Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan tuberculosis sebagai Global


Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8.8 juta
kasus baru tuberculosis pada tahun 2002, sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman tuberculosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar
kasus ini terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus di dunia.

Indonesia berada dalam peringkat ketiga terburuk di dunia untuk jumlah


penderita TB. Setiap tahun muncul 500 ribu kasus baru dan lebih dari 140 ribu
lainnya meninggal. Seratus tahun yang lalu, satu dari lima kematian di Amerika
Serikat disebabkan oleh tuberculosis.

Tuberkulosis masih merupakan penyakit infeksi saluran napas yang


tersering di Indonesia. Keterlambatan dalam menegakkan diagnosa dan
ketidakpatuhan dalam menjalani pengobatan mempunyai dampak yang besar
karena pasien tuberkulosis akan menularkan penyakitnya pada lingkungan,
sehingga jumlah penderita semakin bertambah.

Pada wilayah kerja Puskesmas KTK perkiraan suspek TB pada


tahun 2015 sejumlah 240 orang, dan jumlah suspek yang diperiksa
sejumlah 161 orang. Dari jumlah suspek yang diperiksa diperkirakan
masyarakat yang BTA (+) sejumlah 24 orang, namun didapatkan jumlah
BTA (+) sebanyak 9 orang. Target untuk penemuan kasus TB adalah 70%
sedangkan pencapaian pada puskesmas KTK hanya sebesar 37.5% yang
menandakan bahwa penemuan pasien dengan BTA (+) pada wilayah kerja
Puskesmas KTK masih rendah.
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum

Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB


dengan cara memutuskan rantai penularan.

b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui distribusi penyakit TB di wilayah kerja puskesmas
Pakan Salasa.
2. Untuk mengetahui cakupan pelayanan TB di wilayah puskesmas Pakan
Salasa.
3. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengendalian
penyakit TB di wilayah puskesmas Pakan Salasa
4. Untuk meningkatkan koordinasi LP/LS penyelenggaraan program
penanggulangan penyakit TB
5. Untuk mengetahui lebih dini penderita penyakit TB sehingga dapat di
tanggulangi lebih cepat.
6. Untuk mengetahui pengetahuan masyrakat tentang TB.
1.3 Manfaat

1. Meningkatkan kemampuan manajemen program penyakit menular TB


dalam mengelola kegiatan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat
di wilayah puskesmas Pakan Salasa.
2. Dapat menyusun rencana usulan kegiatan kedepannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarajat yang


penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberculosis sebagai Global Emergency. TB adalah penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis.
Sebagian besar tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ
tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).

Tuberkulosis paru (TB Paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama


menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel
yang berarti tonjolan kecil dank eras yang terbentuk waktu sistem kekebalan
membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. TB Paru ini bersifat
menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis jaringan. TB Paru dapat menular melalui udara, waktu
seseorang dengan TB aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.

2.2.2 Etiologi

Tuberkulosis adalah suat penyakit menular yang disebabkan oleh


kuman dari kelompok Mycobacterium Tuberculosis. Terdapat beberapa spesies
Mycibacterium, antara lain: M. Tuberculosis, M. Africanum, M. Bovis, M.
Leprae dsb, yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) antara


lain adalah sebagai berikut:

 Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0.2-0.6 mikron


 Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen
 Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein
Jensen, Ogawa
 Kuman Nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
di bawah mikroskop
 Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam
jangka waktu lama pada suhu antara 4oC sampai minus 70oC
 Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet
 Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman
akan mati dalam waktu beberapa menit.
 Dalam dahak pada suhu antara 30-37oC akan mati dalam waktu lebih
kurang 1 minggu
 Kuman dapat bersifat dormant (tidur/tidak berkembang)

2.2.3 Cara Penularan TB


- Sumber penularan adalah pasien TB BTA Positif melalui percik renik
dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB
dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam
dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang
terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit
dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
- Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif
17%.
- Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang
mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut.
- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.

