Anda di halaman 1dari 12

MAKNA AL-QARDH DAN RIBA DALAM EKONOMI

SYARI’AH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Fiqhiyah Fil Mu’amalah

DOSEN PENGAMPU : DRS. AHMAD RIADI DAULAY, M.Ag

OLEH:

FARAS ABIYYU ZHAFRAN (0502202132)

NIA PEFRINA (0502202152)

REHULINA ZUHRA GINTING (0502202165)

WAHYUDINI SYAFITRI (0502202168)

AKUNTANSI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan kami
nikmat iman dan juga rahmat-Nya serta kesehatan, sehingga kami diberi kesempatan untuk
menyelesaikan penulisan kami yang berjudul Makna Al-Qardh dan Riba dalam Ekonomi
Syari’ah.

Shalawat dan salam tidak lupa kami panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW yang telah menyampaikan hidayah dari Allah SWT untuk kita semua.

Serta kami ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada Bapak Drs. Ahmad Riyadi
Daulay, M.Ag selaku dosen mata kuliah Qawaid Fiqhiyah Fil Mu’amalah yang telah
memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan penulisan
makalah ini dengan baik.

Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam
meningkatkan pengetahuan dan wawasan terkait makna Al-Qardh dan Riba dalam Ekonomi
Syari’ah. Kami sebagai penyusun merasa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.

Medan, 11 Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG....................................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................1

C. TUJUAN PEMBAHASAN.............................................................................................1

BAB II........................................................................................................................................2

PEMBAHASAN........................................................................................................................2

A. DEFINISI QARDH DAN RIBA.....................................................................................2

B. RUKUN DAN SYARAT AKAD QARDH.....................................................................4

C. DASAR HUKUM QARDH.............................................................................................5

D. IMPLEMENTASI DAN PRAKTIK QARDH................................................................6

E. MANFAAT QARDH......................................................................................................7

BAB III.......................................................................................................................................8

PENUTUP..................................................................................................................................8

A. KESIMPULAN...............................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................9
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan dimuka bumi ini pasti selalu melakukan kegiatan ekomomi dalam
kehidupan sehari-hari atau bertransaksi dimana pun untuk menjalankan kehidupan. Maka
dalam kegiatan ekonomi sering sekali ditemukan bahkan tanpa disadari dalam kehidupan
sehari-hari melakukan ‘ariyah (pinjam-meminjam), al-qardh (hutang-piutang), dan al-hibah
(pemberian). Ketiga terminologi ini, turut serta mengikuti perkembangan ekonomi Islam di
Indonesia, baik pada tataran teoritis-konseptual sebagai wacana akademik maupun pada
tataran praktis, khususnya di lembaga keuangan bank dan non-bank ditandai dengan
banyaknya bank konvensional yang membuka cabang syariah.

Sekarang ini banyak terjadi kerusuhan di masyarakat yang dikarenakan pinjam-


meminjam dan hutang-piutang sehingga tidak mengherankan apabila persoalan seperti ini
menjadi persoalan setiap masyarakat. Umat Islam juga tidak dapat menghindari diri dari
bermualamah dengan bank konvensional yang menggunakan sistem bunga dalam semua
aspek kehidupan terutama kehidupan ekonomi. Hal ini terjadi, dikarenakan ketidakfahaman
akan hak dan kewajiban terhadap yang dipinjamkan. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai
al-qardh yang menjadi pembeda antara bank syariah dan bank konvensional serta makna riba
dalam ekonomi syari’ah berikut dengan implementasinya dalam kegiatan perbankan syariah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Definisi Qardh dan riba dalam Islam
2. Rukun dan syarat Akad Qardh
3. Dasar hukum qardh dalam Al-Quran, Hadist, maupun Ijma’
4. Implementasi dan praktik akad Qardh
5. Manfaat Qardh

