Anda di halaman 1dari 9

Nama : Farhan Suwan Murtadho

NIM : 02011282025159
Kelas : A indralaya

Rasisme dan Penerapan Pasal Makar terhadap


Kebebasan Ekspresi Politik Papua

BAB I
1. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (machtsstaat), maka kedudukan hukum
harus ditempatkan di atas segala-galanya. Setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan
hukum tanpa kecuali.1
Tindak pidana merupakan bagian dari kejahatan. Dalam hal ini, yang berhubungan
langsung dengan tertib hukum dan proses berbangsa dan bernegara adalah tindak pidana
dalam kejahatan khususnya kejahatan terhadap Negara/keamanan Negara. Secara
sosiologis disebut tindak pidana politik, kata politik, kata politik berasal dari bahasa
Yunani “politia” artinya “segala sesuatu yang berhubungan dengan negara atau segala
tindakan, kebijaksanaan, siasat mengenai pemerintahan suartu Negara.2
Dalam Wetboek van Strafrecht(WvS) telah terdapat pembagaian tindak pidana antara
kejahatan dan pelanggaran, yang mana pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran
disimpiulkan dari keterangan Memorie van Toelichting didasarkan pada kenyataan
banyaknya masyarakat yang melakukan perbuatan-perbuatan tercela/melawan hukm
dan pantas di pidana, bahakan sebelum dinyatakan demikian oleh UU.
Misalnya pembuat/penjahat makar yang pada dasarnya melanggar kepentingan hukum
terhadap nyawa presiden dan atau wakil presiden, kebebasannya atau kemampuannya

1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 55
2
Bayu Dwiwiddy Jatmiko, Periodisasi Pengaturan Kejahaatan Keamanan Negara di Indonesia, Jurnal Legality
Universitas Muhammadiyah Malang
dalam menjalankan roda pemerintahan negara juga menyerang kepentingan hukum
masyarakat yang sekaligus menyerang kepentingan hukum penduduk negara.3
Kejahatan terhadap keamanan negara (misdrijven tegen veiligheid van de staat) dalam
Bab I Buku kedua KUHP, mulai dari pasal 104 sampai dengan pasal 129. Objek
kejahatan dari jenis-jenis kejahatan terhadap keamana negara ada berbagai bidang
kepentingan hukum negara, misalnya kepentingan hukum atas keselamatan dan
keamana presiden dan wakil presiden, keamanan pemerintahan dalam melaksanakan
tugasnya, kepentingan hukum bagi keutuhan wilayah negara, kepentingan hukum atas
rahasia negara, kepentingan hukum atas pertahanan dan keamanan negara terhadap
serangan dari luar, dan lain sebagainya. Semua itu tercermin dari rumusan dalam pasal-
pasal yang bersangkutan. Kejahatan terhadap keamanan negara dalam KUHP
dirumuskan mulai dari pasal 104 sampai dengan pasal 1274.
Yang mana pada tersebut terdapat kejahatan terhadap negara yang mana disebut
dengan “Makar”. Makar berasal dari kata “aanslag” (Belanda), yang artinya
penyerangan atau serangan. Istilah aanslag terdapat dalam KUHP pada pasal 87, pasal
104, pasal 105, pasal 106, pasal 107, pasal 130, pasal 139a, pasal 139b, pasal 140 (Pasal
105 dan 130 dianggap tidak berlaku berdasarkan UU.
Makar yang dimuat dalam pasal 139a, Pasal 139b, dan pasal 140 tidak termasul dalam
Bab mengenai Kejahatan terhadap Keamanan Negara, melainkan masuk dalam
Kejahatan terhadap Negara Sahabat dan terhadap Kepala Negara Sahabat dan wakilnya.
Dalam bab ini akan dibicarakan makar yang masul terhadap kepentingan hukum atas
keamanan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Dalam perbendaharan hukum pidana, aanslag telah lazim diterjemahkan dengan kata
makar, yang dalam undang-undang diberikan rumusann “suatu keadaan bilamana makar
itu terjadi” atau dengan kata lain menyebabkan syarat untuk terjadinya suatu makar dari
suatu perbuatan tertentu, yaitu dalam pasal 87 yang rumusan aslinya sebagai berikut.
Masih mengenai unsur maksud, makar juga harus ditunjukan bukan pada pribadinya,
melainkan ditunjukan pada presidennya. Artinya, disamping maksud membunuh dan
sebagainya, harus diketahui bahwa yang akan di bunuhnya atau rampas
kemerdekaannya itu bukan si A atau si B, melainkan seorang presiden NKRI. Oleh