2.2.4 Gejala

2.1.4.1. Gejala Umum

Batuk terus menerus dan berdahak selama dua minggu atau lebih

2.1.4.2. Gejala Khusus

1 Dahak bercampur darah


2 Batuk darah
3 Sesak nafas dan rasa nyeri dada
4 Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa
kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan, meriang lebih dari sebulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain
tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala
tersebut diatas, dianggap sebagai seorang “suspek tuberkulosis” atau tersangka
penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung.
2.2.5 Diagnosis Tuberkulosis

2.2.5.1 TB Dewasa

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan


ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga specimen SPS
BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.

 kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai


penderita TB BTA positif.

 Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan SPS


diulangi.

Bila ketiga specimen dahak hasilnya negative, diberikan antibiotic


spectrum luas (misalnya Kotrimoksazol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu.
Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi
pemeriksaan dahak SPS.

- Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif


- Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
untuk mendukung diagnosis TB.

1. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA


negative rontgen positif.

2. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk


untuk foto rontgen dada.
Gambar 1. Alur diagnosis TB Dewasa.

2.2.5.2 TB Anak

Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik


dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang
tesedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem
skoring. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam
mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis
TB.
Tabel 2.1 Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB di faskes

Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak - Laporan
jelas keluarga,
BTA

(-)/BTA
tidak
jelas/
tidak
tahu
Uji tuberculin Negative - - Positif (≥
(mantoux) 10mm
atau ≥ 5
mm pada
imunoko
mpromai
s
Berat - BB/TB Klinis -
badan/gizi <90% atau gizi
BB/U <80% buruk
Demam yang - ≥ 2 minggu - -
tidak
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran - ≥ 1cm, - -
kelenjar limfe lebih dari 1
koli, aksila, KGB, tidak
inguinal nyeri
Pembengkaka - Ada - -
n tulang/sendi pembengka
panggul, kan
lutut, falang
Foto toraks Normal/ Gambaran - -
kelainan sugestif
tidak (mendukun
jelas g) TB
Total skor

Gambar 2. Alur diagnosis TB Anak

2.2.6 Pengumpulan dahak


Spesimen dahak dikumpulkan/ditampung dalam pot dahak yang
bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
mudah pecah dan tidak bocor. Pot ini harus tersedia di UPK.

Diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan pemeriksaan 3 spesimen


dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS). Spesimen dahak sebaiknya dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan.

S (Sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang


berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak
untuk mengumpulkan dahak hari kedua.

P (Pagi): dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, segera


setelah tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

S (Sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat


menyerahkan dahak pagi.

Untuk menghindari resiko penularan, pengambilan dahak dilakukan di


tempat terbuka dan jauh dari orang lain, misalnya di belakang puskesmas. Jika
keadaan tidak memungkinkan, gunakanlah kamar terpisah yang memiliki
ventilasi cukup.

2.2.7 Cara membatukkan sputum

 Bantu pasien mengambil posisi berdiri atau duduk (posisi yang


memungkinkan ventilasi dan ekspansi paru yang maksimum)

 Minta pasien untuk memegang bagian luar wadah sputum, atau untuk
klien yang tidak dapat melakukannya, pasang sarung tangan dan pegang
bagian luar wadah tersebut untuk pasien.
 Minta pasien untuk bernapas dalam dan kemudian membatukkan
sekresi. Inhalasi yang dalam memberikan udara yang cukup untuk
mendorong sekresi keluar dari jalan udara ke dalam faring.

 Pegang wadah sputum sehingga pasien dapat mengeluarkan sputum ke


dalamnya.

 Pembacaan Hasil :

Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan


menggunakan skala IUATLD sebagai berikut :

1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative.

2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.

3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + atau (1+)

4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+)

5. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ atau (3+)

2.2.8 Pengobatan

Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam


jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman
(termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis
tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada perut kosong.
Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat ( jenis,dosis dan jangka
waktu pengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat
(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan
perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

1. Tahap Intensif

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi
BTA negative (konversi) pada akhir pengobatan intensif.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu lebih lama.

