Anda di halaman 1dari 126

Rasio C Reaktive Protein / Albumin Sebagai Prediktor

Mortalitas Pada Pasien Sepsis di ICU RSUP. H. Adam Malik


Medan dan Dihubungkan Dengan Skor SOFA

TESIS
Oleh

Taufik Abdi
NIM 157041068

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS


PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta atas ridha-Nya sehingga saya dapat

menyelesaikan penulisan tesis inidengan judul “Rasio CRP/Albumin Sebagai

Prediktor Mortalitas Pasien Sepsis Di ICU RSUP H.Adam Malik Medan Dan

Dihubungkan Dengan Skor SOFA”. Tesis ini disusun sebagai salah satu

persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi

Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama penulis mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian

untuk karya tulis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, petunjuk,

bantuan dan pengarahan serta dorongan baik moril dan material dari berbagai

pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan serta kritikan

yang membangun sehingga tesis ini bisa bermanfaat dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan

penghormatan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Yth, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program Magister

Kedokteran Klinik Konsentrasi Patologi Klinik.

Universitas Sumatera Utara


2. Yth, Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K) selaku

Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program

Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Patologi Klinik.

3. Yth,dr. Ricke Loesnihari, M. Ked (Clin-Path), Sp.PK(K), selaku Ketua

Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan dan

yang telah bersusah payah dan bersedia meluangkan waktu dan pikirannya

setiap saat dalam memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan

dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan

penelitian sampai selesainya tesis ini.

4. Yth, dr. Yutu Solihat, Sp.AN.KAKV, selaku Pembimbing II saya dari

Departemen Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-USU/RSUP. H.

Adam Malik Medan, yang sudah bersedia menyediakan waktu dan

memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan sampai selesainya

tesis ini.

5. Yth,Prof. Dr. dr. Ratna Akbari Ganie, SpPK-KH, FISH, selaku Ketua

Program Studi Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP. H. Adam

Malik Medan, sekaligus pembimbing I saya, yang telah memberikan

kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Magister Kedokteran

Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik serta

beliau juga telah banyak membimbing, mengarahkan, memberikan

Universitas Sumatera Utara


bantuan mulai dari penyusunan proposal, dan memotivasi saya sejak awal

pendidikan sampai selesai.

6. Yth, dr. Malayana Rahmita Nasution, M. Ked (ClinPath), Sp.PK,

selaku Sekretaris Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP. H. Adam

Malik Medan, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan

selama saya mengikuti pendidikan.

7. Yth,dr. Jelita Siregar, M. Ked (ClinPath), Sp.PK, selaku Sekretaris

Program Studi Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP. H. Adam

Malik Medan, yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan

memotivasi selama saya mengikuti pendidikan.

8. Yth, Prof. dr. Adi Koesoema Aman, Sp.PK-KH, yang telah

memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti

pendidikan dan didalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

9. Yth, Prof. dr. Herman Hariman, Ph.D, Sp.PK-KH,yang telah

memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti

pendidikan dan didalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

10. Yth,Prof. dr. Burhanuddin Nasution, Sp.PK-KN, KGEH,yang telah

bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan.

11. Yth,dr. Zulfikar Lubis, Sp.PK(K),dr. Muzahar, DMM, Sp.PK(K),dr.

Tapisari Tambunan, Sp.PK(K), dr. Nelly Elfrida Samosir, Sp.PK(K),

dr. Ida Adhayanti,Sp.PK, dr. Ranti Permatasari, Sp.PK(K), dr.

Nindia Sugih Arto, M. Ked (ClinPath), Sp.PK, dr. Dewi Indah Sari

Siregar, M. Ked (ClinPath), Sp.PK, dr. Almaycano Ginting, M.Ked

Universitas Sumatera Utara


(ClinPath), Sp.PK dan semua guru-guru saya yang telah banyak

memberikan bimbingan, nasehat, arahan, dan dukungan selama saya

mengikuti pendidikan.

12. Yth,Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Rumah Sakit

Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan

kesempatan dan menerima saya untuk mengikuti Program Magister

Kedokteran Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi

Klinik.

13. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada seluruh teman-teman sejawat

Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik FK USU, para analis

dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas

bantuan dan kerjasama yang diberikan kepada saya, selama proses

pendidikan terutama teman seperjuangan saya dr. Rozi, dr. Edu, dr.

Sarah, dr. Andani, dr. Gita, dr. Rizka, dr. Erma, dr. Vella, dr.

Kholila, dr. Syafrizal dan dr. Yudis.

14. Terima kasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada kedua orang

tua saya, Ayahanda Ir. H. Syahril dan Ibunda Dra.Hj.Ermidawati, Mpd

atas cinta, pengorbanan dan kesabaran mereka yang telah membesarkan,

mendidik, mendorong dan memberikan dukungan moril maupun materil

serta selalu tanpa bosan-bosannya mendoakan saya sehingga dapat

menyelesaikan pendidikan sampai saat ini. Kiranya Allah SWT membalas

semua budi baik dan kasih sayangnya. Begitu juga kepada mertua saya

Bapak H. Dadang Sukarma, SE dan Ibu Hj. Nursuciati yang juga telah

Universitas Sumatera Utara


banyak memberikan bantuan moril maupun materil kepada saya dan

keluarga. Juga kepada adik-adik saya dr. Tasrif Hamdi M.Ked (An),

SpAN / dr Eka dan drg Tapsil Arif / drg Tuti, keponakan-keponakan

saya dan juga seluruh keluarga besar saya yang tidak dapat saya sebutkan

satu persatu, yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada

saya selama mengikuti pendidikan ini. Semoga Allah SWT selalu

melindungi dan membalas kebaikan mereka semua.

15. Akhirnya terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada istri

saya tercinta Pangayumi Mindari S.S yang telah mendampingi saya yang

dengan penuh pengertian, perhatian, memberikan dorongan dan

pengorbanan serta anak-anak saya Calya Intan Tunggadewi dan Arzan

Taufik Rahman yang tidak henti-hentinya memberikan semangat selama

saya mengikuti pendidikan sampai saya dapat menyelesaikan pendidikan

ini.

16. Akhir kata sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesalahan dan

kekhilafan, pada kesempatan ini penulis mohon maaf yang sebesar-

besarnya. Insya Allah tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga

Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada

kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, September 2018

Penulis,

dr. Taufik Abdi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Hal
DAFTAR ISI -------------------------------------------------------------------------- i
DAFTAR GAMBAR----------------------------------------------------------------- iii
DAFTAR TABEL -------------------------------------------------------------------- iv
DAFTAR SINGKATAN ------------------------------------------------------------ v
DAFTAR LAMPIRAN -------------------------------------------------------------- vii
BAB I PENDAHULUAN -------------------------------------------------------- 1
1.1 Latar Belakang --------------------------------------------------- 1
1.2 Rumusan Masalah ----------------------------------------------- 5
1.3 Hipotesis Penelitian --------------------------------------------- 6
1.4 Tujuan Penelitian ------------------------------------------------ 6
1.4.1 Tujuan Umum ---------------------------------------------- 6
1.4.2 Tujuan Khusus --------------------------------------------- 6
1.5 Manfaat Penelitian ----------------------------------------------- 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ------------------------------------------------ 9
2.1 Sepsis --------------------------------------------------------------- 8
2.1.1 Definisi ----------------------------------------------------- 8
2.1.2 Kriteria Sepsis -------------------------------------------- 9
2.1.3 Prediksi Mortalitas --------------------------------------- 10
2.1.4 Epidemiologi ---------------------------------------------- 13
2.1.5 Etiologi ----------------------------------------------------- 14
2.1.6 Patofisiologi ------------------------------------------------ 15
2.1.7 Tahapan Perkembangan Sepsis --------------------- 24
2.1.8 Kegagalan Organ ---------------------------------------- 27
2.1.9 Diagnosis --------------------------------------------------- 29
2.1.10 Laboratorium --------------------------------------------- 30
2.2 C. Reaktive Protein ---------------------------------------------- 32
2.2.1 Definisi ------------------------------------------------------- 32

Universitas Sumatera Utara


2.2.2 Fisiologi C. Reaktive Protein -------------------------- 33
2.2.3 Metode Pengukuran C. Reaktive Protein ----------- 34
2.2.4 CRP dan Diagnosis Sepsis ----------------------------- 35
2.3 Albumin ------------------------------------------------------------ 36
2.3.1 Definisi ------------------------------------------------------ 36
2.3.2 Fungsi Fisiologi Albumin ------------------------------- 36
2.3.3 Distribusi, Degradasi dan Eksresi Albumin -------- 37
2.3.4 Eksresi Albumin ------------------------------------------- 38
2.3.5 Albumin dan Sepsis -------------------------------------- 38
2.3.6 Metode Pemeriksaan Albumin ------------------------ 39
2.4 Trombosit ---------------------------------------------------------- 40
2.4.1 Definisi ------------------------------------------------------ 40
2.4.2 Gangguan Trombosit dalam Sepsis ----------------- 40
2.5 Kreatinin ------------------------------------------------------------ 42
2.5.1 Definisi ------------------------------------------------------ 42
2.5.2 Peningkatan Kreatinin pada Sepsis ----------------- 42
2.6 Bilirubin ------------------------------------------------------------- 43
2.6.1 Definisi ------------------------------------------------------ 43
2.6.2 Bilirubin pada Sepsis ------------------------------------ 43
2.7 Skor SOFA--------------------------------------------------------- 44
2.8 Kerangka Teori --------------------------------------------------- 49
2.9 Kerangka Konseptual------------------------------------------ - 50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ---------------------------------------- 54
3.1 Desain Penelitian ------------------------------------------------ 51
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian -------------------------------- 51
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ----------------------------- 51
3.4 Sampel Penelitian ----------------------------------------------- 51
3.4.1 Cara Pengambilan Sampel ----------------------------- 54
3.4.2 Besar Sampel ---------------------------------------------- 51
3.5 Kriteria Penelitian ------------------------------------------------ 52
3.5.1 Kriteria Inklusi --------------------------------------------- 52

Universitas Sumatera Utara


3.5.2 Kriteria Ekslusi -------------------------------------------- 53
3.6 Identifikasi Variabel ---------------------------------------------- 53
3.6.1 Variabel Bebas -------------------------------------------- 53
3.6.2 Variabel Terikat ------------------------------------------- 53
3.7 Definisi Operasional --------------------------------------------- 53
3.8 Cara Kerja --------------------------------------------------------- 55
3.8.1. Pengambilan Sampel ----------------------------------- 55
3.8.2. Pengolahan dan Pemeriksaan Sampel ------------ 57
3.8.2.1 Pemeriksaan CRP ------------------------------ 57
3.8.2.2 Pemeriksaan Albumin ------------------------- 58
3.8.2.3 Pemeriksaan Trombosit ----------------------- 58
3.8.2.4 Pemeriksaan Bilirubin Total ------------------ 60
3.8.2.5 Pemeriksaan Kreatinin ------------------------ 60
3.8.2.6 Pemeriksaan PaO2----------------------------- 60
3.9 Pemantapan Kualitas ------------------------------------------- 62
3.10 Etical Clearance dan Informed Consent ------------------- 63
3.11 Rencana Pengelolaan dan Analisis Data ------------------ 63
3.12 Perkiraan Biaya Penelitian ------------------------------------ 64
3.13 Jadwal Penelitian ------------------------------------------------ 64
3.14 Kerangka Kerja --------------------------------------------------- 65
BAB IV HASIL PENELITIAN ---------------------------------------------------- 66
BAB V PEMBAHASAN ----------------------------------------------------------- 73
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ---------------------------------------- 86
DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------- 88

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No Judul Hal
Algoritma Skrinning Kecurigaan Sepsis Dan Septik
Gambar 1. 12
Syok
Gambar 2. Pengenalan Pejamu Terhadap Komponen Mikroba 20
Gambar 3. Patogenesis Sepsis 24
Gambar 4. Imbalansi Koagulasi Pada Sepsis 27
Gambar 5. Hubungan Sepsis Dengan Kegagalan Organ 32

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No Judul Hal
Tabel 2.1 Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis 10
Tabel 2.2 Kriteria qSOFA 15
Sistem Penilaian Sequential Organ Failure
Tabel 2.3 15
Assessment (SOFA)
Tabel 2.4 Penyebab Umum Sepsis Pada Orang Sehat 17
Penyebab Umum Sepsis Pada Orang Yang
Tabel 2.5 18
Dirawat
Tabel 2.6 Indikator Laboratorium Sepsis 35
Sistem Penilaian Sequential Organ Failure
Tabel 2.7 49
Assessment
Tabel 2.8 Aplikasi Faktor Risiko Skor SOFA 51

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

CRP
: C – Reaktif Protein

SOFA
: Sequential Organ Failure Assessment Score

qSOFA
: Quick Sequential Organ Failure Assessment Score

IL Interleukin
:

TNF Tumor Necrosis Factor


:

SSC Surviving Sepsis Campaign


:

LPS Lipopolisakarida
:

LPB LPS Binding Protein


:

CD Cluster Of Differentiation
:

TLR Toll Like Receptors


:

CpG Oligodeoxynucleotida
:

MyD88 Myeloid Differentiation Factor 88


:

I - RAK IL – 1 Receptors Associated Kinase


:

TRAF TNF Receptors Associated Factor


:

NF - kB Nuclear Factor Kappa Light Chain enchancer of Activated B


:

Universitas Sumatera Utara


APC Antigen Precenting Cell
:

MHC Major Histocompatibility Complex


:

TCR T Cell Reseptor


:

Th T Helper
:

M- CSF Macropahge Colony Stimulating Factor


:

ICAM intracellular adhesion molecule


:

GMCSF granulocyte macrophage colony stimulating


:

NO Nitrat Oksida
:

ROS Reaktif Oxygen Species


:

PAI Plasminogen Aktivator Inhibition


:

SIRS Sistemic Inflammatory Respons Syndrome


:

MODS Multiorgan Dysfunction Syndrome


:

IFN Interferon
:

PAF Platelet Activating Factor


:

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hal
Lampiran 1 Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian 76
LembarPersetujuan SetelahPenjelasan
Lampiran 2 78
(Informed Consent)
Lampiran 3 Lembar Status Pasien 80
Lampiran 4 Tabel SOFA 81
Lampiran 5 Algoritma Diagnostik Sepsis Dan Syok 82

Universitas Sumatera Utara


RASIO C-REAKTIVE PROTEIN/ALBUMIN SEBAGAI PREDIKTOR

MORTALITAS PADA PASIEN SEPSIS DI ICU RSUP.H.ADAM MALIK

MEDAN DAN DIHUBUNGKAN DENGAN SKOR SOFA

Taufik Abdi1, Yutu Solihat2, Ratna Akbari Ganie1


1
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara / RSUP H. Adam Malik Medan


2
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Latar Belakang : Sepsis merupakan penyebab utama mortalitas di ICU.

Memperkirakan mortalitas pasien dari ruang perawatan ICU sangat

penting. Kegagalan organ merupakan salah satu penyebab tingginya

angka mortalitas pasien ICU. Di perlukan suatu biomarker yang dapat

memprediksi mortalitas tersebut yang mampu merefleksikan konsep

inflamasi dari sepsis. Maka penelitian ini di tujukan untuk melihat rasio

CRP/Albumin yang di hubungkan dengan skor SOFA untuk memprediksi

mortalitas pasien sepsis.

Metode : Penelitian ini mengambil sample darah pasien yang dirawat di

ICU sebanyak 58 pasien. Sample diperiksa untuk CRP dan Albumin hari 1

dan 3, sekaligus di hitung skor SOFA hari 1 dan 3 dan rasio CRP/Albumin

hari 1 dan 3. Penelitian dilaksanakan setelah mendapat ethical approval

dan informed consent.

Universitas Sumatera Utara


Hasil dan Pembahasan : 30 orang laki-laki (51,7%) dan 28 orang wanita

(48,3%) dengan usia termuda 16 tahun dan tertua 65 tahun. Rasio

CRP/Albumin hari 1 tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan

skor SOFA hari 1. (P>0,05) dan rasio CRP/Albumin hari 3 mempunyai

hubungan yang signifikan dengan skor SOFA hari 3.(P<0,05)

Simpulan dan saran: Rasio CRP/ Albumin dan skor SOFA dapat

memprediksi mortalitas pasien sepsis. Perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut untuk melihat rasio CRP/Albumin dan skor SOFA sebagai prediktor

mortalitas pasien sepsis.

Kata Kunci : Sepsis, rasio CRP/Albumin, skor SOFA

Universitas Sumatera Utara


C-REACTIVE PROTEIN / ALBUMIN RATIO AS PREDICTOR OF

MORTALITY IN SEPSIS PATIENTS AT THE ICU H. ADAM MALIK

HOSPITAL MEDAN ASSOCIATED WITH SOFA SCORE

Taufik Abdi1, Yutu Solihat2, Ratna Akbari Ganie1


1
Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of North

Sumatera / RSUP H. Adam Malik Medan


2
Department of Anesthesiology and Intensive Therapy, Faculty of

Medicine, University of North Sumatera / RSUP H. Adam Malik Medan

ABSTRACT

Background: Sepsis is a major cause of mortality in the ICU. Therefore,

estimating patient mortality from ICU treatment rooms is very important.

Organ failure is one of the causes of high mortality rates for ICU patients.

Accordingly we need a biomarker that can predict the mortality in which

way it can reflect the concept of inflammation from sepsis. Based on that

reason, this study is aimed at looking at the CRP / Albumin ratio

associated with the SOFA score to predict mortality in septic patients.

Methods: This study took the blood samples of 58 patients who were

being treated at the ICU. Samples were checked for CRP and Albumin on

day 1 and 3. At the same time, the SOFA scores and CRP / Albumin ratios

were also calculated on day 1 and 3. Finally, the study was conducted

after obtaining ethical approval and informed consent.

Universitas Sumatera Utara


Result And Discussion: 30 men (51,7%) and 28 women (48,3%) with the

youngest was 16 years old and the oldest was 65 years old. The CRP /

Albumin ratio for day 1 did not have a significant relationship with day 1 of

the SOFA scores (P>0.05) and The CRP / Albumin ratio for day 3 have a

significant relationship with day 3 of the SOFA scores (P<0.05)

Conclusion and Suggestion: The CRP / Albumin ratio and SOFA score

can predict the mortality of septic patients. Further research is needed to

see the CRP / Albumin ratio and SOFA score as a mortality predictor for

septic patients.

Keywords: Sepsis, CRP / Albumin ratio, SOFA score

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepsis merupakan kondisi yang sangat sering terjadi dan

menyebabkan mortalitas dan biaya kesehatan yang tinggi. Saat ini, sepsis

masih merupakan penyebab utama morbiditas serta mortalitas di Intensive

Care Unit (ICU). Setiap tahunnya diperkirakan sekitar 400.000 sampai

500.000 pasien mengalami sepsis di seluruh Eropa dan Amerika Serikat

dan biaya rata – rata per kasus individu adalah sekitar US$ 22.000.

Sepsis merupakan suatu keadaan yang dimulai dengan kejadian sistemic

inflamation respiration syndrome (SIRS) sampai syok septik dan multiple

organ disfunction syndrome (MODS) dengan angka mortalitas 26% pada

SIRS sampai mencapai 82% pada syok septik. (Singer M, 2016, Donald

JM, 2013).

Sepsis merupakan salah satu indikasi paling sering untuk rawatan

di intensive care unit (ICU) di seluruh dunia, merupakan penyebab

kematian utama di Amerika Serikat dan merupakan penyebab kematian

tersering pada pasien kritis di non-coronary Intensive Care Unit (ICU).

Seperempat dari total pasien yang mengalami sepsis akan meninggal

selama perawatan, sedangkan syok septik dihubungkan dengan angka

kematian yang tinggi yaitu mencapai 50%.(Maraghi LSH et al, 2014).

Sepsis sampai saat ini menjadi masalah baik di negara berkembang

Universitas Sumatera Utara


maupun negara maju, baik dari segi morbiditas, mortalitas maupun

ekonomi. (Maraghi LSH et al, 2014).

Menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for

Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2016, Sepsis

merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana terjadi

disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat di jabarkan

bahwa disfungsi organ terdapat peningkatan skor sequential organ failure

assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan

peningkatan resiko kematian dirumah sakit >10 % dan < 9 resiko kematian

35 %. (Singer M, 2016; SSC 2016).