3
Adam Chazawi (I), Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Cetakan VIII), (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2014), hlm.
122
4
Adam Chazawi, Kejahatan Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia
karena itu perbuatan dengan maksud membunuh si A yang ia tidak mengetahui bahwa si
A tersebut adalah seorang presiden. Syarat pengetahuan ini harus ada dari sebab adanya
unsur/perkataan maksud yang diletakkan sebelum dimuka kata/unsur presiden.
Sebagaimana didalam MvT WvS Belanda diterapkan bahwa jika unsur kesengajaan
(opzettelijk) dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, unsur itu harus ditunjukan pada
semua unsur yang disebutkan setelah unsur/kata sengaja. Sementara unsur maksud
adalah bagian dari kesengajaan.5
Tindak pidana makar terdiri dari beberapa macam bentuk tindak pidana seperti tindak
pidana makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa Presiden atau wakil
Presiden, tindak pidana makar dengan maksud untuk membawa seluruh atau sebagian
wilayah negara kebawah kekuasaan asing atau untuk memisahkan sebagian wilayah
negara, dan tindak pidana makar dengan maksud merobohkan/menggulingkan
pemerintah. Dilihat dari macam-macam jenis tindak pidana makar, tindak pidana makar
dengan maksud merobohkan pemerintah, merupakan salah satu tindak pidana yang
berkaitan langsung dengan adanya pemerintahan yang berlangsung di suatu negara.
Oleh karena itu, tindak pidana makar dengan maksud merobohkan/menggulingkan
pemerintahan menjadi fokus dalam kajian ini. Tindak pidana makar dengan maksud
merobohkan pemerintah, menyebabkan munculnya beberapa pengaturan-pengaturan
tindak pidana makar yang dibuat pemerintah sebagai upaya untuk mengamankan
jalannya pemerintahan yang sedang berlangsung.
Tindak pidana makar untuk merobohkan pemerintah, tentunya disikapi pihak
pemerintah dengan membuat beberapa aturan maupun instrumen hukum dalam
meminimalisir tindak pidana makar. Pengaturan hukum maupun instrumen hukum yang
dibuat oleh pemerintah, tentu memiliki beberapa konsep dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan. Konsep tersebut dapat dilihat dari politik hukumnya. William
Zevenbergen, mengutarakan bahwa politik hukum mencoba menjawab pertanyaan,
peraturan-peraturan hukum mana yang patut untuk dijadikan hukum.6 Perundang-
undangan itu sendiri merupakan bentuk dari politik hukum. Dalam rangkaian tulisan ini,
yang diambil permasalahannya adalah politik hukum pengaturan tindak pidana makar
kejahatan terhadap keamanan negara. Pengaturan tindak pidana makar dapat dilihat dari

5
PAF Lamitang (I), Delik-Delik Khusus Kejahatan yang Ditunjukkan terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak yang
Timbul dari Hak Milik, (Bandung: Tariso, 1979).
6
Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Cetakan II, Jakarta, 2011, Hlm 19
politik hukum khususnya dalam pengambilan kebijakan yang digunakan sebagai
regulasi. Politik Hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang
hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku yang bersumber dari nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.7
Kebijakan dalam hal ini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci, dan
mendasar dalam merumuskan dan menetapkan pengaturan tindak pidana makar yang
telah dan yang akan dilakukan. Oleh karena itu politik hukum menyerahkan otoritas
legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai
yang ada di masyarakat dan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan
dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.8 Dengan kata lain politik hukum sedikit
banyak mengikuti tata nilai yang berlaku secara efektif mengatur kehidupan
masyarakat. Berkaitan dengan Kebijakan Legislasi, tentunya tidak terlepas dari
pandangan politik hukumnya. Perjalanan Indonesia dalam politik hukum pengaturan
tindak pidana makar, mengalami pasang surut respon pemerintah mulai dari kebijakan
yang dikeluarkan maupun instrumen-instrumen hukum sebagai bentuk respon
pemerintah dari adanya tindak pidana makar di Indonesia. Pada masa penjajahan, elit
setempat maupun pemerintah meggunakan instrumen hukum dalam KUHP sebagai
bentuk penanganan dari adanya tindak pidana makar saat itu. Spesifikasi instrumen
yang dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat di Pasal 107 KUHP
yang mengatur bagaimana seseorang yang berupaya merobohkan pemerintah. Selain itu
pada periode berikutnya, kebijakan-kebijakan maupun peraturan yang dibuat
pemerintah dalam menyikapi tindak pidana makar dapat dilihat pada masa orde lama,
pemimpin revolusioner saat itu pun membuat regulasi khusus bagi pelaku kejahatan
politik yaitu melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946. Dalam KUHP terjemahan
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada Pasal 10 dicantumkan pidana
tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda. Tentulah
pencantuman ini didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, tentang
pidana tutupan..9 Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan
yang disebabkan ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam prakteknya peradilan dewasa

7
Green Mind Community (GMC), Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Total Media, Cetakan I, Yogyakarta,
2009, Hlm 240.
8
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999,Hlm 14
9
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, Hlm 210
ini tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan. 10 Instrumen hukum itu pun tak
berlangsung lama seiring adanya unifikasi KUHP untuk wilayah seluruh Indonesia.
Sehingga Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tersebut tidak berlaku dan tetap
menggunakan ketentuan KUHP dalam pasal 107.
Respon yang diharapkan dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan adalah sejalan
dengan amanat UUDNRI 1945 dan tidak bertentangan. Hal demikian dijalankan untuk
menjamin sesuai Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yaitu, “.Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang” Hal ini merujuk
pada keadilan bagi warga negara dalam proses berbangsa dan bernegara dalam
mengemukakan pendapatnya, sehingga muncul keseimbangan antara pengaturan tindak
pidana makar dalam kejahatan terhadap keamanan negara dengan keadilan yang didapat
warga negara. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara hukum memerlukan instrumen
hukum pengaturan tindak pidana makar dalam pelaksanaan pemerintahan di Indonesia.
Mengingat dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan “Segala Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualianya”.11
Negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara republik
Indonesia 1945 yang melindungi kehidupan bersama dan untuk melindungi masyarakat
yang adil dan makmur yang harus dijauhkan dari segala macam bahaya baik dari dalam
maupun luar negeri.12 Oleh karena itu, demi menciptakan hubungan yang harmonis
antara rakyat dan pihak penguasa, pihak pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan
negara harus dapat melaksanakan pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip
negara hukum dan demokrasi, good governance, dan melakukan pembangunan yang
merata bagi seluruh daerah. Selain itu, warga negara juga harus mendapatkan jaminan
hak-hak asasi manusia dari adanya instrumen hukum pengaturan tindak pidana makar di
dalam konsep negara hukum dan demokrasi.

10
Andi Hamzah, ibid
11
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
12
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, Hlm 33
2. Rumusan Masalah
2.1 Bagaimana Proses terjadinya Rasisme pasal Makar terhadap Kebebasan
Ekspresi Politik Papua
2.2 .
2.3

BAB II
1. Pembahasan
1.1 Bagaimana Proses terjadinya Rasisme pasal Makar terhadap Kebebasan
Ekspresi Politik Papua
Tindakan dan kebijakan diskriminasi telah dialami oleh masyarakat Indonesia sejak
masa sebelum kemerdekaan. Pemerintah Hindia Belanda membagi masyarakat
Indonesia ke dalam 4 (empat) kelompok, yakni: golongan Eropa; golongan Indo;
golongan Timur Asing, dan golongan Bumiputera. Pembedaan masyarakat berpengaruh
pada aspek keturunan, pekerjaan, dan pendidikan. Pembedaan tersebut menunjukkan
bahwa golongan Eropa berkedudukan lebih tinggi dari kulit berwarna khususnya
golonganBumiputera.
Pada masa Orde Lama, perlakuan diskriminasi dapat dilihat dariPPNo. 10 Tahun
1959 yang menetapkan semua usaha dagang kecil milik orang asing khususnya para
pengusaha keturunan Tionghoa di tingkat desa tidak diizinkan. Pada masa pemerintahan
Orde Baru, perlakuan disriminasi terhadap ras dan etnis tertentu semakin terbuka dan
menguat khususnya di bidang pendidikan, ekonomi, kependudukan dan agama.
Pelarangan terhadap warga keturunan Tionghoa untuk terlibat dalam urusan
kepemerintahan, pemberian tanda khusus pada kartu identitas penduduk, aturan
penggantian nama, pembatasan pada kegiatan keagamaan dan kebudayaan/tradisi nenek
moyang, penggunaan SKBRI untuk pengurusan keimigrasian dan tindakan diskriminasi
lainnya.13
Pemerintah Orde Baru memperkenalkan istilah SARA (Suku, Agama, Ras dan
Antargolongan) untuk menjaga suasana harmoni sekaligus mendiskriminasi kelompok

13
Standar Norma dan Pengaturan tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (SNP PDRE) disahkan melalui
Keputusan Sidang Paripurna No.12/SP/X/2018 Tanggal 3 Oktober 2018 pada Putusan Nomor 14 dan ditetapkan
dalam Peraturan Komnas HAM RI No. 4 Tahun 2020 Tanggal 28 September 2020
ras dan etnis tertentu dalam kegiatan mereka sehari-hari. Dengan alasan pemerataan
penyebaran penduduk di kota-kota besar di Pulau Jawa, pemerintah Orde Baru
melaksanakan Program Transmigrasi yang berdampak pada peminggiran kelompok
masyarakat adat dari tempat tinggal mereka akibat peruntukan lahan untuk tujuan
transmigrasi. Pasca Orde Baru, di awal era Reformasi, masyarakat dikejutkan dengan
rentetan konflik horizontal yang terjadi seperti di Ambon, Poso, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Papua, dan di sejumlah tempat lainnya. Peristiwa-peristiwa
tersebut telah merenggut ribuan jiwa serta menyebabkan kerugian harta benda termasuk
ribuan orang harus mengungsi dari kampung halamannya. Fakta menunjukan bahwa
konflikkonflik sosial tersebut dipicu oleh tindakan diskriminasi berdasarkan ras dan
etnis yang berkembang menjadi konflik terbuka dan meluas.
Respon-respon Negara terhadap segala tindakan yang berhubungan dengan Papua
selalu berakhir dengan tindakan hukum yang represif dan dalam persidangan
terlihat unfair trial process. Misalnya dalam kurun waktu 2019-2020, dipicu kasus
rasisme di asrama mahasiswa Papua di Surabaya terjadi peningkatan kasus hukum
dengan dakwaan pasal makar dalam konteks gerakan social-politik memprotes
impunitas pelaku rasisme yang disebabkan oleh sebagian banyak aparat negara dan
kelompok-kelompok politis-fasis. Padahal senyatanya aksi-aksi tersebut merupakan
tindakan hukum konstitusional yang menyangkut kebebasan berekspresi,
menyampaikan pendapat dan dilakukan secara damai. Dari sudut norma perundang-
undangan an sich, baik hukum nasional ataupun hukum internasional hal itu
adalah legitimate. Namun ironisnya, para pelaku rasisme di Surabaya yang melibatkan
politisi dan aparat justru dituntut 1 tahun penjara dan divonis ringan yakni 5-7 bulan
penjara oleh pengadilan. Ketidakadilan penegakan hukum ditambah penangkapan 7
(tujuh) orang peserta aksi memprotes rasisme yang meluas di Papua Agustus, 2019
semakin menambah kuat ingatan kolektif penderitaan dan kekerasan politik yang
mereka alami (memoria passionis) sejak integrasi paksa dengan NKRI tahun 1969.14
Mereka adalah Ferry Kombo (Mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih)
dituntut 10 tahun penjara, Alex Gobay (Ketua BEM USTJ) dituntut 10 tahun penjara,
Hengky Hilapok (Mahasiswa USTJ) dituntut 5 tahun penjara, Irwanus Urobmabin
(Mahasiswa USTJ) dituntut 5 tahun penjara, Buktar Tabuni (aktivis ULMWP) dituntut

14
Jurnal Hukum, Argumen Hukum Indonesia yang Rasis, Tahanan Politik Papua
17 tahun penjara, Steven Itlay (ketua KNPB Timika) dituntut 15 tahun penjara, Agus
Kossay (Ketum KNPB Papua) dituntut 15 tahun penjara. Dalam proses persidangan
yang dipindahkan di Pengadilan Negeri Balikpapan semuanya dituntut oleh Jaksa
Penuntut Umum dengan Pasal 106 KUHP (Pasal Makar). Bandingkan dengan pelaku
rasisme di Surabaya yang menjadi sebab awal (pemicu) aksi besar protes rasisme di
Papua hanya divonis ringan. Fakta itu seolah-olah membenarkan bahwa legalized
racism terhadap Papua itu praktik yang dibiarkan bekerja. 15 
Dengan duduk perkara yang samaprotes atas peristiwa rasisme berakhir pemidanaan
kasus di atas merupakan pengulangan dari kasus Tapol di Jakarta yang sudah divonis
berdasar pada tuntutan pasal makar dengan pidana 8 (delapan) dan 9 (sembilan) bulan
penjara. Pemidanaan pada kasus tersebut menurut beberapa keterangan ahli bahwa
ekspresi politik dan protes atas peristiwa rasisme bertentangan dengan konstitusi dan
hukum HAM internasional. Selain itu dalam konteks hukum pidana perbuatan
melakukan kebebasan berekspresi, menyampaikan pendapat berkaitan dengan
keyakinan politik dengan cara damai dan konstitusional tidak dapat dikenakan imperatif
Pasal 106 KUHP (Pasal Makar) dan harus ditafsir secara sistematis dengan Pasal 110
KUHP. Kendati demikian hakim mempertimbangkan bahwa meskipun aksi protes
dilakukan secara damai dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora, lagu Papua
Bukan Merah Putih dinilai sebagai bentuk pengingkaran terhadap Negara. Hakim juga
menafsir unsur makar cukup adanya niat dan permulaan pelasanaan tidak harus adanya
“serangan.” Dalam konteks ini putusan hakim bagi kalangan legal formalist bisa saja
dianggap putusan hukum yang impartial, namun sebenanrya problematis karena dibalik
klaim tersebut sangatlah berkonsekuensi politis dalam maknanya menguntungkan bagi
dominasi elit-elit yang tidak menerima ekspresi politik orang-orang Papua.
Penegak hukum bertindak secara politis dengan memindah tahanan serta proses
persidangan di yurisdiksi Balikpapan dalam sudut pandang hukum kritis harus dicurigai
sebagai upaya untuk menciptakan kondisi di mana dalam persidangan hakim berpotensi
akan menilai dan memutus sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Seperti
halnya putusan bersalah (terbukti melalukan tindak pidana makar) dalam kasus Tapol di
Jakarta, penghakiman dengan vonis makar Tapol cluster Balikpapan yang terbukti
secara legal formal di persidangan akan  sangat berharga secara politis bagi elit politik

15
dan ekonomi NKRI Harga Mati. Serta memberikan pesan secara politis bagi masyarakat
Indonesia bahwa NKRI sedang dipecah belah oleh pihak “tertentu.” Sehingga berpijak
dari konteks demikian penghukuman yang abusive tersebut mendapat legitimasi secara
social dan hukum serta institusinya bekerja seolah-olah berdasar mandat kepentingan
public. Di sini hukum didayagunakan sebagai suatu system yang bekerja melayani the
establishment dengan membentuk false consciousness masyarakat tentang penegakan
hukum yang adil dan berkepastian hukum. 16
Bayangkan saja seorang fotographer bernama Assa Asso (orang Papua)
mengunggah foto tentang masyarakat Papua dalam aksi memprotes rasisme Agustus
2019 dimedia sosialnya sebagai bentuk perlawanan atas rasisme, oleh penegak hukum
didakwa Pasal Makar dengan tuduhan menghasut untuk melawan pemerintah. Penegak
hukum bak Javert dalam novel Victor Hugo Les Miserables yang menampilkan
kekuatan hukum tidak sebagai perwujudan keadilan sosial, melainkan sebagai mesin
canggih pembunuh keadilan. 17

16
Jurnal Komnas HAM edisi Papua, 2015.
17
Journal Asian Human Rights Commission, Human Rights and Peace for Papua, The International Coalition for
Papua, Neglected Genocide , 2013.

Anda mungkin juga menyukai