OLEH
Nim: 33119173
Pertemuan 9
Bank umum berdasarkan prinsip syariah
sub materi:
1. Dasar hukum
UU No. 10 Thn 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 thn 1992 tentang Perbankan pasal 1 ayat
3 huruf menetapkan bahwa salah satu bentuk usaha bank adalah ‘menyediakan pembiayaan
dan atau melakukan kegiatan lain berdasar prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh bank Indonesia’. Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh BI memuat
antara lain :
a. Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syariah
b. Pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syariah
c. Persyaratan bagi pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
Dalam pasal 1 butir 3, UU No 10 tahun 1998 disebutkan bawa: Bank umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang
didalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”
Jadi dengan adanya UU No 10 tahun 1998 tersebut, bank umum dibolehkan untuk
menjalankan :
1. System konvensional atau
2. System syariah atau
3. System konvensional dan cabang syariah
SISTEM BUNGA
1. Penentuan sistem bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus sll untung untuk
pihak bank
2. Besarnya persentase berdsarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
3. Tidak tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun
jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
4. Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh smua agama termasuk agama Islam
5. Pembayaran bunga tetap sperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan
oleh nasabah untung atau rugi.
1. Sistem pengawasan internal, yang terdiri atas unsur-unsur Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), Dewan Komisaris, Dewan Audit, Dewan Pengawas Syariah (DPS), Direktur
Kepatuhan dan SKAI-Internal Syariah Review. Sistem pengawasan internal lebih bersifat
mengatur ke dalam dan dilakukan agar ada mekanisme dan sistem kontrol untuk
kepentingan manajemen
2. Sistem pengawasan eksternal, yang terdiri atas unsur Bank Indonesia, Akuntan Publik,
Dewan Syariah Nasional(DSN) dan Stake Holder. Sedangkan pengawasan eksternal pada
dasarnya untuk memenuhi kepentingan nasabah dan kepentingan publik secara umum
Secara umum peran dan tanggung jawab BI lebih kepada pengawasan aspek keuangan sedang-
kan jaminan pemenuhan prinsip syariah adalah tanggung jawab dan kewenangan DSN dengan
DPS sebagai perpanjangan tangannya. Dalam hal ini kompetensi dan kemampuan pemahaman
syariah tetap wajib dimiliki oleh pengawas Bank dari BI.
Kegiatan usaha bank syariah yang melibatkan aspek operasional dan aspek syariah seperti
dua sisi mata uang yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Berdasarkan Undang-
Undang No.10 tahun 1998 penjelasan pasal 6 huruf dijelaskan bahwa pengawasan operasional
berupa penerapan ketentuan kehati-hatian dilakukan oleh Bank Indonesia sedangkan
pengawasan aspek syariah dilakukan oleh DPS.
Dewan Pengawas Syariah (DPS):
Fungsi Pengawasan Terpadu Berlandaskan Syariah Salah satu ciri yang membedakan antara
bank Islam dengan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS)
pada bank islam. DPS bertugas mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. Dengan kata lain, DPS bertanggung jawab atas produk dan jasa yang
ditawarkan kepada masyarakat agar sesuai dengan prinsip syariah; investasi atau proyek yang
ditangani oleh bank harus juga sesuai dengn prinsip syariah, dan tentu saja bank itu sendiri
harus di kelola sesuai dengan prinsip syariah.
Tugas lain DPS adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang
diawasinya. Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk
diteliti kembali dan difatwakan oleh DSN.
4. Kegiatan usaha bank syariah
Bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan usahanya yang
meliputi :
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
2. Melakukan penyaluran dana
3. Memberikan jasa-jasa
4. Melakukan kegiatan lain
5. Melakukan kegiatan lain yg lazim dilakukan bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah
Nasional.
BADAN HUKUM dan PENDIRIAN
Bentuk badan hukum suatu bank berdasarkan prinsip syariah dapat berupa :
1. Perseroan Terbatas
2. Koperasi, atau
3. Perusahaan Daerah.
MODAL
Modal disetor untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip syariah ditetapkan sekurang
kurangnya sebesar Rp 3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah).
PENDIRIAN
Bank berdasarkan prinsip syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah dengan izin Direksi BI. Bank tersebut hanya dapat didirikan oleh:
1. WNI dan/atau badan hukum Indonesia; atau
2. WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan WNA dan/atau badan hukum asing secara
kemitraan.
KEPEMILIKAN BANK SYARIAH
Modal sendiri bersih merupakan :
Penjumlahan dari modal disetor, cadangan & laba, dikurangi penyertaan & bagi badan
hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah, atau
Penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana
cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum
koperasi.
Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan bank berdasarkan prinsip syariah
dilarang :
1. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank
dan/atau pihak lain di Indonesia
2. berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah, termasuk dari dan untuk
tujuan pencucian uang (money laundring).
5. Bank muamalat
Bank Muamalat Indonesia, adalah bank umum pertama di Indonesia yang menerapkan prinsip
Syariah Islam dalam menjalankan operasionalnya. Didirikan pada 1 November 1991, yang
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia. Mulai beroperasi
pada tahun 1992, yang didukung oleh cendekiawan Muslim dan pengusaha, serta masyarakat
luas. Pada tahun 1994, telah menjadi bank devisa. Produk pendanaan yang ada menggunakan
prinsip Wadiah (titipan) dan Mudharabah (bagi-hasil). Sedangkan penanaman dananya
menggunakan prinsip jual beli, bagi-hasil, dan sewa.
Pembentukan
Ide mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) tercetus dalam sebuah lokakarya MUI bertema
“Masalah Bunga Bank dan Perbankan” yang diadakan pada pertengahan Agustus 1990 di
Cisarua, Bogor. Hasan Basri, selaku Ketua Umum MUI membawakan masalah itu ke Munas MUI
yang diadakan akhir Agustus 1991. Munas MUI itu memutuskan agar MUI mengambil prakarsa
mendirikan bank tanpa bunga. Untuk itu, dibentuk kelompok kerja yang diketuai oleh Sekjen
MUI waktu itu HS Prodjokusumo. Dilakukan lobi melalui BJ Habibie sampai akhirnya Presiden
Soeharto menyetujui didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Bank Islam yang terbentuk disepakati bernama Bank Muamalat Indonesia (BMI). “Muamalat”
dalam istilah fiqih berarti hukum yang mengatur hubungan antarmanusia. Nama alternatif lain
yang muncul pada masa pembentukan itu adalah Bank Syariat Islam. Namun mengingat
pengalaman pemakaian kata ‘syariat islam’ pada Piagam Jakarta, akhirnya nama itu tidak dipilih.
Nama lain yang diusulkan adalah Bank Muamalat Islam Indonesia. Presiden Soeharto kemudian
menyetujui nama terkahir dengan menghilangkan kata “Islam”.
Produk-produk Bank Muamalat
a. Penyaluran Dana
1. Pembiayaan atas dasar prinsip Murabahah
2. Pembiayaan atas dasar prinsip Bai Bithman Ajil
3. Pembiayaan atas dasar prinsip Mudharabah
4. Pembiayaan atas dasar prinsip Musyarakah
5. Pembiayaan atas dasar prinsip Qardh Ul Hasan
b. Penghimpuna Dana
1. Deposito atas dasar prinsip Mudharabah
2. Tabungan atas dasar prinsip Mudharabah
3. Giro atas dasar prinsip Wadi’ah