2.2.9 Paduan OAT di Indonesia

WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and


Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu:

Kategori 1:

 2HRZE/4H3R3
 2HRZE/4HR
 2HRZE/6HE

Kategori 2:

 2HRZES/HRZW/5H3R3E3
 2HRZES/HRZE/5HRE

Kategori 3:

 2HRZ/4H3R3
 2HRZ/4HR
 2HRZ/6HE

Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan


paduan OAT:

Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Kategori 3: 2HRZ/4H3R3

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan


tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) penderita
dalam satu (1) masa pengobatan.

Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid


(Z), dan Etambutol (E). Obat-obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
Isoniazid dan Rifampisin. Diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan
(4H3R3)

Obat ini diberikan untuk:

 Penderita baru TB Paru BTA Positif.

 Penderita TB Paru BTA negative Rontgen positif yang “sakit


berat”.

 Penderita TB ekstra paru berat.

Kategori 2 (2HRZES/HRZW/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan
dengan Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, dan suntikan
streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol setiap hari. Setelah itu diteruskan
dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali
dalam seminggu.

Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah


penderita selesai menelan obat.

Obat ini diberikan untuk:

 Penderita kambuh (relaps)


 Penderita gagal (failure)
 Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan
diberikan 3 kali seminggu (4H3R3)

Obat ini diberikan untuk:

 Penderita baru BTA negative dan rontgen positif sakit ringan.

 Penderita ekstra paru ringan, yaitu TB kelenjar limfe (limfadenitis),


pleuritic eksudativa unilateral, TB kulit, TB tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

Pengawas Menelan Obat (PMO)


Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT
jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang PMO.
Persyaratan:

 Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas


kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati
oleh penderita.

 Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.

 Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

 Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama


dengan penderita.

Tugas:

 Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai


selesai pengobatan.

 Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.

 Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-


waktu yang telag ditentukan.

 Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang


mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan
diri kepada petugas kesehatan.

Pencegahan

Penyuluhan kesehatan merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah


rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai
suatu keadaan dimana individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan
dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan
kesehatannya.
Penyuluhan TB perlu dilakukan karena masalah TB banyak berkaitan
dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan
adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat
dalam penanggulangan TB. Penyuluhan TB dapat dilaksanakan dengan
menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media.

Penyuluhan langsung bisa dilakukan:

 Perorangan
 Kelompok

Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media, dalam bentuk:


 Bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk.
 Media massa, yang dapat berupa media cetak seperti koran dan
majalah, media elektronik seperti radio dan TV.

2.2.10 Rumus Indikator TB

 Suspek: jumlah suspek yang diperiksa x 100%

Perkiraan jumlah suspek yang ada

 CDR: jumlah penderita baru BTA(+) yang dilaporkan x 100%

Perkiraan jumlah penderita baru BTA (+)

 Konversi: jumlah penderita BTA (+) yang konversi x 100%

Jumlah penderita BTA (+) yang diobati

 Kesembuhan: jumlah penderita TB BTA (+) yang sembuh x 100%

Jumlah penderita TB BTA (+) yang diobati


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif dengan mengambil data rekam medis dan
hasil kuisioner pasien TB paru yang sedang menjalani pengobatan di Puskesmas
Pakan Salasa periode tahun 2018.

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian


Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan September – Desember 2018.
Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Desember 2018 di Puskesmas Pakan
Salasa.

3.3. Populasi Penelitian


Populasi penelitian adalah semua pasien TB paru yang menjalani pengobatan
OAT di Pukesmas Pakan Salasa periode 2018.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.4.1. Kriteria Inklusi
Semua Pasien Suspek TB paru kategori 1, yaitu pasien dengan BTA positif,
pasien TB paru BTA negatif, di wilayah kerja Puskesmas Pakan Salasa periode 2018.
3.4.2. Kriteria Eksklusi
1. Pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Pukesmas Pakan Salasa tentang TB
Paru
2. Pasien TB paru dengan pengobatan OAT kategori 1 dan 2.
3. Pasien dengan diagnosis bukan TB paru.
4. Pasien TB paru yang pindah berobat ke alternative lain.
5. Pasien dengan MDR TB dan XDR TB.
6. Pasien dengan profilaksis TB paru.
3.5. Definisi Operasional
Variabel dependen dan independen dibuat berdasarkan definisi operasional,
yaitu dari cara mengukur setiap variabel, alat ukur yang digunakan pada setiap
variabel, hasil ukur pada setiap variabel, dan juga skala yang digunakan pada setiap
variabel.

Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat Ukur Hasil Skala


Variabel dependen
Pasien TB paru dengan 1. Pemeriksaan Buku 0. Kategori 1 Ordinal
Pasien TB
BTA posiif, TB paru mikroskopis register
1. Bukan
paru kategori
BTA negatif foto pasien TB
kategori 1
1
toraks positif, dan TB
ekstra paru. (Depkes
RI, 2006)

Variabel independen

Kepatuhan Kepatuhan pasien Wawancara Kuesioner 0.Tidak patuh Ordinal


minum OAT dalam mengonsumsi 1. Patuh
OAT selama minimal 6
bulan yang terbagi
dalam fase intensif dan
fase lanjutan. (Depkes
RI, 2006)

3.6. Pengumpulan Data


Data diambil dari buku register pasien TB paru puskesmas Pakan Salasa,
pencatatan dilakukan berdasarkan umur, jenis kelamin, alamat, gejala klinis, hasil
pemeriksaan laboratorium..
3.7. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan secara manual, disusun dalam bentuk tabel, dan
dianalisis secara deskriptif untuk menarik kesimpulan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Semua subjek penelitian menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian dan


telah menandatangani informed consent. Proses pengumpulan data dilakukan pada
bulan Agustus 2016 dengan melakukan survey melalui kuesioner yang kami berikan
kepada setiap pasien TB paru di Puskesmas Ipuh. Dari 12 subjek penelitian
didapatkan gambaran kepatuhan minum obat, meliputi kepatuhan pasien terhadap
konsumsi OAT, jadwal pengambilan OAT di puskesmas, serta tingkat keberhasilan
fase intensif dan fase lanjutan. Sebanyak 2 pasien menjalani pengobatan fase intensif
dan 10 pasien menjalani fase lanjutan.
Terdapat delapan pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner terstruktur
untuk mengetahui luaran kepatuhan minum obat pada subjek penelitian yang dibagi
dalam dua kelompok, yaitu kelompok pada fase intensif dan kelompok pada fase
lanjutan.

Tabel 4.1. Gambaran Kepatuhan Minum OAT Fase Intensif


Kategori Ya Kategori Tidak
No Poin Pertanyaan
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1 Apakah pasien mengetahui aturan 2 100% - -
minum OAT
2 Apakah pasien mengetahui jumlah 2 100% - -
OAT yang dikonsumsi
3 Apakah pasien pernah mengurangi - - 2 100%
atau berhenti mengonsumsi OAT jika
telah merasa sembuh
4 Apakah pasien pernah lupa membawa - - 2 100%
OAT jika sedang bepergian jauh dan
lama
5 Apakah pasien rutin mengambil OAT 2 100% - -
di puskesmas jika obat telah habis
6 Apakah pasien pernah dinyatakan - - 2 100%
putus minum OAT dan harus
mengulangi pengobatan dari awal
7 Apakah pasien tetap melanjutkan 2 100% - -
konsumsi OAT jika pasien merasakan
efek samping dari pengobatan
8 Apakah pasien merasa kesulitan untuk - - 2 100%
mengonsumsi OAT

Pada kelompok fase intensif, pertanyaan pertama sebanyak 2 pasien yang


mengetahui aturan minum OAT. Pada pertanyaan kedua sebanyak 2 pasien yang
mengetahui jumlah OAT yang dikonsumsi dan. Pada pertanyaan ketiga sebanyak 2
pasien yang tidak pernah mengurangi atau mengonsumsi OAT ketika merasa telah
sembuh. Pada pertanyaan keempat sebanyak 2 pasien tidak pernah lupa membawa
OAT ketika sedang bepergian jauh dan lama. Pada pertanyaan kelima 2 pasien rutin
mengambil OAT ke puskesmas jika obat telah habis. Pada pertanyaan keenam 2
pasien dinyatakan tidak putus minum OAT. Pada pertanyaan ketujuh 2 pasien tetap
melanjutkan mengonsumsi OAT walaupun merasakan efek samping dari pengobatan.
Pada pertanyaan kedelapan 2 pasien tidak merasakan kesulitan mengonsumsi OAT.
Berdasarkan data tersebut dapat dinilai jumlah kedua pasien TB fase intensif
dinyatakan patuh mengonsumsi OAT dengan persentase 100 %.

