Anda di halaman 1dari 8

I AM HERE TO LEAVE YOU

By: licaleo

Ayra mendobrak pintu rumah Arshon. Terlihat lelaki itu tengah sibuk berkutat dengan
laptopnya. Tanpa basa-basi, Ayra menyeru, "Aku ingin mengakhiri hubungan ini!" Ia
menghela napas lega karena telah berhasil mengeluarkan kalimat sulit itu sedangkan Arshon
menatap Ayra menuntut penjelasan.
"Apa!" Lelaki tinggi dengan jaket kulit hitam bangkit menghampiri Ayra dengan
mengerutkan alisnya. Kemarahan dan ketakutan menyala di matanya.
"Aku lelah, Arshon. Aku lelah," Ayra memejamkan mata dan menarik napas dalam
sebelum melanjutkan perkataannya. "sampai kapan aku harus berjuang seorang diri? Sudah 3
tahun, tapi aku sama sekali tidak merasa bahagia dengan hubungan ini. Kau tak pernah
memberi apa yang seharusnya kau berikan dalam hubungan ini. Kau—"
"Apa? Apa yang tak pernah kuberi? Apa pengorbananku selama ini tak pernah kau
anggap? Dan bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau akan menerimaku apa adanya?
Mengerti siapa diriku? Mengapa kau mengeluh sekarang?" Nada suaranya meninggi dan
kerutan di dahi lelaki itu semakin terlihat jelas, menandakan bahwa ia tidak terima dengan
perkataan kekasihnya.
Ayra menghela napas. "Kau memintaku untuk sabar menghadapi sifat
tempramentalmu, aku terima."
"Kau mengabaikan panggilan dan pesanku, aku sabar dengan itu."
"Setiap saat kau melampiaskan kemarahanmu padaku, pernahkah aku mengeluh?
Tidak, bukan?" Mata Ayra mulai berkaca-kaca, dadanya sesak karena tangis yang tertahan.
Arshon mendekap Ayra. Jujur, ia tak tahan melihat gadisnya dengan mata yang
berkaca-kaca. "Apa yang kau inginkan? Aku akan menurutinya," bisik Arshon sembari
membelai rambut Ayra.
Ayra melepas paksa pelukan itu. "Haruskah aku mengatakan hal yang tak akan pernah
kau lakukan? Berulang kali kau bertanya, Arshon, tapi apakah kau pernah melakukannya?
Tidak sama sekali!" Ayra menekan kalimat terakhirnya.
Arshon meraih jemari Ayra dan menggenggamnya lembut. "Maafkan aku, Ay, aku
bersalah. Aku berjanji tak akan mengulanginya."
"Mari akhiri hubungan ini," final Ayra yang membuat Arshon terbelalak.
"Ti-tidak, kau tidak boleh seperti ini. Aku mencintaimu!" Arshon panik, ia mengejar
Ayra yang hampir sampai di pintu keluar lalu menarik lengannya.
"Cinta? Kau menyiksaku dengan segala sikap burukmu. Kau tak pernah tahu
bagaimana rasanya berada di posisiku. Menahan sakit, berusaha tetap tegar di depanmu
seolah aku baik-baik saja. Aku tersiksa berada dalam lingkaranmu, Arshon," Ayra
menghempas kasar lengannya yang digenggam Arshon. "aku juga ingin dimengerti dan
diperlakukan layaknya seorang kekasih. Namun, apa yang kudapat selama 3 tahun ini? Hanya
rasa sakit dan tertekan. Maka, sekarang aku ingin bebas darimu. Biar—"
"Kubilang aku mencintaimu!" Arshon menampar Ayra. Gadis itu terhuyung. Ia
menatap Arshon tajam. Tak ada kesakitan di matanya, hanya amarah.
"Kau!" Dengan mata merah menyala, lelaki bertubuh kekar itu menjambak rambut
hitam legam sebahu milik gadis mungil di depannya. "Kau tak pernah bisa memahamiku.
Aku mencintaimu, tapi kau tak bisa melihat cinta yang kuberikan padamu. Harusnya kau
bersyukur karena memilikiku, dasar perempuan jalang!"
Ayra menjerit, berusaha melepaskan cengkeraman Arshon pada rambutnya. Kulit
kepalanya terasa panas seperti terbakar, rambutnya seolah akan lepas dari akar.
"Lelaki brengsek sepertimu tak pantas dikatakan sebagai keberuntungan!" Arshon
semakin menguatkan cengkeramannya.
"S-sakit ... lepaskan aku!" Ayra memukul lengan lelaki itu, tetapi Arshon semakin
kuat mencengkeram.
"K-kumohon," lirihnya. Air mata Ayra lolos. Refleks Arshon melepas
cengkeramannya dan panik seketika.
"Ay, Ayra maafkan aku, ma-maafkan aku." Arshon ingin menarik Ayra ke dalam
pelukannya, tapi Ayra segera menepis lengan kekar itu.
"Kita berhenti di sini," lirih Ayra dengan raut datar. Gadis itu berusaha menahan air
matanya lolos lagi. Hatinya sakit sekali, bukan sekali ini saja Arshon melakukan kekerasan
padanya. Setiap lelaki itu marah, ia akan memukul Ayra. Namun, gadis itu berusaha untuk
tetap diam, berlindung di bawah nama cinta.
"Tapi aku mencintaimu, Ay!" Arshon masih berusaha meyakinkan Ayra.
"Aku sama sekali tidak ingin berhubungan dengan lelaki sepertimu," ketus Ayra.
Gigi Arshon beradu. "Sudah kubilang aku mencintaimu! Kau yang tidak bisa
merasakannya!" Arshon yang berapi-api melempar kursi pada Ayra. Gadis itu berlindung
dibalik lengannya yang mungil. Untung saja kursi itu mendarat di sisi kirinya.
Ayra lalu menatap Arshon penuh arti, dan berbisik lirih, "Cinta tak pernah menyakiti,
Arshon."
Gadis itu mengusap sisa air mata yang menjejak di pipi sembari terseok-seok
meninggalkan Arshon yang terpaku di depan pintu apartemen. Ayra tidak peduli dengan
tatapan orang yang memandang penuh keheranan. Penampilannya yang acak-acakan dengan
kedua tangan mengepal, serta mata berkaca-kaca dan merah, berusaha menahan tangisnya
pecah kembali.
Namun, bendungan air mata yang ia bangun runtuh seketika saat rasa menyesal
menyeruak di dada. Ia menyesali keputusannya. Ia menyesali segala kata yang meluncur dari
bibirnya. Sekelebat pikiran akan masa depan menghantam diri yang lemah itu hingga
terduduk tak berdaya di atas aspal hitam seolah kemampuan untuk berdiri tegak direnggut
paksa darinya.
Bagaimana dirinya jika tanpa Arshon, mengingat lelaki itu yang menariknya keluar
dari keterpurukan setelah peristiwa kecelakaan pesawat yang menewaskan kedua orang
tuanya. Lelaki itu selalu ada untuk Ayra, tak peduli apapun yang terjadi. Hidupnya
bergantung pada Arshon. Lalu bagaimana dengan hati yang sebenarnya mendambakan sosok
lelaki yang selalu bersikap kasar saat kehendaknya ditentang? Ia akui hati telah terjebak.
Namun, ia tak bisa lagi. Batinnya tak kuasa untuk terus bertahan. Arshon memang
memberikan apa yang ia butuhkan, tetapi tidak untuk satu hal yang bernama cinta itu.
Definisi cinta sesungguhnya yang Ayra inginkan, tanpa adanya kesakitan.
Langit seakan ikut iba atas Ayra. Hujan turun begitu lebatnya dalam waktu
sekejap, membasahi bumi, mengaburkan pandangan. Tangis gadis malang itu semakin
menjadi. Ia tak peduli dengan rasa sakit bak ditusuk jarum pada kulitnya ketika hujan terus
menghunjam tanpa ampun.
Bahunya berguncang hebat, jemarinya terkepal, dan kepalanya tertunduk. Ia terlalu
larut dalam rasa yang campur aduk hingga tak menyadari sorotan dua buah lampu menyoroti
punggungnya dan bergerak semakin dekat.
Sebuah hantaman kuat merobohkan tubuh ringkih itu seketika. Sisa kesadaran yang ia
miliki habis tak tersisa saat itu juga. Sementara Arshon yang murka terpaku ketika
jantungnya berdenyut nyeri. Firasat tak enak mengambil alih atensinya. Kedua kaki tanpa
alas berlari menuju tempat yang diisyaratkan hati, meninggalkan kamar bak kapal pecah.
Dunia Arshon seketika runtuh saat netranya terfokus pada tubuh mungil yang
tergeletak di atas genangan darah yang sudah membaur dengan air hujan. Dengan ragu ia
melangkah menuju sosok itu. Tubuhnya bergetar hebat dan jantungnya berdetak cepat. Tak
ada waktu untuk meraung. Arshon segera menggendong tubuh itu dan berlari secepat yang ia
bisa
"Dokter, Suster, cepat!" Urat tercetak jelas pada lehernya yang kekar. Suaranya
memenuhi lobi rumah sakit, menarik berpasang-pasang mata yang ada di sana.
"Brengsek! Cepat!" Kaki kirinya menendang kursi tunggu ketika pergerakan perawat
yang membawa brankar tak secepat yang ia mau.
Dengan tergesa dua perawat yang mendorong brankar berusaha mengimbangi
kecepatan Arshon. Lelaki itu menggunakan kemampuan berlarinya yang cukup baik demi
gadisnya.
"Pak, maaf, kita harus ke UGD terlebih dulu," cegah perawat yang berbadan gemuk
ketika Arshon mendorong brankar itu menuju ruang operasi.
"Persetan dengan UGD. Gadis ini sekarat!" seru Arshon dengan tetap mendorong
brankar itu.
"Tidak bisa, pak. Kita harus memeriksa Nona ini sebelum melakukan penanganan!"
seru perawat dengan tubuh kurus dan tinggi.
Arshon menatap tajam perawat yang baru saja bicara. "Lakukan itu di ruang operasi."
Arshon masih bersikeras, membuat kedua perawat yang ikut bersamanya saling memandang.
"Bagaimana bisa kami mengoperasi jika tidak tahu cedera apa yang dialami Nona
ini?" sergah si perawat gemuk.
Kedua perawat itu menahan napas ketika langkah Arshon
terhenti. Takut jika Arshon malah menghajar mereka. Lelaki itu berusaha mengembalikan
kesadaran. Jangan sampai kekalutannya membunuh gadis itu.
"Tunjukkan ruang UGD," perintah Arshon sembari memutar arah brankar.
Setelah sampai di UGD pun, Arshon tak berhenti membentak dan menuntut para
perawat yang menangani Ayra. "Kenapa kalian lambat sekali? Lakukan dengan cepat!"
Arshon bahkan merampas kasar handuk yang dipegang salah satu perawat untuk
mengeringkan tubuh Ayra. "Kalian lambat sekali!"
Perawat-perawat itu hanya saling pandang satu sama lain. Mereka gusar dengan
keberadaan Arshon yang mengganggu mereka menangani Ayra. Bahkan, lelaki itu juga
mengambil alih oksigen yang akan disalurkan pada Ayra. 
"Pak, sebaiknya Anda menunggu di luar," tegur seorang perawat wanita dengan takut-
takut.
Arshon tidak peduli. Tangannya masih sibuk mengotak-atik tabung oksigen dan
selangnya.
"Pak..."
"Diam! Aku tidak bisa memercayai kalian!" Hardik Arshon dengan tatapan marah dan
napas yang tersengal.
Tak ada yang berani berkata-kata lagi sampai akhirnya datang seorang dokter dengan
kacamata bulat yang bertengger di hidungnya. "Jika Anda tidak memercayai kami, silakan
bawa pasien keluar dari rumah sakit ini," ujar dokter itu dengan santai dan tersenyum penuh
arti.
Sekali lagi Arshon tersadar dari betapa kalap dirinya. "Maaf, tolong lakukan yang
terbaik," gumamnya sebelum meninggalkan ruangan.
Arshon mondar-mandir seperti setrika di lobi rumah sakit. Rambut acak-acakan dan
basah, jaket kulit hitam yang digulung selengan, dan wajah kalut semakin menambah
ketampanan lelaki itu. Orang di sekitarnya melihat Arshon dengan cara berbeda. Ada tatapan
terlena akan ketampanannya dan ada yang menatap heran. Arshon tak segan menghardik
siapapun yang mencuri-curi pandang padanya.
Dokter menepuk pundak Arshon. Segera saja lelaki itu menghujani dokter dengan
pertanyaan yang sedari tadi hanya terjebak di kepala. Dokter lalu menjelaskan apa yang
terjadi pada Ayra dan mengizinkan Arshon untuk melihat kekasihnya itu.
Untuk kedua kalinya dunia Arshon runtuh. Gadisnya terbaring lemah tak berdaya
dengan kepala yang diperban dan penyangga leher seputih tulang melingkar di leher
jenjangnya. Perlahan Arshon mendekat, lengannya mengulur pada jemari lentik nan mungil
di sisi kiri tubuh Ayra yang kini ditusuk jarum infus.
"Maafkan aku," lirihnya sembari menumpukan kepala pada tangan kiri Ayra. 
"Maafkan aku, Ay." Lelaki yang kini tampak lemah itu terus mengulang kata yang
sama seperti kaset rusak sampai akhirnya ia tenggelam dalam ketidaksadaran.
Dua jam terlewati. Kelopak mata Ayra bergerak. Matanya menatap nyalang langit-
langit rumah sakit, berusaha mengerti apa yang telah terjadi. Matanya melirik perlahan ke sisi
kiri karena sensasi panas dan pegal yang ia rasa pada tangannya. Dadanya nyeri dan matanya
berkaca-kaca ketika mendapati apa yang menyebabkan rasa tak nyaman pada tangan
kirinya, seorang lelaki yang tertidur pulas seperti bayi, sangat tenang dan polos. 
Hati mendesak untuk membelai rambut yang hampir kering itu, tetapi rasa sakit pada
lengan kanannya membuat Ayra meringis. Detik itu juga Arshon langsung terjaga. "Jangan
bergerak, tulang bahu kananmu tergeser," gumam Arshon datar sambil membantu Ayra
meletakkan tangannya lagi.
Hening. Arshon menunduk, pemandangan di bawah kakinya terlihat jauh lebih
menarik daripada gadisnya. Begitu juga dengan Ayra yang lebih tertarik mengamati langit-
langit.
Sampai akhirnya, sebuah kata yang sama meluncur dari bibir keduanya. "Maaf."
Arshon memberi isyarat lewat mata agar Ayra bicara lebih dulu. "Untuk segalanya,"
jelas Ayra nyaris seperti bisikan.
"Untuk segalanya," Arshon mengulangi kalimat Ayra. "aku juga minta maaf." Hening
menghampiri lagi. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Kehadiran Arshon awalnya membuat Ayra canggung. Namun, Arshon berusaha
melakukan yang terbaik untuk Ayra. Lelaki itu selalu sigap setiap Ayra membutuhkan
bantuan. Ia bahkan sering terjaga setiap malam, tidak berani tidur karena takut sesuatu terjadi
pada gadisnya. Lelaki itu juga membacakan dongeng, menyuapi, membawa gadis itu jalan-
jalan di taman menikmati semilir angin sore.
Saat di rumah pun, Arshon tak pernah meninggalkan sisi Ayra. Ia memasak,
membersihkan rumah, membuat lelucon, bahkan mengurusi taman mawar kecil di depan
rumah Ayra. Semua kembali seperti semula, bahkan jauh lebih indah. Segala sikap Arshon
kembali meluluhkan hati Ayra. Lelaki itu juga menjadi jauh lebih baik mengontrol emosinya.
Ia tak pernah marah sekalipun karena setiap emosinya muncul, Arshon memilih menghindari
gadisnya dan mencari ketenangan hati.
Sudah empat bulan lamanya Arshon merawat Ayra. Gadis itu kini sudah cukup pulih
dan kuat. Arshon memandang gadis mungil yang tengah membaca dengan serius dari balik
dinding kaca yang tembus ke ruang baca. Hatinya terasa hangat. Ia bangkit dan menghampiri
Ayra. Gadis itu menyambut dengan senyum lebar dan matanya berbinar. Ia menutup buku itu
dan menghambur ke pelukan Arshon.
"Nyaman sekali rasanya seperti ini," gumamnya sembari menutup mata, menikmati
betapa hangatnya bersandar pada dada bidang Arshon sambil mendengarkan detak jantung
yang teratur seolah lagu pengantar tidur.
"Kau ingin merasakannya lebih lama?" tanya Arshon sembari menarik Ayra lebih
dekat lalu membelai lembut punggungnya.
"Tentu saja," sahut Ayra antusias. "tak ada yang lebih nyaman dari ini, bahkan
kasurku juga kalah nyamannya." Ia semakin mengeratkan kaitan lengannya yang melingkar
di punggung Arshon.
Arshon terkekeh. "Kalau begitu, mari kita menikah." Kata yang diucapkan Arshon
membuat Ayra sontak terbelalak. Ia mendongak, menatap mata kekasihnya, mencari-cari
keseriusan.
"Kubilang, mari kita menikah," Arshon menangkup pipi Ayra dan menatap dalam ke
netra cokelatnya yang tampak tidak yakin. "setelah itu, kita singkirkan kasurmu. Jadi, kau
bebas tidur di dadaku." Arshon tersenyum menggoda membuat wajah kebingungan Ayra
merah padam.
Ayra memukul pelan dada Arshon lalu berkata, "Apakah kau yakin? Bukankah aku
sangat merepotkan?" Ayra menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum seolah menantang
lelaki itu.
"Mengapa tidak? Bukankah selama ini aku tidak pernah mengeluh?" Balas Arshon
dengan menaikkan sebelah alisnya. 
Ayra tersenyum lebar dan matanya berkaca-kaca. Memiliki Arshon saat ini adalah
kebahagiaan yang ia butuhkan. Cinta yang dilimpahkan Arshon adalah bentuk cinta yang ia
impikan. Betapa adilnya Tuhan memberi takdir, pikirnya. 
"Kapan kita akan menikah?" tanya Ayra.
Bola mata Arshon melirik ke kiri atas, dahinya berkerut, dan bibirnya mengerucut.
"Bagaimana dengan besok?"
"Baiklah!" seru Ayra. Kembali ia sandarkan kepala pada dada Arshon dengan senyum
yang tersungging dan mata terpejam. Sementara Arshon, lelaki itu menatap titik yang berada
jauh di depan sana dengan ekspresi yang datar dan perlahan menenggelamkan kesadarannya.
"Aku mencintaimu," gumam Ayra membuat Arshon mengerjapkan mata dan menarik
diri dari titik itu.
"Aku jauh lebih mencintaimu," bisik Arshon.
Mereka sama-sama menikmati momen itu sebelum akhirnya Arshon berkata, "Jam
tidurmu hampir lewat. Ayo, cepat, jangan sampai tidur terlambat malam ini. Kau harus jadi
pengantin yang paling cantik besok," ujar Arshon sembari menggiring Ayra menuju kamar.
Lelaki itu membetulkan letak bantal dan menyelimuti gadisnya hingga ia tertidur
dengan senyum yang terukir jelas sedangkan Arshon memandangi wajah yang penuh
kedamaian itu. Arshon mengecup kening Ayra sebelum akhirnya beranjak pergi.
Gelapnya malam tak menggentarkan Arshon untuk terus berjalan ke tempat tujuan
sampai kakinya berhenti pada sebuah tempat yang sepi. Di depan mata terhampar luas laut
yang tenang. Arshon memejamkan matanya dan merentangkan kedua tangan menikmati
angin laut malam yang
menyejukkan. Deburan ombak dan gesekan daun kelapa yang tertiup angin menambah
ketenangan.
Sementara Ayra, gadis itu tampak gelisah. Ia mengangkat kepalanya dengan mata
yang masih terpejam lalu mendaratkannya pada sisi kirinya. Kedua mata itu terbuka ketika
menyadari kepalanya tak tertidur di atas dada Arshon. Ia panik. Tak pernah ia merasa sepanik
ini ketika Arshon tidak di sampingnya karena biasanya lelaki itu ada di kamar mandi.
Ayra bangkit, berjalan perlahan menuju kamar mandi. Tidak terkunci. Jantungnya
berpacu cepat ketika firasat buruk menyelimuti hatinya. Ia melangkah dengan tergesa keluar
kamar dan mengitari seluruh ruangan sembari memanggil nama Arshon. Tak ada jawaban
sama sekali membuat Ayra semakin kalut. 
Netranya terpaku pada selembar kertas yang tergeletak di bawah meja makan. Ayra
meraih kertas itu dan detik berikutnya jantung Ayra mencelos.
Kau akan bertemu dengan yang lebih baik dariku. Menikahlah dengannya.
Aku tak cukup baik untukmu dan aku bisa melukaimu kapan saja. Aku tidak mau itu
terjadi.  Jangan  sampai gadisku tersakiti lagi. Aku mencintaimu, Ayra. Sangat mencintaimu.
–Arshon
Dengan air mata yang terus membanjiri pipi dan perasaan yang tak karuan, Ayra
berlari secepat yang ia bisa mengikuti kemana kata hati mengarahkannya hingga sampailah
Ayra di pantai di mana Arshon berada. Jejak kaki Arshon semakin membuat Ayra kalut.
"Arshon!" Seruannya disahut oleh deburan ombak yang terus-menerus menghantam
tepian.
"Arshon, kau di mana? Bukankah besok kita akan menikah?" Sekuat tenaga Ayra
berusaha memanggil kekasihnya itu hingga tenggorokannya terasa sakit. "ayo, pulang. Kau
harus cukup tidur!"
Ayra menyusuri tepi pantai sambil terus menyerukan nama Arshon hingga
langkahnya terhenti ketika merasakan kakinya menginjak sesuatu. Sebuah gelang hitam,
gelang serupa yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Detik itu juga pertahanannya
dirinya roboh. Ia meraung, jemarinya meremas pasir pantai dengan sekuat tenaga hingga
bergetar. Dirinya yang menolak untuk percaya, kembali ditampar oleh kenyataan bahwa
kemeja Arshon mengambang di permukaan laut. Mengapa di saat ia mendapatkan cinta dan
kebahagiaan yang ia butuhkan, Tuhan malah merenggutnya?

Anda mungkin juga menyukai