Dalam definisi terbaru ini, istilah ―sepsis berat‖ telah dihilangkan,

hal ini bertujuan agar sepsis tidak dianggap ringan dan bisa diberi

penanganan yang tepat sesegera mungkin.

Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi lanjut dari sepsis dimana

abnormalitas metabolisme seluler dan sirkulatorik yang menyertai pasien

cukup berat sehingga dapat meningkatkan mortalitas. (Singer M, 2016).

Data kasus sepsis di rumah sakit umum pusat Haji Adam Malik

Medan, pada tahun 2015 dijumpai sebanyak 233 kasus.(Medical Record

RSUP HAM, 2015). Sedangkan data yang kami peroleh dari Medical

Record ICU RSUP Haji Adam Malik periode Januari – Juli 2017, angka

kematian pasien sepsis di ICU masih tinggi, setiap bulannya di temukan 5

– 7 kasus pasien sepsis dan 2 – 3 pasien meninggal tiap bulannya,

Universitas Sumatera Utara


setelah di diagnosis maupun mulai di rawat di intensive care unit. (Medical

Record ICU RSUP HAM, januari - juli 2017).

Karena tingginya angka kematian pasien sepsis, maka

memperkirakan mortalitas pasien dari ruang perawatan Intensive Care

Unit (ICU) sangat penting. (Ferreire FL,2013).

Kegagalan organ merupakan salah satu penyebab tingginya angka

mortalitas dan morbiditas pasien di ICU dan tingginya biaya yang harus

dikeluarkan. Oleh karena itu, evaluasi disfungsi organ setiap waktu selama

perawatan di ICU sangat membantu dalam mengikuti perkembangan

penyakit. (Karlsson et al, 2016)

Beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan beberapa model

penilaian untuk menggambarkan tingkat keparahan penyakit pada pasien

yang dirawat di ruang intensive atau untuk meramalkan outcome

perawatan intensive. Sebagai contohnya adalah Sepsis-related Organ

Failure Assessment, yang kemudian dikenal dengan Sequential Organ

Failure Assessment (SOFA) dan diperkenalkan pada tahun 1994 (Vincent

et al., 2013).

Tujuannya adalah untuk menilai keparahan penyakit berdasarkan

derajat disfungsi organ secara serial setiap waktu. Sistem penilain Skor

SOFA mencatat waktu serangkaian kondisi pasien secara keseluruhan.

Hal ini memungkinkan para klinisi untuk memantau keseluruhan proses

penyakit. (Merik EP, 2017, Afthab et al, 2014).

Universitas Sumatera Utara


Disamping menggunakan Skor SOFA dalam memprediksi

mortalitas pasien sepsis, dapat juga menggunakan biomarker untuk

memprediksi prognosis dan mengevaluasi mortalitas pasien sepsis atau

syok septic, biomarker ini harus mampu merefleksikan konsep atau

proses inflamasi yang berperan pada patofisiologi sepsis dan dapat

menjadi penanda jangka pendek dan jangka panjang untuk prognosis.

Karena infeksi merupakan salah satu rangsangan terkuat dari respons

inflamasi maka biomarker yang dapat di gunakan untuk memprediksi

prognosis dan mengevaluasi mortalitas pasien sepsis atau syok septic,

adalah penggunaan rasio CRP/Albumin. (Kim MH et al, 2015,Ranzani OT

et al, 2013, Ho KM, 2013).

C-reaktif protein (CRP) adalah protein fase akut yang meningkat

secara nyata sebagai respons fase akut terhadap infeksi, dan besarnya

peningkatan dapat berkorelasi dengan tingkat keparahan infeksi, dan

dapat di gunakan sebagai alat diagnostic, panduan mengevaluasi

pengobatan dan prognostic. (Jeuhun OH, 2017,Kim MH et al, 2015,

,Ranzani OT et al, 2013).

Albumin adalah merupakan protein fase akut negative, merupakan

penanda prognostik yang kuat pada penyakit terkait infeksi. Tingkat

Hipoalbuminemia pada pasien sepsis berkorelasi dengan intensitas

respon inflamasi yang di picu oleh infeksi. Pada pasien sepsis terjadi

penurunan síntesa albumin yang dihubungkan dengan reaksi inflamasi.

Kadar albumin darah yang rendah pada sepsis menggambarkan

Universitas Sumatera Utara


kebocoran endotel, bukan hanya menggambarkan keadaan malnutrisi (Sio

HM, 2016 ,Kim MH et al, 2015, Ranzani OT et al, 2013).

Berdasarkan konsep di atas maka rasio CRP / albumin dapat di

gunakan sebagai biomarker prediktor mortalitas pada pasien dengan

sepsis atau renjatan septik. Dan kematian yang tinggi dan prognosis yang

buruk terlihat pada pasien dengan rasio CRP / albumin > 2, hasil ini di

peroleh berdasarkan penelitian Ranzani dkk, data di kumpulkan secara

prospektif sebanyak 1210 pasien sepsis dari January 2005 – July 2009

yang di rawat di ICU ,penilaian disfungsi organ dengan menggunakan

Skor SOFA dan pengukuran CRP dan albumin secara kuantitatif. (Kim MH

et al, 2015, Ranzani OT et al, 2013).

Dari data penelitian sebelumnya, belum pernah ada di lakukan di

RSUP H. Adam Malik Medan. Oleh sebab itu penelitian penggunaan rasio

CRP/ Albumin di harapkan dapat di gunakan sebagai predictor mortalitas

pasien sepsis.

Penelitian ini di laksanakan ICU RSUP H. Adam Malik Medan,

dengan mempertimbangkan bahwa rumah sakit tersebut merupakan

rumah sakit pusat rujukan daerah Sumatera Utara dan sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut: Apakah rasio C - Reactive Protein

(CRP) dan albumin dapat sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis

dan di hubungkan dengan skor SOFA.

Universitas Sumatera Utara


1.3. Hipotesis Penelitian

Rasio C - Reactive Protein (CRP) dan albumin dapat sebagai

prediktor mortalitas pada pasien sepsis dan di hubungkan dengan skor

SOFA.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui rasio C - Reactive Protein (CRP) dan Albumin dapat

sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis dan di hubungkan dengan

skor SOFA.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui kadar C - Reactive Protein (CRP) pada pasien sepsis.

2. Mengetahui kadar Albumin pada pasien sepsis.

3. Mengetahui korelasi rasio C - Reactive Protein (CRP) dan Albumin

yang di hubungkan dengan skor SOFA, dapat di gunakan sebagai

prediktor mortalitas pasien sepsis

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat, antara lain :

1. Bagi sejawat dokter

Memberikan sebagai informasi bahwa rasio C - Reactive Protein

(CRP)/ Albumin dan di hubungkan dengan skor SOFA dapat

sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis. Sehingga dapat

menjadi pertimbangan dalam tatalaksana pasien sepsis.

Universitas Sumatera Utara


2. Bagi dunia pendidikan

Memberikan informasi bagi dunia pendidikan dan kesehatan

tentang rasio C - Reactive Protein (CRP) dan Albumin dapat di

gunakan sebagai prediktor mortalitas dan di hubungkan dengan

skor SOFA pada pasien sepsis. Sehingga dapat menambah

kepustakaan tentang hal tersebut.

3. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi ke

masyarakat, mengenai pentingnya biomarker yang lebih murah dan

mudah di akses untuk menilai mortalitas pasien sepsis.

4. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai sarana untuk

melatih cara berfikir dan membuat suatu penelitian berdasarkan

metodologi yang baik dan benar dalam proses pendidikan.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sepsis

2.1.1 Definisi

Menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for

Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2016, Sepsis

merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana terjadi

disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat di jabarkan

bahwa disfungsi organ terdapat peningkatan skor sequential organ failure

assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan

peningkatan resiko kematian dirumah sakit >10% (Singer M, 2016,SSC

2016).

Syok septik didefinisikan sebagai subset dari sepsis yang

mendasari gangguan peredaran darah dan kelainan selular metabolisme

yang sangat parah dan secara substansial meningkatkan angka kematian.

(SSC, 2016). Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan

gambaran klinis sepsis dengan hipotensi yang menetap, yang

membutuhkan vasopressor untuk mempertahankan MAP 65 mmHg dan

memiliki kadar laktat serum > 2 mmol / L (18 mg / dL) meskipun ada

resusitasi volume yang adekuat. Dengan kriteria ini, angka kematian di

rumah sakit lebih dari 40%.(Singer M, 2016,SSC 2016).

Universitas Sumatera Utara


2.1.2 Kriteria Sepsis

Menurut European Society of Intensive Care Medicine’s dan The

Society of Critical Care Medicine’s pada tahun 2016, ditetapkan kriteria

sepsis yang terdapat pada tabel dibawah ini.(Singer M,2016)

Tabel 2.1. Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis.

Kriteria Kriteria Lama Kriteria Baru


SIRS Takikardi (>90x/menit) -
Takipnea (> 20x/menit)
Temperatur (<36°c atau
>38°c)
Peningkatan leukosit >
11.000 μL-1 atau <
4.000 μL-1
Sepsis SIRS + Fokal Infeksi Suspek atau dengan
Infeksi + 2 dari 3 tanda
qSOFA
Hipotensi (tekanan
darah sistol ≤ 100
mmHg)
penurunan kesadaran
(GCS≤13)
takipnea (≥22x/menit)
atau Peningkatan skor
SOFA > 2

Sepsis Berat Sepsis + Disfungsi -


organ
Laktat > 2 mmol/L
Kreatinin > 2 mg/dL
Bilirubin > 2 mg/dL
Trombosit <100.000 μL
Koagulopati (INR > 1.5)
Syok Sepsis Sepsis + Hipotensi Sepsis + Vasopresor
setelah mendapatkan untuk mencapai MAP >
cairan resusitasi 65 mmHg + Laktat > 2
adekuat mmol/L setelah
mendapatkan cairan
resusitasi adekuat

Universitas Sumatera Utara


Sumber : SSC 2016

Gambar 1. Algoritma Skrinning Kecurigaan Sepsis Dan Septik Syok

2.1.3 Prediksi Mortalitas (quick SOFA dan Skor SOFA).

Ketika mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining

kemungkinan terjadinya sepsis dan kemungkinan terjadinya syok septic

yang mengarah kepada kegagalan organ. Kegagalan organ berhubungan

dengan tingginya angka mortalitas dan morbiditas pasien di ICU dan

tingginya biaya yang harus dikeluarkan.

Disfungsi organ adalah proses yang dinamis oleh karena itu,

evaluasi disfungsi organ setiap waktu selama perawatan di ICU sangat

membantu dalam mengikuti perkembangan penyakit dan dapat

Universitas Sumatera Utara


memberikan gambaran korelasi yang kuat dengan hasil akhir dari

perawatan di ICU. Disfungsi organ sangat berhubungan dengan tingginya

angka kesakitan dan mortalitas pada pasien ICU dan juga berkaitan

dengan tingginya biaya di ICU. (Marshall JC, 2014, Marik EP, 2017).

Beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan beberapa model

penilaian untuk menggambarkan tingkat keparahan penyakit pada pasien

yang dirawat di ruang intensif atau untuk meramalkan outcome perawatan

intensif. Sebagai contohnya adalah Sepsis-related Organ Failure

Assessment, yang kemudian dikenal dengan Sequential Organ Failure

Assessment (SOFA) dan diperkenalkan pada tahun 1994 (Vincent et al.,

2013).

Tujuannya adalah untuk menilai keparahan penyakit berdasarkan

derajat disfungsi organ secara serial setiap waktu. Sistem penilain SOFA

mencatat waktu serangkaian kondisi pasien secara keseluruhan. Hal ini

memungkinkan para klinisi untuk memantau keseluruhan proses penyakit.

(Marik EP, 2017).

Skrining ini bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Metodenya

dapat di mulai dengan quick SOFA (qSOFA). Skoring ini dirasa kuat dan

lebih sederhana serta tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium, jika

skor qSOFA > 2 maka kemungkinan diagnosis sepsis dapat di tegakkan.

Untuk menginisiasi terapi yang tepat, dan sebagai bahan pertimbangan

untuk merujuk ke tempat perawatan kritis atau meningkatkan

Universitas Sumatera Utara


pengawasan. Jika qSOFA positif selanjutnya akan dilakukan skoring

dengan metode SOFA. (Singer, M 2016, SCC 2016).

Skor SOFA digunakan oleh karena memiliki komponen yang lebih

sederhana dibandingkan skor Acute Physiology and Chronic Health

Evaluation (APACHE) II, dan Simplified Acute Physiology Score (SAPS) II.

Skor SOFA memiliki variable respirasi, koagulasi, hati, kardiovascular,

ginjal, dan sistem saraf pusat sehingga skor SOFA memungkinkan para

klinisi untuk memantau keseluruhan proses penyakit dibandingkan dengan

skor lainnya.(Singer M, 2016). Jika skor SOFA > 2 maka peningkatan

resiko kematian di rumah sakit > 10 % dan jika skor SOFA < 9 maka

peningkatan resiko kematian di rumah sakit > 35 %. (Ferreire FL, 2013,

Marik EP 2017)

Tabel 2.2 Kriteria qSOFA (Singer, M 2016, SCC 2016),

Laju Pernafasan >22 kali / menit

Perubahan Kesadaran Skor GCS < 13

Tekanan Darah Sistolik <100 mmHg

Tabel 2.3. Skor SOFA Sequential Organ Failure Assessment


Variabel 0 1 2 3 4
RESPIRASI >400 ≤ 400 ≤ 300 ≤ 200 ≤ 100
PAO2/ FIO2
KOAGULASI > 150 ≤ 150 ≤ 100 ≤ 50 ≤ 20
Trombosit x 103 u/L
HATI < 1,2 1.2 – 1.9 2.0 – 5.9 6.0–11.9 > 12.0
Bilirubin mg/dl
KARDIOVASCULAR Tidak MAP < Dop < 5/ Dop > 5 Dop > 15
Hipotensi mmHg Ada 70 Dopamin /Epi ≤0.1/ /Epi > 0.1/
Nor Epi > Nor Epi ≤
0,1 0,1

Universitas Sumatera Utara


SSP 15 13 -14 10 - 12 6-9 <6
GCS
GINJAL < 1,2 1.2 – 1.9 2.0 – 3.4 3.5 – 4.7 > 5 atau <
Kreatinin mg/ dl atau atau < 200
produksi urin ml/hari 500
Sumber : Singer,M 2016, SCC 2016
Skor SOFA > 2 resiko kematian adalah > 10 % dan skor SOFA< 9 resiko
kematian adalah > 35 %.
2.1.4 Epidemiologi

Sepsis adalah penyakit yang berkontribusi lebih dari 200.000

kematian pertahun di Amerika Serikat. Insidensi sepsis berat dan syok

septik meningkat selama 20 tahun terakhir, dan jumlah kasus >700.000

per tahun (3 per 1000 penduduk). Biaya perawatan sepsis di Amerika

Serikat mencapai 17 Milliar Dollar tiap tahunnya. (Munford, 2014, Marshall

JC, 2014)

Meningkatnya insiden sepsis berat di Amerika Serikat disebabkan

oleh usia penduduk, meningkatnya pasien usia lanjut menyebabkan

meningkatnya pasien dengan penyakit kronis, dan juga akibat

berkembangnya sepsis pada pasien AIDS. Meluasnya penggunaan obat

antimikroba, obat imunosupresif, pemakaian kateter jangka panjang dan

ventilasi mekanik juga berperan. (Munford, 2014).

Angka kejadian sepsis berat di beberapa negara maju lainnya di

laporkan mencapai 50 – 100 kasus tiap 100.000 populasi. Terdapat

perbedaan insidensi sepsis berdasarkan jenis kelamin dan ras. Sepsis

lebih banyak terjadi pada laki – laki dibandingkan dengan perempuan. Ras

selain kulit putih memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar terjadinya sepsis.

(Munford, 2014).

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan data kasus sepsis di rumah sakit umum pusat Haji

Adam Malik (RSUP HAM), Medan, pada tahun 2015 dijumpai sebanyak

233 kasus. (Medical Record RSUP Haji Adam Malik , 2015).

2.1.5 Etiologi

Sepsis merupakan respon terhadap setiap kelas mikroorganisme.

Bakteri gram negatif dan gram positif merupakan 70% dari penyebab

infeksi sepsis berat dan sisanya jamur atau gabungan beberapa

mikroorganisme. (Munford, 2014).

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan

persentase 60 samapai 70 % kasus. Produk yang berperan penting

terhadap sepsis adalah Lipopolisakarida (LPS). LPS atau endoktoksin

glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari

bakteri gram negatif. (Munford, 2014).

Tabel 2.4. Penyebab Umum Sepsis pada Orang Sehat.

Sumber Lokasi Mikroorganisme


Kulit Staphylococcus Aureus dan gram positif
Bentuk cocci lainnya

Saluran Kemih Eschericia Coli dan gram negative


bentuk
Batang lainnya.

Saluran nafas Streptococcus Pneumonia


Usus dan Kandung Empedu Enterococcus Faecalis, E-coli, dan gram
Bentuk batang lainya

Organ Pelvis Neissseria Gonorhea, anaerob.


Sumber : Moss PJ et al, 2013

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.5 Penyebab Umum Sepsis pada Pasien yang Dirawat

Masalah Klinis Mikroorganisme


Pemasangan Kateter Escherichia coli, Klebsiella spp,
Proteus spp
Serratia spp., Pseudomonas spp
Penggunaan IV line Staphylococcus aureus,
Staph.epidermidis,
, Klebsiella spp., Pseudomonas spp.
Candida albicans
Luka operasi Staph. aureus, E. coli, anaerobes
Luka bakar Coccus gram positif, Pseudomas
spp,
Candidda albicans
Immunocompromised Semua mikroorganisme di atas.
Sumber : Moss PJ et al, 2013

2.1.6 Patofisiologi

Sepsis dan septic shock adalah proses kompleks yang meliputi

keterlibatan pro-inflamasi, anti-inflamasi, humoral, seluler dan peredaran

darah yang diakibatkan karena kegagalan respon imun tubuh terhadap

infeksi. Patogenesis sepsis melibatkan interaksi yang kompleks antara

sistem kekebalan tubuh host dan mikroorganisme. Bakteri dan produknya

memicu cascades respon seluler dalam tubuh host yang melibatkan

beberapa jenis sel (leukosit, sel mast, sel-sel endotel dan trombosit), dan

beberapa cellular pathways (pro-inflammatory, anti-inflammatory,

coagulation cascades, complement activation, adhesion and apoptosis).

(Mossie A, 2013, Levy MM, 2013, Remick DG, 2016).

Universitas Sumatera Utara


A. Pengenalan Pejamu Terhadap Komponen Mikroba

Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi sebuah reseptor LPS

selama ini menjadi penghalang untuk memahami bagaimana bakteria

gram negatif dapat menginisiasi respons sepsis; aktivasi sel pejamu

tergantung pada adanya protein pengikat LPS (LPB, LPS binding protein)

dan reseptor opsonik CD14. Meskipun CD14 awalnya diidentifikasi

sebagai ko-reseptor esensial yang memerantarai aktivasi monosit oleh

LPS, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa sel ini juga berperanan

dalam aktivasi oleh komponen-komponen dinding sel gram positif, seperti

peptidoglikan, memerantarai apoptosis makrofag dan penting dalam

transfer LPS antara protein-protein serum yang mempunyai kemampuan

mengikat LPS seperti LBP dan lipoprotein serum. (Silvia E, 2013, Levy

MM, 2013, Remick DG, 2016).

Meskipun penemuan CD14 mewakili suatu langkah ke depan

signifikan dalam memahami respons pejamu terhadap LPS, fakta bahwa

CD14 tidak mempunyai ekor intraselular berarti bahwa masih belum jelas

bagaimana ligasi kompleks LPS-LBP dapat menyebabkan aktivasi selular.

Ketidakpastian ini dipecahkan dengan penemuan sekelompok reseptor

serupa-Toll (Toll-like Receptors,TLR). TLR mempunyai domain intraselular

yang homolog terhadap reseptor IL-1 dan IL-18. Saat ini telah

diidentidikasi 10 TLR yang mempunyai spesifisitas ligan luas, termasuk

protein bakterial, fungal dan khamir, dengan TLR 4 merupakan resptor

LPS, TLR2 terutama untuk mengenali struktur dinding sel gram positif,

Universitas Sumatera Utara


TLR5 merupakan reseptor flagelin dan TLR9 mengenali elemen CpG pada

DNA bakteri. (Wesche DE, 2014, Levy MM, 2013, Remick DG, 2016).

Sumber : Silvia E, 2013

Gambar 2. Pengenalan Pejamu Terhadap Komponen Mikroba

B. Amflikasi Sinyal

Setelah terjadi interaksi awal antara pejamu dan mikroba, terjadi

aktivasi respons imun alami luas yang mengkoordinasikan respons

pertahanan, baik komponen humoral maupun selular. Sel-sel mononuklear

melepaskan sitokin-sitokin pro-inflamasi klasik seperti IL-1, IL-6 dan TNFα,

namun juga beberapa sitokin lainnya seperti IL-12, IL-15 dan IL-18 serta

juga beberapa molekul-molekul kecil dilepaskan. TNFα dan IL-1

merupakan sitokin inflamasi prototipik yang memerantarai banyak fitur

Universitas Sumatera Utara


imunopatologis dari renjatan karena LPS.

Sitokin-sitokin ini dilepaskan pada 30-90 menit setelah paparan

terhadap LPS, mengaktifkan kaskade inflamasi derajat dua termasuk

sitokin, mediator lipid dan spesies oksigen reaktif serta juga meningkatkan

produksi molekul-molekul adhesi sel, yang kemudian menginisiasi migrasi

sel inflamatorik ke dalam jaringan. (Silvia E, 2013; Wesche DE,2014).

Eksotoksin, endotoksin, virus dan parasit yang dapat berperan

sebagai superantigen setelah di fagosit oleh monosit atau makrofag yang

berperan sebagai Antigen Processing Cell dan kemudian di tampilkan

sebagai Antigen Precenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan

polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex

(MHC). Antigen yang bermuatan peptide MHC kelas II akan berikatan

dengan CD 4 (Limfosit Th1 dan Th2). Dengan perantara TCR (T Cell

Reseptor). (Silvia E, 2013; Wesche DE,2014, Levy MM, 2013).

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit

T akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imuno

modulator yaitu IFN ɤ, IL 2 dan M- CSF (Macropahge Colony Stimulating

Factor). Limfosit Th2 akan mengepresikan IL 4, IL5. IL6. IL 10, IFN ɤ dan

TNF α merupakan sitokin pro inflamatori, sehingga pada keadaan sepsis

terjadi peningkatan IL 1 β dan TNF α serum penderita. IL 1 β sebagai

imuno regulator utama juga mempunyai efek pada sel endothelial

termasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin E2 (PG E2) dan

merangsang ekspresi intracellular adhesion molecule – 1 (ICAM – 1).

Universitas Sumatera Utara


Menyebabkan neutrophil yang telah tersensitisasi oleh granulocyte

macrophage colony stimulating factor (GM – CSF) akan mudah mengalami

adhesi. (Wesche DE,2014, Levy MM, 2013). Neutrophil yang beradhesi

dengan endothel akan mengeluarkan lisosim yang akan menyebabkan

dinding endothel lisis, akibatnya endothel terbuka, akibat proses ini terjadi

kerusakan pembuluh darah kerusakan pembuluh darah ini akan

menyebabkan terjadinya gangguan vascular (Vascular Leak) sehingga

menyebabkan kerusakan organ yang multiple.

C. Kaskade inflamasi (Inflammatory Cascade)

Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan

perkembangan sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen

membran luar organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A,

endotoksin) atau organisme gram positif. Umumnya, respons imun

terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel imun (neutrophil,

limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan memasuki

tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor

trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit,

nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin

pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan IL-1. TNF-α dan IL-1

memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin,

leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2.

Universitas Sumatera Utara


Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan

peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan

produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel

neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan

komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat

(NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan

cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang

terinfeksi.yang mengarah ke syok septik. (Wesche DE,2014).

Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi

trombosit, dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular.

Peningkatan Nitrit Oksida menyebabkan vasodilatasi di tingkat

makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan

refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian

(Caterino JM, 2014; LaRosa SP, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Sumber : SSC, 2012.

Gambar 3. Patogenesis Sepsis

D. Kaskade Koagulasi

Sitokin juga penting dalam menginduksi efek prokoagulan pada

sepsis. Gangguan koagulasi sering terjadi pada sepsis, dan 30-50%

pasien mempunyai bentuk klinis yang lebih berat yakni koagulasi

intravaskular diseminata. Gangguan koagulasi pada sepsis terjadi melalui

tiga mekanisme :

 Pembentukan trombin yang diperantarai TF Tranfer factor

diekspresikan pada permukaan sel endotel, monosit, dan platelet

ketika sel-sel ini distimulasi oleh toksin, sitokin atau mediator lain.

Adanya endotoksin menyebabkan peningkatan beberapa sitokin

proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF)-alpha dan

Universitas Sumatera Utara


interleukin (IL)-6. Sitokin IL-6 merupakan sitokin proinflamasi yang

paling berhubungan dengan klinis sepsis dan komplikasi.

Pembentukan trombin yang diperantarai oleh TF merupakan tahap

penting dari patogenesis sepsis. Secara fisiologis pembentukan ini

segera dihambat oleh antitrombin, namun dengan pembentukan

trombin yang sangat cepat jalur inhibisi ini bisa fatigue sehingga

terjadi trombinemia. Setelah trombin terbentuk maka fibrinogen

dipolimerasi sehingga terbentuk bekuan fibrin dan terdeposisi di

mikrosirkulasi. Deposisi fibrin ini dapat menyebabkan disfungsi

organ.(Knoebl P, 2014).

 Gangguan mekanisme antikoagulan Terdapat tiga mekanisme

antikoagulan yang terganggu pada sepsis :

a. Sistem antitrombin

Secara teori antitrombin memiliki peran penting dalam kekacauan

koagulasi pada sepsis dibuktikan dengan jumlah antitrombin rendah pada

sepsis. Jumlah antitrombin berkurang disebabkan karena antitrombin

digunakan untuk menghambat formasi trombin, didegradasi oleh elastase

yang dilepaskan sel neutrofil serta gangguan sintesis antitrombin akibat

gagal hati pada sepsis. (Levy MM, 2013; Knoebl P, 2014)

b. Sistem protein C

Protein C disintesis di hati dan diaktivasi menjadi activated protein C

(APC) yang berfungsi dalam menghambat FVIII dan FV.13 Pada sepsis,

terjadi depresi sistem protein C yang disebabkan oleh penggunaan yang

Universitas Sumatera Utara


berlebihan, gangguan hati, perembesan vascular, dan aktivasi TNF-alpha.

(Franchini M, 2015).

c. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI)

Tissue factor pathway inhibitor disekresi oleh sel endotel dan berfungsi

untuk menghambat aktivasi FX oleh kompleks TF-FVIIa.13 Penurunan

TFPI dapat dijumpai pada sepsis. (Franchini M, 2015).

 Penghentian sistem fibrinolisis

Pada kondisi bakteremia dan endotoksemia dijumpai peningkatan aktivitas

fibrinolisis yang mungkin disebabkan oleh pelepasan plasminogen

activator oleh sel endotel. Keadaan tersebut diikuti dengan supresi

aktivitas fibrinolisis secara cepat oleh PAI- sehingga menghentikan

kemampuan fibrinolisis yang mengakibatkan penumpukan bekuan fibrin

pada mikrosirkulasi. (Knoebl P, 2014).

Sumber : La Rosa, SP 2013

Gambar 4. Imbalansi Koagulasi Pada Sepsis

Universitas Sumatera Utara


2.1.7 Tahapan Perkembangan Sepsis.

Stadium 1

Sebelum timbulnya SIRS atau MODS terjadi gangguan seperti

infeksi, kerusakan traumatik (termasuk luka bedah), luka bakar atau

pankreatitis yang menyebabkan pelepasan berbagai macam mediator ke

dalam lingkungan mikro. Respons awal tubuh adalah untuk menginduksi

keadaan proinflamatorik, di mana mediator-mediator mempunyai efek

tumpang tindih multipel yang dirancang untuk membatasi kerusakan baru

dan untuk menghambat kerusakan yang telah timbul. Reaksi-reaksi ini

akan menghancurkan jaringan rusak, membantu pertumbuhan jaringan

baru dan memerangi organisme patogenik, sel neoplastik dan antigen

asing. Suatu respons anti-inflamatorik kompensatorik yang segera timbul

memastikan bahwa efek dari mediator-mediator inflamasi ini tidak menjadi

destruktif. Molekul-molekul seperti IL-4, IL-10, IL-11, IL-13, reseptor faktor

nekrosis tumor solubel (TNF-ot), antagonis reseptor IL-1, faktor perubah

pertumbuhan β dan lainnya yang masih belum ditemukan bekerja untuk

menekan ekspresi kompleks histokompatibilitas II monositik, menekan

aktivitas penghantaran antigen dan menurunkan kemampuan sel untuk

menghasilkan sitokin-sitokin inflamatorik. Kadar lokal baik mediator-

mediator proinflamatorik dan anti-inflamatorik dapat secara substansial

lebih tinggi dibandingkan yang ditemukan secara sistemik. (Bone

RC,.2013,Levy MM, 2013, Remick DG, 2016).

Universitas Sumatera Utara


Stadium 2

Apabila gangguan awal cukup berat, pertama mediator

proinflamatorik dan kemudian anti-inflamatorik akan timbul pada sirkulasi

sistemik melalui berbagai mekanisme. Adanya mediator-mediator

proinflamatorik di dalam sirkulasi adalah bagian dari respons normal

terhadap infeksi dan meerupakan sinyal peringatan bahwa lingkungan

mikro tidak mampu mengendalikan gangguan awal. Mediator-mediator

proinflamatorik membantu untuk merekrut netrofil, sel dan B, trombosit dan

faktor-faktor koagulasi ke lokasi kerusakan atau infeksi. Kaskade ini

merangsang suatu respons anti-inflamatorik sistemik kompensatorik, yang

biasanya akan menekan secara cepat respons proinflamatorik. Sedikit, bila

ada, tanda dan gejala klinis yang ditimbulkan.organ-organ mungkin dapat

dipengaruhi oleh kaskade inflamatorik, namun disfungsi organ signifikan

jarang ditemukan.(Levy MM, 2013, Remick DG, 2016)

Stadium 3

Kehilangan regulasi respons proinflamatorik menghasilkan suatu

manifestasi reaksi sistemik masif sebagai temuan klinis SIRS. Mendasari

temuan klinis adalah perubahan-perubahan patofisiologi yang termasuk

sebagai berikut: (1) Disfungsi endotelial progresif, menyebabkan

peningkatan permeabilitas mikrovaskular. (2) Pembentukan lumpur

trombosit yang menghambat sirkulasi mikro,menyebabkan maldistribusi

aliran darah dan mungkin menyebabkan iskemia, yang kemudian akan

menyebabkan trauma reperfusi dan menginduksi protein renjatan panas.

Universitas Sumatera Utara


(3) Aktivasi sistem koagulasi dan mengganggu jalur inhibitorik protein C

dan S. (4) Vasodilatasi berat, transudasi cairan dan maldistribusi aliran

darah dapat menyebabkan syok berat. Disfungsi organ dan akhirnya

kegagalan akan diakibatkan oleh perubahan-perubahan ini kecuali segera

terjadi pemulihan homeostasis. (Levy MM, 2013, Remick DG, 2016).

Stadium 4

Terdapat kemungkinan reaksi anti-inflamatorik kompensatorik dapat

berlebihan dengan akibat terjadi imunosupresi. Beberapa peneliti telah

menamakannya sebagai paralisis imun dan jendela imunodefisiensi,

sedangkan pada konsep ini dinamakan sebagai sindrom respons anti-

inflamatorik kompensatorik (compensatory anti-inflammatory respons

syndrome-CARS). CARS merupakan respons tubuh terhadap inflamasi

dan lebih dari sekedar paralisis imun. CARS dapat menjelaskan kelainan-

kelainan seperti meningkatnya kerentanan pasien luka bakar terhadap

infeksi dan bahkan anergi pasien pankreatitis. Baru-baru ini telah

ditunjukkan bahwa terapi pada pasien sepsis dengan IFNγ tidak hanya

mengembalikan ekspresi HLA-DR pada monosit namun juga

mengembalikan kemampuan monosit untuk mensekresi sitokin IL-6 dan

TNFα.(Bone RC,.2013,Levy MM, 2013, Remick DG, 2016)

Stadium 5

Stadium akhir pada MODS adalah apa yang disebut sebagai disonansi

imunologik. Istilah ini menunjukkan adanya suatu respons sistem

imunomodulatorik yang tidak sesuai dan keluar dari keseimbangan. Pada

Universitas Sumatera Utara


beberapa pasien, keadaan ini timbul sebagai akibat dari inflamasi

persisten dan berat yang dapat timbul persisten pada pasien SIRS dan

MODS, dengan peningkatan risiko kematian. Pada pasien lainnya,

persistensi penekanan sistem imun menyebabkan terjadinya disonansi

imunologik.

Studi-studi telah menunjukkan tidak hanya deaktivasi monosit timbul

pada banyak pasien namun persistensi deaktivasi tersebut meningkatkan

risiko kematian secara signifikan. Pada pasien-pasien dengan

imunosupresi persisten, penyebab kegagalan organ dapat berupa inhibisi

sintesis zat-zat proinflamatorik yang dibutuhkan oleh organ-organ untuk

pulih. Pada pasien-pasien dengan disonansi imunologik, pemulihan fungsi

organ dapat dimungkinkan apabila tubuh dapat mengembalikan

keseimbangannya. (Levy MM, 2013, Remick DG, 2016).

2.1.8 Kegagalan Organ

Penyebab akhir kematian pada pasien dengan sepsis adalah

kegagalan organ multipel. Terdapat hubungan erat antara derajat

keberatan disfungsi organ terhadap perawatan intensif dan kemungkinan

kesintasan serta antara jumlah organ yang gagal dengan risiko kematian.

Mekanisme ini melibatkan deposisi fibrin luas yang menyebabkan oklusi

mikrovaskular. Inflitrat selular, terutama netrofil, merusak jaringan secara

langsung dengan melepaskan enzim lisosomal dan radikal-radikal bebas

turunan superoksida. TNF-α dan sitokin-sitokin lainnya meningkatkan

ekspresi sintase oksida nitrat terinduksi dan peningkatan produksi oksida

Universitas Sumatera Utara


nitrat lebih lanjut akan menyebabkan instabilitas vaskular dan juga

berkontribusi terhadap depresi miokardial yang timbul pada sepsis.

Hipoksia jaringan yang timbul pada sepsis digambarkan dengan

hutang oksigen, misalnya perbedaan antara hantaran oksigen dengan

kebutuhan oksigen. Beratnya hutang oksigen terkait dengan hasil akhir

sepsis, dan strategi yang dirancang untuk mengoptimalkan hantaran

oksigen ke jaringan dapat memperbaiki kesintasan. Sebagai tambahan

terhadap hipoksia, sel dapat menjadi disoksik semisal tidak mampu untuk

mengutilisasi oksigen yang tersedia. Data-data terbaru menunjukan bahwa

hal ini mungkin merupakan akibat dari kelebihan produksi oksida nitrat,

oleh karena biopsi otot skeletal dari pasien sepsis menunjukkan bukti-bukti

adanya gangguan respirasi mitokondrial, yang dihambat oleh oksida nitrat.

(Levy MM, 2013, Remick DG, 2016).

Sumber : SSC 2012

Gambar 5. Hubungan Sepsis Dengan Kegagalan Organ

Universitas Sumatera Utara


Gangguan respons endokrin sampai sepsis dapat terjadi sebagai

akibat dari sitokin, apoptosis neuronal, gangguan metabolik dan juga

iskemik pada kelenjar-kelenjar hipotalamik-hipofisis dan adrenal serta oleh

pemberian obat-obatan. Gangguang fungsi kelenjar adrenal dan produksi

vasopresin timbul pada setengah dan sepertiga kasus syok sepsis, dan

berkontribusi pada hipotensi dan kematian. Gangguan endokrin lainnya

pada saat sepsis tidak mempunyai mekanisme dan akibat yang jelas.

(Silvia E,.2013; Rittirsch D,.2010; Remick DG,.2015).

2.1.9 Diagnosis

Diagnosis sepsis meliputi diagnosis klinis dengan konfirmasi

mikrobiologi. Termasuk konfirmasi mikrobiologi berupa kultur darah dapat

dilakukan atau sedian apus gram sebelum memulai terapi antimikroba

pada pasien dengan dugaan sepsis atau syok septic. Sehingga

melakukannya di harapkan tidak ada penundaan pada awal pemberian

antimikroba. Kultur sebaiknya di lakukan minimal sebanyak 2 set,

termasuk kultur aerob dan anaerob. (SSC, 2016).

Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin

dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas

darah, laktat arteri, profil ginjal dan hati. Pasien harus dirawat di ruang

rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan secara intensif serta

kontinu diukur tekanan vena sentral, hemodinamik, urin output dan cardiac

output.(Singer M, 2016)

Universitas Sumatera Utara


2.1.10 Laboratorium

Uji laboratorium meliputi complete Blood Count, dengan hitung

diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, BUN,

Kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,

elektrokardiogram dan ronsen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan

tempat lain yang terinfeksi harus di lakukan.(SSC, 2016,Singer M,

2016)

Kultur darah harus di lakukan untuk setiap pasien yang di

curigai sepsis dan syok sepsis. Lakukan gram stain di tempat yang

biasanya steril (darah, CSF, cairan articular, ruang pleura) dengan

aspirasi. Minimal di buat kultur darah sebanyak 2 set (ada yang

mengganggap 3 set), termasuk untuk kuman aerob dan aerob biakan

darah harus di peroleh dalam periode 24 jam. Tergantung pada status

klinis pasien dan resiko – resiko terkait, penegakkan diagnosis juga

dapat di bantu menggunakan foto ronsen abdomen, Ct scan, MRI,

ekokardiografi. (Carrigan SD,.2014, SSC 2016).

Pada sepsis awal di jumpai leukositosis, trombositopenia,

hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leucopenia. Neutrophil

mengandung granula toksik. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis

respiratorik. Hipoksemia dapat di koreksi dengan oksigen. Penderita

diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipid serum meningkat.

Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan

perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat

Universitas Sumatera Utara


menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal meningitis,

bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum terjadi

suatu respons inflamasi.(Perdici, 2014).

Pada sepsis lanjut terjadi trombositopenia memburuk di sertai

perpanjangan waktu thrombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan

D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih

dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot pernafasan lelah,

terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolic terjadi setelah

alkalosis respiratorik. Hipoksemia tidak dapat di koreksi bahkan dengan

oksigen 100 %. Hiperglikemia diabetic dapat menimbulkan ketoasidosis

yang memperburuk hipotensi. (Perdici, 2014)

Tabel 2.6 Indikator Laboratorium Sepsis

Pemeriksaan Lab Temuan Uraian

Hitung leukosit Leukositosis atau Endotoksin

Leukopenia menyebabkan

leucopenia

Hitung trombonist Trombositosis atau Peningkatan jumlahnya

trombositopenia di awal menunjukkan

respon fase akut.

Penurunan jumlah

trombosit menunjukkan

DIC

Kaskade koagulasi Defisiensi protein C, Abnormalitas dapat di

Universitas Sumatera Utara


Antitrombin, amati setelah kegagalan

peningkatan D-dimer organ tanpa perdarahan

dan pemanjangan PT

dan APTT

Kreatinin Peningkatan kreatinin Indikasi gagal ginjal akut

Asam laktat Asam Laktat > 4 mmol Hipoksia Jaringan

Enzim hati Peningkatan alkali Gagal hepatoselular

fosfatase, AST, ALT dan akut oleh karena

bilirubin hipoperfusi

Serum fosfat Hipofosfatemia Berhubungan dengan

level sitokin pro

inflamatori

CRP CRP meningkat Respon fase akut

Procalcitonin Meningkat Membedakan SIRS

dengan atau tanpa

infeksi

Sumber : SSC 2012

2.2 C. Reaktive Protein

2.2.1 Definisi

C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut /

Polisakarida dari dinding sel pneumokokus. Protein ini adalah protein fase

akut klasik yang dapat disintesis di hati. Protein ini dibentuk akibat proses

infeksi, peradangan, luka bakar dan keganasan.Terdapat dalam serum

Universitas Sumatera Utara


normal walaupun dalam konsentrasi yang amat kecil. Dalam keadaan

tertentu dengan reaksi inflamasi atau kerusakan jaringan baik yang

disebabkan oleh penyakit infeksi maupun yang bukan infeksi, konsentrasi

CRP dapat meningkat sampai 100 kali. Peningkatan sintesis CRP akan

meningkatkan viskositas plasma sehingga laju endap darah juga akan

meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang tetap

persisten.(Bratawijaya dan Rengganis,2012).

2.2.2 Fisiologi C-reaktif protein

CRP dalam plasma diproduksi oleh sel hepatosit hati terutama

dipengaruhi oleh Interleukin 6 (IL-6). CRP merupakan marker inflamasi

yang diproduksi dan dilepas oleh hati dibawah rangsangan sitokin-sitokin

seperti IL-6,Interleukin 1 (IL-1), dan Tumor Necroting Factor α (TNF-α).

Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat setelah ada sedikit

rangsangan, konsentrasi serum meningkat diatas 5mg/L selama 6-8 jam

dan mencapai puncak sekitar 24-48 jam. Waktu paruh dalam plasma

adalah 19 jam dan menetap pada semua keadaan sehat dan sakit,

sehingga satu-satunya penentu konsentrasi CRP di sirkulasi adalah

menghitung sintesa IL-6 dengan demikian menggambarkan secara

langsung intensitas proses patologi yang merangsang produksi CRP.

Kadar CRP akan menurun tajam bila proses peradangan atau kerusakan

jaringan mereda dan dalam waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai nilai

normal kembali. CRP adalah anggota keluarga dari protein pentraksin,

suatu protein pengikat kalsium dengan sifat pertahanan imunologis.

Universitas Sumatera Utara


Molekul CRP terdiri dari 5-6 subunit polipeptida non glikosilat yang identik,

terdiridari 206 residu asam amino, dan berikatan satu sama lain secara

non kovalen, membentuk satu molekul berbentuk cakram (disc) dengan

berat molekul 110 – 140 kDa, setiap unit mempunyai berat molekul 23

kDa. (Suryaatmadja,2013, Strang F, 2014)

2.2.3 Metode pengukuran C-reaktif protein

Ada beberapa cara yang di lakukan untuk pemeriksaan C – reactive

protein :

1. Aglutinasi Lateks

Antibodi disalutkan pada partikel untuk menentukan adanya antigen

di dalam serum. Prinsip pemeriksaan CRP dengan aglutinasi lateks

dimana Anti-CRP yang berikatan pada partikel lateks yang ada

dalam reagen akan bereaksi dengan Antigen CRP dalam serum

dan akan membentuk aglutinasi, yang di ukur sebagai kadar CRP.

(Suryaatmadja M, 2013).

2. Immunoassay

Biasanya dipakai teknik double antibody sandwich ELISA. Antibody

pertama (antibody pelapis) di lapiskan pada fase padat, kemudian

di tambahkan serum penderita. Selanjutnya di tambahkan antibody

kedua (antibody pelacak) yang berlabel enzim. Akhirnya di

tambahkan substrat dan reagen penghenti reaksi. Hasilnya di

nyatakan secara kuantitatif. Uji ini mempunyai sensitivitas 0,8 ug/l.

(Miyanishi S, 2013).

Universitas Sumatera Utara


3. Imunoturbidimetri: Merupakan cara penentuan yang kuantitatif. CRP

dalam serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP

membentuk suatu kompleks immun. Kekeruhan (turbidity) yang

terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris.

Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dengan

pengukuran turbidimetrik.

2.2.4 CRP dan Diagnosis sepsis

CRP adalah penanda sepsis yang telah lama ditetapkan, tidak

dapat digunakan sebagai alat diagnostik tunggal, namun sangat

membantu dalam beberapa keadaan penyakit. Penerapannya pada

penyakit yang di sebabkan infeksi tidak diragukan lagi, tidak hanya pada

orang dewasa tapi juga pada pasien anak-anak. Dalam tinjauan ini, hanya

penggunaan CRP dalam infeksi dan sepsis akan dipertimbangkan. (Pepys

MB,.2013)

Dalam dua penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan pada pasien

kritis, cut-off terbaik untuk diagnosis sepsis adalah 50 mg/l (sensitivitas

98,5% dan spesifisitas 75%) dan 79 mg/l (sensitivitas 71,8%, spesifisitas

66,6%). Kesimpulannya, pengukuran CRP tunggal cukup berguna dalam

diagnosis sepsis. (Povoa P, 2013 Ugarte H,.2014).

tingkat CRP lebih tinggi pada bakteri daripada pada infeksi virus,

puncak CRP serupa pada sepsis yang di sebabkan oleh Gram-positif dan

Gram-negatif . Pengetahuan tentang pola CRP sebagai respons terhadap

kejadian inflamasi, seperti pembedahan, pankreatitis dan trauma, juga

Universitas Sumatera Utara


membantu dalam diagnosis sepsis. CRP biasanya meningkat selama 2-3

hari, memuncak sekitar 50 jam setelah stimulus. Kemudian mulai

menurun, meski ini tergantung pada tingkat hilangnya proses inflamasi.

Selain penggunaannya dalam diagnosis sepsis, CRP juga telah dievaluasi

sebagai penanda prognostic (Khera A, 2014)

2.3. Albumin

2.3.1 Definisi

Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam

tubuh manusia, yaitu sekitar 55-60% dan total kadar protein serum normal

adalah 3,8-5,0 g/dl. Albumin terdiri dari rantai tunggal polipeptida dengan

berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585 asam amino. Kadar albumin

serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis, laju degradasi, dan distribusi

antara kompartemen intravaskular dan ekstravaskular. Cadangan total

albumin 3,5-5,0 g/kg BB atau 250-300 g pada orang dewasa sehat dengan

berat 70 kg, dari jumlah ini 42% berada di kompartemen plasma dan

sisanya di dalam kompartemen ektravaskular. (Apelgren KN, 2014).

2.3.2 Fungsi Fisiologis Albumin

Berdasarkan fungsi dan fisiologis, secara umum albumin di dalam

tubuh mempertahankan tekanan onkotik plasma dan sintesis albumin

hanya terjadi di hepar. Pada orang sehat kecepatan sintesis albumin

adalah 194 mg/kg/hari (12-25 gram/hari). Pada keadaan normal hanya 20-

30% hepatosit yang memproduksi albumin (Evans, 2013). Tingkat

perpaduan albumin beragam tergantung dengan kondisi nutrisi dan

Universitas Sumatera Utara


penyakit seseorang peranan albumin terhadap tekanan onkotik plasma

rnencapai 80% yaitu 25 mmHg. Albumin mempunyai konsentrasi yang

tinggi dibandingkan dengan protein plasma lainnya, dengan berat molekul

66,4 kDa lebih rendah dari globulin serum yaitu 147 kDa, tetapi rnasih

mempunyai tekanan osmotik yang bermakna. Efek osmotik ini

memberikan 60% tekanan onkotik albumin. Sisanya 40% berperan dalam

usaha untuk mempertahankan intravaskular dan partikel terlarut yang

bermuatan positif. Secara detil fungsi dan peran albumin dalam tubuh

adalah seperti yang akan dipaparkan berikut: (Zhou T, 2017).

2.3.3 Distribusi, Degradasi dan Eksresi Albumin

Konsentrasi albumin tertinggi terdapat di dalam sel hati, yaitu

berkisar antara 200-500 mcg/g jaringan hati. Adanya albumin di dalam

plasma (kompartemen intravaskuler) ditransfer melalui salah satu dari dua

cara yaitu:

a. langsung dari dinding sel hati ke dalam sinusoid.

b. melalui ruang antar sel hati dan dinding sinusoid kemudian ke saluran

limfe hati yaitu duktus torasikus dan akhirnya ke dalam kompartemen

intravaskuler. Hanya albumin dalam plasma (intravaskuler) yang

mempertahankan volume plasma dan mencegah edema, sedangkan

albumin ekstravaskuler tidak berperan. (Peters TJ, 2014).

Degradasi albumin total pada orang dewasa dengan berat 70 kg

adalah sekitar 14 gram/hari atau 5% dan pertukaran protein seluruh

tubuh per hari, albumin dipecah di otot dan kulit sebesar 40-60%, di hati

Universitas Sumatera Utara


15%, ginjal sekitar 10%, dan 10% sisanya merembes ke dalam saluran

cerna melalui dinding lambung. Produk degradasi akhir berupa asam

amino bebas. (Evans, 2013).

Pemberian preparat albumin tidak diekskresi oleh ginjal. Pada

keadaan sehat ekskresi albumin melalui ginjal relatif tidak penting.

Penyakit ginjal dapat mempengaruhi degradasi dan sintesis. Bila

kecepatan hilangnya albumin meningkat, sintesis albumin akan

meningkat

2.3.4 Eksresi Albumin

Pemberian preparat albumin tidak diekskresi oleh ginjal. Pada

keadaan sehat ekskresi albumin melalui ginjal relatif tidak penting.

Penyakit ginjal dapat mempengaruhi degradasi dan sintesis. Pada sindrom

nefrotik, albumin plasma dipertahankan dengan menurunkan degradasi

apabila kehilangan albumin 100 mg/kg BB/hari, tetapi bila kecepatan

hilangnya albumin meningkat, sintesis albumin akan meningkat lebih dan

400 mg/kg BB/hari. (Evans, 2013).

2.3.5 Albumin dan Sepsis

Sepsis merubah distribusi albumin antara bagian intravaskular dan

ekstravaskular. Terdapat juga perubahan pada tingkat perpaduan dan

degradasi protein. Konsentrasi serum albumin akan berkurang, sering

secara dramatis, dari awal masa penyakit kritis. Perubahan distribusi pada

penyakit kritis berhubungan dengan peningkatan kebocoran pembuluh

kapiler. Hal ini terjadi pada sepsis dan setelah stress operasi besar. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


termasuk disfungsi pembatas endotelia yang menghasilkan kebocoran

saluran kapiler dan kehilangan protein, inflamasi sel dan volume besar

cairan kedalam ruang insterstitial. Tingkat escape transcapillary yang

normal untuk peningkatan albumin adalah sampai 300% pada pasien

dengan shock .(Ranzani OT, 2013, Kim HM, 2015).

Berdasarkan pemaparan teori di atas ini kami menduga bahwa

rasio CRP / albumin dapat di gunakan sebagai biomarker prognosis

mortalitas pada pasien dengan sepsis atau renjatan septik. Dan kematian

yang tinggi dan prognosis yang buruk terlihat pada pasien dengan rasio

CRP / albumin > 2 mg/dl. .(Ranzani OT, 2013, Kim HM, 2015).

2.3.6 Metode Pemeriksaan Albumin

Metode Brom Cresol Green (BCG).

Prinsip pemeriksaan albumin dengan metode BCG yaitu serum di

tambahkan pereaksi. Albumin akan berubah warna menjadi hijau,

kemudian di periksa pada spekrofotometer. Intensitas warna hijau ini

menunjukkan kadar albumin dalam serum. (Muray RK, 2016).

Metode Biuret

Prinsip penetapan kadar albumin dalam serum dengan

menggunakan metode Biuret adalah pengukuran serapan cahaya

kompleks berwarna ungu dari albumin yang bereaksi dengan pereaksi

Biuret dimana yang membentuk kompleks adalah protein dengan ion Cu


2+
yang terdapat dalam pereaksi Biuret dalam suasana basa. Semakin

tinggi intensitas cahaya yang di serap oleh alat maka semakin tinggi pula

Universitas Sumatera Utara


kandungan protein yang terdapat dalam serum tersebut. (Muray RK, 2016)

2.4. Trombosit

2.4.1 Definisi

Trombosit dihasilkan dari sitoplasma megakariosit (berukuran

80-150 μm). Megakariosit dapat dijumpai di sumsum tulang dan setiap

megakariosit dapat menghasilkan sekitar 2,000 trombosit. Megakariosit

berasal dari stem cell pluripotensial. Proses perubahan megakariosit

menjadi trombosit harus melewati proliferasi dari progenitor menjadi

poliploidisasi (endoreduplikasi nuklear) dan sampai pada maturasi

sitoplasma dan pembentukan trombosit. Volume rata-rata trombosit

berkisar 7-8 fL dan trombosit memiliki diameter 2-3 µm. (Turgeon, 2015).

2.4.2 Gangguan Trombosit dalam sepsis

Sistem hemostasis dipertahankan oleh interaksi antara sel endotel,

protein koagulasi,dan trombosit sebagai tiga unsur utama untuk menjaga

fluiditas darah pada keadaan normal. Pada keadaan cedera, ketiga unsur

utama tersebut bekerjasama dalam sistem koagulasi. Sel endotel

merupakan lapisan dalam pembuluh darah yang non trombogenik.8

Fungsi sel endotel dalam sistem hemostasis antara lain mensintesis tissue

factor (TF), Trombosit merupakan sel yang sangat berperan pada proses

koagulasi. Trombosit berinteraksi dengan komponen matriks ekstrasel

disaat terjadinya cedera sehingga terbentuk platelet plug sebagai penutup

lesi pembuluh darah. Trombosit yang teraktivasi juga menghasilkan

berbagai agonis trombosit yang memperantarai kontraksi otot polos

Universitas Sumatera Utara


sehingga terjadi vasokonstriksi.

Pada sepsis terjadi trombositopenia pada pasien berat. Faktor

utama yang menyebabkan penurunan jumlah trombosit pada sepsis

adalah produksi trombosit yang terganggu, peningkatan pemakaian

maupun destruksi, atau sekuestrasi trombosit di limpa.

Sepsis berat sering dihubungkan dengan keadaan prokoagulan

dan keadaan konsumtif sekunder dari trombositopenia, seperti DIC yang

menunjukan suatu proses kelainan hemostasis ekstrim yang terus

berlanjut pada pasien dengan sepsis. (Venkata et al., 2013). Trombosit

merupakan sel pertama yang memberikan respon pada peradangan dan

memiliki peran penting dalam meregulasi respon host terhadap infeksi

yang terjadi melalui aktivasi trombosit oleh bakteri. (Cox et al., 2014).

Respon proinflamasi terhadap sepsis akan menyebabkan

aktivasi sistem koagulasi dengan penghambatan mekanisme antikoagulan

dan fibrinolisis. Sebagai akibatnya, produk fibrinolitik dan fibrinogen

dikonsumsi, clot terbentuk dan perdarahan yang bermanifestasi sebagai

DIC. (Ates et al., 2015) Selain terjadi gangguan dalam proses koagulasi

darah, mikrotrombi juga dapat terjadi sebagai akibat dari aktivasi trombosit

dan dapat menyebabkan kerusakan organ. (Park et al., 2016).

2.5. Kreatinin

2.5.1 Definisi

Kreatinin adalah produk akhir metabolisme kreatin.Kreatinin

sebagai besar dijumpai di otot rangka, tempat zat terlibat dalam

Universitas Sumatera Utara


penyimpanan energy sebagai keratin fosfat.Dalam sintesis ATP (Adenisin

Tri Phospat) dari ADP (Adenosin Diphospat), kreatin fosfat diubah

menjadi kreatin dengan kataliasi enzim keratin kinase. Seiring dengan

pemakaian energi , Sejumlah kecil diubah secara irreversible menjadi

kreatinin, yang dikeluarkan dari sirkulasi oleh ginjal. (Sumantri, 2013).

2.5.2 Peningkatan Kreatinin pada Sepsis

Sepsis mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Penyebab

kematian pada pasien sepsis disebabkan karena terjadi multiple organ

dysfunction syndrome (MODS) dan salah satu organ yang mungkin

terkena adalah ginjal. Untuk memantau adanya disfungsi ginjal, salah

satunya adalah dengan memantau peningkatan serum kreatinin.

Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya

gagal ginjal pada keadaan sepsis , yang di manifestasikan sebagai oliguria

, azotemia dan sel – sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal

berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai ,

maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal , misalnya hemodialisis

di indikasikan.(Park et al., 2016).

2.6. Bilirubin

2.6.1 Definisi

Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang

merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui

proses reaksi oksidasi-reduksi. Bilirubin berasal dari katabolisme protein

heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal

Universitas Sumatera Utara


dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya seperti

mioglobin, sitokrom, katalase dan peroksidase. Macam-macam Bilirubin :

((Sumantri, 2013).

2.6.2 Bilirubin pada sepsis

Hati diduga mempengaruhi mekanisme metabolik dan pertahanan

penjamu selama sepsis. Organ ini secara aktif mengatur proses-proses

inflamatorik dengan menyaring, menginaktivasi, dan membersihkan

bakteri, produk-produk bakteri (misalnya endotoksin), zat-zat vasoaktif,

dan mediator-mediator inflamasi. Hati yang terstimulasi sendiri

memproduksi dan melepaskan berbagai macam sitokin, lipid bioaktif, dan

protein-protein fase akut dalam jumlah besar.

Disfungsi hepatik awal timbul pada beberapa jam pertama sepsis

dan terkait dengan hipoperfusi hepatosplanik. Gangguan ini dapat

menyebakan peningkatan akut penanda-penada biologis kerusakan hati

(transaminase, dehidrogenase laktat, bilirubin). Meskipun demikian,

biasanya dapat dipulihkan secara cepat dengan terapi suportif adekuat.

Proses ini dikarakteristikan dengan kerusakan struktural dan fungsional

serta dapat bertanggung jawab terhadap bertambahnya bakteri,

endotoksin dan molekul-molekul inflamatorik yang dapat memicu atau

mempertahanakan terjadinya kerusakan organ multiple. (Sumantri, 2013)

Disfungsi hepatik awal dan lanjut terkait dengan perubahan global

dan mikrosirkulasi perfusi hati. Sepsis dapat menyebabkan perubahan

besar pada peredaran darah mikrosirkulasi pada semua organ splanknik

Universitas Sumatera Utara


yang tidak dapat diprediksikan dari perubahan aliran darah regional atau

sistemik. Redistribusi peredarah darah intrahepatik akan mengalirkan

darah menjauhi pembuluh darah yang terkontraksi menuju kepembuluh

darah yang terdilatasi, menyebebkan terjadinya penurunan daerah total

sinusoidal yang terperfusi. Sel endotel sinusoidal (SES) dan sel kupffer

(SK) membentuk kontak garis utama untuk bakteri, produk bakterial dan

debris mikrobial yang dihantarkan oleh darah portal dan arteri hepatika.

Respon mikrovaskular hepar terhadap zat-zat ini berkorelasi dengan

keadaan aktivasi, jumlah dan distribusi SK didalam lobulus hepar. Setelah

terstimulasi sel kuffer melepaskan berbagai macam mediator-mediator

inflamatorik, toksik, dan vasoaktif yang semuanya dapat menyebabkan

kerusakan jaringan baik secara langsung maupun tidak langsung.

(Sumantri, 2013).

2.7. Skor SOFA

Pada beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan beberapa

model penilaian untuk menggambarkan tingkat keparahan penyakit pada

pasien yang dirawat di ruang intensif atau untuk meramalkan outcomedari

perawatan intensif.Sebagai contohnya adalah Sepsis-related Organ

Failure Assessment, yang kemudian dikenal dengan Sequential Organ

Failure Assessment (SOFA) dan diperkenalkan pada tahun 1994.

Tujuannya adalah untuk menilai keparahan penyakit berdasarkan derajat

disfungsi organ secara serial setiap waktu. Meskipun sistem penilaian

tingkat keparahan penyakit seperti Acute Physiology and Chronic Health

Universitas Sumatera Utara


EvaluationII (APACHE II) dan Simplified Acute Physiology ScoreII (SAPS

II)didasarkan atas perawatan 24 jam pertama di UPI,sistem penilain

Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) mencatat waktu

serangkaian kondisi pasien secara keseluruhan.(Vincent dkk, 2014).

Sistem penilaian SOFA pertama kali dikembangkan melalui

konsensus di Paris, Prancis tahun 1994.Pada mulanya sistem penilaian ini

digunakan untuk menilai pasien sepsis, namun telah divalidasi dan dapat

digunakan pada kelompok populasi lainnya.Enam sistem organ (respirasi,

kardiovaskular, ginjal, hati, sistem saraf pusat, dan koagulasi) dipilih

berdasarkan telaah dari literatur dan setiap fungsi diberi nilai dari 0 (fungsi

normal) hingga 4 (sangat abnormal), yang memberikan kemungkinan

penilaian dari 0 sampai 4.Penilaian SOFA tidak hanya dinilai pada hari

pertama saja, namun dapat dinilai harian dengan mengambil nilai yang

terburuk pada hari tersebut. Variabel parameter penilaian dikatakan ideal

untuk menggambarkan disfungsi atau kegagalan organ sebagai berikut:

(Vincent dkk,2014)

a. Objektif

b. Sederhana, mudah disediakan namun juga harus reliabel

c. Diperiksa rutin di setiap institusi

d. Spesifik untuk menilai fungsi organ yang diinginkan

e. Variabel kontinu

f. Independen untuk jenis pasien

g. Independen terhadap intervensi terapeutik

Universitas Sumatera Utara


Perubahan pada skor SOFA memberikan nilai prediktif yang tinggi.

Pada studi prospektif dari 352 pasien di unit perawatan intensif,

peningkatan skor SOFA selama 48 jam pertama perawatan memberikan

mortalitas paling sedikit 50%, sementara penurunan skor SOFA

memberikan mortalitas hanya 27%.Tujuan utama dari penggunaan sistem

skor kegagalan fungsi organ adalah untuk menggambarkan urutan dari

komplikasi, bukan untuk memprediksi mortalitas.Meskipun

demikian,kegagalan fungsi organ dikatakan mempunyai hubungan dengan

kematian (Vincent et al., 2014)

Tabel 2.7 Sistem Penilaian Sequential Organ Failure Assessment


(SOFA)
Penilaian SOFA
Variabel
0 1 2 3 4
Respirasi
PaO2/FiO2 > 400 ≤ 400 ≤ 300 ≤ 200 ≤ 100
mmHg
Koagulasi
Platelet, x > 150 ≤ 150 ≤ 100 ≤ 50 ≤ 20
103/µL
Liver
Bilirubin, < 1,2 1,2-1,9 2,0-5,9 6,0-11,9 > 12,0
mg/dL

Universitas Sumatera Utara


Kardiovaskular Dopamin >
Dopamin ≤ Dopamin >
Hipotensi 15,
5 atau 5, adrenalin
(dosis Tidak ada MAP < 70 adrenalin >
dobutamin ≤ 0,1 atau
dalam hipotensi mmHg 0,1 atau
(dosis norepinefri
µg/kg/menit norepinefri
berapapun) n ≤ 0,1
) n > 0,1
Sistem saraf
pusat
15 13-14 10-12 6-9 <6
Glasgow
Coma Scale
Ginjal
Kreatinin,
mg/dL atau 3,5-4,9 atau > 5,0 atau <
< 1,2 1,2-1,9 2,0-3,4
urine < 500 200
output,
mL/24 jam

Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut pada

skor total SOFA ≥2 sebagai konsekuensi dari adanya infeksi.Skor SOFA

meliputi 6 fungsi organ yaitu respirasi, koagulasi, liver, kardiovaskular,

sistem saraf pusat, dan ginjal yang masing-masing memiliki tingkatan nilai

0 sampai 4. Skor SOFA 0-1 tidak menunjukkan risiko mortalitas pada

populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi, ≥2

mencerminkan risiko mortalitas 10% pada populasi rumah sakit umum

yang dicurigai terkena infeksi, < 9 mencerminkan risiko mortalitas33%

pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi, dan > 11

mencerminkan risiko mortalitas95% pada populasi rumah sakit umum

Universitas Sumatera Utara


yang dicurigai terkena infeksi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

semakin tinggi skor SOFA, maka outcome pada pasien akan semakin

buruk (Vincent dkk, 2014).

Tabel 2.8 Aplikasi Faktor Risiko Skor SOFA

Aplikasi Faktor Risiko


Skor Mortalitas (Rumah Sakit)
0-1 ---
2 10%
<9 33%
>10 95%
Sumber : Yang Y et al, 2016

Universitas Sumatera Utara


2.8 Kerangka Teori

INFEKSI : bakteri, virus,


jamur jamur, etc

Respon Inflamasi

Makrofag Aktivasi Sistem Imun Sel T dan Sel B

Aktivasi Platelet Aktivasi TNF alpha


koagulasi activasi tromboksan, IL-1, IL-6,
dan system A2, NO dsb
komplement prostaglandin
, tissue factor , leuktorien
HEPAR
dan sistim
fibrinolitik

CRP

KERUSAKAN ENDOTHEL

PLASMA LEAKAGE

HIPOALBUMINEMIA

Universitas Sumatera Utara


2.9 Kerangka Konseptual

CRP

SEPSIS Mortalitas

ALBUMIN

VARIABEL BEBAS

VARIABEL TERIKAT

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi observasional dengan metode

pengumpulan data secara kohort – prospective untuk menilai rasio

CRP/ Albumin pada pasien sepsis.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Patologi

Klinik FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan bekerjasama dengan

Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif FK USU/RSUP H.

Adam Malik Medan, mulai bulan April 2018 - Juni 2018.

3.3. Populasi Penelitian

Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien penderita

sepsis yang dirawat di ICU RSUP H. Adam Malik Medan mulai

bulan April 2018 - Juni 2018. Subjek penelitian adalah pasien

penderita sepsis yang dirawat di ICU RSUP H. Adam Malik Medan ,

serta telah memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan subjek

penelitian dihentikan bila jumlah sampel telah tercapai

3.4. Sampel Penelitian

3.4.1. Cara pengambilan sampel penelitian

Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif terhadap

semua populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian.

Universitas Sumatera Utara


3.4.2. Besar sampel

Digunakan rumus besar sampel untuk uji korelasi . Besar

sampel ditentukan dengan rumus:

n
Z (1 / 2 ) Po (1  Po )  Z (1  ) ) Pa (1  Pa )  2

Po  Pa 2
dimana :

Z (1 / 2) = deviat baku alpha. utk  = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96

Z (1  ) = deviat baku betha. utk  = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282

P0 = proporsi penderita sepsis berat = 0,63

Pa = perkiraan proporsi penderita sepsis yang diteliti, sebesar = 0,78

P0  Pa = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar 0,15

Menurut rumus di atas maka diperlukan sampel minimal sebanyak 30

sampel.

3.5. Kriteria Penelitian

3.5.1 Kriteria inklusi

1. Usia > 18 tahun dan < 65 tahun.

2. Penderita sepsis kriteria Menurut Surviving Sepsis Campaign:

International Guidelines for Management of Severe Sepsis and

Septic Shock: 2016 yang di rawat di RSUP H.Adam Malik Medan.

3. Bersedia mengikuti penelitian.

Universitas Sumatera Utara


3.5.2 Kriteria eksklusi

1. Pasien dengan keganasan.

2. Pasien yang mendapat transfusi albumin

3.6 Identifikasi Variabel

3.6.1 Variabel bebas

1. Sepsis

2. CRP

3. Albumin

3.6.2 Variabel terikat

1 Mortalitas

3.7 Definisi Operasional

No Variabel Defenisi Operasional


1 Sepsis Menurut Surviving Sepsis Campaign:
International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock: 2016, Sepsis
merupakan keadaan disfungsi organ yang
mengancam jiwa dimana terjadi disregulasi
respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis
dapat di jabarkan bahwa disfungsi organ terdapat
peningkatan skor sequential organ failure
assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang
berhubungan dengan peningkatan resiko
kematian dirumah sakit >10 %.(SSC 2016).
2 CRP C Reaktive Protein merupakan protein fase akut
yang merupakan Respon awal tubuh terhadap

Universitas Sumatera Utara


infeksi, inflamasi, ataupun kerusakan jaringan.
(CRP) yang meningkat secara nyata sebagai
respons terhadap infeksi.( (Pepys MB,.2013)
3 Albumin Albumin adalah merupakan protein fase akut
negative.Berdasarkan fungsi dan fisiologis,
secara umum albumin di dalam tubuh
mempertahankan tekanan onkotik plasma.
Sintesis albumin hanya terjadi di hepar. (Apelgren
KN, 2014).
4 Skor Sofa Skor SOFA adalah suatu sistem scoring untuk
menentukan beratnya penyakit di perawatan
intensif dan memperkirakan resiko kematian pada
populasi penyakit kritis. Skor SOFA meliputi :
Respirasi (PaO2/Fi O2,mmHg)
Koagulasi (Trombosit,103 /µL)
Hati (Bilirubin, mg/dl)
Kardiovaskular (Hipotensi,mmHg)
Sistem saraf Pusat (GCS)
Ginjal (Kreatinin, mg/dL dan produksi urin,
ml/hari)
Jika skor SOFA > 2 resiko kematian di rumah
sakit > 10 % dan jika skor SOFA < 9 maka resiko
kematian di rumah sakit adalah > 35 %.
5 Prediktor Skor SOFA > 11 mempunyai angka mortalitas >
Mortalitas 90% dan penurunan skor ini dalam 48 jam
berhubungan dengan menurunnya angka
mortalitas sebesar 6% dan jika skor ini tidak
berubah atau cendrung terjadi peningkatan maka
angka kematian meningkat 37% pada skor awal
2-7 dan 60% jika skor awal 8-11.(Safari dkk,2016)

Universitas Sumatera Utara


3.8 Cara Kerja

3.8.1 Pengambilan sampel

1. Penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Sampel dipilih secara konsekutif dan memenuhi kriteria

inklusi.

2. Subjek penelitian diberi penjelasan tentang tujuan penelitian

dan manfaat penelitian tersebut, maka subjek penelitian

tersebut diberi penjelasan untuk mengisi surat persetujuan

mengikuti penelitian atau inform consent.

3. Dilakukan pemeriksaan crp, albumin, analisa gas darah,

bilirubin, kreatinin dan trombosit pada hari pertama

4. Pada hari pertama dihitung skor SOFA pasien

5. Dilakukan pemeriksaan crp, albumin, analisa gas darah,

bilirubin, kreatinin dan trombosit pada hari ketiga

6. Pada hari ketiga dihitung skor SOFA pasien

7. Sampel yang dibutuhkan untuk pemeriksaan tersebut adalah

serum darah pasien dan darah arteri. Pengambilan sampel

darah pasien untuk pemeriksaan yaitu CRP ,Albumin,

Bilirubin, Kreatinin, Trombosit dan Analisa gas darah.

8. Pengambilan sampel darah untuk mendapatkan serum

dilakukan sebagai berikut:

 Vakutainer pemeriksaan dibuat identitas pasien untuk

mencegah terjadinya kesalahan.

Universitas Sumatera Utara


 Pasang torniquet/pengebat pada lengan bagian atas

pasien dan mintalah pasien untuk mengepal

tangannya.

 Bersihkan vena yang hendak diambil dengan kapas

yang telah di beri alkohol 70%, biarkan kering.

 Tusuk vena secara perlahan-lahan dengan venoject

 Tarik penghisap venoject dengan volume darah 5 cc

untuk dewasa, lalu suruh pasien melepas kepalan

tangannya dan diikuti dengan melepas pengebat.

 Cabut venoject dari vena diiringi dengan letakkan

kapas alkohol pada bekas tusukan dan diberi plester.

 Cabut tutup jarum venoject lalu tusuk secara vakum

kedalam tabung vakutainer.

 Sampel darah tersebut kemudian disentrifugasi

dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit..

 Serum yg memenuhi syarat harus tidak kelihatan

merah/keruh (lipemik).

 Cairan yang paling atas berwarna kuning bening

disebut serum.

 Serum tersebut dipisahkan untuk pemeriksaan CRP

dan Albumin

 Serum dapat disimpan pada suhu 2 - 8º C dan dapat

bertahan selama 7 hari. Jika di simpan pada suhu -20º

Universitas Sumatera Utara


C, dapat bertahan selama 2 bulan di dalam freezer,

atau pada suhu -80º C dapat bertahan selama 6

bulan.

3.8.2 Pengolahan dan pemeriksaan sampel

3.8.2.1 Pemeriksaan Nilai CRP (C – Reaktif Protein)

Prinsip Pemeriksaan

Berdasarkan reaksi immunofluorensen (ELISA) terjadi reaksi

antigen dan antibody yang membentuk kompleks imun, yang

di label oleh fluoresens

Cara Pemeriksaan :

Bahan : Serum, whole blood, darah kapiler

Alat : ICHROMA 2 Analyzer

Cara Kerja :

1. Ambil 15 ul serum dengan mikropipet dan masukkan

ke kuvet.

2. Serum yang ada di kuvet, masukkan ke tabung buffer

3. Kocok sebanyak 10 x

4. Buang 2 tetes

5. Teteskan 2 tetes ke dalam catridge dan inkubasi 3

menit

6. Masukkan catridge ke dalam alat.

Untuk pemantapan kualitas CRP di gunakan Boditech CRP kontrol

Lot. NO. CRCOO08. Kontrol harus segera digunakan sebelum melakukan

Universitas Sumatera Utara


pemeriksaan untuk memastikan kualitas reagen tidak berubah. Kalibrasi

juga bisa diperiksa dengan menggunakan kontrol ini.Hasil pemeriksaan

tidak dapat divalidasi jika nilai kontrol keluar dari batas nilai yang

ditentukan. Dengan demikian, pemeriksaan sampel harus diulang kembali.

Gambar 6. Ichroma II Analyzer

Gambar 7. Cara Penggunaan Ichroma II Analyzer

Universitas Sumatera Utara


3.8.2.2 Pemeriksaan Albumin

Kadar albumin di dalam serum (kuantitasi) di periksa dengan

bromcresol green method, menggunakan ARCHITECT PLUS C1 4100

dengan prinsip spekrofotometri. Pada pH 4,1 albumin yang mempunyai

sifat – sifat kationik akan berikatan dengan bromcresol green (BCG), suatu

molekul anionic yang dapat memberikan perubahan warna (anionic

dyestuff) menjadi bentuk kompleks blue – green. Intensitas warna blue –

green yang terbentuk, secara proporsional berbanding lurus dengan

konsentrasi albumin dalam serum, dan dapat di deteksi dengan

pemeriksaan spektrofotometri pada panjang gelombang 628 nm. Untuk

pemantapan kualitas albumin di gunakan Kontrol Multichem S Plus

(Assayed), Lot. NO. 15503161, Technopath, Ballina,co. Tipperary, Ireland

dan untuk kalibrasi menggunakan Multiconstituent Cal, Lot.NO. 81708-1.

Abbot Park, IL 60064, USA untuk kalibrasi.

Kontrol harus segera digunakan sebelum melakukan pemeriksaan

untuk memastikan kualitas reagen tidak berubah. Kalibrasi juga bisa

diperiksa dengan menggunakan kontrol ini.Hasil pemeriksaan tidak dapat

divalidasi jika nilai kontrol keluar dari batas nilai yang ditentukan. Dengan

demikian, pemeriksaan sampel harus diulang kembali.

3.8.2.3 Pemeriksaan Trombosit

Pemeriksaan trombosit dengan menggunakan Sysmex XN-1000

dimana alat ini menggunakan prinsip kombinasi electric impedance dan

flow cytometry. Dengan alat ini jumlah sel-sel seperti trombosit akan

Universitas Sumatera Utara


dibaca dengan dasar electric impedance, sedangkan flow cytometry

digunakan untuk menganalisa sel-sel dan partikel-partikel tersebut ketika

melewati flow cell yang sangat kecil. (Sysmex Corporation, 2014).

Flow cytometry merupakan metode dari mekanisme Hydro

Dynamic Focusing yang meningkatkan akurasi dan kemampuan

pengulangan untuk menghitung sel-sel. Sampel darah akan diaspirasi dan

diukur, lalu dilarutkan dan diwarnai. (Sysmex Corporation, 2014).

Pewarnaan yang digunakan oleh alat ini adalah pewarnaan polymethine

dan oxazine yang spesifik terhadap asam nukleat. Pewarna ini akan

mewarnai RNA dari trombosit.(Cremer et al., 2013)

Setelah diwarnai maka sel-sel darah akan melewati flow cell dan

suatu cahaya laser semikonduktor dengan panjang gelombang 633 nm

akan diemisikan ke sel-sel tersebut. Cahaya tersebut diemisikan secara

forward scattered dan side scattered yang akan ditangkap oleh photodiode

dan cahaya side fluorescent yang akan ditangkap oleh avalanche

photodiode. Cahaya ini akan diubah menjadi aliran listrik sehingga dapat

memperoleh informasi mengenai sel darah. Trombosit muda yang lebih

besar dan lebih berfluoresensi dari pada trombosit dewasa akan di-gate

oleh algoritme yang sudah diatur kemudian dijumlahkan. (Cremer et al.,

2013). Untuk pemantapan kualitas dilakukan dengan menjalankan

program kontrol pada Sysmex XN-1000i menggunakan bahan kontrol

berbentuk cair yang sudah siap pakai yang telah diketahui nilainya, yaitu

bahan kontrol rendah, normal, dan tinggi (Sysmex, 2014).

Universitas Sumatera Utara


3.8.2.4 Pemeriksaan Bilirubin total

Pemeriksaan bilirubin total dengan menggunakan alat Automatic

Architect c 800 berdasarkan prinsip enzimatik dengan garam diazonium,

Metode tradisional untuk penetuan bilirubin dengan reagen diazo untuk

membentuk komponen berwarna azobilirubin. Reaksi diazo dapat

dipercepat dengan penambahan berbagai macam zat kimia. Total bilirubin

(terkonjugasi dan tidak terkonjugasi) berikatan dengan reagent diazo

dalam surfaktan untuk membentuk azobilirubin. Reaksi diazo dipercepat

dengan tambahan surfactan sebagai agen pelarut. Peningkatan

absorbansi pada 548 nm oleh azobilirubin berbanding langsung dengan

konsentrasi biirubin total. (Architect, 2016).

Untuk pemantapan kualitas dilakukan dengan pemeriksaan bahan

kontrol sebanyak level (normal dan abnormal) yang dijalankan setiap 24

jam.(Architect, 2016) R1 dan R2 yang belum dibuka stabil sampai tanggal

kedaluwarsa yang ditunjukkan pada botol bila disimpan pada 2oC sampai

8oC . Jangan membeku. (Architect, 2016) Setelah dibuka, pereaksi stabil

selama 21 hari di dalam alat. Untuk kestabilan yang optimal lepaskan

pereaksi dari alat dan simpan pada 2oC sampai 8oC di botol asli yang

tertutup rapat. (Architect, 2016). Nilai normal bilirubin total 0.2 – 1.2 mg/dL.

3.8.2.5 Pemeriksaan Kreatinin

Pemeriksaan kreatinin dengan menggunakan alat Automatic

Architect c 8000 berdasarkan prinsip kinetik alkaline pikrat. Pada ph alkali,

kreatinin dalam sampel bereaksi dengan picrate untuk membentuk

Universitas Sumatera Utara


komplek kreatinin -picrate. Laju peningkatan absorbansi pada 500 nm

karena oleh pembentukan kompleks ini berbanding lurus dengan

konsentrasi kreatinin dalam sampel. (Architect, 2016). Untuk pemantapan

kualitas dilakukan dengan pemeriksaan bahan kontrol sebanyak 2 level

(normal dan abnormal) yang dijalankan setiap 24 jam. (Architect, 2016).

3.8.2.6 Pemeriksaan Tekanan Oksigen Arteri (PaO2)

Pemeriksaan Tekanan oksigen arteri dengan menggunakan alat

GEM Premier 3500 dengan prinsip pemeriksaan electrokimia dimana

sample yang diambil melalui probe akan masuk kesetiap sample sel

secara bergiliran dimana gas sample akan dibandingkan dengan gas

standar melalui pemencaran sistem infra red dimana akan menghasilkan

perbedaan panjang gelombang yang akan dikonversi receiver menjadi

signal analog (Prosedur GEM 3500, 2005)

Cara Kerja

1. nyalakan Alat GEM PREMIER 3500, Tekan GO

2. Hisapkan sample yang sudah dihomogenkan, Tekan OK

3. Tarik sampel yang yang dihisapkan tadi

4. Masukkan ID pasien, tekan OK

5. Tunggu hasil akan keluar dalam 54 detik, hasil kemudian diprint.

Intelligent Quality Manajemen (IQM®) digunakan sebagai

kontrol kualitas dan sistem penilaian. IQM® aktif dalam

mengontrol pemantapan kualitas dan dokumentasi semua

tindakan korektif. Digunakan tiga konfigurasi ampul yaitu :

Universitas Sumatera Utara


GEM CVP 1 : pH rendah, pO2, dan pCO2 tinggi

GEM CVP 2 : pH tinggi, pO2, dan pCO2 rendah

Contril 9 : Level 2, 96 %

Verifikasi kalibrasi harus dilakukan setiap enam bulan, jika

ada perawatan atau penggantian utama dari setiap bagian

penting yang dapat mempengaruhi pengujian kinerja,

penggantian instrumen dan jika hasil kontrol menunjukkan

bahwa mungkin ada masalah. (Prosedur GEM 3500, 2005)

3.9 Pemantapan Kualitas

Pemantapan kualitas penting untuk mencegah terjadinya

kesalahan dalam pemeriksaan. Untuk itu sebelum melakukan

pemeriksaan perlu dilakukan persiapan yang cukup untuk menghindari

kesalahan dalam pemeriksaan. Prosedur yang harus diperhatikan

diantaranya adalah dimulai dari preanalitik, analitik dan postanalitik.

Pemantapan kualitas dilakukan setiap kali pada saat awal pemeriksaan

untuk menjamin ketepatan hasil pemeriksaan yang dikerjakan. Sebelum

dilakukan pemeriksaan harus dilakukan kalibrasii terhadap alat-alat yang

digunakan, agar penentuan konsentrasi zat dapat diketahui. Pemeriksaan

yang baik apabila test tersebut memenuhi syarat teliti, akurat dengan

batas nilai yang dikeluarkan oleh pabriknya. Ketepatan merupakan

prasyarat dari ketelitian.

Untuk pemantapan kualitas albumin di gunakan Kontrol Multichem

S Plus (Assayed), Lot. NO. 15503161, Technopath, Ballina,co. Tipperary,

Universitas Sumatera Utara


Ireland dan untuk kalibrasi menggunakan Multiconstituent Cal, Lot.NO.

81708-1. Abbot Park, IL 60064, USA untuk kalibrasi.

Kontrol harus segera digunakan sebelum melakukan pemeriksaan

untuk memastikan kualitas reagen tidak berubah. Kalibrasi juga bisa

diperiksa dengan menggunakan kontrol ini.Hasil pemeriksaan tidak dapat

divalidasi jika nilai kontrol keluar dari batas nilai yang ditentukan. Dengan

demikian, pemeriksaan sampel harus diulang kembali.

Gambar 8. Quality Kontrol Albumin.

Sumber : Architect Plus C4100

Universitas Sumatera Utara


Gambar 9. Kalibrasi Albumin

Sumber : Architect Plus C4100

Untuk pemantapan kualitas CRP di gunakan Boditech CRP kontrol

Lot. NO. CRCOO08. Kontrol harus segera digunakan sebelum melakukan

pemeriksaan untuk memastikan kualitas reagen tidak berubah. Kalibrasi

juga bisa diperiksa dengan menggunakan kontrol ini.Hasil pemeriksaan

tidak dapat divalidasi jika nilai kontrol keluar dari batas nilai yang

ditentukan. Dengan demikian, pemeriksaan sampel harus diulang kembali.

3.10 Masalah Etika (Ethical Clearance) dan Persetujuan Setelah

Penjelasan (Informed Consent)

Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan (ethical

clearance) dari komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara Medan / RSUP. H. Adam Malik Medan.

Seluruh pasien yang bersedia ikut dalam penelitian ini memberikan

Universitas Sumatera Utara


informed consent secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh

pihak keluarga. Dalam memberikan persetujuan tersebut pasien

sebelumnya telah diberitahu akan makna, manfaat dan kemungkinan efek

samping yang tidak menyenangkan yang mungkin bisa terjadi.

3.11 Rencana Pengolahan dan Analisis Data

Analisa data dilakukan menggunakan software SPSS (Statistical

Package for Social Sciences, Chicago, IL, USA) untuk Windows.

Gambaran karakteristik pada subjek penelitian disajikan dalam bentuk

tabulasi dan dideskripsikan. Korelasi kadar CRP dan Albumin digunakan

uji korelasi Pearson bila data berdistribusi normal. Bila data tidak

berdistribusi normal, digunakan Spearman rank test. Semua uji statistik

dengan nilai p < 0,005 dianggap bermakna.

3.12 Perkiraan Biaya Penelitian

Pengadaan alat tulis Rp. 1.000.000

Pengadaan reagensia Rp. 15.000.000

Pengadaan alat – alat disposible Rp. 500.000

Pengolahan hasil statistik Rp. 1.000.000

Total Rp. 18.000.000

Universitas Sumatera Utara


3.13 Jadwal Penelitian

Universitas Sumatera Utara


3.15 Alur Penelitian

PASIEN MASUK
ICU

SEPSIS 2016

HARI - 1 CEK RASIO CRP / SKOR SOFA


ALBUMIN

HARI - 3 CEK RASIO CRP / SKOR SOFA


ALBUMIN

ANALISA STATISTIK

PREDIKSI
MORTALITAS

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK USU / RSUP

H. Adam Malik Medan bekerjasama dengan Departemen Anestesiologi &

Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan

selama 3 bulan sejak Mei 2018 sampai Juli 2018, terhadap 61 pasien yang

telah melalui proses inklusi dan eksklusi. Jumlah pasien yang menjadi

sampel penelitian sebanyak 58 pasien (30 laki-laki dan 28 perempuan). 3

pasien dikeluarkan dari penelitian karena pasien meninggal dunia kurang

dari 48 jam perawatan di ICU.

Dari 58 orang pasien sepsis yang ikut dalam penelitian, 30 orang

dari keseluruhan sampel adalah laki – laki (51,7 %) dan sisanya 28 orang

(48,3 %) adalah perempuan. Dari keseluruhan peserta penelitian memiliki

median usia 55,5 tahun. Usia termuda yaitu 16 tahun dan tertua yaitu 65

tahun. Dengan suku terbanyak adalah Batak 33 pasien (56,9%) dan Jawa

12 pasien (20,7%). (Tabel 4.1.1)

Tabel 4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel n(%)
Jenis Kelamin
 Laki – laki (n%) 30 (51,7%)
 Perempuan (n%) 28 (48,3%)
Suku (n%)
 Batak 33 (56,9%)

Universitas Sumatera Utara


 Jawa 12 (20.7%)
 Padang 5 (8,6%)
 Melayu 3 (5,2%)
 Karo 2 (3,4%)
 Mandailing 3 (5,2%)
Umur (Median / Min / Max) 55,5 / 18 / 65

Pada pengukuran awal di peroleh kadar minimum CRP hari

pertama dengan nilai minimum 23,37 mg/dl dan maksimum 285,12 mg/dl

dengan median 70,63 mg/dl. Sedangkan kadar minimum CRP hari ketiga

dengan nilai minimum 25,29 mg/dl dan maksimum 300 mg/dl dengan

median 89,60 mg/dl.

Kadar minimum Albumin hari pertama dengan nilai minimum 1,3

g/dl dan maksimum 3,8 g/dl dengan median 2,7 g/dl. Sedangkan kadar

minimum Albumin hari ketiga dengan nilai minimum 0,9 g/dl dan

maksimum 3,4 g/dl dengan median 2,5 g/dl.

Skor SOFA yang di dapatkan sangat bervariasi dengan nilai

minimum 1 dan maksimum 11 pada hari pertama dengan median 5,00.

Skor SOFA hari ketiga dengan nilai minimum 0 dan maksimum 12 dengan

median 3,00.

Rasio CRP/ Albumin hari pertama sangat bervariasi dengan nilai

minimum 7,79 dan maksimum 153,85 dengan median 25,53, sedangkan

rasio CRP/Albumin hari ketiga dengan nilai minimum 13,31 dan maksimum

333,33 dengan median 43,16. (Tabel 4.1.2)

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.1.2 Karakteristik Pengukuran Awal

Variabel Median Min – Max


CRP H-1 70,63 23,37- 285,12
CRP H-3 89,60 25,29-300
Albumin H-1 2,7 1,3 - 3,8
Albumin H-3 2,5 0,9 - 3,4
Skor SOFA H-1 5,00 1 – 11
Skor SOFA H-3 3,00 0,0- 12,00
Rasio CRP/ Alb H-1 25,53 7,79 -153,85
Rasio CRP/ Alb H-3 43,16 13,31 - 333, 33

4.2. Analisis Hubungan Rasio CRP/Albumin Hari 1 Dan 3 dengan


Skor SOFA Hari 1 Dan 3
Uji statistic spearman correlation test menunjukkan rasio

CRP/Albumin hari pertama tidak terdapat hubungan yang signifikan

dengan skor SOFA hari pertama dengan (r = -0,062 dan p = 0,643).

Sedangkan rasio CRP/Albumin hari ketiga terdapat hubungan yang

signifikan dengan skor SOFA hari ketiga dengan (r = 0,528) dan (p =

0,000).(Tabel 4.1.3)

Tabel 4.1.3 Analisis Hubungan Rasio CRP/Albumin Hari 1 Dan 3


Dengan Skor SOFA Hari 1 Dan 3
Variabel r P value
Rasio CRP/ Albumin Hari-1
 Skor SOFA Hari – 1 -0,062 0,643
Rasio CRP/ Albumin Hari-3
 Skor SOFA Hari - 3 0,528 0,001

Universitas Sumatera Utara


4.3 Analisis Kadar Rasio CRP/Albumin Hari 1 Dan 3 Pada Tiap
Tingkat Disfungsi Organ Yang Dinilai Dengan Skor SOFA.

Pada penelitian hari pertama, didapatkan 1 pasien tanpa disfungsi

organ, skor SOFA 1(0-1) dengan minimum 8,61 dan maksimum 8,61. 50

pasien mengalami disfungsi organ, skor SOFA 2 (2-7) dengan rasio

CRP/Albumin hari pertama minimum 7,70, maksimum 153,85 dan median

26,15. 7 orang pasien mengalami disfungsi, skor SOFA 3 (8-11) dengan

rasio CRP/Albumin hari pertama minimum 12,74, maksimum 44,48 dan

median 18,49.(Tabel 4.1.4 dan 4,1,5)

Tabel 4.1.4 Analisis Hubungan Skor SOFA Hari 1 Terhadap Rasio


Rasio CRP/Albumin Hari 1
Ratio CRP/Albumin H-1
VARIABEL n(%) Min Max Median
Skor SOFA HARI 1
1 (0-1) 1(1,7) 8,61 8,61 -
2 (2-7) 50(86,20) 7,79 153,85 26,15
3 (8-11) 7 (12,06) 12,74 44,88 18,49

Tabel 4.1.5 Analisis Hubungan Skor SOFA Hari 1 Terhadap Rasio


CRP/Albumin Hari 3
VARIABEL n(%) Ratio CRP/Albumin H-3
Min Max Median
Skor SOFA HARI 3
1 (0-1) 16(27,58) 13,31 156,25 24,61
2 (2-7) 33(56,89) 17,55 130,43 52,46
3 (8-11) 7(12,06) 37,68 333,33 99,33
4 (>11) 2(3,44) 33,61 166,23 99,91

Universitas Sumatera Utara


Pada penelitian hari ketiga di dapatkan 16 pasien tanpa disfungsi

organ, skor SOFA 1(0-1) dengan rasio CRP/Albumin hari ketiga minimum

13,31, maksimum 156,25 dan median 24,61. 33 pasien yang mengalami

disfungsi organ, skor SOFA 2 (2-7) dengan rasio CRP/ Albumin hari ketiga

minimum 17,55 maksimum 130,43 dan median 52,46

7 orang pasien mengalami disfungsi organ, skor SOFA 3 (8-

11/12,06%) dengan rasio CRP/ Albumin hari ketiga minimum 37,68

maksimum 333,33 dan median 99,33. 2 orang pasien mengalami disfungsi

organ, skor SOFA 4 (>11) dengan rasio CRP/Albumin hari ketiga minimum

33,61 maksimum 166,23 dan median 99,91

Tabel 4.1.6 Analisis Perbandingan Skor SOFA Hari 1 dan Hari 3

Kategorik_Skor_Sofa_H3
0-1 2-7 8-11 >11 Total
Kategorik_Skor_ 0-1 1 0 0 0 1
Sofa_H1 N% 100.0% .0% .0% .0% 100.0%
2-7 14 31 5 0 50
N% 28.0% 62.0% 10.0% .0% 100.0%
8-11 1 2 2 2 7
N% 14.3% 28.6% 28.6% 28.6% 100.0%
Total 16 33 7 2 58
N% 27.6% 56.9% 12.1% 3.4% 100.0%

Pada perhitungan skor SOFA hari pertama, yang mempunyai skor

1 (0-1) terdapat 1 pasien atau 100% yang tidak mengalami disfungsi organ

pada hari ketiga. Skor SOFA 2 (2-7) terdapat 50 pasien, kemungkinan

untuk beresiko jatuh ke skor 4 (>11) pada hari ketiga adalah 0%.

Universitas Sumatera Utara


Kemungkinan untuk beresiko jatuh ke skor 3 (8-11) pada hari ketiga

adalah 5 pasien atau 10%. Kemungkinan untuk beresiko jatuh ke skor 2

(2-7) pada hari ketiga adalah 31 pasien atau 62%. Kemungkinan untuk

beresiko jatuh ke skor 1(0-1) pada hari ketiga adalah 14 pasien atau 28.%.

Skor SOFA 3 8-11) terdapat 7 pasien, kemungkinan untuk

beresiko jatuh ke skor SOFA 4 (>11) pada hari ketiga adalah 2 pasien atau

28,6%. Kemungkinan untuk beresiko jatuh ke skor SOFA 3 (3-11) pada

hari ketiga adalah 2 pasien atau 28,6%. Kemungkinan untuk beresiko jatuh

ke skor SOFA 2 (2-7) pada hari ketiga adalah 2 pasien atau 28,6%.

Kemungkinan untuk beresiko jatuh ke skor SOFA 1(0-1) pada hari ketiga

adalah 1 pasien atau 14,3%.

Tujuan penjelasan table ini adalah kita dapat memprediksi berapa

% kemungkinan pasien sepsis yang di rawat di ICU RSUP.H.Adam Malik

Medan untuk jatuh kepada kondisi disfungsi organ yang lebih berat atau

berapa % kemungkinan mortalitas pasien sepsis yang di rawat

berdasarkan skor SOFA.

4.4 Hubungan Rasio CRP/ Albumin Hari 1 Dan 3 Dengan Komponen

Skor SOFA.

Korelasi unsur – unsur skor SOFA meliputi Respirasi (PaO2/

FiO2), sistem saraf pusat (GCS), Koagulasi (Trombosit), Hati (Bilirubin

Total, Ginjal (Kreatinin), dan Kardiovascular (MAP) dengan rasio CRP/

Albumin hari pertama dan ketiga di analisis dengan menggunakan

analasis korelasi Spearman. Berdasarkan analisis di dapatkan bahwa

Universitas Sumatera Utara


sistem saraf pusat, sistem respirasi dan sistem ginjal merupakan organ

penting yang secara signifikan mempunyai korelasi terhadap peningkatan

rasio CRP/ Albumin. Sedangkan sistem respirasi, koagulasi, hati dan

kardiovascular tidak significant mempunyai korelasi terhadap

peningkatan rasio CRP/Albumin. (Tabel 4.1.7).

Tabel 4.1.7 Analisis Hubungan Rasio CRP/Albumin Hari 1 Dan 3

Dengan Unsur-Unsur Skor SOFA

Variabel r P value
Rasio CRP/ Albumin H-1 – PaO2 / FiO2 H-1 -0,201 0,131
Rasio CRP/ Albumin H-3 – PaO2 / FiO2 H-3 -0,352 0,007
Rasio CRP/ Albumin H-1 – GCS H-1 0,164 0,218
Rasio CRP/ Albumin H-3 – GCS H-3 -0,410 0,001
Rasio CRP/ Albumin H-1 – Trombosit H-1 -0,048 0,722
Rasio CRP/ Albumin H-3 – Trombosit H-3 -0,211 0,112
Rasio CRP/ Albumin H-1 – Bilirubin Total H-1 -0,103 0,441
Rasio CRP/ Albumin H-3 – Bilirubin Total H-3 -0,138 0,303
Rasio CRP/ Albumin H-1 – Kreatinin H-1 -0,179 0,179
Rasio CRP/ Albumin H-3 – Kreatinin H-3 0,278 0,035
Rasio CRP/ Albumin H-1 – MAP/Vasopresor H-1 -0,010 0,942
Rasio CRP/ Albumin H-3 – MAP/Vasopresor H-3 -0,214 0,106

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian.

Penelitian ini melibatkan 58 pasien sepsis yang memenuhi kriteria

penelitian yang terdiri atas laki-laki 30 orang (51,7%) dan perempuan 28

orang (48,3%). Sedangkan pada penelitian Kim HM dkk 2015 di dapatkan

laki-laki lebih banyak menderita sepsis jika di bandingkan dengan

perempuan sebanyak 352 pasien (52,54%). Usia pasien pada penelitian

ini bervariasi dengan populasi termuda 18 tahun dan tertua 65 tahun. Usia

rata 50,7 tahun. Berbeda dengan penelitian Kim HM dkk 2015 usia rata –

rata pasien sepsis yang ikut dalam penelitian dengan 65,0 tahun.

Kadar CRP pada penelitian ini, hari pertama berada pada kisaran

23,37 mg/dl - 285,12 mg/dl dengan median 70,63 mg/dl. Sedangkan Kadar

CRP hari ketiga dengan kisaran 25,29 mg/dl - 300 mg/dl dengan median

89,60 mg/dl. CRP meningkat jika ada proses inflamasi dan kadarnya

tergantung pada intensitas stimulus dan kecepatan sintesis. Kadarnya juga

bergantung pada keadaan patologis. Hanya intervensi yang berefek pada

proses inflamasi pada reaksi fase akut yang dapat mengubah kadar CRP.

Pada stimulus yang demikian intensnya dapat meningkatkan konsentrasi

CRP hingga 500 mg/l. Elevasi CRP Nampak jelas terlihat pada infeksi

invasive. Pavoa dkk 2013 menyebutkan bahwa pada SIRS rata-rata kadar

CRP 70 mg/l, sepsis 98 mg/l, sepsis berat 145 mg/l dan syok septic 173

Universitas Sumatera Utara


mg/l. Berbeda dengan penelitian Ismawati dkk 2014 dengan hasil

pengukuran CRP di peroleh kisaran 6,0 mg/dl - 384 mg/dl dengan

139±102,8.

Kadar albumin pada penelitian ini, hari pertama dengan kisaran

1,3 g/dl-3,8 g/dl dengan median 2,7 g/dl. Sedangkan Kadar Albumin hari

ketiga dengan nilai kisaran 0,90 g/dl - 3,4 g/dl dengan median 2,5 g/dl.

Albumin serum bisa menjadi penanda jangka pendek dan jangka panjang,

penting untuk prognosis. Albumin merupakan protein fase akut, dengan

demikian tingkat hipoalbuminemia pada pasien sepsis berkorelasi dengan

intensitas respon inflamasi yang di picu oleh infeksi, malnutrisi sebelumnya

atau keduanya. Kadar albumin harus diartikan sebagai tingkat keparahan

dan dapat menjadi indikator kelemahan yang dapat diandalkan, kondisi

fisiologis yang di tandai dengan rendahnya cadangan fungsional,

kerentanan yang tinggi terhadap stressor dan hemostasis yang tidak stabil.

