Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
HUKUM KONTRAK
I. PENGERTIAN KONTRAK
Kontrak secara sederhana adalah perjanjian dalam bentuk tertulis. Tidak semua perjanjian
berbentuk tertulis, ada juga yang berbentuk lisan karena dalam Pasal 1313 KUHPerdata,
perjanjian adalah suatu perbuatan ketika satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. Maka dalam pengertian pasal tersebut perjanjian tidak diwajibkan
harus berbentuk tertuis.
Menurut terjemahan dari Black’s Law Dictionary, definisi kontrak adalah suatu perjanjian
antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu hal yang khusus. Dapat disimpulkan bahwa semua kontrak pasti merupakan
perjanjian, tetapi tidak semua perjanjian merupakan kontrak. (Nur Syarifah dan Regi Perdana,
2016: 6)
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yakni:
Para pihak dalam melakukan perjanjian harus dalam keadaan sadar maupun tanpa adanya
paksaan atau penipuan dari pihak manapun. Hal ini sesuai dalam Pasal 1321 KUHPerdata
yang menyebutkan bahwa tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Pasal 1330 KUHPerdata, menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian adalah:
Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek
perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat
sesuatu.
Isi perjanjian harus memuat/causa yang diperbolehkan. Apa yang menjadi obyek atau isi dan
tujuan prestasi yang melahirkan perjanjian harus tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. (Etty Susilowati, 2007: 32)
Dari 4 (empat) syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, terdiri atas syarat
subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif berkaitan dengan para subjek yang membuat
perjanjian. Sedangkan syarat objektif berkaitan dengan dengan objek dalam perjanjian
tersebut.
Yang termasuk syarat subjektif yakni kesepakatan dan kecakapan para pihak. Apabila para
pihak tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan
atau voidable. Artinya, salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan
permohonan pembatalan kepada hakim. Namun, perjanjian tersebut tetap mengikat para
pihak sampai adanya keputusan dari hakim mengenai pembatalan tersebut.
Yang termasuk syarat objektif yakni adanya suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Apabila
para pihak tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut akan dianggap batal
demi hukum atau null and void. Artinya, perjanjian ini dianggap tidak pernah ada sehingga
tidak akan mengikat para pihak.
Maksud dari asas kebebasan berkontrak artinya para pihak bebas membuat kontrak dan
mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut: (Munir
Fuady, 1999: 30)
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena
kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para
pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat
(1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. (Ahmad Miru, 2007: 4)
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad
baik (goeder trouw, bona fide). Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan
bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana
syarat yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata. Itikad baik disyaratkan dalam hal
“pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan suatu kontrak. Sebab, unsur
“itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsure “kausa
yang legal” dari Pasal 1320 tersebut. (Munir Fuady, 1999: 81)
4. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa suatu perikatan itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya
kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain bahwa perikatan itu sudah sah dan
mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok
perikatan. Berdasarkan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata, dinyatakan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak.
V. UNSUR-UNSUR KONTRAK
I. Unsur Esensiali
Unsur esensiali merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya
kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka tidak ada kontrak. Sebagai contoh, dalam
kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga dalam kontrak jual beli,
kontrak tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan. (Ahmad
Miru, 2007: 31)
Unsur Naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila
tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan
demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak.
Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara
otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang harus menanggung cacat
tersembunyi. (Ahmad Miru, 2007: 31)
Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada satu mengikat para pihak jika para pihak
memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan
bahwa apabila pihak debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang
sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor tanpa melalui pengadilan. Demikian pula
oleh klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan
merupakan unsure esensial dalam kontrak tersebut. (Ahmad Miru, 2007: 32)
Akibat hukum suatu kontrak pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum dari suatu
perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang
merupakan salah satu bentuk daripada akibat hukum suatu kontrak. Kemudian, hak dan
kewajiban ini tidak lain adalah hubungan timbal balik dari para pihak, maksudnya, kewajiban
di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak
pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak kedua
merupakan hak bagi pihak pertama. Dengan demikian, akibat hukum di sini tidak lain adalah
pelaksanaan dari pada suatu kontrak itu sendiri.
Menurut pasal 1339 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
(H.R. Daeng Naja, 2006: 20-21)
Berakhirnya perikatan diatur dalam pasal 1381 KUHPerdata. Yang diartikan dengan
berakhirnya perikatan adalah selesainya atau hapusnya sebuah perikatan yang diadakan oleh
dua pihak yaitu kreditor dan debitor tentang sesuatu hal. Pihak kreditor adalah pihak atau
orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan debitor adalah pihak yang berkewajiban
untuk memenuhi prestasi. Bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua
pihak, bisa jual beli, utang piutang, sewa menyewa, dan lain-lain. (Salim HS, 2006: 187)
Disebutkan dalam KUHPerdata tentang berakhirnya perikatan diantaranya yaitu: (H.R. Daeng
Naja, 2006: 23)
Pada dasarnya setiap kontrak yang dibuat para pihak harus dapat dilaksanakan dengan itikad
baik dan sesuai dengan yang telah dijanjikan, namun dalam kenyataannya kontrak yang
dibuat seringkali dilanggar atau ada salah satu pihak melakukan wanprestasi. Wanprestasi
adalah suatu keadaan dalam mana seorang debitor (berutang) tidak melaksanakan prestasi
yang diwajibkan dalam suatu kontrak, yang dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian
debitor itu sendiri. (Muhammad Syaifuddin, 2012: 338)
Penyelesaian sengketa di bidang kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu (1) melalui
pengadilan, dan (2) di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah
suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang diselesaikan oleh
pengadilan dengan putusan yang bersifat mengikat. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui
alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli (Pasal 1 ayat (10)
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilhan Penyelesaian
Sengketa). Apabila mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-undang No. 30 Tahun 1999
maka cara penyelesaian sengketa melalui ADR dibagi menjadi lima cara, yaitu :
(1) Konsultasi;
(2) Negosiasi;
(3) Mediasi;
(4) Konsiliasi, atau
(5) Penilaian ahli. (Salim H. S., 2009: 140)