Tabel 4.2. Gambaran Kepatuhan Minum OAT Fase Lanjutan


Kategori Ya Kategori Tidak
No Poin Pertanyaan
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1 Apakah pasien mengetahui aturan 10 100% - -
minum OAT
2 Apakah pasien mengetahui jumlah 10 100% - -
OAT yang dikonsumsi
3 Apakah pasien pernah mengurangi - - 10 100%
atau berhenti mengonsumsi OAT jika
telah merasa sembuh
4 Apakah pasien pernah lupa membawa - - 10 100%
OAT jika sedang bepergian jauh dan
lama
5 Apakah pasien rutin mengambil OAT 10 100% - -
di puskesmas jika obat telah habis
6 Apakah pasien pernah dinyatakan - - 10 100%
putus minum OAT dan harus
mengulangi pengobatan dari awal
7 Apakah pasien tetap melanjutkan 10 100% - -
konsumsi OAT jika pasien merasakan
efek samping dari pengobatan
8 Apakah pasien merasa kesulitan untuk - - 10 100%
mengonsumsi OAT

Pada kelompok fase lanjutan, pertanyaan pertama sebanyak 10 pasien yang


mengetahui aturan minum OAT. Pada pertanyaan kedua sebanyak 10 pasien yang
mengetahui jumlah OAT yang dikonsumsi. Pada pertanyaan ketiga sebanyak 10
pasien yang tidak pernah mengurangi atau mengonsumsi OAT ketika merasa telah
sembuh. Pada pertanyaan keempat sebanyak 10 pasien tidak pernah lupa membawa
OAT ketika sedang bepergian jauh dan lama. Pada pertanyaan kelima 10 pasien rutin
mengambil OAT ke puskesmas jika obat telah habis. Pada pertanyaan keenam 10
pasien dinyatakan tidak putus minum OAT. Pada pertanyaan ketujuh 10 pasien tetap
melanjutkan mengonsumsi OAT walaupun merasakan efek samping dari pengobatan.
Pada pertanyaan kedelapan 10 pasien tidak merasakan kesulitan mengonsumsi OAT.
Berdasarkan data tersebut dapat dinilai jumlah sepuluh pasien TB fase
lanjutan dinyatakan patuh mengonsumsi OAT dengan persentase 100 %.
KUESIONER PENELITIAN

1. Identitas Responden

1) Nama KK :
2) Nama :
3) Umur :
4) Pekerjaan :
5) Jenis kelamin :
6) Alamat :
7) Agama :
8) Pendidikan Terakhir :

2. Kuesioner Untuk Keluarga :

Petunjuk pengisian :

Beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah tersedia sesuai dengan jawaban anda.

No Mengenal Masalah Kesehatan Jawaban

Ya Tidak

1 Penyakit TB paru adalah penyakit


biasa

2 Kuman TBC adalah penyebab


penyakit TB paru

3 Batuk disertai darah dapat muncul


pada penderita penyakit TB paru

4 TB paru tidak ditandai dengan


demam lebih 3 minggu

5 cara penularan penyakit TB paru


melalui percikan dahak
6 Pencegahan penyakit TB paru tidak
dengan pemakaian piring secara
bersama

7 Pengobatan TB paru tidak perlu


selama 6 bulan

8 Kuman TBC menyerang salah satu


bagian tubuh seperti paru

9 OBH merupakan salah satu jenis obat


TB paru

10 Berat badan meningkat setelah


minum obat TB paru secara teratur

No Memutuskan Tindakan Kesehatan Jawaban


Yang Tepat Bagi Keluarga
Ya Tidak

1 Penderita TB paru dibawa ke


pengobatan tradisional

2 Pengawasan minum obat pada


penderita TB paru perlu dilakukan
oleh keluarga

3 Penyakit TB paru merupakan


masalah yang biasa saja

4 Berikan obat batuk jika penyakit TB


paru bertambah buruk

5 Salah satu cara yang dilakukan dalam


mengawasi perilaku penderita TB
adalah Mengurangi konsumsi
tembakau
No Merawat Keluarga Yang Jawaban
Mengalami Gangguan Kesehatan
Ya Tidak

1 Menjaga kebersihan diri penderita


TB paru

2 Memenuhi nutrisi yang baik pada


penderita TB paru

3 Menyediakan tempat khusus untuk


dahak merupakan pencegahan
penyakit TB paru

4 Kebiasaan merokok tidak perlu


dicegah pada pasien TB paru

5 Penderita TB paru yang tidak patuh


minum obat dibiarkan saja mau atau
tidak minum obat

No Modifikasi Lingkungan Keluarga Jawaban

Ya Tidak

1 Rumah dengan halaman yang luas


merupakan suasana rumah yang
nyaman bagi penderita TB paru

2 Menutup rumah pada siang hari


mencegah perkembangbiakan bakteri
TB paru

3 Luangkan waktu untuk penderita TB


paru agar penderita TB paru tidak
merasa dikucilkan

4 Rumah tidak dimasuki oleh sinar


matahari merupakan kondisi
lingkungan agar penderita TB paru
tidak menularkan penyakitnya

5 Sisa masker yang telah digunakan


oleh penderita TB paru langsung
dibakar

No Memanfaatkan Fasiltas Jawaban


Kesehatan Bagi Keluarga
Ya Tidak

1 Keluarga memanfaatkan pelayanan


kesehatan untuk pengobatan yang
tepat bagi penderita TB paru

2 Pentingnya perawatan penyakit TB


paru bisa keluarga dapatkan dari
pelayanan kesehatan yang tepat

3 2 bulan pertama merupakan tahap


pengobatan awal yang harus
dilakukan keluarga terhadap
penderita TB paru

4 Di apotik bisa mendapatkan obat


TB paru dengan gratis
3. Kuesioner Untuk Penderita TB paru

Indikator Kepatuhan Minum Obat

Petunjuk pengisian:

Beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah tersedia sesuai dengan jawaban anda.

No Tipe-tipe kepatuhan Minum Obat Jawaban

Ya Tidak

1 Minum obat dengan teratur

2 Minum obat dalam dosis yang tepat

3 Minum obat untuk alasan yang benar


(sembuh)

4 Jarak waktu minum obat yang tepat

5 Tidak minum obat lain disaat yang


sama

Dari variabel yang telah kami tanyakan, kami mendapatkan hasil dimana para
warga mengalami batuk berdahak dalam kurun waktu yang berbeda-beda akan tetapi
dari 27 orang suspect TB terdapat 52% yang mengalami gejala batuk berdahak dalam
waktu lebih dari 2 minggu. Selain itu, dari 25 orang warga suspect yang ada hanya 2
orang yang mempunyai pengetahuan tentang TB. Dapat disimpulakn bahwa warga di
wilayah kerja Pukesmas Pakan Salasa belum begitu paham mengenai penyakit TB
terutama menyangkut cara penularan dan pencegahan. Berikut adalah hasil persentase
dari kuesioner yang telah diberikan kepada warga suspect TB di Pukesmas Pakan
Salasa.

