Anda di halaman 1dari 3

REELODIN

Aku mulai membaca di laboratorium bawah tahah, lantai 9 kamar yang disiapkan
untukku. Dinding logam kurus berjajar di ruang antiseptik mengisolasi waktu dengan
sempurna kecuali satu pintu yang kuketahui. Tampak di balik dinding sesuatu yang
menyerupai rak buku logam pada pandangan pertama dipasang dengan satu sisi di samping
dinding. Potongan – potongan unik mengisi pembagi ini dalam pengaturan seragam dengan
dipenuhi berbagai macam buku yang suatu saat pasti akan kulahap habis. Dengan
kacamatanya, di ruang khusus ini aku yang dinamakan diri sendiri berdiri di depan
tumpukan kata dengan perhatian yang tak dapat dialihkan.
Ini saatnya aku menjadi diriku yang lain. Dengan segala hiruk pikuk kemegahan
malam saat ini, jalanan dipadati kendaraan dan para pejalan kaki karena telah memasuki
jam pulang orang – orang kantor. Dia si diri sendiri dengan senyum selebar sabit sambil
membawa sejuta keceriaan berjalan dengan penuh percaya diri. “Inilah aku inilah duniaku”
gumamnya sambil menahan teriak karena kebahagiaannya. Rambut ikal tak beraturan
maupun ia ikat tinggi akan selalu menunjukkan identitas kebebasannya. Kala semua orang
akan tahu dia menjalani hidup dengan baik. Siapa pun tahu ia cenderung ceroboh namun
kerja kerasnya membuat orang tidak menilai dari sisi itu.
Ini kisahnya kala itu. Ada yang bilang kalau hidup itu tentang hukum tanam tuai.
Perbuatan baik yang ditanamkan maka akan menuai hasil yang baik. Begitupun jika
perbuatan buruk yang ditanamkan maka akan mendapat keburukan. Namun apabila kita
berusaha menanamkan perbuatan baik namun tetap mendapat keburukan bagaimana?
Orang menyebutnya sial, apes bahkan zonk. Ini tentang hidupku. Aku tidak menyangka akan
mengalami roller coster kehidupan yang sebegitu dahsyatnya. Wow.
Aku menatap wajah ini yang cantik dan semakin cantik, walaupun memang begitu
keadaannya. Aku hanya remaja 17 tahun yang bahkan baru memiliki KTP seminggu yang
lalu. Berjiwa bebas, agresif, single, dan enjoy itu diriku dan kehidupan yang kusukai.
Berjalan, bercengkrama, mendengarkan musik , menari, menyukai kopi, menulis puisi,
penikmat senja dan agaknya pecinta style hiphop jelas adalah deskripsi dari jiwa itu. Soal
menulis orang yang kupanggil diri sendiri ini sudah pasti jagonya kerena ia bagian dari anak
indie, kadang juga ada waktu dimana ia menjadi penulis gila yang hanya mau mengikuti kata
hati dan pemikirannya. Itu dimata orang lain tapi baginya ia paling berharga. Nah itulah
informasi terbaru dariku.
Kehidupan yang tak ada bedanya dari kehidupan pada umumnya hanya saja, ia selalu
menjadikan setiap detik dalam hidupnya menjadi sesuatu yang istimewa. Bukan hal yang
sulit bukan juga hal yang mudah tapi itu memang dirinya yang selalu menikmati kehidupan
biasanya itu. Mungkin ia sedikit tidak pintar bersosialisasi tapi siapa bilang ia pemalu, ia
hanya sedang mencari teman sefrekuensinya.
Ini kisahnya juga. Siapa bilang ia akan selalu menjadi orang yang paling bahagia.
Kenyataan adalah yang paling menyakitkan. Suatu hari ibunya mendatanginya yang sedang
duduk di kamar sambil membayangkan sesuatu yang hanya bisa menjadi imajinasinya.
Wajahnya sangat bahagia. Sampai ibunya memanggil namanya yang selalu ia sembunyikan
itu dan bertanya. Beginilah kisahnya.
Mama : “Mama mau nanya dong sama kamu jadi rencananya habis lulus kamu mau
gimana?” tanya mamanya.
Aku : “Kok nanya sih ma kan aku selalu bilang sama mama kalo aku itu udah rencanain
semuanya untuk masa depan dan kebahagiaan aku, mama gak usah khawatir aku cuma mau
enjoy dan bisa melakukan sesuatu yang aku suka itu aja ma. Aku ingin jadi penyanyi atau
influencer yang bisa mengekspor banyak hal” ucapku menjelaskan.
Mama : “Iya mama juga tahu kamu cuma mau hidup yang sejalan dengan mau kamu, tapi
kan maunya mama beda”.
Aku : “Maksud mama apa? Kok ngomongnya aneh gitu?” balasku.
Mama : “ Papa kamu udah bilang sama mama pokoknya kamu harus masuk fakultas hukum,
nanti kuliahnya mama yang atur jadi kamu bisa sambil kerja, papa kamukan kemarin udah
menangin tim kongres yang sekarang jadi kamu tinggal masuk ke kantornya dan langsung
dikasih jabatan, 2 tahun udah pasti diangkat jadi pegawai tetap deh. Pokoknya ikutin aja
kata mama kalau kamu sampai nolak mama kecewa banget sama kamu”.
Belum sempat diriku berekspresi wanita yang kupanggil mama itu sudah menghilang dari
tempatnya. Hanya sisa diriku yang mematung di atas kasur sambil mencoba mencerna
segala perkataan ibunya tadi. “what???” teriakku dalam pikiran. Emang mama gak pernah
ya mengenal aku. Aku menangis bisa dibilang sejadi – jadinya karena yang jelas aku masih
tidak sadar dengan yang barusan aku dengar. Kenapa harus sekarang? Kenapa harus aku?
Itu pikirku. Terdengar lebay tapi begitulah diri ini.
Ada kisah yang belum diceritakan. Aku si diri sendiri adalah seorang anak yang selalu
menurut kata orang tuanya, tak pernah mengeluh, berambisi, sangat rajin belajar, selalu
menjadi juara kelas dan murid teladan. Sejak kecil ia selalu disekolahkan di sekolah swasta
berasrama yang menghabiskan banyak waktu belajar hingga larut malam. Kehidupannya
hanya menjadi seorang pelajar yang terkekang oleh waktu dan aturan. Hingga dimana jiwa
bebasnya yang seperti bom waktu itu meledak. Ia melarikan diri dari segalanya. Itu adalah
masa peralihannya menjadi remaja. Ia kabur dan selalu membuat masalah di sekolahnya.
Orangtuanya selalu mendapat surat panggilan dan sampai waktu dimana orangtuanya lelah.
Dengan segala masalah yang dibuat serta biaya sekolah yang besar dan uang jajan yang
banyak akhirnya aku bisa bebas. Itu yang kupikir saat itu.
Baiklah sekarang saatnya aku memulai hidupku. Aku akhirnya sekolah di sekolah
negeri yang selalu menjadi impianku. Ini adalah tahun pertamaku menjadi siswa sekolah
menengah atas. Aku sangat bahagia. Bagaimanapun kala itu aku selalu tersenyum. Karena
kupikir akhirnya masa kelamku berakhir. Aku mulai menjalani kehidupan impianku. Aku
tetap belajar dengan giat tapi kali ini aku penuh keceriaan karena semua teman baruku
sangat humble, berbeda dengan di sekolahku sebelumnya yang selalu menjadikan teman
sekelas sebagai musuh dan saingan, itu hanya gambaran dari betapa kompetitifnya
sekolahku dulu. Kini aku menjadi murid biasa yang punya banyak teman, sering
bersosialisasi, mencoba kegiatan baru dan tentunya kini aku bebas melakukan hobiku.
Bukan hal yang aneh hanya sekedar menyanyi, menari dan berkumpul bersama teman –
temanku tiap pulang sekolah.
Oke sekarang balik ke realita. Aku sadar kini aku akan segera tamat SMA dan harus
menentukan rencanaku kedepannya. Sekarang aku memiliki hidup yang bebas walau aku
tahu akan segera berakhir. Aku selalu memikirkan masa depanku, rencanaku, sambil
mengasah kemampuan yang sesuai dengan cara hidupku. Because, aku selalu menjadi
trauma bagaimana rasanya hidup dalam kekangan dan tak sesuai dengan jiwa kita dengan
dunia kita. Itu karena aku penakut. Tapi satu – satunya hal yang paling kutakuti adalah
pandangan orangtuaku. Berjuta pertanyaan selalu muncul dalam benakku. Kenapa mereka
tak pernah bertanya? Kenapa mereka tak pernah ingin tahu? Kenapa mereka tak pernah
menanyakan kenapa aku melakukan itu? Apa yang aku inginkan? Semua itu tak pernah
mereka tanyakan seolah mereka paling mengerti tentangku padahal, mereka bahkan tak
pernah tahu sisi diriku yang lain. Bagaimana ekspresiku saat bersama teman – temanku, apa
yang aku sukai, apa yang tidak kusukai, apa yang membuatku tertawa, apa yang membuatku
menangis. Orangtuaku tak pernah tahu. Tapi disaat mereka ada masalah, selalu saja
melimpahkan semuanya padaku. Seakan aku selalu menjadi beban dan tak diharapkan.
Apakah layak seorang anak yang tak tahu apa – apa menanggung semua beban masalah
yang tak seharusnya dipikirkannya. Itu cukup untuk membuatnya stress. Mulai dari
pertengkaran, perceraian hingga kasus ekonomi, anak itu tak pantas mendengarnya. Untuk
apa ia dilahirkan jika hanya untuk menanggung semua beban jiwa ini. Bukankah seluruh
anak di dunia akan berpikiran sama dengan diri ini? Tak ada seorang anakpun yang ingin
menyusahkan orangtuanya hanya saja ia ingin berekspresi dan menemukan jati diri dengan
cara yang asing bagi orangtuanya. Bukankah itu hal wajar. Tentunya karena ia baru terlahir
kedunia ini. Bukankah terlalu jahat untuk menyebutnya sebagai beban orangtua. Orangtua
memang tidak sepenuhnya salah sebab kita sama – sama pertama kalinya menjadi sebuah
keluarga. Tapi bukankah jika harus mengalah orangtualah yang harus melakukannya, jika
tidak kehidupan yang seperti itu akan terus terulang. Bukankah harusnya sekarang zaman ini
beralih. Bukan berarti anak menjadi durhaka. Andai saja orangtua selalu bisa mengerti
anaknya maka tidak akan ada anak yang menjadi durhaka.
Inilah endingnya, maksudku inilah akhirnya. Dia si diri ini memutuskan untuk menjadi
anak yang menurut untuk kesekian kalinya. Mungkin saja ia tak akan menyesal atau akan
menyesal karena berkecimpung dalam dunia yang tak diinginkannya. Ia menjadi anak yang
dewasa setelah beberapa pertengkaran dengan orangtuanya. Ia mulai berpikir mungkin ini
saatnya aku untuk mengalah dalam perdebatan, eits tapi tidak pada impianku aku akan
selalu mengingatnya dan berharap suatu saat nanti ketika orangtuaku bahagia aku bisa
menggapainya kembali. Tidak menyerah adalah diriku.

Anda mungkin juga menyukai