Kebanyakan orang menganggap mengenali karakter kepribadian seseorang dapat membantu dalam memprediksi hasil akhir negosiasi. Riset membuktikan bahwa kepribadian tidak mempunyai efek langsung yang signifikan, baik dalam proses maupun pada hasil akhir negosiasi. Karena itu, fokuslah hanya pada isu utama dan faktor situasi dalam setiap episode negosiasi saja. Suasana hati penting dalam negosiasi karena perunding dengan suasana hati positif memperoleh hasil yang lebih baik dari pada mereka yang suasananya biasa-biasa saja. Mengapa? Para perunding yang ceria atau gembira cenderung lebih memercayai pihak lain dengan demikian, mencapai lebih banyak penyelesaian yang saling menguntungkan. Hsil penelitian terhadap hubungan kepribadian, negosiasi menunjukkan bahwa sifat-sifat kepribadian tidak memiliki pengaruh terhadap negoaisasi. Namun, tampak bahwa dari sifat Model Lima Besar terkait dengan hasil negosiasi menyatakan bahwa memutar balikkan yang ekstorvet lebih sering gagal ketika melakukan tawar-menawar distributif karena mereka selalu menyenangkan hati orang lain dan bersahabat sehingga dalam bernegosiasi mereka selalu kalah.
2. Isu Dalam Negosiasi Tentang Gender.
Apakah pria dan wanita bernegosiasi dengan cara yang berbeda? Tidak. Banyak yang menganggap bahwa wanita lebih koperatif dan menyenangkan dalam bernegosiasi, namun nyatanya tidak. Apakah hasilnya berbeda? Ya. Wanita lebih peduli untuk membentuk dan membina hubungan interpersonal. Streotip popular yang dianut banyak orang mengatakan bahwa kaum perempuan lebih kooperatif dan menyenangkan dalam negosiasi daripada kaum laki-laki. Namun, laki-laki ditemukan mampu menegosiasikan hasil yang lebih baik ketimbang perempuan, meskipun perbedaanya relative kecil. Diasumsikan bahwa perbedaan ini kiranya dikarenakan laki-laki dan perempuan menempatkan nilai yang berbeda pada hasil negosiasi. Penelitian menunjukan bahwa para manajer yang tidak memiliki kekuasaan tidak banyak, tanpa memandang jenis kelamin, cenderung berusaha menyenangkan lawan mereka dan menggunakan teknik persuasive yang lembut ketimbang konfrontasi langsung dan ancaman. Dalam situasi dimana laki-laki dan perempuan memiliki kekuasaan yang sama, rasanya tidak signifikan perbedaan gaya negosiasi. Namun jika stereotip popular (perempuan= menyenangkan, laki-laki = alot) diaktifkan lagi yang terjadi adalah terpenuhinya ramalan tersebut, yang semakin memperkuat perbedaan gender yang bersifat stereotip. Manajer perempuan memperlihatkan rasa kurang percaya diri dalam mengantisipasi negosiasi dan lebih tidak puas dengan kinerja mereka setelah proses perundingan selesai, bahkan ketika hasil yang dicapai = hasil yang dicapai laki-laki. Kesimpulannya menunjukan bahwa perempuan bias terlalu menghukum diri sendiri karena tidak bias ikut dalam negosiasi padahal ini merupakan kepentingan terbesar mereka.
3. Isu Dalam Negosiasi Tentang Budaya.
Gaya bernegosiasi beragam antara satu kultur dengan kultur lainnya. Konteks kultur dalam negosiasi secara signifikan mempengaruhi jumlah dan jenis persiapan untuk tawar-menawar, penekanan relative pada tugas disbanding hubungan antarpersonal, dan bahkan dimana negosiasi akan dilaksanakan. Apakah latar belakang budaya berpengaruh dalam proses negosiasi? Sepertinya begitu, misal: Orang Batak lebih bergaya konfrontatif, keras, dan langsung ke pokok masalah. Orang Jawa bergaya pelan-pelan, halus, dan penuh basa- basi. Apakah hasilnya berbeda? Sepertinya tidak, kecuali masalah waktu.
4. Isu Dalam Negosiasi Tentang Pihak Ketiga.
Dalam melakukan proses negosiasi terkadang individu atau perwakilan kelompok mencapai kebuntuan dan tidak mampu menyelesaikan perbedaan-perbedaan di antara mereka melalui negosiasi langsung. Dalam kasus ini, mereka dapat berpaling ke pihak ketiga untuk membantu mencari solusi. Ada 4 peran pokok pihak ketiga : a. Mediator Pihak ketiga bersikap netral yang memfasilitasi negosiasi solusi dengan menggunakan penalaran dan persuasi, menyodorkan alternative dan semacamnya. b. Arbitrator Pihak ketiga memiliki wewenang untuk menentukan kesepakatan. Bisa bersifat sukarela maupun paksaan (berdasarkan kontrak atau undang-undang yang berlaku). Wewenang arbitrator beragam sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh para perunding. Kelebihan arbitrasi daripada mediasi adalah bahwa arbitrasi selalu menghasilkan penyelesaian entah win-win solution maupun kemenangan di salah satu pihak yang berunding. Namun dapat menimbulkan konflik dikemudian hari. c. Konsilitator Pihak ketiga dipercaya membangun relasi komunikasi informal antara perunding dengan lawannya. Dalam prakteknya, konsiliator tidak hanya sebagai saluran komunikasi namun juga terlibat dalam pencarian fakta, penafsiran pesan, membujuk pihak-pihak yang bersengketa untuk membangun kesepakatan. d. Konsultan Pihak ketiga yang terlatih dan tak berpihak yang berupaya memfasilitasi pemecahan masalah melalui komunikasi dan analisis dengn dibantu oleh pengetahuan mereka mengenai menajemen konflik. Peran konsultan memperbaiki hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik sehingga dapat mencapai penyelesaian sendiri. Pendekatan ini membutuhkan jangka waktu yang panjang karena membangun persepsi dan sikap yang baru dan positif antara pihak-pihak bersengketa.