Batuk berdahak lebih dari 2 minggu

48%
Tidak
52%
Ya

Batuk berdarah
4%

Tidak
Ya

96%
Keringat Malam

44%

Tidak
Ya
56%

Penurunan Berat Badan

48%
Tidak
52%
Ya

Demam yang tidak terlalu tinggi


28%

Tidak
Ya

72%
Penurunan nafsu makan

44%

Tidak
Ya
56%

Keluarga yang batuk


32%

Tidak
Ya

68%
Riwayat minum obat 6 bulan
8%

Tidak
Ya

92%

Pengetahuan tentang TB
8%

Tidak
Ya

92%
BAB V
PEMBAHASAN

Masalah pengetahuan tentang TB merupakan salah satu masalah yang penting


dalam manajemen TB. Hal ini berdampak pada rendahnya kepatuhan minum obat
dapat berakibat pada resistensi bakteri Mycobacterium tuberculosa terhadap obat anti
tuberculosis. Pasien yang tidak teratur minum obat akan mengakibatkan peningkatan
angka kegagalan pengobatan TB bahkan dapat menimbulkan drug resistance-
tuberculosis (DR-TB).5,8
Instrumen yang paling penting dalam mendiagnosis TB adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung terhadap apusan dahak/sputum. Pemeriksaan mikroskopis
terhadap apusan dahak dilakukan secara teratur untuk mencari bacilli tahan asam
(BTA) pada interval yang ditentukan selama periode pengobatan. Puskesmas Ipuh
menjadwalkan pengambilan dahak pada minggu terakhir bulan ke 2, bulan ke 5 dan
bulan ke 6. Pada penelitian ini, 2 pasien berada dalam fase intensif pengobatan OAT
kategori 1 dan 10 pasien berada dalam fase lanjutan pengobatan OAT kategori 1 telah
mengalami konversi sputum ke BTA negatif pada minggu terakhir bulan ke-2 (akhir
fase intensif). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terhadap kepatuhan minum obat
yang menyatakan bahwa 100% responden Puskesmas Ipuh patuh minum obat dalam
fase intensif OAT. Penelitian oleh Bello dan Itiolla yang dilakukan di Iliorin, Nigeria
juga mendapatkan hasil yang serupa. Didapatkan tingkat kepatuhan minum obat yang
tinggi, yaitu sebesar 94.6% pada populasi yang diteliti.10
Responden yang sedang dalam pengobatan OAT fase lanjut juga
menunjukkan tingkat kepatuhan minum obat yang tinggi yaitu sebesar 100%. Selain
itu, tingkat kepatuhan terhadap jadwal pemeriksaan dahak dan pengambilan obat
didapatkan sebesar 100%. Namun, hal ini berbeda dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Adene et al pada pasien TB di Etiopia yang mana tingkat kepatuhan
minum obat pada fase lanjut lebih rendah yaitu 86.67% dibandingkan dengan
kepatuhan minum obat pada fase intensif yang sebesar 94.44%. Berdasarkan hasil
penelitian ini mereka menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan minum obat akan lebih
tinggi apabila pasien berada pada fase lanjut OAT.9,10 Tingginya tingkat kepatuhan
pengobatan pada responden dapat disebabkan oleh beberapa faktor pendukung, yaitu
obat-obatan dan layanan kesehatan diberikan secara gratis, regimen dosis satu kali
sehari selama fase intensif, efek samping yang ringan dan dapat dikoreksi, instruksi
tertulis yang telah jelas tentang aturan minum obat, pusat pelayanan kesehatan yang
mudah diakses oleh masyarakat8. Data mengenai perilaku pasien dan kepatuhan
minum obat hanya didapatkan melalui wawancara sehingga memungkinkan
terjadinya bias. Seharusnya dilakukan observasi terhadap perilaku subjek penelitian
di lingkungan tempat tinggal responden. Selama proses pengumpulan data atau
wawancara, kehadiran pihak ketiga tidak dapat dihindarkan sehingga kemungkinan
dapat mempengaruhi jawaban yang diberikan responden.
DAFTAR PUSTAKA

 WHO, Tuberculosis Handbook, 1998 ( WHO/TB/98.253)

 WHO, Treatment of Tuberculosis : Guidelines for National Programs, Second


Edition, 1997 (WHO/TB/97.220)

 WHO, TB - A Global Emergency, WHO Report on The Tuberculosis


Epidemic, 1994 (WHO/TB/98.240)

 Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis di Indonesia

 Departemen Kesehatan RI, (2001) . Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI

 Pusdiklat Aparatur. 2011. Kurikulum Dan Modul Manajemen Puskesmas.


http://perpustakaan-pusdiklataparatur.net/
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai