Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

Ovum yang telah dibuahi oleh sperma (blastokista) secara normal akan
berimplantasi pada lapisan endometrium di dalam kavum uteri. Pada kehamilan
ektopik, ovum yang telah dibuahi berimplantasi di luar kavum uteri. Menurut
American Collage of Obstreticans and Ginecologists Sekitar 2% dari seluruh
kehamilan pada trimester pertama di Amerika Serikat adalah kehamilan ekstopik
dan sekitar 95% pada tuba fallopii. Kehamilan ektopik mengambil peran sebesar
9% terhadap kematian maternal di Amerika Serikat. Di Indonesia sekitar 5-6 dari
1000 kehamilan merupakan kehamilan Ektopik. Insidensi kehamilan ektopik
sering terjadi pada wanita berusia 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun.
Pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan
haid yang disertai nyeri perut yang hebat bagian bawah, perlu dipikirkan
kehamilan ektopik terganggu.1

Bentuk lain pada kehamilan ektopik yaitu kehamilan servikal, kehamilan


ovarikal, dan kehamilan abdominal. The Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) melaporkan insiden kehamilan ektopik sebesar 17.800 kasus
dan pada tahun 1992, meningkat menjadi 108.800 kasus. Namun,angka kematian
menurun dari 35,5 kematian per 10.000 kasus pada tahun 1970 menurun menjadi
2,6 per 10.000 kasus pada tahun 1992.

Peningkatan insiden kehamilan ektopik dapat disebabkan oleh:

 Peningkatan insiden faktor risiko yang terjadi pada penyakit menular


seksual, penyakit tuba, zigot yang abnormal, faktor ovarium, pengaruh
hormonal dan faktor lain seperti penggunaan AKDR serta infeksi
 Peningkatan metode diagnostik.
 Penggunaan Assisted Reproductive Technology (ART) untuk terapi
infertilitas (kehamilan ektopik pada kehamilan dengan ART sekitar 2%)

1
Prognosis keberhasilan kehamilan setelah mengalami kehamilan ektopik
sebelumnya menurun pada wanita yang pernah menderita kehamilan ektopik.
Hanya 1 dari 2 wanita yang kemudian dapat melahirkan janin hidup, sebagian
tidak pernah hamil dan hingga 14,6% mengalami kehamilan ektopik lagi.2

2
BAB II

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

2.1 Definisi

Pada normal konsepsi, telur akan dibuahi oleh sperma di tuba falopii,
kemudian hasil konsepsi akan melewati tuba menuju uterus selama 3-4 hari.
Kehamilan ektopik terjadi ketika ovum yang telah dibuahi oleh sperma
(blastokista) berimplantasi dan tumbuh di luar atau selain di endometrium kavum
uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sama dengan kehamilan ektopik karena
kehamilan pada pars interstisial tuba dan kanalis servikalis masih termasuk dalam
uterus, tetapi jelas bersifat ektopik.1

Berdasarkan tempat implantasinya, kehamilan ektopik dapat dikelompokan


dalam berbagai macam, yaitu:

1. Kehamilan Tuba, meliputi 95-96%: pars ampularis (70%), pars isthmus


(12%), pars fimbrae (11%) dan pars interstisial (2-3%)
2. Kehamilan ektopik lain (<5%) antara lain terjadi di serviks uterus (<1%),
ovarium (3%) atau abdominal (1%).
3. Kehamilan intraligamenter, jumlahnya sangat jarang
4. Kehamilan heteropik, merupakan kehamilan ganda dimana satu janin
berada di kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik
dengan insidensi satu per 15.000-40.000 kehamilan.
5. Kehamilan ektopik bilateral, sangat jarang terjadi.

Jadi berdasarkan pengelompokan kehamilan ektopik di atas, kehamilan


ektopik paling sering terjadi di tuba (95-96%), di mana meliputi pars ampularis
(70%), pars isthmus (12%), pars fimbrae (11%) dan pars interstisial (2-3%).
Urutan selanjutnya di serviks uterus (<1%), ovarium (3%) atau abdominal (1%).2

3
Gambar 1. Lokasi implantasi dari kehamilan ektopik

2.2 Epidemiologi

Denominator yang umumnya digunakan dalam menentukan insidensi


kehamilan ektopik adalah jumlah konsepsi yang diketahui, yang digambarkan
dengan jumlah kehamilan ektopik per 1000 konsepsi. Denominator lainnya adalah
jumlah wanita dalam usia produktif, yang digambarkan sebagai jumlah kehamilan
ektopik per 10.000 wanita dalam rentang usia 14 - 44 tahun, dan jumlah total
kelahiran yang digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik per 1000
kelahiran.3

Penggunaan terapi antibiotika dapat meningkatkan frekuensi kehamilan


ektopik. Antibiotika dapat mempertahankan terbukanya tuba yang mengalami
infeksi, tetapi perlekatan menyebabkan pergerakan silia dan peristaltik tuba
terganggu dan menghambat perjalanan ovum yang dibuahi dari ampulla ke uterus,
sehingga implantasi terjadi pada tuba.

Selain itu kontrasepsi juga dapat mempengaruhi frekuensi kehamilan ektopik


terhadap jumlah kelahiran di rumah sakit atau masyarakat. Banyak wanita dalam
masa reproduksi tanpa faktor predisposisi untuk kehamilan ektopik membatasi
kelahiran dengan kontrasepsi, sehingga jumlah kelahiran menurun, dan frekuensi
kehamilan ektopik terhadap kelahiran secara relatif meningkat. AKDR dapat

4
mencegah secara efektif kehamilan intrauterin, tetapi tidak mempengaruhi
kejadian kehamilan ektopik.

Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berusia antara 20-
40 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang
berulang dilaporkan berkisar antara 0-14,6%. 4,5

Di Inggris Raya, kehamilan ektopik masih merupakan penyebab terbesar pada


kematian ibu hamil trimester pertama. Hampir 32.000 kehamilan ektopik tercatat
setiap tahunnya di Inggris Raya. Di Amerika Serikat, jumlah kejadian setiap
tahunnya menurun dari 58.178 pada tahun 1992 menjadi 35.382 pada tahun 1999.
Kehamilan ektopik merupakan salah satu penyebab kematian maternal, sekitar 4%
pada 20 wanita hamil di Kanada.4 Angka kejadian kehamilan ektopik tidak sama
diantara pusat pelayanan kesehatan, bergantung kejadian salfingitis seseorang. Di
Indonesia, kejadian kehamilan ektopik sekitar 5-6 per 1000 kehamilan.5

2.3 Etiologi
Sebagian besar penyebab belum diketahui sepenuhnya. Insiden terjadinya
kehamilan ektopik meningkat dengan adanya beberapa faktor, termasuk riwayat
infertilitas, riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, operasi pada tuba, infeksi
pelvis, paparan Diethylstil-bestrol (DES), dan penggunaan IUD. Faktor-faktor
tersebut dipengaruhi mekanisme umum yang dapat berupa mekanisme anatomis,
fungsional, atau keduanya. Kenyataannya sangat sulit untuk menilai penyebab
dari implantasi ektopik dengan tidak adanya alat pendeteksi kelainan tuba. 1

Tabel 1. Faktor risiko kehamilan ektopik1

5
Pada kehamilan ovarium, spermatozoa memasuki folikel de Graaf yang
baru pecah dan membuahi ovum yang masih tinggal dalam folikel, atau apabila
ovum yang dibuahi bernidasi di daerah endometriosis di ovarium. Kemudian
kehamilan intraligamenter biasanya terjadi secara sekunder dari kehamilan tuba
atau kehamilan ovarial yang mengalami ruptur dan mudigah masuk di antara 2
lapisan ligamentum latum. Sedangkan pada kehamilan servikal berkaitan dengan
faktor multiparitas yang beriwayat pernah mengalami abortus atau operasi pada
rahim termasuk seksio sesarea. Lalu kehamilan abdominal biasanya terjadi secara
sekunder dari kehamilan tuba, walaupun ada yang primer terjadi di rongga
abdomen.2

Adapun faktor-faktor pada tuba yang dapat mendukung terjadinya


kehamilan ektopik:

1. Faktor dalam lumen tuba :


a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga
lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu;
b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada hipoplasia
uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia endosalping;
c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan
sterilisasi yang tidak sempurna.
2. Faktor pada dinding tuba:
a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi
dalam tuba;
b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan
ovum yang dibuahi ditempat itu.
3. Faktor diluar dinding tuba:
a) Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur;
b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.
4. Faktor lain:
a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri - atau
sebaliknya dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus.

6
Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi
prematur
b) Fertilisasi in vitro, yakni penyatuan ovum dan spermatozoa terjadi di
ampulla tuba, dari sini ovum yang telah dibuahi digerakkan ke kavum uteri
dan di tempat yang akhir ini mengadakan implantasi di endometrium.
Keadaan pada tuba yang menghambat atau menghalangi gerakan ini dapat
menjadi sebab terjadinya implantasi pada endosalping dan bila ada
kelainan pada ovum, maka akan memberi predisposisi terjadinya
implantasi di luar kavum uteri.5

2.4 Patofisiologi
Ovum di tuba bernidasi secara kolumner atau intrakoluumner. Pada kolumner,
ovum berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan ovum
selanjutnya terganggu oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya ovum mati
secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara interkolumner ovum bernidasi antara
2 jonjot endosalping. Kemudian setelah tempat nidasi tertutup, ovum dipisahkan
dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan disebut
pseudokapsularis. Pembentukan desidua di tuba tidak sempurna malahan dan
tidak tampak, dengan mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk ke
dalam lapisan otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah.
Selanjutnya perkembangan janin bergantung pada beberapa faktor seperti, tempat
implantasi, tebalnya dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh
invasi trofoblas.1
Estrogen dan progesteron dari korpus luteum gravidatis dan trofoblas
mempengaruhi perkembangan uterus menjadi lebih besar dan lembek, dan
endometrium dapat pula berubah menjadi desidua. Terjadi perubahan-perubahan
pada endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar
dengan intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur.
Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-kadang
ditemukan mitosis. Perubahan ini hanya terjadi pada sebagian kehamilan ektopik.2
Tuba bukan merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan hasil konsepsi,
tidak mungkin janin dapat tumbuh secara utuh seperti di uterus. Sebagian besar

7
kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 minggu sampai 10
minggu. Kemungkinan itu antara lain :
1. Kehamilan tuba
Fertilisasi dapat terjadi semua bagian tuba fallopi, sekitar 95-96%
terjadi di ampulla, 25% di ismus, dan 17% di fimbrae. Karena lapisan
submukosa dari tuba fallopi tipis memungkinkan ovum yang telah dibuahi
dapat menembus ke lapisan epitel, zigot akan terimplantasi sampai lapisan
muskuler. Kemudian trofoblas akan berprolifreasi dengan cepat dan
menginvasi daerah sekitarnya. Pembuluh darah maternal menjadi ruptur
dan menyebabkan perdarahan di ruang antara trofoblas, atau antara
trofoblas dengan jaringan di bawahnya. Pada dinding tuba fallopi yang
merupakan tempat implantasi zigot mempunyai ketahanan yang rendah
terhadap invasi trofoblas. Embrio pada kehamilan ektopik sering kali tidak
berkembang.6
2. Ruptur Tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya, ruptur pada pars intertisial
terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan
ruptur ialah penembusan villi korialis ke dalam lapisan muskularis tuba
kemudian ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau karena
trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan
terjadi perdarahan dalam rongga perut dengan jumlah sedikit sampai
banyak, yang dapat menimbulkan syok sampai kematian. Bila
pseudokapsularis ikut pecah maka terjadi pula perdarahan dalam lumen
tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba
abdominal.5

Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan
ostium tuba tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis
karena invasi dari trofoblas, akan pecah karena tekanan darah dalam tuba.
Kadang-kadang ruptur terjadi pada daerah ligamentum latum dan
terbentuk hematoma intraligamenter. Jika janin hidup terus, terdapat
kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin

8
dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi
tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Perdarahan dapat berlangsung
terus sehingga penderita akan mengalami anemia atau syok karena
hemoragia. Darah tertampung pada rongga perut akan mengalir ke cavum
Douglas yang akan semakin banyak dan akhirnya dapat memenuhi rongga
abdomen. Bila pasien tidak dioperasi dan tidak meninggal karena
perdarahan, nasib janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan
tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi
kembali, namun bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion. Bila
janin yang dikeluarkan tidak mati dengan masih diselubungi oleh kantong
amnion dan dengan plasenta yang utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam
rongga abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal sekunder. 5,10
3. Abortus ke dalam lumen tuba
Abortus tuba ialah gangguan yang umumnya tidak begitu
mendadak, dan dapat memberi gambaran yang beraneka ragam. Timbul
perdarahan dari uterus yang berwarna hitam, dan rasa nyeri di samping
uterus bertambah keras. Perdarahan yang terjadi karena pembukaan
pembuluh-pembuluh darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat
implantasi dapat melepaskan mudigah dari koriales pada dinding tersebut
bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat
terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung dari derajat perdarahan yang
timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya
dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah kearah
ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam tuba tergantung pada
implantasi telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum terjadi pada
kehamilan tuba pars ampullaris, sedangkan penembusan dinding tuba oleh
villi koriales kearah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars
isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars ampullaris lebih
luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi
dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.5
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,
perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai

9
berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan akan keluar melalui fimbriae
dan masuk rongga abdomen dan terkumpul secara khas di kavum Douglas
dan akan membentuk hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup, tuba
fallopii dapat membesar karena darah dan membentuk hemato
retrouterina.2

Gambar 2. Abortus ke dalam tuba

2.5 Gambaran Klinik


Gambaran klinik kehamilan tuba belum terganggu tidak khas, biasanya tidak
diketahui adanya kelainan dalam kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba. Pada
umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda, dan mungkin
merasa nyeri sedikit pada perut bagian bawah. Pada pemeriksaan vaginal toucher
uterus membesar dan lembek, walaupun mungkin tidak sebesar tuanya kehamilan.
Tuba yang mengandung hasil konsepsi karena lembeknya sukar diraba pada
pemeriksaan bimanual.1
Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu dimulai dari perdarahan banyak
yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala-gejala klinik klasik,
tergantung pada lamanya kehamilan, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan,
derajat perdarahan yang terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum hamil.
Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri abdomen,
amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut menjadi sangat penting
dalam memikirkan diagnosis pada pasien yang datang dengan kehamilan di

10
trimester pertama. Namun sayangnya, hanya 20% pasien dengan kehamilan
ektopik ini yang menampilkan gejala-gejala tersebut secara khas. Pasien yang lain
mungkin muncul gejala-gejala yang umumnya terjadi pada masa kehamilan awal
termasuk mual, lelah, nyeri abdomen ringan, nyeri bahu, dan riwayat disparenoe
baru-baru ini. Sedangkan gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu, seperti
tersebut diatas, dapat berbeda-beda, dari yang khas sampai tidak khas sehingga
sukar untuk mendiagnosisnya.2
Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu.Sekitar
75% pasien yang datang mengeluh nyeri terutama di daerah abdomen. Pada ruptur
tuba nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai
dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan jatuh ke dalam
syok. Rasa nyeri berawal pada satu sisi, setelah darah masuk ke dalam rongga
perut rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah
dalam rongga perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri
bahu dan bila membentuk hematokel retrouterina menyebabkan nyeri defekasi.1
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari kavum
uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan jumlahnya tidak banyak dan berwarna
coklat tua. Frekuensi perdarahan dikemukakan dari 51 – 93%. Perdarahan berarti
gangguan pembentukan human chorionic gonadotropin.
Amenorea merupakan tanda yang penting pada kehamilan ektopik. Periode
amenorea umumnya 6-8 minggu, tetapi dapat lebih lama jika implantasi terjadi di
pars interstisial atau kehamilan abdominal. Sebagian penderita tidak mengalami
amenorea karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Frekuensi
amenorea dikemukakan dari 23 – 97%.4
Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan pada pemeriksaan vaginal
bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri , yang disebut
dengan nyeri goyang (+) atau slinger pijn (bahasa belanda). Demikian pula kavum
Douglasi menonjol dan nyeri pada perabaan karena terisi darah. Pada abortus
tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor di samping uterus dalam berbagai
ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retrouterina dapat diraba
sebagai tumor di kavum Douglasi. Pada ruptur tuba dengan perdarahan banyak

11
tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat, bila perdarahan banyak dapat
terjadi syok.5
Pada pemeriksaan bimanual, teraba massa pelvik dengan ukuran 5 sampai 15
cm, yang mana teraba pada sekitar 20% wanita hamil. Massa tersebut terdapat
pada posterior atau lateral dari uterus dan biasanya lembek dan elastis. Tetapi
dengan adanya infiltrasi darah ke dinding tuba, massa tersebut dapat menjadi
keras.
Adanya tanda-tanda peritoneal, nyeri gerakan serviks, dan nyeri lateral atau
bilateral abdomen atau nyeri pelvik meningkatkan kecurigaan akan kehamilan
ektopik dan merupakan temuan yang bermakna.6

2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis pasti pada kehamilan ektopik yang belum terganggu
sangat sulit, sehingga pasien harus mengalami ruptur atau abortus dahulu
sehingga menimbulkan gejala.1

1. Anamnesis

Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan terlambat haid untuk


beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda.
Terdapat nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, dan kadang-kadang tenesmus.
Perdarahan pervaginam dapat terjadi, dan biasanya terjadi setelah muncul
keluhan nyeri perut bagian bawah, berapa jumlah perdarahannya, warna dari
darahnya, apakah mengalir seperti air atau hanya seperti tetesan saja, dan
apakah keluar gumpalan-gumpalan. Ditanyakan juga riwayat kehamilan
sebelumnya, bila sudah pernah hamil, riwayat menstruasinya.5

2. Pemeriksaan umum.

Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak pucat dan kesakitan.


