Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
12
KONTRIBUSI BANGSA INDONESIA DALAM
PERDAMAIAN DUNIA
D. Misi Garuda
Dalam Sidang Umum PBB, menteri luar negeri Kanada Lester B. Pearson mengusulkan agar dibentuk
suatu pasukan PBB untuk memelihara perdamaian di Timur Tengah. Indonesia menyatakan kesediaannya
untuk turut serta menyumbangkan pasukan dalam UNEF. Sebagai pelaksanaannya, pada 28 Desember
1956 dibentuk sebuah pasukan yang berkekuatan satu detasemen (550 orang), terdiri atas kesatuan-
kesatuan Teritorium IV/Diponegoro dan Teritorium V/Brawijaya. Kontingen Indonesia untuk UNEF
dinamakan Pasukan Garuda, dan diberangkatkan ke Timur Tengah pada Januari 1957. Pengiriman
Kontingen Garuda ke Mesir dilatarbelakangi hubungan yang baik antara Indonesia dan Mesir. Mesir dan
negara-negara Liga Arab merupakan salah satu negara yang paling awal mengakui kemerdekaan
Indonesia. Pada 18 November 1946, mereka menetapkan resolusi tentang pengakuan kemerdekaan RI
sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh. Pengakuan tersebut adalah suatu pengakuan de jure
menurut hukum internasional. Setelah pengiriman ke Mesir, pada 1960 Indonesia kembali mengirimkan
pasukan perdamaian ke Kongo. Pengiriman ini dilatarbelakangi perang saudara yang meletus di Republik
Kongo (sekarang bernama Zaire) ketika bekas jajahan Belgia tersebut memperoleh kemerdekaannya pada
Juni 1960. Untuk membantu memulihkan keamanan dan ketertiban, atas prakarsa PBB dikirimkan
pasukan bernama United Nations Operation for the Congo (UNOC). Kontingen Indonesia dalam UNOC
yang diberi nama Pasukan Garuda II. Pasukan ini diberangkatkan dengan kapal dari Tanjung Priok pada
10 September 1960. Batalyon garuda II menyelesaikan tugas-tugasnya dan kembali ke tanah air pada
pertengahan bulan Mei 1961. Kontingen Indonesia dalam UNOC kemudian diperbesar kekuatannya
menjadi satu brigade dan diberinama Kontingan Indonesia Garuda III tetapi kemudian diganti namananya
menjadi Komando Pasukan Indonesia Garuda III.
Pada periode-periode Orde Baru, Indonesia kerap mengirimkan Kontingen Garuda. Beberapa negara
yang menjadi tujuan antara lain Vietnam (1973, 1974), Timur Tengah (1973, 1974, 1975, 1976, 1977,
1978, 1979), Iran-Irak (1988, 1989, 1990), Namibia (1989), Irak-Kuwait (1992, 1993, 1994, 1995),
Kamboja (1992, 1993), Somalia (1992), Bosnia-Herzegovina (1993), Bosnia (1994, 1995), Georgia
(1994), Mozambik (1994), Filipina (1994), Tajikistan (1997), Siera Lione (1992- 2002). Pada masa
Reformasi, pengiriman pasukan perdamaian kembali dilakuan. Kali ini beberapa negara yang dituju
adalah Kongo (2003, 2005), Liberia (2003-2009), Sudan (2008, 2009), Lebanon (2006-2017).
E. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dibentuk setelah para pemimpin sejumlah negara Islam
mengadakan Konferensi di Rabat, Maroko, pada tanggal 22 - 25 September 1969, dan menyepakati
Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan hak
asasi manusia. Pembentukan OKI semula didorong oleh keprihatinan negara-negara Islam atas berbagai
masalah yang diahadapi umat Islam, khususnya setelah unsur Zionis membakar bagian dari Masjid Suci
Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969. Pembentukan OKI antara lain ditujukan untuk meningkatkan
solidaritas Islam di antara negara anggota, mengoordinasikan kerja sama antarnegara anggota,
mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan
membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. OKI saat ini
beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas muslim di kawasan Asia dan Afrika. Sebagai
organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada masalah politik, terutama
masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai suatu organisasi internasional yang
menjadi wadah kerja sama di berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan
antar negara-negara muslim di seluruh dunia. Dalam menjalankan fungsinya, tedapat lima prinsip OKI.
Prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
a. Mengakui persamaan mutlak antara negara-negara anggota;
b. Menghormati hak dalam menentukan nasib sendiri, tidak ikut campur tangan di dalam urusan dalam
negeri negara lain;
c. Menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah setiap negara;
d. Menyelesaikan setiap persengketaan yang mungkin timbul melalui cara-cara damai seperti
perundingan, mediasi, rekonsiliasi, atau arbitrase;
e. Tidak akan menggunakan ancaman maupun kekerasan terhadap integritas wilayah, kesatuan nasional,
atau kemerdekaan politik suatu negara. (Organisasi Kerjasama Islam, 2014)
F. ASEAN
Pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, diadakan pertemuan antara perwakilan lima
negara: Menteri Luar Negeri Indonesia (Adam Malik), Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri
Pertahanan dan Menteri Pembangunan Nasional Malaysia (Tun Abdul Razak), Menteri Luar Negeri
Filipina (Narciso Ramos), Menteri Luar Negeri Singapura (S. Rajaratnam), dan Menteri Luar Negeri
Thailand (Thanat Khoman). Pertemuan tersebut membahas Deklarasi Bersama dengan melakukan
penandatanganan Deklarasi Bangkok (Bangkok Declaration). Isi Deklarasi Bangkok itu adalah sebagai
berikut:
a. mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di kawasan Asia
Tenggara;
b. meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional;
c. meningkatkan kerja sama dan saling membantu untuk kepentingan bersama dalam bidang ekonomi,
sosial, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi;
d. memelihara kerja sama yang erat di tengah-tengah organisasi regional dan internasional yang ada;
e. meningkatkan kerja sama untuk memajukan pendidikan, latihan, dan penelitian di kawasan Asia
Tenggara.
Dengan ditandatanganinya Deklarasi Bangkok Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) telah resmi berdiri. Organisasi ini bertujuan untuk
menggalang kerja sama antarnegara anggota dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi,
mendorong perdamaian dan stabilitas wilayah, serta membentuk kerja sama dalam berbagai bidang
kepentingan bersama. Organisasi ini memiliki empat norma dan prinsip yang melandasi kehidupan
ASEAN. Ke empat norma dan prinsip itu adalah
a. menentang penggunaan kekerasan dan mengutamakan solusi damai;
b. otonomi regional;
c. prinsip tidak mencampuri urusan negara lain; dan
d. menolak pembentukan aliansi militer dan menekankan kerjasama pertahanan bilateral.
Searah dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, lima negara di luar negara pemrakarsa
berkeinginan menggabungkan diri dalam organisasi ini, yaitu sebagai berikut:
a. Brunei Darussalam resmi menjadi anggota ke-6 ASEAN pada tanggal 7 Januari 1984 dalam Sidang
Khusus para Menteri Luar Negeri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/ AMM) di Jakarta, Indonesia
b. Vietnam resmi menjadi anggota ke-7 ASEAN pada pertemuan para Menteri Luar NegerASEAN ke-28
di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 29-30 Juli 1995
c. Laos dan Myanmar resmi menjadi anggota ke-8 dan ke-9 ASEAN pada pertemuan para Menteri Luar
Negeri ASEAN ke-30 di Subang Jaya, Malaysia, 23-28 Juli 1997.
d. Kamboja resmi menjadi anggota ke-10 ASEAN dalam Upacara Khusus Penerimaan pada tanggal 30
April 1999 di Hanoi.
e. Timor Leste yang secara geografis terletak di wilayah Asia Tenggara secara resmi telah mendaftarkan
diri sebagai anggota ASEAN pada tahun 2011.
Cita-cita tersebut kemudian dipertegas dengan kesepakatan Bali Concord I tahun 1976. Dalam Bali
Concord I itu, para Pemimpin ASEAN menyepakati Program Aksi yang mencakup kerja sama di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya dan penerangan, keamanan, dan peningkatan mekanisme ASEAN.
Kesepakatan tersebut menandai tahapan penting bagi kerangka kerja sama ASEAN. Tekad dan upaya
keras ASEAN dengan payung Bali Concord I telah berhasil menjaga perdamaian dan stabilitas serta
peningkatan kesejahteraan di kawasan. Harapan tersebut dituangkan dalam Visi ASEAN 2020 yang
ditetapkan oleh para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN pada KTT ASEAN di Kuala Lumpur tanggal
15 Desember 1997. Untuk mewujudkan harapan tersebut, ASEAN mengesahkan Bali Concord II pada
KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yaitu, menyepakati pembentukan Masyarakat ASEAN (ASEAN
Community).
G. Jakarta Informal Meeting
Pada Januari 1979, ASEAN melalui pertemuan para menteri luar negerinya menyatakan menentang
perilaku Vietnam dan secara resmi menolak mendukung pemeirntahan Phnom Penh pro Vietnam. Selain
itu ASEAN juga mendukung isolasi internasional atas Vietnam, mengusahakan penarikan tanpa syarat
pasukan Vietnam dan Kamboja, mencegah penetrasi Vietnam ke Thailan, mendukung Kamboja yang
netral, damai, dan demokratis, serta mendukung kepemimpinan ASEAN dalam mencari solusi damai
dalam konflik Kamboja yang bebas dari campur luar. Untuk mengatasai permasalahan tersebut,
Indonesia juga turut secara aktif memprakarsai perdamaian. Sejak saat itu, Indonesia memiliki hubungan
erat dengan Vietnam. Hal ini bertujuan agar mampu memberikan masukan yang positif melalui strategi
yang persuatif terhadap konflik yang melibatkan Vietnam.
Langkah awal pemecahan masalah Kamboja dilakukan pada November 1985. Indonesia sebagai
penghubung resmi ASEAN menyatakan kesediaannya untuk menyelenggarakan sebuah Coctail Party atau
Proximity Talks bagi semua faksi yang terlibat dalam pertikaian Kamboja. Ide ini kemudian berkembang
menjadi Pertemuan Informal Jakarta (Jakarta Informal Meeting/JIM) yang berlangsung Juli 1988. Pada
pertemuan ini disepakati pemisahan antara isu invasi Vietnam dan pendudukan Kamboja oleh Vietnam
dengan perang saudara antar-rakyat Khmer. Setelah pertemuan JIM I, diselenggarakan kembali pertemuan
yang kedua pada Februari 1989. Dalam pertemuan kedua yang dipimpin oleh Ali Alatas selaku Menteri
Luar Negeri Indonesia dicapai kesepakatan. Dalam pertemuan ini Vietnam bersedia menerima
internasionalisasi konflik Kamboja, yakni melalui mekanisme kontrol internasional. Khmer Merah masih
tetap merupakan pokok persengketaan dan ASEAN bersikeras agar setiap pemecahan masalah kamboja
harus melibatkan Khmer Merah.
Setelah pertemuan Paris, Jepang kemudian mengambil inisiatif untuk menjadi tuan rumah yang
mempertemukan antara Hun Sen dan Sihanouk. Penandatanganan ini didorong oleh hancurnya kekuatan
komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet, sehingga bantuan Soviet atas Vietnam tidak dapat lagi diberikan.
Rencana perdamaian PBB yang bertujuan untuk penyelesaian menyeluruh akhirnya juga diterima dan
gencatan senjata diumumkan.
H. Rangkuman
Anda diharapkan mampu mengevaluasi peran bangsa Indonesia dalam perdamaian dunia antara lain
KAA, Misi Garuda, Deklarasi Djuanda, Gerakan Non Blok, ASEAN, OKI, dan Jakarta Informal Meeting.
Hal-hal penting yang telah Anda pelajari dalam modul ini adalah sebagai berikut.
1. Konferensi Asia Afrika merupakan satu upaya untuk menghimpun kekuatan di kalangan negara
berkembang untuk memperoleh kesetaraan dan kedaulatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melalui KAA Negara-negara di kawasan Asia Afrika tampil lebih percaya diri untuk memperjuangkan
hak-hak kemerdekaan. Di sini Indonesia tampil sebagai pemrakarsa sekaligus tuan rumah untuk
pertemuan nasional yang berdampak besar bagi kehidupan masyarakat dunia.
2. Gerakan Nonblok muncul sebagai reaksi dari pertentangan dua kekuatan dunia yang muncul setelah
perang dunia II. Pada masa ini, terdapat kekuatan besar yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat dan
Uni Soviet. Dalam gerakan nonblok, melalui politik bebas aktif, Indonesia senantiasa mengampanyekan
tindakan-tindakan yang konstruktif untuk mencapai perdamaian dunia.
3. Deklarasi Djuanda yang ditetapkan pada 1957 memberikan pengaruh terhadap dunia internasional
tentang bagaimana penanganan masalah negara kepulauan (archipelagic state). Wilayah perairan selama
ini rawan mengundang konflik, terutama terkait masalah batas negara. Dengan dikeluarkannya deklarasi
Djuanda, batas-batas wilayah perairan Indonesia menjadi lebih jelas dan mencegah terjadinya
persengketaan terkait batas wilayah dengan negara-negara tetangga. Konsep tentang wilayah peraritan
membawa Indonesia aktif untuk mengampanyekan pentingnya pembahasan tentang batas wilayah
perairan dalam forum-forum internasional.
4. Misi Garuda merupakan langkah nyata Indonesia untuk terjun langsung ke area yang tengah memanas
akibat konflik. Hal ini dilatarbelakangi tujuan untuk menciptakan perdamaian dunia dengan mewujudkan
prinsip kemanudiaan yang adil dan beradab. Sejak 1956, Indonesia selalu mengambil bagian menjadi
pasukan perdamaian dunia di bawah komando Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
5. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia secara aktif mengikuti kegiatan
Organisasi Kerja sama Islam (OKI). Organisasi ini menempati posisi strategis isu-isu tentang keamanan
dunia dan kerawanan akibat perebutan sumber daya minyak lebih banyak membawa negara-negara Islam.
6. ASEAN merupakan organisasi regional untuk wilayah Asia Tenggara. Organisasi ini lahir dari
semangat hidup berdampingan yang dibutuhkan untuk menjaga perdamaian dunia dan mencapai
kesejahteraan bersama. Keterlibatan Indonesia dalam organisasi ini sangat tampak dengan ikutnya Adam
Malik selaku menteri negara dalam penandatanganan pendirian ASEAN. Selanjutnya, Indonesia juga
dijadikan sebagai kantor pusat untuk ASEAN. Saat ini, perkembangan ASEAN semakin mmperlihatkan
kecenderungan yang positif dengan penguatan kerjasama antarnegara dan pengembangan komunitas
masyarakat ASEAN.
7. Ketika terjadi konflik yang melibatkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesi tampil
sebagai aktor perdamaian. Pada konflik Vietnam Kamboja, melalui Jakarta Informal Meeting Indonesia
menginisiasi tercapaianya kesepakatan damai antara ke dua negara dan penyelesaian masalah tanpa
pertempuran.