Anda di halaman 1dari 3

NAMA = NILA KESUMA WARDINI (191220015), Managemen Keuangan

NANA KHAIRANI (191220003), Managemen Kewirausahaan


MAPEL = NEGOSIASI
TUGAS = Identifikasi Isu-isu topik negosiasi (Tugas Kelompok)

1. Isu Dalam Negosiasi Tentang Kepribadian.


Kebanyakan orang menganggap mengenali karakter kepribadian seseorang dapat
membantu dalam memprediksi hasil akhir negosiasi. Riset membuktikan bahwa kepribadian
tidak mempunyai efek langsung yang signifikan, baik dalam proses maupun pada hasil akhir
negosiasi. Karena itu, fokuslah hanya pada isu utama dan faktor situasi dalam setiap episode
negosiasi saja.
Suasana hati penting dalam negosiasi karena perunding dengan suasana hati positif
memperoleh hasil yang lebih baik dari pada mereka yang suasananya biasa-biasa saja. Mengapa?
Para perunding yang ceria atau gembira cenderung lebih memercayai pihak lain dengan
demikian, mencapai lebih banyak penyelesaian yang saling menguntungkan. Hsil penelitian
terhadap hubungan kepribadian, negosiasi menunjukkan bahwa sifat-sifat kepribadian tidak
memiliki pengaruh terhadap negoaisasi. Namun, tampak bahwa dari sifat Model Lima Besar
terkait dengan hasil negosiasi menyatakan bahwa memutar balikkan yang ekstorvet lebih sering
gagal ketika melakukan tawar-menawar distributif karena mereka selalu menyenangkan hati
orang lain dan bersahabat sehingga dalam bernegosiasi mereka selalu kalah.

2. Isu Dalam Negosiasi Tentang Gender.


Apakah pria dan wanita bernegosiasi dengan cara yang berbeda? Tidak. Banyak yang
menganggap bahwa wanita lebih koperatif dan menyenangkan dalam bernegosiasi, namun
nyatanya tidak. Apakah hasilnya berbeda? Ya. Wanita lebih peduli untuk membentuk dan
membina hubungan interpersonal.
Streotip popular yang dianut banyak orang mengatakan bahwa kaum perempuan lebih
kooperatif dan menyenangkan dalam negosiasi daripada kaum laki-laki. Namun, laki-laki
ditemukan mampu menegosiasikan hasil yang lebih baik ketimbang perempuan, meskipun
perbedaanya relative kecil. Diasumsikan bahwa perbedaan ini kiranya dikarenakan laki-laki dan
perempuan menempatkan nilai yang berbeda pada hasil negosiasi.
Penelitian menunjukan bahwa para manajer yang tidak memiliki kekuasaan tidak banyak,
tanpa memandang jenis kelamin, cenderung berusaha menyenangkan lawan mereka dan
menggunakan teknik persuasive yang lembut ketimbang konfrontasi langsung dan ancaman.
Dalam situasi dimana laki-laki dan perempuan memiliki kekuasaan yang sama, rasanya tidak
signifikan perbedaan gaya negosiasi. Namun jika stereotip popular (perempuan= menyenangkan,
laki-laki = alot) diaktifkan lagi yang terjadi adalah terpenuhinya ramalan tersebut, yang semakin
memperkuat perbedaan gender yang bersifat stereotip.
Manajer perempuan memperlihatkan rasa kurang percaya diri dalam mengantisipasi
negosiasi dan lebih tidak puas dengan kinerja mereka setelah proses perundingan selesai, bahkan
ketika hasil yang dicapai = hasil yang dicapai laki-laki. Kesimpulannya menunjukan bahwa
perempuan bias terlalu menghukum diri sendiri karena tidak bias ikut dalam negosiasi padahal
ini merupakan kepentingan terbesar mereka.

3. Isu Dalam Negosiasi Tentang Budaya.


Gaya bernegosiasi beragam antara satu kultur dengan kultur lainnya. Konteks kultur dalam
negosiasi secara signifikan mempengaruhi jumlah dan jenis persiapan untuk tawar-menawar,
penekanan relative pada tugas disbanding hubungan antarpersonal, dan bahkan dimana negosiasi
akan dilaksanakan.
Apakah latar belakang budaya berpengaruh dalam proses negosiasi? Sepertinya begitu,
misal: Orang Batak lebih bergaya konfrontatif, keras, dan langsung ke pokok masalah. Orang
Jawa bergaya pelan-pelan, halus, dan penuh basa- basi. Apakah hasilnya berbeda? Sepertinya
tidak, kecuali masalah waktu.

4. Isu Dalam Negosiasi Tentang Pihak Ketiga.


Dalam melakukan proses negosiasi terkadang individu atau perwakilan kelompok
mencapai kebuntuan dan tidak mampu menyelesaikan perbedaan-perbedaan di antara mereka
melalui negosiasi langsung. Dalam kasus ini, mereka dapat berpaling ke pihak ketiga untuk
membantu mencari solusi. Ada 4 peran pokok pihak ketiga :
a. Mediator
Pihak ketiga bersikap netral yang memfasilitasi negosiasi solusi dengan menggunakan
penalaran dan persuasi, menyodorkan alternative dan semacamnya.
b. Arbitrator
Pihak ketiga memiliki wewenang untuk menentukan kesepakatan. Bisa bersifat sukarela
maupun paksaan (berdasarkan kontrak atau undang-undang yang berlaku). Wewenang arbitrator
beragam sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh para perunding.
Kelebihan arbitrasi daripada mediasi adalah bahwa arbitrasi selalu menghasilkan
penyelesaian entah win-win solution maupun kemenangan di salah satu pihak yang berunding.
Namun dapat menimbulkan konflik dikemudian hari.
c. Konsilitator
Pihak ketiga dipercaya membangun relasi komunikasi informal antara perunding dengan
lawannya. Dalam prakteknya, konsiliator tidak hanya sebagai saluran komunikasi namun juga
terlibat dalam pencarian fakta, penafsiran pesan, membujuk pihak-pihak yang bersengketa untuk
membangun kesepakatan.
d. Konsultan
Pihak ketiga yang terlatih dan tak berpihak yang berupaya memfasilitasi pemecahan
masalah melalui komunikasi dan analisis dengn dibantu oleh pengetahuan mereka mengenai
menajemen konflik. Peran konsultan memperbaiki hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik
sehingga dapat mencapai penyelesaian sendiri. Pendekatan ini membutuhkan jangka waktu yang
panjang karena membangun persepsi dan sikap yang baru dan positif antara pihak-pihak
bersengketa.

Anda mungkin juga menyukai