Pada perdarahan dalam rongga perut aktif dapat ditemukan tanda-tanda syok
dan pasien merasakan nyeri perut yang mendadak yang mana mirip dengan
keluhan pada penderita appendisitis akut. Pada jenis yang tidak mendadak,
mungkin hanya terlihat perut bagian bawah yang sedikit menggembung dan
nyeri tekan.6

12
3. Pemeriksaan ginekologi
Pada pemeriksaan dalam mungkin ditemukan tanda-tanda kehamilan
muda. Perabaan serviks dan gerakannya menyebabkan nyeri. Bila uterus dapat
diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor
disamping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas juga
teraba menonjol dan nyeri raba yang menunjukkan adanya hematokel
retrouterina. Kadang terdapat suhu yang naik, sehingga menyulitkan
perbedaan dengan infeksi pelvik.4

4. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam


menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-
tanda perdarahan dalam rongga perut. Pemeriksaan hemoglobin dan
hematokrit dapat dilakukan secara serial dengan jarak satu jam selama tiga
kali berturut-turut. Bila ada penurunan hemoglobin dan hematokrit dapat
mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Penurunan haemoglobin
baru terlihat setelah 24 jam. Penghitungan leukosit secara berturut
menunjukkan adanya perdarahan bila leukosit meningkat. Juga dinilai kadar
leukosit untuk membedakan apakah terjadi infeksi yang bisa disebabkan oleh
kehamilan ektopik ini atau dugaan adanya infeksi pelvik. Pada infeksi pelvik
biasanya lebih tinggi hingga dapat lebih dari 20.000.5 Tes kehamilan berguna
bila positif. Akan tetapi, tes kehamilan bisa saja negatif, hal ini terjadi karena
kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas yang menyebabkan produksi
human chorionic gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif.7

13
Algoritma : Diagnosa dan Penanganan Kehamilan Ektopik 7

2.7 Diagnosa Banding

Beberapa keadaan patologik, seperti infeksi pelvik, abortus imminens, kista


folikel, korpus luteum yang pecah, kista ovarium dengan putaran tangkai dan
appendisitis dapat memberikan gejala yang hampir sama. 13

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Kehamilan ektopik sering sulit terdiagnosis pada saat kunjungan pertama


pasien tentang keluhannya. Diagnosis awal diperlukan untuk perawatan yang
maksimal terhadap ketahanan tuba dan mencegah potensi terjadinya perdarahan
intraperitoneal. Atrash dkk. Menemukan bahwa perdarahan menjadi penyebab
terbesar (88%) kematian pada kasus kehamilan ektopik. Pada saat ini, yang

14
merupakan acuan untuk mendiagnosis kehamilan ektopik adalah Transvaginal
Ultrasonography dan pemeriksaan kadar hCG serial. Transvaginal
Ultrasonography sekarang ini telah menggantikan posisi Laparaskopi karena lebih
menguntungkan.8

Beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis


kehamilan ektopik adalah berikut ini :

1. Tes kehamilan
Yang dimaksud dengan tes kehamilan dalam hal ini ialah reaksi
imunologik untuk mengetahui ada atau tidaknya hormon human chorionic
gonadotropin (hCG) dalam air kemih, dimana juga dapat membantu
menentukan potensi pasien mengalami kehamilan ektopik.

Jaringan trofoblas kehamilan ektopik menghasilkan hCG dalam kadar


yang lebih rendah dari pada kehamilan intrauterin normal dan dapat dideteksi
dalam serum pada kira-kira 1 minggu sebelum haid berikutnya, sehingga
dibutuhkan tes yang mempunyai tingkat sensitifitas yang tinggi. Jika tes hCG
mempunyai nilai sensitifitas 25 iu/l, maka 90-100% kehamilan ektopik akan
memberi hasil positif. Faktor sensitifitas dipengaruhi oleh berat jenis air
kemih yang diperiksa. Yang lebih penting ialah bahwa tes kehamilan tidak
dapat membedakan kehamilan intrauterin dengan kehamilan ektopik.6

2. Kuldosentesis
Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
dalam kavum douglas ada darah atau cairan lain. Cara ini sangat berguna
dalam membuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu.5

15
Gambar 3. Kuldosentesis
Teknik

a. Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi


b. Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
c. Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan tenakulum,
kemudian dilakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak.
d. Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan
semprit 10 ml dilakukan pengisapan.
Hasil

a. Positif, apabila dikeluarkan darah tua berwarna coklat sampai hitam yang
tidak membeku, atau yang berupa bekuan kecil-kecil. Darah ini
menunjukkan adanya hematokel retrouterina.
b. Negatif, apabila darah yang diisap bersifat:
- Cairan jernih, yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau
kista ovarium yang pecah;
- Nanah, yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang
apendiks yang pecah (nanah harus di kultur);
- Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku,
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
c. Nondiagnostik, apabila pada pengisapan tidak berhasil dikeluarkan darah
atau cairan lain.
Hasil positif palsu dijumpai pada 5-10% kasus yang disebabkan oleh
karena korpus luteum yang ruptur, abortus inkomplit, menstruasi
retrograd, atau endometriosis. Hasil negatif palsu dijumpai pada 11-14%
kasus, oleh karena banyaknya darah dalam kavum Douglas sangat sedikit.6

3. Ultrasonografi
Aspek yang terpenting dalam penggunaan ultrasonografi pada penderita
yang diduga mengalami kehamilan ektopik ialah evaluasi uterus. Atas dasar
pertimbangan bahwa kemungkinan kehamilan ektopik yang terjadi bersama-
sama kehamilan intrauterin adalah 1:30000 kasus, maka dalam dalam segi
praktis dapat dikatakan bahwa apabila dalam pemeriksaan ultrasonografik

16
ditemukan kantung gestasi intrauterin, kemungkinan kehamilan ektopik dapat
disingkirkan.10

Kesahalan diagnostik dapat terjadi apabila dalam kavum uterus ditemukan


kantung gestasi palsu (pseudosac). Beberapa faktor yang dapat penyebab
ditemukannya psudosac ialah terdapatnya darah dalam kavum uterus, decidual
lining pada uterus, ploriferasi endometrium yang tebal dan edema pada wanita
yang tidak hamil.

Apabila tidak ditemukan kantung gestasi dalam uterus, tampak suatu


gambaran daerah ekhogenik dalam kavum uterus yang dapat berasal dari
trofoblas pada abortus inkomplit atau desidua pada kehamilan ektopik.

Langkah berikutnya ialah evaluasi adneksa. Diagnosa pasti kehamilan


ektopik melalui pemeriksaan ultrasonografi apabila ditemukan kantung gestasi
diluar uterus yang didalamnya tampak denyut jantung janin. Hal ini hanya
terdapat pada ± 5% kasus kehamilan ektopik.

Pada kehamilan ektopik terganggu, sering tidak ditemukan kantung gestasi


ektopik. Gambaran yang tampak ialah cairan bebas dalam rongga peritoneu
terutama didalam kavum douglas. Tidak jarang dijumpai hematokel pelvik
yang dalam gambar ultrasonografi tampak sebagai suatu masa ekhogenik di
adneksa yang dikelilingi daerah kistik (sonolusen) dengan batas tepi yang
tidak tegas.8

Gambar 4. USG kehamilan ektopik


4. Laparoskopi
Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat batu diagnostik terakhir untuk
kehamilan ektopik, apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain

17
meragukan. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum
douglas dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis
mempersulit visualisasi alat kandungan, tetapi hal ini menjadi indikasi
dilakukannya laparotomi.10

5. Dilatasi kuretase
Saat serum kadar hCG lebih dari 1500 mIU/ml, usia gestasi lebih dari 38
hari, atau serum kadar progesteron kurang dari 5 mg/ml dan tidak ada kantong
gestasi interauterin yang terlihat dengan transvaginal USG, kuretase kavum
endometrial dengan pemeriksaan histologi pada jaringan yang dikerok, dengan
potong beku bila mau, dapat dikerjakan untuk menentukan apakah ada
jaringan gestasi. Spandorfer dkk. melaporkan bahwa potong beku 93 % akurat
dalam mengenali villi koriales. Jika tidak ada jaringan villi koriales yang
terlihat pada jaringan yang diangkat, maka diagnosis kehamilan ektopik dapat
dibuat dan dilakukan tindakan.11

2.9 Penatalaksanaan

Banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan ektopik, yaitu
terapi bedah dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi, namun hanya bisa
dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tidak ada bukti adanya
ruptur atau ketidakstabilan hemodinamik.9

Terapi bedah:

Tindakan bedah dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif (biasanya


salpingotomi) dan tindakan itu dilakukan dengan laparaskopi atau laparatomi.
Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila pasien secara hemodinamik
tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan laparaskopi, fasilitas dan
persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang, atau ada hambatan teknik untuk
melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus, pasien-pasien ini membutuhkan
salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak, hanya beberapa kasus saja
salpingotomi dapat dilakukan. Salpingotomi laparaskopik diindikasikan pada
pasien hamil ektopik yang belum ruptur dan besarnya tidak lebih dari 5 cm pada
diameter transversa yang terlihat komplit melalui laparaskop.9

18
Gambar 5. Teknik Salpingostomi, insisi 1-2 cm dibuat di bagian antimesenterik tuba
menggunakan jarum elektroda.

Linier salpingektomi pada laparaskopi atau laparatomi dikerjakan pada pasien


hamil ektopik yang belum ruptur dengan menginsisi permukaan antimesenterik
dari tuba dengan kauter kecil, gunting, atau laser. Kemudian diinjeksikan pitressin
dilute untuk memperbaiki hemostasis. Gestasi ektopik dikeluarkan secara perlahan
melalui insisi dan tempat yang berdarah di kauter. Pengkauteran yang banyak
didalam lumen tuba dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan, dan untuk itu
dihindari. Penyembuhan secara sekunder atau dengan menggunakan benang
menghasilkan hasil yang sama. Tindakan ini baik untuk pasien dengan tempat
implantasi di ampulla tuba. Kehamilan ektopik ini mempunyai kemungkinan
invasi trofoblastik kedalam muskularis tuba yang lebih kecil dibandingkan dengan
implantasi pada isthmus.9

Gambar 6. Teknik Salpingektomi. Pedicel di potong dan diligasi dengan ligase sutura9

Pasien dengan implantasi pada isthmus akan mendapatkan hasil yang lebih
baik dari reseksi segmental dan anastomosis lanjut. Bagaimanapun juga, jika
diagnosis ditegakkan lebih awal, maka pada tempat isthmus dapat dilakukan

19
salpingotomi. Pada kehamilan ektopik yang berlokasi pada ujung fimbriae, dapat
dilakukan gerakan seperti memeras (milking) untuk mengeluarkan jaringan
trofoblastik melalui fimbriae.9

Secara umum, perawatan pada laparaskopi lebih cepat dan lebih sedikit waktu
yang hilang dalam penanganannya dibandingkan laparatomi. Parsial atau total
salpingektomi laparaskopik mungkin dilakukan pada pasien dengan riwayat
penyakit tuba yang masih ada dan diketahui mempunyai faktor resiko untuk
kehamilan ektopik. Komplikasi bedah yang paling sering adalah kehamilan
ektopik berulang (5-20 %) dan pengangkatan jaringan trofoblastik yang tidak
komplit. Disarankan pemberian dosis tunggal methotrexate post operasi sebagai
profilaksis para pasien resiko tinggi.10

Terapi Obat:

Diagnosis dini yang dapat ditegakkan membuat pilihan pengobatan dengan


obat-obatan memungkinkan. Keuntungannya adalah dapat menghindari tindakan
bedah beserta segala resiko yang mengikutinya, mempertahankan potensi dan
fungsi tuba, dan biaya yang lebih murah. Zat-zat kimia yang telah diteliti
termasuk glukosa hiperosmolar, urea, zat sitotoksik (misal: methotrexate dan
actinomycin), prostaglandin, dan mifeproston (RU486). Disini akan dibahas lebih
jauh mengenai pemakaian methotrexate sebagai pilihan untuk terapi obat.10

METHOTREXATE

Penggunaan methotrexate pertama kali direkomendasikan oleh Tanaka


dkk. untuk kehamilan pada intersisial. Kemudian diikuti oleh Miyazaki (1983)
dan Ory dkk. yang menggunakannya sebagai terapi garis pertama pada
kehamilan ektopik. Sejak itu banyak dilaporkan pemakaian methotrexate pada
berbagai jenis kehamilan ektopik yang berhasil. Dengan semakin banyaknya
keberhasilan memakai obat, maka mulai diperbandingkan pemakaian
methotrexate dengan terapi utama salpingostomi.11

Perdarahan intra-abdominal aktif merupakan kontraindikasi bagi pemakaian


methotrexate. Ukuran dari massa ektopik juga penting, oleh Pisarska dkk. (1997)

20
direkomendasikan bahwa methotrexate tidak digunakan pada massa kehamilan
jika ukuran lebih dari 4 cm. Keberhasilannya baik bila usia gestasi kurang dari 6
minggu, massa tuba kurang dari 3,5 cm diameter, janin sudah mati, dan β-hCG
kurang dari 15.000 mIU. Menurut American College of Obstetricians and
Gynaecologist (1998), kontraindikasi lainnya termasuk menyusui,
imunodefisiensi, alkoholisme, penyakit hati atau ginjal, penyakit paru aktif, dan
ulkus peptik.

Methotrexate merupakan suatu obat anti neoplastik yang bekerja sebagai


antagonis asam folat dan poten apoptosis induser pada jaringan trofoblas. Pasien
yang akan diberikan methotrexate harus dalam keadaan hemodinamika yang stabil
dengan hasil laboratorium darah yang normal dan tidak ada gangguan fungsi
ginjal dan hati. Methotrexate diberikan dalam dosis tunggal (50 mg/m 2 IM) atau
dengan menggunakan dosis variasi 1 mg/kgBB IM pada hari ke 1,3,5,7 ditambah
Leukoverin 0,1 mg/kgBB IM pada hari ke 2,4,6,8. Setelah pemakaian
methotrexate yang berhasil, β-hCG biasanya menghilang dari plasma dalam rata-
rata antara 14 dan 21 hari. Kegagalan terapi bila tidak ada penurunan β-hCG,
kemungkinan ada massa ektopik persisten atau ada perdarahan intraperitoneal.12

2.10 Prognosis

Kematian ibu karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun


dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Namun bila pertolongan
terlambat, maka angka kematian akan meningkat. Sedangkan janin pada
kehamilan ektopik biasanya akan mati dan tidak dapat dipertahankan karena tidak
berada pada tempat dimana janin tersebut seharusnya tumbuh.13

Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat


bilateral. Sebagian wanita dapat menjadi steril setelah mengalami kehamilan
ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka
kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0-14,6 %. Dengan kemajuan
terapi yang ada sekarang, kemungkinan ibu untuk dapat hamil kembali besar,
namun ini harus didukung kemampuan untuk menegakkan diagnosis dini
sehingga dapat diintervensi secepatnya.

21
BAB III
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
No RM : 01377774
Nama : Ny. SH
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 35 tahun 11 bulan
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Betawi
Alamat : JL. Pejaten Raya No.51

II. ANAMNESIS (Tanggal 2 Agustus 2015)


A. Keluhan Utama
Nyeri ulu hati sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 1 hari SMRS.
Nyeri ulu hati muncul tiba-tiba, hilang timbul dan tidak menjalar. Pasien
mengaku hamil 7 minggu. HPHT 20/06/15. TP 27/03/16. Pasien
memeriksa kehamilannya di RS Aulia, rutin. USG 1 kali, dikatakan
kehamilan didalam kandungan. USG terakhir 7 hari yang lalu. Pasien
mengaku hamil setelah hasil tes kehamilan positif di Puskesmas. Mual (-),
muntah (-), keluar darah dari jalan lahir (+), keputihan (-) Selain itu pasien
datang dengan keluhan lemas, pucat, dan sesak napas

C. Riwayat Menstruasi
Menarche  : 15 tahun

22
Siklus haid  : teratur, 30 hari
Lama haid  : 7 hari
Banyaknya  : 3 x/ hari ganti pembalut
Dismenorea  : (-)
HPHT  : 20 Juni 2015
TP : 27 Maret 2015

D. Riwayat Pernikahan
Menikah 1x, usia pernikahan 7 tahun, masih menikah

E. Riwayat Kehamilan
Status obstetrik : G2P0A1
1. Keguguran
2. Hamil ini

F. Riwayat KB
Pasien tidak mengikuti program KB

G. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menyangkal memiliki penyakit hipertensi, DM, penyakit jantung,
asma, keganasan, alergi.
Pasien pernah dirawat di RS Aulia bulan April 2015, kuretase anak
pertama
Pasien belum pernah di operasi sebelumnya.

H. Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga pasien, tidak ada yang memiliki riwayat penyakit hipertensi,
DM, jantung, asma, maupun alergi.

I. Riwayat Kebiasaan Sosial


Pasien tidak merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, tidak mengkonsumsi
obat-obatan terlarang.

23
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Kondisi umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tinggi badan : 152 cm
Berat badan : 50 kg
Tanda vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Frekuensi nadi : 110 x /menit
Frekuensi napas : 30 x /menit
Suhu : 36.5°C

Kepala : normocephal, rambut hitam, distribusi merata.


Mata : pupil isokor, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-.
THT : mukosa hiperemis (-), sekret (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar
Jantung : S1-S2 normal regular, murmur (-), gallop (-)
Paru : suara napas vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
Abdomen : lihat status obstetrik
Extremitas : akral hangat, edema tungkai -/-
Kulit : pucat (+)
B. Status Obstetri
Abdomen
Inspeksi : simetris, striae (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (+), nyeri lepas (-), defans muskuler (-)
Perkusi : nyeri ketok (-)
Anogenital
I : v/u tenang
Io : portio licin, livid, OUE tertutup, fluksus (-), fluor (-)

24
VT : CUT ukuran dan bentuk normal, parametrium lemas, nyeri
goyang portio (+), massa adnexa sulit dinilai, cavum Douglassi
menonjol
IV. LABORATORIUM
PEMERIKSAAN 02/08/15 NILAI RUJUKAN
Hematologi
Hemoglobin 8.2 g/dl 11.7-15.5
Hematokrit 26 % 33-34
Lekosit 33.1 ribu/ ul 5.0-10.0
Trombosit 499.000 ribu/ ul 150-440
Eritrosit 2.83 juta/ul 3.80-5.20
VER 90.9 fl 80.0-100.0
HER 28.9 pg 26.0-34.0
KHER 31.8 g/dl 32.0-34.0
RDW 13.8 % 11.5-14.5
Kimia Klinik
Fungsi Hati
SGOT 38 U/I 0-34
SGPT 35 U/I 0-40
Fungsi Ginjal
Ureum darah 34 mg/dl 20-40
Kreatinin darah 2.8 mg/ dl 0.6-1.5
Diabetes
Gula Darah Sewaktu 276 mg/dl 70-140
Elektrolit Darah
Natrium 134 mmol/l 135-147
Kalium 4.32 mmol/l 3.10-5.10
Klorida 99 mmol/l 95-108
Golongan Darah O/ Rh +

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Plano test Positif

25
USG (Minggu, 02 Agustus 2015)
Uterus antefleksi , miometrium homogen, ukuran 62 x 42 x 10 mm
Endometrial line positif, endometrial thicnes tipis, tidak tampak massa
Adneksa kanan: bentuk dan ukuran normal, tidak tampak massa
Adneksa kiri: tampak massa hiperekoik ukuran 37 x 23 mm
Kesan kehamilan ektopik terganggu
Rongga pelvik: tampak cairan bebas
Kesan: hematokel pada adneksa kiri e.c ruptur tuba kiri sesuai kehamilan
ektopik terganggu

26
Kesimpulan : Nyeri akut abdomen e.c hemoperitoneum ec ruptur tuba kiri
e.c kehamilan ektopik terganggu pada G2 A1 hamil 7-8 minggu

VI. RESUME
Pasien wanita, 35 tahun, G2A1, menikah, datang dengan nyeri ulu hati sejak
1 hari SMRS. Mengaku hamil 7 minggu. Test kehamilan positif.
Perdarahan pervaginam (+)

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :


Kondisi umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Frekuensi nadi : 110 x /menit
Frekuensi napas : 30 x /menit
Suhu : 36.5°C
Status Ginekologi
Abdomen
Inspeksi : simetris, striae (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (+), nyeri lepas (-), defans muskuler(-)
Perkusi : nyeri ketok (-)
Anogenital
I : v/u tenang
Io : portio licin, livid, OUE tertutup, fluksus (-), fluor (-)
VT : CUT ukuran dan bentuk normal, parametrium lemas, nyeri
goyang portio (+), massa adnexa sulit dinilai, cavum
Douglassi menonjol.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Anemia normositik normokrom
USG : Kehamilan ektopik tuba kiri, hemoperitoneum

27
VII. DIAGNOSIS
Akut abdomen ec hemoperitonium ec ruptur tuba kiri ec KET pada G2A1
hamil 7-8 minggu

VIII. PENATALAKSANAN
Rencana laparatomi salphingektomi sinistra cito

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Ad sanationam : dubia

X. LAPORAN OPERASI
Diagnosis pre op : Akut abdomen ec hemoperitoneum ec suspek KET
pada G2A1 hamil 8 minggu
Diagnosis post op : P0A2 post salphingectomy sinistra ec ruptur tuba
fallopi sinistra ec KET
Tanggal : 02 Agustus 2015
Operasi : Laparotomi salfingektomi
Lokasi insisi/eksisi : Tuba kiri
Laporan operasi :
- Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum.
- A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya
- Dilakukan insisi Pfannenstiel
- Saat peritoneum dibuka, tampak darah dan bekuan darah,
Hemoperitoneum dievakuasi kira-kira 750 cc
- Pada eksplorasi, uterus kesan normal
- Tuba kanan dan ovarium kanan dalam batas normal, tampak ruptur tuba
kiri compang camping dilakukan salpingectomy sinistra
- Ovarium kiri dalam batas normal
- Dilakukan eksplorasi lebih lanjut, tidak tampak sumber perdarahan aktif
- Tuba kiri dan ovarium kiri dan kanan dalam batas normal

28
- Abdomen dicuci berulang kali dengan NaCl 0,9% 2000 cc sampai bersih
dari darah
- Abdomen ditutup lapis demi lapis
- Perdarahan intraop 200 cc urin 500 cc jernih.

XI. INSTRUKSI POST OP


 Observasi KU, tanda vital, perdarahan dan nyeri abdomen tiap 15 menit
(1 jam pertama) dan tiap 30 menit (1 jam kedua)
 Mobilisasi bertahap
 Realimentasi dini
 Transfusi PRC sampai dengan Hb ≥ 10 g/dl
 Cek DPL post op
 FC 1 x 24 jam post op
 GV hari 3
 Rawat ruangan
 Medikamentosa :
– Ceftriaxone 1 x 2 gr iv
– Profenid supp 3 x 100 mg sup
– Ranitidin 2 x 1 amp iv
– SF 2 x 1 tab po

29
XII. FOLLOW UP POST OPERASI
3 Agustus 2015
Subyektif Nyeri (+) VAS 2, perdarahan masih keluar sedikit, BAK
normal, BAB belum

Obyektif KU TSR, kesadaran CM

TD : 110/60 mmHg; N: 82x /m; P: 18x /m; S: 36,5 C

Status generalis : dalam batas normal

Status obstetris : luka operasi tertutup kassa, rembesan darah


(+)

I = v/u tenang, perdarahan aktif (-)

Assesment Post laparotomi salfingektomi ai. KET tuba sinistra POD 1

Anemia ec perdarahan on transfusi PRC

Planning RDx/ Observasi TTV, perdarahan, dan nyeri

RTh/ Ranitidin 2 x 50 mg IV

SF 1 x 1

Profenid supp 2 x 100 mg

Cefixim 2 x 500 mg

IVFD RL 500 cc 1 x 24 jam IV

Cek DPL post tranfusi

4 Agustus 2015
Subyektif Nyeri (+) VAS 3, perdarahan (+), BAK normal, BAB belum

30
Obyektif KU TSR , kesadaran CM

TD : 120/80 mmHg; N: 88x /m; P: 20x /m; S: 35,6 C

Status generalis : dalam batas normal

Status obstetris : luka operasi tertutup kassa, rembesan darah


(+)

I = v/u tenang, perdarahan aktif (-)

DPL= 10,6/31/15.100/205.000 (3 Agustus 2015)

Assesment Post laparotomi salfingektomi ai. KET tuba sinistra POD 2


Anemia ec perdarahan

Planning RDx/ Observasi TTV, perdarahan, dan nyeri

RTh/ Ranitidin 2 x 50 mg IV

SF 1 x 1

Asam mefenamat 3 x 500 mg po

Doksisiklin 2 x 100 mg

IVFD RL 500 cc 1 x 24 jam IV

5 Agustus 2015
Subyektif Nyeri (+) VAS 3, BAK normal, BAB normal

Obyektif KU TSR, kesadaran CM

TD : 110/80 mmHg; N: 140x /m; P: 20x /m; S: 35,6 C

Status generalis : abdomen supel, nyeri tekan (-), BU (+)

Status obstetris : luka operasi tertutup kassa, rembesan darah (-)

I = v/u tenang, perdarahan aktif (-)

31
DPL= 10,6/31/15.100/205.000 (3 Agustus 2015)

Assesment Post laparotomi salfingektomi ai. KET tuba sinistra POD 3


Anemia ec perdarahan

Takikardi ec suspek anemia dd/ dehidrasi

Planning RDx/ Observasi TTV, perdarahan, dan nyeri

RTh/ Ranitidin 2 x 50 mg IV

SF 1 x 1

Asam mefenamat 3 x 500 mg po

Doksisiklin 2 x 100 mg

Cek DPL ulang

Loading RL 500 cc/ 60 menit

32
BAB IV

ANALISA KASUS

Pada kasus ini didiagnosis sebagai akut abdomen ec hemiperitonium ec


KET tuba kiri pada G2A1 hamil 7 minggu berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan yang ditemukan.

Pada anamnesis didapatkan bahwa nyeri ulu hati sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit dan perdarahan pervaginam yang menandakan kematian janin,
dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan desidua yang mana didukung
dengan pemeriksaan fisik yaitu didapatkan adanya nyeri goyang portio dan cavum
douglasi menonjol. Kavum Douglas menonjol dan nyeri pada perabaan oleh
karena terisi darah. Berdasarkan letak nyeri tersebut dapat dipikirkan diagnosa
banding appendisitis, namun saat dilakukan anamnesa, pasien mengaku tidak ada
nyeri yang pada awalnya berasal dari pusat, mual dan muntah, ditambah pula
dengan hasil pemeriksaan USG yang menunjukkan adanya KET di tuba kanan.
Terdapat 3 kemungkinan yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri pada
pasien ini, yaitu:
1. Adanya kerusakan pada otot tuba akibat desakan kehamilan ektopik
2. Adanya peregangan ligamen sekitar tuba akibat pembesaran tuba akibat
kehamilan ektopik
3. Adanya rangsangan pada peritoneum akibat tumpahan darah dari
kerusakan jaringan yang dihasilkan oleh kehamilan ektopik.
Pada pasien ini diperkirakan telah terjadi ketiganya. Penatalaksanaan
pada pasien ini direncanakan laparastomi cito di karenakan keluhan nyeri
pada pasien, penurunan Hb akibat perdarahan intraabdomen, dan untuk
mencegah terjadinya pemburukan dari keadaan pasien.. Kemudian pada saat
dilakukan laparotomi, diketahui telah terjadi ruptur pada tuba kiri sehingga
diputuskan untuk dilakukan salpingektomi sinistra.

33
BAB V

KESIMPULAN

Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang beresiko tinggi


menyebabkan kematian bagi ibu hamil. Kehamilan ektopik terjadi bila ovum yang
telah dibuahi berimplantasi pada jaringan selain di endometrium. Berdasarkan
penggolongan letak kehamilannya, kehamilan ektopik paling sering terjadi di tuba
yakni lebih dari 95%. Angka kejadian kehamilan ektopik terganggu masih cukup
tinggi. Di Indonesia, insidensi kehamilan ektopik terganggu berbeda-beda di tiap
daerah, tetapi kurang lebih sekitar 5-6 per 1000 kehamilan.
Dari anamnesis, pasien dengan kehamilan ektopik yang sudah terganggu
paling banyak mengeluh nyeri perut dan perdarahan. Pemeriksaan fisik yang
penting dalam penegakan diagnosis kehamilan ektopik terganggu adalah
pemeriksaan abdomen dan anogenital. Pada pemeriksaan abdomen dapat
ditemukan tanda-tanda akut abdomen, seperti nyeri tekan maupun nyeri lepas,
defans muskular. Pada pemeriksaan anogenital dapat ditemukan penonjolan dari
kavum Douglassi akibat akumulasi darah di dalam rongga peritoneum dan nyeri
goyang portio. Pada pemeriksaan laboratorium akan ditemukan anemia karena
perdarahan intraabdomen. Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan USG.
Pilihan pengobatan KET tergantung kondisi penderita, keinginan penderita
pada fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomik organ
pelvis, kemampuan bedah mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi
fertilisasi invitro setempat. Pada pengobatan KET pada tuba yang belum pecah
dapat diberikan Methrotrexate dengan kriteria: (1) Kehamilan di tuba belum
pecah, (2) diameter kantong gestasi kurang atau sama dengan 4 cm, (3)
perdarahan dalam rongga perut kurang atau sama dengan 100 ml, (4) tanda vital
baik dan stabil. Pada pasien dengan keadaan yang kurang stabil, dapat dilakukan
tindakan operatif, baik radikal maupun konservatif. Diagnosa dini pada pasien
dengan kecurigaan KET dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.

34

Anda mungkin juga menyukai