Berdeda dengan penelitian Farhad dkk 2016 di peroleh kadar albumin hari

pertama dengan nilai minimum 2,2 g/dl dan maximum 5,6 g/dl. Kadar

albumin hari ketiga dengan nilai minimum 2,0 g/dl dan maksimum 4,7 g/dl

Pada penilitian ini skor SOFA yang di dapatkan sangat

bervariasi dengan kisaran1-11 pada hari pertama dengan median 5,00.

Skor SOFA hari ketiga dengan nilai kisaran 0-12 dengan median 3,00.

SOFA (Sepsis-related Organ Failure Assessment) adalah sistem

pengkajian disfungsi / gagal organ akibat sepsis. Skor SOFA terdiri atas

penilaian 6 sistem organ, masing-masing organ mempunyai nilai antara 0

Universitas Sumatera Utara


– 4 berdasarkan derajat disfungsinya.

Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ yaitu respirasi, koagulasi,

liver, kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan ginjal yang masing-masing

memiliki tingkatan nilai 0 sampai 4. Skor SOFA 0-1 tidak menunjukkan

risiko mortalitas pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena

infeksi, skor SOFA ≥2 mencerminkan risiko mortalitas 10% pada populasi

rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi, skor SOFA < 9

mencerminkan risiko mortalitas 33% pada populasi rumah sakit umum

yang dicurigai terkena infeksi, dan skor SOFA > 11 mencerminkan risiko

mortalitas 95% pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena

infeksi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor

SOFA, maka outcome pada pasien akan semakin buruk.

Safari dkk 2016 melaporkan bahwa skor SOFA awal, tertinggi

dan skor SOFA rata-rata berhubungan dengan angka mortalitas dan dapat

di gunakan untuk menilai derajat disfungsi organ saat pertama kali masuk

ICU. Safari dkk 2016 juga menyebutkan bahwa skor SOFA > 11

mempunyai angka mortalitas > 90% dan penurunan skor ini dalam 48 jam

berhubungan dengan menurunnya angka mortalitas sebesar 6% dan jika

skor ini tidak berubah atau cendrung terjadi peningkatan maka angka

kematian meningkat 37% pada skor awal 2-7 dan 60% jika skor awal 8-11.

Pengukuran rasio CRP/ Albumin hari pertama sangat bervariasi

dengan nilai kisaran 7,79-153,85 dengan median 25,53, sedangkan rasio

CRP/Albumin hari ketiga dengan nilai kisaran 13,31-333,33 dengan

Universitas Sumatera Utara


median 43,16. Penggunaan rasio antara CRP dan albumin akan

memberikan variable yang mampu menggabungkan informasi yang di

berikan oleh CRP dan Albumin ke dalam indeks yang berkorelasi positif

dengan infeksi, yaitu rasio yang lebih tinggi menunjukkan status

peradangan yang lebih tinggi.

Berbeda dengan penelitian Kim HM dkk 2015 dimana di peroleh

rasio CRP/Albumin 24 jam pertama saat perawatan ICU dengan rerata

5,29 dan standard deviasi 4,25. Dan rasio CRP/Albumin 72 jam perawatan

ICU dengan rerata 4,58 dan standard deviasi 4,15.

5.2 Analisis Hubungan Rasio CRP/Albumin Hari 1 Dan 3 dengan Skor

SOFA

Uji statistic spearman correlation test menunjukkan rasio

CRP/Albumin hari pertama tidak terdapat hubungan yang signifikan

dengan skor SOFA hari pertama dengan (r = -0,062 dan p = 0,643),

sedangkan rasio CRP/Albumin hari ketiga terdapat hubungan yang

signifikan dengan skor SOFA hari ketiga dengan (r = 0,528) dan (p =

0,000). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Ranzani dkk 2013

dimana kadar rasio CRP/ Albumin saat masuk ICU mempunyai hubungan

signifikan dengan (p= 0,005) Dan kadar rasio CRP/Albumin saat keluar

dari perawatan ICU juga menunjukkan hubungan yang signifikan dengan

(p=0,005).

Hal ini sejalan dengan konsep inflamasi dari sepsis dimana

secara fisiologis CRP adalah protein fase akut yang diproduksi oleh sel

Universitas Sumatera Utara


hepatosit hati terutama dipengaruhi oleh Interleukin 6 (IL-6). CRP

merupakan marker inflamasi yang diproduksi dan dilepas oleh hati

dibawah rangsangan sitokin-sitokin seperti IL-6, Interleukin 1 (IL-1), dan

Tumor Necroting Factor α (TNF-α). Sintesa CRP di hati berlangsung

sangat cepat setelah ada sedikit rangsangan konsentrasi serum meningkat

diatas 5mg/L selama 6-8 jam dan mencapai puncak sekitar 24-48 jam.

Disaat yang sama akan terjadi kebocoran kapiler berupa

hipoalbuminemia yang berkorelasi dengan intensitas respon inflamasi

yang di picu oleh infeksi. Berbeda dengan hasil penelitian Kim HM dkk

2015 dimana kadar rasio CRP/Albumin 24 jam pertama perawatan ICU

menunjukkan hubungan yang signifikan dengan skor SOFA (p=0,001) dan

kadar rasio CRP/Albumin 72 jam perawatan ICU juga menunjukkan

hubungan yang signifikan dengan skor SOFA. (p=0,001).

Penggunaan rasio CRP/Albumin dan skor SOFA akan

memberikan variable yang menggabungkan informasi bahwa rasio

CRP/Albumin menggambarkan indeks yang berkorelasi positif dengan

infeksi, sedangkan skor SOFA memberikan variable informasi tentang

disfungsi organ. Yaitu rasio CRP/Albumin dan Skor SOFA yang tinggi akan

menunjukkan status inflamasi dan disfungsi organ yang lebih tinggi

5.3 Analisis Kadar Rasio CRP/Albumin Hari 1 Dan 3 Pada TiapTingkat

Disfungsi Organ Yang Dinilai Dengan Skor SOFA.

Pada penelitian hari pertama terdapat 1 pasien tanpa disfungsi

organ, skor SOFA 1(0-1) dengan minimum 8,61 dan maksimum 8,6. 50

Universitas Sumatera Utara


pasien yang mengalami disfungsi organ dengan skor SOFA 2 (2-7). 7

orang pasien mengalami disfungsi organ dengan skor SOFA 3 (8-11) d.

Hal ini menunjukkan bahwa setiap perubahan satu skor SOFA akan

menyebabkan perubahan kadar rasio CRP/Albumin.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kim HM dkk 2015 dimana

setiap peningkatan satu point CRP akan di ikuti penurunan 1 point albumin

dan peningkatan 1 point skor SOFA. Safari dkk 2016 juga menyebutkan

bahwa skor SOFA > 11 mempunyai angka mortalitas > 90% dan

penurunan skor ini dalam 48 jam berhubungan dengan menurunnya angka

mortalitas sebesar 6% dan jika skor ini tidak berubah atau cendrung terjadi

peningkatan maka angka kematian meningkat 37% pada skor awal 2-7

dan 60% jika skor awal 8-11.

Pada penelitian hari ketiga di dapatkan 16 pasien tanpa

disfungsi organ dengan skor SOFA 1(0-1) dengan resiko kematian. 33

pasien yang mengalami disfungsi organ dengan skor SOFA 2 (2-7). 7

orang pasien mengalami disfungsi organ dengan skor SOFA 3 (8-11). 2

orang pasien mengalami disfungsi organ dengan skor SOFA 4 (>11).

5.4 Analisis Perbandingan Skor SOFA Hari 1 dan Hari 3

Pada perhitungan skor SOFA hari pertama, yang mempunyai skor

1 (0-1) terdapat 1 pasien atau 100% yang tidak mengalami disfungsi organ

pada hari ketiga. Skor SOFA 2 (2-7) terdapat 50 pasien, kemungkinan

untuk beresiko jatuh ke skor 4 (>11) pada hari ketiga adalah 0%.

Kemungkinan untuk beresiko jatuh ke skor 3 (8-11) pada hari ketiga

Universitas Sumatera Utara


adalah 5 pasien atau 10%. Kemungkinan untuk beresiko jatuh ke skor 2

(2-7) pada hari ketiga adalah 31 pasien atau 62%. Kemungkinan untuk

beresiko jatuh ke skor 1(0-1) pada hari ketiga adalah 14 pasien atau 28.%.

Skor SOFA 3 8-11) terdapat 7 pasien, kemungkinan untuk

beresiko jatuh ke skor SOFA 4 (>11) pada hari ketiga adalah 2 pasien atau

28,6%. Kemungkinan untuk beresiko jatuh ke skor SOFA 3 (3-11) pada

hari ketiga adalah 2 pasien atau 28,6%. Kemungkinan untuk beresiko jatuh

ke skor SOFA 2 (2-7) pada hari ketiga adalah 2 pasien atau 28,6%.

Kemungkinan untuk beresiko jatuh ke skor SOFA 1(0-1) pada hari ketiga

adalah 1 pasien atau 14,3%. Yang Y dkk 2016 menyebutkan jika pasien

sepsis di ICU mendapatkan skor SOFA 0-1, maka disfungsi organ /

mortalitas hampir tidak ada, tetapi jika skor SOFA > 2 maka mortalitas

10%, skor SOFA <9 maka mortalitas 33% dan jika skor SOFA >10 maka

mortalitas >95%

5.5 Hubungan Rasio CRP/ Albumin Hari 1 Dan 3 Dengan Unsur –

Unsur Skor SOFA.

Pada penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara

rasio CRP/Albumin Hari pertama dan ketiga terhadap unsur – unsur Skor

SOFA yang meliputi Respirasi (PaO2/ FiO2), sistem saraf pusat (GCS),

Koagulasi (Trombosit), Hati (Bilirubin Total, Ginjal (Kreatinin), dan

Kardiovascular (MAP). Sehingga dari unsur – unsur ini di dapatkan nilai

skor SOFA yang akan menjadi salah satu prediktor outcome.

Universitas Sumatera Utara


Hasil analisis hubungan disfungsi organ yang dominan terhadap

peningkatan rasio CRP/ Albumin adalah sistem respirasi, sistem saraf

pusat dan sistem ginjal. Hasil ini sama dengan hasil penelitian yang di

lakukan Yoon dkk 2018, bahwa organ yang sering mengalami disfungsi

organ adalah sistem respirasi, ginjal dan sistem saraf pusat. Hal ini di

sebabkan oleh disfungsi mikrosirkulasi yaitu terjadinya kerusakan endothel

yang di akibatkan oleh teraktivasinya sistem imun dengan antigen

sehingga terjadi pelepasan mediator – mediator inflamasi, dimana

mediator – mediator inflamasi ini akan menghasilkan sitokin – sitokin yang

akan merangsang aktivasi pembekuan darah yang akhirnya akan memicu

terjadi thrombosis di mikrosirkulasi sehingga menyebabkan perpindahan

aliran darah (shunting) dari daerah disfungsi mikrosirkulasi ke daerah

mikrosirkulasi yang masih baik sehingga terjadi gap pO2 antara anteri dan

vena mikrosirkulasi, sehingga menyebabkan hantaran oksigen tidak

mencukupi untuk kebutuhan metabolism paru, ginjal dan otak sehingga

terjadi penurunan fungsi paru, ginjal dan sistem saraf pusat pada pasien

sepsis yang di rawat di ICU. Penurunan fungsi paru,ginjal dan saraf pusat

juga dapat merefleksikan hipoksia jaringan (hipoperfusi) dan dapat di

gunakan untuk memprediksi prognosis serta respon terhadap terapi.

Pada penelitian ini terdapat hubungan yang lemah antara rasio

CRP/Albumin hari pertama dengan disfungsi sistem respirasi hari pertama

r = -0,201 dan p = 0,13 tetapi memiliki hubungan yang kuat pada hari

ketiga r= -0,352 dan p= 0,007. Sejalan dengan penelitian Antkowiak dkk

Universitas Sumatera Utara


2017 mendapatkan bahwa pasien sepsis sering beresiko mendapatkan

acute lung injury (ALI) atau acute respiratory distress syndrome (ARDS)

yang berhubungan langsung dengan kegagalan respirasi. Semua

penyebab ARDS pada sepsis disebabkan gangguan membran alveolar-

kapiler (ACM). Dan proses ini memainkan peran kunci dalam

pengembangan ARDS yang diinduksi sepsis. Kerusakan membrane

alveolar-kapiler ini diinduksi oleh kaskade inflamasi yang local maupun

sistemik. Membran alveolar-kapiler sangat penting dalam mencegah aliran

darah plasma yang tidak terkontrol ke ruang udara dan juga berfungsi

mempertahankan pertukaran gas alveolar-kapiler.

Pada penelitian ini terdapat hubungan yang lemah antara rasio

CRP/Albumin hari pertama dengan disfungsi sistem koagulasi hari

pertama r = -0,048 dan p = 0,722 dan Demikian juga rasio CRP/Albumin

hari ketiga dengan disfungsi sistem koagulasi hari ketiga r= -0,211 dan p=

0,112. Teori menyebutkan bahwa penurunan trombosit pada sepsis

karena hiperkonsumsi trombosit akibat koagulasi intravascular diseminata

dan fagositosis megakariosit oleh monosit dan makrofag. Pada penelitian

yang dilakukan Boudjeltia dkk 2014 memperlihatkan bahwa penurunan

jumlah trombosit pada pasien sepsis lebih disebabkan karena disfungsi

endothel dan gangguan kapasitas fibrinolitik. Sebagai tambahan

Hipoalbuminemia dan peningkatan CRP juga terlibat pada cedera

endothel.

Universitas Sumatera Utara


Pada penelitian ini terdapat hubungan yang lemah antara rasio

CRP/Albumin hari pertama dengan disfungsi sistem hati hari pertama r = -

0,103 dan p = 0,44. Tetapi rasio CRP/Albumin hari ketiga dengan disfungsi

sistem hati hari ketiga memiliki hubungan yang kuat r= -0,138 dan p=

0,303. Brain J dkk 2017 menyebutkan bahwa terjadi penekanan fungsi

hepatoselular pada awal sepsis yang tidak berhubungan dengan

penurunan perfusi hepatic tetapi berhubungan dengan peningkatan sitokin

proinflamasi TNF alpha. Kegagalan fungsi hati merupakan komplikasi yang

biasanya terjadi setelah disfungsi ginjal dan pulmonal..

Pada penelitian ini terdapat hubungan yang lemah antara rasio

CRP/Albumin hari pertama dengan disfungsi sistem ginjal hari pertama r =

-0,179 dan p = 0,179. Tetapi rasio CRP/Albumin hari ketiga dengan

disfungsi sistem ginjal hari ketiga memiliki hubungan yang kuat r= 0,278

dan p= 0,035. Menurut Tiwari dkk 2015 pada keadaan normal ginjal

merupakan organ penting untuk metabolisme intrarenal dan ekskresi urin.

Pada pasien sepsis dengan gagal ginjal akut dianggap karena nekrosis

tubular akut. Aliran darah ginjal, oksigenasi arterial dan konsentrasi

hemoglobin sangat penting untuk mempertahankan penghantaran oksigen

ginjal. Ektraksi oksigen renal biasa terganggu pada pasien dengan sepsis.

Pada penelitian ini terdapat hubungan yang lemah antara rasio

CRP/Albumin hari pertama dengan disfungsi sistem kardiovascular hari

pertama r = -0,010 dan p = 0,942 dan hari ketiga r = -0,129 dan p = 0,33.

Demikian juga rasio CRP/Albumin hari ketiga dengan disfungsi sistem r= -

Universitas Sumatera Utara


0,214 dan p= 0,106. Berbeda dengan hasil penelitian Brain J dkk 2017

juga melaporkan bahwa pasien dengan skor SOFA dengan disfungsi

kardiovascular memiliki resiko kematian 14,7 kali di bandingkan yang

tanpa disfungsi kardiovascular yang hanya 7,6 kali. Hal ini di sebabkan

oleh disfungsi mikrosirkulasi yaitu perpindahan aliran darah (shunting) dari

daerah disfungsi mikrosirkulasi ke daerah mikrosirkulasi yang masih baik

sehingga terjadi gap po2 antara aliran arteri dan vena mikrosirkulasi. Bila

hantaran oksigen tidak mencukupi kebutuhan maka terjadi kompensasi

dengan meningkatkan ekstraksi oksigen dan bila mekanisme kompensasi

ini mengalami kelelahan maka terjadi hipoksia jaringan.

Pada penelitian ini terdapat hubungan yang lemah antara rasio

CRP/Albumin hari pertama dengan disfungsi sistem saraf hari pertama r =

0,164 dan p = 0,218 dan hari ketiga r = -0,196 dan p = 0,141, tetapi pada

hari ketiga mempunyai hubungan yang signifikan dengan r= -0,410 dan p=

0,001. Menurut Brain J dkk 2017 pada sepsis terjadi gangguan perfusi

cerebral dan gangguan metabolism oksidatif yang menyebabkan turunnya

hantaran dan penggunaan oksigen otak serta gangguan mitokondria. Otak

merupakan organ berkonsumsi ATP yang sangat tinggi dan menurunnya

metabolism aksidatif akan di kompensasi dengan metabolism anaerobic

yang menyebabkan peningkatan kadar laktat dan dihasilkan ATP yang

lebih kecil yang akan bermanifestasi sekurang-kurangnya berupa delirium.

Selanjutnya mediator inflamasi juga berkontribusi terhadap disfungsi

sistem saraf seperti septic encephalopathy. Mediator- mediator inflamasi

Universitas Sumatera Utara


menyebabkan sel-sel otak mengalami edema, nekrosis maupun apoptosis.

Adanya disfungsi system saraf pusat pada pasien sepsis akan

memberikan indikasi lamanya perawatan dan penggunaaan ventilator di

ICU. Hasil ini sama dengan hasil penelitian yang di lakukan Yoon dkk

2018, bahwa organ yang sering mengalami disfungsi organ adalah sistem

respirasi, kardiovascular dan sistem saraf pusat.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Pada penelitian ini di dapati hubungan yang positif yang signifikan

rasio CRP/Albumin hari ketiga dengan skor SOFA hari ketiga.

Sehingga dapat digunakan sebagai predictor mortalitas pasien

sepsis di ICU.

2. C-reaktif protein (CRP) adalah protein fase akut yang meningkat

secara nyata sebagai respons fase akut terhadap infeksi, dan

besarnya peningkatan dapat berkorelasi dengan tingkat keparahan

infeksi, dan dapat di gunakan sebagai alat diagnostic, panduan

mengevaluasi pengobatan dan prognostic

3. Albumin adalah merupakan protein fase akut negative, merupakan

penanda prognostik yang kuat pada penyakit terkait infeksi. Tingkat

Hipoalbuminemia pada pasien sepsis berkorelasi dengan intensitas

respon inflamasi yang di picu oleh infeksi. Pada pasien sepsis

terjadi penurunan síntesa albumin yang dihubungkan dengan reaksi

inflamasi

4. Penggunaan rasio CRP/Albumin sebagai petanda prognosis jangka

panjang memberikan data yang lebih konsisten dari pada nilai CRP

atau albumin standard saja, sehingga bagi klinisi bermanfaat untuk

tatalaksana dan evaluasi pasien sepsis di ICU dan bagi masyarakat

Universitas Sumatera Utara


ada biomarker yang murah dan mudah di akses untuk memprediksi

mortalitas pasien sepsis di ICU.

5. Penggunaan rasio CRP/Albumin dan skor SOFA akan memberikan

informasi bahwa rasio CRP/Albumin berkorelasi positif dengan

infeksi, sedangkan skor SOFA memberikan informasi tentang

disfungsi organ.

6.2 Saran
Rasio CRP/Albumin yang dihubungkan dengan skor SOFA

dapat digunakan sebagai marker untuk prediktor mortalitas pasien sepsis

yang di rawat di ICU.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

1. Apelgren KN, Rombeau JL, Twomey PL, Miller RA. Comparison

of nutritional indices and outcomes in critically ill patients.

Crit Care Med 2014; 10: 305±7

2. Aftab H, Sachin P, Alexis LP, Ronald SC. 2013. The Simplified

Acute Physiology Score III Is Superior to the Simplified Acute

Physiology Score II and Acute Physiology and Chronic Health

Evaluation II in Predicting Surgical and ICU Mortality in the

‗‗Oldest Old‘‘. Hindawi Publishing Corporation Current

Gerontology and Geriatrics Research Volume 2014. pp. 1- 9

3. Antkowiak EM, Miculic M, Surat TB. Sepsis And The Lung.

Springer International Publishing AG 2017.

4. Ates , S., Oksuz, H., Birsen, D., et al., 2015. Can mean platelet

volume and mean platelet volume/platelet count ratio be used as

a diagnostic marker for sepsis and sistematic inflammatory

response syndrome? Saudi Medical Journal, 36(10): 1186–

1190.

5. Bone RC, Sibbald WJ, Sprung CL. The ACCP-SCCM consensus

conference on sepsis and organ failure. Chest 2013;101:1481-3.

6. Boudjeltia KZ, Piagnerelli M, Brohee D, Guillaume M, Cuchie P,

Vincent JL et al. Relationship between CRP and hypofibrinolisis;

is this a possible mechanism to explain in association between

Universitas Sumatera Utara


CRP and outcome in critically ill patients? Trombosis

journal.2004;2(7):1-5.

7. Baratawidjaja,K.G. dan Rengganis, I. 2012.Imunologi Dasar,

Edisi ke – 10. Badan Penerbit FKUI. Jakarta.

8. Brain J, Anderson, Mikkelsen EM. Organ Dysfunction in Sepsis:

Brain, Neuromuscular, Cardiovascular, and Gastrointestinal.

Springer International Publishing AG 2017.

9. Caterino, J. & Kahan, S., 2014. Master Plan Kedaruratan Medik

Indonesia. Indonesia: Binarupa Aksara.

10. Cox ML, Rudd AG, Gallimore R,Hodkinson HM, Pepys MB. 2014

Real-time measurement of serum C-reactive protein in the

management of infection in the elderly. Age Ageing 15:257–266

11. Cremer, M., Weimann, A., Szekessy, D., Hammer, H., Bührer,

C., Dame, C., 2013. Low immature platelet fraction suggests

decreased megakaryopoiesis in neonates with sepsis or

necrotizing enterocolitis. Journal of Perinatology, 33(8):622-626.

12. Devran O, Karakurt Z , Adıgüzel N, Güngör G, Yazıcıoğlu Moçin

O, Balcı KM et al. C-reactive protein as a predictor of mortality in

patients affected with severe sepsis in intensive care unit.

Multidisciplinary Respiratory Medicine 2012, 7:47

13. Donald JM, Galley HF, Webster NR.Oxidative stress and gene

expression in sepsis. Br J Anaesth. 2013;90:221–32.

14. Evans, T.W. (2013). Albumin As A Drug-Biological Effects Of

Universitas Sumatera Utara


Albumin Unrelated To Oncotic Pressure. Review Article. Aliment

Pharmacol Ther. 5: 6-11.

15. Soltani F, Pipelzadeh RM, Akhondzadeh R, Rashidi M, Ekrami

A. Evaluation of C - reactive Protein, Albumin and the C -

reactive Protein/Albumin Ratio as Prognostic Markers in Trauma

Patients Admitted to Intensive Care Unit. British Journal of

Medicine & Medical Research 12(10): 1-7, 2016

16. Ferreire FL, Bota DP, Bross A, Mélot C, Vincent JL. Serial

evaluation of the SOFA score to predict outcome in critically ill

patients. JAMA. 2013; 286: 1754-8.

17. Franchini M, Lippi G, Manzato F. Recent acquisitions in the

pathophysiology, diagnosis and treatment of disseminated

intravascular coagulation. Thrombosis Journal 2015;4:4-12.

18. Gabay C, Kushner I. 2013. Acutephase proteins and other

sistemic responses to inflammation. N Engl J Med 340:448–454.

19. Gulcer SS, Bruins AN, Kingma PW, Boerma CE. Elevated

C‑reactive protein levels at ICU discharge as a predictor of ICU

outcome: a retrospective cohort study. Gülcher et al. Ann.

Intensive Care (2016) 6:5

20. Gradel KO, Thomsen RW, Lundbye-Christensen S, Nielsen H,

Schonheyder HC. Baseline C-reactive protein level as a

predictor of mortality in bacteraemia patients: a population-

based cohort study. Clinical microbiology and infection: the

Universitas Sumatera Utara


official publication of the European Society of Clinical

Microbiology and Infectious Diseases. 2011; 17(4):627–32.

21. Hang J, Xue P, Yang H, Li S, Chen D, Lie Z, et al. Pretreatment

C-reactive protein to albumin ratio for predicting overall survival

in advanced pancreatic cancer patients. 2017. Scientific Report.

22. Ho KM, Lee KY, Dobb GJ, Webb SA. C-reactive protein

concentration as a predictor of in-hospital mortality after ICU

discharge: a prospective cohort study. Intensive care medicine.

2013; 34(3):481– 487

23. Ismawati I, Syafruddin G, Syafri KA. Korelasi Skor SOFA

dengan Kadar Laktat Darah dan C-Reaktive Protein pada pasien

Sepsis.2014:2(4);183-188

24. Jaehun Oh, Soo HK, Kyu NP, Sang Hh, Young MK, Han JK,

Chun SY. High-sensitivity C-reactive protein/albumin ratio as a

predictor of in-hospital mortality in older adults admitted to the

emergency department. Clin Exp Emerg Med 2017;4(1):19-24

25. Karlsson, M., Hara, N., Morata,S, Sjövall, F., Kilbaugh, T.,

Hansson, M., Elmer, E. (2016). Diverse and Tissue Specific

Mitochondrial Respiratory Response in A Mouse Model of

Sepsis-Induced Multiple Organ Failure. Shock, 45(4), 404-410.

26. Kim HM, et al. 2015. The C – Reaktive Protein / Albumin Ratio

as an Independent Predictor of Mortality in Patients with Severe

Sepsis or Septic Shock Treated with Early Goal Directed

Universitas Sumatera Utara


Theraphy. PLoS ONE. 10 (7).pp. 1-13.

27. Kinoshita, A. et al. 2015. The C-reactive protein/albumin ratio, a

novel inflammation-based prognostic score, predicts outcomes

in patients with hepatocellular carcinoma. Annals of surgical

oncology 22, 803–810,

28. Knoebl P. Blood coagulation disorders in septic patients. Wien

Med Wochenschr 2014; 160:129-38.

29. LaRosa, S.P., 2013. Sepsis. In: Gordon, S., ed. Current Clinical

Medicine. 2nd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 720-725

30. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al. 2001

SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions

Conference. Crit Care Med 2013;31:1250-6.

31. Maraghi LSH, Yehia A, Mahmoud O, Hamid AB. Procalcitonin

Versus C – Reaktive Protein At Different Sofa Scores In ICU.

Sepsis: Diagnostic Value And Therapeutic Implications. Medical

Journal Of Cairo University. 2014

32. Marshall JC, Naqbi AL. Principles of source control in the

management of sepsis. Crit Care Nurs Clin North Am. 2014

Mar;23(1):99-114.

33. Merik EP, Taeb MA. qSOFA and new sepsis definition. J Thorac

Dis. 2017 Apr; 9(4): 943–945

34. Medical Record RSUP Haji Adam Malik , 2015

35. Medical Record ICU RSUP Haji Adam Malik , 2017

Universitas Sumatera Utara


36. Miyanishi, S. Toraika,K. Nishida, E. Takahashi,H; A sensitive

Enzyme – Linked Immunosorbent Assay for C- Reaktive Protein

Using Monoklonal Antibodies, Journal of Medical Laboratory

Sciences, 2013;5(1).pp. 9 – 12

37. Mossie A.World Journal of Medicine and Medical Science Vol. 1,

No. 8, December 2013, PP: 159-168,


th
38. Moss PJ, et al. 2013. Kumar and Clark‘s Clinical Medicine 8

ed. Spanyol. Saunders Elsevier

39. Moreno R, Vincent JL, Matos R, Mendonca A, Cantraine F, Thijs

L et al. the use of maximum SOFA score to quantify

organ/dysfunction / failure in intensive care. result of a

prospective multicentre study. Int Care Med. 2014;25(7):686-96

40. Munford, R.S., 2014. Severe Sepsis and Septic Shock. In: Fauci

et al., ed. Harrison,s Principles of Internal Medicine. 17th ed.

USA: Mc Graw Hill, 1695-1702.

41. Murray, R.K.2016. Plasma dan Immunoglobins. In: Murray, R.K.

Granner, D.K., Rodwel, V.W. (eds). Harper‘s Illustrated

Biochemistry. McGraw- Hill. New York

42. Nicholson, J.P., dan Wolmaran, M.R. (2014). The Role Of

Albumin In Critical Illness. Br. J. Anasth. 85: 599-610.

43. Park, S.H., Ha, S.O., Cho, Y.U., et al., 2016. Immature Platelet

Fraction in Septic Patients: Clinical Relevance of Immature

Platelet Fraction is Limited to the Sensitive and Accurate

Universitas Sumatera Utara


Discrimination of Septic Patients from Non-Septic Patients, not

to the Discrimination of Sepsis Severity. Annual Laboratory

Medicine, 36(1):1-8.

44. Peters TJ. Historical perspective. In: All About Albumin.

Biochemistry, Genetics And Medical Applications. San

Diego: Academic Press, 2014: 1±8.

45. Pepys MB, Berger A (2013) The renaissance of C-reactive

protein. BMJ 322:4–5.

46. Povoa P, Almeida E, Moreira P, Fernandes A, Mealha R, Aragao

A, Sabino H (2013) C-reactive protein as an indicator of sepsis.

Intensive Care Med 24:1052–1056.

47. PERDICI (Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia).

Penatalaksanaan Sepsis dan Syok Septik : Surviving Sepsis

Campaign Bundle, September 2014 ; 1- 24.

48. Ranzani OT, Zamperi GH, Forte ND, Azevedo PCL, Park M.

2013. C – Reaktive Protein / Albumin Ratio Predict 90 – Day

Mortality of Septic Patients. PLoS ONE 8 (3).pp.1-8

49. Remick DG. Pathophysiology of sepsis. Am J Pathol

2016;170:1435-44

50. Rittirsch D, Flierl MA, Ward PA. Harmful molecular mechanisms

in sepsis. Nat Rev Immunol 2010;8:776-87.

51. Ringer TM, Axer H, Romeike BFM, Brunkhorst F, white OW,

Gunther A. Neurogical seguele of sepsis: septic encephalopathy.

Universitas Sumatera Utara


The open Crit. Care Med,J.2011;4:2-7.

52. Ryu AJ Yang JH, Lee D, et al. Clinical usefulness of procalcito-

nin and C-reactive protein as outcome predictors in critically ill

patients with severe sepsis and septic shock. PLoS One 2015;

53. Singer, M. et al., 2016. The Third International Consensus

Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3). JAMA,

315(February), pp.801 - 810.

54. Surviving Sepsis Campaign, International Guidelines For

Management Of Sepsis And Septic Shock, 2016. Intensive Care

Med (2017) 43:304–377

55. Surviving Sepsis Campaign, International Guidelines For

Management Of Sepsis And Septic Shock, 2012. Intensive Care

Med (2017) 43:304–377

56. Soltani F, Pipelzadeh RM, Akhondzadeh R, Rashidi M, Ekrami

A. Evaluation of C - reactive Protein, Albumin and the C -

reactive Protein/Albumin Ratio as Prognostic Markers in Trauma

Patients Admitted to Intensive Care Unit. British Journal of

Medicine & Medical Research 12(10): 1-7, 2016,

57. Szederjesi J, Almasy E, Lazar A, Huțanu A, Badea L, Georgescu

A. An Evaluation of Serum Procalcitonin and C-Reactive Protein

Levels as Diagnostic and Prognostic Biomarkers of Severe

Sepsis. The Journal of Critical Care Medicine 2015;1(4):147-153

58. Silva E, Passos Rda H, Ferri MB, de Figueiredo LF. Sepsis: from

Universitas Sumatera Utara


bench to bedside. Clinics (Sao Paulo) 2013;63:109-20.

59. Sysmex Corporation, 2014. Automated Hematology Analyzer XN

series (XN-1000) Instructions for Use. Kobe: Sysmex

Corporation.

60. Suryaatmadja,M. 2013. High Sensitivity C – Reaktive Protein ;

Parameter Baru Resiko Kardiovaskular, dalam pendidikan

Berkesinambungan Patologi Klinik FKUI. Jakarta,

61. Sumantri S. Tinjauan imunopatogenesis dan tatalaksana Sepsis.

FKUI. Jakarta.2013

62. Strang F, Sckunkert H. 2014. C-Reactive Protein and Coronary

Heart Disease: All Said—Is Not It?. Hindawi Publishing

Corporation Mediators of Inflammation.2014.April 7(7)pp.2-4

63. Sysmex Corporation, 2014. Automated Hematology Analyzer XN

series (XN-1000) Instructions for Use. Kobe: Sysmex

Corporation.

64. Turgeon, M.L., 2013. Clinical Hematology: Theory and

Procedures. 5th ed. Philadelphia: Lippincotts Williams and

Wilkins.

65. Tiwari SC, Vincent S. Sepsis and the kidney. J of Indian

Academy of Crit Care 2015;5(1);44-54

66. Ugarte H, Silva E, Mercan D, De Mendonca A, Vincent JL. 2014.

Procalcitonin used as a marker of infection in the intensive care

unit. Crit Care Med 27:498–504

Universitas Sumatera Utara


67. Vincent, J.L. (2012). Hypoalbuminemia In Acute Illness. Annals

Of Surgery. 237: 319-340

68. Vincent, J.L., De Mendonca, A., Cantraine, A., Moreno, R.,

Takala, J., &Suter, P.M., 2014. Use of the SOFA score to assess

the incidence of organ dysfunction/failure in intensive care units:

results of multicenter, prospective study. Working Group on

“Sepsis-Related Problems” of the European Society of Intensive

Care Medicine.Crit Care Med, 26:1793-1800.

69. Wang P, Chaudry H. Mechanism of hepatocelullar dysfunction

during hyperdinamic sepsis.AJP-ReguPhysiol.2016;270(5):927-

38

70. Wesche DE, Lomas-Neira JL, Perl M, Chung CS, Ayala A.

Leukocyte apoptosis and its significance in sepsis and shock. J

Leukoc Biol 2005;78:325-37.

71. Xie Q, Zhou Y, Xu Z, et al. The ratio of CRP to prealbumin levels

predict mortality in patients with hospital-acquired acute kidney

injury. BMC Nephrol 2011;12:30.

72. Yang Y, Xie J, Guo F, Longhini F, Gao Z, Huang Y, et al. 2016.

Combination of C-reactive protein, procalcitonin and sepsis-

related organ failure score for the diagnosis of sepsis in critical

patients.Ann Intensive Care, 6: 51.

73. Yener A, Mahmut Y, Baris K, Sabite K, Orhan C, Ertugrul K.

Predictive value of c reactive protein / albumin ratio in acute

Universitas Sumatera Utara


pancreatitis. Hepatobiliary and pancreatic disease international.

2017;14(4).pp. 424-430.

74. Yoon JC, Kim Y-J, Lee Y-J, Ryoo SM, Sohn CH, Seo D-W, et al.

(2018) Serial evaluation of SOFA and APACHE II scores to

predict neurologic outcomes of out-of-hospital cardiac arrest

survivors with targeted temperature management. PLoS ONE

13(4):

75. Zhou, T. et al. Ratio of C-Reactive Protein/Albumin is An

Inflammatory Prognostic Score for Predicting Overall Survival of

Patients with Small-cell Lung Cancer. Scientific reports 5 (2015).

76. Zidun D, Berthiaume, Laupland K, et al. SOFA is superior MOD

score for the determination of non-neurologic organ in patient

with severe sepsis traumatic brain injury : a cohort study. Crit.

Care.2016;10(4);

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Selamat pagi Bapak/Ibu/Saudara/Saudari Yth

Saya dr. Taufik. Abdi saat ini sedang menjalani pendidikan Strata (S) 2 di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan saat ini sedang

melakukan penelitian yang berjudul :

Rasio C Reaktive Protein / Albumin Sebagai Prediktor Mortalitas Pada

Pasien Sepsis di ICU RSUP. H. Adam Malik Medan dan Dihubungkan

Dengan Skor SOFA

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Mengetahui

rasio CRP / Albumin sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis

yang di hubungkan dengan skor SOFA.

Penelitian ini dilakukan terhadap Bapak/Ibu/Saudara/Saudari Adik-

adik dengan cara mengamati nilai rasio crp, albumin dan menghitung

skor sofa pada hari 1 dan hari ke 3 di ICU RSUP Haji Adam Malik Medan.

Prosedur peneltian ini adalah dengan cara mengambil darah vena pada

daerah pergelangan tangan pada hari 1 dan hari ke 3. Dan efek samping

yang dapat ditimbulkan adalah bengkak didaerah bekas suntikan

pengambilan darah. Apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama

penelitian berlangsung maka pasien dapat menghubungi dr. Taufik

(081282092336).

Universitas Sumatera Utara


Kerja sama Bapak dan Ibu sangat diharapkan dalam penelitian ini.

Bila masih ada hal-hal yang belum jelas menyangkut penelitian ini, setiap

saat dapat ditanyakan pada peneliti dr. Taufik.

Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini,

diharapkan Bapak/Ibu/Saudara/Sausari/Adik-adik yang telah terpilih

sebagai sukarelawan pada penelitian ini, dapat mengisi lembaran

persetujuan turut serta dalam penelitian yang telah disiapkan.

Medan, 2018

Peneliti

(……………………………..)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

(‘INFORMED CONSENT’)

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Alamat :

Pekerjaan :

Pendidikan :

Setelah memperoleh penjelasan sepenuhnya dan menyadari serta

memahami tentang tujuan , manfaat, dan resiko yang mungkin timbul

dalam penelitian berjudul:

Rasio C Reaktive Protein / Albumin Sebagai Prediktor Mortalitas

Pada Pasien Sepsis di ICU RSUP. H. Adam Malik Medan dan

Dihubungkan Dengan Skor SOFA

Dan mengetahui serta memahami bahwa subjek dalam penelitian ini

sewaktu –waktu dapat mengundurkan diri dalam keikutsertaannya,

dengan ini menyatakan ikut serta / mengikutsertakan anak / adik / ayah /

ibu / suami / istri / saya / bernama …………………dalam uji penelitian dan

bersedia berperan serta dengan mematuhi semua ketentuan berlaku dan

telah saya sepakati dalam penelitian tersebut di atas.

Universitas Sumatera Utara


Medan,…………………..2018 Yang Menyatakan

Mengetahui Peserta Uji Klinik

Penanggung Jawab Penelitian (Nama Jelas…………………….)

(dr. Taufik. Abdi)

Saksi Orang tua / Wali / Peserta Uji

Klinik

(Nama Jelas………………………) (Nama Jelas…………………….)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3

STATUS PASIEN

Data Pribadi

Nama :.....................................................................................

Umur : .......................tahun MR:..........................

Alamat :.....................................................................................

Suku Bangsa :..................................................................................

Pekerjaan :..................................................................................

Anamnesa

Keluhan Utama :...............................................................................

.............................................................................

.............................................................................

..............................................................................

RPT :.............................................................................

RPO :.............................................................................

Pemeriksaan Fisik

Tekanan Darah :...........mmHg Berat Badan :............kg

Tinggi Badan :................cm Temperatur :….……ºC

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4.

Skor SOFA

Variabel 0 1 2 3 4

RESPIRASI >400 < 400 < 300 < 200 < 100

PAO2/ FIO2

KOAGULASI < 150 < 150 < 100 < 50 < 20

Trombosit x 103 u/L

HATI < 1,2 < 1.2 – 2.0 – 5.9 6.0 – > 12.0

Bilirubin mg/dl 1.9 11.9

KARDIOVASCULAR Tidak MAP < Dop < 5/ Dop > 5 Dop >

Hipotensi mmHg Ada 70 Dopamin / Epi 15 / Epi

<0.1/ > 0.1/

Nor Epi Nor Epi

> 0,1 < 0,1

SSP 15 13 -14 10 - 12 6-9 <6

GCS

GINJAL < 1,2 1.2 – 2.0 – 3.4 3.5 – > 5

Kreatinin mg/ dl atau 1.9 4.7 atau atau <

produksi urin ml/hari < 500 200

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai