Anda di halaman 1dari 9

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PROSES

PEMBELAJARAN

M. Zahir Bahar D 23010180255, Salma Nibras Gitaratri 23010200061,


Siti Musyarofah 23010200023, Uswatun Khasanah 23010200054

Pendidikan Agama Islam


Institut Agama Islam Negeri Salatiga

Abstract
Indonesia is a multicultural country consisting of various tribes, languages and cultures different
religions. On the one hand, this diversity is an advantage and an asset country to protect. But on
the other hand, this diversity is possible can lead to conflict in society. So, know the national
motto "Bhinneka Tunggal Ika" must be instilled in the younger generation from an early age so
that they can Play a role in maintaining unity in a diverse nation. one attempt to solve this
problem, the realization is to realize the concept Multicultural Education in Indonesian
Education.

Key Words: Multicultural Education, Concept

Abstrak

Indonesia adalah negara multikultural yang terdiri dari berbagai suku, bahasa dan budaya agama
yang berbeda. Di satu sisi, keragaman ini merupakan keuntungan dan aset negara untuk
dilindungi. Tetapi di sisi lain, keragaman ini mungkin bisa menjadi konflik di masyarakat. Jadi,
ketahuilah semboyan negara "Bhinneka Tunggal Ika" harus ditanamkan pada generasi muda
sejak dini agar mereka bisa berperan dalam menjaga persatuan dalam bangsa yang beragam.
salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini, realisasinya adalah mewujudkan konsep
Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Indonesia.

Kata Kunci: Pendidikan Multikultural, Konsep


PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang memiliki tingkat keragaman yang
pluralistik. Ali Maksum menjelaskan bahwa kemajmukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua
perspektif, yaitu; perspektif horizontal dan vertikal. Perspektif horizontal kemajemukan yang
meliputi perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, pakaian, makanan dan adat istiadatnya.
Sementara dalam perspektif vertikal kemajmukan bangsa dapat dilihat dari perbedaan tingkat
pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial kemasyarakatan.

Bangsa ini juga memiliki semboyan nasional "Bhineka Tunggal Ika", yang artinya
walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Harus diakui bahwa perbedaan ini adalah anugerah dan
anugerah dari Tuhan. Keberagaman ini dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi
masyarakat Indonesia. Efek positifnya adalah Indonesia memiliki kekayaan budaya yang kaya
dan beragam, sedangkan efek negatifnya adalah keragaman tersebut dapat menimbulkan konflik
antar kelompok masyarakat yang berujung pada ketidak stabilan keamanan, sosial, politik dan
ekonomi. Tragedi kekerasan antarkelompok yang berulang di seluruh Indonesia menunjukkan
betapa rapuhnya rasa solidaritas, betapa kuatnya prasangka antar kelompok, dan betapa
rendahnya nilai-nilai multikultural.

Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai
wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki
kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada
perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.
Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui
dan menghormati keanekaragaman budaya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode atau pendekatan penelitian kepustakaan, dan


penelitian kepustakaan atau bibliografi dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengolah bahan
penelitian. Data perpustakaan seringkali merupakan sumber sekunder, yaitu peneliti memperoleh
bahan atau data dari sumber sekunder daripada data primer di lapangan. Berdasarkan hal
tersebut, pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan mengkaji atau menelusuri
beberapa jurnal, buku dan dokumen dan sumber data atau informasi lain yang dianggap relevan
dengan penelitian.

PEMBAHASAN

A. Metode Pembelajaran Dalam Pendidikan Multikultural

Metode atau method secara harfiyah berarti cara berasal dari bahasa greeka, metha
(melalui atau melewati) dan hodos (jalan atau cara) yang harus dilalui untuk mencapai tujuan
tertentu. Secara umum metode berarti ilmu tentang jalan yang dilalui untuk mengajar kepada
anak didik supaya dapat tercapai tujuan dalam belajar dan mengajar. Sebagai sebuah konsep
yang harus dituangkan ke dalam sistem kurikulum, biasanya pendidikan multicultural secara
umum menggunakan metode yang beragam. Adapun metode yang digunakan dalam pendidikan
multicultural adalah sebagai berikut :

1. Metode kontribusi

Penerapan metode ini pembelajar diajak berpartisipasi dalam memahami dan


mengapresiasi kultur lain. Pembelajar bisa melibatkan pelajaran atau pengalaman yang berkaitan
dengan peristiwa ini. Namun perhatian yang sedikit diberikan kepada kelompok-kelompok etnik
baik sebelum atau sesudah even dan sejarah peristiwa bisa dieksplorasi secara mendalam.

2. Metode pengayaan

Metode ini memperkaya kurikulum dengan literature dari atau tentang masyarakat yang
berbeda kultur atau agamanya, penerapan metode ini misalnya dengan mengajak pembelajar
untuk menilai atau menguji dan kemudian mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi
pembelajar tidak mengubah pemahamannya tentang hal itu seperti pernikahan.

3. Metode tranformatif

Metode ini memungkinkan pembelajar melihat konsep-konsep dari sejumlah budaya


etnik dan agama secara kritis. Metode ini dapat mengubah struktur kurikulum dan memberanikan
pembelajar untuk memahami isu dan persoalan dari beberapa etnik dan agama tertentu, misalnya
membahas konsep makanan halal dari agama atau kebudayaan tertentu yang berpotensi
menimbulkan konflik dalam masyarakat. Metode ini menuntut pembelajar untuk mengelola
pemikiran yang kritis.
4. Metode pembuatan aksisosial

Metode ini mengintregasi metode tranformasi dengan aktivitas nyata dimasyarakat, yang
pada gilirannya bisa merangsang terjadinya perubahan sosial. Pembelajar tidak hanya dituntut
untuk memahami dan membahas isu-isu sosial tetapi juga melakukan sesuatu yang penting,
terkataitan dengan hal itu. Tujuan utama metode ini adalah mengajarkan pembelajar berfikir dan
kemampuan mengambil keputusan. 1

B. Pembelajaran yang Humanis Menurut Jurgen Habermas


Jurgen Habermas lahir di kota Dusseldorf, Jerman pada 18 Juni 1929. Ia menempuh studi
di Universitas Gottigen dengan focus studi sastra Jerman, filsafat dan ikut serta dalam kuliah-
kuliah ekonomi dan psikologi. Di Universitas Bonn ia juga belajar filsafat, dan pada tahun 1954
ia berhasil meraih gelar doktor filsafat pada usia 27 tahun.2 Setelah lulus, Habermas bergabung
dengan Mazhab Frankfurt dan menjadi asisten Adorno pada tahun 1956. Ia menjabat sebagai
profesor filsafat di Universitas J. Von Goethe, Frankfurt pada tahun 1964.3
Adapun dalam bidang teori pembelajaran, Jurgen Habermas meyakini bahwa, proses
pembelajaran sangat dipengaruhi oleh adanya interaksi, baik interaksi dengan lingkungan
maupun interaksi yang terjadi dengan sesama manusia. Pengembangan teori pembelajaran
humanisme oleh Jurgen Habermas melahirkan tiga bagian penting dalam proses pembelajaran,
yaitu: belajar teknis (technical learning), belajar praktis (practical learning), dan belajar
emansipatoris (emancipator learning). Adapun uraian dari ketiga tipe belajar, yang
dikelompokkan oleh Jurgen Habermas, ialah sebagai berikut:
1. Belajar teknis (technical learning)
Yang dimaksud belajar teknis ialah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi
dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan, perlu
dipelajari sehingga peserta didik, dapat menguasai dan sekaligus mengelola alam sekitarnya
dengan baik. Melalui belajar teknis, peserta didik menguasai dan mengelola alam dengan cara
1
Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama:Membangun Multikulturalisme Indonesia,dalam Pendidikan
Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta:PT Gelora Aksara Pratama.
2
Lubis, Akhyar Yusuf. (2015). Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari Teori Kritis, Culture Studies, Feminisme
Postkolonial hingga Multikulturalisme, Jakarta: Rajawali Pers.
3
Hardiman, F. Budi. (2009). Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama
Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu. Adapun keilmuan yang
dapat dipelajari melalui cara belajar teknis, ialah ilmu-ilmu alam atau sains.
2. Belajar Praktis (practical learning)
Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berintegrasi, tetapi pada tahap ini yang lebih
dipentingkan adalah integrasi antara dia dan orang-orang di sekelilingnya. Pada tahap ini
pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan
terlepas, kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman terhadap alam itu justru relevan
dan berkaitan dengan kepentingan manusia. Adapun bidang keilmuan yang dapat dipelajari
melalui cara belajar praktis ialah bidang-bidang keilmuan sosial, seperti sosiologi, komunikasi,
psikologi, antropologi, dan lain sebagainya.
3. Belajar Emansipatoris (emancypatory learning).

Dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang
sebaik mungkin, tentang perubahan (transformasi) cultural dari suatu lingkungan. Bagi Jurgen
Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi cultural ini dianggap sebagai, tahap
belajar yang paling tinggi. Untuk itulah, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan
bahasa, amat diperlukan, hal ini bertujuan untuk memahami proses transformasi cultural
tersebut.4
C. Lembaga-Lembaga Pendidikan Non Formal, Formal Dan Informal Dalam Pendidikan
Multikultural
Implementasi paradigma pendidikan multikultural setidaknya menjadi salah satu
perhatian, karena secara implisit dalam UU No. 20/ tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dinyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, tidak
diskriminatif, menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa; pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan
sistem yang terbuka dan multimakna.(UU No.20/ tahun 2003 pasal 4:1 dan 2).
Pendidikan multikultural di Indonesia dapat diimplementasikan, baik pada jalur
pendidikan formal, informal maupun nonformal. Pada pendidikan formal tingkat pendidikan
dasar, pendidikan menengah dan tinggi wacana pendidikan multikultural dapat
diimplementasikan dengan cara memasukan muatan wawasan multikultural pada materi
4
Labaso, Hestiana Ratna dan Syahrial. (2021). Pengembangan Teori Pembelajaran Humanisme menurut Jurgen
Habermas serta Relevansinya dalam Pendidikan Islam, ECIE Journal, Vol. 02 (01). 44.
kurikulum terkait seperti agama, pendidikan kewargaan/civic education, sosiologi atau materi
lain yang relevan. Disamping itu dapat diimplementasikan melalui pendekatan, metode dan
model pembelajaran seperti diskusi, tugas kelompok, dan Contextual Teaching and Learning.
Pada pendidikan non formal muatan pendidikan multikultural dapat diimplementasikan dengan
menanamkan nilai-nilai multikultural pada pendidikan yang dilakukan oleh keluarga atau
lingkungan secara mandiri. Wawasan multikultural dapat diberikan kepada anak dari hal yang
sederhana seperti menyadari perbedaan jenis kelamin dan gender, pengetahuan tentang
bermacam adat istiadat, toleransi antara sesama anggota keluarga dan teman sepermainan dan
lain-lain.
Sementara pada pendidikan non formal wawasan pendidikan multikultural dapat
diimplementasikan oleh lembaga pelatihan, kegiatan belajar masyarakat, kelompok belajar dan
majlis taklim melalui pelatihan-pelatihan, pengkajian-pengkajian dan pengajian-pengajian yang
berwawasan multikultural, tidak fanatik buta pada satu faham/pengetahuan, tidak memupuk
nilai-nilai primordialisme dan mono etnik. Sebaliknya pendidikan dilaksanakan dengan
menekankan keterbukaan, kebersamaan, toleransi, bahkan sejak dini.
Dalam Islam pendidikan berfungsi untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar
mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas hidup di muka bumi sebagai
abdullah, yang harus tunduk dan taat terhadap segala aturan dan kehendak Allah, mengabdi
hanya kepada Allah maupun sebagai khalifah Allah, baik menyangkut pelaksanaan tugas ke
khalifahan terhadap diri sendiri, rumah tangga, masyarakat dan tugas kekhalifahan terhadap
alam.5 Menurut Muhaemin di antara tugas kekhalifahan dalam masyarakat adalah mewujudkan
persatuan dan kesatuan umat, tolong menolong dalam kebaikan, menegakkan keadilan dalam
masyarakat, bertanggungjawab terhadap amar makruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap
golongan masyarakat yang lemah dan lain-lain. Sementara yang berkaitan dengan tugas
kekhalifahan yang berkaitan dengan alam di antaranya membudayakan alam, mengalamkan
budaya dan mengislamkan kultur.
Pendidikan Islam merupakan usaha yang dilakukan dalam menggali dan
mengembangkan potensi peserta didik yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia atau
mewujudkan peserta didik menjadi Insan Kamil. Tidak mudah mencapai Insan kamil, perlu

5
Muhaemin et. all. 2004. Paradigma Pendidikan Islam- Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
persiapan dan pembelajaran hidup yang maksimal, dimana orang yang sudah masuk katagori
Insan Kamil, secara manusiawi sudah sempurna, relatif sudah tidak ada problem ketuhanana dan
kemanusiaan. Sudah optimal secara hablum min Allaah wa hablun min an- nas, atau manusia
yang sudah bisa mengoptimalkan dan menggunakan Multiple Intelegence-nya secara seimbang
dalam segala aspek kehidupan.
Karena pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian dari pendidikan nasional, maka
sesungguhnya pendidikan Islam di Indonesia-pun bisa mengimplementasikan wawasan
pendidikan multikultural. Pada dasarnya Islam sudah “beragam”sejak kelahirannya, setidaknya
menurut catatan sejarah. Pendidikan Islam-pun beragam, maka orang Islam tidak akan dianggap
mengingkari sejarah bila mengimplementasikan pendidikan yang multikultural. Pada
kenyataannya untuk mengajarkan Islam saja, seorang guru atau dosen sudah biasa
mengimplementasikan wawasan multikultural. Dalam pembelajaran fiqih misalnya satu
peribadatan bisa dilaksanakan secara beragam menurut keyakinan dan pemahaman (fiqh) yang
berbeda intern umat Islam, bagaimana kita membelajarkan peserta didik secara monokultur?
Toleransi beragamapun bahkan sudah terlebih dahulu diajarkan oleh Allah melalui ayat Al-
Quran (surat al-Kaafirun, diantaranya) dan diajarkan nabi melalui Sunnahnya (kebersamaan
antara kaum Muhajirin dan Anshor, diantara sampelnya); manusia diciptkan Allah laki-laki dan
perempuan dengan berbeda bangsa dan suku, supaya manusia saling mengenal ( bagian dari ayat
al-Quran surat An-Nisa, misalnya).
Yang sangat menarik adalah pendidikan Islam informal seperti majlis taklim,barangkali
agak ideal kalau paradigama multikultural diimplementasikan melalui jenis pendidikan Islam
semacam ini. Menurut hemat penulis pada majlis taklim-pun wawasan dan paradigma
pendidikan multikultural dapat disampaikan, mungkin dimulai dari masalah yang sangat
sederhana dan keseharian, seperti masalah toleransi beragama baik internal agama Islam maupun
antar umat beragama. Kesan sementara pengajian dan pengkajian melalui majlis taklim, relatif
kurang “multi” dan fanatik madzhab, ini tidak berarti sama sekali sulit, hanya perlu dibiasakan
(pembiasaan bagi guru/ustadz maupun murid/santrinya) untuk mengaji dan mengkaji fiqih
berbagai madzhab, mengaji dan mengkaji aqidah dari berbagai aliran, membaca alqur’an dengan
qiroah sab’ah, mengaji dan mengakaji ilmu Islam dengan berbagai cara dari berbagai sudut
pandang, semuanya dimaksudkan untuk melaksanakan pendidikan dan pengajaran dengan
memasukan nilai-nilai multikultural pada setiap materi bahasan maupun pendekatan
pembelajaran.
Dengan demikian tidak akan ada keraguan bagi kita para pendidik Islam untuk
mengimplementasikan wawasan multikultural dalam pendidikan yang kita lakukan. Dengan
pendidikan multikultural Islam akan semakin inklusif tidak eksklusif, membumi tidak melangit,
kontekstual tidak tekstual, dan betul-betul merupakan bagian dari perwujudan Islam sebagai
rahmatan lil a’lamin.6

KESIMPULAN

Dalam pendidikan multikultural terdapat beberapa metode yang digunakan untuk proses
pembelajaran. Adapun metode itu meliputi: metode konstribusi, metode pengayaan, metode
tranformatif, metode pembuatan aksisosial. Adapun menurut Jurgen Habermas, dalam teori
pembelajaran, proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh adanya interaksi, baik interaksi
dengan lingkungan maupun interaksi yang terjadi dengan sesama manusia. Pengembangan teori
pembelajaran humanisme oleh Jurgen Habermas melahirkan tiga bagian penting dalam proses
pembelajaran, yaitu: belajar teknis (technical learning), belajar praktis (practical learning), dan
belajar emansipatoris (emancipator learning).

Adapun dalam lembaga pendidikan non formal, formal dan informal juga harus
diterapkan pendidikan multikultural. Pada pendidikan formal tingkat pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan tinggi wacana pendidikan multikultural dapat diimplementasikan
dengan cara memasukan muatan wawasan multikultural pada materi persiapan dan pembelajaran
hidup yang maksimal, dimana orang yang sudah masuk katagori Insan Kamil, secara manusiawi
sudah sempurna, relatif sudah tidak ada problem ketuhanana dan kemanusiaan. Selian itu juga
pada pendidikan informal yang berupa majlis taklim,barangkali agak ideal. Sementara pada
pendidikan nonformal wawasan pendidikan multikultural dapat diimplementasikan oleh lembaga
pelatihan, kegiatan belajar masyarakat, kelompok belajar dan majlis taklim melalui pelatihan-
pelatihan, pengkajian-pengkajian dan pengajian-pengajian yang berwawasan multikultural.

6
Sopiah. (2009). Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam. Forum Tarbiyah, 162-165.
DAFTAR PUSTAKA

Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama:Membangun Multikulturalisme


Indonesia,dalam Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta:PT Gelora
Aksara Pratama.

Hardiman, F. Budi. (2009). Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan


Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.

Labaso, Hestiana Ratna dan Syahrial. (2021). Pengembangan Teori Pembelajaran Humanisme
menurut Jurgen Habermas serta Relevansinya dalam Pendidikan Islam, ECIE Journal,
Vol. 02 (01). 44.
Lubis, Akhyar Yusuf. (2015). Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari Teori Kritis, Culture Studies,
Feminisme Postkolonial hingga Multikulturalisme, Jakarta: Rajawali Pers.
Muhaemin et. all. 2004. Paradigma Pendidikan Islam- Upaya mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Sopiah. (2009). Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam. Forum Tarbiyah, 162-165.

Anda mungkin juga menyukai