Anda di halaman 1dari 435

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO

NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2021

TENTANG

KEBIJAKAN PELAYANAN PERAWATAN HIV AIDS RUMAH SAKIT

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

Menimbang :
1. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit ,maka diperlukan
penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi;
2. bahwa agar pelayanan di Rumah Sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya
Peraturan Direktur tentang Kebijakan Pelayanan Rumah Sakit sebagai landasan bagi
penyelenggaraan seluruh pelayanan di Rumah Sakit ;
3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a dan b, perlu
ditetapkan dengan Peraturan Direktur Rumah Sakit .

Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Undang-undang nomor 29 tahun 2009 tentang kesehatan
3. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang praktik kedokteran
4. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI
/SK- P/I/2018 tentang Kebijakan Pelayanan Perawatan Hiv
Aids RSU Santo Yoseph Labuan Bajo.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG
KEBIJAKAN PELAYANAN VCT RUMAH SAKIT
2. Kebijakan pelayanan Rumah Sakit sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan ini.
3. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan Rumah Sakit
dilaksanakan oleh Direksi dan Manajer Pelayanan Rumah Sakit
4. Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan apabila
dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini,
akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Labuan Bajo


Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Minah Sukri, MARS


Direktur
Lampiran : Peraturan Direktur RS
Nomor :…../ /SK-Dir/XII/2018
Tanggal :

KEBIJAKAN PELAYANAN HIV AIDS RUMAH SAKIT

1. Pelayanan VCT, PITCT dan CST dilaksanakan setiap hari kerja senin – jumat jam 13.00
s/d 16.00
2. Pelayanan dilaksanakan RS
3. Pelayanan VCT dilakukan oleh Konselor.
4. Pelayanan PITCT dilakukan oleh bagian terkait (rawat jalan/rawat inap)
5. Pemeriksaan labolatorium dilakukan di laboratorium RS . Reagent untuk pemeriksaan
tes HIV dan CD4 di sediakan oleh dinas kesehatan.
6. Pelayanan CST dilakukan oleh Koordinator CST.
7. Melakukan Rujuk keluar apabila ada pasien PMTCT atau fasilitas rumah sakit terbatas.
8. Konsulen CST dilakukan oleh dokter spesialis Internis.
9. Memberikan support dan penjelasan tentang HIV yang dilaksanakan oleh MK (Manager
Kasus).
10. Pengambilan obat ARV dilakukan di instalasi farmasi RS. Apabila obat-obat ARV di
RS kosong maka pengambilan obat dilakukan di RS lain yang ditunjuk melakukan
pelayanan ARV sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
11. Persediaan obat-obatan ARV disediakan oleh dinas kesehatan.
12. Pelaporan dialakukan setiap bulan oleh petugas pembuatan laporan, untuk laporan VCT
dan PITCT dilakukan oleh adm VCT dan untuk laporan CST dilakukan oleh adm CST

Ditetapkan di : Labuan Bajo


Tanggal : 2021
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Minah Sukri, MARS


Direktur
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

PROGRAM PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN


RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

Menimbang : 1. Bahwa dalam upaya meningkatakan pelayanan rumah sakit terhadap


tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu,
perlu disusun program peningkatan mutu pelayanan medis di RSU
Santo Yoseph Labuan Bajo.
2. Bahwa RSU Santo Yoseph Labuan Bajo senantiasa berupaya
meningkatakan mutu pelayanan dengan menggunakan keselamta dan
keamanan pasien, keluarga pasien, pegawai serta penunjang Rumah
Sakit secara berkesenambungan dengan mengacu kepada standar
Join Commission International Accreditation (JCI)
3. Bahwa sehubungan degan butir a tersebut diatas perlu ditetapkan
Program Peningkatan Mutu Pelayanan Medis dengan keputusan
Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Mengingat : 1. Undang - Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit


2. Undang- Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
3. Undang – Undang Pelayanan Publik Nomor 25 tahun 2009
4. Undang – Undang RI Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Satandar Pelayanan
Minimal.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/Menkes/Per/VIII/2011 Tentang Keselamatan Psien Rumah Sakit
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 129/Menkes/SK/II/2008
tentang Standar Pelayanan minimal Rumah Sakit
8. Surat Keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor:...../YDI-
P/I/2018 tentang Kebijakan Pelayanan Perawatan HIV AIDS RSU
Santo Yoseph Labuan Bajo

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : SURAT KETETAPAN KEPALA RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


TENTANG PROGRAM PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN
PASIEN DI RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO.
1. Program Peningkatan Mutu Pelayanan dan keselamatan Pasien RSU
Santo Yoseph Labuan Bajo dimaksud dalam Diktum Kesatu tercantum
dalam Lampiran Keputusan ini.
2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, maka
akan ditinjau kembali untuk diperbaiaki sebagaimana mestinya.

Di tetapkan
di: Ternate
Tanggal; 2021
RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO

Dr. Minah Sukri, MARS


Direktur
Lampiran : Peraturan Direktur RS

Nomor : ..../ / SK-Dir/XII/2018

Tanggal :

PROGRAM PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN

RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


 

A. Pendahuluan

Mutu pelayanan kesehatan merupakan suatu produk yang diberikan kepada pelanggan
untuk memberikan kepuasan akan kebutuhan dalam pelayanan jasa kesehatan yang
diberikan kepada pelanggan, dengan menjamin kualitas pelayanan yang
berkesinambungan, efektif dan efisien serta tanggap terhadap adanya indikator yang
menyebabkan ketidakpuasan. Mutu yang lebih tinggi memungkinkan untuk mengurangi
tingkat kesalahan, mengurangi pekerjaan ulang, mengurangi kegagalan di lapangan,
mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi keharusan memeriksa dan menguji,
meningkatkan hasil kapasitas, memberikan dampak utama pada biaya, dan biasanya mutu
lebih tinggi biaya lebih sedikit.
Mutu pelayanan kesehatan perlu dilakukan pengukuran, dengan cara mengetahui
tentang pengertian indikator, kriteria, dan standar. Indikator adalah petunjuk atau tolak ukur.
Indikator mutu asuhan kesehatan atau pelayanan kesehatan dapat mengacu pada indikator
yang relevan berkaitan dengan struktur, proses, dan outcome. Indikator terdiri dari indikator
proses, indikator outcome. Indikator proses memberikan petunjuk tentang pelaksanaan
kegiatan pelayanan kesehatan, prosedur asuhan yang ditempuh oleh tenaga kesehatan
dalam menjalankan tugasnya.

Indikator outcomes merupakan indikator hasil daripada keadaan sebelumnya, yaitu input
dan proses seperti BOR, LOS, dan Indikator klinis lain seperti: Angka Kesembuhan
Penyakit, Angka Kematian 48 jam, Angka Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan, dan
sebagainya. Indikator dispesifikasikan dalam berbagai kriteria. Untuk pelayanan kesehatan,
kriteria ini adalah fenomena yang dapat dihitung. Selanjutnya setelah kriteria ditentukan
dibuat standar-standar yang eksak dan dapat dihitung kuantitatif, yang biasanya mencakup
hal-hal yang standar baik.

Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan yang dapat mengukur mutu pelayanan
kesehatan menurut Depkes (2006) yaitu melalui indikator, kriteria, dan standar. Indikator
adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi. Indikator
merupakan suatu variabel yang digunakan untuk dapat melihat perubahan. Kriteria adalah
spesifikasi dari indikator. Standar adalah tingkatan performance atau keadaan yang dapat
diterima oleh seseorang yang berwenangan dan merupakan suatu norma atau persetujuan
mengenai keadaan atau prestasi yang sangat baik.

B. Tema
Peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien menuju pelayanan rumah sakit
yang berkualitas dan professional.
C. Tujuan
1. Terlaksananya kegiatan pemantauan terhadap indikator klinis yang meliputi keefektifan
klinis yang berfokus pada pasien, keamanan dan keselamatan pasien serta orientasi staf
dan manajerial
2. Terlaksananya kegiatan audit medis
3. Terlaksananya 7 (tujuh) langkah keselamatan pasien
4. Termanfaatkannya alat kedokteran
5. Terlaksananya kegiatan pendidikan dan pelatihan
6. Terlaksananya kegiatan survey kepuasaan pasien, keluarga dan staf rumah sakit.
D. Sasaran
Program Peningkatan mutu dan keselamatan pasien ini dituangkan ke dalam perspektif
kinerja dan sasaran strategis sebagai berikut.
1. Perspektif keuangan, dengan sasaran strategis:
a. Optimalisasi pendapatan
b. Pengaturan struktur anggaran
c. Pengendalian biaya (penghematan keuangan)

2. Perspektif pelanggan
a. Terwujudnya mutu pelayanan dan terjangkau oleh masyarakat.
b. Peningkatan kunjungan pasien
c. Tercapainya loyalitas pelanggan

3. Perspektif proses bisnis internal


a. Terwujudnya jumlah jenis dan mutu pelayanan rumah sakit serta
meningkatkan cakupan pelayanan rumah sakit.
b. Penataan sistem dan prosedur
c. Penambahan produk layanan unggulan
4. Perspektif pertumbuhan dan pembelajaran
a. Terwujudnya kualitas sumber daya manusia rumah sakit serta iklim dan kinerja yang
kondusif
b. Terwujudnya kelengkapan sarana dan prasarana pelayanan rumah sakit untuk
mewujudkan penyelenggaraan administrasi serta SIM RS yang handal.
c. Terwujudnya kerjasama /kemitraan/ lintas program /lintas sector terkait
d. Pemantapan nilai dasar dan budaya kerja
e. Peningkatan kompetensi SDM

E. Bentuk Kegiatan
1. Pemantauan Indikator Klinis
a. Kepala Rumah Sakit membentuk Komite Mutu Pelayanan Rumah Sakit (yang
diantaranya akan membuat perencanaan peningkatan mutu dan keselamatan p
Pasien melalui pembuatan dan menilai indikator pelayanan rumah sakit).
b. Komite Mutu melakukan pemantauan terhadap indikator-indikator sebagai
berikut:
1) Keefektifan klinis yang meliputi:
2) Asesment terhadap area klinik
3) Pelayanan laboratorium
4) Pelayanan radiologi dan diagnostic imaging
5) Prosedur bedah
6) Penggunaan antibiotika dan obat lainnya
7) Kesalahan medis (medication error) dan Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
8) Anestesi dan penggunaan sedasi
9) Penggunaan darah dan produk darah
10) Ketersediaan, isi dan penggunaan catatan medis
11) Pencegahan dan kontrol infeksi, surveilans dan pelaporan
12) Riset klinik
2. Keselamatan pasien yang meliputi :
a. Ketetapan identifikasi pasien
b. Peningkatan Komunikasi yang efektif
c. Peningkatan Keamanan Obat yang perlu diwaspadai
d. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi
e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
f. Pengurangan risiko jatuh
3. Aspek Manajerial yang meliputi :
a. Pengadaan rutin peralatan kesehatan dan obat untuk memenuhi kebutuhan
pasien.
b. Pelaporan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
c. Manajemen Resiko
d. Manajemen penggunaan sumber daya
e. Harapan dan kepuasan pasien dan keluarga
f. Harapan dan kepuasan staf
g. Demografi pasien dan diagnosis klinik
h. Manajemen keuangan
i. Pencegahan dan pengendalian dari kejadian yang dapat menimbulkan masalah
bagi keselamatan pasien, keluarga pasien dan staf.
j. Hasil pemantauan indikator disusun dalam bentuk laporan.
k. Laporan hasil pemantauan indikator klinis disampaikan kepada seluruh
stakeholder rumah sakit
l. Membuat tindak lanjut dari hasil evaluasi peningkatan mutu dan keselamatan
pasien.

F. Audit Medis
1. Kepala Rumah sakit membentuk Tim Audit Medis
2. Tim Audit Medis menyelenggarakan kegiatan audit medis, paling sedikit tiga kali
dalam setahun
3. Hasil kegiatan audit medis dibuat notulen dan yang hadir diabsen
4. Bila ada yang perlu ditindaklanjuti dibuat surat kepada direktur
G. Keselamatan Pasien
1. Kepala Rumah Sakit membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
2. Komite menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit
3. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
4. Pimpin dan dukung staf anda
5. Integrasikan aktivitas resiko
6. Kembangkan sistem pelaporan
7. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
8. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keamanan pasien
9. Cegah cedera melalui implementasi sistem keamanan pasien.
10. Pendidikan dan Pelatihan Tiap Departemen
11. Masing-masing Departemen mengajukan usulan pelatihan yang akan dilakukan
oleh personilnya masing-masing.
12. Usulan pelatihan direkapitulasi oleh Departemen Bangdiklat
13. Departemen Bangdiklat mengajukan usulan pelatihan kepada Kepala Rumah
Sakit.
14. Kegiatan diklat dievaluasi untuk perbaikan usulan diklat tahun berikutnya
15. Survey Kepuasan Pasien
16. Tim survey di Surat Perintah oleh Kepala Rumah Sakit
17. Tim survey menyusun kuesioner untuk survey
18. Tim survey melakukan uji coba terhadap kuesioner
19. Tim survey melakukan revisi terhadap kuesioner
20. Tim survey melaksanakan survey dalam waktu 30 hari (pengumpulan data
analisa)
21. Hasil survey dipresentasikan dihadapan stakeholder rumah sakit
22. Dibuat rekomendasi untuk tindak lanjut survey

H. Evaluasi dan Tindak Lanjut


Evaluasi dilakukan dalam masing-masing tim / komite. Hasil dari evaluasi yang
memerlukan
tindak lanjut, diajukan kepada Kepala Rumah Sakit.
I. Penutup
Demikian program ini disusun untuk memberikan gambaran mengenai program
peningkatan mutu pelayanan dan Keselamatan Pasien di RSU Santo Yoseph Labuan
Bajo

Ditetapkan di : Labuan Bajo


Tanggal : 2021
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Minah Sukri, MARS


Direktur
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2021
Tentang

KEBIJAKAN REKONSILIASI OBAT RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :

1. Bahwa pelayanan instalasi farmasi meliputi pelayanan farmasi


klinis.
2. Bahwa pelayanan farmasi klinis bertujuan untuk mengelola
terapi obat yang diperoleh pasien selama dirawat di rumah
sakit.
3. Bahwa dalam pengelolaan terapi obat pasien saat awal masuk
rumah sakit diperlukan kolaburasi antara Dokter Penanggung
Jawab (DPJP) dan Apoteker Penanggung Jawab (APJP) agar
terapi obat yang akan diberikan berlandaskan terapi obat yang
telah digunakan pasien sebelumnya yang disebut dengan
rekonsiliasi obat sehingga terapi obat yang diberikan dapat
mencapai efek terapi yang diinginkan dan menghindari
permasalahan terkait obat atau Drug Related Problems
(DRP’s).
4. Bahwa dalam proses rekonsiliasi obat diperlukan kebijakan
rumah sakit yang mengatur tentang rekonsiliasi di rumah sakit 

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.


2. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016
tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun
2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor:
…./
YDI /SK-P/I/2018 tentang Kebijakan Rekonsiliasi Obat RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo Ternate RSU Santo Yoseph Labuan Bajo.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Perlu adanya proses rekonsiliasi obat untuk pasien baru di ruang


keperawatan yang dilakukan oleh APJP dibantu oleh perawat.
2. Terapi obat pada pasien terkait jenis obat ataupun dosis sebelum
masuk ruang dan harus diketahui oleh DPJP agar terapi berikutnya
yang diberikan di ruang berdasarkan pada terapi sebelumnya yang
didapatkan sehingga tidak terjadi medication error terkait salah
dosis, duplikasi, salah pemberian obat, dsb.
3. APJP mengkomunikasikan dengan DPJP obat-obat yang
sebelumnya dikonsumsi pasien dan DPJP menentukan status obat tersebut
apakah lanjut, tunda atau berhenti.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Minah Sukri, MARS


TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO TERNATE
NOMOR :
TANGGAL :

REKONSILIASI OBAT

Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan Obat yang
telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat
(medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi
Obat.Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu
Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari
Rumah Sakit kelayanan kesehatan primer dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi Obat adalah:
a. Memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan pasien.
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter.
c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.

Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu:


a. Pengumpulan data Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan akan digunakan
pasien, meliputi nama Obat, dosis, frekuensi, rute, Obat mulai diberikan, diganti, dilanjutkan
dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping Obat yang pernah terjadi. Khusus
untuk data alergi dan efek samping Obat, dicatat tanggal kejadian, Obat yang menyebabkan
terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan. Data
riwayat penggunaan Obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien, daftar Obat pasien, Obat
yang ada pada pasien, dan rekam medik/medication chart. Data Obat yang dapat digunakan
tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya. Semua Obat yang digunakan oleh pasien baik
Resep maupun Obat bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.
b. Komparasi, Petugas kesehatan membandingkan data Obat yang pernah, sedang dan akan
digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan
ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula terjadi
bila ada Obat yang hilang,berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang
didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja
(intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun tidak disengaja (unintentional)
dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan Resep.

c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian dokumentasi. Bila ada
ketidak sesuaian , maka dokter harus dihubungi kurang dari 24 jam. Hal lain yang harus
dilakukan oleh Apoteker adalah:
1. menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak
disengaja.
2. mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti.
3. memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi Obat.
d. Komunikasi, melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga
pasien atau perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab
terhadap informasi Obat yang diberikan. (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit.

FORMULIR REKONSILIASI OBAT


DAN DAFTAR OBAT YANG DIBAWA DARI RUMAH

Nama Pasien :
No. RM :
Tanggal Lahir :

Tanggal Daftar obat yang Seberapa berat Reaksi


menimbulkan alergi alerginya Alerginya
R: Ringan
S: Sedang
B: berat

Jenis obat, obat resep, herbal, atau tcm yang dibawa


Tanggal Nama Dosis/Frekuensi Berapa Alasan Berlanjut
obat lama makan saat rawat
obat inap
Ya Tidak

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

PEDOMAN PENYIMPANAN OBAT RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :

1. Bahwa perbekalan farmasi adalah terdiri dari obat, alat kesehatan, reagen,
gas medis, ataupun film.
2. Bahwa perbekalan farmasi harus dikelola dan menjadi tanggung jawab
Instalasi Farmasi.
3. Bahwa dalam pengelolaan perbekalan farmasi perlu dilakukan penyimpanan
perbekalan farmasi sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga tidak
mengurangi mutu dari perbekalan farmasi tersebut.
4. Bahwa untuk menjamin perbekalan farmasi disimpan secara aman, sesuai
dengan dan menjaga mutu dan stabilitas obat maka perlu ditetapkan Surat
Keputusan Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo tentang Pedoman
Penyimpanan Obat.

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.


2. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 3 tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
psikotropika, dan Prekusor Farmasi.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Penyimpanan Obat Rumah Sakit RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Peyimpanan perbekalan farmasi di pelayanan farmasi dan seluruh ruang


keperawatan menjadi tanggung jawab dari Instalasi Farmasi.
2. Aturan dan tata cara penyimpanan perbekalan farmasi di Rumah Sakit
terlampir dalam Surat Keputusan ini.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Labuan Bajo


Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Minah Sukri, MARS

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan


6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
LAMPIRAN SURAT PERATURAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR :
TANGGAL :

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pengelolaan obat di rumah sakit sangat penting karena ketidakefisienan akan
memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medis maupun ekonomis
(Anonim, 1994). Pengelolaan obat tidak hanya mencakup aspek logistik saja, tetapi juga
mencakup aspek informasi obat, supervisi dan pengendalian menuju penggunaan obat yang
rasional (Justicia, 2009).
Dalam pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit tahapan yang penting adalah
proses penyimpanan. Penyimpanan merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi
menurut persyaratan yang telah ditetapkan disertai dengan sistem informasi yang selalu
menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan. Tujuan dari manajemen
penyimpanan obat adalah untuk melindungi obat-obat yang disimpan dari kehilangan,
kerusakan, kecurian, terbuang sia-sia, dan untuk mengatur aliran barang dari tempat
penyimpanan ke pengguna melalui suatu sistem yang terjangkau (Anonim, 2006).
Definisi Penyimpanan perbekalan farmasi secara umum adalah suatu kegiatan
menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada
tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat.
Penyimpanan perbekalan farmasi dimaksudkan juga untuk pengaturan tempat penyimpanan
perbekalan farmasi sesuai dengan peraturan yang berlaku dan memudahkan dalam
pengontrolan ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.
Dalam upaya terciptanya sistem penyimpanan perbekalan farmasi yang baik, Rumah
sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk mengatur
tempat penyimpanan menurut bentuk sediaan dan jenisnya, suhu dan kestabilannya, sifat
bahan (b3, mudah tidaknya meledak atau terbakar), tahan tidaknya terhadap cahaya, tingkat
kewaspadaan (obat-obat kewaspadaan tinggi ).
B. TUJUAN
Tujuan Umum :
Terwujudnya sistem penyimpanan yang baik, memudahkan dalam pengelolaan dan
pencarian sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tujuan Khusus :
1. Memelihara mutu sediaan farmasi
2. Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab
3. Menjaga ketersediaan
4. Memudahkan dalam pencarian dan pengawasan
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup penyimpanan perbekalan farmasi meliputi :
1. Instalasi Farmasi
2. Gudang Farmasi
3. Ruang perawatan
4. Poliklinik rawat jalan
5. ICU
6. Laboratorium
7. Radiologi
BAB II
TATA LAKSANA

A. PENERIMAAN
Tahapan awal sebelum obat disimpan adalah penerimaan. Penerimaan perbekalan
farmasi dari distributor di rumah sakit menggunakan sistem 1 pintu dilakukan di logistik
farmasi. Penerimaan perbekalan farmasi harus sesuai dengan surat pesanan dan
memperhatikan kualitas dan kuatintas perbekalan farmasi yang diterima. Sebelum diterima
perbekalan farmasi harus dicek. Pengecekan perbekalan farmasi meliputi :
a. Nama pemesan di faktur
b. Nama perbekalan farmasi
c. Jumlah
d. Kekuatan untuk obat
e. Waktu kadaluarsa dan
f. Kondisi fisik obat.
B. PENYIMPANAN
Penyimpanan perbekalan farmasi di rumah sakit dikendalikan oleh kepala instalasi
farmasi. Penyimpanan dilakukan di depo – depo farmasi, laboratorium, radiologi,
poliklinik, ruang perawatan dan unit khusus. Penyimpanan di depo farmasi dibedakan
menurut :
1. Bentuk Sediaan dan Jenisnya, Perbekalan farmasi di tata menurut bentuk sediaannya
meliputi:
a. Tablet, kaplet, kapsul dan puyer di tata sesuai abjad
b. Syrup dan larutan obat minum ditata sesuai abjad
c. Injeksi dan infus obat di tata sesuai abjad
d. Salep, cream, lotion dan powder ditata sesuai abjad
e. Tetes mata dan salep mata ditata sesuai abjad
f. Tetes telinga di tata sesuai abjad
g. Infus dasar ditata di atas palet
h. Alkes ditata terpisah dari obat disesuaikan dengan tempat
penyimpanannya.
i. Bahan – bahan kimia yang bukan termasuk B3 di tata tersendiri terpisah dengan obat
dan alkes.
Perbekalan farmasi ditatas menurut jenisnya meliputi :
1. Obat narkotika di simpan dilemari terpisah, tertutup, rangkap dua dan terkunci
2. Obat psikotropika di simpan dilemari terpisah, tertutup, dan terkunci
3. Obat generik
4. Obat HIV
5. Obat paten
2. Suhu dan Kestabilannya
Suhu penyimpanan perbekalan farmasi meliputi :
a. Suhu ruang terkontrol (20˚C-25˚C)
b. Suhu Refrigerator (2˚C-8˚C)
c. Suhu Freezer (-20˚ C) - (-10˚C). Freezer yang digunakan untuk menyimpan obat
berupa freezer yang terpisah dari refrigerator, bukan kombinasi refrigerator-
freezer.
d. Suhu Warmer (maksimun tidak boleh lebih dari 43˚C).
Untuk memantau suhu penyimpanan perbekalan farmasi, maka :
1) Setiap tempat dan atau ruang penyimpanan perbekalan farmasi harus
dipasang termometer ruangan.
2) Suhu ruangan dan suhu kulkas dicek dan dicatat pada blangko suhu yang di
tempatkan di dekat thermometer suhu.
3) Pemantauan suhu ruang dan suhu kulkas penyimpanan obat dilakukan setiap
hari oleh asisten apoteker atau staff terlatih yang ditunjuk secara sah.
4) Pemantauan suhu di dalam ruang dan suhu di kulkas penyimpanan obat
dilakukan dengan cara melihat dan membaca suhu yang tertera pada
termometer dan kulkas. Suhu dicatat pada log temperatur pada jam 08.00
pagi, jam 15.00 siang dan jam 22.00 malam untuk unit pelayanan 24 jam.
5) Khusus pada hari libur, untuk depo dan unit yang tutup pemantauan suhu
dilakukan setelah petugas masuk kerja.
6) Pada kondisi suhu ruang atau suhu kulkas penyimpanan perbekalan farmasi di
luar rentang suhu yang seharusnya, maka petugas harus segera menghubungi
unit pemeliharaan alat rumah sakit.
Dokumentasi pemantauan suhu penyimpanan perbekalan farmasi dilakukan
setiap hari dengan menggunakan form log temperatur yang telah ditentukan
dan pada akhir bulan ditandatangani oleh kepala bagian/kepala unit/kepala
ruangan
3. Sifat Bahan ( mudah tidaknya meledak atau terbakar ).
Penyimpanan B3 ( bahan berbahaya dan beracun ) :
a. Mengikuti standar dalam MSDS masing-masing bahan
b. Terpisah dari obat dan alat kesehatan lainnya.
c. Tempat penyimpanan tersendiri dan selalu terkunci, Memiliki ventilasi
yang baik dan memiliki wastafel
4. Tahan Tidaknya Terhadap Cahaya.
5. Penyimpanan obat yang tidak tahan cahaya dilakukan di dalam kemasan tertutup
dan gelap. Tingkat Kewaspadaan (obat-obat HAM). Penyimpanan obat-obat HAM
diatur dalam kebijakan penyimpanan obat-obat kewaspadaan tinggi.

Penyimpanan Perbekalan Farmasi Khusus


1. Penyimpanan Produk Nutrisi
Penyimpanan produk nutrisi di Rumah Sakit ada 4 macam, meliputi :
a. Penyimpanan produk nutrisi enteral yang belum diolah dilakukan di bagian gizi dan
instalasi farmasi terpisah dengan bahan lain.
b. Penyimpanan produk nutrisi enteral yang sudah diolah penyimpanannya sesuai
dengan kebijakan dari instalasi gizi. Penyimpanan produk nutrisi parenteral yang masih
utuh di instalasi farnasi dan ruang keperawatan disimpan terpisah dari perbekalan
farmasi lain.
c. Penyimpanan produk nutrisi parenteral yang sudah direkonstitusi di ruang perawatan
disimpan pada suhu 2 – 6 ◦C ( dalam kulkas )
2. Penyimpanan Kontras
Penyimpanan kontras dilakukan dengan mengikuti standar MSDS dan terpisah
dari obat Dan alat kesehatan lainnya. Penyimpanan dilakukan di bagian
radiologi.
3. Penyimpanan Reagen
Penyimpanan reagen dilakukan dengan mengikuti standar MSDS dan terpisah dari obat
Dan alat kesehatan lainnya. Penyimpanan dilakukan di bagian laboratorium.
C. PENINGKATAN KEAMANAN PERBEKALAN FARMASI
Dalam meningkatkan keamanan penyimpanan perbekalan farmasi maka segala tempat
penyimpanan perbekalan farmasi harus dikunci setiap tidak ada penjaga atau petugas di tempat
penyimpanan perbekalan farmasi.
Selain mengunci tempat perbekalan farmasi, petugas yang masuk ke dalam tempat tempat
perbekalan farmasi dibatasi, antara lain :
1. Petugas logistik farmasi
2. Petugas farmasi
3. Petugas instalasi lain untuk pengadaan perbekalan farmasi
4. Petugas dari instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan
Dalam prakteknya apabila dibutuhkan perbekalan farmasi yang berada di depo farmasi
sudah tutup diatur dalam kebijakan pelayanan perbekalan farmasi saat depo farmasi tutup.
Untuk mendukung pengawasan perbekalan farmasi, logistik farmasi dilengkapi dengan CCTV
untuk pengawasan dari kehilangan barang dan penyalahgunaan perbekalan farmasi.

D. BARANG-BARANG PERBEKALAN FARMASI


Perbekalan farmasi yang disimpan harus memiliki informasi yang jelas, meliputi nama,
kekuatan dan bentuk sediaan obat, peringatan, tanggal kadaluarsa atau beyond use date,
informasi penyimpanan dari pabrik sebelum produk dibuka maupun setelah dibuka.

E. PENYUSUNAN PERBEKALAN FARMASI


Perbekalan farmasi disimpan dan disusun dengan menggunakan metode :
1. Alfabetis
2. FIFO (first in first out) perbekalan farmasi yang pertama kali masuk (diterima) itu yang
pertama kali dikeluarkan ( didistribusikan ). Metode ini digunakan untuk penyusunan alkes.
3. FEFO (First Expired First Out perbekalan farmasi yang tanggal kadaluarsa awal (hampir
kadaluarsa) dikeluarkan (didistribusikan) terlebih dahulu. Metode ini digunakan untuk
penyusunan obat.

F. PENYIMPANAN OBAT-OBAT KADALUARSA


Obat dan alat kesehatan yang telah kadaluarsa atau rusak disimpan di lemari terpisah dan
terkunci. Pada lemari harus diberi label “Obat Rusak/Kadaluarsa, Jangan
Diracik/Digunakan”.

G. PENYIMPANAN OBAT-OBATAN DI BANGSAL KEPERAWATAN

1. Obat untuk pasien rawat inap disimpan diloker tempat penyimpanan obat pasien yang
dikelola oleh perawat bekerja sama dengan bagian farmasi.
2. Obat untuk pasien rawat inap harus memiliki label identitas pasien dan nama, jumlah dan
kekuatan obat.
3. Obat yang digunakan untuk banyak pasien di rawat inap di simpan dengan diberi label dan
terpisah dari obat yang belum digunakan.
4. Obat obat yang digunakan untuk banyak pasien di rawat inap , setelah dibuka diberikan
label informasi tanggal dibuka dan disimpan sesuai persyaratan penyimpanan. Masa obat
setelah dibuka dibatasi maksimal 30 hari setelah obat pertama kali segel dibuka

H. PENYIMPANAN OBAT-OBATAN SISA

Obat injeksi di kamar operasi bentuk ampul yang sudah dipakai sebagian, sisa obatnya
di spuit, diberi label yang baik dan disimpan dalam kulkas yang berisi tanggal pemakaian
terakhir, nama obat, dosis obat, dan nama perawat (batas maksimal obat dapat digunakan
24 jam setelah obat pertama kali dibuka segelnya). Obat sisa penyimpanannya tidak lebih
dari 24 jam.

I. PENYIMPANAN OBAT SAMPLE


Rumah sakit menyimpan dan mengelola obat sample yang diatur dalam kebijakan obat
sample.

J. PENGECEKAN TANGGAL KADALUARSA


Pengecekan tanggal kadaluarsa :
1. Pengecekan tanggal kadaluarsa obat dan alkes di setiap area penyimpanan dilakukan
setiap sebulan sekali. Dilakukan oleh petugas logistik farmasi, petugas instalasi farmasi,
dan keperawatan.
2. Enam bulan sebelum tanggal kadaluarsa, semua perbekalan farmasi harus sudah
dikembalikan ke Depo Logistik Farmasi.

BAB III
PENUTUP

Pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit sangat penting fungsinya bagi


terwujudnya pelayanan perbekalan farmasi yang baik. Pengelolaan perbekalan farmasi yang
baik didukung juga dengan sistem penyimpanan yang baik untuk perbekalan farmasi diseluruh
unit pelayanan di rumah sakit. Untuk membangun sistem penyimpanan yang baik dan
menerapkanya diperlukan kerja sama dari semua unit pelayanan, mulai dari farmasi, perawat,
radiologi, laboratorium, dokter, manajer dan direksi rumah sakit untuk mendukung sistem
penyimpanan perbekalan farmasi yang sudah dibuat
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang

KEBIJAKAN KESALAHAN OBAT (MEDICATION ERROR) DAN PELAPORAN KESALAHAN


OBAT
Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :
1. Bahwa dalam pelayanan kefarmasian harus diberikan dengan berpedoman
pada peningkatan mutu pelayanan farmasi dan mengutamakan
keselamatan pasien.
2. Bahwa dalam pemberian pelayanan farmasi kepada pasien harus diberikan
secara benar, tepat dan sesuai untuk pasien sehingga bisa mencegah atau
mengurangi terjadinya kesalahan obat (medication error).
3. Kesalahan obat (medication error) merupakan kejadian yang salah dalam
pemberian obat dan alat kesehatan yang dapat menciderai pasien atau
membahayakan bagi pasien.

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.


2. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit.
3. Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 tahun 2017 tentang
Keselamatan Pasien.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayan Kefarmasian di Rumah Sakit.
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
7. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI
/SK-P/I/2018 tentang Kebijakan Kesalahan Obat (Medication Error) Dan
Pelaporan Kesalahan Obat RSU Santo Yoseph Labuan Bajo.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN


KESALAHAN OBAT (MEDICATION ERROR) DAN PELAPORAN
KESALAHAN OBAT
2. Kesalahan obat (medication error) merupakan kejadian yang salah dalam
pemberian obat dan alat kesehatan yang dapat menciderai pasien atau
membahayakan bagi pasien.
3. Setiap kesalahan obat harus dibuat pelaporannya dan dilaporkan kepada
komite keselamatan pasien Rumah Sakit 
4. Jenis jenis/tipe kesalahan obat yang harus dilaporkan ke komite
keselamatan pasien rumah sakit terlampir.
5. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal
1 tahun sekali.
6. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
dilakukan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Minah Sukri, MARS


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis


2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR :
TANGGAL :

1. Kesalahan obat (medication error) merupakan kejadian yang salah dalam pemberian obat
dan alat kesehatan yang dapat menciderai pasien atau membahayakan pasien.
2. Setiap kesalahan obat yang ditemukan wajib dilaporkan oleh petugas yang menemukan
kejadian tersebut atau terlihat langsung dengan kejadian tersebut, kepada kepala
unit.penanggung jawab ruang. Kepala unit/penanggung jawab ruang akan melaporkan
kejadian kesalahan obat kepada komite keselamatan Rumah Sakit 
3. Laporan kesalahan obat dibuat secara tertulis dengan menggunakan alur dan format insiden
keselamatan pasien yang sudah ditetapkan.
4. Jenis jenis/tipe kesalahan obat (medication error) yang harus dilaporkan sebagai berikut:
a. Kejadian Nyaris Cidera (KNC) adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke
pasien pengadaan, penyimpanan, distribusi dispensing, permintaan, peresepan, pemberian
dan pemantauan tetapi diketahui sebelum obat diberikan kepada pasien sehingga obat
tidak digunakan oleh pasien.
b. Kejadian Tidak Cidera (KTC) adalah terjadinya insiden yang sudah sampai terpapar ke
pasien tetapi tidak menimbulkan cidera berkaitan dengan kesalahan obat (medication error)
yang telah terjadi pada proses pengadaan, penyimpanan, distribusi, dispensing,
permintaan, peresepan, persiapan, pemberian, dan pemantauan tetapi pasien tidak
mengalami cidera.
c. Kejadian tidak diharapkan (KTD) / adverse event adalah suatu kejadian yang tidak
diharapkan yang mengakibatkan cidera pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan dan bukan karena penyakit
dasarnya atau kondisi pasien. Jenis KTD ini adalah yang berdampak cidera ringan sampai
sedang dan bersifat reversibel, yang tidak termasuk dalam kategori sentinel events,
berkaitan dengan kesalahan obat (medication error) yang terjadi pada proses pengadaan,
penyimpanan, distribusi, dispensing, permintaan, peresepan, persiapan, pemberian, dan
pemantauan dan pasien mengalami cidera.
d. Sentinel event adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cidera yang serius
atau permanen yang terjadi tidak terkait dengan penyakit yang diderita pasien berkaitan
dengan kesalahan obat (medication error) yang terjadi pada proses pengadaan,
penyimpanan, distribusi, dispensing, permintaan, peresepan, persiapan, pemberian dan
pemantauan sehingga pasien mengalami cidera irreversible dan kematian.
5. Tipe kesalahan obat (medication error) adalah sebagai berikut:
a. Prescribing error (kesalahan peresepan)
Kesalahan pemilihan obat (berdasarkan indikasi, kontraindikasi, alergi yang telah
diketahui, terapi obat yang sedang berlangsung dan faktor lainnya) dosis, bentuk sediaan
obat, kuantitas, rute, konsentrasi, kecepatan pemberian atau instruksi untuk penggunaan
obat, penulisan resep yang tidak jelas dan lain lain yang menyebabkan terjadinya
kesalahan pemberian obat kepada pasien.
b. Unauthorized error
Memberikan obat yang tidak diinstruksikan oleh dokter
c. Wrong patient
Memberikan obat kepada pasien yang salah
d. Improrer dose error
Memberikan dosis obat kepada pasien lebih besar atau lebih kecil daripada dosis yang
diinstruksikan oleh dokter, atau memberikan dosis duplikasi.
e. Wrong dosage-form error
Memberikan obat kepada pasien dengan bentuk sediaan obat yang berbeda dengan yang
diinstruksikan oleh dokter, misal : Parasetamol tablet diberikan Parasetamol sirup.
f. Deteriorated drug error
Memberikan obat yang telah kadaluwarsa atau yang telah mengalami penurunan integritas
fisik atau kimia.
g. Form pelaporan, grading resiko (risk grading), tindakan tindak lanjut dan pencegahan
mengikuti format pelaporan yang telah ditentukan oleh Komite Keselamatan Pasien.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

KEBIJAKAN PERESEPAN, PEMESANAN DAN PENCATATAN OBAT

RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :
1. Bahwa pelaksanaan peresepan, pemesanan dan pencatatan obat dan data
pasien mengenai penggunaan untuk dilakukan oleh petugas FRS.
2. Pelaksanaan peresepan, pemesanan dan pencatatan obat yang dilakukan
bertujuan agar penggunaan obat dengan memperhatikan keamanan
penggunaan obat oleh pasien.
3. Pengelolaan obat dilakukan oleh petugas IFRS dan melakukan
pendokumentasian pemesanan dan penggunaan obat.

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.


2. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit
3. Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Peresepan, Pemesanan Dan Pencatatan Obat Rumah Sakit
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Pemesanan obat yang dilakukan di IFRS dengan sistem


Pemesanan reguler yang menggunakan fasilitas media
komunikasi.
2. Peresepan obat yang dilakukan oleh petugas IFRS sesuai dengan resep yang
ditulis oleh pihak penulis resep dan pengelolaan resep dilakukan oleh petugas
IFRS.
3. Pencatatan obat yang tersedia dalam lemari penyimpanan dicatat dalam kartu
stok dan program komputer secara lengkap.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Lbauan Bajo


Tanggal : 2021
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Minah Sukri, MARS


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis


2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR :
TANGGAL :

KEBIJAKAN PEMESANAN OBAT, PENCATATAN OBAT

A. Pengadaan Perbekalan Farmasi

IFRS memperoleh obat atau perbekalan farmasi berasal dari Pedagang Besar Farmasi
(PBF) atau dari rumah sakit lain. Pedagang Besar Farmasi secara intensif mensuplai
ketersediaan obat, jarak pengirimannya memiliki waktu yang berbeda-beda, ada yang datang
untuk mensuplai setiap tiga kali perminggu, bahkan juga ada pengiriman datang setiap hari.
Waktu pengiriman barang berbeda-beda, ada yang sekarang pesan, besok barang
dikirim, adapula yang selang satu hari setelah pemesanan.Sistem pembayaran yang dilakukan
terhadap Pedagang Besar Farmasi (PBF) dapat dilakukan secara tunai ataupun kredit.

B. Pemesanan Obat
Pemesanan obat yang dilakukan di IFRS yaitu dengan system pemesanan regular (umum).
Oleh karena itu, surat pesanan yang digunakan adalah surat pesanan regular, atau bisa juga
menggunakan fasilitas media komunikasi.

C. Penerimaan Perbekalan Farmasi


Selang satu atau dua hari barang yang dipesan akan datang dan disertai dengan faktur
pembelian. Ketika barang datang, Apoteker/Asisten Apoteker harus segera mengecek faktur
dan surat pesanan serta memeriksa kesesuaian barang yang dipesan. Pengecekan barang
datang dilakukan dengan cara:
Mencocokan nama barang, nomor batch, jumlah barang, harga barang, expired date
dengan keterangan yang tertera pada surat pesanan dan faktur.
Setelah semua barang sesuai dengan pesanan maka faktur diparaf dan distempel. Namun
apabila terjadi ketidaksesuaian barang, maka pihak gudang farmasi meretur barang tersebut
disertai dengan bukti returnya.
Faktur asli diberikan kepada ke PBF, sedangkan copyannya disimpan sebagai arsip
gudang farmasi. Apabila pembayaran obat sudah lunas faktur asli yang berada di PBF
diserahkan ke gudang farmasi.

D. Penyimpanan Perbekalan Farmasi


Penyimpanan perbekalan farmasi di IFRS digolongkan berdasarkan :
1. Bentuk sediaan (tablet, sirup, drops, salep, dan bentuk sediaan lainnya) yang disusun
secara alfabetis.
2. Berdasarkan FIFO (First In First Out), yaitu obat-obat yang pertama masuk dan pertama
keluar dan FEFO (First Expired First Out), yaitu obat-obat yang kadaluarsanya cepat,
pertama keluar.
3. Berdasarkan sifat obatnya yang meliputi penyimpanan obat berdasarkan suhu yang telah
ditentukan.
4. Berdasarkan golongan obatnya, seperti untuk obat golongan bebas dan bebas terbatas
disimpan di etalase bagian depan (tidak apa-apa terlihat oleh konsumen), karena
golongan obat ini dijual secara bebas kepada pasien. Sementara untuk golongan obat
keras dan keras terbatas disimpan di etalase bagian belakang (tidak boleh terlihat oleh
konsumen), karena obat golongan ini tidak dijual secara bebas kepada pasien. Begitu
pula, untuk golongan obat psikotropika disimpan di suatu lemari yang terpisah dari obat-
obat lainnya.

E. Program Komputer (SIRS)


Fungsi dari program ini untuk mencatat barang yang masuk dan keluar yang ditulis
perjenis obat.

F. Pelayanan Perbekalan Farmasi


Bentuk atau system saluran distribusi perbekalan farmasi sesuai dengan kebijakan atau
peraturan seperti yang tercantum dalam undang-undang kesehatan.
Perbekalan Farmasi menurut Undang-Undang Kesehatan meliputi :
1. Obat
2. Bahan Baku
3. Obat Tradisional (Obat asli Indonesia)
4. Alat Kesehatan
5. Kosmetik
Obat terdiri dari enam golongan yaitu :
1. Obat Narkotik
2. Obat Psikotropika
3. Obat Keras
4. Obat Obat Tertentu
5. Obat Bebas Terbatas
6. Obat Bebas
7. Obat Prekusor

G. Pelayanan Resep Dokter


Resep dapat diartikan sebagai pernyataan tertulis dari seorang dokter. Resep harus
tertera jelas dan lengkap supaya tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat kepada
pasien. Ketidakjelasan/kesimpangsiuran pada resep harus segera dikonfirmasi pada dokter
yang menulis resep tersebut. Resep-resep dari dokter tersebut akan diarsipkan, kemudian
arsip resep tersebut disimpan selama 3 tahun di IFRS. Setelah 3 tahun resep itu akan
dimusnahkan dengan cara dibakar serta akan dibuat acara beritanya.
Namun ada pula pelayanan obat tanpa resep dokter, dimana konsumen langsung membeli
obat bebas atau bebas terbatas ke IFRS.

H. Pelayanan Informasi Obat


Di IFRS memberikan informasi obat berusaha secara detail, contohnya seperti
menjelaskan penggunaan obat tersebut dan memberitahukan fungsi obatnya.

I. Pengelolaan Obat Psikotropika


Menurut Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1997 psikotropika adalah zat atau obat baik
alamiyah ataupun sintetis, bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada system syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada mental dan
perilaku.
Obat psikotropika yang ada di IFRS, adalah antara lain :
1. Phenobarbital (Luminal) 30 mg
2. Analsik tablet
3. Diazepam 2 mg
4. Arkine tablet
5. Stesolid rektal 5 mg
6. Stesolid rektal 10 mg
Pemesanan obat psikotropika dapat dilakukan dengan menyertakan Surat Pesanan (SP)
khusus dan dipisahkan dari SP obat-obat lain. SP obat psikotropika ini dibuat rangkap tiga,
hanya saja pemesanan obat psikotropika dapat dipesan dari beberapa Pedagang Besar
Farmasi (PBF) tertentu.

J. Penyimpanan Obat Psikotropika


Dalam penyimpanan obat psikotropika ini diperlakukan secara khusus. Disimpan disuatu
lemari yang terpisah dengan obat keras lainnya.

K. Pelaporan Obat Psikotropika


Obat Psikotropika dalam hal kepemilikannya harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan
(Dinkes) Kabupaten. Di IFRS pelaporannya dilakukan tiap satu bulan sebelum tanggal 10.
Laporan ini ditanda tangani oleh Apoteker.

L. Pengelolaan Obat Rusak Dan Kadaluarsa


Untuk obat-obat yang mendekati kadaluarsa ataupun sudah kadaluarsa akan diretur
(dikembalikan) jika Pedagang Besar Farmasi (PBF) bersedia, tetapi dengan persyaratan
tertentu. Tetapi jika PBF tidak bersedia, maka obat-obatan tersebut akan dikumpulkan dan
dimusnahkan dengan cara tertentu, contohnya untuk sediaan obat yang berbentuk tablet,
cara pemusnahannya yaitu digerus terlebih dahulu, kemudian dikubur dengan tanah. Begitu
pula, sediaan obat yang sirup, cara pemusnahannya dibuang sirup tersebut ke tong sampah,
baru botol kosongnya dibuang. Dan akan dibuat acaranya.
Untuk meretur obat yang kadaluarsa biasanya PBF memberi persyaratan-persyaratan
tertentu seperti, obat-obat tersebut harus dalam keadaan utuh dan harus diretur tiga bulan
sebelum expired date.
1. Administrasi IFRS
2. Administrasi Pembukuan

Administrasi pembukuan ini berguna untuk mencatat seluruh kegiatan-kegiatan dan


transaksi-transaksi yang telah dilaksanakan. Di IFRS, buku-buku yang digunakan adalah
sebagai berikut :
1. Buku Penerimaan Barang.
2. Buku penerimaan barang dibuat untuk mencatat pembelian barang, retur penjualan.
3. Buku Penerimaan Barang.
4. Buku penerimaan barang dibuat untuk mencatat pembelian barang, retur penjualan.
5. Buku Pencatatan Resep.
6. Buku yang digunakan untuk mengarsipkan resep-resep yang ada di IFRS.
7. Buku Pencatatan Psikotropika.
8. Buku yang digunakan untuk mencatat pemasukkan dan pengeluaran obat psikotropika.

M. Laporan Penjualan
Laporan penjualan berfungsi untuk mencatat hasil dari penjualan, untuk mengetahui omset
penjualan yang digunakan sebagai dasar laporan keuangan di IFRS setiap bulannya ke WaDir
Keuangan.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

PANDUAN PEMBERIAN INFORMASI DAN EDUKASI RUMAH


SAKIT
Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :
1. Bahwa dalam pemberian informasi dan edukasi kepada pasien dan Keluarga
dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku kesehatan untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal
2. Bahwa penyelenggaraan pendidikan pasien dan pemberian informasi di
Rumah Sakit diperlukan adanya Panduan Pemberian Informasi dan Edukasi.

MENGINGAT :
1. Undang-Undang RI Nomor 72 tahun 1963 tentang Farmasi.
2. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan
Pasien.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI
/SK-P/I/2018 tentang Panduan Pemberian Informasi Dan Edukasi Rumah
Sakit RSU Santo Yoseph Labuan Bajo.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Panduan pemberian informasi dan edukasi Rumah Sakit sebagaimana
terlampir dalam keputusan ini
2. Panduan berlaku sejak ditetapkan dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
(satu) tahun sekali
3. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
dilakukan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Labuan Bajo


Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Minah Sukri, MARS


Direktur

TEMBUSAN Yth :
1. Wadir Pelayanan Medis
2. Komite Medis
3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit
4. Kepala Bagian Keperawatan
5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
NOMOR :
TANGGAL :
BAB I
DEFINISI
1. Informasi
Informasi adalah pesan yang disampaikan seseorang komunikator kepada komunikan.
Menurut Rakhmat (1986), proses informasi meliputi empat tahap, yakni tahap sensasi,
persepsi, memori dan berpikir. Tahap sensasi merupakan tahap yang paling awal dalam
penerimaan informasi melalui alat indera, sehinnga individu dapat memahami kualitas fisik
lingkungannya. Selanjutnya individu mempersepsikan objek, peristiwa, atau pun hubungan-
hubungan yang diperoleh, kemudian menyimpulkan atau menafsirkan informasi tersebut.
Sensasi yang telah dipersepsikan oleh individu direkam oleh memori.
Memori berperan penting dalam mempengaruhi baik persepsi maupun berpikir. Dengan
memori inilah informasi dapat direkam, disimpan, dan kemudian digunakan kembali, jika
diperlukan. Tahap terakhir proses pengolahan informasi adalah berpikir, yang
mempengaruhi penafsiran individu terhadap stimuli. Berpikir dilakukan untuk memahami
realitas dalam rangka mengambil keputusan, memecahkan persoalan, dan menghasilkan
pengetahuan baru. Proses pengolahan informasi ini akan dapat menimbulkan suatu
perubahan pada sikap atau tindakan individu. Menurut Aristoteles (dalam fisher, 1986),
(dalam Tina Afianti, 2007), informasi dapat digunakan sebagai alat persuasi. Informasi dapat
digunakan untuk membujuk dan mempengaruhi perilaku manusia, atau untuk mengubah
perilaku manusia, sesuai yang diinginkan pemberi informasi. Melalui informasi individu
mendapatkan pengetahuan.

2. Edukasi
Edukasi Kesehatan adalah kegiatan upaya meningkatkan pengetahuan kesehatan
perorangan paling sedikit mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup
bersih dan sehat dalam upaya meningkatkan status kesehatan peserta, mencegah
timbulnya kembali penyakit dan memulihkan penyakit. Menurut Ross (1998) dalam (Afiatin,
2007), pendidikan yang berusaha mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku, lebih penting
dibandingkan hanya sekedar memberikan informasi tanpa disertai usaha pembentukan
sikap dan perubahan perilaku nyata. Haloran (1970) menyatakan bahwa interaksi dengan
tatap muka langsung antara pihak penerima pesan dan pihak penyampai pesan merupakan
intervensi dua arah yang lebih memungkinkan untuk menghasilkan perubahan. Dengan
demikian peningkatan pengetahuan yang bertujuan untuk mengubah sikap akan lebih efektif
jika disampaikan dengan cara tatap muka langsung.
Menurut Ross (1998) dalam (Afiatin, 2007), pendidikan yang berusaha mengubah
pengetahuan, sikap dan perilaku, lebih penting dibandingkan hanya sekedar memberikan
informasi tanpa disertai usaha pembentukan sikap dan perubahan perilaku nyata. Haloran
(1970) menyatakan bahwa interaksi dengan tatap muka langsung antara pihak penerima
pesan dan pihak penyampai pesan merupakan intervensi dua arah yang lebih
memungkinkan untuk menghasilkan perubahan. Dengan demikian peningkatan
pengetahuan yang bertujuan untuk mengubah sikap akan lebih efektif jika disampaikan
dengan cara tatap muka langsung. Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi
perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, himbauan, ajakan, memberikan
informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya, melalui kegiatan yang disebut
pendidikan atau penyuluhan kesehatan. Memang dampak yang timbul dari cara ini terhadap
perubahan perilaku masyarakat memakan waktu yang lama, dibanding dengan cara koersi.
Namun demikian bila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat, maka akan langgeng,
bahkan selama hidup dilakukan.
Dalam rangka pembinaan dan peningkatan perilaku kesehatan masyarakat,
tampaknya pendekatan edukasi (pendidikan kesehatan) lebih tepat dibandingkan dengan
pendekatan koersi. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan adalah suatu bentuk
intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk
kesehatan. Dengan perkataan lain pendidikan kesehatan mengupayakan perilaku individu,
kelompok, atau masyarakat mempunyai pengaruh positf terhadap pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan.
BAB II
RUANG LINGKUP

Ruang lingkup pemberian informasi dan edukasi dapat dilihat dari berbagai dimensi,
antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau aplikasinya, dan
dimensi tingkat pelayanan kesehatan.
1. Sasaran Pendidikan Kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
a. Pendidikan kesehatan individual, dengan sasaran individu
b. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok
c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat
2. Tempat Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan
Menurut dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di
berbagai tempat. Dengan sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya:
a. Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan sasaran murid, guru
b. Pendidikan kesehatan di Rumah Sakit, dilakukan di rumah sakit dengan sasaran pasien,
keluarga pasien, pengunjung, petugas Rumah Sakit, dan masyarakat sekitar Rumah Sakit
c. Pendidikan kesehatan di Posyandu atau Desa Binaan dengan sasaran masyarakat sekitar
3. Tingkat Pelayanan Pendidikan Kesehatan
Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat dilakukan berdasarkan
lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari Leavel and Clark, sebagai berikut:
a. Promosi Kesehatan (Health Promotion).
Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam peningkatan gizi,
kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan, higiene perorangan, dan sebagainya.
b. Perlindungan Khusus (Specifik Protection)
Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan khusus ini pendidikan
kesehatan sangat diperlukan terutama di negara-negara berkembang. Hal ini karena
kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisasi sebagai cara perlindungan terhadap
penyakit pada orang dewasa maupun pada anak-anaknya masih rendah.
c. Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment)
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan
penyakit, maka sering sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang terjadi di dalam
masyarakat. Bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati
penyakitnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan
kesehatan yang layak. Oleh sebab itu pendidikan kesehatan sangat diperlukan pada tahap
ini.
d. Pembatasan Cacat (Disability Limitation)
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan
penyakit, seringkali mengakibatkan masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya sampai
tuntas. Dengan kata lain mereka tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang
komplit terhadap penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna dapat
mengakibatkan orang yang bersangkutan menjadi cacat atau memiliki ketidakmampuan
untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu pendidikan kesehatan juga diperlukan pada
tahap ini.
e. Rehabilitasi (rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi cacat. Untuk
memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan-latihan tertentu. Oleh
karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak atau segan
melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Di samping itu orang yang cacat setelah
sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi
pula masyarakat tidak mau menerima mereka sebagai anggota masyarakat yang normal.
Oleh sebab itu jelas pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat
tersebut, tetapi juga perlu pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
Rumah Sakit dalam memberikan materi dan proses edukasi pada pasien dan keluarga
minimal berupa topik sebagai berikut :
1) Penggunaan obat - obatan yang didapat pasien secara efektif & aman, termasuk
potensi efek samping obat
2) Penggunaan peralatan medis secara efektif & aman
3) Potensi interaksi antara obat yang diresepkan dengan obat lainnya, serta
makanan
1) Diet dan nutrisi
2) Manajemen nyeri dan teknik rehabilitasi

BAB III
TATA LAKSANA

Dalam memberikan pelayanan informasi dan edukasi pada sasaran (pasien, keluarga,
pengunjung, dll) harus menggunakan komunikasi yang efektif agar tepat, akurat, jelas, dan
mudah dipahami oleh sasaran, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan
(kesalahpahaman). Komunikasi itu bisa bersifat informasi (asuhan) dan edukasi (pelayanan
promosi)
1. Komunikasi yang bersifat infomasi asuhan didalam rumah sakit adalah :
a. Jam pelayanan
b. Pelayanan yang tersedia
c. Cara mendapatkan pelayanan
d. Sumber alternatif mengenai asuhan dan pelayanan yang diberikan ketika kebutuhan
asuhan pasien melebihi kemampuan rumah sakit. Akses informasi ini dapat diperoleh
melalui Customer Service, Admission, dan Website.
2. Komunikasi yang bersifat Edukasi (Pelayanan Promosi) :
a. Edukasi tentang obat
b. Edukasi tentang penyakit
c. Edukasi pasien tentang apa yang harus di hindari
d. Edukasi tentang apa yang harus dilakukan pasien untuk meningkatkan kualitas hidupnya
pasca dari rumah sakit
e. Edukasi tentang Gizi
Akses untuk mendapatkan materi edukasi melalui unit PKRS (Promosi Kesehatan
Rumah Sakit). Pemberian edukasi dan informasi diberikan oleh semua petugas yang ada di
Rumah Sakit baik petugas medis maupun non medis. Edukasi dapat diberikan kepada siapa
saja yang berada di lingkungan Rumah Sakit maupun di luar Rumah Sakit, misalnya
pelanggan intern (Yayasan Badan Wakaf Rumah Sakir, petugas Rumah Sakit dan keluarga)
dan pelanggan ekstern (pasien, pengunjung, keluarga, pedagang, masyarakat).
Dalam pemberian materi atau pesan yang akan diberikan kepada sasaran harus
disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan pasien keluarga dan masyarakat, sehingga dapat
dirasakan langsung manfaatnya. Sebelum melakukan edukasi, langkah awal petugas harus
menilai kebutuhan edukasi pasien dan keluarga (asesmen) berdasarkan: (data ini didapatkan
dari RM):
1) Identitas dasar pasien
2) Kemampuan berbicara
3) Perlu penerjemah atau tidak
4) Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga
5) Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang digunakan
6) Hambatan emosional dan motivasi (emosional: depresi, senang dan marah)
7) Keterbatasan fisik dan kognitif
8) Ketersediaan pasien untuk menerima informasi

Secara ringkas ada 6 (enam) hal yang penting diperhatikan agar efektif dalam berkomunikasi
dengan pasien, yaitu:
1. Materi informasi apa yang disampaikan
a. Tujuan anamnesis dan pemeriksaan fisik (kemungkinan rasa tidak nyaman/sakit saat
pemeriksaan)
b. Kondisi saat ini dan berbagai kemungkinan diagnosis
c. Berbagai tindakan medis yang akan dilakukan untuk menentukan
diagnosis, termasuk manfaat, risiko, serta kemungkinan efek samping/komplikasi
d. Hasil dan interpretasi dari tindakan medis yang telah dilakukan untuk menegakkan
diagnosis
e. Prognosis
f. Dukungan (support) yang tersedia
2. Siapa yang diberi informasi
a. Pasien, apabila dia menghendaki dan kondisinya memungkinkan
b. Keluarganya atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien
c. Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali/pengampu dan bertanggung jawab atas
pasien jika kondisi pasien tidak memungkinkan untuk berkomunikasi sendiri secara
langsung
3. Kapan menyampaikan informasi Segera, jika kondisi dan situasinya memungkinkan
4. Di mana menyampaikannya
a. Ruang praktik dokter
b. Bangsal/ruangan tempat pasien dirawat
c. Ruang diskusi

5. Bagaimana menyampaikannya
a. Informasi penting sebaiknya dikomunikasikan secara langsung, tidak melalui telepon,
juga tidak diberikan dalam bentuk tulisan yang dikirim melalui pos, faksimile, sms,
internet.
b. Persiapan meliputi:
1). Materi yang akan disampaikan (bila diagnosis, tindakan medis, prognosis sudah
disepakati oleh tim).
2). Ruangan yang nyaman, memperhatikan privasi, tidak terganggu orang lalu lalang,
suara gaduh dari tv/radio, telepon.
3). Waktu yang cukup.
4). Media yang digunakan, seperti leaflet, lembar balik, dll.
c. Tanyakan kepada pasien/keluarga, sejauh mana pengertian pasien/keluarga tentang hal
yang akan dibicarakan, informasi yang diinginkan dan amati kesiapan pasien/keluarga .
Ada empat langkah yang terangkum dalam satu kata untuk melakukan komunikasi, yaitu
SAJI (Poernomo, Ieda SS, Program Family Health Nutrition, Depkes RI, 1999).
S = Salam
A = Ajak Bicara
J = Jelaskan
I = Ingatkan
Secara rinci penjelasan mengenai SAJI adalah sebagai berikut :
1. Salam:
Beri salam dan sapa, tunjukkan bahwa petugas kesehatan bersedia meluangkan waktu
untuk berbicara dengan pasien/keluarga
2. Ajak Bicara:
Usahakan berkomunikasi secara dua arah. Jangan bicara sendiri. Dorong agar
pasien/keluarga mau dan dapat mengemukakan pikiran dan perasaannya. Tunjukkan bahwa
petugas kesehatan menghargai pendapatnya, dapat memahami kecemasannya, serta
mengerti perasaannya. Petugas kesehatan dapat menggunakan pertanyaan terbuka
maupun tertutup dalam usaha menggali informasi.
3. Jelaskan:
Beri penjelasan mengenai hal-hal yang menjadi perhatiannya, yang ingin diketahuinya,
dan yang akan dijalani/dihadapinya agar ia tidak terjebak oleh pikirannya sendiri. Luruskan
persepsi yang keliru. Berikan penjelasan mengenai penyakit, terapi, atau apapun secara
jelas.
4. Ingatkan:
Pemberian informasi dan edukasi yang dilakukan bersama pasien mungkin memasukkan
berbagai materi secara luas, yang tidak mudah diingatnya kembali. Di bagian akhir
percakapan, ingatkan pasien/keluarga untuk hal-hal yang penting dan koreksi untuk persepsi
yang keliru. Selalu melakukan klarifikasi apakah pasien telah mengerti benar, maupun
klarifikasi terhadap hal-hal yang masih belum jelas bagi kedua belah pihak serta mengulang
kembali akan pesan-pesan kesehatan yang penting. Pendukung dalam pelaksanaan
pemberian materi edukasi dengan menggunakan 2 metoda, yaitu secara langsung (tanya
jawab, seminar, ceramah, demonstrasi) dan tidak langsung (leaflet, lembar balik,
pemasangan poster, papan pengumuman, media elektronik, majalah, dll). Metode yang
diberikan untuk pasien rawat inap dapat menggunakan teknik secara langsung maupun tidak
langsung dengan menggunakan teknik tanya jawab, ceramah, demonstrasi, dan pemberian
leaflet. Sedangkan pemberian edukasi dan informasi untuk pasien rawat jalan dapat melalui
tatap muka, pemberian leaflet, pemasangan poster, papan pengumuman, dan media
elektronik.
Dengan diberikannya informasi dan edukasi kepada sasaran diharapkan komunikasi
yang disampaikan dapat dimengerti dan diterapkan oleh pasien. Pada tahap selanjutnya
diperlukan proses verifikasi bahwa pasien dan keluarga menerima dan memahami edukasi
yang diberikan. Pemahaman yang ditunjukkan oleh pasien dan atau keluarga dapat
diwujudkan dalam bentuk :
a. Mengulangi materi yang diberikan
b. Mendemonstrasikan/memperagakan ketrampilan yang diajarkan
c. Mampu menunjukkan perubahan perilaku sesuai yang diajarkan
d. Bila kesulitan dengan bahasa, pasien dapat menggunakan bahasa isyarat atau dengan
melibatkan keluarganya.
Berikut ini contoh petugas kesehatan melakukan verifikasi tentang edukasi dan informasi
kepada pasien dan keluarga :
1. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, kondisi pasien baik
dan senang, maka verifikasi yang dilakukan dengan menanyakan kembali edukasi yang
telah diberikan. Pertanyaannya adalah: “ Dari materi edukasi yang telah disampaikan,
kira-kira apa yang bpk/ibu bisa pelajari ?”.
2. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, pasiennya
mengalami hambatan fisik, maka verifikasinya adalah dengan pihak keluarganya dengan
pertanyaan yang sama: “Dari materi edukasi yang telah disampaikan, kira-kira apa yang
bpk/ibu bisa pelajari ?”.
3. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, ada hambatan
emosional (marah atau depresi), maka verifikasinya adalah dengan tanyakan kembali
sejauh mana pasiennya mengerti tentang materi edukasi yang diberikan dan pahami.
Proses pertanyaan ini bisa via telepon atau datang langsung ke kamar Pasien setelah
pasien tenang.Setiap petugas kesehatan dalam memberikan informasi dan edukasi
kepada pasien wajib untuk mengisi formulir edukasi dan informsi, dan ditandatangani
kedua belah pihak antara dokter dan pasien atau keluarga pasien. Hal ini dilakukan
sebagai bukti bahwa pasien dan keluarga pasien sudah diberikan edukasi dan informasi
yang benar.
BAB IV
DOKUMENTASI

A. Pengertian
Dokumentasi keperawatan merupakan bukti pencatatan dan pelaporan berdasarkan
komunikasi tertulis yang akurat dan lengkap yang dimiliki oleh perawat dalam melakukan
asuhan keperawatan dan berguna untuk kepentingan klien, tim kesehatan, serta kalangan
perawat sendiri (A. Aziz Alimul). Dokumentasi dalam Bahasa Inggris berarti satu atau lebih
lembar kertas resmi dengan tulisan diatasnya.
Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang berarti bahan pustaka, baik berbentuk tulisan
maupun berbentuk rekaman lainnya seperti pita suara/kaset, video, film, gambar dan foto
(Suyono trimo 1987, hal 7). Pemberian informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga
perlu didokumentasikan oleh tim kesehatan yang telah memberikan edukasi untuk
meningkatkan pengetahuan pasien.

B. Tujuan
Tujuan dari kegiatan pendokumentasian asuhan, antara lain sebagai sarana komunikasi.
Dokumentasi yang dikomunikasikan secara akurat dan lengkap dapat berguna untuk
membantu koordinasi asuhan yang diberikan oleh tim kesehatan, mencegah informasi yang
berulang terhadap pasien atau anggota tim kesehatan atau mencegah tumpang tindih,
bahkan sama sekali tidak dilakukan untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan
ketelitian dalam memberikan asuhan pada pasien.
Dokumentasi asuhan pada pasien dibuat untuk menunjang tertibnya administrasi dalam
rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.

C. Dokumentasi Pelaksanaan Pemberian Informasi dan Edukasi di Rumah Sakit


Sebelum memberikan edukasi pada pasien/keluarga, penilaian kebutuhan edukasi harus
dikaji terlebih dahulu oleh Dokter dan petugas kesehatan lainnya. Kebutuhan edukasi
masing-masing pasien tidaklah sama, tergantung dengan kondisi pasien saat itu. Kebutuhan
edukasi pasien meliputi :
1. Tindakan pencegahan
2. Intervensi diit
3. Peralatan khusus
4. Pencegahan resiko jatuh
5. Manajemen nyeri
6. Penyakit
7. Pengobatan
8. Transfuse darah
9. Vaksinasi
10. Pelayanan rohani, dll yang tertuang di form penilaian edukasi.
Setelah kebutuhan edukasi dikaji, selanjutnya menuliskan tujuan diberikan edukasi
tersebut, kemampuan belajar, kesiapan belajar, hambatan dan intervensi mengatasi
hambatan, metode pembelajaran, dan hasil yang dicapai. Form penilaian edukasi ini wajib diisi
oleh Dokter Jaga atau Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) saat menjelaskan penyakit
dan disertakan tandatangan, nama terang.
Form pemberian informasi dan edukasi diisi oleh semua petugas kesehatan yang melakukan
asuhan pada pasien. Materi yang diberikan dapat ditulis di kolom materi edukasi dengan
menjabarkannya. Apabila materi tersebut di bukukan atau bentuk leaflet dapat menuliskan
kode buku atau leaflet tersebut di kolom materi edukasi dengan dibubuhkan tandatangan
pemberi edukasi (petugas kesehatan) dan penerima edukasi (pasien /keluarga). Sedangkan
untuk pemberian informasi dan edukasi di Rawat Jalan hanya menuliskan apa yang telah
disampaikan di kolom edukasi.

D. Dokumentasi Pelaksanaan Pemberian Informasi dan Edukasi di Luar Rumah Sakit


Kegiatan yang dilaksanakan oleh Petugas PKRS terkait pemberian informasi dan
edukasi di luar Rumah Sakit merupakan salah satu program untuk meningkatkan pengetahuan,
kemampuan, kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap pemeliharaan kesehatan. Jenis
kegiatan yang rutin dilaksanakan Rumah Sakit seperti Posyandu dan pendidikan kesehatan di
Daerah Binaan, pendidikan kesehatan di sekolah, siaran radio/televisi yang sudah bekerjasama
dengan Rumah Sakit. Semua kegiatan harus terdokumentasikan dalam bentuk laporan
kegiatan Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang

KEBIJAKAN PENYIMPANAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :

1. Bahwa perbekalan farmasi adalah terdiri dari obat, alat kesehatan, reagen,
gas medis, ataupun film.
2. Bahwa perbekalan farmasi harus dikelola dan menjadi tanggung jawab
Instalasi Farmasi.
3. Bahwa dalam pengelolaan perbekalan farmasi perlu dilakukan
penyimpanan perbekalan farmasi sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga tidak
mengurangi mutu dari perbekalan farmasi tersebut.
4. Bahwa untuk menjamin perbekalan farmasi disimpan secara aman, sesuai
dengan dan menjaga mutu dan stabilitas obat maka perlu ditetapkan Surat
Keputusan Direktur tentang Pedoman Penyimpanan Obat.

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.


2. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI no 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Penyimpanan Perbekalan Farmasi RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Penyimpanan perbekalan farmasi di pelayanan farmasi dan seluruh ruang


keperawatan menjadi tanggung jawab dari Instalasi Farmasi.
2. Aturan dan tata cara penyimpanan perbekalan farmasi di Rumah Sakit terlampir
dalam Surat Keputusan ini.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Labuan Bajo


Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Minah Sukri, MARS


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis
3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

LAMPIRAN SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : …./Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

A. Perbekalan farmasi disimpan dengan baik dan aman.


Area yang berhak menyimpan perbekalan farmasi meliputi
a. Farmasi
1. Gudang Farmasi
2. Instalasi Farmasi
b. Poli Rawat Jalan
c. Ruang keperawatan (Trolley Emergency)
d. Bagian Radiologi
e. Bagian Laboratorium
B. Untuk menjaga keamanan penyimpanan perbekalan farmasi maka :
1. Semua pintu area penyimpanan perbekalan farmasi harus dikunci setiap saat
2. Petugas yang boleh masuk ke ruangan penyimpanan obat adalah
a. Petugas logistic farmasi
b. Petugas farmasi
c. Petugas instalasi lain untuk pengadaan perbekalan farmasi.
d. Petugas dari instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan
C. Penyimpanan perbekalan farmasi secara umum dilakukan sesuai dengan persyaratan
kondisi masing-masing produk/item yang tertera pada kemasan.
1. Penyimpanan perbekalan farmasi diatur berdasarkan :
a. Bentuk Sediaan dan Jenisnya
b. Suhu dan Kestabilannya
c. Sifat Bahan (B3, mudah tidaknya meledak atau terbakar). Penyimpanan bahan berbahaya
mengikuti standar dalam MSDS masing-masing bahan dan terpisah dari obat dan alat
kesehatan lainnya.
d. Tahan Tidaknya Terhadap Cahaya. Penyimpanan obat yang tidak tahan cahaya dilakukan
di dalam kemasan tertutup dan gelap.
e. Tingkat Kewaspadaan (obat-obat HAM). Penyimpanan obat-obat HAM diatur dalam
kebijakan penyimpanan obat-obat kewaspadaan tinggi.

2. Perbekalan farmasi disimpan dan disusun dengan menggunakan metode :


a. FIFO (first in first out) dan FEFO (First Expired First Out)
b. Alfabetis
D. Penyimpanan produk nutrisi di rumah sakit ada 4 macam, meliputi :
1. Penyimpanan produk nutrisi enteral yang belum diolah dilakukan di bagian gizi dan instalasi
farmasi terpisah dengan bahan lain.
2. Penyimpanan produk nutrisi enteral yang sudah diolah penyimpanan nya sesuai dengan
kebijakan dari instalasi gizi.
3. Penyimpanan produk nutrisi parenteral yang masih utuh di instalasi farnasi dan ruang
keperawatan disimpan terpisah dari perbekalan farmasi lain.
4. Penyimpanan produk nutrisi parenteral yang sudah direkonstitusi di ruang perawatan disimpan
pada suhu 2 – 6 ◦C (dalam kulkas)
E. Penyimpanan kontras dilakukan dengan mengikuti standar MSDS dan terpisah dari obat dan alat
kesehatan lainnya. Penyimpanan dilakukan di bagian radiologi.
F. Penyimpanan reagen dilakukan dengan mengikuti standar MSDS dan terpisah dari obat dan alat
kesehatan lainnya. Penyimpanan dilakukan di bagian laboratorium.
G. Semua perbekalan farmasi disimpan pada suhu yang tepat dan terkontrol.
1. Suhu penyimpanan obat meliputi
a. Suhu ruang terkontrol (20˚C-25˚C)
b. Suhu Refrigerator (2˚C-8˚C)
c. Suhu Freezer (-20˚ C) - (-10˚C). Freezer yang digunakan untuk menyimpan obat berupa
freezer yang terpisah dari refrigerator, bukan kombinasi refrigeratorfreezer.
d. Suhu Warmer (maksimun tidak boleh lebih dari 43˚C).
2. Untuk memantau suhu penyimpanan perbekalan farmasi, maka :
a. Setiap tempat dan atau ruang penyimpanan perbekalan farmasi harus dipasang
termometer ruangan.
b. Suhu ruangan dan suhu kulkas dicek dan dicatat pada blangko suhu yang di tempatkan di
dekat thermometer suhu.
c. Pemantauan suhu ruang dan suhu kulkas penyimpanan obat dilakukan setiap hari oleh
asisten apoteker atau staff terlatih yang ditunjuk secara sah.
d. Pemantauan suhu di dalam ruang dan suhu di kulkas penyimpanan obat dilakukan dengan
cara melihat dan membaca suhu yang tertera pada termometer dan kulkas. Suhu dicatat
pada log temperatur pada jam 08.00 pagi dan jam 15.00 siang.
e. Khusus pada hari libur, pemantauan suhu dilakukan setelah petugas masuk kerja.
f. Pada kondisi suhu ruang atau suhu kulkas penyimpanan perbekalan farmasi di luar rentang
suhu yang seharusnya, maka petugas harus segera melakukan pengecekan suhu kulkas
dan menghubungi unit pemeliharaan
g. Dokumentasi pemantauan suhu penyimpanan perbekalan farmasi dilakukan setiap hari
dengan menggunakan form log temperatur yang telah ditentukan dan pada akhir bulan
ditandatangani oleh kepala bagian/kepala unit/kepala ruangan.
3. Semua kulkas tempat penyimpanan obat harus bersih, bebas dari segala bentuk makanan dan
diberi label “ HANYA UNTUK MENYIMPAN OBAT”
H. Semua perbekalan farmasi yang disimpan harus memiliki label yang jelas dan memuat informasi
tentang nama, kekuatan dan bentuk sediaan obat, peringatan, tanggal kadaluarsa atau beyond use
date, informasi penyimpanan dari pabrik sebelum produk dibuka maupun setelah dibuka.
I. Obat dan alat kesehatan yang telah kadaluarsa atau rusak disimpan di lemari terpisah dan terkunci.
Pada lemari harus diberi label “Obat Rusak/Kadaluarsa, Jangan Diracik/Digunakan”.
J. Obat yang digunakan untuk banyak pasien di ruang rawat inap di simpan dengan diberi label dan
terpisah dari obat yang belum digunakan. (untuk penyimpanan obat injeksi yang digunakan banyak
pasien di simpan di kulkas).
K. Obat obat yang digunakan untuk banyak pasien di ruang rawat inap masa bertahan nya maksimal
30 hari setelah obat pertama kali segel dibuka.
L. Obat injeksi di kamar operasi bentuk ampul yang sudah dipakai sebagian, sisa obatnya di spuit,
diberi label dan disimpan dalam kulkas (batas maksimal obat dapat digunakan 24 jam setelah obat
pertama kali dibuka segelnya).
M. Pengecekan tanggal kadaluarsa :
1. Pengecekan tanggal kadaluarsa obat dan alkes di setiap area penyimpanan dilakukan setiap
sebulan sekali. Dilakukan oleh petugas logistik farmasi, petugas instalasi farmasi, dan
keperawatan.
2. Enam bulan sebelum tanggal kadaluarsa, semua perbekalan farmasi harus sudah
dikembalikan ke Gudang Farmasi.
N. Rumah sakit boleh menyimpan obat sample di atur dalam kebijakan obat sample.
O. Semua area penyimpanan perbekalan farmasi diinspeksi setiap 1 bulan sekali dan terdokumentasi
oleh Kepala Instalasi Farmasi.
P. Logistik farmasi harus dilengkapi dengan CCTV untuk pengawasan dari kehilangan barang dan
penyalahgunaan.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
TENTANG
KEBIJAKAN PENAMBAHAN DAN PENGURANGAN OBAT FORMULARIUM
RUMAH SAKIT 
Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :

1. Bahwa Formularium Rumah Sakit adalah suatu pedoman yang berisi daftar
obat yang digunakan sebagi pengobatan di Rumah Sakit yang dibuat oleh
Komite Farmasi dan Terapi dan disetujui oleh Direksi Rumah Sakit.
2. Bahwa Formularium Rumah Sakit dapat digunakan untuk mengukur
indikator mutu pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit berjalan baik atau
tidaknya.
3. Bahwa Formularium seyogyanya menjadi panduan penulisan resep dan
pemberian obat, telah memenuhi aspek aspek akuntibilitas, reabilitas serta
validitas yang diperlukan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan yang
bermutu dan rasional.
4. Bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit
dan untuk mendapatkan pengobatan yang berkualitas maka diperlukan
kebijakan Direktur yang mengatur tentang Formularium Rumah Sakit 
MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah


Sakit.
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 58 tahun 2014 tentang
Standar
Pelayanan Kefarmasian di rumah Sakit.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. SK Ketua Yayasan Dharma Ibu Nomor …./YII/KY-Y/IV/2018 Tentang
perpanjangan badan pengawas badan pengawas/badan pengampu RS .
5. Tambahan/addendum Yayasan Dharma Ibu no.
0022/YII/Sek-Y/Add/IV/2014.
6. SK ketua YDI No …./YDI/KY/II/2010 tentang struktur organisasi dan uraian
tugas struktur organisasi RS . Surat keputusan pengurus yayasan Dharma
Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang Kebijakan Penambahan Dan
Pengurangan Obat Formularium RSU Santo Yoseph Labuan Bajo.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Pelaksanaan penggunan obat dalam Formularium diperlukan


adanya evaluasi secara berkala.
2. Evaluasi obat obatan yang masuk kedalam formularium
dilakukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sekali.
3. Evaluasi obat yang masuk ke dalam formularium didasarkan
kepada
obat:
a. Slow moving (obat dengan perputaran yang lambat)
b. Fast moving (obat dengan perputaran yang cepat)
c.Unmoving (obat yang tidak bergerak dalam pembelian
dan penjualan)
4. Penambahan dan pengurangan obat formularium dijelaskan
Dalam lampiran kebijakan ini.
5. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan
Evaluasi minimal 1 tahun sekali.
6. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka
Akan dilakukan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Labuan Bajo


Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Minah Sukri, MARS


Direktur

TEMBUSAN Yth :
1. Wadir Pelayanan Medis
2. Komite Medis
3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 
4. Kepala Bagian Keperawatan
5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan
6. Instalasi Farmasi
7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : 181//Dir-SK/XII/2018
TANGGAL : 30 Desember 2018

A. PENAMBAHAN OBAT DILUAR FORMULARIUM


Penambahan obat diluar formularium dilakukan apabila :
1. Obat dengan komposisi zat aktif yang sama tidak terdapat dalam formularium
2. Obat yang merupakan obat baru dan hanya diberikan dalam kondisi life saving dan kasus
tertentu dimana terapi pengobatannya tidak terdapat dalam formularium
3. Obat yang tergolong dalam kondisi life saving (mengancam jiwa)
4. Semua obat paten maupun generik yang telah masuk kedalam formularium, terjadi
kekosongan barang dari distributor.
Penambahan obat diluar formularium dilakukan dengan mengisi “Formulir Pengajuan
Obat diluar Formularium ” yang telah ditanda tangani oleh :
1. Dokter pengusul obat non formularium
2. Kepala Staf Medik Fungsional dokter pengusul obat non formularium
Persetujuan pengajuan obat diluar formularium di sahkan dengan lembar “Formulir
Jawaban Pengajuan Obat Diluar Formularium” yang telah ditandatangani oleh :
1. Ketua Komite Farmasi dan Terapi
2. Direktur Pelayanan Rumah Sakit
Jawaban usulan penambahan obat diluar formularium akan dibalas dalam kurun waktu 1
x 24 jam untuk obat CITO, dan 2 x 24 jam untuk obat non CITO

B. PENGURANGAN OBAT DILUAR FORMULARIUM


Obat yang sebelumnya telah masuk di dalam Formularium Rumah Sakit akan dikeluarkan
jika apabila :
1. Penarikan obat oleh lembaga yang berwenang (BPOM)
2. Obat tidak berjalan (Unmoving drug ) maksimal 6 bulan berturut-turut
3. Obat dengan kategori slow moving melalui persetujuan Komite Farmasi dan Terapi
Setelah disosialisasikan kepada perwakilan Staf Medik Fungsional di Rumah Sakit 

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
TENTANG
KEBIJAKAN PEMANTAUAN DAN PELAPORAN EFEK SAMPING OBAT
RUMAH SAKIT
Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa Efek samping obat yang berbahaya yang tidak diinginkan dari obat
yang timbul pada pemberian obat dengan dosis yang digunakan untuk
profilaksis, diagnosis, dan terapi atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.
2. Pencatatan adalah kegiatan atau proses pendokumentasian suatu
aktivitas dalam bentuk tulisan.
3. Pelaporan adalah catatan yang memberi informasi tentang kegiatan
tertentu, KTD adalah insiden yang mengakibatkan cidera pada pasien.

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi


2. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
3. Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 tahun 2017 tentang
Keselamatan Pasien.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
7. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-
P/I/2018 tentang Kebijakan Pemantauan Dan Pelaporan Efek Samping
Obat.

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Pamantauan dan pelaporan efek samping obat di Rumah Sakit dilakukan
oleh petugas farmasi (Apoteker) dibantu oleh Panitia Keselamatan Pasien.
2. Panitia Keselamatan Pasien di Rumah Sakit terdiri dari dokter spesialis,
dokter umum, farmasi dan perawat.
3. Metode pemantauan dan pelaporan efek samping obat dilakukan dengan
cara monitoring terhadap pasien.
4. Monitoring pengawasan dan keamanan obat berpedoman pada :
a. Indikasi penggunaan (dosis obat dan rute pemberian obat)
b. Efektivitas obat dan keamanan obat (safety)
c. Resiko obat
d. Biaya obat
5. Setiap Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang tidak diantisipasi atau kondisi
yang berhubungan dengan obat baru selama periode pengenalan.
6. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
7. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
dilakukan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Labuan Bajo
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Minah Sukri. Mars


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : …//Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

A. PEMANTAUAN DAN PELAPORAN EFEK SAMPING OBAT

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau
tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis dan terapi.
a. Tujuan :
1. Menemukan ESO (Efek Samping Obat) sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal, frekuensinya jarang.
2. Menentukan frekuensi dan insidensi Efek Samping Obat yang sudah dikenal
sekali, yang baru saja ditemukan.
3. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
timbulnya Efek Samping Obat atau mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya
Efek Samping Obat.
b. Kegiatan :
1. Menganalisa laporan Efek Samping Obat Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien
yang mempunyai resiko tinggi mengalami Efek Samping Obat.
2. Mengisi formulir Efek Samping Obat
3. Melaporkan ke Panitia Efek Samping Obat Nasional
c. Faktor yang perlu diperhatikan :
1. Kerjasama dengan Panitia Farmasi dan Terapi dan ruang rawat
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PENGAWASAN, PENGGUNAAN OBAT DAN KEAMANAN OBAT

 RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa Rumah Sakit harus menetapkan obat-obat yang harus tersedia untuk
diresepkan dan dipesan oleh praktisi pelayanan kesehatan.
2. Bahwa obat-obat yang tersedia di Rumah Sakit harus diawasi penggunaan dan
keamanan obatnya melalui penunjukkan Komite dan pemilihan metode yang tepat
dalam pengawasan.
3. Bahwa untuk menjamin mutu pengawasan, penggunaan obat dan keamanan obat
tersebut maka perlu ditetapkan Surat Keputusan Direktur tentang pengawasan,
penggunaan obat dan keamanan obat.

MENGINGAT:
1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan
Pasien.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Pengawasan, Penggunaan Obat Dan Keamanan Obat RSU
Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Pengawasan, penggunaan obat dan keamanan obat di Rumah Sakit dilakukan


oleh
Komite Farmasi dan Terapi (KFT).
2. Komite Farmasi dan Terapi (KFT) di Rumah Sakit terdiri dari Dokter Spesialis,
Dokter Umum, Apoteker dan Perawat.
3. Program kerja pengawasan, penggunaan obat dan keamanan obat dilakukan
oleh Komite Farmasi dan Terapi (KFT) bekerja sama dengan Instalasi Farmasi.
4. Metode pengawasan, penggunaan obat dan keamanan obat dilakukan dengan
cara melakukan pemantauan atau monitoring terhadap daftar baru yang
ditambahakan dalam formularium.
5. Monitoring pengawasan dan keamanan obat berpedoman pada :
a. Indikasi penggunaan (dosis obat dan rute pemberian obat)
b. Efektivitas obat dan keamanan obat (safety)
c. Resiko obat
d. Biaya obat
e. Setiap Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang tidak diantisipasi atau kondisi
yang berhubungan dengan obat baru selama periode pengenalan.
6. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
7. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
 

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : 185/RSQ/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL : 30 Desember 2018
PENGAWASAN, PENGGUNAAN OBAT DAN KEAMANAN OBAT

1. Pengamatan mutu obat.


Istilah mutu obat dalam pelayanan farmasi berbeda dengan istilah mutu obat secara
ilmiah, yang umumnya dicantumkan dalam buku-buku standard seperti farmakope. Secara
teknis, kriteria mutu obat mencakup identitas, kemurnian, potensi, keseragaman, dan
ketersediaan hayatinya.
Beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian sehubungan dengan mutu obat, oleh karena di
samping berkaitan dengan efek samping, potensi obat, juga dapat mempengaruhi efek obat
aktif, yaitu:
a) Kontaminasi.
Beberapa jenis sediaan obat harus selalu berada dalam kondisi steril, bebas pirogen dan
kontaminan, misalnya obat injeksi. Oleh sebab itu proses manufaktur, pengepakan, dan
distribusi hingga penyimpanannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam prakteknya
kerusakan obat jenis ini umumnya berkaitan dengan kesalahan dalam penyimpanan dan
penyediaannya. Sebagai contoh, di kamar suntik pusat pelayanan kesehatan acap kali
ditemukan obat injeksi yang diatasnya diletakkan jarum dalam posisi terbuka. Dengan alasan
apapun (misalnya segi kepraktisan saat pemindahan obat ke dalam spuit), cara ini jelas keliru
dan harus dihindari, oleh karena memungkinkan terjadinya kontaminasi dengan udara luar dan
berbagai bakteri, sehingga prinsip obat dalam kondisi steril sudah tidak tercapai lagi. Untuk
sediaan lain seperti cream, salep atau sirup, meskipun risikonya lebih kecil, tetapi sering juga
terjadi kontaminasi, misalnya karena udara yang terlalu panas, kerusakan pada
pengepakannya, dsb, yang tentu saja mempengaruhi mutu obatnya.
b) Medication error.
Keadaan ini tidak saja dapat terjadi pada saat manufaktur (misalnya kesalahan dalam
mencampur 2 atau lebih obat sehingga dosisnya menjadi terlalu besar atau terlalu kecil), tetapi
dapat juga terjadi saat praktisi medik ingin mencampur beberapa jenis obat dalam satu sediaan
sehingga menimbulkan risiko terjadinya interaksi obat-obat. Akibatnya efek obat tidak seperti
yang diharapkan bahkan dapat membahayakan pasien.
c) Berubah menjadi toksik (toxic degradation).
Beberapa obat, karena proses penyimpanannya dapat berubah menjadi toksik (misalnya karena
terlalu panas atau lembab), misalnya tetrasiklin. Beberapa obat yang lain dapat berubah menjadi
toksik karena telah kadaluwarsa. Oleh sebab itu obat yang telah expired (kadaluwarsa) atau
berubah warna, bentuk dan wujudnya, tidak boleh lagi dipergunakan.
d) Potensi Kehilangan (loss of potency).
Obat dapat kehilangan potensinya sebagai obat aktif antara lain apabila ketersediaan hayatinya
buruk, telah melewati masa kadaluwarsa, proses pencampuran yang tidak sempurna saat
digunakan, atau proses penyimpanan yang keliru (misalnya terkena sinar matahari secara
langsung). Setiap obat sebenarnya telah memiliki batas keamanan (margin of safety) yang
dapat dipertanggung jawabkan
Adapun Tanda-tanda perubahan mutu obat sesuai standar yang di tetapkan yaitu :
1) Tablet.
a) Terjadinya perubahan warna, bau atau rasa
b) Kerusakan berupa noda, berbintik-bintik, lubang, sumbing, pecah, retak dan atau terdapat
benda asing, jadi bubuk dan lembab
c) Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat
2) Kapsul.
a) Perubahan warna isi kapsul
b) Kapsul terbuka, kosong, rusak atau melekat satu dengan lainnya
3) Tablet salut.
a) Pecah-pecah, terjadi perubahan warna dan lengket satu dengan yang lainnya
b) Kaleng atau botol rusak sehingga menimbulkan kelainan fisik
4) Cairan.
a) Menjadi keruh atau timbul endapan.
b) Konsistensi berubah
c) Warna atau rasa berubah
d) Botol-botol plastik rusak atau bocor
5) Salep.
a) Warna berubah
b) Konsistensi berubah
c) Pot atau tube rusak atau bocor
d) Bau berubah
6) Injeksi.
a) Kebocoran wadah (vial, ampul)
b) Terdapat partikel asing pada serbuk injeksi
c) Larutan yang seharusnya jernih tampak keruh atau ada endapan
d) Warna larutan berubah

Persyaratan Penyimpanan Narkotika


1. Harus terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat (tidak boleh terbuat darikaca).
2. Harus mempunyai kunci yang kuat, kunci lemari harus dikuasai oleh penanggung
jawab atau pegawai yang dikuasakan.
3. Dibagi menjadi dua bagian dengan masing-masing kunci yang berlainan.
4. Apabila lemari memiliki ukuran kurang dari 40 cm x 80 cm x 100 cm, maka dibuat
pada tembok / lantai / lemari khusus.
5. Tidak boleh menyimpan atau meletakkan barang-barang selain narkotika, kecuali
ditentukan lain oleh Menteri Kesehatan (Menkes).

Beberapa evaluasi yang digunakan dalam penyimpanan obat adalah (Pudjaningsih, 1996):
1. Persentase kecocokan antara barang dan stok komputer atau kartu stok
Proses pencocokan harus dilakukan pada waktu yang sama untuk menghindari
kekeliruan karena adanya barang yang keluar atau masuk (adanya transaksi). Apabila
tidak dilakukan bersamaan maka kemungkinan ketidakcocokan akan meningkat.
Ketidakcocokan akan menyebabkan terganggunya perencanaan pembelian barang dan
pelayanan terhadap pasien.
2. Turn Over Ratio (TOR)
TOR = perbandingan Harga Pokok Penjualan (HPP) dalam 1 tahun dengan nilai rata –
rata persediaan pada akhir tahun.

TOR digunakan untuk mengetahui berapa kali perputaran modal dalam 1 tahun,
menghitung efisiensi dalam pengelolaan obat. Apabila TOR rendah, berarti masih banyak stok
obat yang belum terjual sehingga mengakibatkan obat menumpuk dan berpengaruh terhadap
keuntungan (Jati, 2010).
Kebijakan Penulisan Resep Memuat 9 Elemen

Elemen pemesanan / penulisan resep yang lengkap :


1. Data identifikasi pasien yang akurat
2. Elemen dari pemesanan/penulisan resep.
3. Bilamana nama generik atau nama dagang diperlukan
4. Bilamana indikasi untuk penggunaan diperlukan pada suatu “prn”/bila perlu
atau pesanan obat lain.
5. Prosedur khusus pemesanan obat LASA
6. Tindakan yang harus diambil bila pemesanan obat tidak lengkap, tidak terbaca,
atau tidak jelas.
7. Jenis pemesanan tambahan yang diijinkan seperti pada pesanan dan setiap
elemen yang dibutuhkan dalam pemesanan yang emergensi, dalam daftar
tunggu (standing) automatic stop
8. Pemesanan obat secara verbal atau melalui telepon : write back, read back,
reconfirmation.
9. Jenis pesanan yang berdasarkan BB (pasien anak)

Penjelasan :
1. Identifikasi data pasien :
a. Rawat inap : nama lengkap, TTL, Nomor rekam medis, diberi gelang
identitas pasien.
b. Rawat jalan : Nama lengkap, Nomor rekam medis.
2. Elemen penulisan resep
a. Identifikasi dokter : Nama, SIP, alamat rumah dan praktik, NO. Telepon,
Hari & jam praktek.
b. Inscriptio : Nama kota tempat praktek, tanggal penulisan resep.
c. Invocatio : Tanda R/ sebagai tanda pembuka penulisan resep.
d. Praescriptio / Ordinatio : Nama obat, jumlah & kekuatan obat, cara
pembuatan, bentuk sediaan obat yang dipilih dan jumlahnya.
e. Signatura : aturan penggunaan obat (frekuensi, jumlah perkali pakai, waktu
obat diminum, dan informasi lain yang diperlukan)
f. Identifikasi pasien : Nama pasien pada bagian “pro”, bila pendirita anak
anak atau lansia perlu dituliskan umurnya, sebaiknya cantumkan pula berat
badan pasien dan alamat pasien.
g. Penutup : tanda penutup dan tanda tangan dokter penulis resep.

3. Bilamana nama generik atau nama dagang diperlukan


Nama generik dan nama dagang diperlukan bila terjadi pergantian obat atau subsitusi obat
dikarenakan obat yang ditulis di resep oleh dokter tidak tersedia di Instalasi Farmasi.

4. Bilamana indikasi untuk penggunaan diperlukan pada suatu “prn”/bila perlu atau pesanan
obat lain.
a. Untuk aturan pakai jika perlu atau “pro re nata”, harus dituliskan dosis maksimal dalam sehari.

5. Prosedur khusus pemesanan obat LASA.


LASA (Look alike Sound Alike), obat yang memiliki kemasan mirip atau obat yang memiliki
nama terdengar mirip. Contoh : Ceftazidime vs Cefepim, Calme Eye Drops vs Calme Ear Drop
(kemasan mirip), Proneuron vs Forneuron, Klorpromazin vs Klorpropamid.
PENANGANAN :
a. Permintaan tertulis :
1. Tambahan merk dagang dan nama generiknya pada resep, terutama
untuk obat-obat yang “langganan” bermasalah.
2. Tulis secara jelas menggunakan huruf tegak kapital.
3. Hindari singkatan-singkatan yang membuat bingung.
4. Tambahkan bentuk sediaan juga di resep, misalnya metronidazol 500
mg; sediaan tablet dan infusnya sama-sama 500 mg.
5. Sertakan kekuatan obat.
6. Sertakan petunjuk penggunaan.
7. Tambahkan juga tujuan/indikasi pengobatan, supaya semakin jelas.
8. Pihak dokter yang meresepkan obat diharapkan menulis nama obat yang
dapat dibaca dengan jelas oleh pembaca resep, atau menggunakan
fasilitas resep yang dicetak elektronik tanpa tulis tangan jika memang
sudah tersedia.
9. Menggunakan tall-man lettering, penebalan, atau warna huruf berbeda
pada pelabelan nama obat, misalnya :
ChlorproMAZINE vs ChlorproPAMIDE
HydrALAzine vs HydrOXYzine
MeFINTER vs MeTIFER, dsb
a. Permintaan Lisan.
1. Batasi permintan verbal, hanya untuk obat-obatan tertentu, misalnya hanya dalam
keadaan emergency.
2. Sebisa mungkin menghindari order obat secara lisan terutama melalui telepon,
kemungkinan kesalahan mendengar sangat tinggi.
3. Diperlukan teknik mengulang permintaan, dibacakan lagi permintaannya, jadi ada
kroscek.
c. Bagi tenaga kesehatan
1. Apoteker mengidentifikasi obat yang diresepkan dengan teliti, disesuaikan dengan nama
dagang, nama generik, indikasi, serta kekuatan sediannya.
2. Apoteker mengetahui dengan pasti persediaan obat-obatan yang termasuk kategori
SALAD.
3. LASA disimpan dengan jarak yang berjauhan satu sama lain.
4. Tidak menyimpan obat-obat LASA secara alfabet, tetapi di tempat terpisah, misalnya
obat fast moving.
5. Cocokkan indikasi resep dengan kondisi pasien sebelum dispensing atau administrating.
6. Membuat strategi pada obat yang penyebab errornya diketahui, misalnya pada obat
yang kekuatannya berbeda atau pada obat yang kemasannya mirip.
7. Laporan error yang aktual dan potensial (berpeluang terjadi error)
8. Diskusikan penyebab terjadinya error dan strategi ke depannya.
9. Sewaktu penyerahan, tunjukkan obat sambil memberikan informasi, supaya pasien
mengetahui wujud obatnya dan untuk mereview indikasinya.
10. Di rumah sakit, panitia farmasi dan terapi (PFT) bisa membuat kebijakan untuk obat-
obat ini. Misal, aturan penulisan obat atau logo obat-obat LASA.

6. SOP bila resep tidak terbaca atau tidak jelas


1. Resep yang diterima oleh petugas apotek dilakukan identifikasi kelengkapan resep, yaitu
:
 anggal resep, nama dokter, nomor resep, nama pasien, tanggal lahir pasien.
 Aturan pakai (frekuensi, dosis, rute pemberian) ditulis dengan jelas.
 Resep obat dari golongan Narkotika dan Psikotropika harus dibubuhi dengan
tandatangan yang lengkap, alamat & nomor telepon yang dapat dihubungi dari
dokter yang menuliskan resep.
 Tidak menggunakan istilah dan singkatan sehingga mudah dibaca dan tidak
disalahgunakan.
2. Resep yang kurang jelas penulisannya didiskusikan terlebih dahulu bersama staf apotek
dan membaca riwayat pengobatan pasien.
3. Jika resep belumjelas maka apoteker mengkonfirmasikan ke perawat dan meminta
perawat yang menangani pasien tersebut agar melihat status pemberian obat.
4. Jika resep belum jelas maka menghubungi dokter untuk memperoleh kejelasan resep.
5. Apabila dokter tidak dapat dihubungi maka dapat menghubungi ke bagian pelayanan
medik untuk selanjutnya meneruskan informasi ke dokter/SMF/ dokter jaga apakah resep
tersebut obatnya harus diganti.
6. Apabila sudah mendapatkan kejelasan dari dokter, maka perawat secepatnya
mengkonfirmasikan resep ke instalasi farmasi untuk segera dilayani dan disiapkan
obatnya.

7. Jenis pemesanan tambahan yang diijinkan.


a. RS mengidentifikasi petugas yang kompeten yang diijinkan untuk
menuliskan resep atau memesan obat-obatan
b. Dalam situasi emergensi, RS mengidentifikasi petugas tambahan yang
diijinkan untuk menuliskan resep/pesanan obat.
c. Obat yang diijinkan bila elemen resepnya lengkap :
 Obat emergensi . Epinefrin, Lidocain, Sulfas Atropin, Ephedrin. Resep emergensi
(darurat) diberi tanda CITO ! atau cito (digarisbawahi atau diberi tanda seru) pada
bagian atas resep diparaf. Selain CITO, bisa juga menggunakan URGENT
(penting), STATIM (penting), atau PIM (Periculum In Mora = berbahaya bila
ditunda).
 Obat automatic stop order (Narkotik, sedatif, hipnotik, antikoagulan). Obat-obat ini
harus jelas aturan pakainya, bila saat penggunaan tidak sesuai dengan aturan
pakai, apoteker dapat menghentikan obat.

8. Pemesanan obat secara verbal atau melalui telepon


a. Pesanan obat secara verbal atau melalui telepon hanya diperbolehkan pada situasi
Urgent.
b. Pesanan obat secara verbal atau melalu telepon tidak diperbolehkan bila penulis resep
ada dan tersedia di rekam medis pasian,kecuali penulis resep sedang melakukan
pelayanan Emergency/sedang melakukan tindakan pelayanan.
c. Pesanan obat secara verbal/melalui telepon tida berlaku untuk:
 obat kemoterapi
 obat narkotik
d. Yang berhak memberikan resep obat secara verbal/melalui telepon kepada
perawat/Bidan yg bersangkutan hanya Apoteker/Asisten Apoteker.

9. Jenis pesanan yang berdasarkan berat badan


Dosis yang ideal adalah dosis yang diberikan per individual. Hal ini mengingat bahwa respon
penderita terhadap obat sangat individualistis. Penentuan dosis perlu mempertimbangkan:
a. Kondisi pasien (seperti: umur, berat badan, fisiologi dan fungsi organ tubuh)
b. Kondisi penyakit ( akut, kronis, berat/ringan)
c. Indeks terapi obat (lebar/sempit)
d. Variasi kinetik obat
e. Cara/rumus perhitungan dosis anak ( pilih yang paling teliti)

Perhitungan dosis pada anak secara ideal menggunakan dasar ukuran fisik (berat badan atau
luas permukaan tubuh). Apabila dosis anak dihitung dengan perbandingan dengan dosis
dewasa, yaitu dengan memakai rumus perhitungan dosis anak (antara lain Young, Clark), maka
perlu diperhatikan tentang ketelitian dari rumus yang dipakai.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENDELEGASIAN PELAYANAN KEFARMASIAN KE PERAWAT

RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;


MENIMBANG:
1. Bahwa dalam pelayanan di rumah sakit diperlukan kerjasama dengan
perawat dalam pelayanan terhadap pasien rawat inap.
2. Bahwa dalam pelayanan mendelegasikan beberapa tindakan
kefarmasian keperawat untuk membantu dalam mengoptimalkan
pelayanan kefarmasian.
3. Bahwa pendelegasian dilakukan karena jumlah tenaga di instalasi farmasi belum
memenuhi standart untuk melayani seluruh pelayanan kefarmasian di instalasi
farmasi.
4. Bahwa dalam pendelegasian tindakan kefarmasian tersebut dibutuhkan kebijakan
dari rumah sakit untuk mengatur pendelegasian pelayanan kefarmasian ke perawat.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Peraturan Presiden RI No. 77 Tahun 2015 tentang Pedoman
Organisasi Rumah Sakit.
3. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004,
Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-

P/I/2018 tentang Kebijakan Pendelegasian Pelayanan Kefarmasian

Ke Perawat Dharma Ibu Ternate.


MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Pengelolaan perbekalan farmasi di ruang perawatan rawat inap


menjadi tanggung jawab ruang keperawatan.
2. Dalam memenuhi pelayanan kefarmasian yang efektif perlu
Dilakukan kerjasamadengan perawat.
3. Dalam kerjasama pelayanan kefarmasian dilakukan
pendelegasian tugas kefarmasian ke perawat yang masih
sesuai dengan undang undang yang berlaku.
4. Pendelagasian dilakukan karena masih terbatasnya jumlah
tenaga di instalasi farmasi.
5. Pendelegasian ke perawat meliputi:
a. Pendelegasian pencampuran elektrolit konsentrat pekat
(KCL, MgSO4,dll).
b. Pendelegasian pengoplosan injeksi serbuk kering
(Cefotaxime, Ceftriaxone, Methylprednisolone, dll).
c. Pendelegasian pencampuran obat injeksi, (Asam Tranexamat
inj,Vitk K inj, dll).
d. Pendelegasian pengoplosan nutrisi parenteral (Clinimix + dll).
e. Pendelegasian penyerahan obat.
6. Pemberian obat harus memastikan kebenaran pemberian
obat ke pasien dengan mengisi ceklist 7 benar, yakni:
a. Benar pasien.
b. Benar obat.
c. Benar dosis
d. Benar waktu
e. Benar cara pemberian
f. Benar dokumentasi
g. Benar informasi
7. Pendokumentasian kebenaran pemberian obat ke pasien

oleh perawat didokumentasikan di CPO (catatan penggunaan obat) dengan


menulis nama pada kolom perawat yang memberi obat.

8. Dalam pendelegasian ke perawat, instalasi farmasi


mengedukasi (melatih) dan memonitor pelayanan kefarmasian
yang dilakukan perawat yang dilakukan ole APJP (Apoteker
Penanggung Jawab).
9. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan
evaluasi minimal 1 tahun sekali.
10. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan,
maka akan Dilakukan perubahan dan perbaikan
sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA

Direktur
 

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : ….//Dir-SK/X/2018
TANGGAL :

SURAT PELIMPAHAN WEWENANG APOTEKER


Nomor:

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : 
SIPA : 
Jabatan : Apoteker Penanggung Jawab IFRS 
Dengan ini memberikan pelimpahan wewenang kepada:
Jabatan : Perawat/Bidan Rumah sakit 
Untuk melaksanakan : Pelayanan Kefarmasian.
Ruangan : Rawat Inap
Pada Tanggal :

Hal hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan tugas pelimpahan wewenang:
1. Mengacu pada SOP Pelayanan Klinis yang berlaku di Rumah Sakit .

Demikian surat pelimpahan wewenang apoteker ini dibuat untuk dipergunakan sebagaiaman
mestinya.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PERACIKAN OBAT RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :

1. Bahwa peracikan ovbat adalah kegiatan untuk mencampur beberapa bahan obat
atau obat untuk dijadikan obat sediaan baru sesuai dengan aturan minum ilmu
meracik obat.
2. Bahwa peracikan obat menjadi tanggung jawab dari Instalasi Farmasi agar
sesuai dengan aturan peracikan obat.
3. Bahwa untuk menjamin petugas yang meracik obat berkompetensi untuk meracik
obat itu menjadi tanggung jawab kepala Instalasi Farmasi untuk mensosialisasi
dan memberikan pelatihan tentang cara peracikan obat.
4. Bahwa untuk menjamin peracikan obat seragam sesuai standar peracikan obat
perlu ditetapkan surat keputusan direksi tentang kebijakan peracikan obat.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004
tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI
/SK-P/I/2018 tentang Kebijakan Peracikan Obat Rumah
Sakit Dharma Ibu Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Peracikan obat di farmasi dilakukan oleh reseptir, asisten apoteker,


apoteker atau
tenaga praktikan yang sudah terlatih.
2. Sebelum dan sesudah melakukan peracikan obat petugas harus
melakukancuci
tangan sesuai prosedur cuci tangan .

3. Sebelum dan sesudah melakukan peracikan, peralatan peracikan


dibersihkan.
4. Petugas peracik obat memakai APD (Alata Pelindung Diri) saat
meracik obat.
5. Tempat peracikan obat harus terpisah dari tempat pelayanan obat.
6. Jumlah obat dalam satu racikan obat maksimal 5 jenis obat.
7. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
8. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

 Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan


5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR :
TANGGAL : 

Kebijakan Peracikan Obat

Rumah Sakit 

A. Peracikan obat dilakukan di Instalasi Farmasi, meliputi:


- Obat racikan puyer
- Obat racikan kapsul
- Obat racikan syrup
- Obat racikan salep
- Obat racikan cream
- Obat racikan bedak tabor
- Obat racikan cairan obat luar
B. Tempat peracikan obat di Instalasi Farmasi dan Keperawatan harus selalu bersih, baik
sebelum, saat dan sesudah peracikan.
 Petugas Instalasi farmasi harus membersihkan tempat meracik sebelum dan sesudah
peracikan obat.
 Petugas yang melakukan peracikan tidak boleh diganggu saat proses
peracikan obat

C. Petugas yang melakukan peracikan obat memakai APD (Alat Pelindung Diri)
APD (Alat Pelindung Diri) yang digunakan dan fungsinya untuk peracikan obat, meliputi:
1. Handscoon non steril
- Melindungi kontaminasi dari tangan ke obat yang sedang diracik
- Menghindarkan terkontaminasinya tangan oleh obat yang sedang diracik
2. Standar masker
- Melindungi kontaminasi dari mulut dan hidung ke obat yang sedang diracik
- Menghindari terhirupnya obat yang sedang diracik
3. CelemeMenghindarkan terkontaminasinya pakaian seragam saat melakukan peracikan.

D. Obat Antibiotik tidak boleh dicampur dalam racikan obat


Apabila dalam resep racikan obat ada obat antibiotik, maka farmasi berhak untuk:
1. Mengganti dengan sediaan syrup untuk obat antibiotiknya dan menyesuaikan dosis
pemakaiannya.
2. Apabila tidak ada sediaan syrupnya maka obat antibiotik diracik sendiri terpisah dari obat
lainnya.
E. Memastikan homogenitas obat racikan dengan cara:
1. Untuk obat pulveres / puyer obat terbagi dan puyer obat luar
a. Diracik dengan blender
 Obat diblender dengan waktu 8 detik sekali dan diulang 3 kali.
 Obat dipindahkan di kertas perkamen dan dilihat dengan mata
homogenitas
 puyernya ( meliputi : kehalusan puyer dan warna puyer )

b. Diracik dengan mortir stemper
 Obat digerus dengan tekanan selama 8 detik dan diulang 3kali kemudian
diratakan dengan mika.
 Obat dipindahkan ke kertas perkamen dan dilihat dengan mata homogenitas
puyernya ( meliputi : kehalusan puyer dan warna puyer )
2. Untuk obat suspensi, emulsi dan larutan obat
a. Obat dalam botol dikocok selama 8 detik
b. Obat dalam botol dilihat dengan mata homogenitasnya ( meliputi : homogenitas partikel
obat dalam cairan dan warna obatnya.
3. Untuk obat injeksi dan infus yang di oplos perawat
4. Pengoplosan sesuai dengan SPO pengoplosan obat injeksi dan infus oleh perawat
5. Obat dilihat dengan mata homogenitasnya ( meliputi : warna dan homogenitas obatnya )

F. Obat obat yang tidak boleh diracik, antara lain :


1. Obat yang bersifat higroskopis
2. Obat obat enzim
3. Obat obat yang berinteraksi dengan obat dalam 1 racikan
4. Obat sediaan tablet enterik, tablet salut selaput dan tablet lepas lambat.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang

KEBIJAKAN PANDUAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :
1. Bahwa Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter
gigi atau Dokter hewan kepada Apoteker untuk membuat dan
memberikan obat kepada pasien.
2. Bahwa Rumah Sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan,
pemesanan dan pencatatan resep, karena peresepan obat yang tidak terbaca atau
pemesanan yang mengacaukan keselamatan pasien bisa menunda pengobatan.
3. Bahwa Rumah Sakit perlu mengatur tindakan untuk mengurangi tidak terbacanya
resep.
4. Bahwa untuk mekanisme tersebut diatas maka rumah sakit perlu menerbitkan
Panduan tentang Penulisan Resep.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah


Sakit.
2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI

/SK- P/I/2018 tentang Kebijakan Panduan Penulisan Resep Rumah

Sakit Dharma Ibu Ternate.


MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Panduan Penulisan Resep sebagaimana terlampir dala


keputusan ini.
2. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan
evaluasi minimal 1 tahun sekali.
3. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka
Akan dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana
mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis


2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : …./RSUSY/Dir-SK/X/2018
TANGGAL :

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Resep merupakan permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker, untuk
menyediakan obat dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Obat
merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat
merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Anonim,
2006).
Obat merupakan salah satu bagian dalam peningkatan kualitas hidup pasien sehingga
diperlukan adanya manajemen yang harus berperan secara kritis untuk memastikan
keselamatan pasien (Anonim, 2011).
Rumah sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan, pemesanan dan pencatatan
yang aman diarahkan oleh kebijakan dan prosedur. Para staf medis, keperawatan, farmasi dan
administrative berkolaborasi untuk mengembangkan dan memonitor kebijakan dan prosedur.
Staf yang terkait dilatih untuk praktek penulisan resep, pemesanan dan pencatatan yang benar.
Karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesanan yang mengacaukan keselamatan
pasien bisa menunda pengobatan, maka kebijakan rumah sakit mengatur tindakan untuk
mengurangi tidak terbacanya resep.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk
membuat cara penulisan resep yang tepat untuk mengurangi kesalahan pemberian obat
(medication errors) berdasarkan system yang ada dirumah sakit.

B. DEFINISI
Penulisan resep yang tepat adalah Tata cara penulisan resep yang tepat sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Rumah Sakit .

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum :
Meningkatkan keselamatan pasien dalam kebenaran pemberian obat
2. Tujuan Khusus:
a. Meningkatkan kesadaran sejawat penulisan resep akan pentingnya penulisan
resep yang dapat dibaca.
b. Mengurangi tidak terbacanya resep yang dapat memperpanjang waktu tunggu
obat.
c. Mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat
d. Meningkatkan mutu pelayanan farmasi dalam rangka penulisan resep yang tepat.

BAB II
RUANG LINGKUP KEGIATAN

Secara umum seluruh ruangan bagian klinis yaitu bagian keperawatan, penunjang medis dan
unit khusus.
Ruang lingkup penulisan resep yaitu :
1. Poliklinik rawat jalan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter umum, dokter
spesialis dan dokter gigi.
2. Ruang perawatan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter umum, dokter
spesialis dan dokter gigi.
3. Bidan dan perawat hanya boleh menulis resep berupa alat kesehatan, cairan infuse.
4. Bidan dan perawat yang di ijinkan menulis resep adalah bidan dan perawat yang
memiliki STR (Surat Tanda Registrasi).

BAB III
TATA LAKSANA

A. TATA LAKSANA PENULISAN RESEP


1. Tenaga Kesehatan yang berkompeten menulis resep / pesanan adalah Dokter yang memiliki
Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari Dokter umum, Dokter spesialis dan Dokter gigi.
2. Perawat dan bidan diberikan ijin menuliskan resep untuk resep yang berupa :
a. Alat kesehatan
b. Cairan infuse
3. Obat untuk pasien rawat inap ditulis di lembar KIO (Kartu Instruksi Obat), sedangkan untuk
alat kesehatan untuk pasien rawat inap ditulis di KIA (kartu Instruksi Alkes).
4. Penulisan resep harus ditulis lengkap, yang terdiri dari :
a. Tanggal peresepan
b. Nama lengkap penulis resep
c. Nama lengkap pasien
d. Nomor rekam medis pasien
e. Tanggal lahir dan atau umur pasien
f. Berat badan (untuk pasien neonates dan pediatric)
g. Luas permukaan tubuh (untuk pasien kemoterapi)
h. Kliren kreatinin (untuk pasien gangguan ginjal)
i. Nama obat
j. Kekuatan obat
k. Bentuk sediaan obat
l. Jumlah obat
m. Dosis obat
n. Frekuensi / interval pemakaian
5. Penulisan resep/pemesanan resep di rumah sakit ada beberapa jenis meliputi:
a. Standing Order
1. Tenaga Kesehatan yang diperbolehkan oleh Rumah Sakit untuk melaksanakan
Standing order adalah perawat.
2. Perawat harus mengikuti instruksi pemberian yang tercantum dalam Standing order.
3. Standing order yang berlaku di Rumah Sakit adalah :
 Standing order pemberian Magnesium sulfat untuk pre eklampsia dan
eklampsia
 Standing order pemberian Kalium Klorida 7,46%.
4. Perawat yang telah melakukan standing order harus mendokumentasikan pemberian
obat tersebut ke dalam “lembar Intruksi” dan dimasukkan dalam rekam medis pasien.
5. Lembar instruksi harus mencantumkan nama lengkap dan tanda tangan perawat.
6. Lembar instruksi harus ditandatangani oleh dokter yang merawat / DPJP (Dokter
Penanggung Jawab Pasien).
b. Automatic stop order/penghentian terapi oleh dokter
Dokter pemberi order harus menulis tanggal pada kolom stop dengan jelas pada lembar
KIO / kartu Instruksi Obat (member paraf dan tanggal untuk menetapkan penghentian
terapi).
c. Penulis resep obat prn atau bila perlu atau “pro re nata”
Peresepan obat prn atau bila perlu atau “pro re nata” harus menuliskan indikasi
pemakaian, kekuatan oabt, dan pemakaian maksimal dalam sehari pada resep. Contoh
penulisan resep yang benar : Parasetamol 1 tablet prn untuk demam.
d. Penulisan resep obat NORUM (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip)
Penulisan obat yang termasuk NORUM (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip) harus
sesuai dengan kebijakan penulisan obat NORUM.
e. Penulisan resep / pemesanan resep obat secara verbal atau melalui telepon
1. Pesanan obat secara verbal atau melalui telepon hanya dibolehkan pada situasi
mendadak.
2. Pesanan obat secara verbal/telepon tidak diperbolehkan bila penulis resep ada dan
tersedia rekam medis pasien, kecuali penulis resep sedang melakukan pelayanan
emergency/sedang melakukan tindakan pelayanan.
3. Pesanan obat secara verbal/telepon tidak berlaku untuk :
 Obat kemoterapi
 Obat narkotika
4. Tenaga kesehatan yang diperbolehkan oleh RS untuk menerima pesanan obat yang
dikomunikasikan secara verbal atau melalui telepon adalah :
 Perawat dan bidan yang memiliki STR
 Farmasi (Tenaga Teknis Kefarmasian dan Apoteker)
5. Tenaga Kesehatan (yang disebutkan dalam poin diatas) harus mencatat pesanan
obat yang diterima secara verbal/melalui telepon ke dalam rekam medis pasien dan
setelah itu mengulagi secara lisan kepada pemberi resep / instruksi pengobatan
sesuai kebijakan SBAR.
6. Pemberi pesanan obat harus melakukan verifikasi sesuai dengan kebijakan SBAR.
7. Perubahan pemberian terapi obat (jenis dan dosis), maka obat sebelumnya harus
dihentikan dan ditulis sesuai aturan penghentian terapi. Penulisan resep yang
salah tidak boleh dihapus akan tetapi dengan cara mencoret dengan satu garis
lurus kemudian resep yang benar di tulis di atas resep yang dicoret tersebut.
a. Penulisan pesanan obat /resep harus jelas, lengkap dan dapat terbaca oleh
tenaga teknis kefarmasian dan apoteker.
b. Petugas farmasi (Tenaga teknis kefarmasian dan Apoteker) harus melakukan
klarifikasi kepada penulis resep bila pesanan obat/resep tidak jelas, tidak terbaca,
atau tidak lengkap.
c. Penulis resep harus menulis resep atau instruksi pengobatan yang baru jika
ingin meneruskan terapi obat yang sempat terhenti karena adanya automatic stop
order, tindakan operasi maupun karena alasan lain.
d. Penulis resep harus membandingkan order pertama obat dengan daftar obat
pasien sebelum masuk rawat inap yang diperoleh dari anamnesa oleh dokter
atau perawat.
e. Penulis resep harus menggunakan singkatan, symbol dan penunjukan dosis
yang diperbolehkan oleh rumah sakit.
f. Tenaga Kesehatan yang menerima order/perintah/resep yang menggunakan
singkatan, symbol, dan penunjuk dosis yang dilarang harus melakukan klarifikasi
dan konfirmasi kepada penulis order/perintah/resep jika order/perintah/resep
tersebut tidak jelas/tidak terbaca.
g. Setiap dokter, perawat dan bidan harus mengikuti cara penulisan resep yang
benar sesuai dengan kebijakan peresepan.

B. CARA PELAKSANAAN PENULISAN RESEP


1. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis tanggal penulisan resep.
2. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep member tanda centang pada kolom
alergi atau tidak dibagian kanan atas pada lembar resep, jika pasien mempunyai riwayat
alergi dokter menuliskan nama obat yang alergi bagi pasien.
3. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep memberi tanda centang pada
kolom akut atau kronis di bagian kiri atas untuk resep obat yang akan ditulis.
4. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis atau memberi cap nama
dokter beserta no SIP pada bagian kop resep.
5. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis tanda R/ pada awal
penulisan sediaan obat.
6. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis nama obat (sesuai dengan
formularium) dilengkapi bentuk sediaan dan kekuatan obat yang dikehendaki
disesuaikan dengan pasien.
7. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis jumlah obat menggunakan
angka romawi sesuai yang diperlukan untuk pasien.
8. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis aturan pakai yang
disesuaikan dengan pasien meliputi dosis, rute, dan ferekuensi obat.
9. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep dan memberi paraf pada setiap
sediaan obat yang ditulis pada lembar resep.
10. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis kelengkapan data pasien
(meliputi : nama lengkap, nomor rekam medic dan tanggal lahir).
11. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep mencantumkan berat badan pasien
untuk resep anak-anak.
12. Dokter atau pertugas yang berwenang menulis resep hanya boleh menulis maksimal 5
(lima) item obat dalam satu resep obat racikan
13. Dokter mencantumkan alamat pasien pada lembar resep yang terdapat obat narkotika.
14. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis keterangan pemakaian
maksimal per hari dan indikasi pemakaian untuk obat dengan signa pro re nata (jika
perlu).

BAB IV
DOKUMENTASI
Penulisan resep yang tepat di Rumah Sakit merupakan komitmen Rumah Sakit yang di dukung
dengan adanya :
A. Kebijakan
1. Kebijakan Penulisan Resep yang Tepat.
2. Kebijakan Penanggulangan Resep yang Tidak Terbaca.
3. Kebijakan Telaah Resep

B. SPO
1. SPO Penulisan Resep yang Tepat.
2. SPO Penanggulagan Resep yang Tidak Terbaca.
3. SPO Telaah Resep.

BAB V
PENUTUP

Demikianlah panduan ini disusun sebagai pedoman dalam penulisan resep. Panduan ini masih
jauh dari sempurna, oleh sebab itu panduan akan dievaluasi kembali setiap 2 sampai 3 tahun
sesuai dengan tuntutan layanan dan standar akreditasi baik akreditasi Nasional maupun standar
International.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesi Nomor


1691/MENKES/PER/VII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Kementria
Kesehatan Indonesia
2. Anonim, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tentang Kesehatan.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

KEBIJAKAN PERENCANAAN PERBEKALAN FARMASI

RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;


MENIMBANG:
1. Bahwa Perencanan perbekalan farmasi merupakan proses kegiatan dalam
pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi dalam rangka
pengadaan perbekalan farmasi.
2. Dalam pelaksanaan mengelola perbekalan farmasi di Rumah Sakit perlu
adanya perencanaan yang tepat agar tidak terjadi penumpukan atau
kekosongan perbekalan farmasi.
3. Pengelolaan perencanaan perbekalan farmasi dilakukan oleh kepala
Gudang Farmasi dan melakukan pendokumentasian pemesanan dan
penggunaan obat.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah


Sakit.
2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004
tentang

Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./


YDI /SK-P/I/2018 tentang Kebijakan Perencanaan Perbekalan
Farmasi RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG


KEBIJAKAN PERENCAAN PERBEKALAN FARMASI.
2. Kepala Gudang Farmasi membuat perencanaan perbekalan
farmasi dengan mengadakan pemesanan sesuai kebutuhan
dan sistemnya jangka pendek.
3. Perencanaan perbekalan farmasi dilakukan berdasarkan
kebutuhan
dan sistemnya jangka pendek..
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
dilakukan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis
3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsi

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : 347//Dir-SK/XII/2016
TANGGAL :

KEBIJAKAN PEMESANAN OBAT, PENCATATAN OBAT

Pengadaan Perbekalan Farmasi


IFRS memperoleh obat atau perbekalan farmasi berasal dari Pedagang Besar Farmasi (PBF)
atau dari rumah sakit lain. Pedagang Besar Farmasi secara intensif mensuplai ketersediaan
obat, jarak pengirimannya memiliki waktu yang berbeda-beda, ada yang datang untuk
mensuplai setiap tiga kali perminggu, bahkan juga ada pengiriman datang setiap hari.

Waktu pengiriman barang berbeda-beda, ada yang sekarang pesan, besok barang dikirim,
adapula yang selang satu hari setelah pemesanan.Sistem pembayaran yang dilakukan terhadap
Pedagang Besar Farmasi (PBF) dapat dilakukan secara tunai ataupun kredit.

Pemesanan Obat
Pemesanan obat yang dilakukan di IFRS yaitu dengan system pemesanan regular (umum).
Oleh karena itu, surat pesanan yang digunakan adalah surat pesanan regular, atau bisa juga
menggunakan fasilitas media komunikasi.

Penerimaan Perbekalan Farmasi


Selang satu atau dua hari barang yang dipesan akan datang dan disertai dengan faktur
pembelian. Ketika barang datang, Apoteker/Asisten Apoteker harus segera mengecek faktur
dan surat pesanan serta memeriksa kesesuaian barang yang dipesan. Pengecekan barang
datang dilakukan dengan cara :
Mencocokan nama barang, nomor batch, jumlah barang, harga barang, expired date dengan
keterangan yang tertera pada surat pesanan dan faktur.
Setelah semua barang sesuai dengan pesanan maka faktur diparaf dan distempel. Namun
apabila terjadi ketidaksesuaian barang, maka pihak gudang farmasi meretur barang tersebut
disertai dengan bukti returnya.
Faktur asli diberikan kepada ke PBF, sedangkan copyannya disimpan sebagai arsip gudang
farmasi. Apabila pembayaran obat sudah lunas faktur asli yang berada di PBF diserahkan ke
Bag Keuangan.

Penyimpanan Perbekalan Farmasi


Penyimpanan perbekalan farmasi di IFRS digolongkan berdasarkan :

1. Bentuk sediaan (tablet, sirup, drops, salep, dan bentuk sediaan lainnya) yang disusun
secara alfabetis.
2. Berdasarkan FIFO (First In First Out), yaitu obat-obat yang pertama masuk dan pertama
keluar dan FEFO (First Expired First Out), yaitu obat-obat yang kadaluarsanya cepat,
pertama keluar.
3. Berdasarkan sifat obatnya yang meliputi penyimpanan obat berdasarkan suhu yang telah
ditentukan.
4. Berdasarkan golongan obatnya, seperti untuk obat golongan bebas dan bebas terbatas
disimpan di etalase bagian depan (tidak apa-apa terlihat oleh konsumen), karena
golongan obat ini dijual secara bebas kepada pasien. Sementara untuk golongan obat
keras dan keras terbatas disimpan di etalase bagian belakang (tidak boleh terlihat oleh
konsumen), karena obat golongan ini tidak dijual secara bebas kepada pasien. Begitu
pula, untuk golongan obat psikotropika disimpan di suatu lemari yang terpisah dari obat-
obat lainnya.
Program Komputer
Fungsi dari program ini untuk mencatat barang yang masuk dan keluar yang ditulis perjenis
obat.

Pelayanan Perbekalan Farmasi


Bentuk atau system saluran distribusi perbekalan farmasi sesuai dengan kebijakan atau
peraturan seperti yang tercantum dalam undang-undang kesehatan.

Perbekalan Farmasi menurut Undang-Undang Kesehatan meliputi :

 Obat
 Bahan Baku
 Obat Tradisional (Obat asli Indonesia)
 Alat Kesehatan
 Kosmetik
 Obat terdiri dari enam golongan yaitu :
 Obat Narkotik
 Obat Psikotropika
 Obat Keras
 Obat Obat Tertentu
 Obat Bebas Terbatas
 Obat Bebas
 Obat Prekusor

Pelayanan Resep Dokter


Resep dapat diartikan sebagai pernyataan tertulis dari seorang dokter. Resep harus tertera jelas
dan lengkap supaya tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien.
Ketidakjelasan/kesimpangsiuran pada resep harus segera dikonfirmasi pada dokter yang
menulis resep tersebut. Resep-resep dari dokter tersebut akan diarsipkan, kemudian arsip resep
tersebut disimpan selama 3 tahun di IFRS. Setelah 3 tahun resep itu akan dimusnahkan dengan
cara dibakar serta akan dibuat acara beritanya.
Namun ada pula pelayanan obat tanpa resep dokter, dimana konsumen langsung membeli obat
bebas atau bebas terbatas ke IFRS.
Pelayanan Informasi Obat
Di IFRS memberikan informasi obat berusaha secara detail, contohnya seperti menjelaskan
penggunaan obat tersebut dan memberitahukan fungsi obatnya.

pengelolaan Obat Psikotropika


Menurut Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1997 psikotropika adalah zat atau obat baik alamiyah
ataupun sintetis, bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
system syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada mental dan perilaku.
Obat psikotropika yang ada di IFRS, adalah antara lain :

1. Phenobarbital (Luminal) 30 mg
2. Analsik tablet
3. Diazepam 2 mg
4. Sanmag tablet
5. Stesolid rektal 5 mg
6. Stesolid rektal 10 mg

Pemesanan obat psikotropika dapat dilakukan dengan menyertakan Surat Pesanan (SP) khusus
dan dipisahkan dari SP obat-obat lain. SP obat psikotropika ini dibuat rangkap tiga, hanya saja
pemesanan obat psikotropika dapat dipesan dari beberapa Pedagang Besar Farmasi (PBF)
tertentu.

Penyimpanan Obat Psikotropika


Dalam penyimpanan obat psikotropika ini diperlakukan secara khusus.Disimpan disuatu lemari
yang terpisah dengan obat keras lainnya.

Pelaporan Obat Psikotropika


Obat Psikotropika dalam hal kepemilikannya harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan (Dinkes)
Kabupaten.Di IFRS pelaporannya dilakukan tiap satu bulan sebelum tanggal 10.Laporan ini
ditanda tangani oleh Apoteker.

Pengelolaan Obat Rusak Dan Kadaluarsa


Untuk obat-obat yang mendekati kadaluarsa ataupun sudah kadaluarsa akan diretur
(dikembalikan) jika Pedagang Besar Farmasi (PBF) bersedia, tetapi dengan persyaratan
tertentu. Tetapi jika PBF tidak bersedia, maka obat-obatan tersebut akan dikumpulkan dan
dimusnahkan dengan cara tertentu, contohnya untuk sediaan obat yang berbentuk tablet, cara
pemusnahannya yaitu digerus terlebih dahulu, kemudian dikubur dengan tanah. Begitu pula,
sediaan obat yang sirup, cara pemusnahannya dibuang sirup tersebut ke tong sampah, baru
botol kosongnya dibuang. Dan akan dibuat acaranya.
Untuk meretur obat yang kadaluarsa biasanya PBF memberi persyaratan-persyaratan tertentu
seperti, obat-obat tersebut harus dalam keadaan utuh dan harus diretur tiga bulan sebelum
expired date.

 Administrasi IFRS
 Administrasi Pembukuan

Administrasi pembukuan ini berguna untuk mencatat seluruh kegiatan-kegiatan dan transaksi-
transaksi yang telah dilaksanakan. Di IFRS, buku-buku yang digunakan adalah sebagai berikut :

Laporan Penjualan
Laporan penjualan berfungsi untuk mencatat hasil dari penjualan, untuk mengetahui omset
penjualan yang digunakan sebagai dasar laporan keuangan di IFRS setiap bulannya ke WaDir
Keuangan.

 Buku Penerimaan Barang


 Buku penerimaan barang dibuat untuk mencatat pembelian barang, retur penjualan.
 Buku Pencatatan Resep
 Buku yang digunakan untuk mengarsipkan resep-resep yang ada di IFRS.
 Buku Pencatatan Psikotropika
 Buku yang digunakan untuk mencatat pemasukkan dan pengeluaran obat psikotropika.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

KEBIJAKAN WAKTU TUNGGU PELAYANAN OBAT RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Bahwa Rumah Sakit berupaya untuk meningkatkan pelayanan


Kepada pasien termasuk waktu tunggu pelayanan obat.
2. Bahwa untuk itu perlu disusun kebijakan dan peraturan tentang waktu tunggu
pelayanan obat yang harus dipatuhi oleh seluruh tenaga kesehatan dan unit lain
dalam memberikan pelayanan obat ke pasien.
3. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada butir a dan b perlu ditetapkan
dengan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Waktu Tunggu Pelayanan Obat RSU Santo Yoseph Labuan
Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. KEPUTUSAN KEBIJAKAN WAKTU TUNGGU PELAYANAN OBAT DIATUR


OLEH RUMAH SAKIT.
2. Kebijakan waktu tunggu pelayanan obat sebagaimana tercantum dalam lampiran
keputusan ini.
3. Pembinaan dan penetapan staf yang berwenang tentang waktu tunggu
pelayanan obat dilaksanakan oleh Kepala IFRS.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal
1 tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka
akan
dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

 Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : ….//Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

WAKTU TUNGGU PELAYANAN OBAT

1. Instalasi farmasi melakukan pelayanan sesuai dengan waktu tunggu yang berlaku.
2. Waktu tunggu untuk pasien rawat inap berlaku untuk pasien yang akan pulang, waktu tunggu
untuk pasien rawat jalan berlaku untuk semua pasien.
3. Ketentuan waktu tunggu adalah sebagai berikut:
a. Resep non racikan ≤ 20 menit
b. Resep racikan ≤ 45 menit
4. Setiap bulan apoteker penanggung jawab membuat laporan sasaran mutu waktu tunggu obat
untuk rawat inap/rawat jalan. (indikator mutu terlampir)
5. Pembinaan dan pengawasan waktu tunggu pelayanan obat dilaksanakan oleh Kepala IFRS.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah
Sakit , maka diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu
tinggi tentang pelayanan informasi obat.
2. Bahwa untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat
kepada pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana
dengan baik, perlu adanya Peraturan Direktur tentang Pelayanan
Informasi obat oleh FRS Rumah Sakit sebagai landasan bagi
penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit 

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit..
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI
/SK- P/I/2018 tentang Kebijakan Pelayanan Informasi Obat Rumah
Sakit Dharma Ibu Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN


PELAYANAN INFORMASI OBAT RUMAH SAKIT .
2. Kebijakan Pelayanan Informasi Obat Rumah Sakit sebagaimana
tercantum dalam lampiran Peraturan ini.
3. Pemberian pelayanan infromasi obat di rumah sakit dilaksanakan
oleh tenaga kesehatan Rumah Sakit
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi
Minimal 1 tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

 Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
Nomor : 341/Dir-SK/XII/2018
Tanggal :

KEBIJAKAN PELAYANAN INFORMASI OBAT


RUMAH SAKIT 

A. PELAYANAN INFORMASI OBAT

Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan


informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, asisten apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya dan pasien.
C. Tujuan
1. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan
dilingkungan rumah sakit.
2. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan
dengan obat, terutama bagi Komite Farmasi dan Terapi.
3. Meningkatkan profesionalisme apoteker.
4. Menunjang terapi obat yang rasional.
D. Kegiatan :
1. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara aktif dan pasif.
2. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau
tatap muka.
3. Membuat buletin, leaflet, label obat.
4. Menyediakan informasi bagi Komite Farmasi dan Terapi sehubungan dengan
penyusunan Formularium Rumah Sakit.
5. Bersama dengan PKMRS melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan
rawat inap.
6. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan tenaga kesehatan lainnya.
7. Mengkoordinasi penelitian tentang obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian.
E. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
1. Sumber informasi obat
2. Tempat
3. Tenaga
4. Perlengkapan
Prosedur tetap Pelayanan informasi obat
a. Dalam pelayanan resep
Memberi informasi kepada pasien saat menyerahkan obat, terdiri dari :
Waktu penggunaan obat, misalnya beberapa kali obat digunakan dalam sehari, apakah di waktu
pagi, siang, sore atau malam.
 Dalam hal ini termasuk apakah obat diminum sebelum atau sesudah makan.
 Lama penggunaan obat, apakah selama keluhan masih ada atau harus di habiskan
untuk mencegah timbulnya resistensi.
 Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan pengobatan. Oleh
karena itu, pasien harus mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat yang
benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti obat oral, obat mata, salep mata,
obat tetes hidung, obat semprot hidung, tetes telinga, suppositoria dan krim atau salep
serta rektal atau vagina.
 Efek yang akan timbul dari penggunaan obat, misalnya berkeringat, mengantuk, kurang
waspada, tinja berupa warna, air kencing berubah warna dan sebagainya.
 Hal-hal yang mungkin timbul, misalnya interaksi obat dengan obat lain atau makan
tertentu dengan diet rendah kalori, kehamilan dan menyusui.

b. Menerima dan menjawab pertanyaan


 Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tertulis, langsung atau tidak langsung dengan jelas
dan mudah di mengerti, tidak bias, etis dan bijaksana melalui penelusuran literatur secara
sistematis untuk memberi informasi yang dibutuhkan.
 Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat secara sistematis.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PELAYANAN RESIKO TINGGI RUMAH SAKIT 
Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;
MENIMBANG :
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit maka diperlukan
penyelenggaraan pelayanan pasien dengan resiko tinggi.
2. Bahwa agar pelayanan pasien resiko tinggi di Rumah Sakit dapat terlaksana dengan
baik, perlu adanya kebijakan Direktur Rumah Sakit sebagai landasan bagi
penyelenggaraan pelayanan pasien resiko tinggi di Rumah Sakit.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam 1 dan 2, perlu
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Rumah Sakit

MENGINGAT :
1. Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
3. Keputusan menteri kesehatan Nomor 129/Menkes/SK II/2008 tentang standar pelayanan
minimal rumah sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 772/Menkes/SK/VI/ 2002 tentang
Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-
P/I/2018 Tentang Kebijakan Pelayanan Resiko Tinggi Rumah Sakit Dharma
Ibu Ternate.

MEMUTUSKAN :

MENETAPKAN :
1. Kebijakan Pelayanan Resiko Tinggi Rumah Sakit sebagaimana
berikut :
1.1. Pasien yang masuk dalam pelayanan risiko tinggi yaitu yang
Memerlukan peralatan yang kompleks, yang diperlukan untuk
pengobatan penyakit yang mengancam jiwa (pasien dialisis), sifat
pengobatan (penggunaan darah atau produk darah), potensi yang
membahayakan pasien atau efek toksik dari obat berisiko tinggi
(misalnya kemoterapi).
1.2. Beberapa pasien yang digolongkan risiko-tinggi karena umur,
kondisi, atau kebutuhan yang bersifat kritis. Anak dan lanjut usia
dimasukkan dalam kelompok ini karena mereka sering tidak dapat
menyampaikan pendapatnya, tidak mengerti proses asuhan dan
tidak dapat ikut memberi keputusan tentang asuhannya. Demikian
pula, pasien yang ketakutan, bingung atau koma tidak mampu
memahami proses asuhan bila asuha harus diberikan secara
cepat dan efisien.
1.3. Pelayanan resiko tinggi melibatkan beberapa interdisiplin yang
kompeten dalam penanganannya.
1.4. Staf terlatih melakukan identifikasi risiko sampingan sebagai akibat
dari suatu prosedur atau rencana asuhan
2. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan resiko
tinggi
dilakukan oleh direksi dan manager pelayanan medis.
3. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan
diadakan perbaikan sebagaimana mestinya
 Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA

Direktur
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENDISTRIBUSIAN BARANG FARMASI RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi.
2. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pendistribusian barang farmasi Rumah Sakit sebagai
landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit .

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Pendistribusian Barang Farmasi RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN


PENDISTRIBUSIAN BARANG FARMASI RUMAH SAKIT .
2. Kebijakan pendistribusian barang farmasi Rumah Sakit sebagaimana tercantum
dalam lampiran Peraturan ini.
3. Pembinaan pengawasan pendistribusian barang farmasi Rumah Sakit dilaksanakan
oleh Wadir Pelayanan Rumah Sakit .
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

 Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
Nomor : 291/RSQ/Dir-SK/XII/2016
Tanggal :

KEBIJAKAN PENDISTRIBUSIAN BARANG FARMASI


RUMAH SAKIT 

A. Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk
pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk
menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk
dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan :
1. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada
2. Metode sentralisasi atau desentralisasi
3. Sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi
a. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Inap
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien
rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dengan sistem persediaan
lengkap di ruangan, sistem resep perorangan, sistem unit dosis.
b. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien
rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dengan sistem resep
perorangan oleh Apotik Rumah Sakit.

Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara:


1. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
a. Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh Instalasi Farmasi.
b. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang disimpan di
ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan.
c. Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola maka
pendistribusiannya didelegasikan kepada penanggung jawab ruangan.
d. Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock kepada
petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan.
e. Apoteker menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan interaksi obat pada
setiap jenis Obat yang disediakan di floor stock.
2. Sistem Resep Perorangan
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
berdasarkan Resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui Instalasi
Farmasi.
3. Sistem Unit Dosis
1. Pelayanan/pemberian obat/alkes pasien rawat inap menggunakan daftar obat (DO)
pasien.
2. Pelayanan obat golongan narkotika harus menggunakan resep dokter.
3. Semua obat didistribusi secara sentralisasi dari unit farmasi RS .
4. Pemberian obat dalam daftar obat (DO) pasien, hanya boleh ditulis oleh dokter.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO

NOMOR : ……./RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

KEBIJAKAN PELAYANAN VISITE APOTEKER KE RAWAT INAP

RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo 

MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah
Sakit, maka diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang
bermutu tinggi tentang pelayanan visite Apoteker ke rawat inap.
2. Bahwa untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat
kepada pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pelayanan Visite Apoteker ke ruang rawat
jalan / rawat inap oleh IFRS Rumah Sakit sebagai landasan bagi
penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit .

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang
Standa Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI
/SK-P/I/2018 tentang Kebijakan Pelayanan Visite Apoteker Ke
Rawat Inap RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN PELAYANAN VISITE


APOTEKER KE RAWAT INAP RUMAH SAKIT.
2. Visite merupakan kegiatan kunjungan Apoteker ke pasien rawat inap bersama tim dokter
dan atau tenaga kesehatan lainnya.
3. Kebijakan Apoteker yang melakukan visite bersama tim dokter dan atau tenaga
kesehatan lainnya sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan ini.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkandi : Ternate
PadaTanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo,SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


Nomor : 336//Dir-SK/XII/2018
Tanggal :

KEBIJAKAN PELAYANAN VISITE APOTEKER KE RAWAT INAP

RUMAH SAKIT 

A. RONDE/VISITE
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga
kesehatan lainnya
1. Tujuan :
a. Pemilihan obat
b. Menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik
c. Menilai kemajuan pasien
d. Bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.
2. Kegiatan :
a. Apoteker harus memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari kunjungan
tersebut kepada pasien.
b. Untuk pasien baru dirawat, Apoteker harus menanyakan terapi obat terdahulu dan
memperkirakan masalah yang mungkin terjadi.
c. Apoteker memberikan keterangan pada formulir resep untuk menjamin penggunaan
obat yang benar.
d. Melakukan pengkajian terhadap catatan perawat akan berguna untuk pemberian
obat.
e. Setelah kunjungan membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian
masalah dalam satu buku dan buku ini digunakan oleh setiap Apoteker yang
berkunjung ke ruang pasien untuk menghindari pengulangan kunjungan.
3. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
a. Pengetahuan cara berkomunikasi
b. Memahami teknik edukasi
c. Mencatat perkembangan pasien

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENYIMPANAN DAN PENGELOLAAN OBAT SAMPEL

 RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;


MENIMBANG :

1. Bahwa yang dimaksud dengan obat sampel adalah obat yang didapat secara gratis dari
perusahaan farmasi diluar obat droping dari pemerintah.
2. Agar dalam pengelolaan obat sampel di Rumah Sakit dapat terlaksana dengan baik
maka diperlukan adanya kebijakan Direksi Rumah Sakit sebagai acuan pengelolaan obat
sampel di RS .

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
PelayananKefarmasian di Rumah Sakit.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang
Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-
P/I/2018 tentang Kebijakan Penyimpanan Dan Pengelolaan Obat Sampel
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Pengelolaan obat sampel dilakukan oleh Instalasi Farmasi


2. Penerimaan obat sampel harus seijin Komite Farmasi dan Terapi
3. Pengelolaan obat sampel dilaporkan setiap satu tahun sekali oleh Kepala
Instalasi Farmasi kepada Komite Farmasi dan Terapi.
4. Obat sampel harus didokumentasikan oleh petugas tehnik kefarmasian
bagian gudang farmasi.
5. Obat sampel harus dikelola dengan baik dan terhindar dari kadaluarsa.
6. Obat sampel harus dilaporkan kepada perusahaan farmasi yang memberi
obat tersebut.
7. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal
1 tahun sekali.
8. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
Dilakukan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : 216/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

PENYIMPANAN DAN PENGELOLAAN OBAT SAMPEL/DONASI

1. Penyimpanan dan pengendalian obat sampel/donasi dapat digunakan dalam rangka promosi
kesehatan serta pada kasus tertentu dimana obat tersebut belum ada di pasaran. Selain itu juga
dapat diberikan pada kejadian luar biasa (KLB)
2. Apabila pihak rumah sakit memperoleh obat sampel/donasi dari pihak tertentu maka perbekalan
farmasi tersebut wajib mendapatakan pengesahan dari KFT.
3. Obat yang disediakan untuk keperluan program kesehatan tertentu hanya boleh dipergunakan
bagi pasien tertentu sesuai dengan kriteria, target dan sasaran program tersebut. Selain itu obat
tersebut tidak boleh diperjualbelikan kepada pasien.
4. Bantuan perbekalan farmasi sampel/donasi yang diterima pihak rumah sakit untuk kasus tertentu
misalnya kejadian luar biasa (KLB), maka pihak rumah sakit segera menyalurkan bantuan
tersebut kepada pasien tanpa pungutan biaya.
5. Perbekalan farmasi donasi/sampel dapat dijadikan aset rumah sakit.
6. Perbekalan farmasi yang disahkan oleh KFT harus memenuhi persyaratan kelengkapan data
antara lain hasil penelitian mengenai indikasi obat serta kandungan obat tersebut. Koordinasi
obat dan perbekalan kesehatan yang berasal dari pihak donor harus diverifikasi oleh:
1) Pihak dinas kesehatan kabupaten/kota berkoordinasi dengan BPBD
kabupaten/kota bila obat dan perbekalan kesehatan langsung dikirim ke
kabupaten/kota;
2) Dinas Kesehatan Provinsi berkoordinasi dengan BPBD Provinsi bila obat dan
perbekalan kesehatan donasi langsung dikirim ke Provinsi;
3) Pihak Kementerian Kesehatan (Ditjen Binfar dan Alkes) bila obat dan Perbekalan
Kesehatan di terima di tingkat Nasional;
4) Bila obat dan perbekalan kesehatan diterima oleh BPBD atau BNPB, maka BPBD
atau BNPB memberikan informasi bantuan ke Dinas Kesehatan Provinsi di
tingkat provinsi atau Kementerian Kesehatan di tingkat nasional.
5). Persyaratan teknis obat sumbangan, hibah, donasi, sampel antara lain:
a. Masa kadaluarsa obat dan perbekalan kesehatan sumbangan minimal 2 (dua) tahun
pada saat diterima oleh penerima bantuan. Hal ini dimaksudkan agar obat dan
perbekalan kesehatan tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan
program maupun situasi darurat.
b. Obat dan perbekalan kesehatan sumbangan yang diterima harus berasal dari
sumber resmi dan terdaftar/mempunyai izin edar di negeri pemberi atau mendapat
pengakuan dari WHO atau lembaga independen lainnya. Hal ini diperlukan untuk
menjamin keamanan dari obat dan perbekalan kesehatan yang akan diterima.
c. Obat yang diterima sebaiknya sesuai dengan DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional),
hal ini diperlukan agar tidak mengganggu Program Penggunaan Obat Esensial di
sarana kesehatan).
d. Kekuatan/potensi/dosis dari obat sebaiknya sama dengan obat yang biasa
digunakan oleh petugas kesehatan.
e. Semua obat dan perbekalan kesehatan menggunakan label berbahasa Indonesia
atau bahasa Inggris.
6). Obat dan perbekalan kesehatan sumbangan sebaiknya memenuhi aturan
internasional pengiriman barang yaitu setiap obat dan perbekalan kesehatan yang
dikirim hendaknya disertai dengan detail isi karton yang menyebutkan secara
spesifik bentuk sediaan, jumlah, nomor batch, tanggal kadaluarsa (expire date),
volume, berat dan kondisi penyimpanan yang khusus.
7). Obat dan perbekalan kesehatan sumbangan donor bisa mendapat fasilitas
pembebasan tarif pajak sesuai ketenyuan perundang undangan yang berlaku.
8). Obat dan perbekalan kesehatan donasi yang rusak/kadaluwarsa dilakukan
pemusnahan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlak
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN TENTANG PETUGAS YANG BERWENANG MENELAAH PESANAN OBAT
(RESEP) RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, Dokter gigi atau dokter
Hewan kepada apoteker untuk membuat dan memberikan obat kepada
pasien.
2. Untuk meningkatkan mutu dan keamanan pelayanan farmasi, khususnya
dalam pemberian obat kepada pasien baik di rawat jalan maupun rawat inap, maka
Rumah Sakit bertanggung jawab untuk mengidentifikasi petugas yang berkompeten atau
berwenang dan juga yang diijinkan dengan lisensi, sertifikat, hukum atau peraturan untuk
menyerahkan obat.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada point 2 diatas maka Rumah Sakit
perlu menerbitkan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit tentang petugas
yang berhak menelaah pesanan obat (resep).

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang
Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-
P/I/2018 tentang Kebijakan Tentang Petugas Yang Berwenang Menelaah
Pesanan Obat (Resep) RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Petugas yang berwenang menelaah pesanan obat (resep) adalah orang Kompeten
untuk melakukannya baik atas dasar pendidikan maupun latihan sesuai dengan
kewenangan atau telah membuktikan kompetensinya dalam proses review.
2. Penelaahan ketepatan resep tidak perlu pada keadaan darurat apabila dokter pemesan
hadir untuk pemesanan, pemberian dan monitoring pasien.
3. Tata cara telaah resep yang dilakukan sebagai berikut :
a. Setiap resep yang masuk di Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus
dilakukan telaah resep terlebih dulu, sebelum obat diserahkan kepada
pasien.
b. Telaah resep yang dilakukan meliputi:
 Tanggal resep
c. Persyaratan farmasis, meliputi:
- Kejelasan tulisan resep
- Tepat obat
- Tepat dosis
- Tepat rute
- Tepat waktu
- Duplikasi
d. Persyaratan klinis,meliputi
- Interaksi obat
- Alergi
- Berat badan untuk pasien anak
- Kontra indikasi
e. Telaah resep dilakukan oleh Apoteker.
f. Setiap pasien memiliki profil pengobatan untuk membantu proses telaah resep
atau pengobatan.
g. Telaah resep tidak perlu dilakukan pada keadaan darurat atau bila dokter pemesan
hadir untuk pemesanan, pemberian dan monitoring pasien (misal di kamar bedah
atau UGD) atau dalam tindakan radiologi intervensional atau diagnostik imajing
dimana obat merupakan bagian dari prosedur.
h. Telaah resep tetap dilakukan ketika Apoteker tidak hadir, telaah resep ketika
apoteker tidak hadir dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang ditunjuk
ataupun yang sudah terlatih.
i. Jika resep yang tertulis tidak memenuhi persyaratan, maka harus segera dilakukan
klarifikasi kepada dokter penulis resep sebelum diberikan kepada pasien.
j. Semua klarifikasi dan pertanyaan kepada dokter penulis resep harus dilakukan
pendokumentasian.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi
minimal
1 tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka
akan
dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

 Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : 298//Dir-SK/XII/2016
TANGGAL :

1. Pemberian obat
a. Perawat harus selalu melakukan pengecekan ganda (double-check)
terhadap semua
Obat dan Alkes serta obat obat high alert medications sebelum diberikan
kepada pasien.
b. Pengecekan Ganda Terhadap Obat dan Alkes serta obat obat High Alert
Medications
1). Tujuan:
Identifikasi obat-obatan yang memerlukan verifikasi atau pengecekan ganda oleh petugas
kesehatan lainnya (sebagai orang kedua) sebelum memberikan obat dengan tujuan
meningkatkan keselamatan dan akurasi.
2). Kebijakan:
a. pengecekan ganda diperlukan sebelum memberikan high alert medications tertentu /
spesifik dan di saat pelaporan pergantian jaga atau saat melakukan transfer pasien.
b. Pengecekan ganda ini akan dicatat pada rekam medis pasien atau pada catatan
pemberian medikasi pasien.
c. Pengecekan pertama harus dilakukan oleh petugas yang berwenang untuk
menginstruksikan, meresepkan, atau memberikan obat-obatan, antara lain: perawat, ahli
farmasi, dan dokter.
d. Pengecekan kedua akan dilakukan oleh petugas yang berwenang, teknisi, atau perawat
lainnya. (petugas tidak boleh sama dengan pengecek pertama)
e. Kebutuhan minimal untuk melakukan pengecekan ganda/verifikasi oleh orang kedua
dilakukan pada kondisi-kondisi seperti berikut:
 Setiap akan memberikan injeksi obat
 Untuk infuse:
- Saat terapi inisial
- Saat terdapat perubahan konsentrasi obat
- Saat pemberian bolus
- Saat pergantian jaga perawat atau transfer pasien
- Setiap terjadi perubahan dosis obat
f. Pengecekan tambahan dapat dilakukan sesuai dengan instruksi dari dokter

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENCATATAN / PELAPORAN OBAT NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA RUMAH
SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit ,
maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang pencatatan dan
pelaporan obat narkotika dan psikotropika.
2. Bahwa untuk memastikan semua proses dalam pelayanan obat golongan narkotika
memenuhi undang undang yang berlaku dan Memastikan pengeluaran obat golongan
narkotika aman dan akurat.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pencatatan dan Pelaporan obat Narkotika dan
Psikotropika oleh IFRS Rumah Sakit sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh
pelayanan farmasi Rumah Sakit .
MENGINGAT:

1.Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004
tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang
Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
5.Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
6.Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
7.Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI
/SK-
P/I/2018 tentang Kebijakan Pencatatan / Pelaporan Obat Narkotika Dan
Psikotropika RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG


KEBIJAKAN
PENCATATAN DAN PELAPORAN OBAT NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA.
2. Rumah sakit khususnya IFRS mengirimkan laporan
bulanan penggunaan
narkotika dan psikotropika secara rutin sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan
evaluasi minimal
1 tahun sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan,
maka akan
dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi
7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : 344/Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016

PENCATATAN DAN PENGENDALIAN NARKOTIKA PSIKOTROPIKA


A. Pelaporan Narkotika
Rumah Sakit berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan obat Narkotika tiap bulannya.
Dalam laporan tersebut diuraikan mengenai pembelian/pemasukan dan penjualan/pengeluaran
narkotika yang ada dalam tanggung jawabnya, dan ditandatangani oleh penanggung jawab
instalasi farmasi/apotek rumah sakit. Laporan tersebut ditujukan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan :
1. Dinas Kesehatan Provinsi setempat
2. Kepala Balai POM setempat
3. Penanggung jawab narkotika di Rumah Sakit
4. Arsip
Laporan penggunaan narkotika tersebut terdiri dari:
1. Laporan pemakaian bahan baku narkotika.
2. Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika.
3. Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin.
B. Pelaporan Psikotropika
Suatu laporan yang dibuat Rumah Sakit untuk mencatat pembelian/pemasukan dan
penjualan/pengeluaran obat Psikotropika berdasarkan pelayanan resep dokter setiap bulannya
yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota dengan tembusan:\
1. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi
2. Kepala Balai POM
3. Arsip yg di tanda tangani oleh Apoteker penanggung jawab di sertai
nama terang, SIK, dan cap Rumah Sakit/Apotek.
Pelaporan psikotropika dibuat satu bulan sekali tetapi dilaporkan satu tahun sekali (awal Januari
sampai Desember).
Administrasi Perbekalan Farmasi merupakan kegiatan yang berkaitan dengan
pencatatan manajemen perbekalan farmasi serta penyusunan laporan yang berkaitan dengan
perbekalan farmasi secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan, triwulanan, semesteran
atau tahunan. Tata cara atau prosedur pencatatan dan pelaporan Narkotika Psikotopika di
Rumah Sakit sebagai berikut:

1. Instalasi farmasi wajib membuat catatan penerimaan dan pengeluaran perbekalan


farmasi harian dan membuat laporan bulanan penerimaan dan pengeluaran
semua perbekalan farmasi termasuk obat narkotika dan psikotropika.
2. Setiap akhir tahun anggaran Instalasi Farmasi wajib membuat laporan rekapitulasi
penerimaan dan pengeluaran serta sisa stok perbekalan farmasi.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN TELAAH RESEP RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :
1. Bahwa yang dimaksud telaah resep adalah cara mengkaji resep meliputi kejelasan
tulisan resep, tepat obat, tepat dosis, tepat rute, tepat waktu, duplikasi, alergi, interaksi
obat, berat badan pasien untuk pasien anak dan kontra indikasi lainnya
2. Bahwa dalam pemberian pelayanan farmasi dibutuhkan suatu proses pemberian
peresepan obat yang tepat dan rasional.
3. Bahwa untuk mendukung tercapainya peresepan obat yang tepat dan rasional
dibutuhkan suatu proses yang baik.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang


Rumah Sakit.
2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang
Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197
tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu
nomor: …./ YDI /SK-
P/I/2018 tentang Kebijakan Telaah Resep RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Peresepan obat yang diberikan kepada pasien harus diberikan secara baik dan rasional.
2. Sebelum obat diserahkan kepada pasien, petugas farmasi (Apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian) harus melakukan telaah resep terlebih dahulu.
3. Tata cara telaah resep yang dilakukan sebagai berikut :
a. Setiap resep yang masuk di Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dilakukan telaah
resep terlebih dulu, sebelum obat diserahkan kepada pasien.
b. Telaah resep yang dilakukan meliputi:

 Persyaratan administrasi, meliputi:


1. Nama, tgl lahir dan nomor rekam medis ( label identitas pasien)
2. Tanggal resep
 Persyaratan farmasis, meliputi:
- Kejelasan tulisan resep
- Tepat obat
- Tepat dosis
- Tepat rute
- Tepat waktu
- Duplikasi
 Persyaratan klinis,meliputi
- Interaksi obat
- Alergi
- Berat badan untuk pasien anak
- Kontra indikasi

c. Telaah resep dilakukan oleh Apoteker.


d. Setiap pasien memiliki profil pengobatan untuk membantu proses telaah resep atau
pengobatan.
e. Telaah resep tidak perlu dilakukan pada keadaan darurat atau bila dokter pemesan
hadir untuk pemesanan, pemberian dan monitoring pasien (misal di kamar bedah
atau IGD) atau dalam tindakan radiologi intervensional atau diagnostik imajing
dimana obat merupakan bagian dari prosedur.
f. Telaah resep tetap dilakukan ketika Apoteker tidak hadir, telaah resep ketika
apoteker tidak hadir dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang ditunjuk
ataupun yang sudah terlatih.
g. Jika resep yang tertulis tidak memenuhi persyaratan, maka harus segera dilakukan
klarifikasi kepada dokter penulis resep sebelum diberikan kepada pasien.
h. Semua klarifikasi dan pertanyaan kepada dokter penulis resep harus dilakukan
pendokumentasian.

4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

 Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : 297//Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016

PENGECEKAN PEMBERIAN OBAT

PRINSIP 7 (TUJUH) BENAR DALAM PEMBERIAN OBAT


1.Benar Pasien

 Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di tempat tidur,
gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien
tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien
mengangguk. Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental
atau kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung
kepada keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.

2.Benar Obat

 Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama dagang yang
kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama generiknya, bila perlu
hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya atau kandungan obat. Sebelum
memberi obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga
kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua
label botol dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak
obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke
bagian farmasi.

 Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat
perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama obat
dan kerjanya.

3.Benar Dosis

 Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat harus
berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum dilanjutkan ke
pasien. Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada
beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau
tabletnya. Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya berapa ? Ini penting !! karena 1 amp
ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga 8 mg. ada antibiotik 1 vial dosisnya 1 gr, ada
juga 1 vial 500 mg. jadi Anda harus tetap hati-hati dan teliti.

4.Benar Cara/Rute Pemberian


 Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang menentukan
pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon yang
diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat
diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.

a. Oral

 Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai, karena ekonomis,
paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi melalui rongga mulut (sublingual
atau bukal) seperti tablet ISDN.

b. Parenteral

 Kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping, enteron berarti usus, jadi
parenteral berarti diluar usus, atau tidak melalui saluran cerna, yaitu melalui vena (perset
/ perinfus).

c. Topikal

 Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa. Misalnya salep, losion, krim,
spray, tetes mata.

d. Rektal

 Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria yang akan mencair
pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti
konstipasi (dulkolax supp), hemoroid (anusol), pasien yang tidak sadar / kejang (stesolid
supp). Pemberian obat perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian
obat dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam bentuk
supositoria.

e. Inhalasi

 Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas memiliki epitel untuk
absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna untuk pemberian obat secara lokal
pada salurannya, misalnya salbotamol (ventolin), combivent, berotec untuk asma, atau
dalam keadaan darurat misalnya terapi oksigen.

5.Benar Waktu

 Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk mencapai
atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum sebelum
makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan.
Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu
dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada obat yang harus
diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan pada lambung
misalnya asam mefenamat.

6.Benar Dokumentasi

 Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa
obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat
diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.

7. Benar Informasi
 Semua rencana tindakan/ pengobatan harus dikomunikasikan pada pasien & atau
keluarganya, termasuk pasien di ICU (hak pasien!).
 Jelaskan tujuan & cara mengkonsumsi obat yang benar.
 Jelaskan efek samping yang mungkin timbul.
 Rencana lama terapi juga dikomunikasikan pada pasien.
 semua informasi yang telah diberikan pada pasien & keluarganya ini ditulis dalam
“Form Penjelasan & Pendidikan Dokter kepada Pasien” yang ada di dalam paket
rekam medik dan ditandatangani oleh dokter dan pasien/ keluarga pasien.

BUKTI PENGECEKAN KEAKURASIAN OBAT


Nama Pasien :
No MR :

Alamat :

Usia :

No Jenis Pengecekan Ya Tidak


1. Tulisan dokter jelas
2. Benar nama pasien
3. Benar nama obat
4. Benar dosis obat
5. Benar waktu pemberian
6. Benar Cara Pemberian
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN EVALUASI DAN PENGENDALIAN MUTU FARMASI RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit ,
maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang Evaluasi dan
Pengendalian mutu farmasi.
2. Bahwa untuk memberikan pelayanan farmasi yang memenuhi standar
pelayanan dan
dapat memuaskan pelanggan.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan
baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Evaluasi dan pengendalian mutu oleh IFRS
Rumah Sakit sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi
Rumah Sakit .

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Evaluasi Dan Pengendalian Mutu Farmasi Rumah Sakit 
Dharma Ibu Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN EVALUASI DAN


PENGENDALIAN MUTU FARMASI RUMAH SAKIT 
2. Kebijakan Evaluasi dan Pengendalian mutu farmasi Rumah Sakit sebagaimana
tercantum dalam lampiran Peraturan ini.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
Nomor : 335//Dir-SK/XII/2016
Tanggal :

KEBIJAKAN EVALUASI DAN PENGENDALIAN MUTU FARMASI


RUMAH SAKIT 

I. EVALUASI DAN PENGENDALIAN MUTU

1) Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM


2) Peningkatan operasional kegiatan pelayanan instalasi farmasi
3) Peningkatan pelayanan farmasi dan pelayanan farmasi klinik sesuai dengan prosedur tetap
4) Melakukan pembaharuan prosedur tetap sesuai dengan keadaan dan perkembangan instalasi
farmasi
5) Peningkatan mutu terpadu pelayanan rumah sakit
a) Jangka Pendek
- Meneliti dan mengevaluasi kepuasan/keinginan pasien melalui kuesioner dan gugus
kendali mutu
- Pembinaan personil dan motivasi secara berkala
- Mengikuti pelatihan/pendidikan bagi tenaga farmasi secara bergantian
- Penambahan sumber daya manusia sesuai keadaan dan perkembangan instalasi
farmasi
6) Program pengendalian mutu
Kegiatan pengendalian mutu meliputi :
- Pemantauan : Mengumpulkan informasi/data yang berhubungan dengan
pelayanan farmasi
- Penilaian : Menilai secara berkala masalah atau yang timbul dalam pelayanan
dan berupaya untuk memperbaikinya.
- Tindakan : Bila masalah sudah ditemukan, dilakukan tindakan untuk
memperbaiki dan mendokumentasikan.
- Evaluasi : mengevaluasi efektifitas tindakan agar dapat diterpakan dalam
program jangka panjang.
- Umpan balik : Menginformasikan hasil tindakan secara teratur kepada staf
7) Evaluasi mutu pelayanan kefarmasian Indikator inti, antara lain :
- Indikator penulisan resep oleh dokter
- Jumlah rata-rata obat setiap kali kunjungan
- Persentase penulisan resep antibiotik
- Persentase penulisan resep injeksi
- Persentase penulisan resep sesuai formularium
- Persentase penulisan resep generik
Indikator pelayanan pasien
- Rata-rata waktu pelayanan per resep
- Persentase obat yang dibeli pasien
Indikator pelengkap, antara lain :
- Rata-rata biaya obat per lembar resep rawat jalan
- Rata-rata biaya antibiotik
- Rata-rata biaya obat injeksi
- Persentase obat yang diresepkan yang masuk dalam formularium
- Persentase pasien yang puas terhadap pelayanan yang diterimanya.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

KEBIJAKAN PENYIMPANAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;


MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang penyimpanan obat
narkotika dan psikotropika.
2. Bahwa untuk memastikan semua proses dalam pelayanan obat golongan narkotika
memenuhi undang undang yang berlaku dan Memastikan pengendalian obat golongan
narkotika yang aman dan akurat.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya
Peraturan Direktur tentang Penyimpanan obat Narkotika dan Psikotropika oleh IFRS
Rumah Sakit sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah
Sakit.

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 3 tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan,
Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika Psikotropika dan Prekusor Farmasi.
6. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
7. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
8. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Penyimpanan Narkotika Dan Psikotropika Rumah Sakit 
Dharma Ibu Ternate.
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN PENYIMPANAN


OBAT NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA.
2. Obat Narkotika dan Piskotropika disimpan dalam lemari khusus rangkap 2 dan terbagi 2
bagian dengan masing masing kunci yang berlainan.
3. Lemari khusus penyimpanan Narkotika dan Psikotropika tidak boleh menyimpan
perbekalan farmasi selain Narkotika dan Psikotropika.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan


6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : 268//Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016

PENYIMPANAN NARKOTIKA PSIKOTROPIKA, PREKUSOR DAN O.O.T


1. Lemari penyimpanan dibuat sesuai dengan peraturan pemerintah.
2. Narkotika dan psikotropika yang diterima langsung disimpan dalam lemari khusus
narkotika dan psikotropika.
3. OOT dan Prekusor yang diterima langsung disimpan dalam lemari khusus
Prekusor dan OOT.
4. Penerimaan dan Pengeluaran Narkotika dan Psikotropika, Prekusor dan OOT
selalu dicatat di kartu stok dan input progam komputer SIRS.
5. Penyimpanan mengikuti kaidah penyimpanan yang berlaku.
6. Kunci lemari narkotika dan psikotropika disimpan (dikalungi) oleh Apoteker
Penanggung Jawab dan Asisten Apoteker penanggung jawab yang bertugas.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PANDUAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :
1. Bahwa Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter gigi atau Dokter hewan
kepada Apoteker untuk membuat dan memberikan obat kepada pasien.
2. Bahwa Rumah Sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan, pemesanan dan
pencatatan resep, karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesanan yang
mengacaukan keselamatan pasien bisa menunda pengobatan.
3. Bahwa Rumah Sakit perlu mengatur tindakan untuk mengurangi tidak terbacanya resep.
4. Bahwa untuk mekanisme tersebut diatas maka rumah sakit perlu menerbitkan Panduan
tentang Penulisan Resep.

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.

4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan


Kefarmasian di Apotek.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Panduan Penulisan Resep RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Panduan Penulisan Resep sebagaimana terlampir dala keputusan ini.


2. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
3. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

 Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : 266/RSQ/Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Resep merupakan permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker, untuk
menyediakan obat dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Obat
merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat
merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Anonim,
2006).
Obat merupakan salah satu bagian dalam peningkatan kualitas hidup pasien sehingga
diperlukan adanya manajemen yang harus berperan secara kritis untuk memastikan
keselamatan pasien (Anonim, 2011).
Rumah sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan, pemesanan dan pencatatan
yang aman diarahkan oleh kebijakan dan prosedur. Para staf medis, keperawatan, farmasi dan
administrative berkolaborasi untuk mengembangkan dan memonitor kebijakan dan prosedur.
Staf yang terkait dilatih untuk praktek penulisan resep, pemesanan dan pencatatan yang benar.
Karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesanan yang mengacaukan keselamatan
pasien bisa menunda pengobatan, maka kebijakan rumah sakit mengatur tindakan untuk
mengurangi tidak terbacanya resep.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk
membuat cara penulisan resep yang tepat untuk mengurangi kesalahan pemberian obat
(medication errors) berdasarkan system yang ada dirumah sakit.

B. DEFINISI
Penulisan resep yang tepat adalah Tata cara penulisan resep yang tepat sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Rumah Sakit .
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum :
Meningkatkan keselamatan pasien dalam kebenaran pemberian obat
2. Tujuan Khusus:
a. Meningkatkan kesadaran sejawat penulisan resep akan pentingnya penulisan resep
yang dapat dibaca.
b. Mengurangi tidak terbacanya resep yang dapat memperpanjang waktu tunggu obat.
c. Mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat
d. Meningkatkan mutu pelayanan farmasi dalam rangka penulisan resep yang tepat.

BAB II
RUANG LINGKUP KEGIATAN

Secara umum seluruh ruangan bagian klinis yaitu bagian keperawatan, penunjang medis dan
unit khusus.
Ruang lingkup penulisan resep yaitu :
1. Poliklinik rawat jalan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter
Umum dokter spesialis dan dokter gigi.
2. Ruang perawatan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter
umum, dokter spesialis dan dokter gigi.
3. Bidan dan perawat hanya boleh menulis resep berupa alat kesehatan, cairan
infuse.
4. Bidan dan perawat yang di ijinkan menulis resep adalah bidan dan perawat yang
memiliki STR (Surat Tanda Registrasi).

BAB III
TATA LAKSANA

A. TATA LAKSANA PENULISAN RESEP


1. Tenaga Kesehatan yang berkompeten menulis resep / pesanan adalah Dokter yang memiliki
Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari Dokter umum, Dokter spesialis dan Dokter gigi.
2. Perawat dan bidan diberikan ijin menuliskan resep untuk resep yang berupa :
a. Alat kesehatan
b. Cairan infuse
3. Obat untuk pasien rawat inap ditulis di lembar KIO (Kartu Instruksi Obat), sedangkan untuk alat
kesehatan untuk pasien rawat inap ditulis di KIA (kartu Instruksi Alkes).
4. Penulisan resep harus ditulis lengkap, yang terdiri dari :
a. Tanggal peresepan
b. Nama lengkap penulis resep
c. Nama lengkap pasien
d. Nomor rekam medis pasien
e. Tanggal lahir dan atau umur pasien
f. Berat badan (untuk pasien neonates dan pediatric)
g. Luas permukaan tubuh (untuk pasien kemoterapi)
h. Kliren kreatinin (untuk pasien gangguan ginjal)
i. Nama obat
j. Kekuatan obat
k. Bentuk sediaan obat
l. Jumlah obat
m. Dosis obat
n. Frekuensi / interval pemakaian
5. Penulisan resep/pemesanan resep di rumah sakit ada beberapa jenis meliputi :
a. Standing Order
1) Tenaga Kesehatan yang diperbolehkan oleh Rumah Sakit untuk melaksanakan
Standing order adalah perawat.
2) Perawat harus mengikuti instruksi pemberian yang tercantum dalam Standing order.
3) Standing order yang berlaku di Rumah Sakit adalah :
- Standing order pemberian Magnesium sulfat untuk pre eklampsia dan eklampsia
- Standing order pemberian Kalium Klorida 7,46%.
4) Perawat yang telah melakukan standing order harus mendokumentasikan pemberian
obat tersebut ke dalam “lembar Intruksi” dan dimasukkan dalam rekam medis pasien.
5) Lembar instruksi harus mencantumkan nama lengkap dan tanda tangan perawat.
6) Lembar instruksi harus ditandatangani oleh dokter yang merawat / DPJP (Dokter
Penanggung Jawab Pasien).
b. Automatic stop order/penghentian terapi oleh dokter
Dokter pemberi order harus menulis tanggal pada kolom stop dengan jelas pada lembar KIO /
kartu Instruksi Obat (member paraf dan tanggal untuk menetapkan penghentian terapi).
c. Penulis resep obat prn atau bila perlu atau “pro re nata”
Peresepan obat prn atau bila perlu atau “pro re nata” harus menuliskan indikasi pemakaian,
kekuatan oabt, dan pemakaian maksimal dalam sehari pada resep. Contoh penulisan resep
yang benar : Parasetamol 1 tablet prn untuk demam.
d. Penulisan resep obat NORUM (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip)
Penulisan obat yang termasuk NORUM (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip) harus sesuai
dengan kebijakan penulisan obat NORUM.
e. Penulisan resep / pemesanan resep obat secara verbal atau melalui telepon
1) Pesanan obat secara verbal atau melalui telepon hanya dibolehkan pada situasi
mendadak.
2) Pesanan obat secara verbal/telepon tidak diperbolehkan bila penulis resep ada dan
3) tersedia rekam medis pasien, kecuali penulis resep sedang melakukan pelayanan
emergency/sedang melakukan tindakan pelayanan.
4) Pesanan obat secara verbal/telepon tidak berlaku untuk :
- Obat kemoterapi
- Obat narkotika
5) Tenaga kesehatan yang diperbolehkan oleh RS untuk menerima pesanan obat yang
dikomunikasikan secara verbal atau melalui telepon adalah :
- Perawat dan bidan yang memiliki STR
- Farmasi (Tenaga Teknis Kefarmasian dan Apoteker)
6) Tenaga Kesehatan (yang disebutkan dalam poin diatas) harus mencatat pesanan obat yang
diterima secara verbal/melalui telepon ke dalam rekam medis pasien dan setelah itu
mengulagi secara lisan kepada pemberi resep / instruksi pengobatan sesuai kebijakan
SBAR.
7) Pemberi pesanan obat harus melakukan verifikasi sesuai dengan kebijakan SBAR.

6. Perubahan pemberian terapi obat (jenis dan dosis), maka obat sebelumnya harus dihentikan dan
ditulis sesuai aturan penghentian terapi. Penulisan resep yang salah tidak boleh dihapus akan
tetapi dengan cara mencoret dengan satu garis lurus kemudian resep yang benar di tulis di
atas resep yang dicoret tersebut.
a. Penulisan pesanan obat /resep harus jelas, lengkap dan dapat terbaca oleh tenaga teknis
kefarmasian dan apoteker.
b. Petugas farmasi (Tenaga teknis kefarmasian dan Apoteker) harus melakukan klarifikasi kepada
penulis resep bila pesanan obat/resep tidak jelas, tidak terbaca, atau tidak lengkap.
c. Penulis resep harus menulis resep atau instruksi pengobatan yang baru jika ingin meneruskan
terapi obat yang sempat terhenti karena adanya automatic stop order, tindakan operasi maupun
karena alasan lain.
d. Penulis resep harus membandingkan order pertama obat dengan daftar obat pasien sebelum
masuk rawat inap yang diperoleh dari anamnesa oleh dokter atau perawat.
e. Penulis resep harus menggunakan singkatan, symbol dan penunjukan dosis yang diperbolehkan
oleh rumah sakit.
f. Tenaga Kesehatan yang menerima order/perintah/resep yang menggunakan singkatan, symbol,
dan penunjuk dosis yang dilarang harus melakukan klarifikasi dan konfirmasi kepada penulis
order/perintah/resep jika order/perintah/resep tersebut tidak jelas/tidak terbaca.
g. Setiap dokter, perawat dan bidan harus mengikuti cara penulisan resep yang benar sesuai
dengan kebijakan peresepan.

B. CARA PELAKSANAAN PENULISAN RESEP


1. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis tanggal penulisan resep.
2. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep member tanda centang pada kolom alergi
atau tidak dibagian kanan atas pada lembar resep, jika pasien mempunyai riwayat alergi dokter
menuliskan nama obat yang alergi bagi pasien.
3. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep memberi tanda centang pada kolom akut
atau kronis di bagian kiri atas untuk resep obat yang akan ditulis.
4. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis atau memberi cap nama dokter
beserta no SIP pada bagian kop resep.
5. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis tanda R/ pada awal penulisan
sediaan obat.
6. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis nama obat (sesuai dengan
formularium) dilengkapi bentuk sediaan dan kekuatan obat yang dikehendaki disesuaikan
dengan pasien.
7. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis jumlah obat menggunakan angka
romawi sesuai yang diperlukan untuk pasien.
8. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis aturan pakai yang disesuaikan
dengan pasien meliputi dosis, rute, dan ferekuensi obat.
9. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep dan memberi paraf pada setiap sediaan
obat yang ditulis pada lembar resep.
10. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis kelengkapan data pasien
(meliputi : nama lengkap, nomor rekam medic dan tanggal lahir).
11. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep mencantumkan berat badan pasien untuk
resep anak-anak.
12. Dokter atau pertugas yang berwenang menulis resep hanya boleh menulis maksimal 5 (lima)
item obat dalam satu resep obat racikan
13. Dokter mencantumkan alamat pasien pada lembar resep yang terdapat obat narkotika.
14. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis keterangan pemakaian maksimal
per hari dan indikasi pemakaian untuk obat dengan signa pro re nata (jika perlu).

BAB IV
DOKUMENTASI

Penulisan resep yang tepat di Rumah Sakit merupakan komitmen Rumah Sakit yang di dukung
dengan adanya :
A. Kebijakan
1. Kebijakan Penulisan Resep yang Tepat.
2. Kebijakan Penanggulangan Resep yang Tidak Terbaca.
3. Kebijakan Telaah Resep

B. SPO
1. SPO Penulisan Resep yang Tepat.
2. SPO Penanggulagan Resep yang Tidak Terbaca.
3. SPO Telaah Resep.

BAB V
PENUTUP

Demikianlah panduan ini disusun sebagai pedoman dalam penulisan resep. Panduan ini masih
jauh dari sempurna, oleh sebab itu panduan akan dievaluasi kembali setiap 2 sampai 3 tahun
sesuai dengan tuntutan layanan dan standar akreditasi baik akreditasi Nasional maupun standar
International.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesi Nomor


1691/MENKES/PER/VII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit,
Kementria Kesehatan Indonesia.
2. Anonim, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tentang
Kesehatan.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

KEBIJAKAN PEMBERIAN OBAT KEPADA PASIEN RUMAH SAKIT

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Bahwa pelayanan instalasi farmasi meliputi pemberian obat kepada pasien.


2. Bahwa pemberian obat kepada pasien harus dilakukan dengan benar sesuai prosedur
untuk menjaga agar terapi obat yang diperoleh pasien selama dirawat di rumah sakit
dipastikan sesuai dan meminimalkan terjadinya medication error.
3. Bahwa pemberian obat kepada pasien dilakukan oleh pihak pihak yang berkompeten dalam
terapi obat.
4. Bahwa pemberian obat kepada pasien diperlukan kebijakan rumah sakit yang mengatur
tentang pemberian obat kepada pasien di rumah sakit 

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Pemberian Obat Kepada Pasien RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Penyerahan obat dilakukan oleh petugas yang berkompeten yaitu Apoteker dan Tenaga
Teknis Kefarmasian Senior dan Perawat.
2. Tahapan dalam penyerahan obat meliputi pengecekan obat dengan 7 benar (benar
pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar cara pemberian, benar
dokumentasi, benar informasi)
3. Penyerahan obat harus menyampaikan cara pemberian obat, dosis obat, waktu
penggunaan obat dan aturan pakai.
4. Penyerahan obat harus disertai informasi obat meliputi informasi nama obat, fungsi, efek
samping potensial, makanan dan gaya hidup yang dihindari dan dilakukan serta cara dan
aturan pakai.
5. Penyaluran obat sudah dalam bentuk yang paling siap
6. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
7. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : 294//Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016

PENGECEKAN PEMBERIAN OBAT

PRINSIP 7 (TUJUH) BENAR DALAM PEMBERIAN OBAT

1. Benar Pasien
 Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di
tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau
keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non
verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak sanggup
mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara
identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Bayi
harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2. Benar Obat
 Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama
dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama
generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya
atau kandungan obat. Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol
atau kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan
obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan
obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak
terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi
 Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat
memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu
mengingat nama obat dan kerjanya.
3. Benar Dosis
 Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat
harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum
dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus
memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis
yang berbeda tiap ampul atau tabletnya. Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya
berapa ? Ini penting !! karena 1 amp ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga
8 mg. ada antibiotik 1 vial dosisnya 1 gr, ada juga 1 vial 500 mg. jadi Anda harus
tetap hati-hati dan teliti.
4. Benar Cara/Rute Pemberian
 Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja
yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal,
rektal, inhalasi.
a. Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai,
karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN.
b. Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping, enteron
berarti usus, jadi parenteral berarti diluar usus, atau tidak melalui saluran
cerna, yaitu melalui vena (perset / perinfus).
c. Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa. Misalnya
salep, losion, krim, spray, tetes mata.
d. Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria yang
akan mencair pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp), hemoroid
(anusol), pasien yang tidak sadar / kejang (stesolid supp). Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria.
e. Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas memiliki
epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna untuk
pemberian obat secara lokal pada salurannya, misalnya salbotamol
(ventolin), combivent, berotec untuk asma, atau dalam keadaan darurat
misalnya terapi oksigen.
5. Benar Waktu
 Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk
mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum
sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam
sebelum makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama
susu karena susu dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada
obat yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan pada
lambung misalnya asam mefenamat.
6. Benar Dokumentasi
 Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh
siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu
tidak dapat diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.

7. Benar Informasi
 Semua rencana tindakan/ pengobatan harus dikomunikasikan pada pasien &
atau keluarganya, termasuk pasien di ICU (hak pasien!).
 Jelaskan tujuan & cara mengkonsumsi obat yang benar.
 Jelaskan efek samping yang mungkin timbul.
 Rencana lama terapi juga dikomunikasikan pada pasien.
 semua informasi yang telah diberikan pada pasien & keluarganya ini ditulis
dalam “Form Penjelasan & Pendidikan Dokter kepada Pasien” yang ada di dalam
paket rekam medik dan ditandatangani oleh dokter dan pasien/ keluarga pasien.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENYERAHAN OBAT RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa untuk mendapatkan pelayanan kefarmasian yang bermutu, berkualitas, dan
mempertimbangkan keselamatan pasien di Rumah Sakit diperlukan suatu Pedoman
Penyerahan Obat.
2. Bahwa penyerahan obat yang tepat adalah penentu utama dari ketepatan pemberian obat
dan dapat mengurangi kesalahan pemberian obat.
3. Bahwa untuk memberikan obat yang tepat dan benar, maka perlu ditetapkan Surat
Keputusan Direktur tentang Penyerahan Obat di Rumah Sakit .

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Penyerahan Obat RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Penyerahan obat di Rumah Sakit Tangerang menjadi tanggung jawab dari Instalasi
Farmasi.
2. Apoteker bertanggung jawab melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam hal penyerahan obat.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
 Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : 215/RSQ/Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016

PENYERAHAN OBAT
Peresepan obat yang diberikan kepada pasien harus diberikan secara baik dan rasional,
sebelum obat diserahkan kepada pasien, petugas farmasi (Apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian) harus melakukan telaah resep terlebih dahulu.
Tata cara telaah resep yang dilakukan sebagai berikut :
1. Setiap resep yang masuk di Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dilakukan telaah resep terlebih
dulu, sebelum obat diserahkan kepada pasien.
2. Telaah resep yang dilakukan meliputi:
a. Persyaratan administrasi, meliputi:
- Nama, tgl lahir dan nomor rekam medis (label identitas pasien)
- Tanggal resep
b. Persyaratan farmasis, meliputi:
- Kejelasan tulisan resep
- Tepat obat
- Tepat dosis
- Tepat rute
- Tepat waktu
- Duplikasi
c. Persyaratan klinis,meliputi
- Interaksi obat
- Alergi
- Berat badan untuk pasien anak
- Kontra indikasi

3. Telaah resep dilakukan oleh Asisten Apoteker Penanggung Jawab dan Apoteker .
4. Setiap pasien memiliki profil pengobatan untuk membantu proses telaah resep atau pengobatan.
5. Telaah resep tidak perlu dilakukan pada keadaan darurat atau bila dokter pemesan hadir untuk
pemesanan, pemberian dan monitoring pasien (misal di kamar bedah atau IGD) atau dalam
tindakan radiologi intervensional atau diagnostik imajing dimana obat merupakan bagian dari
prosedur.
6. Telaah resep tetap dilakukan ketika Apoteker tidak hadir, telaah resep ketika apoteker tidak hadir
dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang ditunjuk ataupun yang sudah terlatih.
7. Jika resep yang tertulis tidak memenuhi persyaratan, maka harus segera dilakukan klarifikasi
kepada dokter penulis resep sebelum diberikan kepada pasien.
8. Semua klarifikasi dan pertanyaan kepada dokter penulis resep harus dilakukan
pendokumentasian.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENARIKAN PERBEKALAN FARMASI DARI PEREDARAN DAN PEMUSNAHAN
PERBEKALAN FARMASI KADALUARSA
 RUMAH SAKIT

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Bahwa dalam pelayanan kefarmasian harus diberikan dengan berpedoman


peningkatan mutu pelayanan farmasi dan mengutamakan keselamatan pasien.
2. Bahwa obat dan alat kesehatan kadaluwarsa adalah obat obat dan alat kesehatan yang
sudah memasuki batas waktu kadaluwarsa yang sudah ditetapkan oleh produsen obat dan
alkes tersebut.
3. Bahwa dalam pengelolaan perbekalan farmasi kadaluwarsa tersebut dibutuhkan
kebijakan Rumah Sakit yang mengatur tentang pemusnahan obat dan alkes kadaluwarsa.

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 tahun 2014, tentang Standar
Pelayanan
Kefarmasian di Apotik.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang
Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI
/SK-P/I/2018

tentang Kebijakan Penarikan Perbekalan Farmasi Dari Peredaran Dan


PemusnahanPerbekalan Farmasi Kadaluarsa RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Pengelolaan seluruh obat obat dan alat kesehatan kadaluwarsa atau rusak di seluruh
rumah sakit menjadi tanggung jawab instalasi farmasi.
2. Penarikan dan pemusnahan obat obat dan alat kesehatan kadaluwarsa menjadi
tanggung jawab instalasi farmasi.
3. Kabag Pengadaan dan atau Logistik Farmasi memberikan informasi secara tertulis
kepada Kepala Instalasi Farmasi dan diteruskan ke unit pelayanan apabila perbekalan
farmasi tersebut ditarik dari peredaran atau dihentikan produksinya.
4. Penarikan perbekalan farmasi (obat dan alkes) dilakukan apabila :
a. Rusak yaitu terjadi perubahan warna, bau dan rasa, konsistensi, keruh,
kemasan rusak/sobek atau bocor dan sudah tidak sesuai dengan mutu
yang tercantum pada kemasan.
b. Akan kadaluarsa dalam waktu 6 bulan kecuali untuk vaksin 3 bulan
sebelum obat dan alkes tersebut kadaluwarsa
c. Terdapat informasi penarikan dari BPOM (Badan Pengawasan Obat dan
Makanan), instansi yang berwenang, atau distributor yang berkaitan
mengenai keamanan produk.
5. Perbekalan farmasi yang rusak dan kadaluarsa yang tidak bisa dikembalikan ke
distributor akan dimusnahkan. Pemusnahan perbekalan farmasi mengikuti aturan
perundang-undangan yang berlaku.
6. Pemusnahan obat dan alkes yang rusak dan kadaluwarsa dilakukan oleh bagian sanitasi
dengan membuat Berita Acara Pemusnahan (BAP) disaksikan oleh petugas farmasi,
petugas sanitasi dan petugas yang terkait.
7. Untuk pemusnahan obat-obat dan alkes yang tergolong narkotika didampingi oleh
petugas Dinas Kesehatan Kota.
8. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
9. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

 Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : …../Dir-SK/XII/2018
TANGGAL : 30 Desember 2018

A. Penarikan dan Penanganan Obat Kadaluarsa


Obat kadaluarsa adalah obat jadi yang berasal dari produksi pabrik obat yang telah habis
masa berlaku (batas waktu pemakaiannya) atau dikenal dengan sudah ED (expiration date).
Pencantuman tanda kadaluarsa bisa dicetak dengan tulisan susah untuk dihapus. Obat
kadaluarsa kadang-kadang kalau dilihat dari luar secara organoleptik tampak masih kondisi baik
kemasannya maupun obatnya sendiri. Namun bila diperiksa secara laboratoris kemungkinan
besar sudah di bawah persyaratan kadar Farmakope, dan hasil peruraian obat (degradan) akan
bertambah. Karena kadar zat aktif sangat menurun maka kemungkinan untuk sembuhnya
penyakit menjadi lebih lama lagi.
Prosedur tentang Penanganan Obat Rusak atau Kadaluarsa:
1. Mengidentifikasikan obat yang sudah rusak atau kadaluarsa.
2. Memisahkan obat rusak atau kadaluarsa dan di simpan pada terpisah dari
penyimpanan obat lainnya.
3. Membuat catatan nama, no. batch, jumlah dan tanggal kadaluarsa.
4. Melaporkan dan mengirim obat tersebut ke Instalasi Farmasi Kebupaten / Kota.
5. Mendokumentasikan pencatatan tersebut.

Cara pembuangan obat kadaluarsa


Obat kadaluarsa bisa dibuang dengan cara dihancurkan dulu (dipalu tablet-kapsulnya,
dikeluarkan isinya, direndam isinya dalam air), terutama kalau jumlah obat kadaluarsa
jumlahnya sedikit, atau isinya yang sudah hancur dikeluarkan dan dibuang ke WC atau ditanam
atau di buang ke tempat sampah. Sehingga tidak diambil pemulung. Jangan lupa dose wadah
obat jangan dibuang dalam keadaan masih utuh, karena bisa digunakan untuk menyimpan obat
di PKL (Pedagang kaki Lima). Bahan obat tersebut akan mengalami degradasi bila sudah
tercampur dengan tanah. Namun bila jumlah obat yang kadaluarsa jumlahnya besar misalnya
dari donasi negara lain tentunya bisa menggunakan insenerator atau pembakaran bertahap
yang jauh dari lingkungan penduduk dan ada pengawasan dan pengamanan. Untuk alat
kesehatan yang berbahaya dan tajam seperti jarum, wadah ampul, botol dan obat kanker
sebaiknya pakai incinerator.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN DISPENSING OBAT RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;


MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang pelayanan dispensing
obat.
2. Bahwa untuk memberikan pelayanan pemberian obat yang tepat dengan pemberian
informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah Sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya
Peraturan Direktur tentang Pelayanan Dispensing obat oleh IFRS Rumah Sakit sebagai
landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit .

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Undang-Undang RI Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang
Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
7. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-
P/I/2018 tentang Kebijakan Dispensing Obat RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN DISPENSING OBAT


RUMAH SAKIT.
2. Kebijakan Pelayanan Dispensing Obat Rumah Sakit sebagaimana tercantum dalam
lampiran Peraturan ini.
3. Pemberian pelayanan konseling obat di rumah sakit dilaksanakan oleh petugas IFRS
(Apoteker).
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

 Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
Nomor : 337/RSQ/Dir-SK/XII/2018
Tanggal : 30 Desember 2018

KEBIJAKAN PELAYANAN DISPENSING OBAT


RUMAH SAKIT 

A. DISPENSING

Merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi, interpretasi,


menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan obat dengan pemberian
informasi obat yang memadai disertai system dokumentasi.
1. Tujuan
 Mendapatkan dosis yang tepat dan aman
 Menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan secara oral atau
emperal.
 Menurunkan total biaya obat

Dispensing dibedakan berdasarkan atas sifat sediaannya :


 Dispensing sediaan farmasi khusus
1. Dispensing sediaan farmasi parenteral nutrisi
Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh tenaga yang terlatih
secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas sediaan, formula standar
dan kepatuhan terhadap prosedur yang menyertai.
Kegiatan :
 Mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral untuk
kebutuhan perorangan.
 Mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi Faktor yang perlu diperhatikan :
a. Tim yang terdiri dari dokter, apoteker, perawat, ahli gizi.
b. Sarana dan prasarana
c. Ruangan khusus

2. Dispensing sediaan farmasi pencampuran obat steril


Melakukan pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas,
dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang ditetapkan.
Kegiatan :
a. Mencampur sediaan intravena kedalam cairan infuse
b. Melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai
c. Mengemas menjadi sediaan siap pakai
Faktor yang perlu diperhatikan :
- Ruangan khusus
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang pelayanan evaluasi
penggunaan obat.
2. Bahwa untuk memantau penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan
untuk menjamin obat obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau
oleh pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya
Peraturan Direktur tentang Pelayanan Informasi obat oleh IFRS Rumah Sakit sebagai
landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit 

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 tahun 2017 tentang
Keselamatan
Pasien.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang
Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-
P/I/2018 tentang Kebijakan Evaluasi Penggunaan Obat Rumah Sakit Dharma
Ibu Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN PELAYANAN


EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT .
2. Kebijakan Pelayanan Informasi Obat Rumah Sakit sebagaimana tercantum dalam
lampiran Peraturan ini.
3. Pelayanan evaluasi penggunaan obat di rumah sakit dilaksanakan oleh IFRS Rumah
Sakit 
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :  
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


Nomor : 338/RSQ/Dir-SK/XII/2018
Tanggal : 30 Desember 2018

KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT


RUMAH SAKIT 

1. Definisi
Program evaluasi penggunaan obat (EPO) di rumah sakit adalah suatu proses jaminan
mutu yang terstruktur, dilaksanakan terus-menerus, dan diotorisasi rumah sakit, ditujukan untuk
memastikan bahwa obat-obatan digunakan dengan aman, tepat, dan efektif.
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, penggunaan obat yang ekonomis harus juga
diberikan prioritas tinggi dan karena itu, menjadi suatu komponen dari definisi ini. Definisi
program EPO tersebut di atas difokuskan pada penggunaan obat secara kualitatif.
Sasaran EPO secara umum adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan Pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus menerus
2. Meningkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat
3. Mengidentifikasi bidang yang perlu untuk materi edukasi berkelanjutan
4. Meningkatkan kemitraan antar pribadi professional pelayanan kesehatan
5. Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan
6. Mengurangi resiko tuntutan hukum pada rumah sakit
7. Mengurangi biaya rumah sakit dan perawatan pasien sebagai akibat dosis akurat,
efek samping yang lebih sedikit, dan waktu hospitalisasi yang lebih singkat.

Jaminan mutu mendorong suatu perspektif solusi masalah untuk meningkatkan


pelayanan pasien. Untuk solusi permasalahan yang dihadapi sangatlah penting, unsur-unsur
dasar berikut yang harus diperhatikan
1. Kriteria / standar penggunaan obat, dalam penggunaan obat harus yang dapat diukur
(standar) yang menguraikan penggunan obat yang tepat.
2. Mengidentifikasi masalah penting dan yang mungkin, memantau dan
menganalisis penggunaan obat secara terus menerus, direncanakan secara sistematik
untuk mengidentifikasi masalah nyata atau masalah yang mungkin. Secara ideal,
kegiatan ini sebaiknya diadakan secara prospektif
3. Menetapkan prioritas untuk menginvestigasi dan solusi masalah.
4. Mengkaji secara objektif, penyebab, dan lingkup masalah dengan
menggunaka kriteria yang absah secara klinik

5 Solusi masalah.Mencanangkan dan menerapkan tindakan untuk memperbaiki atau


meniadakan masalah.
6 Memantau solusi masalah dan keefektifan.
7 Mendokumentasi serta melaporkan secara terjadwal temuan, rekomendasi tindakan
yang diambil, dan hasilnya. Tindakan yang diambil dapat berupa pengaturan atau
edukasi yang cocok dengan keadaan dan kebijakan rumah sakit.
2. Standar untuk Melakukan EPO
Pelaksana Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
EPO dilakukan oleh staf medik sebagai suatu proses yang terus-menerus, terencana dan
sistematik, berbasis kriteria untuk memantau dan mengevaluasi penggunaan obat profilaksis,
terapi, dan empirik untuk membantu memastikan bahwa obat-obat tersebut diberikan dengan
tepat, aman, dan efektif. Proses ini mencakup pengumpulan dan pengkajian rutin informasi,
untuk mengidentifikasi kesempatan menyempurnakan penggunaan obat, dan untuk mengatasi
masalah dalam penggunaannya.
Obat yang Dievaluasi
Pemantauan dan evaluasi obat terus – menerus yang diseleksi berdasarkan satu atau lebih
alasan berikut:
1. Didasarkan pada pengalaman klinik, diketahui dan dicurigai bahwa obat
berinteraksi dengan obat lain dalam suatu cara yang menimbulkan suatu resiko
kesehatn yang signifikan.
2. Obat digunakan dalam pengobatan berbagai reaksi, disebabkan umur,
ketidakmampuan, atau karakteristik metabolik yang unik
3. Obat telah ditetapkan melalui program pengendalian infeksi rumah sakit atau
kegiantan jaminan mutu lain, untuk memantau, mengevaluasi.
4. Obat adalah salah satu yang paling sering ditulis.
Proses untuk Memantau dan Mengevaluasi Penggunaan Obat
1. Dilakukan oleh staf medik dan bekerja sama dengan IFRS, bagian keperawatan,
staf manajemen, administratif, bagian lain/pelayanan, dan berbagai individu.
2. Didasarkan pada penggunaan kriteria objektif yang merefleksikan pengetahuan
mutakhir, pengalaman klinik, dan pustaka yang relevan.
3. Dapat mencakup penggunaan mekanisme penapisan untuk mengidentifikasi,
mengevaluasi lebih intensif berbagai masalah atau kesempatan untuk penyempurnaan
penggunaan suatu obat atau golongan obat tertentu.

3. Kerangka untuk EPO


Kerja sama antara dokter dan apoteker sangat diperlukan untuk memastikan penggunaan obat
yang optimal. Untuk memberi kewenangan dan struktur pada suatu program EPO, tanggung
jawab untuk melakukan proses EPO secara khas didelegasikan pada suatu komite dari staf
medik. Komite/panitia yang dapat melakukan fungsi ini diuraikan dibawah ini.

Komite Farmasi dan Terapi


Komite ini bertanggung jawab untuk mengatur semua aspek dari siklus obat dalam rumah sakit,
mulai dari pengadaan sampai ke evaluasi, dan karena susunan panitia ini terdiri atas gabungan
dari profesional pelayanan kesehatan, panitia ini sering ditunjuk bertanggung jawab untuk
memimpin EPO. Dalam beberapa rumah sakit, tanggung jawab ini didelegasikan pada suatu
komite dari KFT.

Panitia Pengendalian Infeksi


Fokus dari PPI ini adalah surveilan dan pengendalian infeksi. Panitia ini kadang-kadang diberi
tanggung jawab uintuk mengevaluasi penggunaan obat (EPO) antibiotika. Karena lingkup EPO
mencakup semua kategori obat adalah tidak tepat untuk memisahkan EPO antibiotika dari
kegiatan EPO lainnya.

Panitia Staf Medik Fungsional (SMF)


Beberapa rumah sakit memilih bekerja melalui panitia SMF yang ada (misalnya, SMF pediatrik,
bedah, penyakit dalam, dll) dalam pelaksanaan EPO.

Panitia EPO
Beberapa rumah sakit membentuk suatu panitia khusus dengan tanggung jawab khusus untuk
EPO. Keanggotaan dan hubungan pelaporan dari panitia harus diresmikan (diformalkan) dalam
struktur organisasi rumah sakit.

Panitia Audit Medik (PAM)


Kewenangan dan akuntabilitas untuk mengevaluasi pelayanan medik sering didelegasikan pada
suatu PAM, suatu panitia tetap dari staf medik terorganisasi. Pengkajian pelayanan medik oleh
berbagai dokter lain, pada umumnya disebut “pengkajian kelompok ahli yang sama” (Peer
Review). Direkomendasikan agar perwalian profesi kesehatan lainnya termasuk apoteker,
diangkat dalam panitia ini.
Panitia Jaminan Mutu
Untuk memadukan semua proses jaminan mutu yang terjadi di seluruh rumah sakit, kebanyakan
rumah sakit mempunyai Panitia Jaminan Mutu sentral. Panitia ini jarang berpartisipasi langsung
dalam pengkajian masalah dan fase tindakan EPO, tetapi dapat mengatur keefektifan program.
Tidak ada suatu cara tunggal yang lebih diinginkan dari pengorganisasian kegiatan EPO.
Setiap rumah sakit wajib mendesain suatu sistem yang dapat bekerja paling baik dengan
gabunagn khas dari personel, kebijakan, dan protokol. Harus diputuskan individu atau kelompok
yang dapat merencanakan paling efektif untuk penggunaan obat yang optimal,
mengidentifikasikan masalah yang berkaitan dengan obat, menganalisis data,
merekomendasikan tindakan, dan solusi masalah berkenaan penggunaan obat. Tentu saja,
seorang anggota penting dari EPO adalah seorang apoteker yang komunikatif dan bertanggung
jawab.

4. Pelaksanaan EPO
EPO dapat dengan mudah divisualisasikan sebagai kegiatan jaminan mutu. Penetapan dan
pemeliharaan suatu program EPO sangat rumit. Walaupun pengembangan dari berbagai
langkah tertentu dapat berubah-ubah, pendekatan berikut dapat membantu mengkonsepsikan
dan melakukan EPO sebagai suatu kegiatan jaminan mutu.
1. Membentuk tim EPO dan menunjuk penanggung jawab
2. Mengkaji data pola penggunaan obat secara menyeluruh (secara kuantitatif)
3. Mengidentifikasi obat dan golongan obat-obat tertentu untuk dipantau dan
dievaluasi
4. Mengembangkan kriteria penggunaan obat (KPO)
5. Mengumpulkan dan mengorganisasikan data
6. Mengevaluasi penggunaan obat dengan mengacu pada KPO
7. Mengambil tindakan untuk solusi masalah atau menyempurnakan penggunaan obat
8. Mengkaji keefektifan tindakan yang diambil dan membuktikan penyempurnaan.
9. Mengkomunikasikan informasi kepada individu dan kelompok yang tepat di dalam
rumah sakit.

5. Desain Studi EPO


Evaluasi retrospektif melakukan evaluasi penggunaan obat setelah dikonsumsi; secara
khas, evaluasi retrospektif dilakukan setelah seorang pasien telah menyelesaikan suatu
rangkaian terapi, dan setelah dibebaskan dari rumah sakit. Pada umumnya menggunakan
rekam medic sebagai suatu sumber utama karena rekaman ini adalah dokumentasi gabungan
pelayanan yang dialami oleh pasien, termasuk hasil berikutnya.
Pengkajian konkuren adalah suatu pengkajian kontemporer atau perawatan sekarang
yang sedang diberikan kepada pasien. Suatu evaluasi konkuren memberi peluang untuk
melakukan tindakan perbaikan ketika pasien masih tinggal dalam rumah sakit.
Evaluasi prospektif adalah suatu evaluasi dengan maksud mungkin untuk pelayanan
yang akan datang dan direncanakan bagi pasien. Evaluasi prospektif mempunyai keuntungan
untuk mengubah terapi obat sebelum pasien menerimanya. Suatu contoh yang baik dari proses
evaluasi prospektif adalah suatu protokol atau criteria tertulis tertentu untuk penggunaan suatu
obat tertentu. Evaluasi ini menyatakan secara tidak langsung mengevaluasi sebelum penulisan,
dispensing, atau sebelum pemberian obat, dan mengantisipasi hasil dari tindakan itu.

Mengambil tindakan untuk solusi masalah atau menyempurnakan penggunaan obat


Tindak lanjut dari PFT
Suatu mekanisme sederhana untuk memulai tindakan perbaikan adalah suatu ketua PFT
kepada ketua SMF atau praktisi individu. Adapun surat itu
1. Harus sangat spesifik, harus menidentifikasikan kasus atau data tertentu yang
terhadapnya tindakan perbaikan dianjurkan;
2. Dengan jelas menyatakan maksud pelaksanaan EPO dan mengapa itu penting
bagi rumah sakt dan bagi staf medic;
3. Harus spedifiknpada rencana tindakan perbaikan, yaitu: Siapa yang
menerapkan perubahan? Apa sebenarnya yang diubah, dan bagaimana itu
diselesaikan?;
4. Dalam beberapa rumah sakit, ketua/kepala tiap SMF yang terlibat kasus dan
gagal memenuhi kriteria penggunaan obat, diminta membicarakan kasus tertentu
dalam kegiatan jaminan mutu SMF bulanan;
5. PFT menganjurkan dalam suratnya, bahwa kasus tertentu ini dikaji dalam
pertemuan SMF dan bahwa kepala SMF dapat mengambil tindakan disiplin atau
edukasi yang mungkin perlu.
Tindakan Edukasi
Apoteker dapat memainkan peran penting dalam pengadaan edukasi berkelanjutan melalui
seminar, surat berita, diskusi pada pertemuan laporan pagi, penyajian formal pada kunjungan
besar ke ruang pasien, dan penyajian informal pada kunjungan pelayanan pasien harian. IFRS
dapat memilih sasaran tertentu misalnya suatu obat tertentu, golongan obat tertentu, atau dokter
spesialis tetentu, SMF atau pelayanan tertentu.

RENCANA TINDAKAN PERBAIKAN


Kerangka waktu untuk tindakan
Tindakan perbaikan pada taraf tertentu, bergantung pada kerangka waktu yang dipilih untuk
mengkaji masalah dalam terapi obat.

Strategi untuk bertindak


Berbagai metode mungkin berguna dalam rencana tindakan perbaikan yaitu
 Edukasi
Salah satu rencana tindakan yang paling umum dalam jaminan mutu adalah penyajian suatu
program edukasi berkelanjutan, difokuskan pada masalah yang diidentifikasi.
 Pembatasan Penggunaan Obat
Rencana tindakan yang lain untuk mempengaruhi kepatuhan pada criteria penggunaan obat
adalah pembatasan penggunaan obat. Hal ini merupakan rencana tindakan biasa, untuk
menyempurnakan penggunaan antibiotik dalam rumah sakit. Sistem pengendalian demikian
dapat mengubah praktik penulisan obat
 Perubahan sistem
1. Perpanjangan IFRS selama 24 jam
2. Mengadakan laboratorium farmakokinetik klinik, atau minimal adanya seorang apoteker
spesialis farmakokinetik klinik yang aktif dalam pelayanan konsultasi farmakokinetik; dan
3. Mengembangkan, menyempurnakan atau merevisi kebijakan dan prosedur tertentu;
4. Penerapan pelayanan farmasi klinik untuk mendukung penggunaan obat yang
bermutu, juga dapat merupakan tindakan yang tepat
 Intervensi prospektif atau konkuren
Strategi lain untuk tindakan adalah mengidentifikasi dan memperbaiki penyimpangan
penggunaan obat yang optimal secara prospektif atau secara konkuren. Apotek klinik secara
khas memenuhi syarat untuk melakukan pengkajian prospektif dan konkuren. Proses pengkajian
prospektif dan konkuren menggunakan kriteria penggunaan obat tertulis yang secara klinik
abash untuk mengkaji regimen terapi.
 Pengkajian tindakan yang diambil dan penyempurnaan dokumen
Setelah tindakan koreksi dilakukan untuk solusi masalah atau untuk penyempurnaan
penggunaan obat, suatu mekanisme harus ada untuk mengkaji keefektifan tindakan koreksi
yang dilakukan sehingga benar-benar mengubah terapi sebagaimana dimaksudkan. Hal ini
memerlukan suatu reevaluasi obat atau golongan obat yang sebelumnya telah dievaluasi. Jika
tidak ada masalah yang terdeteksi dengan suatu obat tertentu, evaluasi obat tersebut dhentikan
dari proses pengkajian dan diganti dengan obat sasaran lainnya. Obat bermasalah tetap dalam
dalam daftar sasaran sampai masalah diatasi.
 Mengkomunikasikan informasi relevan kepada kepada individu yang tepat
Komunikasi yang efektif adalah penting untuk suatu program EPO yang berhasil. Suatu rencana
dan jenis informasi yangt jelas, harus diuraikan secara tepat kepada individu/kelompok yang
menerima. Semua hasil program EPO harus dikomunikasikan melalui berbagai saluran yang
ditetapkan oleh kebijakan rumah sakit.
KESULITAN YANG MUNGKIN
 Yang paling sulit adalah apabila program tidak mempunyai otoritas. Suatu program EPO yang
bekerja bebas (independen) dari staf medik, kemungkinan besar akan tidak efektif. Staf medik
harus terlibat agar program mempunyai leitimasi (hak kekuasaan).
 Kekurangan dalam pengorganisasian terbukti mengganggu program. Tanpa suatu ketetapan
yang jelas peranan berbagai individu program akan kacau. Kebijakan dan prosedur harus
terdokumentasi, agar proses organisasi terdokumentasi secara jelas dan tidak ada kebingungan
tentang siapa yang mempunyai tanggung jawab apa
 Pengoperasian program EPO dengan komunikasi yang buruk akan menyebabkan program
gagal. Adalah penting bahwa setiap orang yang terlibat, mengerti proses EPO dan itu adalah
penting untuk rumah sakit, staf medik dan IFRS. Seorang coordinator untuk kegiatan EPO harus
ditunjuk dan bertanggung jawab untuk semua komunikasi. Diskusi tetap tentang kegiatan EPO
adalah penting pada tingkat PFT.
 Dokumentasi yang buruk dapat merusak program EPO. Semua studi EPO harus terdokumentasi
dengan baik, termasuk rekomendasi yang dibuat, tindakan tindakan tindak lanjut yang
diterapkan, dan evaluasi tindakan perbaikan yang dilakukan. Dokumentasi harus segera dapat
ditelusuri.
 Tidak melibatkan semua apoteker rumah sakit dalam kegiatan EPO adalah suatu kesalahan.
Apoteker adalah professional yang logis dan tepat untuk melakukan suatu evaluasi awal dari
terapi obat dalam struktur program EPO.
TANGGUNG JAWAB APOTEKER DALAM PROGRAM EPO
1. Bekerja sama dengan staf medis dan dengan yang lain, mengadakan koordinasi harian
program EPO
2. Menyediakan data kuantitatif penggunaan obat untuk menetapkan obat yang akan
dievaluasi (data konsumtif terakhir)
3. Menyiapkan konsep kriteria penggunaan obat/standar dengan bekerja sama dengan staf
medik dan lain-lain untuk disetujui oleh Tim EPO, PFT, dan ketua Komite Medik.
4. Mengumpulkan data penggunaan obat yang akan dievaluasi dan mengkaji order obat,
profil pengobatan pasien (P3), terhadap kriteria penggunaan obat yang telah ditetapkan.
5. Menginterpretasikan dan melaporkan temuan evaluasi kepada Tim EPO, dan
memformulasikan rekomendasi tindakan perbaikan yang akan diusulkan Tim EPO ke
pimpinan rumah sakit.
6. Berpartisipasi dalam program tindakan perbaikan, misalnya dalam edukasi untuk
memperbaiki temuan evaluasi.
7. Memantau keefektifan tindakan perbaikan dan membuat laporan tertulis tentang hasil
pemantauan tersebut.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

KEBIJAKAN KEBERSIHAN TANGAN

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa kebersihan tangan merupakan salah satu kewaspadaan standar
yang
2. masuk
program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit.
3. Bahwa untuk melindungi tenaga kesehatan dan tenaga lainnya di rumah
sakit
agar aman, nyaman dan sehat perlu menjaga kebersihan tangan yang sesuai
standar.
4. Bahwa untuk maksud tersebut diatas perlu dibuat Kebijakan Kebersihan
Tangan
di rumah sakit.

MENGINGAT:
1. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 270/Menkes/SK/III/2007
Tentang
Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
Fasilitas Kesehatan Lainnya.
2. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 382/Menkes/SK/III/2008
Tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas
Kesehatan Lainnya
3. ART YBW-SA Pasal IV ayat 12.
4. Buku Pedoman dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan Lainnya, DEPKES RI, 2007.
5. Buku Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di
Rumah Sakit
Dan Fasilitas Kesehatan Lainnya, Depkes RI
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-
P/I/2018 tentang Kebijakan Penyimpanan Perbekalan Farmasi Rumah Sakit
Dharma IbuTernate.
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN:
2. KEBIJAKAN HAND HYGIENE
3. Kebijakan Hand Hygiene melalui kepatuhan melakukan prosedur Hand Hygiene.
4. Kebijakan Hand Hygiene melalui kepatuhan melakukan prosedur Hand Hygiene di Rumah Sakit.
a. Penyusunan SPO Hand Hygiene berdasarkan pedoman pelaksanaan Hand Hygiene terbaru
b. Sosialisasi SPO Hand Hygiene
c. Edukasi mengenai prosedur Hand Hygiene dan 5 saat harus melakukan Hand Hygiene
d. Audit kepatuhan Hand Hygiene
e. Evaluasi hasil audit Hand Hygiene dan penetapan RTL (Rencana Tindak Lanjut
4.
digunakan di seluruh area RSI(poli rawat jalan, rawat inap, ruang tunggu,
laboratorium, ruang kantor, dan seluruh instalasi penunjang lain di RS).
5. Kebijakan Hand Hygiene melalui kepatuhan melakukan prosedur Hand
Hygiene di RS dijadikan acucn dan pedoman bagi petugas medis, petugas non medis,
pasien, pengunjung yang berada di RS dan akan selalu dievaluasi dan direvisi dengan
memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi.
6. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila ada
kekeliruan dikemudian hari akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

: 09 Rabiul Awwal
1435.H
11 Januari 2014.M

KESATU Ditetapkan di : Ternate


Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

GA

Tembusan Yth :

1. Ketua Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

2. Unit terkait

3. Arsip
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PELAYANAN KONSELING OBAT RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;


MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah
Sakit ,
maka diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang
pelayanan konseling obat.
2. Bahwa untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat
kepada
pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pelayanan Konseling obat oleh IFRS Rumah
Sakit sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah
Sakit .

MENGINGAT :

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Pelayanan Konseling Obat RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN


PELAYANAN KONSELING OBAT RUMAH SAKIT .
2. Kebijakan Pelayanan konseling Obat Rumah Sakit sebagaimana
tercantum dalam lampiran Peraturan ini.
3. Pemberian pelayanan konseling obat di rumah sakit dilaksanakan oleh
Apoteker.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal
1 tahun sekali.

5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan


dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit

4. Kepala Bagian Keperawatan


5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


Nomor : …//Dir-SK/XII/2018
Tanggal : 30 Desember 2018

KEBIJAKAN PELAYANAN KONSELING OBAT


RUMAH SAKIT 

A. KONSELING

Merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan penyelesaian


masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat pasien rawat jalan
dan pasien rawat inap.
Tujuan :
Memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan
mengenai nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama
penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat dan
penggunaan obat-obat lain.
Kegiatan :
1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
2. Menanyakan hal-hal yang menyangkut obat yang dikatakan oleh dokter kepada pasien
dengan metode open-ended question
3. Apa yang dikatakan dokter mengenai obat
4. Bagaimana cara pemakaian
5. Efek yang diharapkan dari obat tersebut.
6. Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan obat
7. Verifikasi akhir : mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan obat, untuk mengoptimalkan
tujuan terapi.

Faktor yang perlu diperhatikan :


􀂅 Kriteria pasien :
- Pasien rujukan dokter
- Pasien dengan penyakit kronis
- Pasien dengan obat yang berindeks terapetik sempit dan polifarmasi
- Pasien geriatric dan Pasien pediatrik.
- Pasien pulang sesuai dengan kriteria diatas
􀂅 Sarana dan Prasarana :
- Ruangan khusus
- Kartu pasien/catatan konseling

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN TENTANG PETUGAS YANG BERWENANG MENELAAH PESANAN OBAT
(RESEP) RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, Dokter gigi atau dokter hewan
kepada apoteker untuk membuat dan memberikan obat kepada pasien.
2. Untuk meningkatkan mutu dan keamanan pelayanan farmasi, khususnya dalam
pemberian obat kepada pasien baik di rawat jalan maupun rawat inap, maka
Rumah Sakit bertanggung jawab untuk mengidentifikasi petugas yang
berkompeten atau berwenang dan juga yang diijinkan dengan lisensi, sertifikat,
hukum atau peraturan untuk menyerahkan obat.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada point 2 diatas maka Rumah Sakit perlu
menerbitkan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit tentang petugas yang berhak
menelaah pesanan obat (resep).

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayana
Kefarmasian di Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI
/SK-P/I/2018tentang Kebijakan Tentang Petugas Yang Berwenang Menelaah
Pesanan Obat (Resep) RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Petugas yang berwenang menelaah pesanan obat (resep) adalah orang


kompeten untuk melakukannya baik atas dasar pendidikan maupun latihan sesuai
dengan kewenangan atau telah membuktikan kompetensinya dalam proses
review.
2. Penelaahan ketepatan resep tidak perlu pada keadaan darurat apabila dokter
pemesan hadir untuk pemesanan, pemberian dan monitoring pasien.
3. Tata cara telaah resep yang dilakukan sebagai berikut :
a. Setiap resep yang masuk di Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dilakukan
telaah resep terlebih dulu, sebelum obat diserahkan kepada pasien.
b. Telaah resep yang dilakukan meliputi:
- Tanggal resep
c. Persyaratan farmasis, meliputi:
- Kejelasan tulisan resep
- Tepat obat
- Tepat dosis
- Tepat rute
- Tepat waktu
- Duplikasi
d. Persyaratan klinis,meliputi:
- Interaksi obat
- Alergi
- Berat badan untuk pasien anak
- Kontra indikasi
e. Telaah resep dilakukan oleh Apoteker.
f. Setiap pasien memiliki profil pengobatan untuk membantu proses telaah
resep atau pengobatan.
g. Telaah resep tidak perlu dilakukan pada keadaan darurat atau bila dokter
pemesan hadir untuk pemesanan, pemberian dan monitoring pasien (misal di
kamar bedah atau UGD) atau dalam tindakan radiologi intervensional atau
diagnostik imajing dimana obat merupakan bagian dari prosedur.
h. Telaah resep tetap dilakukan ketika Apoteker tidak hadir, telaah resep ketika
apoteker tidak hadir dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang ditunjuk
ataupun yang sudah terlatih.
i. Jika resep yang tertulis tidak memenuhi persyaratan, maka harus segera
dilakukan klarifikasi kepada dokter penulis resep sebelum diberikan kepada
pasien.
j. Semua klarifikasi dan pertanyaan kepada dokter penulis resep harus
dilakukan pendokumentasian.
4 Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5 Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : 298//Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016

1. Pemberian obat
a. Perawat harus selalu melakukan pengecekan ganda (double-check) terhadap semua Obat
dan Alkes serta obat obat high alert medications sebelum diberikan kepada pasien.
b. Pengecekan Ganda Terhadap Obat dan Alkes serta obat obat High Alert Medications

1) Tujuan:
Identifikasi obat-obatan yang memerlukan verifikasi atau pengecekan ganda oleh
petugas kesehatan lainnya (sebagai orang kedua) sebelum memberikan obat dengan
tujuan meningkatkan keselamatan dan akurasi.
2) Kebijakan:
1. pengecekan ganda diperlukan sebelum memberikan high alert medications
tertentu / spesifik dan di saat pelaporan pergantian jaga atau saat melakukan
transfer pasien.
2. Pengecekan ganda ini akan dicatat pada rekam medis pasien atau pada catatan
pemberian medikasi pasien.
3. Pengecekan pertama harus dilakukan oleh petugas yang berwenang untuk
menginstruksikan, meresepkan, atau memberikan obat-obatan, antara lain:
perawat, ahli farmasi, dan dokter.
4. Pengecekan kedua akan dilakukan oleh petugas yang berwenang, teknisi, atau
perawat lainnya. (petugas tidak boleh sama dengan pengecek pertama)
5. Kebutuhan minimal untuk melakukan pengecekan ganda/verifikasi oleh orang
kedua dilakukan pada kondisi-kondisi seperti berikut:
 Setiap akan memberikan injeksi obat
 Untuk infuse:
- Saat terapi inisial
- Saat terdapat perubahan konsentrasi obat
- Saat pemberian bolus
- Saat pergantian jaga perawat atau transfer pasien
- Setiap terjadi perubahan dosis obat
6. Pengecekan tambahan dapat dilakukan sesuai dengan instruksi dari
dokter.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PELAPORAN OBAT RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa Instalasi Farmasi merupakan suatu bagian atau unit atau fasilitas rumah
sakit, sebagai tempat penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian
yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit yang dipimpin oleh Apoteker yang
berkompeten dan dibantu oleh Tenaga Teknis kefarmasian (TTK).
2. Bahwa dalam pelayanan kefarmasian menggunakan perbekalan farmasi (obat obat
termasuk bahan yang terkontrol atau controlled substances, alat kesehatan, cairan
infuse, reagen dan film).
3. Bahwa obat obat terkontrol tersebut harus dilaporkan secara akurat sesuai dengan
undang undang dan peraturan yang berlaku.
4. Bahwa untuk menjamin mutu pelaporan obat yang baik di Instalasi Farmasi maka
perlu ditetapkan Surat keputusan Direktur tentang Pelaporan Obat.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
4. Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan
Pasien.
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 129 tahun 2008, tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
8. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Pelaporan Obat RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Instalasi Farmasi bertanggung jawab dalam pelaporan kegiatan pelayanan


kefarmasian secara keseluruhan.
2. Pelaporan Instalasi Farmasi terdiri dari:
a. Laporan bulanan
b. Laporan enam bulanan
c. Laporan tahunan
3. Laporan bulanan yang dilaporkan oleh Instalasi Farmasi adalah:
a. Laporan obat obat terkontrol (Narkotika)
b. Laporan obat generic
c. Laporan jumlah resep
d. Laporan indikator mutu farmasi
e. Laporan standar pelayanan minimal farmasi:
- Laporan kepatuhan formularium
- Waktu tunggu obat jadi dan obat racikan
- Kepuasan pasien
- Fasilitas sarana dan prasarana
- Petugas pemberi pelayanan kefarmasian harus tersertifikasi
f. Laporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP)
g. Laporan kegiatan farmasi
4. Laporan enam bulanan farmasi dibuat setiap enam bulan sekali yang merupakan
hasil rekap laporan bulanan.
5. Laporan tahunan farmasi dibuat setiap satu tahun sekali yang berisi tentang
seluruh kegiatan pelayanan farmasi.
6. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
7. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : 209/Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016

A. PENCATATAN DAN PELAPORAN


Pencatatan dan pelaporan merupakan serangkaian kegiatan dalam rangka penata usahaan
obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan maupun
yang digunakan di unit-unit pelayanan di Rumah Sakit.
1. Pencatatan dan pelaporan harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu.
2. Laporan Bulanan adalah laporan yang dibuat dan dilaporkan sebulan sekali, contohnya
laporan Narkotika, Laporan Obat Generik.
3. Laporan 6 bulanan adalah laporan yang dibuat dan dilaporkan 6 bulan sekali seperti
laporan Stock Opname.
4. Laporan Tahunan adalah laporan yang dibuat sekali setahun seperti laporan produks
i tahunan.
5. Laporan Narkotika adalah laporan penggunaan Narkotika yang dibuat sebulan sekali
dan dilaporkan sebelum tanggal 10 setiap bulan secara online.
6. Laporan Obat Generik yang dibuat oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang mencatat
nama obat generic dan Rencana Kebutuhan Obat Generik setiap bulan dan dilaporkan
1 tahun sekali ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
7. Laporan jumlah resep merupakan laporan produksi resep dibuat setiap bulan dan
dilaporkan setiap tahun berupa rekapitulasi produksi resep per bulan.
8. Laporan indikator mutu farmasi adalah laporan yang dibuat berdasarkan waktu tunggu
pelayanan resep, kepuasan pasien terhadap pelayanan farmasi, penulisan resep
sesuai dengan Formularium dan kesalahan dispensing obat oleh farmasi.
9. Laporan kepatuhan formularium adalah laporan evaluasi dan tindak lanjut penulisan
resep sesuai dengan formularium yang dituliskan oleh dokter.
10. Laporan waktu tunggu pelayanan resep adalah laporan yang dibuat berdasarkan
perhitungan waktu tunggu pelayanan resep mulai dari resep diberi harga hingga
penyerahan obat kepada pasien.
11. Laporan kepuasan pasien adalah laporan yang dibuat berdasarkan hasil survey
kepuasan
pasien terhadap pelayanan Instalasi farmasi Rumah Sakit untuk mengetahui tingkat
kepuasan pasien beserta evaluasi dan tindak lanjutnya.
12. Laporan fasilitas sarana dan prasarana merupakan laporan permintaan sarana dan
prasarana guna mendukung kegiatan farmasi di Instalasi Farmasi baik pengadaan
barang maupun perbaikan alat.
13. Membuat laporan no STRTTK & SIK Apoteker dan Asisten Apoteker kepada bagian
Umum dan Personalia.
14. Laporan Insiden keselamatan Pasien adalah laporan yang dibuat setelah terjadi insiden
yang menyangkut keselamatan pasien, potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi
dan segera dilakukan tindak lanjut.
15. Laporan kegiatan farmasi adalah laporan berdasarkan notulen rapat bulanan Instalasi
Farmasi Rumah Sakit.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :
1. Bahwa rumah sakit mempunyai kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan
pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Bahwa rumah sakit membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien
3. Bahwa setiap rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.
4. Bahwa dalam upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien Rumah Sakit
dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya Kebijakan Direktur Rumah Sakit
sebagai landasan bagi penyelenggaraan pelayanan kesahatan yang bermutu
tinggi dalam rangka keselamatan pasien di rumah sakit.
5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a, b, c dan d,
perlu diterbitkan Surat Keputusan Direktur tentang Kebijakan Peningkatan Mutu
dan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit
MENGINGAT:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992
tentang Pokok-Pokok Kesehatan
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien
Rumah Sakit
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK II/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/SK
III/2008 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Peningkatan Mutu Dan Keselamatan Pasien RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN :
1. Kebijakan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah
Sakit sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Keputusan ini.
2. Direktur rumah sakit berpartisipasi dalam perencanaan,
monitoring, dan pengawasan program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien.
3. Pemilik rumah sakit bertanggung jawab penuh terhadap mutu
dan keselamatan pasien.
4. Pelaksanaan Program peningkatan mutu dan keselamatan pasien
Rumah Sakit dilaksanakan oleh Komite Mutu
dan Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perbaikan maka akan
diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate Direktur
Tanggal :
RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo,


SpA

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT


NOMOR :
TANGGAL :

KEBIJAKAN PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT

A. Kebijakan Umum
1. Program mutu dan keselamatan pasien wajib dijalankan di seluruh unit rumah
sakit.
2. Pelaksanaan indikator mutu dan pelaporan insiden wajib dilaporkan, dianalisis,
ditindak lanjuti dan dievaluasi bersama unit terkait di rumah sakit.
3. Unit rumah sakit wajib menjalankan pencegahan terjadinya insiden di rumah
sakit melalui pelaporan insiden, tindak lanjut dan solusi guna pembelajaran
supaya tidak terulang kembali
4. Unit rumah sakit wajib melaksanakan peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
B. Kebijakan Khusus
1. Prioiritas pelaksanaan peningkatan mutu dan keselamatan pasien meliputi 5
(lima) area yaitu rawat jalan, rawat inap, Instalasi Gawat Darurat (IGD), kamar
bedah dan Sasaran Keselamatan Pasien.
2. Jenis indikator mutu yang dilaksanakan di rumah sakit yaitu jenis indkator mutu
pelayanan, terdiri atas Indikator Area Klinis, Indikator Area Manajerial, Indikator
Area Sasaran Keselamatan pasien, Indikator Area Sasaran dan Indikator JCI library
of measure
3. Pelaksanan indikator mutu meliputi penyusunan, jenis indikator, Kamus Profil
Indikator, sosialisasi indikator, trial indikator, implementasi indikator mutu,
validasi, pencatatan dan pelaporan analisis data, rapat pimpinan, benchmarking,
publikasi data, evaluasi dan tindak lanjut (monitoring dan evaluasi) indikator
mutu serta pelaporan ke direksi dan yayasan.
4. Manajemen tata kelola mutu dan keselamatan pasien dilaksanakan oleh Komite
Mutu dan Komite Keselamatan Pasien berdasarkan pedoman, panduan, kebijakan
serta SPO mutu dan keselamatan dalam menjalankan program mutu dan
keselamatan pasien rumah sakit.
5. Yayasan menyetujuai rencana mutu dan keselamatan pasien serta secara regular
menerima dan menindaklanjuti laporan tentang pelaksanaan program perbaikan
mutu dan keselamatan pasien.
6. Apabila dalam upaya pencapaian target dari suatu proses, program/sistem tidak
sesuai yang diharapkan, rumah sakit membuat rancangan baru dan melakukan
modifikasi dari sistem dan proses sesuai prinsip peningkatan mutu dan
keselamatan pasien. Rancangan proses yang baik adalah :
a. Konsisten dengan misi dan organisasi
b. Memenuhi kebutuhan pasien, masyarakat dan staf lainnya
c. Menggunakan pedoman praktek terkini, standar pelayaan medis, kepustakaan

ilmiah, dan informasi lain berdasarkan rancangan praktek klinik


d. Sesuai dengan praktek bisnis yang sehat
e. Relevan dengan informasi dari manajemen resiko
f. Berdasar pengetahuan dan keterampilan yang ada di rumah sakit
g. Berdasar praktek klinik yang baik/ lebih baik/ sangat baik dari rumah sakit
h. Menggunakan informasi dari kegiatan peningkatan mutu terkait
i. Mengintegrasikan dan menggabungkan berbagai proses dan system
7. Dalam upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien rumah sakit, pedoman
praktek klinik dan clinical pathway dan atau protokol klinis digunakan untuk
pedoman dalam memberikan asuhan klinik.
8. Komite Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit berkolaborasi dengan petugas
yang berpengalaman, memiiki pengetahuan dan keterampilan cukup dalam
mengumpulkan serta menganalisa data-data mutu dan keselamatan pasien
secara sistematik.
9. Pimpinan memberikan bantuan teknologi, sarana prasarana dan dukungan
lainnya untuk mendukung program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
10. Rumah sakit menetapkan kebijakan pelaporan insiden dari unit ke Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam upaya peningkatan
mutu dan keselamatan pasien rumah sakit.
11. Rumah sakit wajib melaksanakan manajemen resiko di rumah sakit.
12. Rumah sakit menjalankan kegiatan 7 (tujuh) langkah keselamatan pasien.
13. Rumah sakit melaksanakan 6 (enam) sasaran keselamatan pasien.
14. Rumah sakit menjalankan standar keselamatan pasien.
15. Seluruh tenaga rumah sakit wajib menjalankan pelayanan bekerja berdasarkan
standar yang yang berlaku.
16. Rumah sakit membuat report incidence yang meliputi kejadian insiden, KPC, KNC,
KTD, KTC, dan sentinel event dalam waktu maksimal 2x24 jam.
17. Rumah sakit bersama Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit mengupayakan
terlaksananya Root Cause Analysis (RCA) dan Failure Mode Effect Analysis (FMEA)
18. Rumah sakit melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanan kegiatan
peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
19. Model dari mempertahankan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien
menggunakan diagram 5 (lima) Siklus : DESIGN, MEASURE, ASSESS, IMPROVE,
AND REDESIGN.
20. Dukungan sistem informasi mutu dan keselamatan pasien bersifat
confidentiality (data rekam medis sangat rahasia, harus memiliki wewenang
dengan baik) dan dalam bidang pengumpulan data.
21. Rumah sakit melaksanakan program alokasi sumber daya berupa sumber daya
manusia dan alat teknologi pendukung.
22. Review dokumen tahuan (plan-annual review) dalam perencanaan di review dan
diperbaiki setiap tahunnya.
23. Approval berupa peran Direktur dan governance/pemilik menyetujui dan
menandatangani panduan mutu.
24. Penyampaian informasi PMKP kepada staf disampaikan melalui media komunikasi
melalui media elektronik, IT online, koordinasi, sosialisasi secara
tertulis,pamflet/madding/banner, dll.
25. Monitoring dan evaluasi peningkatan mutu dan keselamatan dengan metodologi
PDSA ( Plan, Do, Study and Action )
26. Surat keputusan ini berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak tanggal diterbitkan dan
akan dilakukan evaluasi minimal 1 (satu) tahun sekali.
27. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan dan perbaikan, maka
akan dilakukan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Bahwa penyaluran perbekalan farmasi adalah kegiatan mendistribusikan /


menyalurkan perbekalan farmasi dari logistic farmasi ke depo farmasi atau unti lain
yang membutuhkan.
2. Bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian yang berkualitas maka
diperlukan penyaluran perbekalan farmasi yang baik, efektif dan efisien.
3. bahwa untuk mewujudkan penyaluran yang baik, efektif dan efisien maka
dibutuhkan Surat Kebijakan Direktur tentang penyaluran perbekalan farmasi.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Penyaluran Perbekalan Farmasi RSU Santo Yoseph Labuan
Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Penyaluran perbekalan Farmasi menjadi tanggung jawab Instalasi farmasi


Rumah Sakit .
2. Tata aturan tentang penyaluran perbekalan farmasi sebagai berikut:
a. DEFINISI
Penyaluran perbekalan farmasi adalah kegiatan mendistribusikan/
menyalurkan perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke Instalasi farmasi
atau unit lain yang membutuhkan. Depo farmasi meliputi :
- Rawat jalan
- Ugd
- Rawat inap
- Ok
- Hemodialisa
b. PENJELASAN
1. Penyaluran perbekalan farmasi dari Gudang farmasi ke Unit-unit lain
a. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi dari
Gudang farmasi dilakukan pada jam kerja Gudang farmasi ( dari
jam 08.00 wib – jam 17.00 wib )
b. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi dari
Gudang farmasi ke unit-unit yang membutuhkan dilakukan
dengan cara petugas unit yg membutuhkan menyerahkan bukti
permintaan perbekalan farmasi.
c. Perbekalan farmasi yang diminta oleh unit yang membutuhkan
disediakan oleh petugas Gudang farmasi.
d. Pelayanan permintaan obat-obat terkontrol (narkotika,
psikotropika, obat prekusor dan anestesi umum) dilakukan sesuai
dengan kebijakan obat terkontrol.
e. Apabila perbekalan farmasi yang diminta tidak tersedia maka
Gudang farmasi mengajukan permintaan ke bagian pengadaan
dan menginformasikan kepada unit yang membutuhkan bahwa
perbekalan farmasi tersebut masih dipesankan.
2. Penyaluran perbekalan farmasi dari Gudang farmasi ke unit lain
( keperawatan, Laboratorium dan Radiologi )
a. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi di
Gudang farmasi dilakukan pada jam kerja Gudang farmasi ( dari
jam 08.00 wib – jam 17.00 wib )
b. Kegiatan pelayanan perbekalan dari unit lain dengan cara menulis
permintaan di lembar amprah perbekalan farmasi nama dan
jumlah perbekalan farmasi yang diminta dan kemudian
menyerahkan kepada petugas Gudang farmasi.
c. Perbekalan farmasi yang diminta oleh unit lain disediakan oleh
petugas Gudang farmasi.
d. Gudang farmasi hanya sebagai tempat transit perbekalan farmasi
berupa reagensia dan bahan radiologi sesuai dengan permintaan
dari unit laboratorium atau radiologi.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
 

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : 186//Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016

PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI

Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara:


1. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
a. Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai untuk
persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh Instalasi Farmasi.
b. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang disimpan di ruang
rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan.
c. Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola maka
pendistribusiannya didelegasikan kepada penanggung jawab ruangan.
d. Apoteker menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan interaksi Obat.

2. Sistem Resep Perorangan


Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai berdasarkan
Resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui Instalasi Farmasi.
3 Sistem Unit Dosis
a. Pelayanan/pemeberian obat/alkes pasien rawat inap menggunakan daftar obat (DO)
pasien.
b. Pelayanan obat golongan narkotika harus menggunakan resep dokter.
c. Semua obat didistribusi secara sentralisasi dari unit farmasi RS .
d. Pemberian obat dalam daftar obat (DO) pasien, hanya boleh ditulis oleh dokter.

4. Distribusi Obat/Alkes Pasien Rawat Inap


Perawat mengambil obat/alkes pasien rawat inap ke farmasi setelah farmasi menginfokan
bahwa obat/alkes sudah selesai disiapkan.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
RUMAH SAKIT

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG :
1. Bahwa pemberian antibiotika yang tidak tepat dapat menimbulkan pemborosan dan
juga menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotika.
2. Bahwa untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit agar aman, nyaman
dan sehat perlu penggunaan antibiotika yang sesuai standar.
3. Bahwa untuk maksud tersebut diatas perlu dibuat Kebijakan Penggunaan
Antibiotika di rumah sakit.

MENGINGAT : 
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor :
2406/Menkes/PER/XII/2011 Tentang Pedoman umum penggunaan antibiotik.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1045/MENKES/PER/XI/2006, Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Di
Lingkungan Departemen Kesehatan
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 986/Menkes/Per/XI/1992
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 382/Menkes/SK/III/2008 Tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas
Kesehatan Lainnya
6. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 270/Menkes/SK/III/2007 Tentang
Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
Fasilitas Kesehatan Lainnya.
7. Buku Pedoman dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Lainnya, DEPKES RI, 2007.

8. Buku Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit


dan
Fasilitas Kesehatan Lainnya, DEPKES RI.
9. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Penggunaan AntibiotikaRSU Santo Yoseph Labuan Bajo.

MEMUTUSKAN :

MENETAPKAN:

1. Kebijakan Penggunaan Antibiotika di Rumah Sakit sebagaimana terlampir dalam


Keputusan ini.
2. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan, sampai ada ketetapan
selanjutnya.
3. Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam ketetapan ini maka
akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Dr. Sutomo Raharjo, SpA
Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. KPPI RS

2. Instalasi Farmasi

3. Ruang Perawatan

4. IGD

5. ICU

6. Poliklinik

7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT

NOMOR : 98 /PER/ /I/2018

TANGGAL :

A. PENGERTIAN :

Antibiotika adalah obat yang diberikan kepada pasien yang menderita infeksi bakteri.
Pemberian antibiotika yang tidak tepat dapat menimbulkan pemborosan dan juga menimbulkan
resistensi bakteri terhadap antibiotika tertentu.

B. TUJUAN :

Untuk memberikan antibiotik yang rasional berdasarkan therapy empiric / sesaat dan
pertimbangan cost effective.

C. KEBIJAKAN :

Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi bekerjasama dengan Farmasi dan terapi
dalam :

1. Membuat Standar Terapi Rumah Sakit dan Formularium Rumah Sakit yang mengacu
pada
aturan penggunaan antibiotik.

2. Pemantauan terhadap pola kepekaan/daya sensitivitas mikroba di setiap unit perawatan


di
rumah sakit.

3. Pemantauan penggunaan antibiotika.


3. Penyediaan informasi yang teratur mengenai penggunaan obat melalui program
konsultasi
obat dan pemberian informasi obat.

4. Jenis-jenis antibiotika yang digunakan di rumah sakit adalah antibiotika yang sudah
masuk
dalam daftar formularium obat yang telah ditetapkan oleh Direktur rumah sakit.

Di dalam penggunaan antibiotic rasional melalui prinsip 4 Tepat 1 waspada :

1. Tepat pasien

2. Tepat dosis

3. Tepat waktu pemberian

4. Tepat jenis
5. Waspada terhadap efek samping yang mungkin timbul

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENGKAJIAN PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;


MENIMBANG:

1. Bahwa dalam program pengkajian penggunaan obat yang terstruktur dan


berkesinambungan untuk menjamin obat obat yang digunakan sesuai indikasi,
efektif, aman dan terjangkau oleh pasien.
2. Bahwa pengkajian penggunaan obat untuk mendapatkan gambaran keadaan saat
ini atas pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan..
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pengkajian Penggunaan Obat Rumah Sakit
sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit .

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Pengkajian Penggunaan Obat RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN


PENGKAJIAN PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT .
2. Kebijakan Pengkajian Penggunaan Obat di Rumah Sakit sebagaimana
tercantum dalam lampiran Peraturan ini.
3. Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat
yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang digunakan
sesuai indikasi, efektif dan terjangkau oleh pasien.
4. Instalasi Farmasi membandingkan pola penyusunan obat pada pelayanan
kesehatan / dokter satu dengan yang lain.
5. Instalasi Farmasi menilai secara berkala penyusunan obat spesifik dan menilai
intervensi atas pola penggunaan obat.
6. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
7. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
Nomor : ….//Dir-SK/XII/2018
Tanggal :

KEBIJAKAN PENGKAJIAN PENGGUNAAN OBAT


RUMAH SAKIT

A. Pendahuluan

Penggunaan suatu obat dapat berpengaruh terhadap kualitas pengobatan, pelayanan


dan biaya pengobatan. Penggunaan obat atau pelayanan obat merupakan proses kegiatan
yang mencakup aspek teknis dan non teknis yang dikerjakan mulai dari menerima resep dokter
hingga penyerahan obat kepada pasien. Dalam hal penggunaan obat, langkah yang paling
penting diperhatikan adalah diagnosis yang tepat, sehingga menghasilkan suatu peresepan
rasional, efektif, aman, dan ekonomis.
Evaluasi kriteria penggunaan obat menjelaskan tentang penggunaan obat dengan benar
dan mengamati berbagai macam komponen. Komponen yang digunakan untuk menilai kriteria
penggunaan obat adalah indikasi obat yang tepat, obat yang tepat untuk kondisi klinik, dosis
yang sesuai dengan indikasi, ada tidaknya interaksi, langkah yang berkaitan dengan pemberian
obat, menginstruksikan penggunaan obat kepada pasien, keadaan klinik dan laboratorium dari
pasien.
Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan
kesehatan karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di banyak negara, pada berbagai
tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan telah menunjukkan bahwa
penggunaan obat jauh dari keadaan optimal dan rasional. Banyak hal yang dapat ditingkatkan
dalam penggunaan obat pada umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing).
Secara singkat, penggunaan obat (khususnya adalah peresepan obat atau prescribing),
dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan memberikan manfaat sangat kecil atau tidak ada
sama sekali, sehingga tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau biayanya.
Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan
kebutuhannya secara klinis, dalam dosis yang sesuai dengan ketepatan indikasi.

B. Pembahasan

Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur
dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman
dan terjangkau oleh pasien. Kriteria penggunaan obat rasional harus sesuai dengan indikasi
pasien, pemberian dosis yang tepat, interval waktu yang tepat, dan lainnya. Evaluasi
penggunaan obat rasional yaitu

1. Tepat Indikasi

Maksud dari tepat indikasi misalnya adalah ketepatan penggunaan suatu obat atas dasar
diagnosis yang ditegakkan, sesuai dengan diagnosis yang tercantum di rekam medik. Sebagai
contoh, diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan
klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Kedua dengan TTGO, meskipun TTGO dengan beban
75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa darah puasa,
namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan. Ketiga, dengan pemeriksaan glukosa darah puasa yang lebih
mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan
untuk diagnosis diabetes mellitus.

2. Tepat Obat

Ketepatan obat adalah kesesuaian pemilihan suatu obat diantara beberapa jenis obat yang
mempunyai indikasi. Untuk menjamin obat yang diberikan benar, label atau etiket harus dibaca
dengan teliti setiap akan memberikan obat. Label atau etiket yang perlu diteliti antara lain nama
obat, sediaan, konsentrasi, dan cara pemberian serta expired date.

Untuk penyakit diabetes melitus tipe 2, misalnya penggunaan Metformin merupakan


antidiabetes yang paling banyak digunakan untuk terapi diabetes mellitus type 2 yaitu sebanyak
15 kasus, sedangkan penggunaan glibenklamid sebanyak 7 kasus. Hal ini sesuai dengan
algoritma terapi Perkeni 2006 yang menyatakan bahwa terapi farmakologi diabetes mellitus tipe
2 pertama kali menggunakan antidiabetik per oral, apabila kadar glukosa darah tidak turun maka
dikombinasikan pemakaian antidiabetik oral misalnya golongan biguanid dan sulfonilurea.

3. Tepat Dosis

Dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi atau timbul efek berbahaya.
Paramedik harus mengerti cara mengkonversi dosis dari orang dewasa normal dan dihitung
dosisnya secara cermat.

Dosis yang sesuai juga dilihat dari keadaan fungsi organ tubuh pasien, misalnya dalam keadaan
fungsi ginjal yang menurun pemberian dosis terapi akan terpengaruh, bahkan jika fungsi ginjal
telah memburuk pemberian dapat diberikan secara parenteral untuk menghindari keparahan
penyakit pasien.

4. Tepat Pasien

Pemberian obat yang tidak tepat pasien dapat terjadi, seperti pada saat pemesanan lewat
telepon, pasien yang masuk bersamaan, kasus penyakit sama, suasana sedang tidak kondusif
atau adanya pindahan pasien dari ruang satu ke ruang lainnya. Untuk mengurangi kejadian
tidak tepat pasien dapat dilakukan antara lain menanyakan nama pasien dan mengecek
identifikasi pasien dengan seksama.

5. Interaksi Obat dengan Obat Lain

Interaksi obat merupakan suatu reaksi yang terjadi bila obat satu mengubah efek obat yang lain.
Hal ini harus diperhatikan apabila pasien menderita beberapa penyakit yang berbeda. Sebagai
contoh, antidiabetik yang diberikan secara bersamaan dengan obat lain dapat berinteraksi
sehingga efek antidiabetik dapat dihambat atau ditingkatkan. Bila efek antidiabetik dihambat
maka kadar gula darah akan tetap tinggi (hiperglikemik), tetapi bila efek antidiabetik ditingkatkan
oleh obat lain maka akan terjadi penurunan gula darah yang drastis, sehingga kemungkinan
akan terjadi hipoglikemik.
C. Tatalaksana Pengkajian Penggunaan Obat

1. Pengumpulan Data Pasien


Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses pengkajian penggunaan obat.
Data tersebut dapat diperoleh dari:
• rekam medik,
• profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat,
• wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.

Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai pemeriksaan,
pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat diperoleh dari rekam medik,
antara lain: data demografi pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
terdahulu, riwayat penggunaan obat, riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik,
laboratorium, diagnostik, diagnosis dan terapi.
Profil pengobatan pasien di rumah sakit dapat diperoleh dari catatan pemberian obat oleh
perawat dan kartu/formulir penggunaan obat oleh tenaga farmasi. Profil tersebut mencakup data
penggunaan obat rutin, obat p.r.n (obat jika perlu), obat dengan instruksi khusus (contoh:
insulin).
Semua data yang sudah diterima harus dikumpulkan, dikaji, diringkas dan diorganisasikan ke
dalam suatu format. Sering kali data yang diperoleh dari rekam medis dan profil pengobatan
pasien belum cukup, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan data yang diperoleh dari
wawancara pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.

2. Identifikasi Masalah Terkait Obat


Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya masalah terkait obat.
Masalah terkait obat dapat dikategorikan sebagai berikut :
 Ada indikasi tetapi tidak diterapi. Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan
membutuhkan terapi obat tetapi tidak diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua
keluhan/gejala klinik harus diterapi dengan obat.
 Pemberian obat tanpa indikasi Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan.
 Pemilihan obat yang tidak tepat. Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik
untuk kondisinya (bukan merupakan pilihan pertama, obat yang tidak cost effective,
kontra indikasi.
- Dosis terlalu tinggi
- Dosis terlalu rendah
- Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
- Interaksi obat
- Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab. Beberapa penyebab pasien tidak
menggunakan obat antara lain: masalah ekonomi, obat tidak tersedia, ketidakpatuhan
pasien, kelalaian petugas.
Apoteker perlu membuat prioritas masalah sesuai dengan kondisi pasien, dan menentukan
masalah tersebut sudah terjadi atau berpotensi akan terjadi. Masalah yang perlu penyelesaian
segera harus diprioritaskan.
Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan perencanaan pemantauan,
dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak
dikehendaki. Apoteker harus membuat rencana pemantauan penggunaan obat.
Proses selanjutnya adalah menilai keberhasilan atau kegagalan mencapai sasaran terapi.
Apabila hal tersebut tidak tercapai, maka dapat dikatakan mengalami kegagalan mencapai
sasaran terapi. Penyebab kegagalan tersebut antara lain: kegagalan menerima terapi,
perubahan fisiologis/kondisi pasien, perubahan terapi pasien, dan gagal terapi. Hal ini harus
dikaji kegagalan pemberian terapi serta solusi yang dapat dilakukan untuk menangani
kegagalan terapi tersebut.

3. Tindak Lanjut
Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker harus
dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama dengan tenaga kesehatan lain
diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi. Informasi dari dokter tentang
kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan untuk menetapkan target terapi yang optimal.
Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan untuk mencegah
kemungkinan timbulnya masalah baru. Kegagalan terapi dapat disebabkan karena
ketidakpatuhan pasien dan kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus
mendapatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi yang tepat
sebaiknya :
 tidak bertentangan/berbeda dengan informasi dari tenaga kesehatan lain,
 tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat,
 dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat
D. PENUTUP

1. Kesimpulan
a. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengkajian penggunaan obat yaitu tepat indikasi,
tepat obat, tepat dosis, tepat pasien, dan interaksi obat dengan obat lain.
b. Cara tatalaksana pengkajian penggunaan obat yaitu pengumpulan data pasien, identifikasi
masalah terkait obat, dan tindak lanjut.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENCATATAN / PELAPORAN PENGGUNAAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH
SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit \, maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang pencatatan /
pelaporan penggunaan perbekalan farmasi.
2. Bahwa untuk memantau penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan
untuk menjamin obat obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan
terjangkau oleh pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pencatatan / pelaporan Penggunaan
Perbekalan Farmasi oleh IFRS Rumah Sakit sebagai landasan bagi
penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit 
MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang Ri Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Pencatatan / Pelaporan Penggunaan Perbekalan Farmasi RSU
Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN


PENCATATAN / PELAPORAN PENGGUNAAN PERBEKALAN FARMASI
RUMAH SAKIT .
2. IFRS wajib membuat catatan pengeluaran perbekalan farmasi harian dan
membuat laporan bulanan, penerimaan dan pengeluaran semua perbekalan
farmasi termasuk obat narkotika dan psikotropika.
3. Setiap akhir tahun anggaran IFRS wajib membuat laporan rekaitulasi
penerimaan dan pengeluaran serta sisa stok perbekalan farmasi.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : …../RSUSY/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

PENCATATAN DAN PELAPORAN PENGGUNAAN OBAT

LAMPIRAN SALAH
A. Penggunaan Obat
Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di rumah sakit
dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal
yang perlu diperhatikan adalah :
• Tepat pasien
• Tepat indikasi
• Tepat waktu pemberian
• Tepat obat
• Tepat dosis
• Tepat label obat (aturan pakai)
• Tepat rute pemberian
B. Monitoring dan Evaluasi
Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui efek terapi,
mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan evaluasi
didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan mencegah pengulangan
kesalahan. Seluruh personal yang ada di tempat pelayanan kefarmasian harus terlibat didalam
program keselamatan pasien khususnya medication safety dan harus secara terus menerus
mengidentifikasi masalah dan mengimplementasikan strategi untuk meningkatkan keselamatan
pasien.
Faktor-faktor lain yang berkonstribusi pada medication error antara lain :
 Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi )
Kegagalan dalam berkomunikasi merupakan sumber utama terjadinya kesalahan.
Institusi pelayanan kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas
kesehatan dan membuat SOP bagaimana resep/permintaan obat dan informasi obat
lainnya dikomunikasikan. Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan petugas
kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda
atau ketidak lengkapan informasi dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat
daftar singkatan dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk
diwaspadai.
 Kondisi lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan, area
dispensing harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk
menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman.
Selain itu area kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan.
Obat untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah.
 Gangguan/interupsi pada saat bekerja
Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik
langsung maupun melalui telepon.
 Beban kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk mengurangi stres dan
beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.
 Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan
insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan
dalam sistem menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya dapat menerapkan Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Pada Pelayanan Kefarmasian yang mengacu pada buku
Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) (diterbitkan oleh Depkes
tahun 2006) :

1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien Ciptakan kepemimpinan dan


budaya
yang terbuka dan adil:
a. Adanya kebijakan Instalasi Farmasi RS/Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya tentang
Keselamatan Pasien yang meliputi kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian nyaris
cedera (KNC), Kejadian Sentinel, dan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh
apoteker dan tenaga farmasi, pasien dan keluarga jika terjadi insiden.
b. Buat, sosialisasikan dan penerapan SOP sebagai tindak lanjut setiap kebijakan
c. Buat buku catatan tentang KTD, KNC dan Kejadian Sentinel kemudian laporkan ke
atasan langsung

2. Pimpin dan Dukung Staf Anda


Bangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di tempat
pelayanan (instalasi farmasi/apotek):
1. Adanya suatu tim di Instalasi Farmasi/Apotek yang bertanggung jawab terhadap
keselamatan pasien (sesuai dengan kondisi)
2. Tunjuk staf Instalasi Farmasi/Apotek yang bisa menjadi penggerak dan mampu
mensosialisasikan program (leader)
3. Adakan pelatihan untuk staf dan pastikan pelatihan ini diikuti oleh seluruh staf dan
tempatkan staf sesuai kompetensi
Staf farmasi harus mendapat edukasi tentang kebijakan dan SOP yang berkaitan dengan
proses dispensing yang akurat, mengenai nama dan bentuk obat-obat yang
membingungkan, obat-obat formularium/non formularium, obat-obat yang ditanggung
asuransi/non-asuransi, obat-obat baru dan obat-obat yang memerlukan perhatian
khusus. Disamping itu petugas farmasi harus mewaspadai dan mencegah medication
error yang dapat terjadi.
4. Tumbuhkan budaya tidak menyalahkan (no blaming culture) agar staf berani melaporkan
setiap insiden yang terjadi
3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko
Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko serta lakukan identifikasi dan asesmen hal
yang potensial bermasalah:
a. Buat kajian setiap adanya laporan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel
b. Buat solusi dari insiden tersebut supaya tidak berulang dengan mengevaluasi SOP yang
sudah ada atau mengembangkan SOP bila diperlukan

4. Kembangkan Sistem Pelaporan


a. Pastikan semua staf Instalasi Farmasi/Apotek dengan mudah dapat melaporkan
insiden kepada atasan langsung tanpa rasa takut
b. Beri penghargaan pada staf yang melaporkan

5. Libatkan dan Komunikasi Dengan Pasien


Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien:
a. Pastikan setiap penyerahan obat diikuti dengan pemberian Informasi yang jelas dan
tepat
b. Dorong pasien untuk berani bertanya dan mendiskusikan dengan apoteker tentang obat
yang diterima
c. Lakukan komunikasi kepada pasien dan keluarga bila ada insiden serta berikan solusi
tentang insiden yang dilaporkan

6. Belajar dan Berbagi Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien


Dorong staf untuk melakukan analisis penyebab masalah
1. Lakukan kajian insiden dan sampaikan kepada staf lainnya untuk menghindari
berulangnya insiden

7. Cegah KTD, KNC dan Kejadian Sentinel dengan cara :


a. Gunakan informasi dengan benar dan jelas yang diperoleh dari system pelaporan,
asesmen risiko, kajian insiden dan audit serta analisis untuk menentukan solusi
b. Buat solusi yang mencakup penjabaran ulang sistem (re-design system),
penyesuaian SOP yang menjamin keselamatan pasien
c. Sosialisasikan solusi kepada seluruh staf Instalasi Farmasi/Apotek

C. PENCATATANDAN PELAPORAN

Di Indonesia data tentang Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera
(KNC) dan Kejadian Sentinel masih sangat langka. Setiap kegiatan pelayanan kefarmasian baik
di rumah sakit maupun di komunitas diharapkan melakukan pencatatan dan pelaporan semua
kejadian terkait dengan keselamatan pasien meliputi KTD, KNC, dan Kejadian Sentinel.
Pelaporan di rumah sakit dilakukan sesuai dengan Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety) dan Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) yang
dikeluarkan oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit - Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI). Kejadian terkait dengan keselamatan pasien dalam pelayanan farmasi
komunitas di Indonesia belum mempunyai panduan pelaporan, sehingga kegiatan yang
dilakukan adalah pencatatan untuk monitoring dan evaluasi. Tujuan dilakukan pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien adalah untuk menurunkan Insiden Keselamatan Pasien yang terkait
dengan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel serta meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan
pasien.
Sistem pelaporan mengharuskan semua orang dalam organisasi untuk peduli terhadap
bahaya/potensi bahaya yang dapat terjadi pada pasien. Pelaporan juga penting digunakan
untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya kesalahan sehingga diharapkan dapat
mendorong dilakukannya investigasi lebih lanjut. Pelaporan akan menjadi awal proses
pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali. Setiap kejadian
dilaporkan kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menggunakan formulir yang sudah
disediakan di rumah sakit untuk diinvestigasi.

1. Prosedur Pelaporan Insiden


a. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi ataupun
yang nyaris terjadi.
b. Laporan insiden dapat dibuat oleh siapa saja atau staf farmasi yang pertama kali
menemukan kejadian atau terlibat dalam kejadian.
c. Pelaporan dilakukan dengan mengisi “Formulir Laporan Insiden” yang bersifat rahasia

2 Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien (KP) Di Rumah Sakit (Internal)
a. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/Kejadian Sentinel) terkait dengan pelayanan
kefarmasian, wajib segera ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/
akibat yang tidak diharapkan.
b. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi Formulir Laporan
Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada Apoteker penanggung jawab dan jangan
menunda laporan (paling lambat 2 x 24 jam).
c. Laporan segera diserahkan kepada Apoteker penanggung jawab
d. Apoteker penanggung jawab memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilaporkan.
e. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisis yang akan dilakukan :

 Grade biru : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu maksimal 1
minggu
 Grade hijau : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu maksimal
2 minggu.
 Grade kuning : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim KP di
RS, waktu maksimal 45 hari.
 Grade merah : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim KP di RS,
waktu maksimal 45 hari.
3. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan
insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
4. Tim KP di RS akan menganalis kembali hasil investigasi dan Laporan insiden untuk
menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan Root Cause Analysis (RCA) dengan
melakukan Regrading.
5. Untuk Grade kuning/merah, Tim KP di RS akan melakukan Root Cause Analysis (RCA)
6. Setelah melakukan Root Cause Analysis (RCA), Tim KP di RS akan membuat laporan dan
Rekomendasi untuk perbaikan serta “pembelajaran” berupa : Petunjuk / Safety alert untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
7. Hasil Root Cause Analysis (RCA), rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada
Direksi
8. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik kepada instalasi
farmasi.
9. Apoteker penanggung jawab akan membuat analisis dan tren kejadian di satuan kerjanya
10. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.

4. Peran Apoteker Dalam Penyusunan Laporan


Idealnya setiap KTD/KNC/Kejadian Sentinel yang terkait dengan penggunaan obat harus
dikaji terlebih dahulu oleh apoteker yang berpengalaman sebelum diserahkan kepada Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Tujuan pengkajian untuk memastikan bahwa laporan
tersebut sudah sesuai, nama obat yang dilaporkan benar, dan memasukkan dalam kategori
insiden yang benar. Kategori kesalahan dalam pemberian obat adalah :
 Pasien mengalami reaksi alergi
 Kontraindikasi
 Obat kadaluwarsa
 Bentuk sediaan yang salah
 Frekuensi pemberian yang salah
 Label obat salah / tidak ada / tidak jelas
 Informasi obat kepada pasien yang salah / tidak jelas
 Obat diberikan pada pasien yang salah
 Cara menyiapkan (meracik) obat yang salah
 Jumlah obat yang tidak sesuai
 ADR ( jika digunakan berulang )
 Rute pemberian yang salah
 Cara penyimpanan yang salah
 Penjelasan petunjuk penggunaan kepada pasien yang salah

Permasalahan Dalam Pencatatan Dan Pelaporan


Yang bertangggungjawab dalam pencatatan laporan adalah :
1. Staf IFRS/Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang pertama menemukan kejadian
atau supervisornya
2. Staf IFRS/ Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang terlibat dengan kejadian atau
supervisornya
3. Staf IFRS/ Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang perlu melaporkan kejadian
Masalah yang dihadapi dalam pencatatan dan pelaporan kejadian:
1. Laporan dipersepsikan sebagai ”pekerjaan perawat”
2. Laporan sering tidak diuraikan secara rinci karena takut disalahkan
3. Laporan terlambat
4. Laporan kurang lengkap ( cara mengisi formulir salah, data kurang lengkap )

Hal-hal yang perlu dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan:


1. JANGAN melaporkan insiden lebih dari 24 jam
2. JANGAN menunda laporan insiden dengan alasan belum ditindaklanjuti atau
ditandatangani
3. JANGAN menambah catatan medis pasien bila telah tercatat dalam laporan insiden
4. JANGAN meletakan laporan insiden sebagai bagian dari rekam medic pasien
5. JANGAN membuat salinan laporan insiden untuk alasan apapun
6. CATATLAH keadaan yang tidak diantisipasi
Hambatan dalam pencatatan dan pelaporan:
1. Pandangan bahwa kesalahan adalah suatu kegagalan dan kesalahan dibebankan pada
satu orang saja.
2. Takut disalahkan karena dengan melaporkan KTD, KNC, dan Kejadian sentinel akan
membeberkan keburukan dari personal atau tim yang ada dalam rumah sakit/sarana
pelayanan kesehatan lain.
3. Terkena risiko tuntutan hukum terhadap kesalahan yang dibuat.
4. Laporan disebarluaskan untuk tujuan yang merugikan
5. Pelaporan tidak memberi manfaat langsung kepada pelapor
6. Kurangnya sumber daya
7. Kurang jelas batasan apa dan kapan pelaporan harus dibuat
8. Sulitnya membuat laporan dan menghabiskan waktu

5. Dokumentasi
Semua laporan yang telah dibuat harus didokumentasikan di Instalasi Farmasi/ sarana
pelayanan kesehatan lain untuk bahan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut.

6. Monitoring & Evaluasi

Sebagai tindak lanjut terhadap Program Keselamatan Pasien, Apoteker perlu melakukan
kegiatan monitoring dan evaluasi di unit kerjanya secara berkala. Monitoring merupakan
kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian terkait Program
Keselamatan Pasien. Evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian
terkait Program Keselamatan Pasien. Tujuan dilakukan monitoring dan evaluasi agar pelayanan
kefarmasian yang dilakukan sesuai dengan kaidah keselamatan pasien dan mencegah
terjadinya kejadian yang tidak diinginkan dan berulang dimasa yang akan datang.

Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap :


1. Sumber daya manusia (SDM)
2. Pengelolaan perbekalan farmasi (seleksi, perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan dan distribusi/penggunaan)
3. Pelayanan farmasi klinik (pengkajian resep, penyerahan obat, pemberian informasi obat,
konseling obat, rekonstitusi obat kanker, iv.admixture, total parenteral nutrition,
therapeutic drug monitoring)
4. Laporan yang didokumentasikan.
Dari hasil monitoring dan evaluasi dilakukan intervensi berupa rekomendasi dan tindak lanjut
terhadap hal-hal yang perlu diperbaiki seperti perbaikan kebijakan, prosedur, peningkatan
kinerja SDM, sarana dan prasarana ataupun organisasi. Hasil dari rekomendasi dan tindak
lanjut ini harus diumpan balikkan ke semua pihak yang terkait dengan program keselamatan
pasien rumah sakit. Untuk mengukur keberhasilan program kegiatan yang telah ditetapkan
diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap
prosedur yang telah ditetapkan.

Indikator keberhasilan program dapat dilihat dari :


1. Menurunnya angka kejadian tidak diinginkan (KTD), kejadian nyaris cedera (KNC) dan
kejadian sentinel.
2. Menurunnya KTD, KNC dan Kejadian Sentinel yang berulang
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN MEDICATION ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang medication
error dan keselamatan pasien.
2. Bahwa untuk memberikan keamanan pemberian obat yang tepat dengan
pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Medicatio Error dan keselamatan Pasien oleh
IFRS Rumah Sakit sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan
farmasi Rumah Sakit .

MENGINGAT:
1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan
Pasien.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Medication Error Dan Keselamatan Pasien RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN


MEDICATION ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT .
2. Kebijakan Medication Error dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit sebagaimana
tercantum dalam lampiran Peraturan ini.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


Nomor : …./Dir-SK/XII/2018
Tanggal :

KEBIJAKAN MEDICATION ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN


RUMAH SAKIT 

Manajemen risiko adalah suatu metode yang sistematis untuk mengidentifikasi,


menganalisis, mengendalikan, memantau, mengevaluasi dan mengkomunikasikan risiko yang
ada pada suatu kegiatan. Untuk mengetahui gambaran kegiatan pada suatu unit kerja (misalnya
pada pelayanan kefarmasian), terlebih dahulu dilakukan inventarisasi kegiatan di unit kerja
tersebut.
Inventarisasi dapat dilakukan dengan cara :
- mempelajari diagram kegiatan yang ada
- melakukan inspeksi dengan menggunakan daftar tilik (checklist)
- melakukan konsultasi dengan petugas
Inventarisasi kegiatan diarahkan kepada perolehan informasi untuk menentukan potensi
bahaya (hazard) yang ada. Bahaya (hazard) adalah sesuatu atau kondisi pada suatu tempat
kerja yang dapat berpotensi menyebabkan kematian, cedera atau kerugian lain. Pengendalian
risiko melalui sistem manajemen dapat dilakukan oleh pihak manajemen pembuat komitmen
dan kebijakan, organisasi, program pengendalian, prosedur pengendalian, tanggung jawab,
pelaksanaan dan evaluasi. Kegiatan-kegiatan tersebut secara terpadu dapat mendukung
terlaksananya pengendalian secara teknis.
Manajemen risiko dalam pelayanan kefarmasian terutama medication error meliputi kegiatan :
- koreksi bila ada kesalahan sesegera mungkin
- pelaporan medication error
- dokumentasi medication error
- pelaporan medication error yang berdampak cedera
- supervisi setelah terjadinya laporan medication error
- sistem pencegahan
- pemantauan kesalahan secara periodik
- tindakan preventif
- pelaporan ke tim keselamatan pasien tingkat nasional
Keselamatan pasien (Patient safety) secara sederhana di definisikan sebagai suatu
upaya untuk mencegah bahaya yang terjadi pada pasien. Walaupun mempunyai definisi yang
sangat sederhana, tetapi upaya untuk menjamin keselamatan pasien di fasilitas kesehatan
sangatlah kompleks dan banyak hambatan. Konsep keselamatan pasien harus dijalankan
secara menyeluruh dan terpadu.
Strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien :
a. Menggunakan obat dan peralatan yang aman
b. Melakukan praktek klinik yang aman dan dalam lingkungan yang aman
c. Melaksanakan manajemen risiko, contoh : pengendalian infeksi
d. Membuat dan meningkatkan sistem yang dapat menurunkan risiko yang berorientasi
kepada pasien.
e. Meningkatkan keselamatan pasien dengan :
 mencegah terjadinya kejadian tidak diharapkan (adverse event)
 membuat sistem identifikasi dan pelaporan adverse event
 mengurangi efek akibat adverse event
Pada tanggal 18 Januari 2002, WHO telah mengeluarkan suatu resolusi untuk membentuk
program manajemen risiko untuk keselamatan pasien yang terdiri dari 4 aspek utama:
a. Penentuan tentang norma-norma global, standar dan pedoman untuk definisi,
pengukuran dan pelaporan dalam mengambil tindakan pencegahan, dan menerapkan
ukuran untuk mengurangi resiko.
b. Penyusunan kebijakan berdasarkan bukti (evidence-based) dalam standar global yang
akan meningkatkan pelayanan kepada pasien dengan penekanan tertentu pada
beberapa aspek seperti keamanan produk, praktek klinik yang aman sesuai dengan
pedoman, penggunaan produk obat dan alat kesehatan yang aman dan menciptakan
suatu budaya keselamatan pada petugas kesehatan dan institusi pendidikan.
c. Pengembangan mekanisme melalui akreditasi dan instrumen lain, untuk mengenali
karakteristik penyedia pelayanan kesehatan yang unggul dalam keselamatan pasien
secara internasional.
d. Mendorong penelitian tentang keselamatan pasien

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penerapan Keselamatan Pasien


Dalam penerapannya, keselamatan pasien harus dikelola dengan pendekatan sistemik.
Sistem ini dapat dilihat sebagai suatu sistem terbuka, dimana sistem terkecil akan dipengaruhi,
bahkan tergantung pada sistem yang lebih besar. Sistem terkecil disebut Mikrosistem, terdiri
dari petugas kesehatan dan pasien itu sendiri, serta proses-proses pemberian pelayanan di
ujung tombak, termasuk elemen-elemen pelayanan di dalamnya. Mikrosistem dipengaruhi oleh
Makrosistem, yang merupakan unit yang lebih besar, misalnya rumah sakit dan apotek.
Mikrosistem dan Makrosistem dipengaruhi oleh system yang lebih besar lagi yang disebut
Megasistem. Seorang Apoteker yang berperan di dalam mikrosistem (apotek, puskesmas,
instalasi farmasi rumah sakit, dan sarana pelayanan farmasi lain) dalam membangun
keselamatan pasien harus mampu mengelola dengan baik elemen-elemen dalam mikrosistem
tersebut, yaitu sistem pelayanan, sumber daya, sistem inventori, keuangan dan teknologi
informasi.

A. KESELAMATAN PASIEN DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN

Dalam membangun keselamatan pasien banyak istilah-istilah yang perlu difahami dan
disepakati bersama. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah:
1. Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event)
2. Kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near miss)
3. Kejadan Sentinel
4. Adverse Drug Even
5. Adverse Drug Reaction
6. Medication Error
7. Efek samping obat

Menurut Nebeker JR dkk. dalam tulisannya Clarifying Adverse Drug Events: A Clinician’s Guide
to terminology, Documentation, and Reporting, serta dari Glossary AHRQ (Agency for
Healthcare Research and Quality) dapat disimpulkan definisi beberapa istilah yang berhubungan
dengan cedera akibat obat sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 1.

TABEL 1
RINGKASAN DEFINISI YANG BERHUBUNGAN DENGAN CEDERA AKIBAT OBAT
Istilah Definisi Contoh
Terjadi cedera Kejadian cedera pada pasien Iritasi pada kulit karena
• Kejadian yang selama proses penggunaan perban.
tidak diharapkan terapi/penatalaksanaan Jatuh dari tempat tidur.
(Adverse Event) medis.
Penatalaksanaan medis
mencakup seluruh aspek
pelayanan, termasuk
diagnosa, terapi, kegagalan
diagnosa/terapi, sistem,
peralatan untuk pelayanan.
Adverse event dapat dicegah
atau tidak dapat dicegah.
Istilah Definisi Contoh
• Reaksi obat yang Kejadian cedera pada pasien Steven-Johnson Syndrom
tidak diharapkan selama proses terapi akibat : Sulfa, Obat epilepsi dll
(Adverse Drug penggunaan obat.
Reaction)
• Kejadian tentang Respons yang tidak • Shok anafilaksis
obat yang tidak diharapkan pada penggunaan
diharapkan terhadap terapi obat dan antbiotik golongan
(Adverse Drug mengganggu atau penisilin
Event) menimbulkan cedera pada • Mengantuk pada
penggunaan obat penggunaan CTM
dosis normal.
Reaksi Obat Yang Tidak
Diharapkan (ROTD) ada
yang
berkaitan dengan efek
farmakologi/mekanisme kerja
(efek samping) ada yang
tidak berkaitan dengan efek
farmakologi (reaksi
hipersensitivitas).
• Efek obat yang Respons yang tidak Shok anafilaksis pada
tidak diharapkan (Adverse diharapkan terhadap terapi penggunaan antbiotik
drug obat dan mengganggu atau golongan penisilin.
effect) menimbulkan cedera pada Mengantuk pada
penggunaan obat dosis lazim penggunaan CTM
Sama dengan ROTD tapi
dilihat dari sudut pandang
obat. ROTD dilihat dari sudut
pandang pasien.
Cedera dapat terjadi
atau tidak terjadi
• Medication Error Kejadian yang dapat dicegah Peresepan obat yang
akibat penggunaan obat, tidak rasional.
yang menyebabkan cedera. Kesalahan perhitungan
dosis pada peracikan.
Ketidakpatuhan pasien
sehingga terjadi dosis
berlebih.
Istilah Definisi Contoh
• Efek Samping Efek yang dapat diprediksi, (sebaiknya istilah ini
tergantung pada dosis, yang dihindarkan)
bukan efek tujuan obat. Efek
samping dapat dikehendaki,
tidak dikehendaki, atau tidak
ada kaitannya.

Apoteker harus mampu mengenali istilah-istilah di atas beserta contohnya sehingga


dapat membedakan dan mengidentifikasi kejadian-kejadian yang berkaitan dengan cedera
akibat penggunaan obat dalam melaksanakan program Keselamatan pasien.
Berdasarkan laporan IOM (Institute of Medicine) tentang adverse event yang dialami
pasien, disebutkan bahwa insiden berhubungan dengan pengobatan menempati urutan utama.
Disimak dari aspek biaya, kejadian 459 adverse drug event dari 14732 bernilai sebesar $348
juta, senilai $159 juta yang dapat dicegah (265 dari 459 kejadian). Sebagian besar tidak
menimbulkan cedera namun tetap menimbulkan konsekuensi biaya.
Atas kejadian tersebut, IOM merekomendasikan untuk :
1. Menetapkan suatu fokus nasional terhadap isu tersebut
2. Mengembangkan suatu sistem pelaporan kesalahan secara nasional
3. Meningkatkan standar organisasi
4. Menciptakan sistem keselamatan dalam organisasi kesehatan.
Penelitian terbaru (Allin Hospital) menunjukkan 2% dari pasien masuk rumah sakit
mengalami adverse drug event yang berdampak meningkatnya Length Of Stay (LOS) 4.6 hari
dan meningkatkan biaya kesehatan $ 4.7000 dari setiap pasien yang masuk rumah sakit.
Temuan ini merubah tujuan pelayanan farmasi rumah sakit tersebut : a fail-safe system that is
free of errors. Studi yang dilakukan Bagian Farmakologi Universitas Gajah Mada (UGM) antara
2001-2003 menunjukkan bahwa medication error terjadi pada 97% pasien Intensive Care Unit
(ICU) antara lain dalam bentuk dosis berlebihan atau kurang, frekuensi pemberian keliru dan
cara pemberian yang tidak tepat. Lingkup perpindahan/perjalanan obat (meliputi obat, alat
kesehatan, obat untuk diagnostik, gas medis, anastesi) : obat dibawa pasien di komunitas, di
rumah sakit, pindah antar ruang, antar rumah sakit, rujukan, pulang, apotek,
praktek dokter. Multidisiplin problem : dipetakan dalam proses penggunaan obat : pasien/care
giver, dokter, apoteker, perawat, tenaga asisten apoteker, mahasiswa, teknik, administrasi,
pabrik obat. Kejadian medication error dimungkinkan tidak mudah untuk dikenali, diperlukan
kompetensi dan pengalaman, kerjasama-tahap proses.
Tujuan utama farmakoterapi adalah mencapai kepastian keluaran klinik sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan risiko baik yang tampak maupun yang
potensial meliputi obat (bebas maupun dengan resep), alat kesehatan pendukung proses
pengobatan (drug administration devices). Timbulnya kejadian yang tidak sesuai dengan tujuan
(incidence/hazard) dikatakan sebagai drug misadventuring, terdiri dari medication errors dan
adverse drug reaction.
Ada beberapa pengelompokan medication error sesuai dengan dampak dan proses
(tabel 2 dan 3). Konsistensi pengelompokan ini penting sebagai dasar analisa dan intervensi
yang tepat.
Tabel 2 . Indeks medication errors untuk kategorisasi errors (berdasarkan dampak)
Errors Kategori Hasil
No error A Kejadian atau yang
berpotensi untuk terjadinya
kesalahan

Error, no B Terjadi kesalahan sebelum


obat mencapai pasien

harm C Terjadi kesalahan dan obat


sudah diminum/digunakan
pasien tetapi tidak
membahayakan pasien

D dilakukan tetapi tidak Terjadinya kesalahan,


membahayakan pasien sehingga monitoring ketat
harus
Error, E Terjadi kesalahan, hingga
harm terapi dan intervensi lanjut
diperlukan dan kesalahan ini
memberikan efek yang buruk
yang sifatnya sementara
F Terjadi kesalahan dan
mengakibatkan pasien harus
dirawat lebih lama di rumah
sakit serta memberikan efek
buruk yang sifatnya
sementara
G Terjadi kesalahan yang
mengakibatkan efek buruk
yang
bersifat permanen
H Terjadi kesalahan dan
hampir merenggut nyawa
pasien
contoh syok anafilaktik
Error, I Terjadi kesalahan dan
death pasien meninggal dunia
Tabel 3 . Jenis-jenis medication errors (berdasarkan alur proses pengobatan)
Tipe Medication Errors Keterangan

Unauthorized drug Obat yang terlanjur diserahkan kepada


pasien padahal
diresepkan oleh bukan dokter yang
berwenang
Improper dose/quantity Dosis, strength atau jumlah obat yang tidak
sesuai
dengan yang dimaskud dalam resep
Wrong dose preparation Penyiapan/ formulasi atau pencampuran
method obat yang tidak
sesuai
Wrong dose form Obat yang diserahkan dalam dosis dan cara
pemberian
yang tidak sesuai dengan yang
diperintahkan di dalam
resep
Wrong patient Obat diserahkan atau diberikan pada pasien
yang keliru
yang tidak sesuai dengan yang tertera di
resep
Omission error Gagal dalam memberikan dosis sesuai
permintaan,
mengabaikan penolakan pasien atau
keputusan klinik yang mengisyaratkan untuk
tidak diberikan obat yang
bersangkutan
Extra dose Memberikan duplikasi obat pada waktu yang
berbeda
Prescribing error Obat diresepkan secara keliru atau perintah
diberikan
secara lisan atau diresepkan oleh dokter
yang tidak
berkompeten
Wrong administration Menggunakan cara pemberian yang keliru
technique termasuk
misalnya menyiapkan obat dengan teknik
yang tidak
dibenarkan (misalkan obat im diberikan iv)
Wrong time Obat diberikan tidak sesuai dengan jadwal
pemberian
atau diluar jadwal yang ditetapkan

JCAHO (2007) menetapkan tentang keamanan terhadap titik kritis dalam proses
manajemen obat : sistem seleksi (selection), sistem penyimpanan sampai distribusi (storage,
distribution), sistem permintaan obat, interpretasi dan verifikasi (ordering and transcribing),
sistem penyiapan, labelisasi/etiket, peracikan, dokumentasi, penyerahan ke pasien disertai
kecukupan informasi (preparing dan dispensing), teknik penggunaan obat pasien
(administration), pemantauan efektifitas penggunaan (monitoring). Didalamnya termasuk system
kerjasama dengan tenaga kesehatan terkait baik kompetensi maupun kewenangannya, sistem
pelaporan masalah obat dengan upaya perbaikan, informasi obat yang selalu tersedia,
keberadaan apoteker dalam pelayanan, adanya prosedur khusus obat dan alat yang
memerlukan perhatian khusus karena dampak yang membahayakan.
WHO dalam developing pharmacy practice-a focus on patient care membedakan tentang
praktek farmasi (berhubungan dengan pasien langsung) dan pelayanan farmasi (berhubungan
dengan kualitas obat dan sistem proses pelayanan farmasi)
- Praktek pekerjaan kefarmasian meliputi obat-obatan, pengadaan produk farmasi dan
pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan.
- Pelayanan kefarmasian meliputi semua pelayanan yang diberikan oleh tenaga farmasi dalam
mendukung pelayanan kefarmasian. Di luar suplai obat-obatan, jasa kefarmasian meliputi
informasi, pendidikan dan komunikasi untuk mempromosikan kesehatan masyarakat, pemberian
informasi obat dan konseling, pendidikan dan pelatihan staf.
- Pekerjaan kefarmasian meliputi penyediaan obat dan pelayanan lain untuk membantu
masyarakat dalam mendapatkan manfaat yang terbaik.
Klasifikasi aktivitas apoteker (American Pharmacists Association/APha)
A. Memastikan terapi dan hasil yang sesuai
a. Memastikan farmakoterapi yang sesuai
b. Memastikan kepahaman/kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatannya
c. Monitoring dan pelaporan hasil
B. Dispensing obat dan alat kesehatan
a. Memproses resep atau pesanan obat
b. Menyiapkan produk farmasi
c. Mengantarkan obat atau alat kesehatan
C. Promosi kesehatan dan penanggulangan penyakit
a. Pengantaran jasa penanggulangan klinis
b. Pengawasan dan pelaporan issue kesehatan masyarakat
c. Promosi penggunaan obat yang aman dalam masyarakat
D. Manajemen sistem kesehatan
a. Pengelolaan praktek
b. Pengelolaan pengobatan dalam sistem kesehatan
c. Pengelolaan penggunaan obat dalam sistem kesehatan
d. Partisipasi dalam aktivitas penelitian
e. Kerjasama antardisiplin
Pada tahun 1998, FIP menerbitkan suatu statemen tentang Standard profesional mengenai
kesalahan pengobatan yang berhubungan dengan peresepan obat dengan tujuan
mendefinisikan istilah "kesalahan pengobatan" dan untuk menyarankan suatu tatanama
standard untuk mengkategorikan hal-hal seperti kesalahan dan disain sistemnya untuk
meningkatkan keselamatan dalam pabrikasi, pemesanan, pelabelan, penyiapan, administrasi
dan penggunaan obat.
Dalam, relasi antara dokter sebagai penulis resep dan apoteker sebagi penyedia obat
(pelayanan tradisional farmasi), dokter dipercaya terhadap hasil dari farmakoterapi. Dengan
berubahnya situasi secara cepat di system kesehatan, praktek asuhan kefarmasian diasumsikan
apoteker bertanggung jawab terhadap pasien dan masyarakat tidak hanya menerima asumsi
tersebut.
Dengan demikian apoteker bertanggung jawab langsung pada pasien tentang biaya,
kualitas, hasil pelayanan kefarmasian. Dalam aplikasi praktek pelayanan kefarmasian untuk
keselamatan pasien terutama medication error adalah : menurunkan risiko dan promosi
penggunaan obat yang aman.
Berbagai metode pendekatan organisasi sebagai upaya menurunkan medication error yang jika
dipaparkan menurut urutan dampak efektifitas terbesar adalah :
1. Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function& constraints) : suatu upaya
mendesain sistem yang mendorong seseorang melakukan hal yang baik, contoh :
sediaan potasium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10% Nacl 0.9%, karena sediaan
di pasar dalam konsentrasi 20% (>10%) yang mengakibatkan fatal (henti jantung dan
nekrosis pada tempat injeksi)
2. Otomasi dan komputer (Computerized Prescribing Order Entry) : membuat statis
/robotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan dukungan teknologi, contoh :
komputerisasi proses penulisan resep oleh dokter diikuti dengan ”/tanda peringatan” jika
di luar standar (ada penanda otomatis ketika digoxin ditulis 0.5g).
3. Standard dan protokol, standarisasi prosedur : menetapkan standar berdasarkan bukti
ilmiah dan standarisasi prosedur (menetapkan standar pelaporan insiden dengan
prosedur baku). Kontribusi apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi serta pemenuhan
sertifikasi/akreditasi pelayanan memegang peranan penting.
4. Sistem daftar tilik dan cek ulang : alat kontrol berupa daftar tilik dan penetapan cek ulang
setiap langkah kritis dalam pelayanan. Untuk mendukung efektifitas sistem ini diperlukan
pemetaan analisis titik kritis dalam sistem.
5. Peraturan dan Kebijakan : untuk mendukung keamanan proses manajemen obat pasien.
contoh : semua resep rawat inap harus melalui supervisi apoteker
6. Pendidikan dan Informasi : penyediaan informasi setiap saat tentang obat, pengobatan
dan pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang prosedur untuk meningkatkan kompetensi
dan mendukung kesulitan pengambilan keputusan saat memerlukan informasi
7. Lebih hati-hati dan waspada : membangun lingkungan kondusif untuk mencegah
kesalahan, contoh : baca sekali lagi nama pasien sebelum menyerahkan.

B. PERAN APOTEKER DALAM MEWUJUDKAN KESELAMATAN PASIEN

Penggunaan obat rasional merupakan hal utama dari pelayanan kefarmasian. Dalam
mewujudkan pengobatan rasional, keselamatan pasien menjadi masalah yang perlu di
perhatikan. Dari data-data yang termuat dalam bab terdahulu disebutkan sejumlah pasien
mengalami cedera atau mengalami insiden pada saat memperoleh layanan kesehatan,
khususnya terkait penggunaan obat yang dikenal dengan medication error. Di rumah sakit dan
sarana pelayanan kesehatan lainnya, kejadian medication error dapat dicegah jika melibatkan
pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang sudah terlatih. Saat ini di negara-negara maju sudah
ada apoteker dengan spesialisasi khusus menangani medication safety. Peran Apoteker
Keselamatan Pengobatan (Medication Safety Pharmacist) meliputi :
1. Mengelola laporan medication error
• Membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk
• Mencari akar permasalahan dari error yang terjadi
2. Mengidentifikasi pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk menjamin medication safety
• Menganalisis pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error
• Mengambil langkah proaktif untuk pencegahan
• Memfasilitasi perubahan proses dan sistem untuk menurunkan insiden yang sering terjadi
atau berulangnya insiden sejenis
3. Mendidik staf dan klinisi terkait lainnya untuk menggalakkan praktek pengobatan yang aman
• Mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan medication safety dan
kepatuhan terhadap aturan/SOP yang ada
4. Berpartisipasi dalam Komite/tim yang berhubungan dengan medication safety
• Komite Keselamatan Pasien RS
• Dan komite terkait lainnya
5. Terlibat didalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan obat
6. Memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan Pasien yang ada
Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu aspek
manajemen dan aspek klinik. Aspek manajemen meliputi pemilihan perbekalan farmasi,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem pengendalian
(misalnya memanfaatkan IT). Sedangkan aspek klinik meliputi skrining permintaan obat (resep
atau bebas), penyiapan obat dan obat khusus, penyerahan dan pemberian informasi obat,
konseling, monitoring dan evaluasi. Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada
pasien yang menerima pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim
pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat keberadaannya melalui kegiatan farmasi klinik
terbukti memiliki konstribusi besar dalam menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi :

1. Pemilihan
Pada tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/error dapat diturunkan dengan
pengendalian jumlah item obat dan penggunaan obat-obat sesuai formularium.

2. Pengadaan
Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman efektif dan sesuai peraturan yang
berlaku (legalitas) dan diperoleh dari distributor resmi.

3. Penyimpanan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk menurunkan kesalahan pengambilan
obat dan menjamin mutu obat:
1. Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike
medication names) secara terpisah.
2. Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan cedera
jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus. Misalnya :
3. menyimpan cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin, warfarin, insulin, kemoterapi,
narkotik opiat, neuromuscular blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik.
4. kelompok obat antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara alfabetis,
tetapi tempatkan secara terpisah
5. Simpan obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.

4. Skrining Resep
Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication error melalui
kolaborasi dengan dokter dan pasien.
1. Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor rekam
medik/ nomor resep,
2. Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter.
Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi
dokter penulis resep.
3. Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan
keputusan pemberian obat, seperti :
4. Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi, diagnosis dan
hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien
yang menerima obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk keperluan perhitungan
dosis.
5. Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium, tanda-tanda vital dan
parameter lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui data laboratorium yang
penting, terutama untuk obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis (seperti
pada penurunan fungsi ginjal).
6. Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
7. Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penggunaan
otomatisasi (automatic stop order), sistem komputerisasi (e-prescribing) dan pencatatan
pengobatan pasien seperti sudah disebutkan diatas.
8. Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan
itupun harus dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar,
dengan mengeja nama obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting
harus diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang
menerima permintaan harus menulis dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat
konfirmasi.

5. Dispensing
1. Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP.
2. Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali : pada saat
pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah, pada saat
mengembalikan obat ke rak.
3. Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.
4. Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai,
pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.

6. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)


Edukasi dan konseling kepada pasien harus diberikan mengenai hal-hal yang penting tentang
obat dan pengobatannya. Hal-hal yang harus diinformasikan dan didiskusikan pada pasien
adalah:
1. Pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana menggunakan
obat dengan benar, harapan setelah menggunakan obat, lama pengobatan, kapan
harus kembali ke dokter.
2. Peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan
3. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang potensial, interaksi obat dengan obat lain dan
makanan harus dijelaskan kepada pasien
4. Reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction – ADR) yang mengakibatkan
cedera pasien, pasien harus mendapat edukasi mengenai bagaimana cara mengatasi
kemungkinan terjadinya ADR tersebut
5. Penyimpanan dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang sudah
rusak atau kadaluarsa. Ketika melakukan konseling kepada pasien, apoteker
mempunyai kesempatan untuk menemukan potensi kesalahan yang mungkin
terlewatkan pada proses sebelumnya.

7. Penggunaan Obat
Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di rumah sakit
dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal
yang perlu diperhatikan adalah :
a. Tepat pasien
b. Tepat indikasi
c. Tepat waktu pemberian
d. Tepat obat
e. Tepat dosis
f. Tepat label obat (aturan pakai)
g. Tepat rute pemberian

8. Monitoring dan Evaluasi


Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui efek terapi,
mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan evaluasi
didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan mencegah pengulangan
kesalahan. Seluruh personal yang ada di tempat pelayanan kefarmasian harus terlibat didalam
program keselamatan pasien khususnya medication safety dan harus secara terus menerus
mengidentifikasi masalah dan mengimplementasikan strategi untuk meningkatkan keselamatan
pasien.
Faktor-faktor lain yang berkonstribusi pada medication error antara lain :
a. Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi )
Kegagalan dalam berkomunikasi merupakan sumber utama terjadinya kesalahan.
Institusi pelayanan kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas
kesehatan dan membuat SOP bagaimana resep/permintaan obat dan informasi obat
lainnya dikomunikasikan. Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan petugas
kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda
atau ketidak lengkapan informasi dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat
daftar singkatan dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk
diwaspadai.

b. Kondisi lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan, area
dispensing harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk
menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman.
Selain itu area kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan.
Obat untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah.
c. Gangguan/interupsi pada saat bekerja
Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik
langsung maupun melalui telepon.
d. Beban kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk mengurangi stres dan
beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.
e. Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan
insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan
dalam sistem menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya dapat menerapkan
Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Pada Pelayanan Kefarmasian yang mengacu pada
buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) (diterbitkan oleh
Depkes tahun 2006) :
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien Ciptakan kepemimpinan dan budaya
yang terbuka dan adil:
a. Adanya kebijakan Instalasi Farmasi RS/Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya tentang
Keselamatan Pasien yang meliputi kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian
nyaris cedera (KNC), Kejadian Sentinel, dan langkah-langkah yang harus dilakukan
oleh apoteker dan tenaga farmasi, pasien dan keluarga jika terjadi insiden.
b. Buat, sosialisasikan dan penerapan SOP sebagai tindak lanjut setiap kebijakan
c. Buat buku catatan tentang KTD, KNC dan Kejadian Sentinel kemudian laporkan ke
atasan langsung

2. Pimpin dan Dukung Staf Anda


Bangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di tempat
pelayanan (instalasi farmasi/apotek):
a. Adanya suatu tim di Instalasi Farmasi/Apotek yang bertanggung jawab terhadap
keselamatan pasien (sesuai dengan kondisi).
b. Tunjuk staf Instalasi Farmasi/Apotek yang bisa menjadi penggerak dan mampu
mensosialisasikan program (leader)
c. Adakan pelatihan untuk staf dan pastikan pelatihan ini diikuti oleh seluruh staf dan
tempatkan staf sesuai kompetensi
Staf farmasi harus mendapat edukasi tentang kebijakan dan SOP yang berkaitan
dengan proses dispensing yang akurat, mengenai nama dan bentuk obat-obat yang
membingungkan, obat-obat formularium/non formularium, obat-obat yang ditanggung
asuransi/non-asuransi, obat-obat baru dan obat-obat yang memerlukan perhatian
khusus. Disamping itu petugas farmasi harus mewaspadai dan mencegah medication
error yang dapat terjadi.
d. Tumbuhkan budaya tidak menyalahkan (no blaming culture) agar staf berani
melaporkan setiap insiden yang terjadi
3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko
Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko serta lakukan identifikasi dan asesmen
hal yang potensial bermasalah:
a. Buat kajian setiap adanya laporan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel
b. Buat solusi dari insiden tersebut supaya tidak berulang dengan mengevaluasi SOP yang
sudah ada atau mengembangkan SOP bila diperlukan
4. Kembangkan Sistem Pelaporan
a. Pastikan semua staf Instalasi Farmasi/Apotek dengan mudah dapat melaporkan insiden
kepada atasan langsung tanpa rasa takut
b. Beri penghargaan pada staf yang melaporkan

5. Libatkan dan Komunikasi Dengan Pasien


Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien
a. Pastikan setiap penyerahan obat diikuti dengan pemberian Informasi yang jelas dan
tepat
b. Dorong pasien untuk berani bertanya dan mendiskusikan dengan apoteker tentang obat
yang diterima.
c. Lakukan komunikasi kepada pasien dan keluarga bila ada insiden serta berikan solusi
tentang insiden yang dilaporkan.
6. Belajar dan Berbagi Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien
Dorong staf untuk melakukan analisis penyebab masalah:
a. Lakukan kajian insiden dan sampaikan kepada staf lainnya untuk menghindari
berulangnya insiden
7. Cegah KTD, KNC dan Kejadian Sentinel dengan cara :
a. Gunakan informasi dengan benar dan jelas yang diperoleh dari system pelaporan,
asesmen risiko, kajian insiden dan audit serta analisis untuk menentukan solusi
b. Buat solusi yang mencakup penjabaran ulang sistem (re-design system),
penyesuaian SOP yang menjamin keselamatan pasien.
c. Sosialisasikan solusi kepada seluruh staf Instalasi Farmasi/Apotek

C. PENCATATAN DAN PELAPORAN

Di Indonesia data tentang Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera
(KNC) dan Kejadian Sentinel masih sangat langka. Setiap kegiatan pelayanan kefarmasian baik
di rumah sakit maupun di komunitas diharapkan melakukan pencatatan dan pelaporan semua
kejadian terkait dengan keselamatan pasien meliputi KTD, KNC, dan Kejadian Sentinel.
Pelaporan di rumah sakit dilakukan sesuai dengan Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety) dan Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) yang
dikeluarkan oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit - Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI). Kejadian terkait dengan keselamatan pasien dalam pelayanan farmasi
komunitas di Indonesia belum mempunyai panduan pelaporan, sehingga kegiatan yang
dilakukan adalah pencatatan untuk monitoring dan evaluasi. Tujuan dilakukan pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien adalah untuk menurunkan Insiden Keselamatan Pasien yang terkait
dengan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel serta meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan
pasien.
Sistem pelaporan mengharuskan semua orang dalam organisasi untuk peduli terhadap
bahaya/potensi bahaya yang dapat terjadi pada pasien. Pelaporan juga penting digunakan
untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya kesalahan sehingga diharapkan dapat
mendorong dilakukannya investigasi lebih lanjut. Pelaporan akan menjadi awal proses
pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali. Setiap kejadian
dilaporkan kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menggunakan formulir yang sudah
disediakan di rumah sakit untuk diinvestigasi.

A. Prosedur Pelaporan Insiden


1. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi ataupun yang
nyaris terjadi.
2. Laporan insiden dapat dibuat oleh siapa saja atau staf farmasi yang pertama kali
menemukan kejadian atau terlibat dalam kejadian.
3. Pelaporan dilakukan dengan mengisi “Formulir Laporan Insiden” yang bersifat rahasia

B. Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien (KP) Di Rumah Sakit (Internal)
1. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/Kejadian Sentinel) terkait dengan pelayanan
kefarmasian, wajib segera ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi
dampak/ akibat yang tidak diharapkan.
2. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi Formulir Laporan
Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada Apoteker penanggung jawab dan jangan
menunda laporan (paling lambat 2 x 24 jam).
3. Laporan segera diserahkan kepada Apoteker penanggung jawab.
4. Apoteker penanggung jawab memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilaporkan.
5. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisis yang akan dilakukan :
a. Grade biru: Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu
maksimal 1 minggu
b. Grade hijau: Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu
maksimal 2 minggu
c. Grade kuning: Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45 hari
d. Grade merah: Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45 hari.
6. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan
insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
7. Tim KP di RS akan menganalis kembali hasil investigasi dan Laporan insiden untuk
menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan Root Cause Analysis (RCA)
dengan melakukan Regrading.
8. Untuk Grade kuning/merah, Tim KP di RS akan melakukan Root Cause Analysis (RCA)
9. Setelah melakukan Root Cause Analysis (RCA), Tim KP di RS akan membuat laporan
dan Rekomendasi untuk perbaikan serta “pembelajaran” berupa : Petunjuk / Safety alert
untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
10. Hasil Root Cause Analysis (RCA), rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada
Direksi.
11. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik kepada
instalasi farmasi.
12. Apoteker penanggung jawab akan membuat analisis dan tren kejadian di satuan
kerjanya
13. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.

Peran Apoteker Dalam Penyusunan Laporan


Idealnya setiap KTD/KNC/Kejadian Sentinel yang terkait dengan penggunaan obat harus
dikaji terlebih dahulu oleh apoteker yang berpengalaman sebelum diserahkan kepada Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Tujuan pengkajian untuk memastikan bahwa laporan
tersebut sudah sesuai, nama obat yang dilaporkan benar, dan memasukkan dalam kategori
insiden yang benar. Kategori kesalahan dalam pemberian obat adalah :
• Pasien mengalami reaksi alergi
• Kontraindikasi
• Obat kadaluwarsa
• Bentuk sediaan yang salah
• Frekuensi pemberian yang salah
• Label obat salah / tidak ada / tidak jelas
• Informasi obat kepada pasien yang salah / tidak jelas
• Obat diberikan pada pasien yang salah
• Cara menyiapkan (meracik) obat yang salah
• Jumlah obat yang tidak sesuai
• ADR ( jika digunakan berulang )
• Rute pemberian yang salah
• Cara penyimpanan yang salah
• Penjelasan petunjuk penggunaan kepada pasien yang salah

Permasalahan Dalam Pencatatan Dan Pelaporan


Yang bertangggungjawab dalam pencatatan laporan adalah :
• Staf IFRS/Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang pertama menemukan kejadian
atau supervisornya
• Staf IFRS/ Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang terlibat dengan kejadian atau
supervisornya
• Staf IFRS/ Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang perlu melaporkan kejadian
Masalah yang dihadapi dalam pencatatan dan pelaporan kejadian
• Laporan dipersepsikan sebagai ”pekerjaan perawat”
• Laporan sering tidak diuraikan secara rinci karena takut disalahkan
• Laporan terlambat
• Laporan kurang lengkap ( cara mengisi formulir salah, data kurang lengkap )

Hal-hal yang perlu dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan


1. JANGAN melaporkan insiden lebih dari 24 jam
2. JANGAN menunda laporan insiden dengan alasan belum ditindaklanjuti atau
ditandatangani
3. JANGAN menambah catatan medis pasien bila telah tercatat dalam laporan insiden
4. JANGAN meletakan laporan insiden sebagai bagian dari rekam medic pasien
5. JANGAN membuat salinan laporan insiden untuk alasan apapun
6. CATATLAH keadaan yang tidak diantisipasi
Hambatan dalam pencatatan dan pelaporan:
- Pandangan bahwa kesalahan adalah suatu kegagalan dan kesalahan dibebankan pada
satu orang saja.
- Takut disalahkan karena dengan melaporkan KTD, KNC, dan Kejadian sentinel akan
membeberkan keburukan dari personal atau tim yang ada dalam rumah sakit/sarana
pelayanan kesehatan lain.
- Terkena risiko tuntutan hukum terhadap kesalahan yang dibuat.
- Laporan disebarluaskan untuk tujuan yang merugikan
- Pelaporan tidak memberi manfaat langsung kepada pelapor
- Kurangnya sumber daya
- Kurang jelas batasan apa dan kapan pelaporan harus dibuat
- Sulitnya membuat laporan dan menghabiskan waktu

Dokumentasi
Semua laporan yang telah dibuat harus didokumentasikan di Instalasi Farmasi/ sarana
pelayanan kesehatan lain untuk bahan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut.

D. MONITORING DAN EVALUASI

Sebagai tindak lanjut terhadap Program Keselamatan Pasien, Apoteker perlu melakukan
kegiatan monitoring dan evaluasi di unit kerjanya secara berkala. Monitoring merupakan
kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian terkait Program
Keselamatan Pasien. Evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian
terkait Program Keselamatan Pasien. Tujuan dilakukan monitoring dan evaluasi agar pelayanan
kefarmasian yang dilakukan sesuai dengan kaidah keselamatan pasien dan mencegah
terjadinya kejadian yang tidak diinginkan dan berulang dimasa yang akan datang.
Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap :
a. Sumber daya manusia (SDM)
b. Pengelolaan perbekalan farmasi (seleksi, perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan dan distribusi/penggunaan)
c. Pelayanan farmasi klinik (pengkajian resep, penyerahan obat, pemberian informasi
obat, konseling obat, rekonstitusi obat kanker, iv.admixture, total parenteral nutrition,
therapeutic drug monitoring)
d. Laporan yang didokumentasikan.
Dari hasil monitoring dan evaluasi dilakukan intervensi berupa rekomendasi dan tindak lanjut
terhadap hal-hal yang perlu diperbaiki seperti perbaikan kebijakan, prosedur, peningkatan
kinerja SDM, sarana dan prasarana ataupun organisasi. Hasil dari rekomendasi dan tindak
lanjut ini harus diumpan balikkan ke semua pihak yang terkait dengan program keselamatan
pasien rumah sakit. Untuk mengukur keberhasilan program kegiatan yang telah ditetapkan
diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap
prosedur yang telah ditetapkan.

Indikator keberhasilan program dapat dilihat dari :


1. Menurunnya angka kejadian tidak diinginkan (KTD), kejadian nyaris cedera (KNC) dan
kejadian sentinel.
2. Menurunnya KTD, KNC dan Kejadian Sentinel yang berulang.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI SERAGAM RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;


MENIMBANG:

1. Bahwa Penyaluran perbekalan farmasi adalah kegiatan mendistribusikan /


menyalurkan perbekalan farmasi yang seragam dari gudang farmasi ke
instalasi farmasi atau unit lain yang membutuhkan.
2. Bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian yang berkualitas
maka diperlukan penyaluran perbekalan farmasi yang baik, efektif dan efisien.
3. Bahwa untuk mewujudkan penyaluran yang baik, efektif dan efisien maka maka
dibutuhkan Surat Kebijakan Direktur tentang penyaluran perbekalan farmasi

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Penyimpanan Perbekalan Farmasi RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Penyaluran perbekalan Farmasi menjadi tanggung jawab Instalasi Farmasi


Rumah Sakit .
2. Tata aturan tentang penyaluran perbekalan farmasi seragam sebagaimana
terlampir.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA

Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR :….//Dir-SK/XII/2018
TANGGAL : 2018

PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI SERAGAM


A. DEFINISI
Penyaluran perbekalan farmasi adalah kegiatan mendistribusikan/ menyalurkan perbekalan
farmasi dari gudang farmasi ke instalasi farmasi atau unit lain yang membutuhkan.

B. PENJELASAN
1. Penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke instalasi farmasi/ruangan
a. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi
dilakukan pada jam kerja gudang farmasi (dari jam 08.00 wib – jam 17.00 wib)
b. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke
instalasi farmasi dilakukan dengan cara petugas instalasi farmasi menyerahkan bukti
permintaan perbekalan farmasi.
c. Perbekalan farmasi yang diminta oleh ruangan disediakan oleh petugas gudang
farmasi.
d. Pelayanan permintaan obat-obat terkontrol (narkotika,psikotropika, obat prekusor
dan anestesi umum) dilakukan sesuai dengan kebijakan obat terkontrol.
e. Apabila perbekalan farmasi yang diminta tidak tersedia maka gudang farmasi
mengajukan permintaan ke bagian pengadaan dan menginformasikan kepada
ruangan bahwa perbekalan farmasi tersebut masih dipesankan.
3. Penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke unit lain (keperawatan,
Laboratorium dan Radiologi).
a. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi di gudang farmasi dilakukan
pada jam kerja gudang farmasi (dari jam 08.00 wib – jam 17.00 wib)
b. Kegiatan pelayanan perbekalan dari unit lain dengan cara menulis permintaan di
lembar anfrah perbekalan farmasi nama dan jumlah perbekalan farmasi yang diminta
dan kemudian menyerahkan kepada petugas gudang farmasi.
c. Perbekalan farmasi yang diminta oleh unit lain disediakan oleh petugas gudang
farmasi.
d. Gudang farmasi hanya sebagai tempat transit perbekalan farmasi berupa reagensia
dan bahan radiologi sesuai dengan permintaan dari unit laboratorium atau radiologi.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI

RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;


MENIMBANG:
1. Bahwa pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan dimulai
dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pengendalian, penghapusan administrasi dan pelaporan serta
evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan.
2. Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan
farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk menghindari
kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung
jawabkan.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Pemberlakuan Pengelolaan Perbekalan Farmasi RSU Santo
Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG PEMBERLAKUAN


PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI DI RUMAH SAKIT 
2. Pengelolaan perbekalan Farmasi di Rumah Sakit sebagaimana diberlakukan
Pengelolaan Perbekalan Farmasi.
3. Instalasi Rumah Sakit bertanggung jawab dalam melakukan pengelolaan
perbekalan farmasi di rumah sakit .
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : …./DIR-SK/XII/2018
TANGGAL : 30 Desember 2018
PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI

Pengelolaan Perbekalan Farmasi merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan,
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian,
penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan
pelayanan.
A. Tujuan
 Mengelola perbekalan farmasi yang efektif dan efesien
 Menerapkan farmako ekonomi dalam pelayanan
 Meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga farmasi
 Mewujudkan Sistem Informasi Manajemen berdaya guna dan tepat guna
 Melaksanakan pengendalian mutu pelayanan

B. Pemilihan dan pengadaan obat-obatan


Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di
rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan
dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui
standar obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi
dan Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi Pembelian.
 Evaluasi yang dilakukan pada tahap ini dengan menggunakan Indikator seleksi obat yaitu
kesesuaian item obat yang tersedia di rumah sakit dengan DOEN.

C. Perencanaan
Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan
farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain Konsumsi, Epidemiologi, Kombinasi metode
konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

D. Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan
disetujui, melalui :
a. Pembelian :
 Secara tender (oleh Panitia Pembelian Barang Farmasi)
 Secara langsung dari pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan)
 Sumbangan/droping/hibah
Beberapa evaluasi yang digunakan dalam pengadaan obat adalah (Pudjaningsih, 1996):
1. Frekuensi pengadaan tiap item obat setiap tahunnya
Digolongkan menjadi 3 kategori: rendah (<12), sedang (12-24), tinggi (>24).
 Banyaknya obat dengan frekuensi sedang dan tinggi → kemampuan IFRS dalam
merespon perubahan kebutuhan obat dan melakukan pembelian obat dalam jumlah
sesuai dengan kebutuhan saat itu.
 Pengadaan obat yang berulang menunjukkan bahwa yang tersedia di IFRS merupakan
obat dengan perputaran cepat (fast moving).
 Banyaknya obat yang masuk kedalam jenis slow moving → kerugian bagi rumah sakit.
2. Frekuensi kesalahan faktur
 Kriteria kesalahan faktur: adanya ketidakcocokan jenis obat, jumlah obat dalam suatu
item, atau jenis obat dalam faktur terhadap surat pesanan yang bersesuaian
 Penyebab:
a. Tidak ada stok, atau barang habis di PBF
b. Stok barang yang tidak sesuai
c. Reorder atau frekuensi pemesanan terlalu banyak
3. Frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang disepakati
 Tingginya frekuensi tertundanya pembayaran menunjukkan kurang baiknya manajemen
keuangan pihak rumah sakit.
 Hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan pihak pemasok kepada rumah sakit sehingga
potensial menyebabkan ketidaklancaran suplai obat di kemudian hari.

E. Produksi
Merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi
steril atau nonsteril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Produksi/pembuatan sediaan farmasi:
 Produksi Steril
 Produksi Non Steril
 Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil

F. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai dengan
aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan.
Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi:
 Pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa
 Barang harus bersumber dari distributor utama
 Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS)
 Khusus untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of origin
 Expire date minimal 2 tahun
Setelah barang yang diorder tersebut datang, barang tersebut diterima bersama dengan faktur
dan di periksa oleh petugas gudang farmasi. Petugas gudang memeriksa tanggal kadaluarsa
dari obat tersebut dan nomor faktur.
Bila barang yang diperiksa telah sesuai dengan faktur, kemudian faktur tersebut ditanda tangani
oleh petugas yang menerima di bagian gudang. Setelah itu, barang dimasukkan ke dalam
gudang dan dicatat pada kartu stok.

G. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan obat-obat yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta
gangguan baik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan obat adalah sebagai
berikut:
 Memelihara mutu obat.
 Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab.
 Menjaga kelangsungan persediaan.
 Memudahkan pencarian dan pengawasan.
Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang ditetapkan:
 Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya
 Dibedakan menurut suhunya, kestabilannya
 Mudah tidaknya meledak/terbakar
 Tahan/tidaknya terhadap cahaya disertai dengan sistem informasi yang selalu menjamin
ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.

Cara Penyimpanan Obat Secara Umum


Cara penyimpanan obat yang secara umum perlu diketahui oleh masyarakat adalah sebagai
berikut :
a. Ikuti petunjuk penyimpanan pada label/ kemasan
b. Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat.
c. Simpan obat pada suhu kamar dan hindari sinar matahari langsung.
d. Jangan menyimpan obat di tempat panas atau lembab.
e. Jangan menyimpan obat bentuk cair dalam lemari pendingin agar tidak beku, kecuali
jika tertulis pada etiket obat.
f. Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak.
g. Jangan meninggalkan obat di dalam mobil untuk jangka waktu lama.
h. Jauhkan obat dari jangkauan anak-anak.
Peralatan penyimpanan obat secara umum memerlukan :
a. Lemari/rak yang rapi dan terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan
b. Lantai dilengkapi dengan palet
Cara Penyimpanan Obat Secara Khusus
Penyimpanan obat yang secara khusus juga perlu diketahui oleh masyarakat adalah sebagai
berikut :
a. Sediaan obat vagina dan ovula
Sediaan obat untuk vagina dan anus (ovula dan suppositoria) disimpan di lemari es
karena dalam suhu kamar akan mencair.
b. Sediaan Aerosol / Spray
Sediaan obat jangan disimpan di tempat yang mempunyai suhu tinggi karena dapat
menyebabkan ledakan.
Peralatan yang digunakan untuk penyimpanan obat dengan kondisi khusus diantaranya :
a. Lemari pendingin dan AC untuk obat yang termolabil
b. Fasilitas peralatan penyimpanan dingin harus divalidasi secara berkala
c. Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan obat psikotropika
d. Peralatan untuk penyimpanan obat, penanganan dan pembuangan limbah sitotoksik
dan obat berbahaya harus dibuat secara khusus untuk menjamin keamanan petugas,
pasien dan pengunjung
Beberapa obat perlu disimpan pada kondisi dan tempat yang khusus untuk memudahkan
pengawasan, yaitu :
a. Obat golongan narkotika dan psikotropika masing-masing disimpan dalam lemari
khusus dan terkunci.
b. Obat-obat seperti vaksin dan supositoria harus disimpan dalam lemari pendingin
untuk menjamin stabilitas sediaan.
c. Beberapa cairan mudah terbakar seperti aseton, eter dan alkohol disimpan dalam
lemari yang berventilasi baik, jauh dari bahan yang mudah terbakar dan peralatan
elektronik. Cairan ini disimpan terpisah dari obat-obatan.
Persyaratan Penyimpanan Narkotika
1. Harus terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat (tidak boleh terbuat darikaca).
2. Harus mempunyai kunci yang kuat, kunci lemari harus dikuasai oleh penanggung jawab
atau pegawai yang dikuasakan.
3. Dibagi menjadi dua bagian dengan masing-masing kunci yang berlainan.
4. Apabila lemari memiliki ukuran kurang dari 40 cm x 80 cm x 100 cm, maka dibuat pada
tembok / lantai / lemari khusus.
5. Tidak boleh menyimpan atau meletakkan barang-barang selain narkotika, kecuali
ditentukan lain oleh Menteri Kesehatan (Menkes).

Beberapa evaluasi yang digunakan dalam penyimpanan obat adalah (Pudjaningsih, 1996):

1. Persentase kecocokan antara barang dan stok komputer atau kartu stok
Proses pencocokan harus dilakukan pada waktu yang sama untuk menghindari kekeliruan
karena adanya barang yang keluar atau masuk (adanya transaksi). Apabila tidak dilakukan
bersamaan maka kemungkinan ketidakcocokan akan meningkat.
Ketidakcocokan akan menyebabkan terganggunya perencanaan pembelian barang dan pelayanan
terhadap pasien.
2. Turn Over Ratio (TOR)
TOR = perbandingan Harga Pokok Penjualan (HPP) dalam 1 tahun dengan nilai rata – rata
persediaan pada akhir tahun.
TOR digunakan untuk mengetahui berapa kali perputaran modal dalam 1 tahun, menghitung
efisiensi dalam pengelolaan obat. Apabila TOR rendah, berarti masih banyak stok obat
yang belum terjual sehingga mengakibatkan obat menumpuk dan berpengaruh terhadap
keuntungan (Jati, 2010).
H. Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan
individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang
pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh
pasien dengan mempertimbangkan:
 Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada
 Metode sentralisasi atau desentralisasi
 Sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi

a. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Inap


Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien
rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi
dengan system persediaan lengkap di ruangan, sistem resep perorangan, sistem unit dosis.
b. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien
rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi
dengan system resep perorangan oleh Apotik Rumah Sakit.
c. Sistem pelayanan distribusi :
1. Sistem persediaan lengkap di ruangan
 Pendistribusian perbekalan farmasi untuk persediaan di ruang rawat merupakan
tanggung jawab perawat ruangan.
 Setiap ruang rawat harus mempunyai penanggung jawab obat.
 Perbekalan yang disimpan tidak dalam jumlah besar dan dapat dikontrol secara
berkala oleh petugas farmasi.
2. Sistem resep perorangan
Pendistribusian perbekalan farmasi resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap
melalui Instalasi Farmasi.
3. Sistem unit dosis
Pendistribusian obat-obatan melalui resep perorangan yang disiapkan, diberikan/
digunakan dan dibayar dalam unit dosis tunggal atau ganda, yang berisi obat dalam jumlah
yang telah ditetapkan atau jumlah yang cukup untuk penggunaan satu kali dosis biasa.
Kegiatan pelayanan distribusi diselenggarakan pada:
a. Apotik rumah sakit dengan sistem resep perorangan
b. Satelit farmasi dengan sistem dosis unit
c. Ruang perawat dengan sistem persediaan di ruangan
Beberapa evaluasi yang digunakan dalam pelayanan distribusi obat adalah
(Pudjaningsih, 1996):
1. Rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep sampai ke tangan pasien
Bertujuan untuk mengetahui tingkat kecepatan pelayanan apotek rumah sakit.
2. Persentase obat yang diserahkan
Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan IFRS menyediakan obat yang
diresepkan.
3. Persentase obat yang diberi label dengan benar
Bertujuan untuk mengetahui penguasaan peracik (dispenser) tentang informasi pokok yang
harus ditulis dalam etiket.

I. Penarikan dan Penanganan Obat Kadaluarsa


Obat kadaluarsa adalah obat jadi yang berasal dari produksi pabrik obat yang telah habis
masa berlaku (batas waktu pemakaiannya) atau dikenal dengan sudah ED (expired date).
Pencantuman tanda kadaluarsa bisa dicetak dengan tulisan susah untuk dihapus. Obat
kadaluarsa kadang-kadang kalau dilihat dari luar secara organoleptik tampak masih kondisi baik
kemasannya maupun obatnya sendiri. Namun bila diperiksa secara laboratoris kemungkinan
besar sudah di bawah persyaratan kadar Farmakope, dan hasil peruraian obat (degradan) akan
bertambah. Karena kadar zat aktif sangat menurun maka kemungkinan untuk sembuhnya
penyakit menjadi lebih lama lagi.
Prosedur tentang Penanganan Obat Rusak atau Kadaluarsa
 Mengidentifikasikan obat yang sudah rusak atau kadaluarsa.
 Memisahkan obat rusak atau kadaluarsa dan di simpan pada terpisah dari penyimpanan obat
lainnya.
 Membuat catatan nama, no. batch, jumlah dan tanggal kadaluarsa.
 Melaporkan dan mengirim obat tersebut ke Instalasi Farmasi.
 Mendokumentasikan pencatatan tersebut.

J. Pemusnahan Resep
Dilakukan selama 4 tahun sekali, setelah dimusnahkan dibuat berita acara pemusnahan.
Dilaporkan ke kantor dinas kesehatan, dan ke kepala balai besar pemeriksaan obat dan
makanan serta kepada kepala dinas kesehatan provinsi.
Tata Cara Pemusnahan :
 Resep Narkotika dihitung lembaranya
 Resep lainya ditimbang
 Resep dihancurkan dengan mesin penghancur, dikubur, atau dibakar.

K. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan merupakan serangkaian kegiatan dalam rangka penata usahaan
obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan maupun
yang digunakan di unit-unit pelayanan di Rumah Sakit.

L. Stelling

Stelling adalah kegiatan mencatat dan menyesuaikan data di kartu stock dengan keadan
sebenarnya. ini berfungsi untuk mengetahui persediaan obat agar tidak terjadi kekosongan.
Kegiatan ini harus kita lakukan setiap mengambil obat atau pun memasukan obat ke dalam
tempatnya . dengan kegiatan ini pula apoteker dapat mengevaluasi tingkat perputaran obat
tersebut.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PETUGAS YANG BERHAK MENULISKAN RESEP

RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, Dokter gigi atau dokter hewan
kepada apoteker untuk membuat dan memberikan obat kepada pasien.
2. Untuk meningkatkan mutu dan keamanan pelayanan farmasi, khususnya dalam
pemberian obat kepada pasien baik di depo farmasi rawat jalan maupun depo
farmasi rawat inap, maka Rumah Sakit bertanggung jawab untuk mengidentifikasi
petugas yang berkompeten atau berwenang dan juga yang diijinkan dengan lisensi,
sertifikat, hukum atau peraturan untuk menyerahkan obat.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada point 2 diatas maka Rumah Sakit perlu
menerbitkan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit tentang petugas yang berhak
memberikan obat kepada pasien.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
4. Undang-Undang RI Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Petugas Yang Berhak Menuliskan Resep RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Petugas yang menuliskan resep adalah dokter, dokter gigi yang berkompeten
dan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktek (SIP).
2. Perawat dan bidan diijinkan atau diperbolehkan untuk menuliskan resep yang
berupa alat kesehatan dan cairan infus dasar.
3. Daftar nama petugas yang berkompeten dalam menuliskan resep terlampir dalam
surat keputusan ini.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan


6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PEMBENTUKAN KOMITE FARMASI DAN TERAPI

RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Bahwa dalam rangka meningkatkan mutu Rumah Sakit dan melaksanakan Visi dan
Misi Rumah Sakit , maka dipandang perlu untuk dibentuk Komite Farmasi dan
Terapi di Rumah Sakit 
2. Bahwa dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, perlu ditetapkan dengan surat
keputusan.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Peraturan Presiden RI No. 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah
Sakit.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 631 tahun 2015 tentang Pedoman
Peraturan Internal Staf Medis di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Pembentukan Komite Farmasi Dan Terapi RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Membentuk Komite Farmasi dan Terapi di Rumah Sakit sebagaimana terlampir.


2. Semua pihak yang terkait dalam Komite Farmasi dan Terapi Rumah Sakit
tersebut wajib melaksanakannya dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab.
3. Komite Farmasi dan Terapi Rumah Sakit , mempunyai tugas pokok sebagai
berikut:
 Menyusun program kerja tentang farmasi dan terapi di RS. .
 Melaksanakan usaha – usaha peningkatan mutu pelayanan farmasi dan
terapi di RS. 
 Melaporkan hasil kegiatan Komite Farmasi dan Terapi kepada Wadir.
Pelayanan & Medis.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
 

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
LAMPIRAN SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : …./RSUSY/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

Pengertian

Komite Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para
staff medis dengan farmasi sehingga anggotanya terdiri dari para dokter yang mewakili
spesialisasi – spesiliasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari farmasi rumah sakit,
serta tenaga kesehatan lainnya.
Ketua komite farmasi dan terapi dipilih dari dokter yang ada jika ada ahli Farmakologi klinik
maka sebagai ketua. Sekretaris Apoteker dari IFRS. Mengadakan rapat secara teratur
sedikitnya 2 (dua) bulan sekali. Untuk RS besar 1(satu) bulan sekali.

1. Tujuan
Menerbitkan kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya.
Melengkapi staff fungsional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang
berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan.

2. Kebijakan
a. Mengatur penggunaan obat dirumah sakit sesuai dengan peraturan yang berlaku.
b. Memberikan rekomendasi pada pimpinan Rumah Sakit untuk mencapai budaya
pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional.
c. Khusus untuk pasien kelas tiga agar menggunakan obat generik.

3. Landasan Hukum
a. KEPMENKES no. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang standar pelayanan farmasi.
b. Peraturan Presiden RI no 77 tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit.
c. KEPMENKES no. 631/Menkes/SK/IV/2015 tentang pedoman peraturan internal staff
medis di rumah sakit.

4. Kewajiban Komite Farmasi dan Terapi


a. Memberikan rekomendasi pada pimpinan rumah sakit untuk mencapai budaya
pengelolaan dan pengunaan obat secara rasional.
b. Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah sakit,
penggunaan obat antibiotik dan lain - lain.
c. Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat terhadap
pihak – pihak yang terkait.
d. Melaksanakan pengkaijan pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan umpan
balik atas hasil pengkajian tersebut.

5. Pedoman Pembuatan Formularium


a. Membuat Formularium di rumah sakit berdasarkan efek terapi keamanan serta harga
obat dan juga harus meminimalisasi duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk
yang sama.
b. Mengajukan Formularium kepada Wadir Pelayanan.
c. Mengevaluasi untuk produk baru dan merevisi formularium tiap 3 tahun sekali.
d. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan –
kebijakan dan peraturan – peraturan mengenai obat dirumah sakit sesuai peraturan yang
berlaku.
e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat dirumah sakit dengan mengkaji Medical
Record dibandigkan dengan standar diagnosa dan terapi (tinjauan ini dimaksud untuk
meningkatkan secara terus menerus penggunaan secara rasional).
f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.
g. Menyebar luaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan
perawat.

6. Struktur Organisasi Komite Farmasi dan Terapi

Ketua : 
Wakil Ketua :
Sekretaris : 

Anggota :

7. Fungsi dan Ruang Lingkup


a. Mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan merevisinya. Pemilihan obat untuk
dimasukkan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara subjektif,
terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi
dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama.
b. Komite Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak produk
obat baru atau dosis obat yang disusulkan oleh anggota staf medis.
c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di Rumah Sakit
d. Membantu instalasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan – kebijakan
dan peraturan – peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan
yang berlaku secara lokal maupun nasional.
e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan mengkaji medical
record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi. Tinjauan ini dimaksudkan
untuk meningkatkan secara terus – menerus penggunaan obat secara nasional.
f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.
g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan
perawat.

8. Tugas Apoteker Dalam Komite Farmasi dan Terapi


a. Sebagai Sekretaris.
b. Menetapkan jadwal pertemuan.
c. Mengajukan / menyusun acara yang akan dibahas dalam pertemuan.
d. Menyiapkan dan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk pembahasan dalam
pertemuan.
e. Mencatat semua hasil keputusan dalam pertemuan dan melaporkan kepada Wadir
Pelayanan Medis.
f. Menyebarluaskan keputusan yang sudah disetujui oleh Wadir Pelayanan Medis kepada
seluruh pihak yang terkait.
g. Melaksanakan keputusan – keputusan yang sudah disepakati dalam pertemuan.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PETUGAS YANG BERWENANG MEMBERIKAN OBAT

RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Bahwa untuk mendapatkan pelayanan kefarmasian yang bermutu, berkualitas dan


mempertimbangkan keselamatan pasien di Rumah Sakit diperlukan suatu
Pedoman Penyerahan Obat.
2. Untuk meningkatkan mutu dan keamanan pelayanan farmasi, khususnya dalam
pemberian obat kepada pasien baik di rawat jalan maupun rawat inap, maka
Rumah Sakit bertanggung jawab untuk mengidentifikasi petugas yang
berkompeten atau berwenang dan juga yang diijinkan dengan lisensi, sertifikat,
hukum atau peraturan untuk menyerahkan obat.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada point 2 diatas maka Rumah Sakit perlu
menerbitkan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit tentang petugas yang berhak
memberikan obat kepada pasien.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Petugas Yang Berwenang Memberikan Obat RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Petugas yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah apoteker, Tenaga
Teknis Kefarmasian (TTK) dan perawat.
2. Apoteker yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah Apoteker yang
berkompeten dan memiliki Surat Tanda Registrasi apoteker (STRA) dan Surat Ijin
Praktek Apoteker (SIPA).
3. Apabila Apoteker berhalangan hadir atau tidak ada di tempat maka obat diberikan
oleh TTK yang berkompeten terlatih dan memiliki Surat Tanda Registrasi Teknis
kefarmasian (STRTTK) dan Surat Ijin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian
(SIKTTK).
4. Perawat yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah perawat yang
berkompeten dan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR)
5. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
6. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan


6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : 314//Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016

PETUGAS YANG BERWENANG MEMBERIKAN OBAT


1. Standar Pelayanan Kefarmasian di RS meliputi standar:
a. Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. Pelayanan farmasi klinik
2. Penyelengaraan pelayanan kefarmasian di RS dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker
sebagai penanggung jawab, yang dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian
3. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan
sumpah jabatan Apoteker.
4. Bagi tenaga Apoteker wajib memiliki:
a. Ijazah Apoteker
b. Memiliki sertifikat kompetensi
c. Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah /janji Apoteker
d. Memiliki Surat tanda registrasi Apoteker (STRA)
e. Memliki Surat Ijin Praktek Apoteker (SIPA)
5. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan
Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
6. Bagi Tenaga Teknis Kefarmasian wajib memiliki:
a. Ijazah sesuai pendidikannya
b. Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah /janji Ahli Madya Farmasi
c. Memiliki Surat tanda registrasi tenaga teknis kefarmasian (STRTTK)
d. Memliki Surat Ijin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK)
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang pelayanan
evaluasi penggunaan obat.
2. Bahwa untuk memantau penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan
untuk menjamin obat obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan
terjangkau oleh pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Peraturan Direktur tentang Pelayanan Informasi obat oleh IFRS Rumah
Sakit sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah
Sakit 

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan
Pasien.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Evaluasi Penggunaan Obat RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN PELAYANAN


EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT .
2. Kebijakan Pelayanan Informasi Obat Rumah Sakit sebagaimana tercantum
dalam lampiran Peraturan ini.
3. Pelayanan evaluasi penggunaan obat di rumah sakit dilaksanakan oleh IFRS
Rumah Sakit.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1
tahun sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsi

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


Nomor : 338/RSUSY/Dir-SK/XII/2018
Tanggal :

KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT


RUMAH SAKIT 

1. Definisi
Program evaluasi penggunaan obat (EPO) di rumah sakit adalah suatu proses jaminan
mutu yang terstruktur, dilaksanakan terus-menerus, dan diotorisasi rumah sakit, ditujukan untuk
memastikan bahwa obat-obatan digunakan dengan aman, tepat, dan efektif.
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, penggunaan obat yang ekonomis harus juga
diberikan prioritas tinggi dan karena itu, menjadi suatu komponen dari definisi ini. Definisi
program EPO tersebut di atas difokuskan pada penggunaan obat secara kualitatif.
Sasaran EPO secara umum adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan Pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus menerus
2. Meningkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat
3. Mengidentifikasi bidang yang perlu untuk materi edukasi berkelanjutan
4. Meningkatkan kemitraan antar pribadi professional pelayanan kesehatan
5. Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan
6. Mengurangi resiko tuntutan hukum pada rumah sakit
7. Mengurangi biaya rumah sakit dan perawatan pasien sebagai akibat dosis akurat, efek
samping yang lebih sedikit, dan waktu hospitalisasi yang lebih singkat.

Jaminan mutu mendorong suatu perspektif solusi masalah untuk meningkatkan pelayanan
pasien. Untuk solusi permasalahan yang dihadapi sangatlah penting, unsur-unsur dasar berikut
yang harus diperhatikan:
1. Kriteria / standar penggunaan obat, dalam penggunaan obat harus yang dapat
diukur (standar) yang menguraikan penggunan obat yang tepat.
2. Mengidentifikasi masalah penting dan yang mungkin, memantau dan menganalisis
penggunaan obat secara terus menerus, direncanakan secara sistematik untuk
mengidentifikasi masalah nyata atau masalah yang mungkin. Secara ideal, kegiatan ini
sebaiknya diadakan secara prospektif.
3. Menetapkan prioritas untuk menginvestigasi dan solusi masalah.
4. Mengkaji secara objektif, penyebab, dan lingkup masalah dengan menggunakan

kriteria yang absah secara klinik


Solusi masalah.
Mencanangkan dan menerapkan tindakan untuk memperbaiki atau meniadakan
masalah.

5. Memantau solusi masalah dan keefektifan.


8. Mendokumentasi serta melaporkan secara terjadwal temuan, rekomendasi, tindakan yang
diambil, dan hasilnya. Tindakan yang diambil dapat berupa pengaturan atau edukasi yang cocok
dengan keadaan dan kebijakan rumah sakit.

2. Standar untuk Melakukan EPO


Pelaksana Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
EPO dilakukan oleh staf medik sebagai suatu proses yang terus-menerus, terencana dan
sistematik, berbasis kriteria untuk memantau dan mengevaluasi penggunaan obat profilaksis,
terapi, dan empirik untuk membantu memastikan bahwa obat-obat tersebut diberikan dengan
tepat, aman, dan efektif. Proses ini mencakup pengumpulan dan pengkajian rutin informasi,
untuk mengidentifikasi kesempatan menyempurnakan penggunaan obat, dan untuk mengatasi
masalah dalam penggunaannya.
Obat yang Dievaluasi
Pemantauan dan evaluasi obat terus – menerus yang diseleksi berdasarkan satu atau lebih
alasan berikut:
1. Didasarkan pada pengalaman klinik, diketahui dan dicurigai bahwa obat berinteraksi
dengan obat lain dalam suatu cara yang menimbulkan suatu resiko kesehatn yang
signifikan.
2. Obat digunakan dalam pengobatan berbagai reaksi, disebabkan umur,
ketidakmampuan, atau karakteristik metabolik yang unik
3. Obat telah ditetapkan melalui program pengendalian infeksi rumah sakit atau kegiantan
jaminan mutu lain, untuk memantau, mengevaluasi.
4. Obat adalah salah satu yang paling sering ditulis.
Proses untuk Memantau dan Mengevaluasi Penggunaan Obat
1. Dilakukan oleh staf medik dan bekerja sama dengan IFRS, bagian keperawatan, staf
manajemen, administratif, bagian lain/pelayanan, dan berbagai individu.
2. Didasarkan pada penggunaan kriteria objektif yang merefleksikan pengetahuan mutakhir,
pengalaman klinik, dan pustaka yang relevan.
3. Dapat mencakup penggunaan mekanisme penapisan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi
lebih intensif berbagai masalah atau kesempatan untuk penyempurnaan penggunaan suatu
obat atau golongan obat tertentu.

3. Kerangka untuk EPO


Kerja sama antara dokter dan apoteker sangat diperlukan untuk memastikan penggunaan obat
yang optimal. Untuk memberi kewenangan dan struktur pada suatu program EPO, tanggung
jawab untuk melakukan proses EPO secara khas didelegasikan pada suatu komite dari staf
medik. Komite/panitia yang dapat melakukan fungsi ini diuraikan dibawah ini.
Komite Farmasi dan Terapi
Komite ini bertanggung jawab untuk mengatur semua aspek dari siklus obat dalam rumah sakit,
mulai dari pengadaan sampai ke evaluasi, dan karena susunan panitia ini terdiri atas gabungan
dari profesional pelayanan kesehatan, panitia ini sering ditunjuk bertanggung jawab untuk
memimpin EPO. Dalam beberapa rumah sakit, tanggung jawab ini didelegasikan pada suatu
komite dari KFT.
Panitia Pengendalian Infeksi
Fokus dari PPI ini adalah surveilan dan pengendalian infeksi. Panitia ini kadang-kadang diberi
tanggung jawab uintuk mengevaluasi penggunaan obat (EPO) antibiotika. Karena lingkup EPO
mencakup semua kategori obat adalah tidak tepat untuk memisahkan EPO antibiotika dari
kegiatan EPO lainnya.
Panitia Staf Medik Fungsional (SMF)
Beberapa rumah sakit memilih bekerja melalui panitia SMF yang ada (misalnya, SMF pediatrik,
bedah, penyakit dalam, dll) dalam pelaksanaan EPO.
Panitia EPO
Beberapa rumah sakit membentuk suatu panitia khusus dengan tanggung jawab khusus untuk
EPO. Keanggotaan dan hubungan pelaporan dari panitia harus diresmikan (diformalkan) dalam
struktur organisasi rumah sakit.
Panitia Audit Medik (PAM)
Kewenangan dan akuntabilitas untuk mengevaluasi pelayanan medik sering didelegasikan pada
suatu PAM, suatu panitia tetap dari staf medik terorganisasi. Pengkajian pelayanan medik oleh
berbagai dokter lain, pada umumnya disebut “pengkajian kelompok ahli yang sama” (Peer
Review). Direkomendasikan agar perwalian profesi kesehatan lainnya termasuk apoteker,
diangkat dalam panitia ini.
Panitia Jaminan Mutu
Untuk memadukan semua proses jaminan mutu yang terjadi di seluruh rumah sakit, kebanyakan
rumah sakit mempunyai Panitia Jaminan Mutu sentral. Panitia ini jarang berpartisipasi langsung
dalam pengkajian masalah dan fase tindakan EPO, tetapi dapat mengatur keefektifan program.
Tidak ada suatu cara tunggal yang lebih diinginkan dari pengorganisasian kegiatan EPO.
Setiap rumah sakit wajib mendesain suatu sistem yang dapat bekerja paling baik dengan
gabunagn khas dari personel, kebijakan, dan protokol. Harus diputuskan individu atau kelompok
yang dapat merencanakan paling efektif untuk penggunaan obat yang optimal,
mengidentifikasikan masalah yang berkaitan dengan obat, menganalisis data,
merekomendasikan tindakan, dan solusi masalah berkenaan penggunaan obat. Tentu saja,
seorang anggota penting dari EPO adalah seorang apoteker yang komunikatif dan bertanggung
jawab.
4. Pelaksanaan EPO
EPO dapat dengan mudah divisualisasikan sebagai kegiatan jaminan mutu. Penetapan dan
pemeliharaan suatu program EPO sangat rumit. Walaupun pengembangan dari berbagai
langkah tertentu dapat berubah-ubah, pendekatan berikut dapat membantu mengkonsepsikan
dan melakukan EPO sebagai suatu kegiatan jaminan mutu.
1. Membentuk tim EPO dan menunjuk penanggung jawab
2. Mengkaji data pola penggunaan obat secara menyeluruh (secara kuantitatif)
3. Mengidentifikasi obat dan golongan obat-obat tertentu untuk dipantau dan dievaluasi
4. Mengembangkan kriteria penggunaan obat (KPO)
5. Mengumpulkan dan mengorganisasikan data
6. Mengevaluasi penggunaan obat dengan mengacu pada KPO
7. Mengambil tindakan untuk solusi masalah atau menyempurnakan penggunaan obat
8. Mengkaji keefektifan tindakan yang diambil dan membuktikan penyempurnaan.
9. Mengkomunikasikan informasi kepada individu dan kelompok yang tepat di dalam rumah
sakit.

5. Desain Studi EPO


Evaluasi retrospektif melakukan evaluasi penggunaan obat setelah dikonsumsi; secara khas,
evaluasi retrospektif dilakukan setelah seorang pasien telah menyelesaikan suatu rangkaian
terapi, dan setelah dibebaskan dari rumah sakit. Pada umumnya menggunakan rekam medic
sebagai suatu sumber utama karena rekaman ini adalah dokumentasi gabungan pelayanan
yang dialami oleh pasien, termasuk hasil berikutnya.
Pengkajian konkuren adalah suatu pengkajian kontemporer atau perawatan sekarang yang
sedang diberikan kepada pasien. Suatu evaluasi konkuren memberi peluang untuk melakukan
tindakan perbaikan ketika pasien masih tinggal dalam rumah sakit.
Evaluasi prospektif adalah suatu evaluasi dengan maksud mungkin untuk pelayanan yang akan
datang dan direncanakan bagi pasien. Evaluasi prospektif mempunyai keuntungan untuk
mengubah terapi obat sebelum pasien menerimanya. Suatu contoh yang baik dari proses
evaluasi prospektif adalah suatu protokol atau criteria tertulis tertentu untuk penggunaan suatu
obat tertentu. Evaluasi ini menyatakan secara tidak langsung mengevaluasi sebelum penulisan,
dispensing, atau sebelum pemberian obat, dan mengantisipasi hasil dari tindakan itu.
Mengambil tindakan untuk solusi masalah atau menyempurnakan penggunaan obat
Tindak lanjut dari PFT
Suatu mekanisme sederhana untuk memulai tindakan perbaikan adalah suatu ketua PFT
kepada ketua SMF atau praktisi individu. Adapun surat itu
1. Harus sangat spesifik, harus menidentifikasikan kasus atau data tertentu yang
terhadapnya tindakan perbaikan dianjurkan;
2. Dengan jelas menyatakan maksud pelaksanaan EPO dan mengapa itu penting bagi
rumah sakt dan bagi staf medic;
3. Harus spedifiknpada rencana tindakan perbaikan, yaitu: Siapa yang menerapkan
perubahan? Apa sebenarnya yang diubah, dan bagaimana itu diselesaikan?;
4. Dalam beberapa rumah sakit, ketua/kepala tiap SMF yang terlibat kasus dan gagal
memenuhi kriteria penggunaan obat, diminta membicarakan kasus tertentu dalam
kegiatan jaminan mutu SMF bulanan;
5. PFT menganjurkan dalam suratnya, bahwa kasus tertentu ini dikaji dalam pertemuan
SMF dan bahwa kepala SMF dapat mengambil tindakan disiplin atau edukasi yang
mungkin perlu.
Tindakan Edukasi
Apoteker dapat memainkan peran penting dalam pengadaan edukasi berkelanjutan melalui
seminar, surat berita, diskusi pada pertemuan laporan pagi, penyajian formal pada kunjungan
besar ke ruang pasien, dan penyajian informal pada kunjungan pelayanan pasien harian. IFRS
dapat memilih sasaran tertentu misalnya suatu obat tertentu, golongan obat tertentu, atau dokter
spesialis tetentu, SMF atau pelayanan tertentu.

RENCANA TINDAKAN PERBAIKAN


Kerangka waktu untuk tindakan
Tindakan perbaikan pada taraf tertentu, bergantung pada kerangka waktu yang dipilih untuk
mengkaji masalah dalam terapi obat.
Strategi untuk bertindak
Berbagai metode mungkin berguna dalam rencana tindakan perbaikan yaitu
 Edukasi
Salah satu rencana tindakan yang paling umum dalam jaminan mutu adalah penyajian
suatu program edukasi berkelanjutan, difokuskan pada masalah yang diidentifikasi.
 Pembatasan Penggunaan Obat
Rencana tindakan yang lain untuk mempengaruhi kepatuhan pada criteria penggunaan
obat adalah pembatasan penggunaan obat. Hal ini merupakan rencana tindakan biasa,
untuk menyempurnakan penggunaan antibiotik dalam rumah sakit. Sistem pengendalian
demikian dapat mengubah praktik penulisan obat
 Perubahan sistem
1. Perpanjangan IFRS selama 24 jam
2. Mengadakan laboratorium farmakokinetik klinik, atau minimal adanya seorang
apoteker spesialis farmakokinetik klinik yang aktif dalam pelayanan konsultasi
farmakokinetik; dan
3. Mengembangkan, menyempurnakan atau merevisi kebijakan dan prosedur tertentu;
4. Penerapan pelayanan farmasi klinik untuk mendukung penggunaan obat yang bermutu,
juga dapat merupakan tindakan yang tepat
 Intervensi prospektif atau konkuren
Strategi lain untuk tindakan adalah mengidentifikasi dan memperbaiki penyimpangan
penggunaan obat yang optimal secara prospektif atau secara konkuren. Apotek klinik secara
khas memenuhi syarat untuk melakukan pengkajian prospektif dan konkuren. Proses pengkajian
prospektif dan konkuren menggunakan kriteria penggunaan obat tertulis yang secara klinik
abash untuk mengkaji regimen terapi.
 Pengkajian tindakan yang diambil dan penyempurnaan dokumen
Setelah tindakan koreksi dilakukan untuk solusi masalah atau untuk penyempurnaan
penggunaan obat, suatu mekanisme harus ada untuk mengkaji keefektifan tindakan koreksi
yang dilakukan sehingga benar-benar mengubah terapi sebagaimana dimaksudkan. Hal ini
memerlukan suatu reevaluasi obat atau golongan obat yang sebelumnya telah dievaluasi. Jika
tidak ada masalah yang terdeteksi dengan suatu obat tertentu, evaluasi obat tersebut dhentikan
dari proses pengkajian dan diganti dengan obat sasaran lainnya. Obat bermasalah tetap dalam
dalam daftar sasaran sampai masalah diatasi.
 Mengkomunikasikan informasi relevan kepada kepada individu yang tepat
Komunikasi yang efektif adalah penting untuk suatu program EPO yang berhasil. Suatu rencana
dan jenis informasi yangt jelas, harus diuraikan secara tepat kepada individu/kelompok yang
menerima. Semua hasil program EPO harus dikomunikasikan melalui berbagai saluran yang
ditetapkan oleh kebijakan rumah sakit.
KESULITAN YANG MUNGKIN
 Yang paling sulit adalah apabila program tidak mempunyai otoritas. Suatu program EPO
yang bekerja bebas (independen) dari staf medik, kemungkinan besar akan tidak efektif. Staf
medik harus terlibat agar program mempunyai leitimasi (hak kekuasaan).
 Kekurangan dalam pengorganisasian terbukti mengganggu program. Tanpa suatu ketetapan
yang jelas peranan berbagai individu program akan kacau. Kebijakan dan prosedur harus
terdokumentasi, agar proses organisasi terdokumentasi secara jelas dan tidak ada kebingungan
tentang siapa yang mempunyai tanggung jawab apa
 Pengoperasian program EPO dengan komunikasi yang buruk akan menyebabkan program
gagal. Adalah penting bahwa setiap orang yang terlibat, mengerti proses EPO dan itu adalah
penting untuk rumah sakit, staf medik dan IFRS. Seorang coordinator untuk kegiatan EPO harus
ditunjuk dan bertanggung jawab untuk semua komunikasi. Diskusi tetap tentang kegiatan EPO
adalah penting pada tingkat PFT.
 Dokumentasi yang buruk dapat merusak program EPO. Semua studi EPO harus
terdokumentasi dengan baik, termasuk rekomendasi yang dibuat, tindakan tindakan tindak lanjut
yang diterapkan, dan evaluasi tindakan perbaikan yang dilakukan. Dokumentasi harus segera
dapat ditelusuri.
 Tidak melibatkan semua apoteker rumah sakit dalam kegiatan EPO adalah suatu kesalahan.
Apoteker adalah professional yang logis dan tepat untuk melakukan suatu evaluasi awal dari
terapi obat dalam struktur program EPO.

TANGGUNG JAWAB APOTEKER DALAM PROGRAM EPO


 Bekerja sama dengan staf medis dan dengan yang lain, mengadakan koordinasi harian program
EPO
 Menyediakan data kuantitatif penggunaan obat untuk menetapkan obat yang akan dievaluasi
(data konsumtif terakhir)
 Menyiapkan konsep kriteria penggunaan obat/standar dengan bekerja sama dengan staf medik
dan lain-lain untuk disetujui oleh Tim EPO, PFT, dan ketua Komite Medik.
 Mengumpulkan data penggunaan obat yang akan dievaluasi dan mengkaji order obat, profil
pengobatan oasien (P3), terhadap criteria penggunaan obat yang telah ditetapkan.
 Menginterpretasikan dan melaporkan temuan evaluasi kepada Tim EPO, dan memformulasikan
rekomendasi tindakan perbaikan yang akan diusulkan Tim EPO ke pimpinan rumah sakit.
 Berpartisipasi dalam program tindakan perbaikan, misalnya dalam edukasi untuk memperbaiki
temuan evaluasi.
 Memantau keefektifan tindakan perbaikan dan membuat laporan tertulis tentang hasil
pemantauan tersebut.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENGADAAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit ,
maka diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi tentang Pengadaan
Perbekalan Farmasi.
2. Bahwa perbekalan farmasi harus dikelola dan menjadi tanggung jawab Instalasi
Farmasi.
3. Bahwa untuk menjamin mutu pelayanan rumah sakit maka perlu ditetapkan Surat
Keputusan Direktur tentang Pengadaan Perbekalan Farmasi.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004, tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Pengadaan Perbekalan Farmasi RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN PENGADAAN


PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT .
2. Pengadaan perbekalan farmasi dilakukan pembelian langsung ke distributor resmi.
3. Surat pesanan ditandatangani oleh Apoteker dan diketahui oleh Panitia Pengadaan dan
Direktur Rumah Sakit.
4. Panitia Pengadaan dan Penerimaan ditetapkan dengan SK Direktur.
5. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
6. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : 212/RSQ/Dir-SK/XII/2016
TANGGAL : 30 Desember 2016

PENGADAAN PERBEKALAN FARMASI


A. Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan
disetujui, melalui :
1. Pembelian :
 Secara tender (oleh Panitia Pembelian Barang Farmasi)
 Secara langsung dari pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan)
 Sumbangan/droping/hibah
Beberapa evaluasi yang digunakan dalam pengadaan obat adalah (Pudjaningsih, 1996):
1. Frekuensi pengadaan tiap item obat setiap tahunnya
 Digolongkan menjadi 3 kategori: rendah (<12), sedang (12-24), tinggi (>24)
 Banyaknya obat dengan frekuensi sedang dan tinggi → kemampuan IFRS
dalam merespon perubahan kebutuhan obat dan melakukan pembelian obat
dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan saat itu.
 Pengadaan obat yang berulang menunjukkan bahwa yang tersedia di IFRS
merupakan obat dengan perputaran cepat (fast moving).
 Banyaknya obat yang masuk kedalam jenis slow moving → kerugian bagi
rumah sakit.
2. Frekuensi kesalahan faktur
 Kriteria kesalahan faktur: adanya ketidakcocokan jenis obat, jumlah obat dalam
suatu item, atau jenis obat dalam faktur terhadap surat pesanan yang bersesuaian
 Penyebab:
a. Tidak ada stok, atau barang habis di PBF
b. Stok barang yang tidak sesuai
c. Reorder atau frekuensi pemesanan terlalu banyak
3. Frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang
disepakati
 Tingginya frekuensi tertundanya pembayaran menunjukkan kurang baiknya
manajemen keuangan pihak rumah sakit.
 Hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan pihak pemasok kepada rumah
sakit sehingga potensial menyebabkan ketidak lancaran suplai obat di
kemudian hari.

Pemasok Obat Untuk Instalasi Farmasi


Pemasok adalah suatu organisasi/lembaga yang menyediakan atau memasok produk
atau pelayanan kepada konsumen. Pemasok obat untuk rumah sakit pada umumnya adalah
Industri Farmasi atau Pedagang Besar Farmasi. Untuk memperoleh obat atau sediaan obat
yang bermutu baik, perlu dilakukan pemilihan pemasok obat yang baik dan produk obat yang
memenuhi semua persyaratan dan spesifikasi mutu. Jadi, salah satu komponen dari Praktek
Pengadaaan Obat Yang Baik (PPOB) ialah pemilihan pemasok yang memenuhi persyaratan.

Kriteria Umum Pemilihan Pemasok


IFRS harus menetapkan kriteria pemilihan pemasok sediaan farmasi untuk rumah sakit.
Kriteria pemilihan pemasok sediaan farmasi untuk rumah sakit adalah, tetapi tidak terbatas pada
hal berikut:
1. Telah memenuhi persyaratan hukum yang berlaku untuk melakukan produksi
dan penjualan (telah terdaftar).
2. Telah terakreditasi sesuai dengan persyaratan CPOB dan ISO 9000.
3. Mempunyai reputasi yang baik, artinya tidak pernah:
a. Melakukan hal-hal yang melanggar hukum yang berlaku
b. Menghasilkan/menjual produk obat yang tidak memenuhi syarat
c. Mempunyai sediaan obat yang ditarik dari peredaran karena mutu yang buruk
4. Selalu mampu dan dapat memenuhi kewajiban sebagi pemasok produk obat yang
selalu tersedia dan dengan mutu yang tertinggi, dengan harga yang terendah

Identifikasi Pemasok Sediaan Farmasi Yang Mungkin Untuk Rumah Sakit


IFRS harus melakukan proses untuk mengidentifikasi pemasok sediaan farmasi yang
mungkin. Proses itu mencakup, tetapi tidak terbatas hanya pada kombinasi dari berbagai
komponen berikut:
1. Mengevaluasi sistem mutu yang diterapkan pemasok, berdasarkan evaluasi
dokumen dan evaluasi di lapangan. Pemasok harus mengizinkan apoteker rumah
sakit untuk menginspeksi sistem mutu manufaktur dan pengendalian mutu.
2. Menganalisis informasi tentang unjuk kerja pemasok, dan harus dikembangkan
ketetapan serta kriteria operasional dan ditetapkan untuk mengakses kehandalan
pemasok dan menghindari subjektivitas. Kurangnya ketetapan serta kriteria untuk
menetapkan pemasok yang ditolak menimbulkan keraguan pada kejujuran proses
pengadaan.
3. Untuk pemasok yang baru, adalah penting menginspeksi secara visual sampel
sediaan obat, kemasan dan penandaan.
4. Menguji mutu sediaan obat di laboratorium IFRS (jika ada), mengkaji hasil uji
laboratorium pihak ketiga yang telah diakreditasi, atau hasil uji laboratorium pemasok
yang telah diakreditasi.
5. Mengkaji pengalaman terhadap sediaan pemasok yang dipublikasikan oleh
pengguna lain atau informasi dari berbagai rumah sakit lain.
6. Mengevaluasi riwayat mutu, sediaan farmasi yang lampau yang disuplai oleh
pemasok
7. Mengkaji mutu produk, harga, dan tanggapan pemasok jika ada masalah.
8. Mengaudit sistem manajemen mutu pemasok dan mengevaluasi kemampuan
yang mungkin untuk mengadakan sediaan obat yang diperlukan secara efisien
dan dalam jadwal.
9. Mengkaji acuan tentang kepuasan konsumen (dokter dan penderita).
10. Mengevaluasi pengalaman yang relevan dengan pemasok.
11. Mengakses finansial guna memastikan kelangsungan hidup pemasok dalam
seluruh periode suplai yang diharapkan.
12. Kemampuan layanan dan dukungan.
13. Kemampuan logistik termasuk lokasi dan sumber.

Hal Yang Perlu Disepakati Antara IFRS dan Pemasok


 Kesepakatan Tentang Jaminan Mutu Pasokan
IFRS harus mengadakan suatu kesepakatan yang jelas dengan pemasok mengenai
jaminan mutu terhadap produk yang dipasok. Satu atau lebih dari metode di bawah ini dapat
digunakan dalam kesepakatan jaminan mutu terhadap produk yang dipasok:
1. Mengandalkan sistem mutu pemasok dengan mengadakan audit dokumen mutu dan di
lapangan.
2. Penyertaan data inspeksi/pengujian yang ditetapkan dan rekaman pengendalian proses
dari pemasok.
3. Penerapan standar sistem mutu formal sesuai kontrak yang disetujui IFRS dan pemasok
(standar formal dapat ditetapkan oleh IFRS, yaitu SNI 19-9004-2001 dan SNI 19-9004-
2002).
4. Evaluasi secara berkala terhadap praktek pengendalian mutu pemasok oleh IFRS atau
oleh pihak ketiga.
5. Inspeksi/pengujian penerimaan lot dengan pengambilan contoh oleh pemasok.
6. Inspeksi penerimaan dan penyortiran oleh IFRS .

 Kesepakatan Mengenai Metode Verifikasi


Kesepakatan yang jelas harus diadakan oleh IFRS bersama pemasok mengenai metode
yang digunakan untuk memverifikasi kesesuaian terhadap persyaratan yang ditetapkan.
Kesepakatan tersebut, dapat mencakup pertukaran data inspeksi dan/atau pengujian, dengan
tujuan peningkatan mutu selanjutnya. Adanya kesepakatan tersebut dapat memperkecil
kesulitan dalam penafsirkan persyaratan, metode inspeksi, pengujian, atau pengambilan contoh.
 Kesepakatan Untuk Penyelesaian Perselisihan
Sistem dan prosedur harus ditetapkan IFRS bersama pemasok untuk penyelesaian
perselisihan yang berkaitan dengan mutu yang terjadi dikemudian hari.
Kewajiban Pemasok
Pemasok harus dapat memenuhi persyaratan dan/atau ketentuan tersebut di bawah ini:
Ketentuan Teknis
Ketentuan teknis mencakup:
1. Atas permintaan apoteker, pemasok harus memberikan:
a. Data pengendalian analitik
b. Data pengujian sterilitas
c. Data kesetaraan hayati
d. Uraian prosedur pengujian bahan mentah dan sediaan jadi
e. Informasi lain yang dapat menunjukkan mutu sediaan obat jadi tertentu. Data pengujian
dari laboratorium independen yang telah diakreditasi harus diberikan tanpa dibayar
2. Semua obat dan/atau sediaannya harus memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi IV
atau persyaratan lain yang ditetapkan oleh PFT dan IFRS.
3. Sedapat mungkin, semua sediaan obat tersedia dalam kemasan unit tunggal atau dosis unit atau
kemasan selama terapi.
4. Nama dan alamat manufaktur dari bentuk sediaan akhir dan pengemas atau distributor harus
tertera pada etiket sediaan.
5. Tanggal kedaluwarsa harus secara jelas tertera pada etiket kemasan.
6. Informasi terapi, biofarmasi, dan toksikologi harus tersedia untuk apoteker atas permintaan.
7. Materi edukasi untuk penderita dan staf, yang penting untuk penggunaan yang tepat dari sediaan
obat harus tersedia secara rutin.
8. Atas permintaan, pemasok harus memberikan bukti dari setiap pernyataan berkaitan dengan
kemanjuran, keamanan dan keunggulan produknya.
9. Atas permintaan, pemasok harus memberikan tanpa biaya, suatu kuantitas yang wajar dari
produknya yang memungkinkan apoteker untuk mengevaluasi sifat fisik, termasuk keelokan
farmasetik (penampilan dan ketidakadaan kerusakan atau cacat fisik) kemasan dan penandaan.
PROSEDUR PELAYANAN FARMASI

1. Pengertian
Pelayanan kefarnasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.

2. Tujuan pelayanan farmasi dengan SK Menkes Nomor 1333/menkes/SK/XII/1999 tentang standar


pelayanan rumah sakit.
 Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun
dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang
tersedia.
 Menyelenggarakan kegiatan pelayanan professional berdasarkan prosedur kefarmasian
dan etika profesi.
 Melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai obat.
 Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan aturan yang berlaku.
 Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi
pelayanan.
 Mengadalan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metode.

3. Indikator pelayanan farmasi


 Tidak adanya kejadian kesalahan pemberian obat.
 Waktu tunggu pelayanan obat jadi dan racikan.
 Kepuasan pelanggan.
 Penulisan resep sesuai formularium.

4. Standar pencapaian indicator


a. Waktu tunggu pelayanan
 Obat jadi adalah ≤ 15 menit
 Obat racikan adalah ≤ 45 menit
b. Tidak adanya kejadian kesalahan pemberian obat adalah 100%
c. Kepuasan pelanggan adalah ≥ 80%
d. Penulisan resep sesuai formularium adalah 100%.

5. Prosedur pelayanan
a. Pemilihan / seleksi
Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit,
identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan criteria pemilihan dengan
memprioritaskan ibat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar
obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan
Terapi untuk menentukan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian.

b. Perencanaan
Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi
yang seusai dengan kebutuhan dan anggaranm utnuk menghindari kekosongan ibat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain Konsumsi, Epidemiologi, Kombinasi
metode komsumsi dan Pedoman Perencanaan:
1. DOEN, Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, ketentuan
setempat yang berlaku.
2. Data catatan medic
3. Anggaran yang tersedia
4. Penetapan prrioritas
5. Siklus penyakit
6. Sisa persediaan
7. Data pemakaian periode yang lalu
8. Rencana pengembangan

c. Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan
disetujui, melalui:
1. Pembelian:
a. Secara tender (oleh panitia / unit layanan pengadaan)
b. Secara langsung dari pabrik/distributor.pedagang besar farmasi/rekanan.
2. Produksi / pembuatan sediaan farmasi

d. Pengemasan / Produksi
Merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk dan pengemasan kembali sediaan farmasi
steril atau nonsteril untuk memnuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakir.
Kriteria obat yang diproduksi:
1. Sediaan farmasi dengan formula khusus
2. Sediaan farmasi dengan harga murah
3. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil
4. Sediaan farmasi yang tidak tersedia dipasaran

e. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai
dengan aturan kefarmasian melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau
sumbangan.
Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi:
1. Pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa
2. Barang harus bersumber dari distribusi utama
3. Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS)
4. Khusus untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of origin
5. Expire date minimal 2 tahun

f. Penyimpanan
Merupakan kegiatan pengaturan perbakalan farmasi menurut persyaratan yang
ditetapkan:
1. Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya
2. Dibedakan menurut suhunya, kestabilannya
3. Mudah tidaknya meledak atau terbakar
4. Tahan/tidaknya terhadap cahaya disertai dengan system informasi yang selalu
menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan

g. Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan
individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang
pelayanan medis.
1. Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pasien rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan
dengan system persediaan life saving di ruangan dan system resep perorangan.
2. Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pasien rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dengan
system resep perorangan oleh apotik rumah sakit.
3. Pendistribusian perbekalan farmasi di luar jam kerja
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pasien di luar jam kerja yang diselenggarakan oleh:
a. Apotik rumah sakit yang dibuka 24 jam
b. Ruang rawat yang menyediakan perbekalan farmasi emergensi.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PERESEPAN, PEMESANAN DAN PENCATATAN OBAT

RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa pelaksanaan peresepan, pemesanan dan pencatatan obat dan data pasien
mengenai penggunaan untuk dilakukan oleh petugas IFRS.
2. Pelaksanaan peresepan, pemesanan dan pencatatan obat yang dilakukan bertujuan agar
penggunaan obat dengan memperhatikan keamanan penggunaan obat oleh pasien.
3. Pengelolaan obat dilakukan oleh petugas IFRS dan melakukan pendokumentasian
pemesanan dan penggunaan obat.
MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Peresepan, Pemesanan Dan Pencatatan Obat RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Pemesanan obat yang dilakukan di IFRS dengan sistem pemesanan reguler yang
menggunakan fasilitas media komunikasi.
2. Peresepan obat yang dilakukan oleh petugas IFRS sesuai dengan resep yang ditulis
oleh pihak penulis resep dan pengelolaan resep dilakukan oleh petugas IFRS.
3. Pencatatan obat yang tersedia dalam lemari penyimpanan dicatat dalam kartu stok dan
program komputer secara lengkap.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
 
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : ….//Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

KEBIJAKAN PEMESANAN OBAT, PENCATATAN OBAT

Pengadaan Perbekalan Farmasi


IFRS memperoleh obat atau perbekalan farmasi berasal dari Pedagang Besar Farmasi (PBF)
atau dari rumah sakit lain. Pedagang Besar Farmasi secara intensif mensuplai ketersediaan
obat, jarak pengirimannya memiliki waktu yang berbeda-beda, ada yang datang untuk
mensuplai setiap tiga kali perminggu, bahkan juga ada pengiriman datang setiap hari.

Waktu pengiriman barang berbeda-beda, ada yang sekarang pesan, besok barang dikirim,
adapula yang selang satu hari setelah pemesanan.Sistem pembayaran yang dilakukan terhadap
Pedagang Besar Farmasi (PBF) dapat dilakukan secara tunai ataupun kredit.

Pemesanan Obat
Pemesanan obat yang dilakukan di IFRS yaitu dengan system pemesanan regular (umum).
Oleh karena itu, surat pesanan yang digunakan adalah surat pesanan regular, atau bisa juga
menggunakan fasilitas media komunikasi.

Penerimaan Perbekalan Farmasi


Selang satu atau dua hari barang yang dipesan akan datang dan disertai dengan faktur
pembelian. Ketika barang datang, Apoteker/Asisten Apoteker harus segera mengecek faktur
dan surat pesanan serta memeriksa kesesuaian barang yang dipesan. Pengecekan barang
datang dilakukan dengan cara:

Mencocokan nama barang, nomor batch, jumlah barang, harga barang, expired date dengan
keterangan yang tertera pada surat pesanan dan faktur.
Setelah semua barang sesuai dengan pesanan maka faktur diparaf dan distempel. Namun
apabila terjadi ketidaksesuaian barang, maka pihak gudang farmasi meretur barang tersebut
disertai dengan bukti returnya.
Faktur asli diberikan kepada ke PBF, sedangkan copyannya disimpan sebagai arsip gudang
farmasi. Apabila pembayaran obat sudah lunas faktur asli yang berada di PBF diserahkan ke
gudang farmasi.

Penyimpanan Perbekalan Farmasi


Penyimpanan perbekalan farmasi di IFRS digolongkan berdasarkan :

1. Bentuk sediaan (tablet, sirup, drops, salep, dan bentuk sediaan lainnya) yang disusun
secara alfabetis.
2. Berdasarkan FIFO (First In First Out), yaitu obat-obat yang pertama masuk dan pertama
keluar dan FEFO (First Expired First Out), yaitu obat-obat yang kadaluarsanya cepat,
pertama keluar.
3. Berdasarkan sifat obatnya yang meliputi penyimpanan obat berdasarkan suhu yang telah
ditentukan.
4. Berdasarkan golongan obatnya, seperti untuk obat golongan bebas dan bebas terbatas
disimpan di etalase bagian depan (tidak apa-apa terlihat oleh konsumen), karena
golongan obat ini dijual secara bebas kepada pasien. Sementara untuk golongan obat
keras dan keras terbatas disimpan di etalase bagian belakang (tidak boleh terlihat oleh
konsumen), karena obat golongan ini tidak dijual secara bebas kepada pasien. Begitu
pula, untuk golongan obat psikotropika disimpan di suatu lemari yang terpisah dari obat-
obat lainnya.

Program Komputer (SIRS)


Fungsi dari program ini untuk mencatat barang yang masuk dan keluar yang ditulis perjenis
obat.

Pelayanan Perbekalan Farmasi


Bentuk atau system saluran distribusi perbekalan farmasi sesuai dengan kebijakan atau
peraturan seperti yang tercantum dalam undang-undang kesehatan.

Perbekalan Farmasi menurut Undang-Undang Kesehatan meliputi :

 Obat
 Bahan Baku
 Obat Tradisional (Obat asli Indonesia)
 Alat Kesehatan
 Kosmetik

Obat terdiri dari enam golongan yaitu :

 Obat Narkotik
 Obat Psikotropika
 Obat Keras
 Obat Obat Tertentu
 Obat Bebas Terbatas
 Obat Bebas
 Obat Prekusor

Pelayanan Resep Dokter


Resep dapat diartikan sebagai pernyataan tertulis dari seorang dokter. Resep harus tertera jelas
dan lengkap supaya tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien.
Ketidakjelasan/kesimpangsiuran pada resep harus segera dikonfirmasi pada dokter yang
menulis resep tersebut. Resep-resep dari dokter tersebut akan diarsipkan, kemudian arsip resep
tersebut disimpan selama 3 tahun di IFRS. Setelah 3 tahun resep itu akan dimusnahkan dengan
cara dibakar serta akan dibuat acara beritanya.
Namun ada pula pelayanan obat tanpa resep dokter, dimana konsumen langsung membeli obat
bebas atau bebas terbatas ke IFRS.

Pelayanan Informasi Obat


Di IFRS memberikan informasi obat berusaha secara detail, contohnya seperti menjelaskan
penggunaan obat tersebut dan memberitahukan fungsi obatnya.

pengelolaan Obat Psikotropika


Menurut Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1997 psikotropika adalah zat atau obat baik alamiyah
ataupun sintetis, bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
system syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada mental dan perilaku.
Obat psikotropika yang ada di IFRS, adalah antara lain :

1. Phenobarbital (Luminal) 30 mg
2. Analsik tablet
3. Diazepam 2 mg
4. Arkine tablet
5. Stesolid rektal 5 mg
6. Stesolid rektal 10 mg

Pemesanan obat psikotropika dapat dilakukan dengan menyertakan Surat Pesanan (SP) khusus
dan dipisahkan dari SP obat-obat lain. SP obat psikotropika ini dibuat rangkap tiga, hanya saja
pemesanan obat psikotropika dapat dipesan dari beberapa Pedagang Besar Farmasi (PBF)
tertentu.

Penyimpanan Obat Psikotropika


Dalam penyimpanan obat psikotropika ini diperlakukan secara khusus. Disimpan disuatu lemari
yang terpisah dengan obat keras lainnya.

Pelaporan Obat Psikotropika


Obat Psikotropika dalam hal kepemilikannya harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan (Dinkes)
Kabupaten. Di IFRS pelaporannya dilakukan tiap satu bulan sebelum tanggal 10. Laporan ini
ditanda tangani oleh Apoteker.

Pengelolaan Obat Rusak Dan Kadaluarsa


Untuk obat-obat yang mendekati kadaluarsa ataupun sudah kadaluarsa akan diretur
(dikembalikan) jika Pedagang Besar Farmasi (PBF) bersedia, tetapi dengan persyaratan
tertentu. Tetapi jika PBF tidak bersedia, maka obat-obatan tersebut akan dikumpulkan dan
dimusnahkan dengan cara tertentu, contohnya untuk sediaan obat yang berbentuk tablet, cara
pemusnahannya yaitu digerus terlebih dahulu, kemudian dikubur dengan tanah. Begitu pula,
sediaan obat yang sirup, cara pemusnahannya dibuang sirup tersebut ke tong sampah, baru
botol kosongnya dibuang. Dan akan dibuat acaranya.
Untuk meretur obat yang kadaluarsa biasanya PBF memberi persyaratan-persyaratan tertentu
seperti, obat-obat tersebut harus dalam keadaan utuh dan harus diretur tiga bulan sebelum
expired date.

 Administrasi IFRS
 Administrasi Pembukuan

Administrasi pembukuan ini berguna untuk mencatat seluruh kegiatan-kegiatan dan transaksi-
transaksi yang telah dilaksanakan. Di IFRS, buku-buku yang digunakan adalah sebagai berikut :

Laporan Penjualan
Laporan penjualan berfungsi untuk mencatat hasil dari penjualan, untuk mengetahui omset
penjualan yang digunakan sebagai dasar laporan keuangan di IFRS setiap bulannya ke WaDir
Keuangan.
 Buku Penerimaan Barang.
 Buku penerimaan barang dibuat untuk mencatat pembelian barang, retur penjualan.
 Buku Pencatatan Resep.
 Buku yang digunakan untuk mengarsipkan resep-resep yang ada di IFRS.
 Buku Pencatatan Psikotropika.
 Buku yang digunakan untuk mencatat pemasukkan dan pengeluaran obat psikotropika.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENGADAAN OBAT YANG TIDAK TERSEDIA DI

RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Bahwa dengan memperhatikan jenis pelayanan di Rumah Sakit dan untuk memenuhi
kebutuhan pasien, Instalasi Farmasi menetapkan obat-obat yang harus tersedia,
sehingga dapat memenuhi kebutuhan saat diresepkan atau dipesan oleh pembuat
resep di setiap unit pelayanan.
2. Bahwa ketersediaan obat dengan jumlah dan jenis yang cukup, sesuai dengan
kebutuhan Rumah Sakit harus diupayakan agar dapat memenuhi kebutuhan dan
meningkatkan pelayanan di Rumah Sakit.
3. Bahwa penetapan obat yang harus tersedia adalah suatu proses yang
mempertimbangkan kebutuhan dan keselamatan pasien dan faktor ekonomi.
4. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pelayanan, penggantian obat
yang tidak tersedia, dapat dilaksanakan bila obat pengganti telah mendapat persetujuan
dari pembuat resep.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Pengadaan Obat Yang Tidak Tersedia Di RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Ternate.

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :

1. Bila terjadi obat yang dibutuhkan tidak tersedia, maka petugas farmasi memberitahukan
kepada pembuat resep tentang kekurangan atau kekosongan obat yang diminta dan
saran substitusinya
2. Penggantian obat merek dagang dengan obat generik atau obat merek dagang lain
dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pembuat resep yang
dicatat/didokumentasikan sebagai bukti verifikasi bahwa benar penggantian obat telah
disetujui.
3. Bila penggantian obat yang tidak tersedia, tidak disetujui oleh pembuat resep maka
pengadaan obat sementara dapat dilakukan melalui apotik luar.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan


6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

LAMPIRAN SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : //Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

PENGADAAN OBAT YANG TIDAK TERSEDIA DI IFRS


Obat tidak tersedia adalah kondisi dimana obat yang diresepkan oleh dokter tidak tersedia di
rumah sakit dikarenakan stok kosong atau tidak masuk dalam formularium rumah sakit, maka
diberikan copy resep.

Copy Resep adalah salinan resep dokter karena:


1. Pasien minta dibuatkan salinan resep.
2. Pasien membeli sebagian.
3. Resep dengan tulisan iter dimana belum mengulang pembeliannya sesuai iter.
4. Sebagian obat tidak tersedia di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dimana atas permintaan
dokter dan pasien tidak boleh diganti.
5. Obat tidak dibeli pasien.

Pelayanan pembelian obat yang tidak tersedia di Instalasi Farmasi Rumah Sakit berlaku untuk
pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dimana obat tersebut:
1. Stok yang tersedia di RS habis/kosong.
2. Obat diluar formularium yang sangat dibutuhkan pasien dan tidak ada padanannya di
formulairum.
3. Obat tersebut bukan merupakan suplemen.

Prosedur:
1. Pembuatan Copy Resep harus terkendali dan ditujukan untuk kepentingan pasien.
2. Petugas harus menggali informasi pasien dan mampu memberi motivasi jika ada obat
yang tidak dibeli pasien atau dibeli sebagian.
3. Petugas wajib mencari alternatif pengganti (substitusi) jika dokter menulis resep obat
non-formularium atau stok farmasi kosong dengan memperhatikan aspek farmasetik dan
klinis dari sediaan obat tersebut
4. Apoteker diperbolehkan mengganti resep obat-obatan dan atau alat kesehatan dari
dokter tanpa harus melakukan konfirmasi sejauh kandungan dan kegunaan obat-obatan
dan atau alat kesehatan yang diresepkan tersebut sebanding secara kelas farmakologi
dan atau nama generic
5. Penulisan Copy Resep harus memperhatikan:
a. Penulisan nama obat harus sesuai ISO/MIMS
b. Jika tidak ada di kedua buku tersebut wajib konfirmasi kepada dokter penulis resep
tentang zat aktif obat tersebut kemudian menuliskan zat aktif obat di sebelah tulisan
brand name nya dalam tanda kurung. Bila kekuatan sediaan dari suatu produk obat
lebih dari satu maka dosis yang dikehendaki harus ditulis dengan jelas sesuai dengan
resep asli dari dokter.
c. Aturan pakai (signa) harus jelas dan benar sesuai resep asli dari dokter
d. Keterangan jumlah yang telah diserahkan atau dibeli harus jelas dan benar (jika resep
ada tulisan iter pemberian pertama beri keterangan det orig, selanjutnya det iter 1x
dan seterusnya sejumlah angka iter resep asli)
6. Copy Resep karena obat non-formularium menjadi tugas Apoteker Jaga untuk
mengkonfirmasikan dan memastikan dibelikan di apotek luar atau diganti dengan
sediaan yang ada.
7. Copy resep karena obat formularium yang stoknya habis bisa dibelikan di apotek luar
atau diganti dengan sediaan yang ada
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENGOBATAN SENDIRI / SWAMEDIKASI RUMAH SAKIT 
Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa yang dimaksud dengan pengobatan sendiri/swamedikasi adalah pengobatan yang
dilakukan sendiri oleh pasien untuk mengatasi sakit ringan.
2. Bahwa untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien.
3. Bahwa agar pelayanan farmasi Rumah sakit dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya
Peraturan Direktur tentang Pengobatan sendiri oleh pasien / Swamedikasi di Rumah Sakit
sebagai landasan bagi penyelenggaraan seluruh pelayanan farmasi Rumah Sakit 

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek.
4. Peraturan menteri Kesehatan Nomor 919 tahun 1993 tentang Kriteria Obat yang
Diserahkan Tanpa Resep.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
6. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Penyimpanan Perbekalan Farmasi RSU Santo Yoseph Labuan Bajo.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN PENGOBATAN


SENDIRI / SWAMEDIKASI RUMAH SAKIT .
2. Apoteker dan petugas IFRS hanya melayani penjualan obat untuk swamedikasi yang
tergolong dalam obat bebas dan obat bebas terbatas.
3. Pertimbangan pemberian obat dilihat dari keamanan dan kemanfaatannya lebih tinggi
dari faktor resiko dan untuk pengobatan symptomatic (penyakit yang biasa diobati
secara mandiri).
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : ….//Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

PENGOBATAN SENDIRI/SWAMEDIKASI
Swamedikasi, atau pengobatan sendiri adalah perilaku untuk mengatasi sakit ringan sebelum
mencari pertolongan ke petugas atau fasilitas kesehatan. Lebih dari 60% dari anggota
masyarakat melakukan swamedikasi, dan 80% di antaranya mengandalkan obat modern.
Swamedikasi adalah Pengobatan diri sendiri yaitu penggunaan obat-obatan atau menenangkan
diri bentuk perilaku untuk mengobati penyakit yang dirasakan atau nyata. Pengobatan diri
sendiri sering disebut dalam konteks orang mengobati diri sendiri, untuk meringankan
penderitaan mereka sendiri atau sakit. Dasar hukumnya permekes
No.919/MENKES/PER/X/1993, secara sederhana swamedikasi adalah upaya seseorang dalam
mengobati gejala sakit atau penyakit tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Namun
bukan berarti asal mengobati, justru pasien harus mencari informasi obat yang sesuai dengan
penyakitnya dan apoteker-lah yang bisa berperan di sini. Apoteker bisa memberikan informasi
obat yang objektif dan rasional. Swamedikasi boleh dilakukan untuk kondisi penyakit yang
ringan, umum dan tidak akut. Setidaknya ada lima komponen informasi yang yang diperlukan
untuk swamedikasi yang tepat menggunakan obat modern, yaitu pengetahuan tentang
kandungan aktif obat (isinya apa?), indikasi (untuk mengobati apa?), dosage (seberapa banyak?
seberapa sering?), effek samping, dan kontra indikasi (siapa/ kondisi apa yang tidak boleh
minum obat itu?).

Kriteria obat yang digunakan, sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat


yang dapat diserahkan tanpa resep:
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2
tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan
penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan
4. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan.
5. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
6. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk pengobatan sendiri.

Jenis obat yang digunakan:


1. Tanpa resep dokter :
- obat bebas tak terbatas : tanda lingkaran hitam, dasar hijau
- obat bebas terbatas : tanda lingkaran hitam, dasar biru
2. Obat Wajib Apotek (OWA) Merupakan obat keras tanpa resep dokter, tanda:
lingkaran hitam, dasar merah
3. Suplemen makanan
Seseorang melakukan swamedikasi karena:
 Berdasar pengalamannya atau keluarga
 Menggunakan sisa obat orang lain
 Menggunakan kopi resep
 Menggunakan obat OTR dari apotek atau toko obat
Syarat suatu obat swamedikasi :
 Obat harus aman,kualitas dan efektif,
 Obat yang digunakan harus punya indikasi, dosis, bentuk sediaan yang tepat,
 Obat yang diserahkan harus disertai informasi yang jelas dan lengkap.
Faktor yang menyebabkan meningkatnya swamedikasi :
 Perkembangan teknologi farmasi yang inovatif
 Jenis atau merek obat yang beredar telah diketahui atau dikenal masyarakat luas
 Berubahnya peraturan tentang obat atau farmasi
 Kesadaran masyarakat akan pentingnya arti sehat
 Pengaruh informasi atau iklan
 Kemudahan mendapatkan obat
 Mahalnya biaya kesehatan
Dampak positifnya :
 Pencegahan maupun pengobatan yang lebih dini
 Biaya yang lebih terjangkau dan cepat
Dampak negatifnya :
 Pengobatan yg kurang rasional
Hal-hal yang harus diketahui sebelum melakukan pengobatan sendiri :
 Apakah masalah kesehatan anda memerlukan pemeriksaan dokter .
 Apakah anda memerlukan Obat .
 Konsultasikan dgn Apoteker tentang obat yg dpt diperoleh tanpa resep dokter, untuk
mengatasi masalah kesehatan anda.
Aturan pemakaiannya, perlu diperhatikan :
 Bagaimana cara memakainya
 Berapa jumlah yang digunakan sekali pakai
 Berapa kali sehari
 Berapa lama pemakaiannya
 Waktu pemakaian
Manfaat

Swamedikasi bermanfaat dalam pengobatan penyakit atau nyeri ringan, hanya jika dilakukan
dengan benar dan rasional, berdasarkan pengetahuan yang cukup tentang obat yang digunakan
dan kemampuan nengenali penyakit atau gejala yang timbul. Swamedikasi secara serampangan
bukan hanya suatu pemborosan, namun juga berbahaya.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN RETUR PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;


MENIMBANG:

1. Bahwa dalam pelayanan perbekalan farmasi memungkingkan terjadi retur perbekalan


farmasi dari pasien ke instalasi farmasi atau dari instalasi farmasi ke distributor.
2. Bahwa retur perbekalan farmasi merupakan kegiatan yang perlu diatur oleh instalasi
farmasi.
3. Bahwa dalam proses retur perbekalan farmasi perlu didokumentasikan.
4. Bahwa dalam retur perbekalan farmasi tersebut dibutuhkan kebijakan daru rumah sakit
untuk mengatur retur perbekalan farmasi.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Retur Perbekalan Farmasi RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Retur perbekalan farmasi menjadi tanggung jawab instalasi farmasi.


2. Instalasi farmasi mengatur tentang retur farmasi tersebut.
3. Retur perbekalan farmasi dibedakan menjadi: retur perbekalan farmasi dari pasien
(pembeli perbekalan farmasi) dan retur perbekalan farmasi dari instalasi farmasi ke
distributor.
4. Uraian tentang retur perbekalan farmasi terlampir dalam kebijakan ini.
5. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
6. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
LAMPIRAN SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : …./Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

Retur perbekalan farmasi dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:


A. Retur Perbekalan Farmasi ke Distributor
Retur perbekalan farmasi ke distributor dikarenakan :
1. Perbekalan farmasi yang di kirim tidak sesuai dengan permintaan
2. Pebekalan farmasi rusak
3. Perbekalan farmasi mendekati masa kadaluarsa atau kadaluarsa
4. Perbekalan farmasi segel rusak sebelum digunakan

B. Retur Perbekalan Farmasi dari Pasien (Pembeli Perbekalan Farmasi)


Retur perbekalan farmasi dari pasien dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
1. Pasien rawat jalan
Pasien yang membeli pebekalan farmasi di instalasi farmasi rumah sakit mempunyai hak untuk
meretur perbekalan farmasi apabila :
1. Perbekalan farmasi tersebut sudah tidak digunakan ( tersisa )
2. Obat menibulkan efek yang tidak diharapkan
Efek obat yang tidak diharapkan meliputi :
 Alergi
 Efek samping yang mengganggu sampai membahayakan pasien
 Efek kebalikan (adverst efek)
Obat rusak sebelum digunakan Berubah warna, rasa, bau sebelum digunakan
Obat sudah kadaluarsa sebelum digunakan
Syarat pasien meretur perbekalan farmasi yang sudah dibeli yaitu :
a. Pasien harus membawa kwitansi pembayaran perbekalan farmasi
b. Retur bisa dilayani maksimal 1 minggu setelah pembelian perbekalan farmasi
c. Obat belum di buka segel nya
d. Obat belum digunakan
2. Pasien rawat inap
a. Pengelola pengobatan diruang perawatan
b. Apabila obat sudah di “STOP” / henti terapi oleh dokter, maka perawat WAJIB
meretur sisa obatnya.
c. Apabila ada alkes yang sudah tidak digunakan oleh pasien maka perawat WAJIB
mereturkan ke farmasi rawat inap segera. Dengan mengisi blangko retur dan membawa
perbekalan farmasi yang diretur ke farmasi inap.
d. Perawat TIDAK diperbolehkan menyimpan atau mengelola sisa obat atau alkes yang
sudah tidak digunakan oleh pasien.
Syarat perbekalan farmasi bisa diretur yaitu :
a. Pebekalan farmasi masih tersegel
b. Perbekalan farmasi tidak rusak
Retur dilakukan dengan langsung mengurangi tagihan pasien lewat system komputerisasi.
Apabila pasien sudah pulang atau sudah tutup biling pembiayaan rawat inap sebelum pebekalan
farmasi diretur, maka retur tidak bisa dimasukan untuk pengurangan pembiayaan rawat inap,
tetapi dengan pembayaran uang tunai senilai jumlah nominal retur.
C. Retur Perbekalan Farmasi pasien rawat jalan dan rawat inap
1. Pengembalian perbekalan farmasi yang dibeli oleh pasien rawat inap dapat diterima
karena alasan ganti terapi, pulang, pulang paksa atau meninggal dengan membawa
Form Return atau bukti pembayaran asli.
2. Pengembalian perbekalan farmasi yang dibeli oleh pasien rawat jalan dapat diterima
karena alasan alergi dengan surat pengantar pengambilan dari dokter penulis resep dan
bukti pembayaran asli.
3. Pengembalian perbekalan farmasi tidak dikenai potongan harga.
4. Pengembalian perbekalan farmasi dilakukan sebelum pasien dan menyelesaikan
administrasi pembayaran.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENGAMANAN ATAU PERLINDUNGAN PERBEKALAN FARMASI

RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa Rumah Sakit harus memastikan melakukan pengelolaan obat (manajemen obat)
dengan baik secara menyeluruh melalui system manajemen perbekalan farmasi yang
tepat.
2. Bahwa salah satu pengelolaan obat adalah untuk memastikan obat terlindungi dari
kehilangan atau pencurian baik dari farmasi atau dari setiap lokasi yang lain dimana obat
disimpan atau disalurkan.
3. Bahwa untuk menjamin obat terlindungi dari kehilangan atau pencurian maka perlu
ditetapkan Surat Keputusan Direksi tentang pengamanan atau perlindungan perbekalan
farmasi.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
4. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Pengamanan Atau Perlindungan Perbekalan Farmasi RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Instalasi farmasi melakukan pengawasan atau inspeksi terhadap perbekalan farmasi di


seluruh area Rumah Sakit melalui kegiatan stok opname setiap satu bulan sekali.
2. Instalasi farmasi melakukan sistem pengamanan atau perlindungan terhadap
kehilangan atau pencurian melalui pemasangan kamera CCTV yang dimonitor rutin.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
 

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : //Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

KEAMANAN DAN PERLINDUNGAN PENYIMPANAN PERBEKALAN FARMASI

Penyimpanan perbekalan farmasi adalah proses penyiapan stok dalam rangka pemenuhan
kebutuhan selama proses pelayanan berjalan. Beberapa ketentuan terkait dengan proses
penyimpanan perbekalan farmasi.
1. Inspeksi/pengawasan tempat dan fasilitas penyimpanan
a. Untuk menjamin standarisasi penyimpanan obat dengan menggunakan prosedur
pemantauan/inspeksi fasilitas penyimpanan perbekalan farmasi secara periodik.
b. Monitoring dan pengendalian fasilitas ruang penyimpanan obat dilakukan oleh
petugas yang sedang dinas sesuai jadwal yang telah ditetapkan, materi
pemerikasaan meliputi:
1. Kebersihan ruang/tempat penyimpanan.
2. Keamanan ruang penyimpanan, kunci, gembok, cctv, lainnya.
3. Penempatan posisi perbekalan farmasi pada tempat penyimpanan.
4. Fungsi dari fasilitas penyimpanan yang meliputi AC pendingin, kulkas,
pallet, rak, lemari, kardus/box dan lainnya.
5. Kebocoran atap dari aliran air hujan atau rembesan air pada lantai.
6. Fungsi dari aliran listrik ruang/tempat penyimpanan.
7. Ada atau tidaknya serangga pengerat, semut, rayap dan lainnya.
8. Ada atau tidaknya hewan pengerat, tikus dan lainnya.
2. Monitoring suhu serta kelembapan ruangan dilakukan setiap hari oleh petugas yang
sedang bertugas diruangan tersebut. Monitoring dilakukan selama 2(dua) tahap yaitu
pada saat pertama kali masuk ruangan (shift pagi) dan pada saat akan meninggalkan
ruangan (shift sore). Kegiatan monitoring dan pengendalian dilakukan dengan
memeriksa dan mencatat suhu lemari pendingin, suhu ruangan, kelembapan ruang pada
kartu monitor suhu, jika ditemukan suhu tidak sesuai standar maka dibuat laporan
kepada bagian maintenance untuk dilakukan kalibrasi dan perbaikan alat dalam waktu
secepatnya.
3. Sediaan Nutrisi yang terbuat dari asam amino dan lipid cair serta sediaan nutrisi lainnya,
maka penyimpanan sediaan tersebut dilakukan pada suhu ruangan dengan kelembapan
normal dan terhindar dari cahaya matahari secara langsung. Pengaturan penyimpanan
produk nutrisi dilakukan sesuai dengan prosedur penyimpanan produk nutrisi parenteral.

4. Penyimpanan obat psikotropika dan narkotika dilakukan pada lemari khusus


penyimpanan psikotropik dan narkotik dengan persyaratan kemari mempunyai 2 pintu
yaitu pintu dalam dan pintu luar dan menempel pada dinding ruangan. Pintu lemari selalu
terkunci dan kunci dibawa oleh Apoteker/petugas IFRS yang menjadi penanggung jawab
harian. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan dari obat-obat psikotropika
dan narkotika.

5. Sediaan vaksin disimpan dalam suhu dingin, yaitu disimpan di refrigerator yang
dilengkapi dengan indikator suhu dan dimonitor setiap hari sehingga diharapkan dapat
melindungi sediaan farmasi dari kemungkinan kerusakan sediaan akibat suhu
penyimpanan yang tidak terkendali.

6. Pengelolaan obat emergency, penyimpanan diruangan rawat inap dilakukan dalam


lemari emergency dan dimonitor jumlah, tanggal expired date serta kondisi lingkungan
penyimpannya setiap hari oleh perawat yang bertugas. Untuk obat yang telah digunakan
pasien, obat segera ditransaksikan pada pasien yang menggunakan prosedur
pengelolaan obat emergency (gawat darurat). Prosedur ini menggambarkan tentang
proses pperlingdungan (proteksi), pengendalian, lokasi penyimpanan, penggantian baik
karena digunakan, rusak atau expired date.

7. Akses masuk ke ruang penyimpanan di IFRS dan Gudang Farmasi terbatas hanya untuk
petugas dan orang-orang yang berkepentingan.

8. Prosedur pengamanan obat dilakukan dengan pemantauan cctv.


SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PELABELAN OBAT YANG DIKELUARKANKAN DARI WADAH ASLI

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Bahwa untuk menjamin keamanan penggunaan obat yang tepat, maka obat yang di
gunakan di Rumah Sakit harus diberi label sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
yang telah ditetapkan.
2. Bahwa kegitan pelabelan obat yang tepat sesuai dengan spesifikasi dan pesyaratan,
dilaksanakan untuk menjamin keamanan obat yang akan digunakan di Rumah Sakit.
3. Bahwa agar kegiatan pelabelan obat dapat dilaksanakan dengan baik, diperlukan suatu
kebijakan melalui peraturan Direktur.
MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikoropika.
4. Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan.
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
8. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Pelabelan Obat Yang Dikeluarkankan Dari Wadah Asli RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RS TENTANG KEBIJAKAN PELABELAN OBAT YANG


DIKELUARKAN DARI WADAH ASLI .
2. Obat yang keluar dari wadah asli harus diberi identitas atau label, label obat dilakukan
sesuai spesifikasi dan persyaratan antara lain label obat secara tepat harus disertai
nama pasien, nomor rekam medis, nama obat, dosis dan frekuensi penggunaan, cara
penggunaan, tanggal penyiapan serta tanggal kadaluwarsa.

3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.

4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan


perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
 

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : //Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

KEBIJAKAN PEMBERIAN LABEL OBAT YANG DIKELUARKAN


DARI WADAH ASLI

1. Obat yang dikeluarkan dari wadah asli hanya untuk obat lepasan atau racikan.
2. Pemberian label/etiket obat berdasarkan rute pemberian (obat oral atau obat luar).
3. Obat oral sedian padat (tablet, kaplet, kapsul dan pil) menggunakan etiket plastik dengan
menuliskan nomor resep, tanggal resep, nama pasien, nama obat, dosis obat, aturan/durasi
pemakaian obat, sebelum/sesudah makan, habiskan/jika perlu.
4. Obat racikan sedian padat (puyer dan kapsul) pemakaian oral; untuk puyer dikemas ke dalam
kertas puyer beridentitas logo/alamat Rumah Sakit dan untuk racikan kapsul dimasukkan ke
dalam cangkang kapsul nomor yang sesuai, selanjutnya dimasukkan ke dalam etiket plastik
dengan menuliskan nomor resep, tanggal resep, nama pasien, nama obat, dosis obat,
aturan/durasi pemakaian obat, sebelum/sesudah makan, habiskan/jika perlu.
5. Obat racikan semi padat (lotion, krim, salep) pemakaian luar; racikan dimasukkan ke dalam pot
plastik yang sesuai ukuran kemudian ditempelkan label/etiket biru dengan menuliskan nomor
resep, tanggal resep, nama pasien, aturan/durasi pemakaian obat, rute pemberian obat.
6. Obat racikan larutan (sirup) ditempelkan label/etiket putih dengan menuliskan nomor resep,
tanggal resep, nama pasien, aturan/durasi pemakaian obat, sebelum/sesudah makan,
habiskan/jika perlu, dan tanggal stabilitas obat (khususnya antibiotik)
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI EMERGENCY

 RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa perbekalan emergency adalah perbekalan emergency yang digunakan dalam
keadaan darurat dan disimpan dalam troli emergency, ditempatkan di seluruh ruang
keperawatan dan unit khusus dan poliklinik rawat jalan.
2. Bahwa pengelolaan perbekalan farmasi di troli emergency yang baik dan tepat dapat
meningkatkan mutu pelayanan farmasi.
3. Bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian khususnya dalam hal
pengelolaan perbekalan farmasi emergency diperlukan adanya kebijakan Driektur Rumah
Sakit.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan no 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Pengelolaan Perbekalan Farmasi Emergency RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Pengelolaan perbekalan farmasi di troli emergency menjadi tanggung jawab Instalasi


Farmasi bekerjasama dengan keperawatan.
2. Setiap ruang keperawatan dan unit khusus menyimpan obat emergency dalam troli
emergency.
3. Daftar obat dan jenis obat yang disimpan dalam troli emergency terlampir dalam surat
keputusan ini.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : …. /RSUSY/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI EMERGENCY

1. Perbekalan farmasi emergency disimpan di troli emergency yang terkunci dengan menggunakan
kunci plastik yang bernomor seri berurutan. Troli emergency di bagi atas troli emergency
pediatrik dan dewasa. Kunci troli emergency dipegang oleh perawat penanggung jawab pada
shift tersebut.

2. Unit yang menyimpan troli emergency adalah:


a. Keperawatan
b. Unit khusus: IGD, ICU, HD, Kamar Bedah, Kamar bayi dan VK, Radiologi,
Fisioterapi
c. Poli rawat jalan

3. Jenis dan jumlah obat obat emergensi yang disimpan di dalam troli sesuai dengan daftar yang
telah ditetapkan.
a. Daftar perbekalan farmasi yang disimpan di luar troli emergency:
 Oxygen Supply
 Defibrilator dengan monitor
 Stetoskop
 Lembar informasi khusu obat emergency
 Kartu pengendali stok

b. Daftar perbekalan farmasi yang disimpan di dalam troli emergency:


1. Rak 1: obat obatan
 Adrenalin : 5 ampul
 Aminofilin : 5 ampul
 Dexamethasone : 10 ampul
 Furosemide inj : 3 ampul
 Ca Gluconas : 5 ampul
 Atropin Sulfat inj : 5 ampul
 Lidocain inj : 5 ampul
 Asam traneksamat 500 inj : 3 ampul
 Ketorolac inj : 3 ampul
 Tramadol inj : 3 ampul

2. Rak 2: Alat bantu perrnafasan, (spesifikasi ukuran terlampir)


 Orofaringeal airways
 Nasofaringeal airways
 ETT
 Masker oksigen
 Suction Catheter
 Suction Tube
 Nasal Cannula

3. Rak 3: Sirkulasi: IV supplies (spesifikasi ukuran terlampir)


 Jarum
 Dispo Syringe
 Threeway catheter
 Two way catheter
 Sterlie water vial
 IV cannula
 Alkohol swab

4. Rak 4: IV solution and tubing


 NaCL 0.9% 500 ml : 5
 NaCL 0.9% 1000 ml : 5
 D5% 500 ml : 3
 D10% 500 ml : 2
 RL 500 ml :5
 Transfusi set : 3
 Infus set : 10
 IV catheter : 10

5. Rak 5: Cardiac, Chest Procedure (spesifikasi ukuran terlampir)


 ECG Elektroda
 Sarung tangan steril
 Cardiac needle
 Chest tube

4. Kontrol stok perbekalan di troli emergensi dilakukan


setiap sebulan sekali
dilakukan oleh tenaga teknik kefarmasian atau apoteker meliputi jumlah, jenis, kondisi
fisik dan tanggal kadaluarsa.

5. Setiap kali setelah obat dan alkes dalam troli


emergensi digunakan harus segera
diisi kembali oleh perawat dengan cara permintaan ke depo farmasi rawat inap.

6. Petugas yang melakukan control troly emergensi


digunakan harus mencatat setiap
pengeluaran kunci troli emergensi sesuai nomor urutnya.
7. Troli emergensi digunakan hanya untuk keadaan
emergensi saja meliputi (kondisi
pasien sangat membutuhkan obat dan apabila obat tidak segera diberi akan
membahayakan kondisi pasien).
8. Isi dari troli emergensi bias ditambah atau dikurangi
sesuai dengan kebutuhan
ruangan masing masing.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PANDUAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter gigi atau Dokter hewan
kepada Apoteker untuk membuat dan memberikan obat kepada pasien.
2. Bahwa Rumah Sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan, pemesanan dan
pencatatan resep, karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesanan yang
mengacaukan keselamatan pasien bisa menunda pengobatan.
3. Bahwa Rumah Sakit perlu mengatur tindakan untuk mengurangi tidak terbacanya resep.
4. Bahwa untuk mekanisme tersebut diatas maka rumah sakit perlu menerbitkan Panduan
tentang Penulisan Resep.

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Panduan Penulisan Resep RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Panduan Penulisan Resep sebagaimana terlampir dala keputusan ini.


2. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
3. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis


2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR :…/RSUSY/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Resep merupakan permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker, untuk
menyediakan obat dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Obat
merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat
merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Anonim,
2006).
Obat merupakan salah satu bagian dalam peningkatan kualitas hidup pasien sehingga
diperlukan adanya manajemen yang harus berperan secara kritis untuk memastikan
keselamatan pasien (Anonim, 2011).
Rumah sakit perlu memperhatikan tentang tata cara peresepan, pemesanan dan pencatatan
yang aman diarahkan oleh kebijakan dan prosedur. Para staf medis, keperawatan, farmasi dan
administrative berkolaborasi untuk mengembangkan dan memonitor kebijakan dan prosedur.
Staf yang terkait dilatih untuk praktek penulisan resep, pemesanan dan pencatatan yang benar.
Karena peresepan obat yang tidak terbaca atau pemesanan yang mengacaukan keselamatan
pasien bisa menunda pengobatan, maka kebijakan rumah sakit mengatur tindakan untuk
mengurangi tidak terbacanya resep.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk
membuat cara penulisan resep yang tepat untuk mengurangi kesalahan pemberian obat
(medication errors) berdasarkan system yang ada dirumah sakit.

B. DEFINISI
Penulisan resep yang tepat adalah Tata cara penulisan resep yang tepat sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Rumah Sakit .

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum :
Meningkatkan keselamatan pasien dalam kebenaran pemberian obat
2. Tujuan Khusus:
a. Meningkatkan kesadaran sejawat penulisan resep akan pentingnya penulisan resep
yang dapat dibaca.
b. Mengurangi tidak terbacanya resep yang dapat memperpanjang waktu tunggu obat.
c. Mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat
d. Meningkatkan mutu pelayanan farmasi dalam rangka penulisan resep yang tepat.

BAB II
RUANG LINGKUP KEGIATAN

Secara umum seluruh ruangan bagian klinis yaitu bagian keperawatan, penunjang medis dan
unit khusus.
Ruang lingkup penulisan resep yaitu :
1. Poliklinik rawat jalan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter umum, dokter
spesialis dan dokter gigi.
2. Ruang perawatan
Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari dokter umum,
dokter spesialis dan dokter gigi.
3. Bidan dan perawat hanya boleh menulis resep berupa alat kesehatan, cairan infuse.
4. Bidan dan perawat yang di ijinkan menulis resep adalah bidan dan perawat yang
memiliki STR (Surat Tanda Registrasi).

BAB III
TATA LAKSANA

A. TATA LAKSANA PENULISAN RESEP


1. Tenaga Kesehatan yang berkompeten menulis resep / pesanan adalah Dokter yang
memiliki Surat Izin Praktek (SIP) yang terdiri dari Dokter umum, Dokter spesialis dan Dokter
gigi.
2. Perawat dan bidan diberikan ijin menuliskan resep untuk resep yang berupa :
a. Alat kesehatan
b. Cairan infuse
3. Obat untuk pasien rawat inap ditulis di lembar KIO (Kartu Instruksi Obat), sedangkan untuk
alat kesehatan untuk pasien rawat inap ditulis di KIA (kartu Instruksi Alkes).
4. Penulisan resep harus ditulis lengkap, yang terdiri dari :
a. Tanggal peresepan
b. Nama lengkap penulis resep
c. Nama lengkap pasien
d. Nomor rekam medis pasien
e. Tanggal lahir dan atau umur pasien
f. Berat badan (untuk pasien neonates dan pediatric)
g. Luas permukaan tubuh (untuk pasien kemoterapi)
h. Kliren kreatinin (untuk pasien gangguan ginjal)
i. Nama obat
j. Kekuatan obat
k. Bentuk sediaan obat
l. Jumlah obat
m. Dosis obat
n. Frekuensi / interval pemakaian
5. Penulisan resep/pemesanan resep di rumah sakit ada beberapa jenis meliputi :
a. Standing Order
1. Tenaga Kesehatan yang diperbolehkan oleh Rumah Sakit untuk melaksanakan
Standing order adalah perawat.
2. Perawat harus mengikuti instruksi pemberian yang tercantum dalam Standing
order.
3. Standing order yang berlaku di Rumah Sakit adalah :
a. Standing order pemberian Magnesium sulfat untuk pre eklampsia dan
Eklampsia
b. Standing order pemberian Kalium Klorida 7,46%.
4. Perawat yang telah melakukan standing order harus mendokumentasikan pemberian
obat tersebut ke dalam “lembar Intruksi” dan dimasukkan dalam rekam medis
pasien.
5. Lembar instruksi harus mencantumkan nama lengkap dan tanda tangan perawat.
6. Lembar instruksi harus ditandatangani oleh dokter yang merawat / DPJP (Dokter
Penanggung Jawab Pasien).
b. Automatic stop order/penghentian terapi oleh dokter
Dokter pemberi order harus menulis tanggal pada kolom stop dengan jelas pada lembar
KIO / kartu Instruksi Obat (member paraf dan tanggal untuk menetapkan penghentian
terapi).
c. Penulis resep obat prn atau bila perlu atau “pro re nata”
Peresepan obat prn atau bila perlu atau “pro re nata” harus menuliskan indikasi
pemakaian, kekuatan obat, dan pemakaian maksimal dalam sehari pada resep. Contoh
penulisan resep yang benar : Parasetamol 1 tablet prn untuk demam.
d. Penulisan resep obat NORUM (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip)
Penulisan obat yang termasuk NORUM (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip) harus
sesuai dengan kebijakan penulisan obat NORUM.
e. Penulisan resep / pemesanan resep obat secara verbal atau melalui telepon:
1. Pesanan obat secara verbal atau melalui telepon hanya dibolehkan pada situasi
mendadak.
2. Pesanan obat secara verbal/telepon tidak diperbolehkan bila penulis resep ada dan
tersedia rekam medis pasien, kecuali penulis resep sedang melakukan pelayanan
emergency/sedang melakukan tindakan pelayanan.
3. Pesanan obat secara verbal/telepon tidak berlaku untuk :
 Obat kemoterapi
 Obat narkotika
4. Tenaga kesehatan yang diperbolehkan oleh RS untuk menerima pesanan obat yang
dikomunikasikan secara verbal atau melalui telepon adalah :
 Perawat dan bidan yang memiliki STR
 Farmasi (Tenaga Teknis Kefarmasian dan Apoteker)
5. Tenaga Kesehatan (yang disebutkan dalam poin diatas) harus mencatat pesanan
obat yang diterima secara verbal/melalui telepon ke dalam rekam medis pasien dan
setelah itu mengulagi secara lisan kepada pemberi resep / instruksi pengobatan
sesuai kebijakan SBAR.
6. Pemberi pesanan obat harus melakukan verifikasi sesuai dengan kebijakan SBAR.
7. Perubahan pemberian terapi obat (jenis dan dosis), maka obat sebelumnya harus
6. dihentikan dan ditulis sesuai aturan penghentian terapi. Penulisan resep yang salah
tidak boleh dihapus akan tetapi dengan cara mencoret dengan satu garis lurus kemudian
resep yang benar di tulis di atas resep yang dicoret tersebut.
a. Penulisan pesanan obat /resep harus jelas, lengkap dan dapat terbaca oleh tenaga
teknis kefarmasian dan apoteker.
b. Petugas farmasi (Tenaga teknis kefarmasian dan Apoteker) harus melakukan klarifikasi
kepada penulis resep bila pesanan obat/resep tidak jelas, tidak terbaca, atau tidak
lengkap.
c. Penulis resep harus menulis resep atau instruksi pengobatan yang baru jika ingin
meneruskan terapi obat yang sempat terhenti karena adanya automatic stop order,
tindakan operasi maupun karena alasan lain.
d. Penulis resep harus membandingkan order pertama obat dengan daftar obat pasien
sebelum masuk rawat inap yang diperoleh dari anamnesa oleh dokter atau perawat.
e. Penulis resep harus menggunakan singkatan, symbol dan penunjukan dosis yang
diperbolehkan oleh rumah sakit.
f. Tenaga Kesehatan yang menerima order/perintah/resep yang menggunakan singkatan,
symbol, dan penunjuk dosis yang dilarang harus melakukan klarifikasi dan konfirmasi
kepada penulis order/perintah/resep jika order/perintah/resep tersebut tidak jelas/tidak
terbaca.
g. Setiap dokter, perawat dan bidan harus mengikuti cara penulisan resep yang benar
sesuai dengan kebijakan peresepan.

B. CARA PELAKSANAAN PENULISAN RESEP


1. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis tanggal penulisan resep.
2. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep member tanda centang pada kolom
alergi atau tidak dibagian kanan atas pada lembar resep, jika pasien mempunyai riwayat
alergi dokter menuliskan nama obat yang alergi bagi pasien.
3. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep memberi tanda centang pada
kolom akut atau kronis di bagian kiri atas untuk resep obat yang akan ditulis.
4. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis atau memberi cap nama
dokter beserta no SIP pada bagian kop resep.
5. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis tanda R/ pada awal
penulisan sediaan obat.
6. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis nama obat (sesuai dengan
formularium) dilengkapi bentuk sediaan dan kekuatan obat yang dikehendaki
disesuaikan dengan pasien.
7. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis jumlah obat menggunakan
angka romawi sesuai yang diperlukan untuk pasien.
8. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis aturan pakai yang
disesuaikan dengan pasien meliputi dosis, rute, dan ferekuensi obat.
9. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep dan memberi paraf pada setiap
sediaan obat yang ditulis pada lembar resep.
10. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis kelengkapan data pasien
(meliputi : nama lengkap, nomor rekam medic dan tanggal lahir).
11. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep mencantumkan berat badan pasien
untuk resep anak-anak.
12. Dokter atau pertugas yang berwenang menulis resep hanya boleh menulis maksimal 5
(lima) item obat dalam satu resep obat racikan
13. Dokter mencantumkan alamat pasien pada lembar resep yang terdapat obat narkotika.
14. Dokter atau petugas yang berwenang menulis resep menulis keterangan pemakaian
maksimal per hari dan indikasi pemakaian untuk obat dengan signa pro re nata (jika
perlu).

BAB IV
DOKUMENTASI

Penulisan resep yang tepat di Rumah Sakit merupakan komitmen Rumah Sakit yang di dukung
dengan adanya :

A. Kebijakan
1. Kebijakan Penulisan Resep yang Tepat.
2. Kebijakan Penanggulangan Resep yang Tidak Terbaca.
3. Kebijakan Telaah Resep

B. SPO
1. SPO Penulisan Resep yang Tepat.
2. SPO Penanggulagan Resep yang Tidak Terbaca.
3. SPO Telaah Resep.

BAB V
PENUTUP

Demikianlah panduan ini disusun sebagai pedoman dalam penulisan resep. Panduan ini masih
jauh dari sempurna, oleh sebab itu panduan akan dievaluasi kembali setiap 2 sampai 3 tahun
sesuai dengan tuntutan layanan dan standar akreditasi baik akreditasi Nasional maupun standar
International.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesi Nomor


1691/MENKES/PER/VII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit,
Kementria Kesehatan Indonesia.
2. Anonim, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tentang Kesehatan.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN KRITERIA INFORMASI SPESIFIK PASIEN YANG DIBUTUHKAN UNTUK TELAAH
RESEP

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit , maka
diperlukan penyelenggaraan telaah resep pada pasien dengan kriteria spesifik.
2. Bahwa agar penyelenggaraan telaah resep pada pasien dengan criteria spesifik dapat
terlaksana dengan baik, perlu adanya kebijakan Direktur Rumah Sakit .

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Kriteria Informasi Spesifik Pasien Yang Dibutuhkan Untuk Telaah Resep
Dharma Ibu Ternate.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Apoteker/Asisten Apoteker memperhatikan pasien dengan kriteria:


a. Pasien kondisi khusus (pediatric, geriatric, gangguan fungsi hati dan ginjal, ibu hamil
dan menyusui).
b. Pasien dengan terapi jangka panjang / penyakit kronis (TB, DM, Epilepsi, dll).
c. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan kortiksteroid).
d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin).
e. Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
2. Apoteker memberikan konseling atau informasi tentang penggunaan obat yang
dikonsumsinya.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
 

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : …./RSUSY/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

IDENTIFIKASI PASIEN UNTUK TELAAH RESEP

Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication error melalui
kolaborasi dengan dokter dan pasien.

1. Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor rekam medik/
nomor resep

Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan keputusan
pemberian obat, seperti :

a. Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi, diagnosis dan
hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien
yang menerima obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk keperluan perhitungan
dosis.
b. Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium, tanda-tanda vital dan
parameter lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui data laboratorium yang
penting, terutama untuk obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis (seperti
pada penurunan fungsi ginjal).
2. Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
3. Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penggunaan otomatisasi
(automatic stop order), sistem komputerisasi (e-prescribing) dan pencatatan pengobatan pasien
seperti sudah disebutkan diatas.
4. Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun harus
dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan mengeja nama
obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus diberikan kepada petugas
yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang menerima permintaan harus menulis
dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi.
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang
KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI SERAGAM RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:

1. Bahwa Penyaluran perbekalan farmasi adalah kegiatan mendistribusikan / menyalurkan


perbekalan farmasi yang seragam dari gudang farmasi ke instalasi farmasi atau unit lain
yang membutuhkan.
2. Bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian yang berkualitas maka
diperlukan penyaluran perbekalan farmasi yang baik, efektif dan efisien.
3. Bahwa untuk mewujudkan penyaluran yang baik, efektif dan efisien maka maka
dibutuhkan Surat Kebijakan Direktur tentang penyaluran perbekalan farmasi

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma
Ditetapkan di : Ternate
Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Tanggal :
Kebijakan Penyaluran Perbekalan Farmasi Seragam
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo Ternate.

MEMUTUSKAN
Dr. Sutomo Raharjo, SpA
MENETAPKAN :
Direktur
1. Penyaluran perbekalan Farmasi menjadi tanggung
jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit 
2. Tata aturan tentang penyaluran perbekalan farmasi seragam sebagaimana terlampir.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukakan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

 
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : …//Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :
PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI SERAGAM
A. DEFINISI
Penyaluran perbekalan farmasi adalah kegiatan mendistribusikan/ menyalurkan perbekalan
farmasi dari gudang farmasi ke instalasi farmasi atau unit lain yang membutuhkan.

B. PENJELASAN
1. Penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke instalasi farmasi/ruangan
a. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi
dilakukan pada jam kerja gudang farmasi (dari jam 08.00 wib – jam 17.00 wib)
b. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke
instalasi farmasi dilakukan dengan cara petugas instalasi farmasi menyerahkan bukti
permintaan perbekalan farmasi.
c. Perbekalan farmasi yang diminta oleh ruangan disediakan oleh petugas gudang
farmasi.
d. Pelayanan permintaan obat-obat terkontrol (narkotika,psikotropika, obat prekusor
dan anestesi umum) dilakukan sesuai dengan kebijakan obat terkontrol.
e. Apabila perbekalan farmasi yang diminta tidak tersedia maka gudang farmasi
mengajukan permintaan ke bagian pengadaan dan menginformasikan kepada
ruangan bahwa perbekalan farmasi tersebut masih dipesankan.
2. Penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke unit lain (keperawatan,
Laboratorium dan Radiologi):
a. Kegiatan pelayanan dan penyaluran perbekalan farmasi di gudang farmasi dilakukan
pada jam kerja gudang farmasi (dari jam 08.00 wib – jam 17.00 wib)
b. Kegiatan pelayanan perbekalan dari unit lain dengan cara menulis permintaan di
lembar anfrah perbekalan farmasi nama dan jumlah perbekalan farmasi yang diminta
dan kemudian menyerahkan kepada petugas gudang farmasi.
c. Perbekalan farmasi yang diminta oleh unit lain disediakan oleh petugas gudang
farmasi.
d. Gudang farmasi hanya sebagai tempat transit perbekalan farmasi berupa reagensia
dan bahan radiologi sesuai dengan permintaan dari unit laboratorium atau radiologi.

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018
Tentang
KEBIJAKAN PELABELAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT 

Direktur RSU Santo Yoseph Labuan Bajo;

MENIMBANG:
1. Bahwa untuk mendapatkan pelayanan kefarmasian yang bermutu, berkualitas, dan
mempertimbangkan keselamatan pasien di Rumah Sakit diperlukan suatu pedoman
Pelabelan Obat.
2. Bahwa pelabelan obat yang tepat adalah penentu utama dari ketepatan pemberian obat
dan dapat mengurangi kesalahan pemberian obat.
3. Bahwa untuk memberikan obat yang tepat dan benar, maka perlu ditetapkan Surat
Keputusan Direktur tentang Pelabelan Obat di Rumah Sakit .

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004, tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Penyimpanan Perbekalan Farmasi RSU Santo Yoseph Labuan Bajo.
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. Pelabelan perbekalan farmasi di pelayanan farmasi menjadi tanggung jawab dari


Instalasi Farmasi.
2. Aturan dan tata cara penyimpanan perbekalan farmasi di Rumah Sakit terlampir dalam
Surat Keputusan ini.
3. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

TEMBUSAN Yth :
1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

LAMPIRAN SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 


NOMOR : …/RSUSY/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

1. Pelabelan perbekalan farmasi adalah pemberian label atau etiket pada obat, bahan obat dan
bahan kimia.

2. Pelabelan perbekalan farmasi dilakukan oleh petugas farmasi (Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian)

3. Pelabelan perbekalan farmasi dilakukan pada obat minum (tablet, kaplet, kapsul, puyer, sirup),
obat suppositoria, salep, krim, lotion, tetes mata, tetes telinga, obat semprot, dan obat injeksi.

4. Penyimpanan Obat : Obat, sediaan farmasi dan bahan kimia yang sudah dikeluarkan dari wadah
aslinya harus diberi label atau etiket.

5. Pelabelan obat, sediaan farmasi dan bahan kimia yang dikeluarkan dari bahan asli meliputi :

a. Nama

b. Konsentrasi ( kekuatan )

c. Tanggal kadaluarsa

d. Peringatan

6. Produksi :

Semua hasil produksi harus diberi label atau etiket yang berisi :

a. Tanggal produksi, nomor produksi, dan nomor batch.


b. Nama obat, kekuatan obat dan bentuk sediaan.

c. Cara penyimpanan.

d. Batas waktu expired date.

e. Beyond Use Date (untuk obat racikan maksimal 30 hari digunakan setelah peracikan).

7. Pelabelan bahan kimia meliputi :

a. Nama

b. Konsentrasi ( kekuatan )

c. Tanggal kadaluarsa

d. Peringatan

8. Penyiapan :

a. Semua Perbekalan Farmasi yang disiapkan dari Instalasi Farmasi harus diberi label atau

etiket.

b. Semua perbekalan farmasi yang disiapkan perawat harus diberi label atau etiket.

c. Label atau etiket ditempelkan setelah obat dimasukkan dalam wadah.

d. Label etiket Obat untuk pasien rawat inap harus mencantumkan :

1) Identitas pasien (nama pasien, tanggal lahir)


2) Nama Ruang/kamar pasien (ditunjukan dalam kwitansi obat)
3) Tanggal cetak label
4) Nama Obat dan jumlah (dituliskan nama merek dagang, apabila obatnya paten/

branded; dituliskan nama generik apabila obatnya generik).


5). Kekuatan obat
6). Bentuk sediaan obat
7). Waktu pemberian pemberian obat
8). Aturan pakai obat
9). Cara pakai obat
10). Aturan penyimpanan obat (khusus obat yang penyimpanan dikulkas)
11). Petunjuk khusus pemakaian obat
12). Tanggal kadaluwarsa obat atau Beyond Use Date (untuk obat racikan maksimal 30
hari digunakan setelah peracikan)
e. Label etiket obat untuk pasien rawat jalan harus mencantumkan :
1. Identitas pasien (nama pasien, tanggal lahir)
2. Nama, kekuatan, bentuk sediaan dan jumlah obat
3. Aturan pakai
4. Waktu pemberian obat
5. Cara pakai obat
6. Aturan penyimpanan obat (khusus obat yang penyimpanan dikulkas)
7. Petunjuk khusus pemakaian obat
8. Tanggal cetak label
9. Tanggal kadaluwarsa obat atau Beyond Use Date (untuk obat racikan maksimal 30 hari
digunakan setelah peracikan)
f. Label etiket obat menggunakan sistem komputer, apabila ada kerusakan dalam sistem atau
kepadatan pelayanan label etiket menggunakan cara ditulis manual.
g. Obat injeksi yang telah disiapkan atau dilarutkan/ dicampur namun belum akan diberikan,
harus diberi label yang berisi :
1. Identitas pasien (nama pasien, tanggal lahir, nomor rekam medis dalam bentuk barcode)
ditempel di plastik etiket terpisah dengan obat.
2. Nama obat
3. Kekuatan obat
4. Tanggal dan jam penyiapan / pencampuran
h. Obat infus yang telah dilarutkan atau dicampur dengan obat injeksi harus diberi label yang
berisi :
1. Identitas pasien (nama pasien, tanggal lahir, nomor rekam medis dalam bentuk barcode)
di tempel diflabot atau botol infus.
2. Nama obat injeksi dalam infus
3. Kekuatan obatnya
4. Tanggal dan jam penyiapan / pencampuran
i. Obat yang digunakan untuk banyak pasien didokumentasikan dibuku pendokumentasian
pemakaian obat untuk banyak pasien oleh perawat dan harus diberi label pada tempat
obatnya, meliputi :
1) Nama obat
2) Kekuatan obat
3) Tanggal buka pertama segel obat
j. Obat injeksi di instalasi bedah sentral dan kamar operasi SEC pelabelannya ditempel di spuit
disposible, isinya meliputi :
1) Nama obat
2) Kekuatan obat
3) Tanggal segel obat dibuka pertama
PROGRAM MONITORING KEJADIAN TIDAK DIHARAPKAN (KTD)
DAN KEJADIAN NYARIS CEDERA (KNC)
RUMAH SAKIT 

1. PENDAHULUAN
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu
penting yang terkait dengan keselamatan (safety)di rumah sakit yaitu : Keselamatan pasien
(patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan
peralatan di rumah sakit yang berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas,
keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan
dan keselamatan “bisnis: rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit.
Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit.
Namum harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena itu
keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait
dengan isu mutu dan citra perumahsakitan.

3. LATAR BELAKANG
Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif Kejadian Tidak
Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Kriteria/Syarat :
a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, mengacu pada visi,
misi dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis
terkini, praktek bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai
dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”
b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan :
pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan dan keuangan.
c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian Tidak
Diharapkan, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus resiko tinggi.
d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk
menemukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
4. TUJUAN UMUM DAN KHUSUS
a. Tujuan Umum
Menurunnya Insiden Keselamatan Pasien (KTD dan KNC) dan meningkatnya mutu pelayanan
dan keselamatan pasien.
b. Tujuan Khusus
1) Terlaksananya sistem pelaporan dan pencatatan insiden keselamatan pasien di rumah
sakit.
2) Diketahui penyebab insiden keselamatan pasien sampai pada akar masalah.
3) Didapatkannya pembelajaran untuk perbaikan asuhan kepada pasien agar dapat
mencegah kejadian yang sama di kemudian hari.

5. KEGIATAN POKOK DAN RINCIAN KEGIATAN


Hal-hal pokok yang harus diketahui sehubungan dengan KTD dan KNC sebagai berikut :
a. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) / Adverse event
Suatu insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu tindakan
atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan bukan karena penyakit dasarnya
atau kondisi pasien. Cedera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan
medis yang tidak dapat dicegah.
b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) / Near miss
Suatu insiden yang tidak menyebabkan cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu
tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission),
dapat terjadi karena “keberuntungan” (mis. Pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak
timbul reaksi obat) karena “pencegahan” (suatu obat dengan overdosis lehal akan diberikan,
tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberika), dan atau “peringanan”
(suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotumnya.
c. Laporan insiden RS (internal)
Pelaporan secara tertulis setiap kejadian nyaris cedera (KNC) atau kejadian tidak diharapkan
(KTD) yang menimpa pasien atau kejadian lain yang menimpa keluarga pengunjung, maupun
karyawan yang terjadi di rumah sakit.
d. Laporan insiden keselamatan pasien KKP-RS (Eksternal)
Pelaporan secara anonim dan tertulis kepada KKP-RS setiap kejadian tidak diharapkan (KTD)
atau kejadian nyaris cedera (KNC) yang terjadi pada pasien, telah dilakukan analisa penyebab,
rekomendasi dan solusinya.
e. Analisa akar masalah/Root cause analysis (RCA)
Adalah suatu proses berulang yang sistematik dimana faktor-faktor yang berkontribusi dalam
suatu insiden diidentifikasi dengan merekonstruksi kronologis kejadian menggunakan
pertanyaan “kenapa” yang diulang hingga menemukan akar penyebabnya dan penjelasannya.
Pertanyaan “kenapa” harus ditanyakan hingga tim investigator mendapatkan fakta, bukan hasil
spekulasi.

6. CARA MELAKSANAKAN KEGIATAN


A. Pelatihan karyawan mengenai KTD & KNC
Kegiatan desiminasi informasi mengenai KTD dan KNC kepada seluruh karyawan melalui suatu
pelatihan untuk memberikan pemahaman kepada seluruh karyawan mengenai KTD dan KNC,
sehingga seluruh karyawan dapat mengidentifikasi dan melaporkan terjadinya KTD dan KNC
sesegera mungkin kepada Tim KPRS RS . Kegiatan dilaksanakan secara berkala setiap 3 (tiga)
bulan sekali.
Pada kegiatan ini disampaikan mengenai :
1) Mengapa pelaporan insiden penting ?
 Karena pelaporan akan menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah
kejadian yang sama terulang kembali.

2) Bagaimana memulainya?
 Dibuat suatu sistem pelaporan insiden di rumah sakit meliputi kebijakan, alur
pelaporan, formulir pelaporan dan prosedur pelaporan yang harus disosialisasikan
pada semua karyawan.
3) Apa yang harus dilaporkan?
 Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi
ataupun yang nyaris terjadi.

4) Siapa yang membuat Laporan Insiden?


 Siapa saja atau semua staf RS yang menemukan kejadian
 Siapa saja atau semua staf yang terlibat dalam kejadian.
5) Masalah yang dihadapi dalam Laporan Insiden
 Laporan dipersepsikan sebagai “pekerjaan perawat”
 Laporan sering disembunyikan, karena takut disalahkan.
 Laporan sering terlambat
 Bentuk laporan miskin data karena adanya budaya blame culture.
6) Bagaimana cara membuat Laporan Insiden ?
 Karyawan diberikan pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden mulai dari
maksud, tujuan dan manfaat laporan, alur pelaporan, bagaimana cara mengisi
formulir laporan insiden, kapan harus melaporkan , pengertian-pengertian yang
digunakan dalam sistem pelaporan dan cara menganalisa laporan.
B. Monitoring berkala oleh Tim KPRS
C. Pelaporan KTD & KNC
1. Laporan hasil investigasi sederhana/analisis akar masalah/RCA yang terjadi pada
PASIEN dilaporkan oleh Tim KP di RS (Internal/Pimpinan RS ke KKP-RS dengan
mengisi formulir laporan Insiden Keselamatan Pasien.
2. Laporan dikirim ke KKP-RS lewat POS atau KURIR ke Sekretariat KKP-RS Jakarta
D. Analisis Penyebab Insiden dan Rekomendasi
1) Penyebab insiden dapat diketahui setelah melakukan investigasi dan analisa baik
investigasi sederhana (simple investigation) maupun investigasi komprehensiv (root
cause analysis).
2) Penyebab insiden terbagi dua yaitu :
a) Penyebab langsung (immediate direct cause)
Penyebab yang langsung berhubungan dengan insiden/dampak terhadap pasien.
b) Akar masalah (root case).
Penyebab yang melatarbelakangi penyebab langsung (underlying cause)
3) Faktor kontributor adalah faktor yang melatarbelakangi terjadinya insiden. Penyebab
insiden dapat digolongkan berdasarkan penggolongan faktor Kontributor seperti
terlihat pada tabel dibawah ini. Faktor kontibutor dapat dipilih lebih dari satu.

E. SASARAN
 Seluruh karyawan RS 
 Sub-komite KPRS RS 
7. JADWAL PELAKSANAAN KEGIATAN

JA PE M AP ME JU JU AG SE OK NO DE
NO KEGIATAN
N B AR R I N L T P T P S
1. Pelatihan KTD & KNC
2. Monitoring berkala

3. Pelaporan KTD & KNC Insidentil

Analisis Penyebab Insiden


4. Insidentil
dan Rekomendasi

8. EVALUASI PELAKSANAAN KEGIATAN DAN PELAPORANNYA


Mutu pelayanan keselamatan Pasien Rumah Sakit ditentukan oleh keberhasilan sub komite
keselamatan pasien rumah sakit dalam melaksanakan misinya yaitu terselenggaranya kegiatan
keselamatan pasien rumah sakit di RS . Hal ini dapat diukur dengan instrumen akreditasi
pelayanan kesematan pasien rumah sakit. Oleh sebab itu evaluasi dan pemantauan mutu
keselamatan pasien rumah sakit perlu dilihat dari sistemnya, yaitu aspek masukan, proses dan
keluaran.
Evaluasi dan peningkatan mutu KPRS dilaksanakan oleh sub komite KPRS melalui berbagai
cara/pendekatan antara lain :
a. Laporan kegiatan bulanan/triwulan/tahunan dari sub komite KPRS.
b. Membuat evaluasi kegiatan dan membuat tindak lanjutnya.

9. PENUTUP
Demikian Program Monitoring Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) dan Kejadian Nyaris Cedera
(KNC) RS ini dibuat agar. Keselamatan pasien rumah sakit ini dapat terjamin. Diharapkan
partisipasi dari berbagai pihak untuk ikut memberi sumbangan saran, perbaikan dan
penyempurnaan program ini dalam rangka terjaminnya keselamatan pasien rumah sakit di RS 
Harapan kami, program ini dapat menjadi alat bagi RS dalam upaya meningkatkan kinerja sub
komite keselamatan pasien rumah sakit di RS, khususnya yang berkaitan dengan mutu
pelayanan keselamatan pasien rumah sakit.

Tangerang, Mengetahui :
Ketua Sub-komite KPRS Direktur,
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

KEBIJAKAN ALIH TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PEGAWAI


DIREKTUR RS

MENIMBANG : 1. Bahwa dalam upaya pencapaian Visi dan Misi


Rumah Sakit diperlukan sumberdaya manusia
yang berkualitas sehingga mendukung
peningkatan mutu dan keselamatan pas
2. Bahwa salah satu aktifitas kepegawaian adalah
melalui alih tugas dan tanggung jawab pegawai
perlu dibuat mekanisme yang mendukung
peningkatan mutu dan keselamatan pasien;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam a dan b, perlu ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Rumah Sakit tentang
Kebijakan Alih Tugas dan Tanggung Jawab
Pegawai.
MENGINGAT : 1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009
tentang RumahSakit
2. Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2004
tentang Kesehatan
3. PeraturanPemerintah No. 32 tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 755/MENKES/PER/IV/2011
tentang Penyelenggaraan Komite Medis di
Rumah Sakit
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu
MEMPERHATIKAN : Bahwa…./
nomor: perlu
YDIpemberlakuan
/SK-P/I/2018Alih Tugas
tentang dan
Kebijakan
:
Tanggung
Alih Tugas Jawab
Dan Pegawai Rumah
Tanggung Sakit
Jawab Pegawai
guna kelancaran
RumahSakit pelayanan
Dharma di RS.
Ibu Ternate.
1. Keputusan Direktur Rumah Sakit
Tentang alih tugas pegawai
2. Lampiran Keputusan Direktur tentang
Kebijakan Alih Tugas Pegawai sebagai
mana tercantum dalan lampiran
keputusan ini.
3. Keputusan ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan, dan apabila dikemudian
hari ternyata diperlukan perbaikan
dilakukan perbaikan sebaimana
mestinya.
Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur

KEBIJAKAN DIREKTUR TENTANG


 ALIH TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PEGAWAI
 RUMAH SAKIT

A. KebijakanUmum :
1. Untuk kebutuhan pelayanan, pegawai dapat dikenakan alih tugas ke posisi yang
lain dengan uraian tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Alih tugas meliputi
rotasi dan mutasi kerja.
2. Rotasi adalah perpindahan pegawai ke unit kerja lain tetapi tetap dengan
pekerjaan (job family) yang sama untuk memenuhi kebutuhan ; status
kepegawaian meliputi grade, golongan, maupun tingkat kompetensi tidak
berubah.
3. Mutasi adalah perpindahan pegawai ke unit kerja lain dengan pekerjaan (job
family) yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan ; status kepegawaian meliputi
grade, golongan, maupun tingkat kompetensi berubah.
4. Rotasi dan mutasi dilakukan dengan lebih dahulu memberitahukan kepada
pegawai yang bersangkutan dan ditetapkan dengan keputusan Surat Keputusan
Direktur.
5. Rotasi maupun mutasi dapat terjadi karena promosi maupun demosi yang diatur
secara khusus pada kebijakan tentang system kepegawaian.
6. Pegawai dapat juga mengalami pelimpahan tanggungjawab dari profesi lain
untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kepada pasien, misalnya alih tanggung
jawab tindakan tertentu dari dokter kepada perawat. Pelimpahan wewenang
dalam tindakaan infasif dari dokter kepada perawat terlebih dahulu diberikan
informasi oleh dokter.
B. KebijakanKhusus :
1.  Pelaksanaan alih tugas di unit kerja terkait meliputi :
a. Pemaparan uraian tugas baru kepada pegawai.
b. Pembekalan terkait uraian tugas baru tersebut kepada pegawai
oleh kepala unit kerja. Uraian tugas yang baru kepada pegawai
yang dirotasi maupun mutasi dan
c. Kepala unit kerja membuat laporan evaluasi kemampuan
melaksanaka nuraian tugas yang baru kepada pegawai yang
dirotasi maupun mutasi dan tindak lanjutnya.
d. Laporan alih tugas tanggung jawab disimpan dalam file pegawai.
2.  Pegawai yang rotasi dilakukan evaluasi pada saat 3 bulan masa transisi rotasi.
Bila pegawai dinilai tidak memenuhi standar dapat dikembalikan kepada posisi
3. Pegawai yang dimutasi dilakukan evaluasi pada saat 3 bulan masa transisi dan 6
bulan masa percobaan mutasi. Pada masa transisi dievaluasi penguasaan uraian
tugasnya, sedangkan 6 bulan dinilai soft kompetensi dan hard kompetensinya.
4. Bila pegawai dinilai tidak memenuhi standar dapat dikembalikan kepada posisi
sebelumnya. 
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO
NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

KEBIJAKAN PEMELIHARAAN DAN PERALATAN PERLENGKAPAN FARMASI

 RUMAH SAKIT 

DIREKTUR RUMAH SAKIT 

MENIMBANG:

1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit , maka diperlukan
penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi.
2. Bahwa agar pelayanan di Rumah Sakit dapat terlaksana dengan baik, maka perlu adanya
Peraturan Direktur tentang Kebijakan Pemeliharaan Peralatan dan Perlengkapan Farmasi
sebagai landasan bagi penyelenggaraan pelayanan Instalasi Farmasi di Rumash Sakit .

MENGINGAT:

1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit.
4. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018 tentang
Kebijakan Pemeliharaan Dan Peralatan Perlengkapan Farmasi RSU Santo Yoseph Labuan
Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG KEBIJAKAN PEMELIHARAAN


PERALATAN DAN PERLENGKAPAN FARMASI.
2. Kebijakan Pemeliharaan Peralatan dan Perlengkapan Farmasi Rumah Sakit
sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan ini.
3. Pengelolaan dan pemeliharaan peralatan dan perlengkapan farmasi Rumah Sakit
dilaksanakan oleh IFRS.
4. Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun
sekali.
5. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan dilakukan
perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


Direktur
TEMBUSAN Yth :

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip
SURAT PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT 
NOMOR : …/…/Dir-SK/XII/2018
TANGGAL :

KEBIJAKAN PEMELIHARAAN PERALATAN DAN PERLENGKAPAN FARMASI

RUMAH SAKIT 

1. Yang dimaksud peralatan dan perlengkapan farmasi adalah alat alat yang digunakan untuk
keperluan dalam pengelolaan perbekalan farmasi dan pelayanan farmasi serta sarana dan
prasarana farmasi Rumah Sakit
2. Rumah Sakit melakukan pemeliharaan peralatan dan perlengkapan yaitu upaya yang dilakukan
agar peralatan dan perlengkapan farmasi selalu dalam kondisi baik dan dapat difungsikan
dengan baik dan dapat mencapai usia pakai yang lebih lama.
3. Rumah Sakit melakukan pemeliharaan peralatan dan perlengkapan untuk semua sarana dan
prasaran penunjang unit kerja farmasi yang berada di IFRS dan Gudang Farmasi serta ruangan
lain yang terkait.
4. Pemeliharaan peralatan dan perlengkapan farmasi di Rumah Sakit dibagi dalam dua macam
jenis pemeliharaan yakni pemeliharaan terencana dan pemeliharaan tidak terencana.
5. Pemeliharaan terencana meliputi pemeliharaan preventif/pencegahan dan pemeliharaan
korektif/perbaikan.
6. Pemeliharaan Preventif meliputi pemantauan fungsi (maintenaince) dan kalibrasi/verifikasi dan
safety test.
7. Pemeliharaan tidak terencana adalah kegiatan pemeliharaan yang bersifat darurat berupa
perbaikan terhadap kerusakan peralatan dan perlengkapan yang mendadak/tidak terduga dan
harus segera diperbaiki.
8. Pemeliharaan peralatan dan perlengkapan di Rumah sakit dilakukan oleh IFRS sedangkan
perbaikan dilakukan oleh Teknisi bagian Maintenance.

WHITE PAPER
APOTEKER

A. Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
kesehatan, tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan semakin
meningkat.Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan, khususnya di rumah sakit,
mempunyai tanggung jawab untuk dapat melayani dengan professional.Dalam rangka
menciptakan apoteker di rumah sakit yang kompeten maka memerlukan standard yang jelas
agar apoteker mampu bekerja dan berkembang sesuai dengan tuntutan.

Dalam White Paper ini, standar kompetensi yang dibuat mengacu pada Standar Kompetensi
Apoteker Indonesia tahun 2011. Standar kompetensi ini menjadi acuan setiap Apoteker yang
bekerja di rumah sakit….

B. Standar Kompetensi Apoteker


Merupakan standar yang harus dimiliki oleh apoteker secara umum yang bekerja di instalasi
farmasi RS RK Charitas sebagai berikut:
ApotekerYunior :
1. Lulus pendidikan formal minimal S1 Sarjana Farmasi dan Profesi Apoteker
2. Lama Kerja 0 tahun sampai dengan 3 tahun
3. Memiliki Sertifikat Kompetensi Apoteker, Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA),
Surat Izin Kerja (SIK) Apoteker yang masih berlaku
4. Telah melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker secara mandiri dan
Disupervisi
5. Telah mengikuti pelatihan berkaitan farmakoterapi minimal satu kali setahun
6. Pengisian Logbook secara keseluruhan minimal 80 % untuk dapat diajukan dalam proses
Asesmen kompetensi

Apoteker Senior :
1. Lulus pendidikan formal minimal S1 Sarjana Farmasi dan Profesi Apoteker
2. Lama Kerja lebih 3 tahun
3. Memiliki Sertifikat Kompetensi Apoteker, Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), Surat
Izin Kerja (SIK) Apoteker yang masih berlaku
4. Telah melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker secara mandiri dan disupervisi
5. Telah mengikuti pelatihan berkaitan farmakoterapi minimal satu kali setahun
6. Pengisian Logbook secara keseluruhan minimal 80 % untuk dapat diajukan dalam proses
Asesmen kompetensi

C. Standar Kompetensi Khusus


Merupakan standar pencapaian kompetensi berdasarkan levelnya yang harus di penuhi oleh
seorang penata anestesi;

KOMPETENSI APOTEKER
Apoteker Farmasi Yunior
1. Mampu Melakukan Praktik Kefarmasian secara Profesional Dan Etik
1.1. Menguasai Kode Etik yang Berlaku dalam Praktik Profesi.
1.1.1. Artikulasi Kode Etik dalam Praktik Profesi
1.2. Mampu menarapkan Praktik Kefarmasian secara Legal dan Profesional
sesuai Kode Etik Apoteker Indonesia.
1.2.1. Perilaku profesional sesuai dengan Kode Etik Apoteker Indonesia
1.2.2. Integritas personal dan professional
1.3. Memiliki Keterampilan Komunikasi
1.3.1. Mampu menerapkan prinsip-prinsip Komunikasi Terapetik
1.3.2. Mampu mengelola Informasi yang ada dalam diri untuk
dikomunikasikan
1.3.3. Mampu memfasilitasi proses komunikasi
1.4. Mampu Berkomunikasi dengan Pasien
1.4.1. Mampu menghargai pasien
1.4.2. Mampu melaksanakan tahapan komunikasi dengan pasien
1.5. Mampu Berkomunikasi dengan Tenaga Kesehatan
1.5.1. Mampu melaksanakan tahapan komunikasi dengan tenaga
kesehatan
1.6. Mampu Berkomunikasi Secara Tertulis
1.6.1. Pemahaman Rekam Medis (Medical Record) atau Rekam
Kefarmasian/Catatan Pengobatan (Medication Record)
1.6.2. Mampu komunikasi tertulis dalam Rekam Medis (Medical Record) atau
Rekam Kefarmasian/Catatan Pengobatan (Medication Record) secara
benar
1.7. Mampu Melakukan Konsultasi/Konseling Sediaan farmasi dan Alat
Kesehatan (Konseling Farmasi)
1.7.1. Melakukan persiapan konseling sediaan farmasi dan alat
kesehatan
1.7.2. Melakukan konseling farmasi
1.7.3. Membuat dokumentasi Praktik Konseling
2. Mampu Menyelesaikan Masalah Terkait dengan Penggunaan Sediaan Farmasi
2.1. Mampu Menyelesaikan Masalah Penggunaan obat yang rasional
2.1.1. Mampu Melakukan Penelusuran riwayat pengobatan pasien (patient
medication history)
2.1.2. Mampu Melakukan Tinjauan Penggunaan Obat Pasien
2.1.3. Melakukan Analisis Masalah Sehubungan Obat (DTPs/DrugTherapy
Problem)
2.1.4. Mampu Memberikan Dukungan Kemandirian Pasien Dalam
Penggunaan Obat
2.1.5. Mampu Monitoring Parameter Keberhasilan Pengobatan
2.1.6. Mampu Evaluasi hasil akhir terapi obat Pasien
2.2. Mampu Melakukan Telaah Penggunaan Obat Pasien
2.2.1. Melakukan Tindak lanjut Hasil Monitoring Pengobatan Pasien
2.2.2. Melakukan Intervensi/Tindakan Apoteker
2.2.3. Membuat Dokumentasi Obat Pasien
2.3. Mampu Melakukan Monitoring Efek Samping Obat
2.3.1. Melakukan Sosialisasi Pentingnya Pelaporan Efek Samping Obat
2.3.2. Mengumpulkan Informasi Untuk Pengkajian Efek Samping Obat
2.3.3. Melakukan Kajian data yang Terkumpul
2.3.4. Memantau Keluaran Klinis(Outcome Clinic) Yang Mengarah Ke
Timbulnya Efek Samping
2.3.5. Memastikan Pelaporan Efek Samping Obat
2.3.6. Menentukan Alternatif Penyelesaian Masalah Efek Samping Obat
2.3.7. Membuat Dokumentasi MESO
2.4. Mampu Melakukan Evaluasi Penggunaan Obat
2.4.1. Menentukan Prioritas Obat Yang Akan Dievaluasi
2.4.2. Menetapkan Indikator Dan Kriteria Evaluasi Serta Standar
Pembanding
2.4.3. Menetapkan Data pengobatan yang Relevan Dengan Kondisi
Pasien
2.4.4. Melakukan Analisis Penggunaan Obat Dari Data Yang Telah
Diperoleh
2.4.5. Mengambil Kesimpulan Dan Rekomendasi Alternatif Intervensi
2.4.6. Melakukan Tindak lanjut dari rekomendasi
2.4.7. Membuat Dokumentasi Evaluasi Penggunaan Obat
2.5. Mampu Melakukan Praktik Therapeutic Drug Monitoring (TDM)*
2.5.1. Melakukan Persiapan kelengkapan pelaksanaan TDM
2.5.2. Melakukan Analisis Kebutuhan Dan Prioritas Golongan Obat
2.5.3. Melakukan Assessment Kebutuhan Monitoring Terapi Obat
Pasien
2.5.4. Melakukan Praktik TDM
2.5.5. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan Praktik TDM
2.5.6. Membuat Dokumentasi Praktik TDM
2.6. Mampu Mendampingi Pengobatan Mandiri (Swamedikasi) oleh Pasien
2.6.1. Mampu Melakukan Pendampingan Pasien dalam Pengobatan Mandiri
2.6.2. Meningkatkan pemahaman masyarakat terkait pengobatan mandiri
2.6.3. Melaksanakan pelayanan pengobatan mandiri kepada masyarakat
2.6.4. Membuat Dokumentasi Pelayanan Pendampingan pengobatan mandiri
oleh Pasien
3. Mampu Melakukan Dispensing Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
3.1. Mampu Melakukan Penilaian Resep
3.1.1. Memeriksa Keabsahan resep
3.1.2. Melakukan Klarifikasi Permintaan obat
3.1.3. Memastikan Ketersediaan Obat
3.2. Melakukan Evaluasi Obat Yang Diresepkan
3.2.1. Mempertimbangkan Obat Yang Diresepkan
3.2.2. Melakukan Telaah Obat Yang Diresepkan Terkait Dengan Riwayat
Pengobatan Dan Terapi Terakhir Yang Dialami Pasien
3.2.3. Melakukan Upaya Optimalisasi Terapi Obat
3.3. Melakukan Penyiapan Dan Penyerahan Obat Yang Diresepkan
3.3.1. Menerapkan Standar Prosedur Operasional Penyrapan Dan
Penyerahan Obat
3.3.2. Membuat Dokumentasi Dispensing
3.3.3. Membangun Kemandirian Pasien Terkait Dengan Kepatuhan
Penggunaan Obat
4. Mampu Memformulasi dan Memproduksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
sesuai Standar yang Berlaku.
4.1. Mampu Melakukan Persiapan Pembuatan/Produksi Obat
4.1.1. Memahami Standar Dalam Formulasi Dan Produksi
4.1.2. Memastikan Jaminan Mutu Dalam Pembuatan Sediaan
4.1.3. Memastikan Ketersediaan Peralatan Pembuatan Sediaan
Farmasi
4.1.4. Melakukan Penilaian Ulang Formulasi
4.2. Mampu Membuat Formulasi dan Pembuatan/Produksi Sediaan Farmasi
4.2.1. Mempertimbangkan Persyaratan Kebijakan Dan Peraturan Pembuatan
Dan Formulasi
4.2.2. Melakukan Persiapan Dan Menjaga Dokumentasi Obat
4.2.3. Melakukan Pencampuran Zat Aktif Dan Zat Tambahan
4.2.4. Menerapkan Prinsip-Prinsip Dan Teknik-Teknik Penyiapan Pembuatan
Obat Non Steril
4.2.5. Menerapkan Prinsip-Prinsip Dan Teknik-Teknik Penyiapan Produk
Steril
4.2.6. Melakukan Pengemasan, Labe/Penandaan Dan Penyimpanan
4.2.7. Melakukan Kontrol Kualitas Sediaan Farmasi
4.3. Mampu Melakukan iv-Admixture dan Mengendalikan Sitostatika/Obat
Khusus*
4.3.1. Melakukan Persiapan Penatalalaanaan Sitostatika/Obat Khusus
4.3.2. Melakukan iv-Admixture (Rekonstitusi dan Pencampuran)
Sitostatika/Obat Khusus
4.3.3. Melakukan pengamanan sitostatika
4.4. Mampu Melakukan Persiapan Persyaratan Sterilisasi Alat Kesehatan
4.4.1. Mampu Memastikan Persyaratan Infrastruktur Sterilisasi
4.4.2. Memastikan Bahan Dasar Alat Kesehatan yang Akan Disterilkan
4.4.3. Memastikan Kualitas pemilihan bahan sterilisasi
4.5.
Mampu Melakukan Sterilisasi Alat Kesehatan Sesuai Prosedur Standar
4.5.1. Memahami Persyaratan Dan Prosedur Kerja Sterilisasi
4.5.2. Melakukan Dolumentasi Proses Sterilisasi Alat Kesehatan
4.5.3. Menyiapkan Set Alat Kesehatan Steril Utama Dan Alat Kesehatan
Penunjangnya
4.5.4. Menerapkan Prinsip-Prinsip Dan Teknik-Teknik Penyiapan Sediaan
Farmasi Steril
4.5.5. Menerapkanprinsip-Prinsip Dan Teknik-Teknik Penyiapan Alat
Kesehatan Steril
4.5.6. Melakukan Pengemasan, Penandaan/Labelisasi Dan Indikator
Ekstemal.
4.5.7. Menerapkan Prinsip-Prinsip Proses Sterilisasi Alat Kesehatan Steril
4.5.8. Menerapkan Prinsip-Prinsip Penyimpanan Dan Distribusi Alat
Kesehatan Steril
5. Mempunyai Keterampilan Komunikasi dalam Pemberian Informasi Sediaan
Farmasi Dan Alat Kesehatan
5.1. Mampu Melakukan Pelayanan Informasi Sediaan Farmasi
5.1.1. Melakukan Klarifikasi Permintaan Informasi Obat Yang
Dibutuhkan
5.1.2. Melakukan Identifikasi Sumber Informasi/Referensi Yang
Relevan
5.1.3. Melakukan Akses Informasi Sediaan Farmasi Yang Valid
5.1.4. Melakukan Evaluasi Sumber Informasi (Critical Appraisal)
5.1.5. Merespon Pertanyaan Dengan Informasi Jelas, Tidak Bias, Valid,
Independen
5.2. Mampu Menyampaikan Informasi Bagi Masyarakat dengan
Mengindahkan Etika Profesi Kefarmasian
5.2.1. Menyediakan Materi Informasi Sediaan Farmasi Dan Alkes Untuk
Pelayanan Pasien
5.2.2. Menyediakan Edukasi Masyarakat Mengenai Penggunaan Obat Yang
Aman
6. Mampu Berkontribusi Dalam Upaya Preventif dan Promotif Kesehatan
Masyarakat
6.1. Mampu Bekerjasama Dalam Pelayanan Kesehatan Dasar
6.1.1. Bekerjasama Dengan Tenaga Kesehatan Lain Dalam Menangani
Masalah Kesehatan Di Masyarakat
6.1.2. Melakukan Survei Masalah Obat Di Masyarakat
6.1.3. Melakukan Identifikasi Dan Prioritas Masalah Kesehatan Di Masyarakat
Berdasar Data
6.1.4. Melakukan Upaya Promosi Dan Preventif Kesehatan Masyarakat
6.1.5. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan
6.1.6. Membuat Dokumentasi Pelalaanaan Program Promosi Kesehatan
7. Mampu Mengelola Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan sesuai Standar yang
Berlaku
7.1. Mampu Melakukan Seleksi Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan
7.1.1. Menetapkan Kriteria Seleksi Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.1.2. Menatapkan Daftar Kebutuhan Sediaan Farrrasi Dan Alat
Kesehatan
7.2. Mampu Melakukan Pengadaan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan
7.2.1. Melakukan Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi Dan
Alkes
7.2.2. Melakukan Pemilihan Pemasok Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.2.3. Menetapkan Metode Pengadaan Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.2.4. Melaksanakan Pengadaan Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.3. Mampu Mendesain, Melakukan Penyimpanan Dan Distribusi Sediaan
Farmasi Dan Alat Kesehatan
7.3.1. Melakukan Penyimpanan Sediaan Farmasi Dan Alkes Dengan
Tepat
7.3.2. Melakukan Distribusi Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.3.3. Melakukan Pengawasan Mutu Penyimpanan Sediaan Farmasi
Dan Alat Kesehatan
7.4. Mampu Melakukan Pemusnahan Sediaan Farmasi Dan Alkes sesuai
Peraturan
7.4.1. Memusnahkan Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.5. Mampu Menetapkan Sistem dan Melakukan Penarikan Sediaan
Farmasi Dan Alkes
7.5.1. Memastikan Informasi Tentang Penarikan Sediaan Farmasi Dan Alkes
7.5.2. Melakukan Perencanaan Dan Melaksanakan Penarikan Sediaan
Farmasi Dan Alkes
7.5.3. Komunikasi Efektif Dalam Mengurangi Risiko Akibat Penarikan Sediaan
Farmasi Dan Alkes
7.6. Mampu Mengelola Infrastruktur Dalam Pengelolaan Sediaan Farmasi
dan Alkes
7.6.1. Memanfaatkan Sistem Dan Teknologi Lnformasi Dalam Pengelolaan
Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan
7.6.2. Membuat Dan Menetapkan Struktur Organisasi Dengan SDM Yang
Kompeten
7.6.3. Mengelola Sumber Daya Manusia Dengan Optimal
7.6.4. Mengelola Keuangan
7.6.5. Penyelenggaraan Praktik Kefarmasian Yang Bermutu
8. Mempunyai Ketrampilan Organisasi dan Mampu Membangun Hubungan
Interpersonal Dalam Melakukan Praktik Profesionai Kefarmasian
8.1. Mampu Merencanakan Dan Mengelola Waktu Kerja
8.1.1. Membuat Perencanaan Dan Penggunaan Waktu Kerja
8.1.2. Mengelola Waktu Dan Tugas
8.1.3. Menyelesaikan Pekerjaan Tepat Waktu
8.2. Mampu Optimalisasi Kontribusi Diri Terhadap Pekerjaan
8.2.1. Memahami Lingkungan Bekerja
8.2.2. Melakukan Penilaian Kebutuhan Sumber Daya Manusia
8.2.3. Mengelola Kegiatan Kerja
8.2.4. Melakukan Evaluasi Diri
8.3. Mampu Bekerja Dalam Tim
8.3.1. Mampu Berbagi informasi yang relevan
8.3.2. Berpartisipasi dan kerjasama tim dalam pelayanan
8.4. Mampu Membangun Kepercayaan Diri
8.4.1. Mampu Memahami Persyaratan Standar Profesi
8.4.2. Mampu Menetapkan Peran Diri Terhadap Profesi
8.5. Mampu Menyelesaikan Masalah
8.5.1. Mampu Menggali Masalah Aktual Atau Masalah Yang Potensial
8.5.2. Mampu Menyelesaikan masalah
8.6. Mampu Mengelola Konflik
8.6.1. Melakukan Identifikasi Penyebab Konflik
8.6.2. Menyelesaikan Konflik
9. Mampu mengikuti Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang
Berhubungan dengan Kefarmasian
9.1. Belajar Sepanjang Hayat dan Kontribusi untuk Kemajuan Profesi
9.1.1. Mengetahui, Mengikuti Dan Mengamalkan Perkembangan Terkini Di
Bidang Farmasi
9.1.2. Kontribusi Secara Nyata Terhadap Kemajuan Profesi
9.1.3. Mampu Menjaga Dan Meningkatkan Kompetensi Profesi
9.2. Mampu Menggunakan Teknologi Untuk Pengembangan Profesionalitas
9.2.1. Mampu Menggunakan Teknologi Untuk Meningkatkan Profesionalitas
9.2.2. Mampu Mengikuti Teknologi Dalam Pelayanan Kefarmasian (Teknologi
Informasi Dan Teknologi Sediaan)
10 Mampu menerapkan 6 Sasaran Keselamatan Pasien, manajemen risiko, dan
program keselamatan rumah sakit lainnya dalam pekerjaan kefarmasian
sehari-hari
10.1 Mampu menerapkan 6 Sasaran Keselamatan Pasien
10.1.1Mampu melakukan identifikasi pasien yang benar
10.1.2Mampu menerapkan komunikasi yang efektif
10.1.3Mampu menerapkan manajemen perbekalan farmasi dan asuhan
kefarmasian yang benar pada obat Kewaspadaan Tinggi
10.1.4Mengetahui dan memahami standar tepat lokasi, tepat operasi, dan tepat
pasien
10.1.5 Mampu menerapkan standar pengurangan risiko infeksi terkait
pelayanan kesehatan
10.1.6 Mampu menerapkan jatuh
10.2 Mampu melakukan pelaporan insiden keselamatan pasien kepada
KPRS
10.3 Mampu melakukan investigasi sederhana dan RCA
10.4 Mampu melakukan manajemen risiko terhadap pelayanan farmasi
Apoteker Medior
1 Mampu menyelesaikan masalah farmakoterapi yang tidak dapat
diselesaikan oleh apoteker yunior
2 Mampu melakukan analisis dan memberikan rekomendasi dalam
pengembangan sistem pelayanan farmasi di rumah sakit

Apoteker Senior
1 Mampu mengambil keputusan dalam situasi mendesak untuk
menyelesaikan masalah berkaitan pelayanan farmasi
2 Mampu menyelesaikan masalah farmakoterapi yang tidak dapat
diselesaikan oleh apoteker yunior dan medior

 * : Harus dengan bukti sertifikat pelatihan handling cytotoxic dan Iv Admixture


Demikian white paper kompetensi apoteker ini ditetapkan untuk dapat dilaksanakan sebagai
panduan dalam pelaksanaan proses kredensial apoteker. Apabila dikemudian hari terdapat
kekeliruan dalam penetapan akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

 SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

KEBIJAKAN PEMBERIAN VAKSINASI HEPATITIS B


DI RSU DHARMA IBU

MENIMBANG :

1. Bahwa dalam upaya mencegah dan mengendalikan infeksi di rumah sakit, perlu dilakukan
pemeriksaan berkala terhadap semua petugas Rs X sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan oleh Komite PPI.

2. Bahwa salah satu resiko bekerja di rumah sakit adalah terpapar Hepatitis B, untuk itu
rumah sakit harus memberikan proteksi berupa vaksinasi kepada seluruh petugas rumah
sakit terutama kepada petugas yang beresiko tinggi.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a dan b perlu ditetapkan
dengan Keputusan Direktur .

MENGINGAT :

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan


2. Keputusan Menkes RI Nomor 270/Menkes/SK/III/2007 tentang pedoman manajerial
rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
3. Keputusan Menkes RI Nomor 436/Menkes/SK/VI/1993 tentang standar pelayanan rumah
sakit dan standar pelayanan medis
4. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, Depkes RI, 2011

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

1. KEPUTUSAN KEPALA RSU DHARMA IBU TERNATE TENTANG KEBIJAKAN


PEMBERIAN VAKSINASI HEPATITIS B
2. Kebijakan yang dimaksud dalam keputusan ini adalah kebijakan kesehatan karyawan
berkala melalui pemeriksaan dan pemberian vaksinasi Hepatitis B kepada petugas di
RSU DHARMA IBU Tahun 2013
3. Kebijakan ini mengatur bagaimana pelaksanaan pemeriksaan HBsAg dan anti HBs serta
pemberian vaksinasi kepada petugas sesuai prosedur yang ditetapkan, untuk mencegah
penularan kepada petugas kesehatan dan lingkungan rumah sakit
4. Komite bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan dan melaporkan pelaksanaan
kebijakan tersebut kepada Kepala RSU DHARMA IBU
5. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila di kemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana
mestinya

  Ditetapkan di : Ternate
Tanggal :
RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA


TEMBUSAN Yth : Direktur

1. Wadir Pelayanan Medis

2. Komite Medis

3. Seluruh Dokter di Rumah Sakit 

4. Kepala Bagian Keperawatan

5. Seluruh Kepala Ruang Keperawatan

6. Instalasi Farmasi

7. Arsip

KEBIJAKAN PEMBERIAN VAKSINASI HEPATITIS B


A. Kebijakan Umum
1. Vaksinasi Hepatitis B diberikan kepada petugas kesehatan yang bekerja diruang
pelayanan yang beresiko tinggi menularkan penyakit, seperti : IGD, ICU, Unit Stroke,
Peristi, Haemodialisa, Ruang Perawatan Tekanan Negative, Perawatan Umum, dan
Perawatan IKA.
2. Pemberian vaksinasi Hepatitis B dilaksanakan oleh tim vaksinasi yang terdiri dari :
Komite PPI, Yanmed, Jangmed, Jangum, Patologi Klinik, dan Penyakit Dalam.
3. Petugas kesehatan yang memberikan vaksinasi harus memiliki memiliki kompetensi
4. Monitoring dan evaluasi terhadap petugas kesehatan yang telah mendapatkan vaksinasi
hepatitis B harus dilaksanakan pemeriksaan ulang HBsAg dan anti HBs dalam kurun
waktu 3 – 5 tahun.

B. Kebijakan khusus:
1. Komite PPI melakukan inventarisasi petugas kesehatan yang akan diberikan vaksinasi
Hepatitis B.
2. Komite PPI mengajukan sarana dan prasarana pemeriksaan dan pemberian vaksinasi
Hepatitis B : Reagen rapid HBsAg dan anti HBs, Dissposible syringe, dan alkohol swab.
3. Dilaksanakan koordinasi dengan tim vaksinasi tentang perencanaan, pelaksanaan,
pemeriksaan dan pemberian vaksinasi hepatitis B.
4. Petugas laboratorium melakukan pemeriksaan HBsAg dan anti HBs kepada petugas
kesehatan yang telah di inventarisir, selanjutnya hasil pemeriksaan dikirimkan ke Komite
PPI.
5. Komite PPI melakukan rekapitulasi hasil pemeriksaan yang diindikasikan untuk
mendapatkan vaksinasi Hepatitis B ( hasil pemeriksaan HBsAg (-) dan anti HBs (-) ),
selanjutnya daftar nama dikirimkan ke bagian Penyakit Dalam, sedangkan petugas
kesehatan dengan hasil HBsAg (+) dianjurkan untuk konsultasi ke Dokter Penyakit
Dalam dan petugas kesehatan dengan hasil laboratorium anti HBs (+) tidak dianjurkan
untuk vaksinasi karena sudah mempunyai anti body.
6. Staf bagian ilmu penyakit dalam melaksanakan vaksinasi Hepatitis B sesuai daftar
petugas yang telah diajukan oleh Komite PPI.
7. Pemberian vaksinasi Hepatitis B dilaksanakan dalam 3 (tiga) kali pemberian (0, 1, dan 5
bulan ).
8. Komite PPI membuat laporan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan dan pemberian
vaksinasi Hepatitis B tahunan dan melaporkan kepada Ka ….

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO


NOMOR: …/RSUSY/SK-KEP.KEB/I/2018

Tentang

KEBIJAKAN PENGELOLAAN OBAT KEWASPADAAN TINGGI

RUMAH SAKIT

MENIMBANG:
1. Bahwa obat merupakan salah satu bagian dalam peningkatan kualitas

hidup pasien sehingga diperlukan adanya manajemen yang harus

berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien.


2. Bahwa Rumah Sakit perlu memperhatikan dan mengelola obat kewaspadaan
tinggi karena obat-obatan yang termasuk dalam daftar obat kewaspadaan tinggi
yang beresiko tinggi membahayakan pasien jika terjadi kesalahan dalam
pemberiannya.
3. Rumah sakit secara kolaboratif harus mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai untuk
mengurangi kesalahan pemberian obat (medication errors) berdasarkan data
obat yang ada di rumah sakit.
4. Bahwa berdasarkan pertimbangansebagimana dimaksud dalam 1, 2, dan 3
diatas, perlu ditetapkan Kebijakan Pengelolaan Obat Kewaspadaan Tinggi di
Rumah Sakit.

MENGINGAT:
1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Kepmenkes RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992, tentang pedoman Organisasi
Rumah Sakit Umum.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004, tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
5. Surat keputusan pengurus yayasan Dharma Ibu nomor: …./ YDI /SK-P/I/2018
tentang Kebijakan Pengelolaan Obat Kewaspadaan Tinggi RSU Santo Yoseph
Labuan Bajo Ternate.
MEMUTUSKAN :

MENETAPKAN:
1. Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Kebijakan Nomor :
22/KBJ/KKP/RSISA/IV/2013 tentang Pengelolaan Obat Kewaspadaan Tinggi dan
Kebijakan Nomor : 23 /KBJ/KKP/RSI-SA/IV/2013 tentang Pengelolaan Obat
Nama Obat Rupa Dan Ucapan Mirip (Norum)
2. Kebijakan Pengelolaan Obat Kewaspadaan Tinggi di Rumah Sakit sebagai
berikut
2.1. Obat Kewaspadaan Tinggi (High-Alert medications/ HAM) adalah

obatyang perlu diwaspadai yang sering menyebabkan terjadi

kesalahan / kesalahan serius sehingga menyebabkan dampak yang

tidak diinginkan.
2.2. Obat yang memiliki Nama Obat , Rupa , dan Ucapan Mirip

(NORUM) dan Obat yang memiliki dosis lebih dari 1 jenis merupakan
bagian dari obat kewaspadaan tinggi
2.3. Obat yang memiliki nama obat rupa dan ucapan mirip (NORUM)

adalah obat yang berisiko menimbulkan kesalahan karena nama

obat yang membingungkan yaitu obat yang memiliki nama obat

yang mirip, rupa obat yang mirip, ucapan yang mirip, serta dosis

yang beragam (obat memiliki dosis lebih dari 1 jenis)


2.4. Penggolongan, penyimpanan, peresepan, penyiapan dan
penerimaan obat kewaspadaan tinggiterlampir dalam surat kebijakan ini.

2.5. Pemantauan IKP (Insiden Keselamatan Pasien) yang terjadi dilaporkan menggunakan
cara pelaporan kesalahan obat

(medication error) dan pelaporan kesalahan obat.

3. Kebijkan ini berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak tanggal diterbitkan dan

akan dilakukan evaluasi minimal 1 (satu) tahun sekali.

4. Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan dan perbaikan,

maka akan dilakukan perubahan dan perbaikan sebagiamana mestinya

Ditetapkan di : Ternate

Tanggal :

RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA

Direktur
Tembusan Yth :

1. Manajer Pelayanan Medis

2. Manajer Penunjang Medis

3. Kepala Instalasi Farmasi

4. Manajer Keperawatan

5. Komite Keselamatan Pasien

6. Arsip
1. KEBIJAKAN PELAYANAN PERAWATAN HIV AIDS RUMAH SAKIT
2. PROGRAM PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN
RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO TERNATE
3. KEBIJAKAN REKONSILIASI OBAT RSU SANTO YOSEPH LABUAN BAJO TERNATE
4. PEDOMAN PENYIMPANAN OBAT RUMAH SAKIT
5. KEBIJAKAN KESALAHAN OBAT (MEDICATION ERROR) DAN PELAPORAN
KESALAHAN OBAT
6. KEBIJAKAN PERESEPAN, PEMESANAN DAN PENCATATAN OBAT
RUMAH SAKIT
7. PANDUAN PEMBERIAN INFORMASI DAN EDUKASI RUMAH
SAKIT
8. KEBIJAKAN PENYIMPANAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT
9. KEBIJAKAN PENAMBAHAN DAN PENGURANGAN OBAT FORMULARIUM
10. KEBIJAKAN PERENCANAAN PERBEKALAN FARMASI
11. KEBIJAKAN PANDUAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT
12. KEBIJAKAN PERACIKAN OBAT RUMAH SAKIT
13. KEBIJAKAN PEMANTAUAN DAN PELAPORAN EFEK SAMPING OBAT
14. KEBIJAKAN PENDELEGASIAN PELAYANAN KEFARMASIAN KE PERAWAT
15. KEBIJAKAN TELAAH RESEP RUMAH SAKIT
16. KEBIJAKAN PENGAWASAN, PENGGUNAAN OBAT DAN KEAMANAN OBAT
17. KEBIJAKAN PERENCANAAN PERBEKALAN FARMASI
18. KEBIJAKAN WAKTU TUNGGU PELAYANAN OBAT RUMAH SAKIT
19. KEBIJAKAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RUMAH SAKIT
20. KEBIJAKAN WAKTU TUNGGU PELAYANAN OBAT RUMAH SAKIT
21. KEBIJAKAN PELAYANAN RESIKO TINGGI RUMAH SAKIT
22. KEBIJAKAN PENDISTRIBUSIAN BARANG FARMASI RUMAH SAKIT
23. KEBIJAKAN PELAYANAN VISITE APOTEKER KE RAWAT INAP
24. KEBIJAKAN TELAAH RESEP RUMAH SAKIT
25. KEBIJAKAN PENYIMPANAN DAN PENGELOLAAN OBAT SAMPEL
26. KEBIJAKAN PENCATATAN / PELAPORAN OBAT NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
RUMAH SAKIT
27. KEBIJAKAN TENTANG PETUGAS YANG BERWENANG MENELAAH PESANAN OBAT
(RESEP) RUMAH SAKIT
28. KEBIJAKAN PELAYANAN VISITE APOTEKER KE RAWAT INAP
RUMAH SAKIT
29. KEBIJAKAN EVALUASI DAN PENGENDALIAN MUTU FARMASI RUMAH SAKIT
30. KEBIJAKAN PENYIMPANAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA RUMAH SAKIT
31. KEBIJAKAN PANDUAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT\
32. KEBIJAKAN PEMBERIAN OBAT KEPADA PASIEN RUMAH SAKIT
33. KEBIJAKAN PENYERAHAN OBAT RUMAH SAKIT
34. KEBIJAKAN PENARIKAN PERBEKALAN FARMASI DARI PEREDARAN DAN
PEMUSNAHAN PERBEKALAN FARMASI KADALUARSA
35. KEBIJAKAN DISPENSING OBAT RUMAH SAKIT
36. KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT
37. KEBIJAKAN KEBERSIHAN TANGAN
38. KEBIJAKAN PELAYANAN KONSELING OBAT RUMAH SAKIT
39. KEBIJAKAN PENGELOLAAN OBAT KEWASPADAAN TINGGI
40. KEBIJAKAN PENGELOLAAN OBAT KEWASPADAAN TINGGI
41. KEBIJAKAN KEBERSIHAN TANGAN
42. KEBIJAKAN PELAYANAN KONSELING OBAT RUMAH SAKIT
43. KEBIJAKAN TENTANG PETUGAS YANG BERWENANG MENELAAH PESANAN OBAT
(RESEP) RUMAH SAKIT
44. KEBIJAKAN PELAPORAN OBAT RUMAH SAKIT
45. KEBIJAKAN PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
46. KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKI
47. KEBIJAKAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
48. KEBIJAKAN PENGKAJIAN PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT
49. KEBIJAKAN PENCATATAN / PELAPORAN PENGGUNAAN PERBEKALAN FARMASI
RUMAH SAKIT
50. KEBIJAKAN MEDICATION ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
51. KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI SERAGAM RUMAH SAKIT
52. KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI
RUMAH SAKIT
53. KEBIJAKAN PETUGAS YANG BERHAK MENULISKAN RESEP
RUMAH SAKIT
54. KEBIJAKAN PEMBENTUKAN KOMITE FARMASI DAN TERAPI
RUMAH SAKIT
55. KEBIJAKAN PETUGAS YANG BERWENANG MEMBERIKAN OBAT
RUMAH SAKIT
56. KEBIJAKAN PETUGAS YANG BERWENANG MEMBERIKAN OBAT
RUMAH SAKIT
57. KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT
58. KEBIJAKAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RUMAH SAKIT
59. KEBIJAKAN PENGADAAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT
60. KEBIJAKAN PERESEPAN, PEMESANAN DAN PENCATATAN OBAT
RUMAH SAKIT
61. KEBIJAKAN PENGADAAN OBAT YANG TIDAK TERSEDIA DI
RUMAH SAKIT
62. KEBIJAKAN PENGOBATAN SENDIRI / SWAMEDIKASI RUMAH SAKIT
63. KEBIJAKAN RETUR PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT
64. KEBIJAKAN PENGAMANAN ATAU PERLINDUNGAN PERBEKALAN FARMASI
RUMAH SAKIT
65. KEBIJAKAN PELABELAN OBAT YANG DIKELUARKANKAN DARI WADAH ASLI
66. KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI EMERGENCY
RUMAH SAKIT
67. KEBIJAKAN PANDUAN PENULISAN RESEP RUMAH SAKIT
68. KEBIJAKAN KRITERIA INFORMASI SPESIFIK PASIEN YANG DIBUTUHKAN UNTUK
TELAAH RESEP
69. KEBIJAKAN KRITERIA INFORMASI SPESIFIK PASIEN YANG DIBUTUHKAN UNTUK
TELAAH RESEP
70. KEBIJAKAN PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI SERAGAM RUMAH SAKIT
71. KEBIJAKAN ALIH TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PEGAWAI
DIREKTUR RS
72. KEBIJAKAN KRITERIA INFORMASI SPESIFIK PASIEN YANG DIBUTUHKAN UNTUK
TELAAH RESEP
73. KEBIJAKAN PELABELAN PERBEKALAN FARMASI RUMAH SAKIT
74. KEBIJAKAN ALIH TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PEGAWAI
DIREKTUR RS
75. KEBIJAKAN PEMELIHARAAN DAN PERALATAN PERLENGKAPAN FARMASI
RUMAH SAKIT
76. KEBIJAKAN PEMBERIAN VAKSINASI HEPATITIS B
DI RSU DHARMA IBU
77. KEBIJAKAN PENGELOLAAN OBAT KEWASPADAAN TINGGI
RUMAH SAKIT

KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT PATUT UMUM DHARMA IBU


NOMOR :
........................
TENTANG
PROSEDUR PENYIMPANAN OBAT
EMERGENCY DI MASING – MASING UNIT PADA RUMAH SAKIT UMUM DHARMA IBU
TERNATE

Menimbang :
1. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Pada Rumah Sakit
Umum Dharma Ibu Ternate, salah satunya melalui penyimpanan obat
emergency di masing-masing unit;
2. bahwa agar pelayanan di Rumah Sakit Umum Dharma Ibu Ternate dapat
terlaksana dengan baik, perlu adanya Prosedur penyimpanan obat
emergency di masing-masing unit Pelayanan Rumah Sakit sebagai landasan
penyelenggaraan seluruh pelayanan di Rumah Sakit Umum Dharma Ibu
Ternate.
3. ahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf 1 dan
2, perlu ditetapkan Keputusan Direktur tentang Prosedur penyimpanan obat
emergency di masing-masing unit.

Mengingat :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit
2. Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 51 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian
3. Keputusan Menteri Kesehatan republik Indonesia Nomor
1197/MenKes/SK/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1203/MenKes/SK/XII/2008 tentang
standarPelayanan Intensif Care Unit
MEMUTUSKAN

Menetapkan :
1. Kebijakan tentang penyimpanan obat emergency di Unit Instalasi Bedah Sentral,Unit
Intensif Care Unit, IRNA III, Unit Gawat Darurat, Instalasi Ibu Dan Bayi dengan
menggunakan troli obat yang terkunci.
2. Penggunaan obat emergency dengan menggunakan blangko yang sudah disediakan.
3. Pengelolaan obat emergency di ruangan dilakukan oleh farmasi berkoordinasi dengan
perawat ruangan.
4. Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila di kemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana
mestinya.

Ditetapkan di : Ternate

Tanggal :

RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA

Direktur

Tembusan Yth :

1. Manajer Pelayanan Medis

2. Manajer Penunjang Medis

3. Kepala Instalasi Farmasi

4. Manajer Keperawatan
5. Komite Keselamatan Pasien

6. Arsip

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR


NO. / SK / RSPB / / 2017
TENTANG
KEBIJAKAN PELAYANAN FARMASI

MENIMBANG:
1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit Permata Bunda, maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan Farmasi yang bermutu tinggi;
2. Bahwa agar pelayanan Farmasi di Rumah Sakit Permata Bunda dapat terlaksana
dengan baik, perlu adanya kebijakan Direktur Rumah Sakit Permata Bunda sebagai
landasan bagi penyelenggaraan pelayanan Farmasi di Rumah Sakit Permata Bunda ;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 diatas,
maka perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur Rumah Sakit Permata Bunda
.
MENGINGAT:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang
Perubahan Penggolongan Narkotika;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Penggolongan Psikotropika;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan ;
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tentang Pekerjaan Kefarmasian ;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
8. Surat Keputusan Penggangkatan Direktur No.001/PT.MMC/III/2013 tentang
penggangkatan Direktur Rumah Sakit Permata Bunda
9. Pedoman Perorganisasian Instalasi Farmasi
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN:
1. Keputusan direktur rumah sakit permata bunda tentang kebijakan pelayanan Rumah
Sakit Permata Bunda Malang
2. Kebijakan Pelayanan Farmasi Rumah Sakit Permata Bunda sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Keputusan ini.
3. Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan oleh Instalasi Farmasi dan Pelayanan Medis.
4. Keputusan ini berlaku sejak tinggal ditetapkannya, dan apabila di kemudian hari
teranyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate

Tanggal :

RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA

Direktur

Lampiran:
SK Direktur RS. Permata Bunda
Nomor: / SK / RSPB / / 2017
Perihal:Kebijakan Pelayanan Farmasi
KEBIJAKAN PELAYANAN FARMASI RUMAH SAKIT PERMATA BUNDA

A. Pengaturan dan manajemen :


1. pelaksanaan pekerjaan kefarmasian meliputi pemilihan, pengadaan, penyimpanan,
permintaan/peresepan, penyalinan, distribusi, persiapan, pengeluaran, pemberian,
dokumentasi dan pemantauan terapi obat-obatan.
2. Instalasi Farmasi bertanggung jawab terhadap semua sediaan farmasi/perbekalan
farmasi yang beredar di rumah sakit.
3. Sediaan farmasi/ perbekalan terdiri dari obat, bahan obat, alat kesehatan, reagensia,
radiofarmasi, dan gas medis.
4. Pelayanan farmasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan rumah
sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang
bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat.
5. Pelaayanan farmasi dilaksanakan dengan sistem satu pintu.
6. Instalasi farmasi dipimpin oleh Apoteker, berijasah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, yang telah
memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker dan Surat Izin Praktek Apoteker.
7. Kepala Instalasi Farmasi bertanggung jawab terhadap segala aspek hukum dan
peraturan-peraturan farmasi baik terhadap administrasi sediaan farmasi dan
pengawasaan distribusi.

B. Pemilihan dan pengadaan:


1. Pengadaan obat di rumah sakit dilaksanakan mengacu pada Formularium rumah sakit
dan Formularium Nasional untuk JKN – BPJS. Proses pengadaan dilaksanakan sesuai
undang - undang yang berlaku, yang melibatkan jalur distribusi obat yang resmi, dengan
pengelolaan yang dikendalikan secara penuh rumah sakit.
2. Pemilihan obat masuk formularium dan penghapusan obat dari formularium harus
mengikuti kriteria yang berlaku.
3. Bila sesuatu obat dalam resep tidak tersedia di instalasi farmasi, ada proses yang
ditetapkan rumah sakit untuk pemberitahuan kepada dokter penulis resep, saran
substitusi, atau pengadaannya.
4. Pengawasan penggunaan obat di rumah sakit dilaksanakan oleh Panitia Farmasi dan
Terapi.
5. Anggota Panitia Farmasi dan Terapi telah diputuskan sesuai SK Direktur.
6. Panitia Farmasi dan Terapi terlibat dalam proses pemesanan, penyaluran, pemberian
dan monitoring pengobatan pasien, evaluasi dan penggunaan obat dalam formularium
rumah sakit.
7. Kriteria dan prosedur untuk penambahan dan pengurangan obat dari formularium
ditetapkan oleh rumah sakit.
8. Panitia Farmasi dan Terapi melakukan monitoring penggunaan obat baru serta
timbulnya KTD akibat obat baru yang ditambahkan dalam formularium.
9. Formularium ditelaah minimal satu kali dalam setahun, berdasarkan informasi tentang
keamanan dan efektifitasnya. Proses telaah Formularium dilakukan oleh Panitia
Farmasi dan Terapi
10. Prosedur persetujuan dan pengadaan obat – obat yang diperlukan dalam pelayanan
tetapi tidak tersedia dalam stok telah ditetapkan oleh rumah sakit.
C. Penyimpanan :
1. Penyimpanan obat dan perbekalan farmasi khusus (obat yang dibawa oleh pasien, obat
emergency, obat program kesehatan) dilaksanakan berdasarkan prosedur yang telah
ditetapkan rumah sakit.
2. Rumah sakit tidak melakukan penyimpanan dan pengelolaan obat sitostatika, Total
Parental Nutrition (TPN) dan produk steril karena belum ada fasilitas BSC (Biological
Safety Cabinet)
3. Rumah sakit menetapkan proses dan peralatan untuk pengamanan obat dan
perbekalan farmasi lainnya.
4. Perbekalan farmasi khusus meliputi obat-obat narkotik dan psikotropi, obat-obat High
Alert, elektrolit pekat, bahan berbahaya dan beracun, produk nutrisi, dan bahan
radioaktif, dikelola dengan prosedur yang telah ditetapkan rumah sakit.
5. Obat yang dibawa pasien dari luar, setelah melalui proses rekonsiliasi obat dan terapi
boleh dilanjutkan, disimpan di Instalasi Farmasi rumah sakit untuk dilakukan proses
ODD.
6. Sebagai proses monitoring dan evaluasi kondisi penyimpanan obat dan alat kesehatan,
ditunjuk satu orang petugas farmasi untuk melakukan infeksi secara berkala setiap dua
minggu sekali.
7. Obat emergency tersedia di unit-unit pelayanan pasien dan pengelolaannya dimonitor
sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan rumah sakit.
8. Sistem penarikan obat telah diatur sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan rumah
sakit. Obat-obat yang kadaluarsa dan ketinggalan jaman dipisahkan, disimpan dan
dimusnahkan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan oleh rumah sakit.

D. Penyiapan dan pengeluaran :


1. Rumah sakit menyediakan fasilitas bangunan, ruangan dan peralatan yang memenuhi
ketentuan dan perundang-undangan kefarmasian yang berlaku.
2. Pelayanan obat dilaksanakan dalam area yang bersih dan aman, sesuai dengan
prosedur yang sudah ditetapkan rumah sakit.
3. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Permata Bunda memberikan pelayanan 24 jam.
4. Petugas farmasi yang kompeten melaksanakan proses skrining resep sebelum melayani
resep.
5. Ada prosedur yang ditetapkan rumah sakit bila resep dokter tidak terbaca.
6. Pelayanan resep di rawat jalan dilaksanakan dengan sistem pelayanan resep individual.
7. Pelayanan resep di rawat inap dilaksanakan dengan sistem One Day Dose
Dispensing(ODDD).
8. Rumah sakit menyediakan sistem komputerisasi untuk proses pengelolaan mutasi stok
dan pencatatan pelayanan obat yang terintegrasi.

E. Pemberian :
1. Petugas farmasi yang berwenang memberikan obat adalah Apoteker yang telah memiliki
SIPA dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki SIKTTK.
2. Dalam pemberian obat pada pasien rawat inap, wewenang pemberian obat di
delegasikan kepada perawat. Perawat yang berwenang adalah perawat yang telah
ditentukan kewenangannya sesuai Penugasan Klinis Perawat.
3. Dokter yang berwenang memberikan obat adalah semua dokter yang telah mendapatkan
Surat Penugasan (Clinical Appointmet) dari Direktur Rumah Sakit yang memuat
kewenangan klinis (Clinical Previleges) yang boleh dilakukan di rumah sakit.
4. Petugas farmasi melakukan proses telaah obat sebelum memberikan obat.
5. Perawat melakukan proses telaah obat dan serah terima dengan menggunakan form
7benar:
a. Benar Pasien
b. Benar Obat
c. Benar Dosis
d. Benar Waktu
e. Benar Cara Pemberian
f. Benar Dokumentasi
g. Benar Informasi
6. Rumah sakit menyediakan sarana edukasi dan konseling bagi pasien yang
menggunakan obat sendiri.
7. Proses dokumentasi dan pengelolaan obat yang dibawa pasien masuk ke rumah sakit,
dilakukan dalam proses Rekonsiliasi Obat oleh Apoteker dan pengelolaan obat
berikutnya dilakukan oleh instalasi farmasi.
8. Rumah sakit tidak melakukan penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian obat
sampel yang ditujukan untuk uji klinis kepada pasien.
F. Pemantauan
1. Ada proses monitoring efek samping obat (MESO) dan pemantauan reaksi obat tidak
dikehendaki (ROTD) yang dilaksanakan secara kolaboratif, dengan prosedur yang sudah
ditetapkan rumah sakit.
2. Monitoring efek samping obat (MESO) dan pemantauan reaksi obat tidak dikehendaki
(ROTD) yang terpantau, ditulis di dalam dokumen rekam medik pasien dan dilaporkan
selambat-lambatnya 2 X 24 jam dalam bentuk laporan MESO.
3. Instalasi Farmasi ikut serta dalam proses peningkatan mutu dan keselamatan pasien
bersama Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Ditetapkan di : Ternate

Tanggal :

RSU Santo Yoseph Labuan Bajo

Dr. Sutomo Raharjo, SpA

Direktur

Anda mungkin juga menyukai