan Persiapan Dan Menjaga Dokumentasi Obat
4.2.3. Melakukan Pencampuran Zat Aktif Dan Zat Tambahan
4.2.4. Menerapkan Prinsip-Prinsip Dan Teknik-Teknik Penyiapan Pembuatan
Obat Non Steril
4.2.5. Menerapkan Prinsip-Prinsip Dan Teknik-Teknik Penyiapan Produk
Steril
4.2.6. Melakukan Pengemasan, Labe/Penandaan Dan Penyimpanan
4.2.7. Melakukan Kontrol Kualitas Sediaan Farmasi
4.3. Mampu Melakukan iv-Admixture dan Mengendalikan Sitostatika/Obat
Khusus*
4.3.1. Melakukan Persiapan Penatalalaanaan Sitostatika/Obat Khusus
4.3.2. Melakukan iv-Admixture (Rekonstitusi dan Pencampuran)
Sitostatika/Obat Khusus
4.3.3. Melakukan pengamanan sitostatika
4.4. Mampu Melakukan Persiapan Persyaratan Sterilisasi Alat Kesehatan
4.4.1. Mampu Memastikan Persyaratan Infrastruktur Sterilisasi
4.4.2. Memastikan Bahan Dasar Alat Kesehatan yang Akan Disterilkan
4.4.3. Memastikan Kualitas pemilihan bahan sterilisasi
4.5.
Mampu Melakukan Sterilisasi Alat Kesehatan Sesuai Prosedur Standar
4.5.1. Memahami Persyaratan Dan Prosedur Kerja Sterilisasi
4.5.2. Melakukan Dolumentasi Proses Sterilisasi Alat Kesehatan
4.5.3. Menyiapkan Set Alat Kesehatan Steril Utama Dan Alat Kesehatan
Penunjangnya
4.5.4. Menerapkan Prinsip-Prinsip Dan Teknik-Teknik Penyiapan Sediaan
Farmasi Steril
4.5.5. Menerapkanprinsip-Prinsip Dan Teknik-Teknik Penyiapan Alat
Kesehatan Steril
4.5.6. Melakukan Pengemasan, Penandaan/Labelisasi Dan Indikator
Ekstemal.
4.5.7. Menerapkan Prinsip-Prinsip Proses Sterilisasi Alat Kesehatan Steril
4.5.8. Menerapkan Prinsip-Prinsip Penyimpanan Dan Distribusi Alat
Kesehatan Steril
5. Mempunyai Keterampilan Komunikasi dalam Pemberian Informasi Sediaan
Farmasi Dan Alat Kesehatan
5.1. Mampu Melakukan Pelayanan Informasi Sediaan Farmasi
5.1.1. Melakukan Klarifikasi Permintaan Informasi Obat Yang
Dibutuhkan
5.1.2. Melakukan Identifikasi Sumber Informasi/Referensi Yang
Relevan
5.1.3. Melakukan Akses Informasi Sediaan Farmasi Yang Valid
5.1.4. Melakukan Evaluasi Sumber Informasi (Critical Appraisal)
5.1.5. Merespon Pertanyaan Dengan Informasi Jelas, Tidak Bias, Valid,
Independen
5.2. Mampu Menyampaikan Informasi Bagi Masyarakat dengan
Mengindahkan Etika Profesi Kefarmasian
5.2.1. Menyediakan Materi Informasi Sediaan Farmasi Dan Alkes Untuk
Pelayanan Pasien
5.2.2. Menyediakan Edukasi Masyarakat Mengenai Penggunaan Obat Yang
Aman
6. Mampu Berkontribusi Dalam Upaya Preventif dan Promotif Kesehatan
Masyarakat
6.1. Mampu Bekerjasama Dalam Pelayanan Kesehatan Dasar
6.1.1. Bekerjasama Dengan Tenaga Kesehatan Lain Dalam Menangani
Masalah Kesehatan Di Masyarakat
6.1.2. Melakukan Survei Masalah Obat Di Masyarakat
6.1.3. Melakukan Identifikasi Dan Prioritas Masalah Kesehatan Di Masyarakat
Berdasar Data
6.1.4. Melakukan Upaya Promosi Dan Preventif Kesehatan Masyarakat
6.1.5. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan
6.1.6. Membuat Dokumentasi Pelalaanaan Program Promosi Kesehatan
7. Mampu Mengelola Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan sesuai Standar yang
Berlaku
7.1. Mampu Melakukan Seleksi Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan
7.1.1. Menetapkan Kriteria Seleksi Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.1.2. Menatapkan Daftar Kebutuhan Sediaan Farrrasi Dan Alat
Kesehatan
7.2. Mampu Melakukan Pengadaan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan
7.2.1. Melakukan Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi Dan
Alkes
7.2.2. Melakukan Pemilihan Pemasok Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.2.3. Menetapkan Metode Pengadaan Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.2.4. Melaksanakan Pengadaan Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.3. Mampu Mendesain, Melakukan Penyimpanan Dan Distribusi Sediaan
Farmasi Dan Alat Kesehatan
7.3.1. Melakukan Penyimpanan Sediaan Farmasi Dan Alkes Dengan
Tepat
7.3.2. Melakukan Distribusi Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.3.3. Melakukan Pengawasan Mutu Penyimpanan Sediaan Farmasi
Dan Alat Kesehatan
7.4. Mampu Melakukan Pemusnahan Sediaan Farmasi Dan Alkes sesuai
Peraturan
7.4.1. Memusnahkan Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.5. Mampu Menetapkan Sistem dan Melakukan Penarikan Sediaan
Farmasi Dan Alkes
7.5.1. Memastikan Informasi Tentang Penarikan Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.5.2. Melakukan Perencanaan Dan Melaksanakan Penarikan Sediaan
Farmasi Dan Alkes
7.5.3. Komunikasi Efektif Dalam Mengurangi Risiko Akibat Penarikan Sediaan
Farmasi Dan Alkes
7.6. Mampu Mengelola Infrastruktur Dalam Pengelolaan Sediaan Farmasi
dan Alkes
7.6.1. Memanfaatkan Sistem Dan Teknologi Lnformasi Dalam Pengelolaan
Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan
7.6.2. Membuat Dan Menetapkan Struktur Organisasi Dengan SDM Yang
Kompeten
7.6.3. Mengelola Sumber Daya Manusia Dengan Optimal
7.6.4. Mengelola Keuangan
7.6.5. Penyelenggaraan Praktik Kefarmasian Yang Bermutu
8. Mempunyai Ketrampilan Organisasi dan Mampu Membangun Hubungan
Interpersonal Dalam Melakukan Praktik Profesionai Kefarmasian
8.1. Mampu Merencanakan Dan Mengelola Waktu Kerja
8.1.1. Membuat Perencanaan Dan Penggunaan Waktu Kerja
8.1.2. Mengelola Waktu Dan Tugas
8.1.3. Menyelesaikan Pekerjaan Tepat Waktu
8.2. Mampu Optimalisasi Kontribusi Diri Terhadap Pekerjaan
8.2.1. Memahami Lingkungan Bekerja
8.2.2. Melakukan Penilaian Kebutuhan Sumber Daya Manusia
8.2.3. Mengelola Kegiatan Kerja
8.2.4. Melakukan Evaluasi Diri
8.3. Mampu Bekerja Dalam Tim
8.3.1. Mampu Berbagi informasi yang relevan
8.3.2. Berpartisipasi dan kerjasama tim dalam pelayanan
8.4. Mampu Membangun Kepercayaan Diri
8.4.1. Mampu Memahami Persyaratan Standar Profesi
8.4.2. Mampu Menetapkan Peran Diri Terhadap Profesi
8.5. Mampu Menyelesaikan Masalah
8.5.1. Mampu Menggali Masalah Aktual Atau Masalah Yang Potensial
8.5.2. Mampu Menyelesaikan masalah
8.6. Mampu Mengelola Konflik
8.6.1. Melakukan Identifikasi Penyebab Konflik
8.6.2. Menyelesaikan Konflik
9. Mampu mengikuti Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang
Berhubungan dengan Kefarmasian
9.1. Belajar Sepanjang Hayat dan Kontribusi untuk Kemajuan Profesi
9.1.1. Mengetahui, Mengikuti Dan Mengamalkan Perkembangan Terkini Di
Bidang Farmasi
9.1.2. Kontribusi Secara Nyata Terhadap Kemajuan Profesi
9.1.3. Mampu Menjaga Dan Meningkatkan Kompetensi Profesi
9.2. Mampu Menggunakan Teknologi Untuk Pengembangan Profesionalitas
9.2.1. Mampu Menggunakan Teknologi Untuk Meningkatkan Profesionalitas
9.2.2. Mampu Mengikuti Teknologi Dalam Pelayanan Kefarmasian (Teknologi
Informasi Dan Teknologi Sediaan)
10 Mampu menerapkan 6 Sasaran Keselamatan Pasien, manajemen risiko, dan
program keselamatan rumah sakit lainnya dalam pekerjaan kefarmasian
sehari-hari
10.1 Mampu menerapkan 6 Sasaran Keselamatan Pasien
10.1.1Mampu melakukan identifikasi pasien yang benar
10.1.2Mampu menerapkan komunikasi yang efektif
10.1.3Mampu menerapkan manajemen perbekalan farmasi dan asuhan
kefarmasian yang benar pada obat Kewaspadaan Tinggi
10.1.4Mengetahui dan memahami standar tepat lokasi, tepat operasi, dan tepat
pasien
10.1.5 Mampu menerapkan standar pengurangan risiko infeksi terkait
pelayanan kesehatan
10.1.6 Mampu menerapkan jatuh
10.2 Mampu melakukan pelaporan insiden keselamatan pasien kepada
KPRS
10.3 Mampu melakukan investigasi sederhana dan RCA
10.4 Mampu melakukan manajemen risiko terhadap pelayanan farmasi
Apoteker Medior
1 Mampu menyelesaikan masalah farmakoterapi yang tidak dapat
diselesaikan oleh apoteker yunior
2 Mampu melakukan analisis dan memberikan rekomendasi dalam
pengembangan sistem pelayanan farmasi di rumah sakit
Apoteker Senior
1 Mampu mengambil keputusan dalam situasi mendesak untuk
menyelesaikan masalah berkaitan pelayanan farmasi
2 Mampu menyelesaikan masalah farmakoterapi yang tidak dapat
diselesaikan oleh apoteker yunior dan medior
Tentang
MENIMBANG :
1. Bahwa dalam upaya mencegah dan mengendalikan infeksi di rumah sakit, perlu dilakukan
pemeriksaan berkala terhadap semua petugas Rs X sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan oleh Komite PPI.
2. Bahwa salah satu resiko bekerja di rumah sakit adalah terpapar Hepatitis B, untuk itu
rumah sakit harus memberikan proteksi berupa vaksinasi kepada seluruh petugas rumah
sakit terutama kepada petugas yang beresiko tinggi.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a dan b perlu ditetapkan
dengan Keputusan Direktur .
MENGINGAT :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
2. Komite Medis
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
B. Kebijakan khusus:
1. Komite PPI melakukan inventarisasi petugas kesehatan yang akan diberikan vaksinasi
Hepatitis B.
2. Komite PPI mengajukan sarana dan prasarana pemeriksaan dan pemberian vaksinasi
Hepatitis B : Reagen rapid HBsAg dan anti HBs, Dissposible syringe, dan alkohol swab.
3. Dilaksanakan koordinasi dengan tim vaksinasi tentang perencanaan, pelaksanaan,
pemeriksaan dan pemberian vaksinasi hepatitis B.
4. Petugas laboratorium melakukan pemeriksaan HBsAg dan anti HBs kepada petugas
kesehatan yang telah di inventarisir, selanjutnya hasil pemeriksaan dikirimkan ke Komite
PPI.
5. Komite PPI melakukan rekapitulasi hasil pemeriksaan yang diindikasikan untuk
mendapatkan vaksinasi Hepatitis B ( hasil pemeriksaan HBsAg (-) dan anti HBs (-) ),
selanjutnya daftar nama dikirimkan ke bagian Penyakit Dalam, sedangkan petugas
kesehatan dengan hasil HBsAg (+) dianjurkan untuk konsultasi ke Dokter Penyakit
Dalam dan petugas kesehatan dengan hasil laboratorium anti HBs (+) tidak dianjurkan
untuk vaksinasi karena sudah mempunyai anti body.
6. Staf bagian ilmu penyakit dalam melaksanakan vaksinasi Hepatitis B sesuai daftar
petugas yang telah diajukan oleh Komite PPI.
7. Pemberian vaksinasi Hepatitis B dilaksanakan dalam 3 (tiga) kali pemberian (0, 1, dan 5
bulan ).
8. Komite PPI membuat laporan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan dan pemberian
vaksinasi Hepatitis B tahunan dan melaporkan kepada Ka ….
Tentang
RUMAH SAKIT
MENIMBANG:
1. Bahwa obat merupakan salah satu bagian dalam peningkatan kualitas
MENGINGAT:
1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Kepmenkes RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992, tentang pedoman Organisasi
Rumah Sakit Umum.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004, tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Pengelolaan Obat Kewaspadaan Tinggi RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN:
1. Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Kebijakan Nomor :
22/KBJ/KKP/RSISA/IV/2013 tentang Pengelolaan Obat Kewaspadaan Tinggi dan
Kebijakan Nomor : 23 /KBJ/KKP/RSI-SA/IV/2013 tentang Pengelolaan Obat
Nama Obat Rupa Dan Ucapan Mirip (Norum)
2. Kebijakan Pengelolaan Obat Kewaspadaan Tinggi di Rumah Sakit sebagai
berikut
2.1. Obat Kewaspadaan Tinggi (High-Alert medications/ HAM) adalah
tidak diinginkan.
2.2. Obat yang memiliki Nama Obat , Rupa , dan Ucapan Mirip
(NORUM) dan Obat yang memiliki dosis lebih dari 1 jenis merupakan
bagian dari obat kewaspadaan tinggi
2.3. Obat yang memiliki nama obat rupa dan ucapan mirip (NORUM)
yang mirip, rupa obat yang mirip, ucapan yang mirip, serta dosis
2.5. Pemantauan IKP (Insiden Keselamatan Pasien) yang terjadi dilaporkan menggunakan
cara pelaporan kesalahan obat
3. Kebijkan ini berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak tanggal diterbitkan dan
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
Direktur
Tembusan Yth :
4. Manajer Keperawatan
6. Arsip
1. KEBIJAKAN PELAYANAN PERAWATAN HIV AIDS RUMAH SAKIT
2. PROGRAM PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN
RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO TERNATE
3. KEBIJAKAN REKONSILIASI OBAT RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO TERNATE
4. PEDOMAN PENYIMPANAN OBAT RUMAH SAKIT
5. KEBIJAKAN KESALAHAN OBAT (MEDICATION ERROR) DAN PELAPORAN
KESALAHAN OBAT
6. KEBIJAKAN PERESEPAN, PEMESANAN DAN PENCATATAN OBAT
RUMAH SAKIT
7. PANDUAN PEMBERIAN INFORMASI DAN EDUKASI RUMAH
SAKIT
8. KEBIJAKAN PENYIMPANAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT
9. KEBIJAKAN PENAMBAHAN DAN PENGURANGAN OBAT FORMULARIUM
10. KEBIJAKAN PERENCANAAN PERBEKALAN FARMASI
11. KEBIJAKAN PANDUAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT
12. KEBIJAKAN PERACIKAN OBAT RUMAH SAKIT
13. KEBIJAKAN PEMANTAUAN DAN PELAPORAN EFEK SAMPING OBAT
14. KEBIJAKAN PENDELEGASIAN PELAYANAN KEFARMASIAN KE PERAWAT
15. KEBIJAKAN TELAAH RESEP RUMAH SAKIT
16. KEBIJAKAN PENGAWASAN, PENGGUNAAN OBAT DAN KEAMANAN OBAT
17. KEBIJAKAN PERENCANAAN PERBEKALAN FARMASI
18. KEBIJAKAN WAKTU TUNGGU PELAYANAN OBAT RUMAH SAKIT
19. KEBIJAKAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RUMAH SAKIT
20. KEBIJAKAN WAKTU TUNGGU PELAYANAN OBAT RUMAH SAKIT
21. KEBIJAKAN PELAYANAN RESIKO TINGGI RUMAH SAKIT
22. KEBIJAKAN PENDISTRIBUSIAN BARANG FARMASI RUMAH SAKIT
23. KEBIJAKAN PELAYANAN VISITE APOTEKER KE RAWAT INAP
24. KEBIJAKAN TELAAH RESEP RUMAH SAKIT
25. KEBIJAKAN PENYIMPANAN DAN PENGELOLAAN OBAT SAMPEL
26. KEBIJAKAN PENCATATAN / PELAPORAN OBAT NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
RUMAH SAKIT
27. KEBIJAKAN TENTANG PETUGAS YANG BERWENANG MENELAAH PESANAN OBAT
(RESEP) RUMAH SAKIT
28. KEBIJAKAN PELAYANAN VISITE APOTEKER KE RAWAT INAP
RUMAH SAKIT
29. KEBIJAKAN EVALUASI DAN PENGENDALIAN MUTU FARMASI RUMAH SAKIT
30. KEBIJAKAN PENYIMPANAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA RUMAH SAKIT
31. KEBIJAKAN PANDUAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT\
32. KEBIJAKAN PEMBERIAN OBAT KEPADA PASIEN RUMAH SAKIT
33. KEBIJAKAN PENYERAHAN OBAT RUMAH SAKIT
34. KEBIJAKAN PENARIKAN PERBEKALAN FARMASI DARI PEREDARAN DAN
PEMUSNAHAN PERBEKALAN FARMASI KADALUARSA
35. KEBIJAKAN DISPENSING OBAT RUMAH SAKIT
36. KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT
37. KEBIJAKAN KEBERSIHAN TANGAN
38. KEBIJAKAN PELAYANAN KONSELING OBAT RUMAH SAKIT
39. KEBIJAKAN PENGELOLAAN OBAT KEWASPADAAN TINGGI
40. KEBIJAKAN PENGELOLAAN OBAT KEWASPADAAN TINGGI
41. KEBIJAKAN KEBERSIHAN TANGAN
42. KEBIJAKAN PELAYANAN KONSELING OBAT RUMAH SAKIT
43. KEBIJAKAN TENTANG PETUGAS YANG BERWENANG MENELAAH PESANAN OBAT
(RESEP) RUMAH SAKIT
44. KEBIJAKAN PELAPORAN OBAT RUMAH SAKIT
45. KEBIJAKAN PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
46. KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKI
47. KEBIJAKAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
48. KEBIJAKAN PENGKAJIAN PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT
49. KEBIJAKAN PENCATATAN / PELAPORAN PENGGUNAAN PERBEKALAN FARMASI
RUMAH SAKIT
50. KEBIJAKAN MEDICATION ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
51. KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI SERAGAM RUMAH SAKIT
52. KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI
RUMAH SAKIT
53. KEBIJAKAN PETUGAS YANG BERHAK MENULISKAN RESEP
RUMAH SAKIT
54. KEBIJAKAN PEMBENTUKAN KOMITE FARMASI DAN TERAPI
RUMAH SAKIT
55. KEBIJAKAN PETUGAS YANG BERWENANG MEMBERIKAN OBAT
RUMAH SAKIT
56. KEBIJAKAN PETUGAS YANG BERWENANG MEMBERIKAN OBAT
RUMAH SAKIT
57. KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT
58. KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT
59. KEBIJAKAN PENGADAAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT
60. KEBIJAKAN PERESEPAN, PEMESANAN DAN PENCATATAN OBAT
RUMAH SAKIT
61. KEBIJAKAN PENGADAAN OBAT YANG TIDAK TERSEDIA DI
RUMAH SAKIT
62. KEBIJAKAN PENGOBATAN SENDIRI / SWAMEDIKASI RUMAH SAKIT
63. KEBIJAKAN RETUR PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT
64. KEBIJAKAN PENGAMANAN ATAU PERLINDUNGAN PERBEKALAN FARMASI
RUMAH SAKIT
65. KEBIJAKAN PELABELAN OBAT YANG DIKELUARKANKAN DARI WADAH ASLI
66. KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI EMERGENCY
RUMAH SAKIT
67. KEBIJAKAN PANDUAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT
68. KEBIJAKAN KRITERIA INFORMASI SPESIFIK PASIEN YANG DIBUTUHKAN UNTUK
TELAAH RESEP
69. KEBIJAKAN KRITERIA INFORMASI SPESIFIK PASIEN YANG DIBUTUHKAN UNTUK
TELAAH RESEP
70. KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI SERAGAM RUMAH SAKIT
71. KEBIJAKAN ALIH TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PEGAWAI
DIREKTUR RS
72. KEBIJAKAN KRITERIA INFORMASI SPESIFIK PASIEN YANG DIBUTUHKAN UNTUK
TELAAH RESEP
73. KEBIJAKAN PELABELAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT
74. KEBIJAKAN ALIH TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PEGAWAI
DIREKTUR RS
75. KEBIJAKAN PEMELIHARAAN DAN PERALATAN PERLENGKAPAN FARMASI
RUMAH SAKIT
76. KEBIJAKAN PEMBERIAN VAKSINASI HEPATITIS B
DI RSU DHARMA IBU
77. KEBIJAKAN PENGELOLAAN OBAT KEWASPADAAN TINGGI
RUMAH SAKIT
Menimbang :
1. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Pada Rumah Sakit
Umum Dharma Ibu Ternate, salah satunya melalui penyimpanan obat
emergency di masing-masing unit;
2. bahwa agar pelayanan di Rumah Sakit Umum Dharma Ibu Ternate dapat
terlaksana dengan baik, perlu adanya Prosedur penyimpanan obat
emergency di masing-masing unit Pelayanan Rumah Sakit sebagai landasan
penyelenggaraan seluruh pelayanan di Rumah Sakit Umum Dharma Ibu
Ternate.
3. ahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf 1 dan
2, perlu ditetapkan Keputusan Direktur tentang Prosedur penyimpanan obat
emergency di masing-masing unit.
Mengingat :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit
2. Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 51 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian
3. Keputusan Menteri Kesehatan republik Indonesia Nomor
1197/MenKes/SK/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1203/MenKes/SK/XII/2008 tentang
standarPelayanan Intensif Care Unit
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
1. Kebijakan tentang penyimpanan obat emergency di Unit Instalasi Bedah Sentral,Unit
Intensif Care Unit, IRNA III, Unit Gawat Darurat, Instalasi Ibu Dan Bayi dengan
menggunakan troli obat yang terkunci.
2. Penggunaan obat emergency dengan menggunakan blangko yang sudah disediakan.
3. Pengelolaan obat emergency di ruangan dilakukan oleh farmasi berkoordinasi dengan
perawat ruangan.
4. Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila di kemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana
mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
Direktur
Tembusan Yth :
4. Manajer Keperawatan
5. Komite Keselamatan Pasien
6. Arsip
MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit Permata Bunda, maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan Farmasi yang bermutu tinggi;
2. Bahwa agar pelayanan Farmasi di Rumah Sakit Permata Bunda dapat terlaksana
dengan baik, perlu adanya kebijakan Direktur Rumah Sakit Permata Bunda sebagai
landasan bagi penyelenggaraan pelayanan Farmasi di Rumah Sakit Permata Bunda ;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 diatas,
maka perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur Rumah Sakit Permata Bunda
.
MENGINGAT:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang
Perubahan Penggolongan Narkotika;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Penggolongan Psikotropika;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan ;
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tentang Pekerjaan Kefarmasian ;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
8. Surat Keputusan Penggangkatan Direktur No.001/PT.MMC/III/2013 tentang
penggangkatan Direktur Rumah Sakit Permata Bunda
9. Pedoman Perorganisasian Instalasi Farmasi
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN:
1. Keputusan direktur rumah sakit permata bunda tentang kebijakan pelayanan Rumah
Sakit Permata Bunda Malang
2. Kebijakan Pelayanan Farmasi Rumah Sakit Permata Bunda sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Keputusan ini.
3. Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan oleh Instalasi Farmasi dan Pelayanan Medis.
4. Keputusan ini berlaku sejak tinggal ditetapkannya, dan apabila di kemudian hari
teranyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
Direktur
Lampiran:
SK Direktur RS. Permata Bunda
Nomor: / SK / RSPB / / 2017
Perihal:Kebijakan Pelayanan Farmasi
KEBIJAKAN PELAYANAN FARMASI RUMAH SAKIT PERMATA BUNDA
E. Pemberian :
1. Petugas farmasi yang berwenang memberikan obat adalah Apoteker yang telah memiliki
SIPA dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki SIKTTK.
2. Dalam pemberian obat pada pasien rawat inap, wewenang pemberian obat di
delegasikan kepada perawat. Perawat yang berwenang adalah perawat yang telah
ditentukan kewenangannya sesuai Penugasan Klinis Perawat.
3. Dokter yang berwenang memberikan obat adalah semua dokter yang telah mendapatkan
Surat Penugasan (Clinical Appointmet) dari Direktur Rumah Sakit yang memuat
kewenangan klinis (Clinical Previleges) yang boleh dilakukan di rumah sakit.
4. Petugas farmasi melakukan proses telaah obat sebelum memberikan obat.
5. Perawat melakukan proses telaah obat dan serah terima dengan menggunakan form
7benar:
a. Benar Pasien
b. Benar Obat
c. Benar Dosis
d. Benar Waktu
e. Benar Cara Pemberian
f. Benar Dokumentasi
g. Benar Informasi
6. Rumah sakit menyediakan sarana edukasi dan konseling bagi pasien yang
menggunakan obat sendiri.
7. Proses dokumentasi dan pengelolaan obat yang dibawa pasien masuk ke rumah sakit,
dilakukan dalam proses Rekonsiliasi Obat oleh Apoteker dan pengelolaan obat
berikutnya dilakukan oleh instalasi farmasi.
8. Rumah sakit tidak melakukan penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian obat
sampel yang ditujukan untuk uji klinis kepada pasien.
F. Pemantauan
1. Ada proses monitoring efek samping obat (MESO) dan pemantauan reaksi obat tidak
dikehendaki (ROTD) yang dilaksanakan secara kolaboratif, dengan prosedur yang sudah
ditetapkan rumah sakit.
2. Monitoring efek samping obat (MESO) dan pemantauan reaksi obat tidak dikehendaki
(ROTD) yang terpantau, ditulis di dalam dokumen rekam medik pasien dan dilaporkan
selambat-lambatnya 2 X 24 jam dalam bentuk laporan MESO.
3. Instalasi Farmasi ikut serta dalam proses peningkatan mutu dan keselamatan pasien
bersama Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
Direktur