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Pemahaman mengenai definisi Qardh dan riba dalam Islam
2. Mengetahui rukun dan syarat Akad Qardh
3. Mengetahui dasar hukum qardh dalam Al-Quran, Hadist, maupun Ijma’
4. Memahami bagaimana implementasi akad Qardh
5. Mengetahui manfaat dari Qardh

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. DEFINISI QARDH DAN RIBA
1. Definisi Qardh

Qardh secara bahasa berasal dari kata al-qath’ harta yang dipinjamkan merupakan
bagian dari harta milik pihak yang memberi pinjaman. Maksudnya adalah harta yang
dipinjamkan kepada seseorang itu bukan milik orang lain tetapi miliknya sendiri. 1 Istilah
Arab yang sering digunakan untuk utang piutang adalah aldain (jamaknya al-duyun) dan al-
qard. Dalam Fiqh klasik, al-qard dikategorikan dalam akad taawuniyah yaitu akad yang
berdasarkan prinsip tolong-menolong.2

Pengertian qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama Hanafiyah.
Menurutnya qardh adalah “Sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki
perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya.”.

Sementara definisi Qardh menurut ulama Malikiyah adalah “Suatu penyerahan harta
kepada orang lain yang tidak disertai iwadh (imbalan) atau tambahan dalam
pengembaliannya.”

Akad Qardh di Indonesia diatur pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2015
tentang Qardh diartikan sebagai pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban
pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam waktu
tertentu.

Menurut Fatwa DSN No. 19/DSN-MUI/IV/2001, Al-Qardh adalah pinjaman yang


diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. Nasabah Al-Qardh wajib
mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.3

2. Definisi Riba
1
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia
(Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1999).
2
Abdul Ghofar Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009),
hal. 146
3
Masruri, A., Zainur, A., & Khairul, M., Konsep dasar dan Implementasi Qardh (Pinjaman) (Sains Ekonomi
Islam, 2018), hal. 3

2
Menurut pandangan kebanyakan manusia, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat
membantu ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik
ekonom pemerintah maupun praktisi.

Riba merupakan perbuatan hukum yang dilarang secara eksplisit dalam Quran dan
sunah Nabi Saw. Dalam Quran (QS al-Baqarah [2]: 275) Allah berfirman yang artinya,
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Muhammad Abu Zahrah
menegaskan bahwa jual-beli dihalalkan karena di dalamnya terdapat keseimbangan antara
untung dan rugi; sedangkan riba diharamkan karena tidak terdapat keseimbangan antara
untung dan rugi, yaitu usaha yang menguntungkan tanpa risiko rugi.4

Istilah teknis riba qardh muncul karena perbedaan sifat benda yang menjadi obyek
akad. Cakupan riba buyu’ tergolong luas karena mencakup benda yang bersifat uang
(nuqud/tsamaniyah) dan benda yang bersifat isti‘mali dan istihlaki (konsumtif). Riba qardh
hanya mencakup sebagiannya saja, yaitu obyek yang bersifat uang (nuqud/tsamaniyah); pada
waktu itu, tsamaniyah/nuqud yang berlaku adalah dinar dan dirham; 5 oleh karena itu, riba
qardh hanya terjadi dalam domain pertukaran benda-benda sejenis yang bersifat tsamaniyah
(nuqud; uang). Pandangan umum menunjukkan bahwa riba qardh berkaitan dengan akad
qardh.

Riba qardh adalah tambahan (al-ziyadah) yang diperjanjikan atas pinjaman uang
(dinar/dirham/ rupiah) yang wajib dikembalikan pada waktu yang disepakati/dipersyaratkan.6
Isu haramnya riba qardh bukan semata karena tambahan (al-ziyadah) sebagaimana dalam
riba fadhl, tetapi karena tambahan atas pinjaman yang disyaratkan/disepakati/dijanjikan sejak
perjanjian itu dilakukan. Hubungan riba qardh dengan riba fadhl terletak pada cakupan dan
cara mempertukarkan. Riba fadhl merupakan tambahan atas harta yang dipertukarkan baik
benda tersebut termasuk benda yang bersifat tsamaniyah/nuqud maupun benda isti‘mali dan
istihlaki; sedangkan riba qardh hanya mencakup tambahan atas harta yang dipertukarkan atas
benda yang bersifat tsamaniyah/nuqud. Oleh karena itu, ulama Syafi‘iah (antara lain imam
Mutawali, imam Zarkasyi, dan imam Ramli) menyatakan bahwa riba qardh merupakan
bagian dari riba fadhl.

4
Rafiq Yunus al-Mishri, Madza Fa‘ala al-Iqtishadiyun alMuslimun (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2012), hal. 26.
5
Rafiq Yunus al-Mishri, Riba al-Qurudh wa Adillatu Tahrimihi (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2012), hal. 17.
6
Ibid

3
B. RUKUN DAN SYARAT AKAD QARDH

1) Sighat (ijab dan qabul), Ijab dan kabul dalam Qardh sama seperti ijab kabul dalam jual-
beli. Menurut Al-Kaisani, yang dimaksud sighat adalah ijab dan qabul. Tidak ada
perbedaan dikalangan fuquha “bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan semua lafal
yang menunjukkan maknanya, seperti kata, “Aku memberimu hutang” atau “aku
menghutangimu”. Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukan
kerelaan, seperti “Aku berhutang kepadamu” atau “aku menerima” atau “aku ridha dan
lain sebagianya.”
2) ‘Aqid (dua pihak yng melakukan transaksi), Menurut kitab Al-Fatawa al-Hindiyah,
yang dimaksud ‘aqidain adalah pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai
beberapa syarat berikut:
a. Pemberi hutang (muqridh), Fuquha sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang
adalah termasuk ahli tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka,
baligh, berakal sehat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang
buruk).
b. Penghutang (muqtaridh), (1) Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori
orang yang mempunyai ahliyah almu’amalah (kelayakan melakukan transaksi).
Kalangan Ashnaf mensyaratkan penghutang mempunyai ahliyah at-tasharrufat
(kelayakan membelanjakan harta) secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal
sehat. (2) Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena hutang
tidak ada kecuali dalam tanggungan.7
3) Harta yang dihutangkan, syarat ini tidak dipertentangkan oleh fuquha karena dengan
penghutang dapat membayar hutangnya dengan harta semisal. Syarat ini mencakup dua
hal, yaitu diketahui kuantitas, dan kualitasnya.
4) Maudhu’ al ‘aqd, adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Dalam akad al-
qardh tujuan pokok perikatannya adalah tolong menolong dalam arti meminjamkan harta
tanpa mengharapkan imbalan, uang yang dipinjamkan di kembalikan sesuai dengan uang
yang dipinjamkan, tidak ada tambahan dalam pengembalian uangnya. Syaratnya adalah
ada itikad baik.8
C. DASAR HUKUM QARDH
1. Dalil Al-Qur’an

7
Abdulallah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, hal.159-161
8
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hal. 47.

4
 QS. Al-Hadid/57: 11

ٰ ‫َم ْن َذا الَّ ِذيْ يُ ْق ِرضُ هّٰللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا فَي‬
‫ُض ِعفَهٗ لَهٗ َولَهٗ ٓ اَجْ ٌر َك ِر ْي ٌم‬
Artinya : “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka
Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh
pahala yang banyak.”

Dalam ayat ini kita diseru untuk meminjamkan kepada Allah dalam artian
membelanjakan harta kekayaan dijalan Allah untuk menunaikan zakat, infaq, dan shadaqah.
Namun sebagai makhluk sosial kita juga diseru untuk saling tolong menolong sesama
manusia.

 QS. Al-Baqarah/2: 245

ۚ ً‫ض ِعفَهۥُ لَ ٓۥهُ َأضْ َعافًا َكثِي َرة‬


َ ٰ ُ‫َّمن َذا ٱلَّ ِذى يُ ْق ِرضُ ٱهَّلل َ قَرْ ضًا َح َسنًا فَي‬
ُۜ ‫َوٱهَّلل ُ يَ ْقبِضُ َويَب‬
َ ‫ْصطُ َوِإلَ ْي ِه تُرْ َجع‬
‫ُون‬
Artinya : “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan
(rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”

2. Dalil Al-Hadits

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw. berkata,”Bukan seorang muslim (mereka)
yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah”
(HR Ibnu Majah no.2421, kitab al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi).

3. Dalil Ijma’

Para ulama telah menetapkan bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini
didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa dilandasi oleh sikap membantu atau
tolong-menolong.9 Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda, barangsiapa
melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya
9
Tim Laskar Pelangi, METODOLOGI FIQIH MUAMALAH Diskusrus Metodologis Konsep Interaksi Sosial
Ekonomi (Kediri: Lirboyo Press 2013), hal. 148.

5
Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barangsiapa memberi
kelonggaran kepada seseorang yang sedang kesusahan, niscaya Allah akan memberi
kelonggaran baginya di dunia dan diakhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya,
selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.”

D. IMPLEMENTASI DAN PRAKTIK QARDH

Dalam melaksanakan fungsinya bank syariah melaksanakan transaksi yang sifatnya


tolong menolong yaitu pinjaman Qardh atau Qardhul Hasan, yaitu pinjaman uang secara
percuma. Sesuai karakteristik ekonomi syariah uang bukan komoditi sehingga tidak
diperkenalkan uang menghasilkan atau bertambah uang. Pinjaman dengan akad ini dilakukan
oleh Bank Syariah dalam transaksi yang bersifat tolong menolong, penyaluran Zakat
Nasional (BAZNAZ), bisa juga untuk talangan Haji, talangan cerukan atau overdraf dari
rekening wadiah, transaksi rahn, hawalah dan sejenisnya.10

Implementasi produk sosial didasarkan pada fatwa MUI No. 19/DSNMUI/IV/2001


tentang Qardh yang dananya bersumber dari bagian modal dan keuntungan yang disisihkan
dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS), serta lembaga lain atau individu yang
mempercayakan penyaluran infaqnya lewat LKS.

Akad Qardh biasanya diaplikasikan di perbankan syariah seperti:

1) Penyaluran dan zakat yang bersifat produktif (dana bergulir) yang diperuntukan sesuai syariat
yaitu diberikan kepada delapan hasnaf. Biasanya penyaluran zakat ini merupakan produk
kerja sama antara BAZNAS dengan bank syariah, BAZNAS sebagai lembaga penghimpun
dana dan penyalurannya melewati model transaksi bank.
2) Pembiayaan pengurusan haji, berdasarkan Fatwa DSN No: 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang
Pembiayaan Pengurusan Haji.
3) Anjak piutang yang berlandaskan pada Fatwa DSN No. 67/DSN-MUI/III/2008 tentang Anjak
Piutang Syariah.
4) Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonefiditasnya
yang menumbuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut
akan mengembalikan secepatnya sejumlah dana yang dipinjamnya tersebut.
5) Sebagai fasilitas yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa menarik dananya
karena misalnya pengusaha tersimpan dalam bentuk deposito.

10
Nurnasrina & Adiyes P., Kegiatan Usaha Bank Syariah (Yogyakarta: Kalimedia, 2017)

6
6) Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau
bagi hasil.
7) Sebagai produk untuk menyumbang ke sektor kecil atau membantu sektor sosial.

Ulama-ulama tertentu membolehkan pemberi pinjaman untukmembebani biaya jasa


pengadaan pinjaman. Biaya jasa ini bukan merupakan keuntungan, melainkan merupakan
biaya aktual yang dikeluarkan oleh pemberi pinjaman, seperti biaya sewa gedung, gaji
pegawai dan peralatan kantor. Hukum Islam memperbolehkan pemberi pinjaman untuk
meminta kepada peminjam untuk membayar biaya-biaya operasi di luar pinjaman pokok,
tetapi agar biaya ini tidak menjadi bunga terselubung komisi atau biaya ini tidak boleh dibuat
proporsional terhadap jumlah pinjaman.11

E. MANFAAT QARDH

Al-Qardh merupakan misi sosial perbankan syariah. Misi sosial ini sebagai upaya
tanggung jawab sosial perbankan syariah yang bertujuan meningkatkan citra bank,
meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah, dan menumbuhkan pemberdayaan
masyarakat. Manfaat akad Qardh dalam praktik perbankan syariah banyak sekali diantaranya
sebagai berikut:

1)Memungkinkan bagi nasabah yang butuh dana cepat dalam rangka yang relative pendek,
sehingga dapat menghidupkan kembali usahanya.
2)Qardh Hasan juga salah satu pembeda antara LKS (Lembaga Keuangan Syariah) dengan
LKK (Lembaga Keuangan Konvensional). Dalam LKS terkandung misi social oriented
disamping misis komersil yang dikenal dengan hasan (profit oriented) dan itu tidak
disyaratkan di dalam akad.
3)Adanya misi sosial kemasyarakatan akan menjadi nilai positif sehingga dapat meningkatkan
citra baik dan loyalitas masyarakat terhadap LKS, yang pada akhirnya saling
menguntungkan, serta dapat menghidupkan ekonomi masyarakat sebagai nasabah dan LKS
sebagai penyalur pembiayaan. Dari sini akan tercipta sinergi positif antara LKS dengan
masyarakat.12

11
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007)
12
Mardani D., Fiqh Ekonomi Islam: Fiqih Muamalah (Jakarta: Kencana, 2012).

7
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Dari pembahasan yang terurai dapat disimpulkan bahwa Akad Al-Qardh adalah
perikatan atau perjanjian antara kedua belah pihak, dimana pihak pertama meminjamkan
harta kepada pihak kedua sebagai peminjam uang atau orang yang menerima harta yang
dapat ditagih atau diminta kembali harta tersebut, dengan kata lain meminjamkan harta
kepada orang lain yang mebutuhkan dana cepat tanpa mengharapkan imbalan.

Dana Qardh bersumber dari bagian modal dan keuntungan yang disisihkan dari
Lembaga Keuangan Syariah (LKS), serta lembaga lain atau individu yang mempercayakan
penyaluran infaqnya lewat LKS.

Qardh dalam Praktik Perbankan syariah memiliki banyak manfaat tidak hanya bagi
nasabah karena dirasa sangat membantu dan tertolong juga bagi Bank itu sendiri, Qardh ini
tidak akan merugikan Bank Syariah dan justru itulah kelebihan dari Bank syariah yang dalam
operasionalnya berbeda dari Bank Konvensional, tidak hanya mengejar keuntungan tetapi di
dalamnya terdapat unsur sosial tabarru’ atau tolong-menolong.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abdulallah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk. (t.thn.). hal. 159-161.

al-Mishri, R. Y. (2012). Madza Fa‘ala al-Iqtishadiyun al Muslimun. Damaskus: Dar al-


Maktabi.

al-Mishri, R. Y. (2012). Riba al-Qurudh wa Adillatu Tahrimihi. Damaskus: Dar al-Maktabi.

Anshori, A. G. (2009). Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Ascarya. (2007). Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Mardani D. (2012). Fiqh Ekonomi Islam: Fiqih Muamalah. Jakarta: Kencana.

Masruri, A., Zainur, A., & Khairul, M. (2018). Konsep dasar dan Implementasi Qardh
(Pinjaman). Sains Ekonomi Islam, hal. 3.

Putra, N. &. (2017). Kegiatan Usaha Bank Syariah. Yogyakarta: Kalimedia.

Sjahdeini, S. R. (1999). Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Suhendi, H. (t.thn.). Fiqh Muamalah. hal. 47.

Tim Laskar Pelangi. (2013). METODOLOGI FIQIH MUAMALAH Diskursus Metodologis


Konsep Interaksi Sosial Ekonomi. Kediri: Lirboyo Press.

Anda mungkin juga menyukai