Anda di halaman 1dari 4

Pemberlakuan Pengadaan yang tidak

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai


Beberapa kebijakan di Republik Indonesia mendukung penciptaan nilai atau istilah keren nya
adalah value creation, salah satunya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK/010/2017
tentang  Barang Kebutuhan Pokok yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PMK No.
116/PMK.010/2017), disebutkan bahwa barang yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi, serta
menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat, meliputi :
1. beras dan gabah, dengan kriteria berkulit, dikuliti, setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh
atau dikilapkan maupun tidak, pecah, menir, selain yang cocok untuk disemai.

2. jagung, dengan kriteria telah dikupas maupun belum, termasuk pipilan, pecah, menir, tidak
termasuk bibit

3. sagu, dengan kriteria berkulit, empulur sagu (sari sagu), tepung, tepung kasar dan bubuk

4. kedelai, dengan kriteria berkulit, utuh dan pecah, selain benih

5. garam konsumsi, dengan kriteria beryodium maupun tidak (termasuk garam meja dan garam
didenaturasi) untuk konsumsi/ kebutuhan pokok masyarakat)

6. daging, dengan kriteria daging segar dari hewan ternak dan unggas dengan atau tanpa tulang yang
tanpa diolah, baik yang didinginkan, dibekukan, digarami, dikapur, diasamkan, atau diawetkan
dengan cara lain

7. telur, dengan kriteria tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diawetkan dengan cara lain,
tidak termasuk bibit

8. susu, dengan kriteria susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan
(pasteurisasi), tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya

9. buah buahan, dengan kriteria buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses
dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, digrading, selain yang dikeringkan

10. sayur sayuran, dengan kriteria sayuran segar, yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan / atau disimpan
pada suhu rendah atau dibekukan, termasuk sayuran segar yang dicacah

11. ubi ubian, dengan kriteria ubi segar, baik yang telah melalui proses dicuci, diortasi, dikupas,
dipotong, diiris, digrading
12. bumbu-bumbuan dengan kriteria segar, dikeringkan tetapi tidak dihancurkan atau ditumbuk, dan

13. gula konsumsi, dengan kriteria gula kristal putih asal tebu untuk konsumsi tanpa tambahan bahan
perasa atau pewarna

Pembebasan pajak pertambahan nilai ini berlaku untuk seluruh penyerahannya dibebaskan tidak
sebatas pengadaan barang/jasa pemerintah, artinya berlaku di seluruh transaksi manapun hingga
PMK No. 116/PMK.010/2017 dicabut, dengan demikian bila dikaitkan dengan sumber darimana
aturan ini dibuat, maka bisa dikatakan bahwa PMK No. 116/PMK.010/2017 yang ditetapkan tanggal
15 Agustus 2017 dan diundangkan tanggal 16 Agustus 2017 ini bertujuan untuk memberikan
penciptaan nilai atas Barang Kebutuhan Pokok bila dibandingkan komoditas-komoditas lainnya.

Sebagai contoh dalam kontrak bantuan makanan untuk masyarakat tidak mampu antara Dinas
Kesejahteran terdapat penyedia UD. Semoga Kenyang, dengan rincian satuan harga sebagai
berikut :

Maka berdasarkan PMK No. 116/PMK.010/2017, Beras 10kg merek Lwuaaaaaahhhhaaaap tidak
dikenakan pajak, namun kornet daging sapi yang merupakan produk daging tidak memenuhi kriteria
karena merupakan produk olahan.

Dengan demikian maka idealnya, kontrak tersebut menggunakan perhitungan Pajak berdasarkan
PMK No. 116/PMK.010/2017 diperhitungkan sebagai berikut :

Sehingga bila terdapat kontrak untuk memperoleh 1050 paket bantuan bagi warga tidak mampu
tersebut dengan harga diatas maka, kontrak nya menjadi bernilai sebagai berikut :
Dengan demikian berdasarkan contoh diatas, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
termasuk dalam warga tidak mampu sebanyak 1050 orang, maka diperlukan anggaran sebesar
Rp198.303.000 untuk kontrak tersebut.

Kekeliruan tidak mengetahui keberadaan PMK No. 116/PMK.010/2017 dan mengenakan PPN 10%
Pada Beras akan berdampak pada perhitungan nilai kontrak sebagai berikut :

Artinya bila dalam penyusunan HPS pelaku pengadaan barang/jasa pemerintah menyusun HPS
dengan memperhitungkan Pajak untuk kontrak tersebut diatas dan diasumsikan anggaran yang
dimilikinya memiliki Pagu Rp199.000.000, maka kuantitas yang dapat diwujudkan dengan asumsi
setelah proses pemilihan penyedia dilakukan diatas akan menjadi kurang lebih sebagai berikut :

Atau dengan kata lain untuk pagu sebesar Rp199.000.000 hanya dapat diperoleh 981 paket bantuan
dari target yang dapat dibantu adalah sebanyak 1050 warga, dengan demikian terdapat potensi 69
warga yang tidak mendapat bantuan.

Kami memahami bahwa ahli pengadaan tidak wajib menguasai semua peraturan keuangan, analogi
tersebut serupa dengan ahli pengadaan tidak perlu menjadi ahli hukum (sebagaimana dalam artikel
berikut ini : https://christiangamas.net/ahli-pengadaan-apakah-juga-ahli-hukum/), tapi…..
mengetahui seluk-beluk komoditas yang akan diadakan ini juga mencakup peraturan perundangan
yang berlaku di dalamnya, khususnya bila Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah
mengeluarkan penciptaan nilai dengan mengeluarkan Peraturan ini. Sehingga, walaupun Pajak
Pertambahan Nilai “tidak sengaja” dipungut dan ujung-ujungnya akan masuk kedalam Kas Negara,
namun potensi penciptaan nilai menjadi terabaikan dimana ada 69 warga yang tidak dapat
merasakan bantuan tersebut.
Kembali sebagaimana yang kami sampaikan dalam artikel Sense of Crisis dan kaitannya dengan
Pengadaan Barang/Jasa Penanganan Darurat dan Aspek tidak sekedar Pengadaan (Value
Creation)
penciptaan nilai (value creation) menjadi penting dan tidak sekedar pengadaan terlaksana dengan
hanya kepatuhan sesuai Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah semata, namun juga perlu
memperhatikan hal-hal terkait dengan esensi tujuan dari pengadaan yang dilakukan senantiasa perlu
dipikirkan terlebih tujuan dari pengadaan pada contoh diatas adalah masyarakat/warga tidak mampu,
dengan mengetahui Peraturan terkait komoditas yang diadakan dalam paket tersebut sebagai contoh
diatas, maka dengan nilai Pagu yang sama dapat dipenuhi kebutuhan 1050 orang yang seharusnya
mendapatkan bantuan, sehingga tidak ada 69 orang yang tidak menerima bantuan.
Dengan mengetahui dan “menyelami” apa komoditas yang diadakan, pelaku pengadaan dapat
melakukan pengadaan yang telah ter-optimasi (optimized), bukan hanya sekedar menyusun HPS,
menyusun rancangan kontrak, menyusun spesifikasi, memproses pemilihan penyedia, dan
mendapatkan penyedia untuk kemudian berkontrak semata, semakin menyelami aspek-aspek yang
ada dalam komoditas tersebut, maka Pengetahuan kita akan Peraturan Perundangan terkait akan
semakin dalam dan semakin komplit sehingga menjadikan kita percaya diri dan dapat
mempertanggung-jawabkan hasil pekerjaan pada berbagai pihak.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga kita senantiasa selalu sehat, dan salam pengadaan!

Anda mungkin juga menyukai