Anda di halaman 1dari 103

SEJARAH DESA POYOWA BESAR

A. PENDAHULUAN

Sejarah adalah pertanggung jawaban kebudayaan pada masa lampau. Peristiwa-peristiwa masa lampau
mempunyai pengaruh bagi kehidupan masyarakat yang dibentuk oleh sejarah sendiri. Apa yang
diperbuat masa lampau,akan berlanjut dimasa kini dan apa yang dilakukan dimasa kini itulah masa yang
akan datang. Mempelejarinya akan berguna terutama pada mereka yang ingin melakukan perubahan
kepada yang lebih baik. Sejarah bangsa terbentuk dari sejarah lokal dan sejarah lokal titik sentralnya
adalah sejarah desa. Desa poyowa besar memiliki masa lampau yang sangat dibanggakan dimasa kini
dan bahkan pada masa yang akan datang. Semangat juang, semangat perubahan yang berpegang teguh
pada kearifan local yang diciptakan dan dikembangkan para leluhur Poyowa Besar telah tertanam dalam
jiwa masyarakatnya. Dibandingkan dengan masa sekarang masyarakat masa lampau adalah masyarakat
yang memiliki etos kerja yang luar biasa. Semangat gotong royong dan tidak putus asa, hingga sekarang
kita masih merasakan jalan-jalan perkebunan,aliran irigasi perkebunan dan pertanian, tempat ibadah,
sarana olah raga dan sarana pendidikan, kesenian dan laia-lain masih tetap eksis sebagai warisan leluhur
yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Namun adakalanya kita lengah sehingga kelestarian warisan
leluhur itu tercoreng oleh perilaku-perilaku yang tidak terpuji yang didorong oleh kepentingan pribadi
atau kelompok inilah yang perlu kita cermati dengan mempelajari perilaku leluhur yang telah
bersusahpayah mewariskan kekayaan semangat dan tidak akan hilang ditelan zaman.

B. SEJARAH POYOWA BESAR


Dalam merekronstruksi kembali masa lampau terkadang kita dihadapkan kepada kurangnya sumber-
sumber baik tertulis maupun tidak tertulis. Rekonstruksi Desa Poyowa Besar berdsarkan pada, pertama
faktor sosial berupa perilaku interaksi sosial, kedua fakta mental berupa keyakinan masyarakat sejak
turun temurun bahwa memang sesuatu itu benar adanya, ketiga faktor artefak berupa tinggalan-
tinggalan yang masih ada.

Menurut penuturan leluhur secara turun-temurun Poyowa Besar masa lampau (prasejarah) telah dihuni
oleh dua kelompok masyarakat yang masih memiliki ikatan keluarga. Mereka mendiami wilayah yang
terpisah oleh sungai Yantaton sebelah utara dan sebelah barat sungai didiami oleh kelompok
SINUNTUNGAN, sedangkan sebelah timur dan selatan oleh kelompok DINDINGAN. Mereka hidup
berburu dan menanam umbi-umbian dan biji-bijian. Ketika dalam perburuannya ada yang berhasil
menangkap binatang hasil buruan yang sangat besar, maka oleh mereka tangkapan itu dibagi dua atau
poyodua.

Tangkapan itu besar atau noloben. Berdasarkan terminologi dari kata Dua dan Moloben maka mereka
sepakat nama pemukiman mereka dinamakan Poyowa Moloben (Poyowa Besar). Nama ini
melambangkan persaudaraan dan saling memberi karena mereka masih ada ikatan kekeluargaan.
Lambat laun jumlah mereka makin bertambah. Seiring dengan perjalanan zaman dan adanya kontak
dengan dunia luar terjadilah perubahan terutama dalam segi kehidupan. Mereka melebarkan daerah
perburuan dan dengan kawalan Bogani “Bantong”.

Dan “Oyotang”. Rasa percaya diri terus tumbuh sehingga terjadilah saling serang dengan kelompok
masyarakat yang bukan komunitasnya para leluhur Poyowa Besar terus menerus memperluas
kekuasaan dengan tidak memberi kesempatan kepada warga masyarakat lain untuk menempati wilayah
yang diinginkan oleh leluhur Poyowa Besar.

Dan sebagai bukti sampai saat sekarang tidak ada komunitas luar Poyowa Besar yang perkebunannya
ada ditengah-tengah perkebunan masyarakat Poyowa kecuali masuk menjadi warga Poyowa Besar.
Poyowa Besar adalah termasuk Desa yang tergolong tua di dataran Mongondow. Desa-desa lain adalah
Kobo’, Kotobangon, Lokuyu’, Motoboi Kecil, Matali, Sebagai mana tertulis dalam sejarah lokal Bolaang
Mongondow bahwa para Bogani adalah pemimpin masing-masing kelompok masyarakat dan para
Bogani pula yang bermusyawarah untuk mencari pemimpin diantara mereka yang disebut Punu’ mulai
dari Punu’ Mokodoludut sampai Punu’ Tadohe.

Pada masa Punu’ Tadohe berkumpulah para Bogani disebelah pinggiran Bolaang Mongondow di
bukit TUDU IN BAKID. Mereka berhasil membuat kesepakatan “DODANDIAN” Palako dan Kinalang
yaitu semacam kontrak sosial antara Penguasa dan Rakyat, dan diperkuat oleh sumpah ( Odi-odi ).
Dalam perjanjian itu dikatakan bahwa Kinalang akan mengayomi seluruh Rakyat sedangkan rakyat akan
patuh pada perintah. Dodandian ini sangat dipatuhi oleh rakyat dan penguasa pada waktu itu, dan tidak
ada yang mengingkarinya.

Punu’ Tadohe memerintahkan setiap kelompok masyarakat yang tinggal diperkebunan (Lumad) harus
memiliki tempat tinggal di Lipu’ (Desa). Jalan utama desa yang menghubungkan desa lain seperti, Kobo,
Motoboi, dan Tabang. Rumah-rumah dibuat menghadap jalan desa. Pada tahun 1653 Raja pertama
Datoe Binangkang berkuasa, Raja ini sangat dekat dengan penduduk Poyowa Besar waktu itu, sehingga
menjelang ajalnya Ia berpesan agar jika meninggal dunia dimakamkam di RIGI’ dekat sungai Poyowa.

Pada masa pemerintahan Raja Yacobus Manoppo 20 Mei 1695 Lipu’ Poyowa Moloben termasuk
Desa yang maju dan besar menurut ukuran waktu itu ( Pendeta Grafland dan Dr. Riedel dari Belanda ).

Tahun 1833 Raja Yacobus Manuel Manoppo diangkat jadi Raja dan ketika Ia masuk Islam dengan
memperisteri anak seorang Mubalig Imam Tueko bernama Kilimago. Rakyat di Poyowa Besar juga mulai
masuk agama Islam karena mereka patuh pada Raja. Kemajuan desa lebih meningkat lagi ketika Raja
Abraham Sugeha (Andi Panungkelan) menjadi Raja, ia memiliki pengetahuan luas dibidang agama.
Abraham Sugeha memerintahkan agar semua desa membuat Masjid, Alun-alun dan Bobakidan dalam
satu kompleks. Maka rakyat berbondong-bondong saling bekerjasama bahkan rela memberikan
tanahnya dijadikan lokasi pembangunan Masjid, Bobakidan dan lapangan (alun-alun). Lokasi Bobakidan
dan Masjid sampai sekarang masi ditempat yang sama sekarang letak Poyowa Besar Satu, sedangkan
alun-alun (lapangan) dipindahkan pada tahun 1972 Ke Lapangan Bogani. Tentang siapa pemimpin
masyarakat waktu itu tidak diketahui karena arsip desa hilang terbakar pada masa pergolakan
Permesta.
Pada akhir abad 19 Raja menunjuk kepercayaannya melalui persetujuan rakyat menjadi pemimpin dan
diberi nama Tahidi yaitu mata, telinga dan tangan Raja di setiap Desa.

Tahidi pertama Poyowa Besar adalah Muda Linsawang 1897-1904, kemudian ia digantikan oleh
Salim Dompelek Makalalag dengan gelar atau sebutan Sangadi. Salim Makalalag memerintah Tahun
1904 sampai dengan 1910. Sangadi Salim sangat mendukung Raja Ridel Manuel Manoppo yang berpusat
di Bolaang dan menolak kehadiran Controleur Belanda Cornelius Van Huizen yang bermarkas di Kota
Baru (Poopo sekarang) Sangadi Salim menyerukan agar rakyat Poyowa Besar untuk menolak membayar
pajak kepada Belanda bahkan memboikot setiap perintah yang datang dari Controleur Belanda.
Menurut Belanda tindakan Sangadi Salim Makalalag sangat berbahaya karena memberi motivasi kepada
sangadi-sangadi Desa lain di dataran Mongondow untuk memberontak.

Tindakan sangadi Salim didukung oleh orang-orang kuat waktu itu seperti Lomban Andu, setiap utusan
Belanda yang datang selalu mendapat pelecehan fisik dan disuruh pulang, sehingga membuat penguasa
Belanda marah. Belanda meminta agar sangadi Salim Makalalag dan Lomban Andu menyerahkan diri,
namun keduanya menolak bahkan melakukan perlawanan fisik. Dengan tipu muslihat Belanda akhirnya
menangkap seluruh anggota keluarga sangadi Salim dan Lomban Andu dengan ancaman akan dibunuh
apabila keduanya tidak menyerahkan diri. Demi kecintaan keduanya pada anak keturunannya maka
akhirnya menyerahkan diri, sangadi Salim dibawah oleh Belanda sebagai tawanan politik di Poopo, sikap
anti Belanda anti penjajahan sangadi Salim tunjukan dengan tidak makan dan tidak minum (mogok
makan) sampai akhir hayat tahun 1911, dan oleh anak dan cucunya kuburnya dipugar pada tahun 1980.
Demikian juga Lomban Andu setelah ditangkap dibuang ke Aceh dan 15 tahun kemudian ia dikembalikan
oleh Belanda kekampung halamannya Poyowa Besar sampai wafat
TOREHAN PRESTASI BEBERAPA TOKOH POYOWA BESAR

SANGADI TH. MC. MANOPPO 1916 - 1918

Berjasa dalam pembukaan pemukiman baru atau lebih kenal oleh masyarakat poyowa besar
“Lipu’ Mo Bagu” dari ujung timur Kampung Tua melingkar ke Selatan menuju ke barat. Setelah
akses jalan dibuka Sangadi TH MC Manoppo membagi tanah pekarangan untuk mendirikan
rumah bagi masyarakat yang tidak memiliki tanah pekarangan.

SANGADI KOCI MOKOAGOW 1940

Koci Mokoagow di utus oleh Raja menjadi Sangadi Poyowa Besar. Namun dalam menjalankan
Pemerintahannya ia lebih menunjukkan sikap feodal yang bertentangan dengan karakter
masyarakat Poyowa Besar yang lebih menonjolkan nilai dan azas kekeluargaan. Sikap Sangadi
Koci Mokoagow mendapat reaksi dari para GUHANGANYA yang dipimpin oleh Yongit Mondo
atau (Aki Muhafud). Para GUHANGANYA mendatangi rumah kediaman Sangadi dan
memintanya untuk segera meninggalkan Jabatannya dan kembali ke kampung halamannya di
Desa Moyag
SANGADI AHADIN MANDENG 1940 - 1946

Pada masa Pemerintahan Ahadin Mandeng Poyowa Besar mengalami masa-masa sulit karena
situasi dan kondisi dalam masa akhir pendudukan Pemerintah Kolonial Belanda yang kemudian
Republik Indonesia dijajah oleh Jepang yang merambah Asia Timur Raya. Masyarakat Poyowa
Besar banyak mengalami tekanan dan masyarakatnya dipaksa oleh tentara Dai Nippon untuk
ikut dalam kerja rodi/kerja paksa. Ahadin Mandeng sempat membangun beberapa irigasi Desa
untuk mengairi persawahan masyarakat. Dan di jaman inilah saluran irigasi Pawa’ di gali oleh
seorang tokoh masyarakat bernama Ojo Bingkalan ( Tete Ainun ). Panjang yang digali secara
sendiri oleh Aki Ojo Bingkalan kurang lebih 1200 meter yang sampai sekarang saluran tersebut
masih digunakan sebagai satu-satunya saluran yang ada ditengah-tengah persawahan Pawa’
satu.

Sangadi Ahadin Mandeng memerintah sampai Indonesia merdeka.

SANGADI HARUN PEASU 1956 - 1967

Harun Peasu banyak menorehkan prestasi disegala bidang seperti : bidang pertanian, bidang
agama, bidang pendidikan, bidang kesenian dan olah raga.

Bidang Pertanian Sangadi Harun Peasu menggalakkan gerakan kembali ke kebun kembali ke
sawah, ladang dan gerakan menanam tanaman produksi dan buah-buahan. Seiring dengan
gerakan tersebut di atas, beliau juga membangun akses jalan perkebunan seperti jalan poros
perkebunan yang menghubungkan jalan desa sampai perkebunan Mobalang. Jalan roda/ pedati
juga telah dibangun diberbagai penjuru perkebunan poyowa besar.

Dimasa sangadi Harun Peasu di bangun Irigasi desa yang mengairi persawahan. Pada Masa
inilah Saluran Irigasi Pawa’ digali oleh 1 (satu ) orang bernama Ojo Bingkalan (Tete Ainun) Yang
panjang kurang lebih 1200 meter sampai pada jalan poros Perkebunan Poyowa Besar yang
sampai pada saat ini saluran tersebut masih digunakan dan satu-satunya ditengah persawahan
Pawa’ satu.

Bidang agama dan pendidikan Harun Peasu mengajak masyarakat untuk aktif dalam pengajian,
dan pada masa itu berdiri Yayasan Pendidikan Islam Cokro Aminoto dan telah dibangun SD
Cokro yang sampai saat sekarang masih Eksis. Bidang Kesenian Beliau banyak melakukan
pembinaan seni budaya berupa : dana-dana, tarian daerah, hadra dan musik bambu klarinet
yang saat sekarang masih terpelihara oleh karena regenerasi terus dilakukan

Irama Bogani masih tetap eksis dan satu-satunya di Bolaang Mongondow. Persaingan sehat
dibangun ditengah-tengah dinamika masyarakat dengan prinsip fastabiqqull Khairat. Sehingga
Poyowa Besar disegani oleh Desa-desa di Bolaang

Mongondow dibidang seni sampai saat ini. Di masa Harun Peasu terlahir pemetik Gambus
terkenal seperti Damong Bangol, Abdul Rahim Mamonto dan Lain-lain. Bidang olah raga
yang

menonjol Sepak Bola dan Olah Raga Bela diri (pencak silat) . Tim sepak bola yang terkenal
dengan nama “Motobatu’” telah melahirkan pemain terbaiknya seperti Chairoel Makalalag,
Yasin Lomban, Lahmudin Mokoagow dan Hensi Mokodompit mereka telah masuk sebagai
pemain Persibom Kala itu.

Pencak silat melahirkan pendekar yang sangat terkenal dan disegani oleh kawan maupun lawan
yaitu Loloda’ Angkato dan Akas manoppo yang selalu menjadi juara disetiap turnamen pada
saat itu. Sangadi Harun Peasu banyak mengukir prestasi walaupun tantangan yang dihadapinya
saat itu sangat luar biasa yaitu pergolakan permesta tahun 1959 – 1962 dimana, didalam desa
juga terjadi pergolokan yang mengarah pada tindakkan kriminal oleh kelompok-kelompok
tertentu yang terkadang mengorbankan nyawa orang lain.
KEPALA DESA I. D. MOKODOMPIT 1970 - 1973

I.D. Mokompit Memimpin Poyowa Besar dengan beberapa program antara lain : bidang
pertanian menggalakkan penanaman kelapa, kopi dan buah-buahan, juga membuka lahan baru
dipegunungan dan mewajibkan warganya yang ingin kawin maka terebih dahulu memiliki lahan
dan menanam kopi atau tanaman lainnya minimal 200 pohon. Bidang pembangunan telah
berhasil membangun Balai dan Kantor Desa yang termegah pada zamannya, beliau juga
membangun Lapangan Olah Raga Bogani.

Pada tahun 1972, I.D.Mokodompit berhasil membawa poyowa Besar menjadi juara 2 (dua)
lomba Desa Tingkat Propinsi Sulawesi Utara.

KEPALA DESA KOPTU DJAMAL MOKODOMPIT 1973 – 1980

Djamal Mokodompit kepala Desa Poyowa Besar dengan latar belakang militer yang memimpin
dengan mengkombinasikan kepemimpinan Demokrasi dan Otoriter, sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi. Dimana sebelum kepemimpinan Djamal Mokoompit situasi kamtibmas
masih tidak menentu, sehingga beliau memprioritaskan keamanan, ketentraman masyarakat
dengan menerapkan disiplin ala miliiter kepada masyarakat, dan hasilnya Poyowa Besar dimasa
Djamal Mokodompit kehidupannya aman, tentram karena tidak ada kejahatan sedikitpun.
Ekonomi rakyat meningkat pesat karena tidak ada pencurian, penipuan dan tindakan kriminal
lainnya. Bidang pembangunan Djamal Mokodompit membangun Masjid Nurul Iman,
pembuatan telaga Desa, perkerasan jalan perkebunan dan memerintahkan kepada masyarakat
untuk membuat pagar pekarangan rumah-rumah penduduk dengan konstruksi beton tanpa
pengecualian. Djamal Mokodompit juga membuka lahan atau TALUN IN LIPU’ di Tudu Utok,
yang sampai saat ini menjadi batas wilayah perkebunan antara Poyowa Besar dengan Kobo
Kecil
POYOWA BESAR DIMEKARKAN MENJADI DUA DESA

Desa Poyowa Besar merupakan Desa yang tergolong luas dan padat penduduknya, sehingga
dalam mengatur urusan administrasi pemerintahan, kemasyarakatan serta pembangunan
pemerintah Desa mengalami kesulitan, dalam rangka melayani urusan masyarakat.
Permasalahan inilah yang menuntun kepala Desa Hasan Angkara bermusyawarah dengan
Lembaga Musyawarah Desa (LMD), Tokoh Masyarakat perwakilan dari tiap-tiap Dusun dan
bermufakat untuk mengusulkan pemekaran Desa. Hasil musyawarah kemudian dibuat usulan
kepada Bupati Bolaang Mongondow (Drs Muda Mokoginta) dan DPRD Kabupaten Bolaang
Mongondow Tahun 1995. Setelah berproses sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku
maka usulan Pemerintah Desa dan Masyarakat disetujui bedasarkan Surat Keputusan Gubernur
Sulawesi Utara Nomor 46 tanggal 4 Maret 1996, sehingga Poyowa Besar menjadi Poyowa Besar
Satu sebagai Desa Induk dan Poyowa Besar Dua sebagai Desa Persiapan. Sebagai Kepala Desa
Persiapan ditunjuk salah satu Kepala Dusun yakni Muhlis A. Gilalom. Tiga belas bulan kemudian
Desa Persiapan diresmikan menjadi Desa Definitip oleh Gubernur Sulawesi Utara Bapak E.E
Mangindaan, berdasarkan surat keputusan Gubernur Nomor 68 tanggal 21 April 1997, sebagai
Pejabat Kepala Desa Muhlis A. Gilalom. Hasan Angkara dicatat sebagai Tokoh Pemekaran
Poyowa Besar karena dimasa kepemimpinannya pemekaran Desa terjadi
USAHA – USAHA PERLUASAN WILAYAH PERKEBUNAN ( HAK ULAYAT ) OLEH
PARA LELUHUR POYOWA BESAR

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Masyarakat Poyowa Besar adalah bagian dari
Masyarakat Mongondow pada umumnya. Namun dari segi perluasan wilayah Masyarakat
Poyowa Besar waktu itu tergolong agresif, para leluhur bukan hanya merambah dataran rendah
tetapi sampai kekawasan pegunungan. Dengan tidak memberi kesempatan kepada masyarakat
dari komunitas lain untuk membuat kantong- kantong perkebunan pada wilayah yang sudah
dinyatakan sebagai wilayah oleh para leluhur Poyowa Besar. Dan sebagai bukti adalah tidak
adanya Masyarakat dari komunitas lain yang memiliki kantong-kantong perkebunan di wilayah
Poyowa Besar. Tentang proses penguasaan wilayah untuk tempat sumber kehidupan bagi
masyarakat, Leluhur Poyowa Besar memanfaatkan kearifan lokal (Local wisdom) dengan
pegunungan sebagai wilayah perkebunan, daerah perkebunan maupun tempat mengambil hasil
hutan berproses begitu lama, para leluhur melakukan beberapa tahapan yaitu :

1. Melakukan bontang (rintisan) yaitu mencari lokasi tertentu dan membuat atau
membuka kebun dan pembuatan Laig (Gubuk) dan sekitar kebun itu.
2. Dinyatakan milik dari pembuat bontang dan diakui secara turun –temurun (hak adat
atau hak ulayat) antara bontang yang satu dengan bontang lainnya memiliki jarak yang
jauh dan mereka tidak saling mengganggu.
Tahap berikutnya adalah para keturunan pemilik bontang membagi-bagi lokasi bontang
(rintisan) kepada anak temurunnya dan di buka sebagai areal perkebunan.

Sehingga terbentuklah bentangan perkebunan yang sangat luas

Di bawah ini adalah para perintis (Nomontang) yang dijadikan hak ulayat masyarakat Poyowa
Besar sejak dahulu.

1. Tudu In Dayow perintisnya adalah Aki Yoyatan. Keturunannya adalah marga Yoyatan di
Poyowa Besar pada tahun 2000 telah dibuat dan disepakati batas wilayah perkebunan
atau batas kepolisian antara Desa Poyowa Besar Dua dengan Desa Lolayan dan
menetapkan perkebunan Dayow sebagai batas perkebunan kedua desa, dengan bukti
dokumen tertulis yang ditandangani oleh Sangadi Poyowa Besar Dua dan Sangadi Desa
Lolayan dan para Tokoh Masyarakat yang mewakili masyarakat kedua Desa.
2. Pangum Panguk, perintisnya adalah Aki Salim D. Makalalag (Sangadi Pertama Poyowa
Besar).
3. Ipatag, pelopornya adalah Koyagat Ampai keturunannya adalah marga Ampai yang ada
di Poyowa Besar. Sampai sekarang masih ada bekas-bekas Lolaigan dekat pohon kayu
Togop Moloben.
4. Lombinog, perintisnya adalah Bekong Manoppo dan Aki Dula, bukti peninggalan
mereka adalah masih terdapat pohon pinang dan pohon mangga yang mereka tanam.
Tempat ini juga digunakan sebagai persinggahan ketika orang-orang Poyowa Besar
pergi ke Desa Nuangan dan Desa Onggunoi untuk mengambil garam.
5. Tonsina’at, perintisnya adalah Aki Lomban Andu. Tonsina’at merupakan tempat
mengambil hasil hutan seperti Talong (damar), tempat berburu binatang seperti
bantong (Anoa), dan Rusa. Keturunan Aki Lomban Andu adalah marga Lomban yang
ada di Desa Poyowa Besar

6. Mobungayon, dipelopori oleh Aki Dakotegelan dan diikuti oleh anak cucunya, Aki
Molantong, dan putranya Bekong Manoppo dan Aki Husin.

7. Morawang, (Gunung payung), perintisnya adalah Otoy Unteg kemudian diikuti oleh
anaknya bernama Palingak Unteg (Tete Uleng).

8. Mobonod, rintisannya dipelopori oleh Tatak Makalalag, Sorodadu, dan Pandita.


Menurut kisah Sorodadu dan Pandita tewas di Mobonod karena dibunuh oleh sejenis
mahluk halus dan dikuburkan di sana sampai sekarang masih ada kuburannya,
sedangkan Tatak Makalalag masih sempat dijemput oleh keluarganya dan meninggal
dunia di rumahnya, dengan kondisi kedua matanya sudah tidak ada dan pada bagian
dada terdapat luka berlubang.

Selain dari wilayah-wilayah bontang maka terdapat juga daerah-daerah Bontang yang
langsung dijadikan perkebunan secara terus-menerus, lokasi-lokasi itu adalah :

1. Mobalang dirintis oleh Aki Dakogalang, Aki Maulu dan Mintahang Pontoh, merupakan
areal perkebunan yang langsung berbatasan dengan perkebunan Desa Tabang paling
selatan.
2. Mokolondam dibuka oleh Aki Maulu, Ogit Udeng (Tete Aolan), Aki Hawani dan Daniel
Mokodompit.
3. Sinsing dipelopori oleh Aki Ainun (Ojo Bingkalan), Aki Alu, Totoda’ Mondo, Aki Bonu’ot,
Aki Janu (Damongi Molantong), Aki Imong, Paman Lomban (Tete Asruf).
4. Angob, dipelopori oleh Omeg Gugule dan anaknya bernama Tubo Gugule.
5. Tudu Uto’, Lokasi perkebunan Tudu uto’ adalah Lokasi perkebunan Poyowa Besar yang
terluar di sebalh timur (Pegunungan). Tudu Uto’ dibuka pada masa Sangadi Koptu TNI
AD. Djamal Mokodompit sebagai Sangadi Poyowa Besar. Dengan mengarahkan ratusan
tenaga masyarakat secara bergiliran maka terbentuklah lokasi perkebunan(Talun)
sekitar 100 hektar. Perkebunan ini berbatasan langsung dengan perkebunan Desa Kobo
Kecil.
Sekarang ini hampir seluruh Bontang (rintisan) para Leluhur telah diduduki oleh masyarakat
Poyowa Besar dan dijadikan areal perkebunan. Sehingga sekarang perkebunan mulai dari
belakang pemukiman sampai pegunungan dengan titik terjauh adalah Mobonod.
DAFTAR NAMA YANG MEMIMPIN
DESA POYOWA BESAR

MASA

NO NAMA JABATAN BHAKTI KETERANGAN

01 Muda Linsawang Tahidi 1887-1905

02 Salim D. Makalalag Sangadi 1905-1911

03 Manika Mamonto Sangadi 1911-1913

04 Gilalom Bungku Sangadi 1913-1915

05 Togirap Mohaebat Sangadi 1915-1916

06 Th.Mc. Manoppo Sangadi 1916-1918

07 Bobuyongki Makalalag Sangadi 1918-1919 Jabatan I

08 Bulow Batalipu Sangadi 1919-1921

09 L. D. Damulawan Sangadi 1921-1922

10 Ungkol Mokodompit Sangadi 1922-1923

11 Bobuyongki Makalalag Sangadi 1923-1927 Jabatan Ke II

12 Lomangi Bangol Sangadi 1927-1929

13 Ahadin Mandeng Sangadi 1929-1931 Jabatan I

14 Longa Gilalom Sangadi 1931-1936


15 M.H.D. Manoppo Sangadi 1936-1940

16 Koci Mokoagow Sangadi 1940-1940

17 Ahadin Mandeng Sangadi 1940-1946 Jabatan Ke II

18 Ali L. Gilalom Sangadi 1946-1954

19 Harun Mandeng Sangadi 1954-1956 PJS

20 Harun Peasu Sangadi 1956-1967

21 Loloda Y. Angkato Kepala Desa 1967-1970 PJS

22 Ishak D. Mokodompit Kepala Desa 1970-1973 Jabatan I

23 Koptu Djamal Kepala Desa 1973-1980


Mokodompit

24 Ishak D. Mokodompit Kepala Desa 1980-1981 Jabatan II

25 Djabir Gilalom Kepala Desa 1981-1986

26 Halim Lomban,BA Kepala Desa 1986-1987

27 Muin A. Damulawan Kepala Desa 1987-1989 Jabatan I

28 Lolong S. Mondo Kepala Desa 1989-1991

29 Muin A. Damulawan Kepala Desa 1991-1994 Jabatan II

30 Hi.Hasan Angkara Kepala Desa 1994-1996

31 Hi. Husain Mamonto Kepala Desa 1996-1997


SK GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT SULAWESIUTARA

NO. 68 TAHUN 1997 TANGGAL 21 APRIL POYOWA BESAR MENJADI POYOWA


BESAR SAT U DAN POYOWA BESAR DUA

MASA
NO NAMA JABATAN KET
BHAKTI

01 Hi. Hasan Mamonto Kepala Desa 1997-2000

02 Riadi Mamonto Kepala Desa 20-05-2000 s/d 17-05-2008

03 Idrus Makalalag Kepala Desa 17-05-2008 s/d 29-10-2008 PLH

04 Drs. Nasrun Gilalom Kepala Desa 29-10-2008 s/d 06-10-2009 PLH

05 Hardi Makalalag Kepala Desa 06-10-2009 s/d 06-10-2015

06 Muliadi Mondo, S.IP Kepala Desa 08-10-2015 s/d 27-12-2015 PJS

07 Yandi Mokoagow Kepala Desa 28-12-2015 s/d


KEPALA DESA POYOWA BESAR DUA DARI WAKTU KE WAKTU

Poyowa Besar Dua sebagai Desa Persiapan diPimpin oleh Muhlis A. Gilalom, dan pada saat
diresmikan menjadi Desa Definitip beliau juga ditunjuk sebagai Pejabat Kepala Desa dengan
Surat Keputusan Bupati Bolaang Mongondow Nomor 101 Tanggal 1 Mei 1997. Muhlis A.
Gilalom melaksanakan tugas terakhirnya dengan melaksanakan suksesi Pemilihan Kepala Desa
Poyowa Besar Dua pertama pada 1999, sebagai calon waktu itu Adun S. Mondo dan P.R.
Paputungan. Muhlis A. Gilalom sukses melaksanakan tugasnya dan Kepala Desa terpilih adalah
Adun S. Mondo.

Kepala Desa Adun S. Mondo diangkat dengan Surat Keputusan Bupati Nomor 21 Tanggal 22
Maret 1999.

Pada masa kepemimpinan Adun S. Mondo Poyowa Besar Dua disegani oleh Desa-desa Tetangga
yang ada di Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow oleh karena pemerintah Desa
dan Masyarakatny a bersatu membangun Desa.

Dalam urusan pemerintahan Kepala Desa memfungsikan seluruh aparat sesuai tugas dan
kewenangan yang diberikan kepadanya. Penguatan kelembagaan dalam Desa dibangun oleh
Adun S. Mondo termasuk mengadakan pemilihan Anggota Badan Perwakilan Desa (BPD)
pertama sebagai mitra kerja Kepala Desa.

Dalam urusan kemasyarakatan Kepala Desa mengutamakan pelayan secara berjenjang sehingga
tidak menimbulkan keluh kesah masyarakat dengan menganut prinsip ‘dari, oleh dan untuk
masyarakat, tidak pilih kasih dalam pelayanan kepada masyarakat, terus dipertahankan
sehingga masyarakat Poyowa Besar Dua jujur dalam segala hal.

Untuk menjalan tugas dibidang pembangunan Kepala desa Adun S. Mondo didampingi
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Pada tahun 2000 LKMD Desa Poyowa Besar Dua
dipimpin oleh tokoh muda energik yakni Hendra Makalalag, SIP. Melalui ide dan gagasan
beliaulah konsep pembangunan Desa Poyowa Besar Dua telah dilahirkan dan dilaksanakan oleh
Adun S. Mondo sebagai Kepala Desa. Gagasan ide dan pemikiran memajukan Desa dituangkan
dalam program LKMD Desa Poyowa Besar Dua. Program LKMD didiskusikan dan diperdebatkan
oleh Ketua LKMD melalui Forum Musyawarah LKMD dan Masyarakat sehingga menghasilkan
beberapa Program Unggulan yang kesemuanya dapat dilaksanakan melalui program jangka
pendek, program jangka menengah dan program jangka panjang. Program LKMD dimasa
kepemimpinan Hendra Makalalag,SIP yaitu :

a. Program jangka pendek : Pembukaan lahan baru bagi masyarakat yang tidak memiliki
lahan, pengadaan tanah pekuburan.
b. Program jangka menengah : Pembuatan / penggusuran Lapangan Olah Raga Desa
Poyowa Besar Dua
c. Program jangka panjang : Pemagaran Lapangan Olahrraga Pembangunan Sekretariat
Lapangan Pembuatan Menara Masjid “ Ainul Yaqqin “.

Adun S, Mondo mengawali kegiatan mulai dari penataan tanah pekuburan umum bersama
dengan LKMD. Penumpasan pohon kelapa yang ada dilokasi pekuburan umum dan menata
letak kubur bagi masyarakat yang akan dimakamkan. Jalan didalam
area pemakaman diatur sedemikian rupa sehingga terlihat rapi, teratur dan asri.
Dalam implementasi Program LKMD melakukan sosialisasi program dengan harapan
masyarakat memahami program LKMD supaya target sasaran bisa tercapai. Namun dalam
pelaksanaannya program jangaka menengah terlebih dahulu dilaksanakan yaitu pembuatan /
penggusuran Lapangan Olahraga. Yang diberi nama “ Stadion Motobatu’ “ ketika itu dibantu
oleh Bupati Bolaang Mongondow Bapak Drs. Muda Mokoginta dengan bantuan alat guna
pembuatan/penggusuran dan meratakan Lapangan Olahraga. Setelah Lapangan Olahraga
selesai dibangun barulah program jangka pendek LKMD dilaksanakan yakni pembukaan lahan
baru.

Pembukaan lahan baru ini dikhususkan bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan. Dari data
Statistik Desa Poyowa Besar Tahun 2000 jumlah penduduk 1657 jiwa, jumlah Kepala Keluarga
(KK) 475. KK yang memiliki lahan baik sawah maupun ladang sebanyak 135 dari jumlah KK 475.
340 KK menggantungkan hidupnya sebagai buruh tani atau petani penggarap yang tidak
memiliki lahan sama sekali. Kondisi ini sangat memprihatinkan, sehingga Ketua LKMD saat itu
membuat Program pengentasan kemiskinan melalui pembukaan lahan baru. Ancaman bagi
generasi selanjutnya bagi Kepala Keluarga yang tidak memiliki lahan perlu diantisipasi
mengingat dampak Globalisasi dimana persaingan komparatif dan kompetitip ditingkat dunia
akan menimbulkan dampak bagi masyarakat dunia, Indonesia pada umumnya dan Poyowa
Besar Dua pada khususnya.

Pengaruh Globalisasi inilah yang dipikirkan oleh LKMD Poyowa Besar Dua dan solusinya adalah
bagaimana masyarakat yang tidak ada lahan sendiri supaya bisa memiliki lahan dan jawabannya
adalah dianjurkan untuk mengikuti program LKMD untuk membuka lahan baru. Setelah
Program disetujui oleh Pemerintah Desa maka LKMD melakukan langkah-langkah persiapan
guna mengsukseskan kegiatan pada program dimaksud. Survey awal Kepala Desa beserta
aparatnya dan pengurus LKMD Poyowa Besar Dua memili lokasi Mobalang, Mokolondam,
Dayow sampai Ipatag. Ketua LKMD dalam rangka mengsukseskan program terus-menerus
mensosialisasikan program dengan harapan kesadaran berkebun dan menanam tanaman
produksi bisa dilaksanakan oleh masyarakat. Seruan Ketua LKMD saat itu diresfon oleh generasi
muda yang dipimpin oleh Drs. Abdul Haris Mokoagow sebagai Ketua Pemuda Desa Poyowa
Besar Dua saat itu. Drs. Abdul Haris Mokoagow yang juga sebagai Tokoh Pendidik didampingi
oleh Anwar Angkato membentuk kelompok MOMOSAD membuka lahan baru. Gerakan para
pemuda ini rupanya membangkitkan animo masyarakat pada umumnya dan berlomba-lomba
membuka lahan diwilayah pegunungan mulai dari Mobalang, Mokolondam, dayow, Angob
sampai Ipatag.

TAHUN MENANAM.
Pada tahun 2002 semua lahan yang dibuka oleh masyarakat baik secara berkelompok maupun
secara individu sudah siap untuk ditanami atau siap tanam. Maka pada tahun itulah Gerakan
Menanam dicanangkan, jenis tanaman antara lain Cengkih, Kopi, Kakao dan berbagai jenis
buah-buahan. Empat tahun kemudian sudah mulai memetik hasilnya.

Kesuksesan program tidak terlepas dari perhatian dan keseriusan Kepala desa Adun S. Mondo
yang dengan maju digaris terdepan bersama masyarakat turut membuka lahan dengan suatu
keyakinan pemimpin tidak boleh hanya memerintah rakyat tetapi harus ikut bekerja dan
hasilnya sudah banyak KK miskin yang dientaskan.

Pada akhir 2005 Kepala Desa Adun S. Monodo tersandung massalah tanah aset desa yang
ditukar Gulingkan. Kondisi saat itu dimanfaatkan oleh mitra kerjanya yakni Badan Perwakilan
Desa yang dipimpin oleh Nasrun Gilalom,SPd. Adun S. Mondo kemudian diusulkan oleh BPD
untuk diganti, namun BPD Poyowa Besar Dua tidak bisa menunjuk siapa calon pengganti saat
itu sehingga pada akhirnya Camat Kotamobagu Selatan saat itu Drs. Roy Bara mengambil
langkah agar tidak terjadi kekosongan Pemerintahan Desa maka ditunjuk Pejabat oselon empat
pada Kantor Camat yaitu Kepala Seksi Pemerintaha yang saat itu dijabat oleh Dra. Alwiyah
Mokodompit sebagai pelaksana tugas Sangadi. Dra. Alwiyah Mokodompit Pelaksana Tugas
Sangadi kurang lebih 6 bulan dan digantikan 0leh Sekretaris Desa Gunawan Mamonto selama 1
(satu) hari tanggal 10 maret 2006 yang tercatat dalam sejarah Sangadi Poyowa Besar Dua dalam
waktu 1 (satu) hari. Pada tanggal 17 Maret 2006 sampai 12 maret 2007 kendali pemerintahan
Poyowa Besar Dua ada ditangan Camat Kotamobagu Selatan Bapak Drs. Roy Bara. Pada sat
Bapak Roy Bara memimpin Desa Poyowa Besar Dua merasa dilecehkan.

Kondisi inilah memaksa Tokoh Masyarakat yang di koordinir oleh Bapak Hendra Makalalag,SIP
yang didukung oleh seluruh aparat Desa dan Tokoh Masyarakat mengirim surat kepada Bupati
Bolaang Mongondow Dra. Marlina Moha Siahaan untuk mengembalikan jabatan Sangadi
Kepada Adun S. Mondo dengan pertimbangan Adun S. Mondo masih memiliki hak untuk
memegang jabatan Sangadi karena Pemberhentian terhadap dirinya hanya secara lisan oleh
Camat Roy Bara.

Berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku maka Bupati Dra. Marlina Moha Siahaan
mengaktifkan kembali Adun S. Mondo sebagai Sangadi Desa Poyowa Besar Dua melalui Surat
Keputusan Camat Kotamobagu Selatan Nomor 02 Tahun 2007 Tanggal 12 Maret 2007 sampai
dengan Tanggal 21 Oktober 2008.

Setelah Adun S. Mondo Poyowa Besar Dua dipimpin oleh Undung Tundu sebagai Pelaksana
Harian melalui Surat keputusan Camat Nomor 39 Tahun 2008 sampai dengan 6 Oktober 2009
setelah Undung Tundu berhasil melaksanakan pemilihan Sangadi Desa Poyowa Besar Dua yang
kedua dengan sukses aman dan damai.

Sangadi terpilih adalah Bapak Anwar Angkato memimpin sampai saat sekarang.

NAMA KEPALA DESA / SANGADI POYOWA BESAR DUA.


NO NAMA JABATAN TAHUN KET :

01 MUHLIS GILALOM KEPALA DESA 1996 - 1997 DESA PERSIAPAN

02 MUHLIS GILALOM KEPALA DESA 1997 - 1999 PENJABAT

03 ADUN S. MONDO KEPALA DESA 1999 - 2005 PEJABAT

04 Dra. ALWIYAH MOODOMPIT SANGADI 2005 - 2006 PELAKSANA HARIAN

05 GUNAWAN MAMONTO SANGADI 2006 - 2006 PELAKSANA TUGAS

06 Drs. ROY BARA SANGADI 2006 - 2007 PELAKSANA HARIAN

07 ADUN S. MONDO SANGADI 2007 -2008 JABATAN DIKEMBALIKAN

08 UNDUNG TUNDU SANGADI 2008- 2009 PELAKSANA TUGAS

09 ANWAR ANGKATO SANGADI 2009- SEKARANG

DESA POYOWA BESAR DUA


a. Keadaan Geogragis Desa
Desa Poyowa Besar Dua merupakan hasil pemekaran dari Desa Poyowa Besar. Jarak
desa Poyowa Besar Dua ke pusat Kota Kotamobagu kurang lebih 5 km dan jarak ke Ibu
kota propinsi kurang lebih 200 km.
Desa ini memiliki batas wilayah yaitu :
 Sebelah utara sungai Poyowa
 Sebelah timur Poyowa Besar Satu
 Sebelah selatan Desa Tabang
 Sebelah barat Desa Tabang

Luas wilayah Desa Poyowa Desa Besar Dua 6.624 Ha. Dengan daerah berupa dataran,
dan 1349 Ha. Dengan daerah berupa dataran tinggi atau pegunungan pada ketinggian
900 m dari permukaan air laut.

Berdasarkan data profil Desa Poyowa Besar Dua tahun 2009, luas Desa Poyowa
Besar Dua terdiri dari pemukiman umum, kurang lebih 25 Ha, tanah sawah 650 Ha,
tanah ladang 375 Ha, hutan rakyat 310 Ha, dan kolam kurang lebih 14 Ha.

Desa Poyowa Besar Dua terbagi dalam 3 (tiga) Dusun dan 7 (tujuh) RT.

Untuk mencapai Desa Poyowa Besar Dua sangatlah mudah karena sarana
penghubung yang tersedia berupa mobil dan becak motor (bentor) sangat memadai
fasilitas pengangkutan pribadi yang dimiliki oleh masyarakat berupa sepeda, sepeda
motor, bentor dan mobil.

b. Keadaan Demografis
Jumlah Penduduk Desa Poyowa Besar Dua berdasarkan data profil desa tahun 2009
secara keseluruhan 2271 jiwa yang terdiri dari laki-laki 1145 jiwa dan perempuan 1126
jiwa Penduduk Desa Poyowa Besar Dua mayoritas beragama Islam.
c. Keadaan Mata Pencaharian Penduduk
Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sebagian besar masyarakat bekerja
di sektor pertanian.
Masyarakat yang bekerja sebagai petani 233 orang, buruh tani/penggarap 360 orang,
peternak 7 orang,pemilik kolam 59 orang, Pegawai Negeri 38 orang, Pedagang 168
orang dan Tukang 28 orang.
d. Keadaan Pendidikan
Berdasarkan data profil Desa Tahun 2009, angka buta huruf 118 orang atau 5,19 % dari
total jumlah penduduk, sementara yang tidak tamat SD berjumlah 457 0rang atau 20,12
%. Lulusan SMA berjumlah 365 orang atau 16,07% dari jumlah penduduk Perguruan
Tinggi 73 orang atau 3,21 %.
Secara umum Pendidikan Masyarakat Poyowa Besar Dua yang tamat Sekolah Dasar 457
orang sedangkan yang lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama berjumlah 436 orang,
Tamat sekolah Lanjutan Atas berjumlah 365 orang dan Perguruan Tinggi 73 Orang.
Dengan melihat data di atas dan kondisi sosio kultur orang Poyowa yang cenderung
menerima pengaruh dari luar sehingga masyarakatnya maju dalam segala bidang oleh
karena melek huruf sudah sangat rendah.

DAFTAR ISI
I. SEJARAH DESA POYOWA BESAR
A. PENDAHULUAN………………………………………1
B. SEJARAH POYOWA BESAR……………………… 2

II. TOREHAN PRESTASI BEBERAPA TOKOH POYOWA


BESAR…………………………………………5

III. POYOWA BESAR DIMEKARKAN MENJADI

DUA DESA……………………………………………………9

IV. KEPALA DESA POYOWA BESAR DUA DARI WAKTU KE


WAKTU…………………………………….10
V. DESA POYOWA BESAR DUA

a. Keadaan geografis……………………………….15
b. Keadaan demografis…………………………….15
c. Keadaan mata pencaharian Penduduk….16
d. Keadaan Pendidikan…………………………….16

VI. USAHA-USAHA PERLUASAN WILAYAH PERKEBUNAN (HAK ULAYAT)


OLEH PARA LELUHUR POYOWA BESAR………………………..18

KATA PENGANTAR
Sejarah Poyowa Besar yang ditulis dalam buku ini adalah hasil dari penelusuran dan

penuturan tentang fakta-fakta yang diwariskan secara turun temurun dari para Leluhur Poyowa

Besar.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan kepada sumber informasi dan penulis, berkat

jerih payah mereka sehingga buku ini bisa ditulis dan dibukukan.

Dalam penulisan buku ini tentu tidak lepas dari kekurangan, baik isi maupun penyajiannya.

Untuk segala kritik dan saran kami terima dengan senang hati. Namun terlepas dari

kekurangannya, semoga buku ini bermanfaat bagi penentu Kebijaksanaan dalam penentuan tapal

batas antara Kota Kotamobagu dan Bolaang Mongondow, dalam pembangunan pertanian juga

para ilmuan/peneliti maupun pihak lainnya.

Penulis : 1. Hendra Makalalag,SIP

2. Drs. Abdul Haris Mokoagow

Penyunting : Hendra Makalalag,SIP


Sunber Informasi 1. H.T.M.Makalalag

2. H. Mandeng

3 .Adun S. Mondo
4 .Daosi Molantong
5. Data/arsip Kantor Desa

Kolom Pendapat :
Nama :
Jabatan :
Pendidikan :
Alamat :
Berikan saran dan kritik dilembaran ini guna perbaikan dan penyempurnaan penulisan.

Sejarah Singkat Bolaang Mongondow


Mitologi Dan Asal-Usul Masyarakat Bolaang Mongondow.
.Asal-Usul Penduduk-
Hikayat yang berkembang secara turun temurun tentang asal usul manusia yang mendiami
daratan Bolaang Mongondow, Berawal dari masa terjadinya kenaikan permukaan air, Sehingga
hampir semua daratan tenggelam tertutup air. Menurut hikayat ini, Pada waktu itu terjadilah air
pasang yang melanda semua daratan dan membenamkannya dibawah permukaan air. Sehingga,
yang tersembul tinggal satu tempat yang dikenal dengan gunung Komasaan atau Huntuk, Yang
dikala itu termasuk puncak yang tertinggi. Tempat ini sekarang disebut Huntuk Baludaa dihulu
sungai Ilanga sekitar 40 Km dari Bintauna.

Pada masa itu, yang mula-mula tinggal disana satu-satunya manusia bernama Gumolangit atau
Budolangit, Yang artinya manusia turun dari langit.

Sekali waktu Gumolangit berjalan mengelilingi gunung sambil menyusuri pantai, Tiba-tiba
tampak olehnya seorang laki-laki ditengah laut yang sedang berjalan diatas ombak menuju ke
pantai. Setibanya di pantai,pecalah ombak dan bertepatan dengan itu, muncullah seorang wanita
dari pecahan ombak tersebut.Jadi, saat pendatang asing itu melangkah kedarat, ombak besar
menghambur ke pantai dan dari pecahan ombak ini muncul pulah seorang wanita. Karena itu,
Gumolangit menamakan Laki-laki itu “Tumotoi Bokol”, yang artinya meniti pada ombak.
Sedangkan si wanita dinamakan “Tumotoi Bokat”, artinya keluar dari pecahan ombak.

Kemudin Gumolangit meneruskan perjalanannya di tepi laut hingga ia merasa lelah dan haus.
Tiba-tiba ia melihat seruas bambu. Setelah di amat-amati, ternyata bambu tersebut tidak
mempunyai ruas. Sepotong bambu itu merupakan pipa yang ujung ruasnya tidak berbuku.
Diambilnya bambu itu dan menujulah dia ke suatu sumber mata air yang mengalir dari
celah_celah batu.

Ketika hendak mengisi air, Tangan Gumolangit yang satu dipakai menutup ujung bambu bagian
bawah, agar tidak terbuang. Setelah bambu terisi penuh, Gumolangit hendak meminumnya.
Namun terjadilah suatu keajaiban. Dari bambu itu tak setetes pun air yang keluar untuk dapat
diminum. Beberapa kali dia berusaha menuangkan air ke mulutnya. Tetapi air itu tidak pernah
keluar dari bambu.

Sementara Gumolangit terheran-heran dan bertanya-tanya tentang ihwal kejadian itu, Tiba-tiba
potongan bambu itu pecah berserakan dan secara ajaib berdirilah seorang perempuan di
depannya. Karena terkajut, sampai-sampai dia terlompat ke udara. Gumolangit menamakan
perempuan ini “Tendeduata”, yang bermakna pujaan dewa.

Selanjutnya, keempat manusia ini tinggal bersama di puncak Gunung Komasaan. Kemudian
mereka menjadi dua pasanga suami-istri Gumolangit-Tendeduata dan Tumotoi Bokol-Tumotio
Bokat.

Beberapa waktu terselang, pasangan Gumolangit dan Tendeduata dikaruniai seorang anak
perempuan cantuk yang diberi nama Dinondong (yang dieluk-eluk). Tumotoi tumotopi Bokol
dan Tumotoi Bokat dianugerahi seorang seorang anak laki-laki yang di beri nama Sugeha.

Setelah dewasa- atas kesepakatan kedua orang tua masing-masing – keduanya di kawinkan. Dari
perkawinan Sugeha dan Dinondong, lahirlah seorang anak laki-laki yang di beri nama Sinudu
(penerus/penyusul). Ketika telah dewasa, Sindu kawin denga seorang perempuan yang bernama
Golingginan (hidup sederhana).
Sinudu dan Golinggian beroleh anak perempuan yang dinamai Sampoto. Sampoto artinya ingin
memperoleh wanita. Setelah mencapai dewasa, Sampoto kawin dengan Daliian (Daliyann =
ingin mengulang kembali). Perkawinan mereka dianugerahi tiga anak masing-masing bernama:
Pondaag, Daagon dan Mokodaag.

Pada usia dewasa, Daagon dikawinkan dengan Dampulolingdan tidak lama kemudian
memperoleh anak: Silagondo.

Tahun-tahun terus berganti. Makin lama penduduk makin bertambah. Seiring pertumbuhan
penduduk, permukaan air pun semaki surut dan bermunculan banyak daratan. Sejak itu,
dimulailah persebaran manusia ke seluruh penjuru Bolaang Mongondow. Bahkan pada masa itu
pilah, mulai terbentuk pemukiman-pemukiman (totabuan) baru yang satu sama lain saling
berjauhan. Melalui perjalanan waktu, makin lama pertumbuhan pendudukmakin meningkat dan
lambat laun manusia tidak saling mengenal lagi.

Ada yang menetap di tempat semula (Huntuk). Ada pulah yang menuju pantai Utara dan kearah
pedalaman sebelah timur dan selatan. Yang menuju ke Utara mendiami tempat dan wilayah
Pandoli, Sinumolantaan, Ginolantungan, Buntalo, Maelang dan lain-lain. Yang ke pedalaman
dataran Mogutalong/dataran Mongondow, menuju Tudu in Passi, Tudu in Lolayan, Tudu in Sia,
Polilian, Alot, Batunoloda, Batu Bogani dan sebagainya. Yang menuju ke pedalaman sebelah
selatan mendiami tempa-tempat seperti Bumbungan, Mahag, Tabagolinggot, Tabagomamang,
Siniyow, Dumoga Mointok, Dumoga Moloben dan lain-lain.

Tempet-tempet ini kemudian berkembang menjadi wilayah pemukiman yang luas. Denagan
berkembangnya penduduk di masing-masing wilayah atau kelompok, mereka pun mengangkat
kepala kelompok sebagai pimpinan yang berfungsi mengatur tata tertib kehidupan di
pemukiman. Orang-orang yang di pilih biasanya mereka yang di nilai cerdik, kuat dan berani.
Kepala-kepala kelompok atau pimpinan ini disebut Bogani (gagah dan berani).

Bogani-bogani yang terkenal dimasa itu antara lain: Bogani Damoluwo’ dan Pongayou di Tudu
in Passi, Bogani Binongkuyu’ di Tudu in Bakid di Pontodon, Bogani Lingkit di Tudu in Yanggat
dan Bogani Dondo di Tudu in Bilalang di Bilalang. Kemudian Bogani Mogedag dan Bogani
Bulumondow di Tudu in Lolayan, Bogani Bolongkasi di Buluan, Bogani Rondong dan Bongiloi
di Poliian, Bogani Manggopa Kilat dan Salamatiti di Dumoga Moloben, Bogani Amaliye dan
Inaliye di Bumbungon, Bogani Damonegang di Tudu in Babo, Bogani Punu Gumolung di
Ginolantungan dan sdebagainya. Sedangkan Bogani-bogqani wanita seperti: Salamatit dan
Inaliye, kira-kira hidup pada abad XIII dan Inde’Dou’ pada abad XV.

Dapat di kemukakan di sini, hikayat persebaran penduduk yang berpindah menggunakan perahu
yang mendarat di sekitar muara sungai Ongkag Lombagin dan sungai Sumoit di tempat-tempat
yang kemudian dinamakan bangka’ dan panag. Perahu yang digunkan adalah sejenis perahu
besar yang disebut bangka’ dan perahu yang lainnya disebut panag. Hikayat ini mempunyai
muatan aspek histories yang sangat vital. Fakta empiris ini, antara lain, dapat menunjukan dan
membenarkan dugaan bahwa di masa purba kala terdapat dua buah danau besat di pedalaman
Bolaang Mongondow. Uraian ini di kutip dari penjelasan penerjemah buku Dunnebier, Mengenal
Raja-raja Bolaang Mongondow(1998:88-90).
Penduduk yang dating dengan menggunakan bangka’ dan panag, mereka mendiami dataran
disekitar dua sungai yang disebutkan diatas. Karena sering banjir besar, pemukiman bangka; dan
panag ter ancam, baik oleh banjir itu sendiri maupun ancaman gelombang laut. Penduduk pindah
menyelamatkan diri. Sebagian menyusuri pantai dan sebagian yang terdiri dari beberapa
kelompok, memilih mencari tempat yang dirasakan lebih aman. Dengan bermodalkan
keberanian, tekad dan semangat yang tinggi dengan di pimpim lepala kelompok, mereka mencari
pemuliman baru dengan menyusuri aliran sungai menuju ke timur.

Kelompok-kelompok ini menyusuri sungaiOngkag Lombagin. Ketika tiba di tempat pertemuan


(bersatunya) Ongkag Mongondow dan Ongkag Dumoga mereka terhenti, karena terjebak dalam
hutan lebat yang dilingkupi barisan petunungan berlapis-lapis yang mengapit kedua Ongkag ini.
Untuk dapat melanjutkan perjalanan, rombongan ini mengadakan peninjauan sambil menengok
keatas (ilumangag), kearah gugusan pegunungan manakah yang harus di tembus. Ditempat ini
pula berdirilah kampong yang sekarang bernama Langagon.

Perjalanan dilanjutkan mengikuti huku ongkag Mongondow dan tiba di tempat yang sekarang
Desa Solimandungan. Konon, nama desa itu berasal dari kata “Pinolimanonan”, tolimanon yang
artinya saling menunggu kawan atau anggota rombongan lain yang tertinggal di belakang.
Kemudian kelompok berjalan terus sampai di tempat yang letaknya di Desa Komangaan
sekarang ini dan beristirahat. Mereka merasa legah dan betah di tempat ini, “Noanga”
(kinoangaan), yang menjelma jadi Desa Komangaan.

Rombongan selanjutnya menembus hutan rimba sambil memberi tanda dengan parang pada
pepohonan yang dilewati, yaitu “Taga”, tempat yang sekarang di namakan Sinagaan. Taga’
merupakan penunjuk jalan bagi mereka yang berada di belakang.

Setelah berjalan beberapa hari, kelompok ini tiba di suatu tempat yang sekarang disebut Desa
Muntoi. Nama Desa ini berasal dari kata “Noontoy”, dan bermaknah hasil jerih payah yang
terkumpul selama dalam perjalanan.

Setelah melewati Muntoi, mereka dating ke lembah kecil yang terbenam di tengah-tengah
pegunungan “Motuyobong” atau “Noilobong”, di tempat pertemuan kali Ongkag dan kali
Lobing, di Desa Lobong sekarang. Dari sini pengembaraan ditengah hutan dilanjutkan mengikuti
lereng “Nogalet” sampai ke atas puncak bukit “Otam”.

Otamon merupakan jenis tumbuhanyang dapat melukai tangan jika mencabutnya tidak hati-hati.
Nama tempat ini sekarang berada di Desa Otam dan Desa Wangga. Wangga sebelumnya disebut
“Ponugalan” dan berasal dari kata “Tugal” (lubang-lubang kecil) untuk menanam padi dengan
menggunakan sepotong bambu atau kayu. Di Tudu Wangga ini pernah di temukan perahu yang
di gunakan orang pada masa dahulu.

Lambat lain, seiring dengan pertambahan penduduk, rombongan pengembara ini mencari tempat
pemukiman-pemukiman baru. Mereka menjadi kelompok-kelompok yang besar dengan tempat
yang makin terpisah satu sama lain. Sehingga, munculnya pemimpin-pemimpin kelompok
(bogani), makin menyemarakkan migrasi orang Bolaang Mongondow.
Bahkan lamban laun para bogani itu ,emjelajahi daratan Mongondow (asl kata: Momondow),
yang artinya teriakan-teriakan panjang saling bersahutan sebagai tanda atau kode agar tidak
kehilangan komunukasi satu sama lain ditengah-tengah daratan hutan belantara yang luas.
Dilembah yang luas ini ditemukan banya kali-kali kecil, pohon sagu dan pohon dammar yang
getah nya dapat dipakai untuk lampu atau penerangan. Pohon in I dinamakan “Damag-Talong”.
Karena itu, dataran yang luas ini dinamakan :Lopa’ in Mogutalong”. Kini, dikenal sebagai
wilayah Passi dan Lolayan.

Agaknnya, setelah Gumolangit kawin dengan Tendeduata, dan mendapat anak Dinondong di
Huntuk, Baludaa di Bintauna, dia dating ke Dumoga. Seterusnya, kawin lagi dengan Sandilo di
Bumbungon. Orang tua, kake dan nenek, bahkan leluhur Sandilo, tentu lahir dahulu dari
Gumolangit. Masyarkat Bumbungon serta pemukiman-pemukiman di sekitarnya seperti Mahag,
Tobago, Linggot, Tobagomamang, Siniyow, Dumoga mointok dan Dumoga moloben,
penduduknya sudah berkembang demikian pesat. Akan tetapi, masi adah generasi yang lebih tua.
Mereka seperti yang terdapat dan hidup di Bunbungon dan sekiternya pada abad sebelum atau
sekitar panjajahan Portugis.

Salah satu bukti bahwa di bumbungon dan sekitarnya telah berkembang suatu kehidupan
masyarakat yang luas, pada saat pecahnya selaput bayi yang bernama Mokodoludut. Orang-
orang yang hiruk pikuk yang brlarian dating melahat dan gemuruh bunyi permukaan tanah
dilewati kelompok-kelompok manusia dinamakan Mokodoludut, yang artinya menimbulkan
gemuruh. Sebaliknya, bagaimana pertumbuhan keluarga Gumolangit di Huntuk dan sekitarnya,
setelah Silangondo tidak ada lagi riwayat lanjutannya. Ini berarti bahwa pusat kehidupan
masyarakat Bolalang Mongondow pada wakti itubukanlah di Huntuk, Baludaa Bintauna dan
sekitarnya. Tapi konsentrasi dan pertumbuhan penduduk justru berkembang di Bumbungon dan
sekitarnya. Karena penduduk sudah berkembang luas, disinilah lahir Raja peertama Bolaang
Mongondow itu. Kalau Gumolangit dan keturunan, baik di Huntuk Baludaa maupun di
Bumbungon Dumoga, hidup dalam tahun 1200-san atau 1300-san, timbul pertanyaan siapa
manusia atau dimana asal usul penduduk Bolaang Mongondow yang mendahului periode
kehidupan generasi Gumolangit.

Menurut pendapat bahwa manusia atau penduduk Bolaang Mongondow yang hidup lebih awal
dari dari masa kehidupan Gumolangit dan keturunannya, baik di Huntuk maupun di Bumbungon,
adalah orang-orang atau penduduk Bolaang Mongindow yang hidup dimasa dataran Mongondow
dan Dumoga masih berupa dua buah danau yang besar. Penduduk ini adalah mereka yang
menggunakan perahu-perahu yang pernah di temukan di desa Wangga sekarang.

Dengan argumentasi ini, maka leluhurnya, putri Sandilo di Bumbungon maupun Gumolangit,
bukanlah manusia pertama etnik Bolaang Mongondow. Manusia-manusia yang hidup dan
mendiami Bolaang Mongondow pada masa dataran Mongondow ( Mogutalong) dan Dumoga
masih merupakan danau, adalah orang-orang yang diperkirakan sebagai laluhur-leluhur
penduduk asli Bolaang Mongondow. Kapan perioda keberadaan Danau Mogutalong dan Danau
Dumoga, akan dapat di perkirakan setelah ada data terjadinya letusan dahsyat Gunung Ambang
pada masa itu. Dan data ini akan dapat ditemukan dalam buku-bukugeografi dan sejarah.
Selanjutnya, tantang hikayat Tendeduata yang berasal dari pecahan Bambu Kuning. Karena sifat
ceritanya yang bernada aneh,tentunya diperlukan pemahaman yang rasioanal. Bila di analisis
secara nalar, maka konteks probabilitas yang dapat diterima akal sehat memperkirakan,
Tendeduata sedang mempersembunyikan diri dalam rumpun Bambu ketika Gumolangit
mengambil seruas bambu.

Tentang Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat, keduanya di kategorikan sebagai bagian dari
manusia pendatang (Imigran). Menurut sejarah penduduk Indonesia, asal usul mereka atang dari
rumpun palae mongoloid di Indo Cina dan Asia Tenggara. Karena mereka tiba di daratan
Bolaang Mongondow melalui laut, dinamakan Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat.

Mengenai asal-usul penduduk Bolaang Mongondow banyak yang berpendapat bahwa mereka
beasal dari Filipina, terutama dari pulau Mindanau. Dugaan ini diperkuat dengan data bahasa
(bukan kesamaan bahasa)antara bahasa tagalong di Filipina dan bahasa Mongondow. Misaknya,
kat-kata yang sama arti dan penggunaanya seperti: loluang (jalan), tondok (pagar), tubig (air),
manuk (ayam), penghulu dan sebagainya. Kemudian, kalau dilihat dari aspek antropologis,
strutur fisik antara orang-orang Mindanaudan Bolaang Momngondow, hampir tidak ada
perbedaan yang menyolok.

Arus pelayaran manusia dari Filipina, khususnya dari Mindanau di sekitar penjajahan Portugis
dan Spanyol baik sebagai nelayan maupun sebagai bajak laut, masih tetap tinggi hingga abad
XV. Bogani-bogani Inde’ Dou’, Inde’ Dikin dan lainnya, adalah bogani-bogani yang antara lain,
mempunyai tugas utama memberantas perampok dan perompak dari Mindanau. Sebagai suatu
bukyi, saat Tadohe dan pembantunya mendarat di laut sekitar Desa Togid, pada awalXVI (1600),
Inde; Dou’ hampir membunuhnya, karena disangkah perompak dari Mundanau.

Dou’ alias Inde’ Dou’, ketika itu merupakan pemimpin rakyat adalah seorang wanita yang
mewarisi kekuasaan Punu’ Damopolii dan menguasai wilayah Minahasa Selatan, mulai dari
Ratahan – Pontak – Buyat dan seluruh Kecamatan Kotabunan sekarang.

.Penyebaran Penduduk

Menurut riwayat, hubungan Bolaang Mongondow dan Minahasa sudah terjalin sejak dari masa
purba. Puteri Punu’ Mokodoludut, yang bernama Ginsapondo, adalah perintis pertama yang
dating ke Minahasa dan kemudian merupakan asal keturunan dari beberapa pemimpin dan tokoh-
tokoh di Minahasa. Perpindahan Ginsapondo ke Minahasa, terjadi pada awal abad XV.

Kemudian menjelang akhir abad XV, Punu; Damopolii dikenal sebagai cucu Punu’
Mokodoludut, dating ke Minahasa dan kawin dengan Wulan Uwe Randen yang kemudian
disebut Tende in Bulan atau Tendeduayo’.

Di Minahasa dikenal sebagai manusia perkasa dan dinamakan Ramopolii. Damopolii banya
mengembara ke Minahasa Utara, Siau, Kema da Likupang. Dalam perjalanan pengembaraan
sebagai kebiasaan orang-orang perkasa di zaman purba, diperkenankan untuk kawin yang di
Mina-hasa disebut Tateon. Asal kat ini, tot berarti pegang. Nama-nama marga Ramopolii,
Damopolii< Polii adalah nama marga yang kini masih berkembang di Minahasa, Biotung dan
Manado.

Punu’ Busisi* adalah putra Punu’ Damopolii. Beliau mengikuti jejak ayah nya yang banyak
mengembara ke Minahasa. Ia kawin dengan Limbatondo. Puterenya di beri nama Makalalo.
Makalalo adalah asal nama minahasa. Konon, karena neneknya Minahasa. Setelah makalalo
menjadi Punu’ menggantikan ayah nyak, iya kawin dengan puteri Minahasa Wulan Ganting-
ganting dari Mandolang dekat Tateli. NAma-nama Makalalo, Lalo atau Lalu, adalah marga-
marga yang kini tetap hudup di Minahasa dan daerah-daerah sekitarnya.

Setelah Punu’ Makalao digantikan putranya Punu’ Mokodompit, Mokodonpit kawin dengan
Menggeyadi, seorang putrid berasal dari pulau Lembeh Minahasa, Kotamadya Bitung sejarang.
Kemudian Mokodompit kawin dengan Gogune ke Sangir Talaut sekitar 1580.

Puteranya Tadohe lahir di sini dan kembali ke Bolaang Mongondow pada 1600. Turunan
Mokodompit di Sangir Talaut, kini dikenal dengan Mokodompis. Kebudayaan kuna antara
Bolaang Mongondow dan Sangir Talaut, dalam beberapa hal, ada kesamaan. Menurut sarasehan
Budaya se-Sulawesi Utara1981, ada kata-kata yang mengandung kemiripan (kognat). Misalnya
kabela (Bolaang Mongondow) dan kawela (Sangir Talaut) untuk alat tempat sirih. Alat kesenian
pun ada kesamaan istilah seperti: rambabo, bansi dan tantabua. Tri Tayok banyak kesamaan
dengan tari Gunde di Sangir Talaut. Bahkan mungkin nama tari Gunde ini di ambil dari nama
istri Mokodompit, yaitu Gogunde.

Seorang putra Tadohe. Loloda Mokoagow menjadi Raja pada tahun 0650-1694. Loloda
Mokoagow disebut Raja Bolaang Mongondow dan Minahasa. Karena, Minahasa berada di
bawah kekuasaanya. Loloda Mokoagou di namakan juga Raja Manado. Bahkan leluhur Raja
Loloda Mokoagow pernah menguasai Desa Bonton di Gorontalo (Valentijn, dalam Dunebier,
1983:27).

abad besar kerajaan bolaang mongondow

BAB I

MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN


A. ASAL-USUL ORANG BOLAANG MONGONDOW

Pada abad XII ketika dinasti KUBILAI KHAN runtuh di negeri Cin, suku Mongolia yang mendiami
Yunan atau Hindia Belakang, berhijrah ke Asia Selatan dan Timur.
Yang bermigrasi ke Sulawesi Utara adalah bagian dari rombongan gelombang kedua (Deutro Melayu),
ada yang ke Formosa atau Taiwan, Philipina Selatan dan ada pula yang ke Kalimantan, Maluku, Ternate
dan pulau – pulau lainnya.
Dipandang dari postur tubuh, warna kulit dan kesamaan beberapa kata dalam bahasa, maka ditemukan
di pantai utara Bolaang Mongondow (Bintauna, Sangkub, Babo) adalah bagian dari mereka yang
mendarat di Philipina Selatan (Mindanau). Kesamaan beberapa kata dalam bahasa suku antara lain
adalah : Tondok (pagar), tubig (air), tagin (pisang), payoi (padi), manuk (ayam), moinit (panas), bogat
(beras), bango (kelapa) dan sebagainya.
Diantara orang-orang Mongolia yang mendarat dipantai utara yang kemudian dikukuhkan
sebagai nenek moyang atau leluhur orang Bolaang Mongondow adalah :
1. GUMALANGIT atau BUDULANGIT (turun dari langit) : Laki – laki.
2. TENDEDUATA (cantik seperti dewi) : Wanita.
3. TUMOTOI BOKOL (berjalan diatas ombak) : Laki – laki.
4. TUMOTOI BOKAT (berjalan dipecahkan ombak) : Wanita.
Perkembangan selanjutnya adalah sebagai berikut :

1.        GUMALANGIT BUDULANGIT atau TENDEDUATA (SANGO – SANGONDO) menikah, kemudian


memperoleh anak lain DUMONDOM atau DININDONG dan SAMALATITI, keduanya wanita.
2.        TUMOTOI BOKOL dan TUMOTOI BOKAT menikah dan memperoleh anak laki – laki yang diberi nama
SUGEHA.
3.        Setelah dewasa DUMONDOM dan SUGEHA dikawinkan (belum ditemukan keterangan tentang
keturunan anak – anak mereka).
Ketiga rumah tangga tersebut di atas, terus berkembang biak dan kemudian dikukuhkan sebagai
leluhur atau nenek moyang orang Bolaang Mongondow. Pada mulanya keluarga besar ini bertempat
tinggal di hulu sungai Sangkub tidak jauh dari Bintauna dan Babo. Lambat laun populasinya semakin
besar dan sebagian dari mereka mulai mencari tempat pemukiman baru.

Penyebaran mereka ke berbagai tempat dibagi dalam :

1.      Kelompok dari keturunan TUMOTOI BOKOL dan TUMOTOI BOKAT yang dipimpin oleh “Boganinya”,
menuju ke Babo, Pondoli (Pindol) dan sekitarnya.
2.      Kelompok dari keturunan GUMALANGIT dan TENDUTUATA ke Huntuk – Baluda’a (Tempat tumbuhnya
pohon keramat yang dinamakan “Komasaan atau Inomasa” ) dan sebagian lagi menuju ke pedalaman
Bolaang Mongondow yang dikenal dengan nama “Lopa in Mogutalong” (banyak ditumbuhi damar).
Ketika mereka tiba dipedalaman, mereka selalu memilih tempat yang lebih tinggi dan berbukit.

B. PENAMAAN BOLAANG MONGONDOW.


Dahulu ketika dataran passi – lolayan dan Dumoga adalah sebuah danau. Kerena proses alamiah,
maka pada satu ketika gunung Pinoba Dumpea, Inontang dan Ilansikan putus. Air mengalir ke tempat
yang lebih rendah (ompuan) dan danau menjadi kering. Bekas danau tadi adalah dataran yang sangat
luas dan banyak ditumbuhi kayu damar atau talong dan karena itu dataran ini dinamakan “lopa in
mogutalong” dengan sungainya yang disebut “tubig mogutalong” atau “sungai mogutalong”. Sementara
itu Dumoga disebut dataran Dumoga dan sungai Dumoga-nya.
Lopa’ in Mogutalong dan Lopa’ in Dumoga inilah yang kemudian dinamakan “pedalaman Bolaang
Mongondow”, sebagai tujuan perpindahan keturunan GUMALANGIT dan TUMOTOI BOKOL dari tempat
asalnya Sangkub, Babo, Bintauna dan sekitarnya. Kelompok – kelompok yang hijrah ke pedalaman
Bolaang Mongondow selalu mencari tempat yang lebih tinggi (beebukit) agar terhindar dari bahaya
banjir dan sebagai antisipasi serangan baik hewan buas maupun manusia lainnya. Selain itu mereka juga
selalu mencari lokasi yang terang terbuka, sehingga sinar matahari tembus sampai ketanah dan
tanaman – tanaman mereka dapat subur dan memberikan hasil/buah yang banyak.
Lokasi yang terbuka – terang, ditembusi sinar matahari sampai ketanah inilah yang dinamakan
“GOLA’ANG” sebagai asal kata dari BOLAANG atau GOLAANG = BOLAANG.
Selanjutnya, kelompok – kelompok penduduk yang dipimpin oleh seorang “BOGANI”, tidak tinggal
bersama disatu tempat saja melainkan terpisah – pisah satu dengan lainnya. Untuk mempermudah
hubungan atau komunikasi antara mereka, maka dipergunakan bahasa isyarat yaitu SUARA atau
TERIAkAN KERAS yang dalam bahasa Mongondow dinamakan “MOMONDOW”. Dari kata inilah
diciptakan kata MONGONDOW sebagai padanan kata BOLAANG dan jadilah nama wilayah atau daerah
BOLAANG MONGONDOW.
Kesimpulan dari penjelasan diatas adalah sebagai berikut :
1.      GOLAANG melahirkan kata BOLAANG, yang artinya :
a.                 Tembus pandang (Transparan)
b.      Pendangan tidak terhalang (horizon)
c.       Tembus sinar matahari
d.      Tembus cahaya terang
Makna falsafahnya adalah :
“Melakukan atau mengerjakan sesuatu untuk kepentingan orang banyak (rakyat), harus berterus terang,
jelas dan terbuka (Transparan)”.
2.      MOMONDOW melahirkan MONGONDOW, yang artinya :
a.       Bersuara keras atau berteriak dengan alasan atau sebab dan tujuan tertentu.
b.      Cara berkumunikasi melalui suara keras atau berteriak.
Makna falsafahnya adalah :
“untuk dapat berkomunikasi, orang harus berbicara atau mengeluarkan pendapat secara jelas, dapat
dimengerti, dipahami dan diterima orang lain (Orang banyak).”

C. SEBUTAN TOTABUAN

Setiap kelompok penduduk yang hijrah ke pedalaman Bolaang Mongondow selalu mencari
lokasi/tempat yang “golaang”, terang – tembus sinar matahari. Pada mulanya makanan mereka sehari –
hari adalah bekal dari tempat asal ditambah dengan makanan lainnya yang diperoleh di perjalanan.
Ditempat yang baru mereka membuka kebun, kemudian bercocok tanam (ladang) dan berburu hewan
hutan seperti anoa (banteng), babi rusa, kijang dan sebagainya.
Untuk mengawetkan hasil buruan, mereka membuat tempat pengasapan dan pengeringan dengan
menggunakan panas api yang dinamakan “totaboyan”. Ketika mereka atau sebagian dari mereka
berpindah tempat, totaboyan inilah, sebutan “TOTABUAN” diangkat dan dikukuhkan, yang artinya
“TEMPAT PEMUKIMAN BARU”
Adapun contoh – contoh “Totabuan”, antara lain:
1.      Ketika Penduduk Masih Jarang.

No. Nama Totabuan Dipimpin Oleh (Bogani)

1. Tudu In Tangat LINGKIT dan BUDIA (Suami-isteri)


2. Tudu In Punsion SIMBONAN
Molotong
3. Tudu In Passi DAMALUWO dan PONGAYOW
4. Tudu In Bakid BINONGKUYU
5. Tudu In Bilalang DONDO
6. Tudu In Polian DAMOSISING, BOLOKOSI, MOGIDAG,
7. Tudu In Babo RONDONGBEKIKI, BINGKILOI, dan
8. Tudu In Bumbungon BULUMONDOW
9. Dumoga Moloben DAMONEGANG
10. Tudu In Bunong MANNGOPA KILAT dan SALAMATITI (suami-
11. Lopa In Lambung isteri)KUENO KUENO dan OBAYOW (suami-
12. Katabunan isteri)
DUGIAN
INDE’ DOU ; dengan nama asli : LINDAYAG
atau RATU YOYOTAN

2. Ketika Penduduk Semakin Bertambah

Penduduk yang berdiam di pedalaman semakin bertambah dan karena itu banyak diantara mereka
pergi ke tempat lain yang dapat menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Ada yang ketepi panta untuk
“modapung” (memasak garam dari air laut), “memoba” (membuat kapur sirih dari kulit lokan),
menangkap ikan, kemudian diawetkan dan dibawa kepedalaman. Membuka pemukiman baru dan
sebagainya.

Dikenal beberapa Totabuan penduduk pedalaman, antara lain :


No. Nama Totabuan Berasal Dari Desa

1. NUANGAN Poyowa Besar dan Kobo’ Kecil


2. MOLOBOG Kobo’ Besar
3. MOTONGKAD Moyag
4. BUYAT Kopandakan
5. TOMBOLIKAT Biga
6. TOLOG dan KOTABUNAN Molinow
7. NONAPAN Otam
8. POIGAR Passi
9. MOTANDOI Pobundayan
10. MATABULU dan ALET Motoboi Besar
11. TOBAYAGAN Tabang
12. PINOLOSIAN Poyowa Kecil
13. AYONG – BABO Mongondow
14. TAPA’AOG Poyowa Besar

D. JABATAN BOGANI
Setiap kelompok penduduk yang mendiami tempat tertentu (totabuan), memilih dan mensepekati
seorang diantara mereka yang menjadi kepala atau pemimpinnya, dengan syarat – syarat :
1.      Memiliki fisik dan bentuk tubuh yang kuat, sehat dan tangguh.
2.      Berjiwa dan bersemangat patriot, pendekar yang gagah berani.
3.      Cerdas dan terampil serta bertanggung jawab.
4.      Jujur dan berakhlak terpuji.
5.      Arif dan bijaksana.
6.      Rela berkorban untuk kepentingan kelompoknya atau orang lain.
7.      Peteladan yang baik.
8.      Mencintai anggota dan wilayah kekuasaan kelompoknya.
Dengan demikian tidak semua orang dapat dipilih menjadi seorang Bogani, kecuali mereka yang
memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan diatas. Beberapa orang leluhur yang pernah menjabat
sebagai Bogani di Bolaang Mongondow antara lain :

a.       PASSI dan SEKITARNYA


a.       LINGKIT dan BUDIA (suami – isteri)
b.      SIMBONAN
c.       DAMALUWO
d.      PONGAYOW
e.       DONDO
f.       BINONGKUYU
b.      LOLAYAN (POLIAN)
a.       MOGIDAG
b.      KOROMPOYAN
c.       DAMOSISING
d.      BOLOKOSI
e.       RONDOGBEKIKI
f.       BINGKILO
g.      BULUMONDOW

c.       DUMOGA – BUMBUNGON


a.       MANGGOPA KILAT dan SALAMATITI (suami – isteri)
b.      KUENO dan OBAYOW (AMALI dan INALI) sebagai suami isteri
d.      BABO – SANGKUB dan SEKITARNYA
a.       DAMONEGANG di Sinumolataan
b.      GUMAUNG di Ginolantungan
e.       MOO’AT – KOTABUNAN
a.       DUGIAN di Moo’at dan Bunong (Togid)
b.      INDE’ DUO (wanita) di Kotabunan – Lopa’ In Lambung

E. KEORGANISASI PENDUDUK

Kehidupan penduduk Bolaang Mongondow pada masa dahulu, terogansir dalam kelompok –
kelompok yang dipimpin oleh seorang BOGANI. Antara kelompok hidup terpisah, menyebar dimana –
mana, ada yang diperbukitan dan didataran rendah serta banyak juga ditepi pantai utara dan selatan
Bolaang Mongondow. Perasaan ikatan kekeluargaan melekat erat pada setiap orang karena mereka
berasal dari keluarga- keluarga yang sebelumnya tinggal dan hidup bersama di satu tempat. Karena itu
saling berkomunikasi antara sesama kelompok.
Bahkan tidak jarang mereka melaksanakan kenduri besar secara bersama – sama dengan maksud
untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan kerjasama antara sesama Bogani bersama anggota
kelompoknya. Biasanya dalam kenduri besar seperti ini dilakukan musyawarah untuk membahas
keinginan dan kepentingan bersama. Pada kondisi seperti ini dapatlah dikatakan bahwa sistem
demokrasi sudah ada pada komunitas suku Bolaang Mongondow yang bersendikan adat dan budaya
yang dihormati dan diyakini oleh penduduk secara keseluruhan baik pemimpin maupun anggota
kelompoknya diwilayah Bolaang Mongondow.
Interaksi antara kelompok ini dari masa ke masa terus berubah seirama dengan kemajuan dan
perkembangan kehidupan yang dimotori oleh peran dan fungsi organisasi serta kelompok penduduk
melalui tahapan atau tingkatan – tingkatan :
1.      TINGKAT KESATU
a.       Adalah tingkat kepemimpinan dan kekuasaan bogani
b.      Penduduk teroganisir dalam kelompok – kelompok yang berbeda totabuannya.
c.       Tiap kelompok dikepalai oleh seorang BOGANI
d.      Sistem interaksi sosialnya diatur dalam norma – norma kehidupan bersama yang tertata baik berupa
adat dan budaya yang harus dipatuhi, ditaati dan dilaksanakan
2.      TINGKAT KEDUA
a.       Adalah tingkat kekusaaan dan kepimpinan atau Punu.
b.      Para Bogani atas nama kelompoknya berhimpun dan membentuk satu “komunitas besar”, yang kelak
disebut “kerajaan”, yang dipimpin oleh seorang PUNU’ MOLANTUD atau “PIMPINAN TERTINGGI”,
komunitas besar inilah yang kelak menjadi “Kerajaan Bolaang Mongondow”. Gelar PUNU MOLANTUD
yang mulai dipakai ketika MOKODOLUDUT disepakati dan memangku jabatan tersebut pada tahun 1400
– 1460, sampai Punu ketujuh gelar ini kemudian berkembang menjadi MODATU atau MODODATU (yang
berhak menjadi raja).
3.      TINGKAT KETIGA
Pada tingkat ketiga ini, pemimpin tertinggi di kerajaan Bolaang Mongondow dinobatkan dengan gelar
“Raja atau Datu” yang dimulai ketika TADOHE atau ABO’ SADOHE sebagai Punu ketujuh mengadakan
musyawarah dengan seluruh Bogani bertempat di Tudu In Bakid. Salah satu butir kesepakatan dalam
musyawarah tersebut adalah rakyat yang diwakili PALOKO berjanji setia kepada pemimpinnya (Raja) dan
sebaliknya pemerintah (Raja) yang diwakili oleh KINALANG atau DAMOPOLII berjanji untuk
memperhatikan dan mengurus kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya.
Isi perjanjian PALOKO –KINALANG disahkan melalui sumpah dan ikrar bersama para pemimpin, Bogani
dan rakyat dengan sanksi : BARANG SIAPA YANG TIDAK MEMATUHI PERJANJIAN RAKYAT DAN
PEMERINTAH, maka :
a.       BUTUNGON (Kena Kutuk)
b.      MORONDI’ NA BUING (Hitam Seperi Arang)
c.       DUMARAG NA KOLAWAG (Kuning Seperti Kunyit)
d.      MOYUYOU NA SIMUTON (Mencair Seperti Garam)
e.       TUMONOP NA LANAG (Diserap Tanah Seperti Air Hujan)
f.       KIMBUTON IN TOLOG (Ditelan Oleh Arus Air)
g.      DOROTON IN MOTOYANOI (Ditindas Oleh Roh Dewata)
Demikian itulah perkembangan organisasi penduduk Bolaang Mongondow melalui tingkatan –
tingkatan yang kemudian menjadi kerajaan dengan LOLODA’ MOKOAGOW atau DATU BINANGKANG
yang dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi , menggantikan ayahnya PUNU TADOHE.

F. MOKODOLUDUT, BAUNIA DAN KETURUNAN MEREKA

Kelahiran Mokodulut
Sampai sekarang, baik cerita lisan maupun tulisan dalam sejarah Bolaang Mongondow diketahui
riwayat bahwa MOKODOLUDUT terlahir dari “Sebutir telur yang dierami oleh seekor burung duduk”.
Dua orang tokoh utama dalam riwayat ini adalah Bogani suami isteri yakni KUENO dan OBAYOW.
Keduanya memiliki seorang anak yang diberi nama DAMOLI. Dan karena itu bapaknya KUENO disapa
dengan AMALI (Ama’ I Li) dan ibunya OBAYOW disapa dengan INALI (Ina’ I Li). Pada suatu waktu, KUENO
dan isterinya OBAYOW bersama – sama dengan beberapa orang anggota kelompoknya pergi mencari
ikan disungai Tumpah (Tumpa’) dan Tabagomamang anak sungai (Ongkag) Dumoga, dengan
menggunakan “bobolit” yaitu alat penangkap ikan yang dibuat dari anyaman bambu dan dibentangkan
ditengah sungai. Sesudah dipasang mereka berjalan ke hulu, kemudian kembali menyusur sungai
menuju ke muara. Sesampainya di tempat pemasangan boblit mereka melihat tumpukkan ranting dan
daun – daun kayu di atas bobolit. Ketika didekati mereka terkejut melihat seekor “burung duduk”
terbang dari bobolit dan saat yang bersamaan mereka melihat “sebutir telur yang agak besar” ditengah
– tengah tumpukkan ranting dan daun – daun kayu tadi.
Telur tadi di ambil dan dibawa KUENO dan OBAYOW. Kemudian diletakkan di dalam “kompe”
(bakul) yang ada dipendaringan dapur mereka. Mereka bermaksud telur itu akan dimasak sebagai lauk.
Namun dari hari ke hari selalu saja lupa. Pada hari ke tujuh sejak di temukan , telur itu pun pecah
mengeluarkan bunyi keras hingga terdengar dimana – mana. Bunyi keras itu diikuti dengan hujan keras,
angin dan petir yang dahsyat. Mendengar bunyi tersebut penduduk berlarian ke rumah KUENO dan
OBAYOW sebagai sumber dari bunyi yang mereka dengar. Mereka ingin mengetahui apa sebenarnya
yang telah tejadi. Ternyata ditengah – tengah pecahan telur tersebut ditemukan seorang bayi laki – laki,
KUENO dan OBAYOW merasa senang sekali. Menanggapi peristiwa itu, para Bogani sepakat bahwa
kelahiran seperti itu tidak dapat diterima dengan akal sehat melainkan suatu keajaiban. Sebenarnya bayi
yang baru dilahirkan, ditemukan KUENO dan OBAYOW masih terbungkus dengan selaput bayi (ari-ari)
yang oleh ibunya dihanyutkan kemudian para Bogani dan penduduk yang hadir ditempat kejadian
sepakat memberi nama kepada bayi tersebut dengan MOKODOLUDUT.
Bayi MOkODOLUDUT diambil, dirawat serta dipelihara oleh KUENO dan OBAYOW. Kemudian untuk
menyusuinya, ditunjuk tiga (3) orang ibu yakni : DODINA, SIPONGGA dan NOPA. Adapun perkembangan
bayi MOKODOLUDUT dari hari ke hari adalah sebagai berikut :
1.      MINGGU PERTAMA.
a.       Hari Pertama : Keluar dari pecahan telur
b.      Hari Kedua : Membuat gerakan kecil- kecil
c.       Hari Ketiga : Sudah dapat duduk
d.      Hari Keempat : sudah dapat berdiri
e.       Hari Kelima : sudah dapat melangkah
f.       Hari Keenam : sudah dapat berjalan
g.      Hari Ketujuh : sudah mulai sakit

2.      MINGGU KEDUA


Memasuki hari ketiga belas (13) sejak telur – bayi ditemukan MOKODOLUDUT mulai sakit, sehingga
kedua orang tua pengasuhnya cemas dan gelisah, karena tidak mngetahui jenis penyakit yang diderita
oleh anak asuhnya. Jalan yang ditempuh adalah mencari orang yang mempu “mendeteksi” jenis
penyakit yang dalam bahasa Mongondow disebut “MODODEANGOW”. Hasil deteksi adalah bayi
MOKODOLUDUT “mongula”, yang artinya meminta dilakukan sesuatu diluar dari biasanya. Maksudnya
adalah pengobatan penyakit harus dilakukan dengan cara tertentu berdasarkan petunjuk dari
MODODEANGOW.
Secara garis besar cara pengobatan adalah sebagai berikut :
a.       Dimandikan dengan cara tertentu
b.      Air diambil disungai dengan cara tertentu
c.       Diberikan makanan tertentu yang dimasak dengan cara tertentu pula
d.      Dilakukan upacara “MONAYUK DAN MOGAIMBU” dengan menyanyikan lagu – lagu tertentu selama
tujuh hari (7) hari/malam
Setelah kegiatan pengobatan selesai, maka bayi MOKODOLUDUT sembuh kemudian tumbuh dengan
sehat sampai dewasa.

3.      PROSES PENGOBATAN BAYI MOKODOLUDUT

a.       Memasuki hari ketujuh (7), sejak pecahnya kulit atau selaput bayi, MOKODOLUDUT jatuh sakit dengan
penyakit yang tidak di ketahui jenisnya.
b.      Pada suatu hari, ketika bayi MOKODOLUDUT berada dibuaian ibunya merasa ngantuk dan tertidur. Tiba
– tiba ibu angkatnya kaget dan terbangun melihat seekor “BURUNG DUDUK” sedang berada dibuaian
mengerami bayi asuhnya.
c.       Ketika melihat itu ibu asuh MOKODOLUDUT terbangun, maka burung duduk tersebut terbang dan
singgah hinggap secara berturut – turut secara berturut – turut pada :
1.      Pohon NUNUK
2.      Pohon DUMOLAT atau DUMALAT
3.      Pohon ATUL
4.      Pohon MOYONGGOSIAN
5.      Pohon LOMBOIT
6.      Pohon KOLINTAMA
d.   Kedatangan burung duduk, kemudian hinggap mengerami bayi terjadi berulang kali, dan selama itu
bayi menjadi sehat
e.       Tetapi ketika burung duduk tidak langsung kebuaianm hanya hinggap di tujuh pohon pada butir c.
secara berurutan kemudian bertengger di bunbungan rumah, maka kesehatan bayi pun memburuk lagi.
AMALI dan INALI memberitahukan keadaan bayi itu pada para Bogani. Para Bogani berusaha untuk
mencari pengobatan setelah terlebih dahulu meminta pertolongan dari para ahli “TENING atau
MODODEANGOW”.
f.       MODODEANGOW memberikan petunjuk pengobatan sebagai berikut :
1.      Pengobatan dilakukan melalui berurutan dari beberapa kegiatan dengan perlengkapan, tempat, cara
dan waktu melakukan serta tata cara melakukan serta tata cara lainnya.
2.      Kemudian, kalau burung duduk datang lagi, maka perhatikan kala hinggap pada tujuh pohon (7) pohon
biasa, maka tiap pohon ambil satu (1) cabang disimpan dirumah.
3.      Pada hari berikutnya AMALI dan INALI secara bersama mimpi mengenai ihwal yang sama pula, yakni :
“KAMU BERDUA HARUS ADAKAN PENGOBATAN ANAK INI DIIKUTI DENGAN PETUNJUK TENTANG BAHAN
OBAT DAN CARA PENGOBATAN”.
g.        Bahan Obat
Bahan – bahan obat sesuai petunjuk dalam mimpi AMALI dan INALI adalah sebagai berikut :
1.      Tebang tujuh (7) pohon sagu dan ambil sarinya (koito’)
2.      Potong tujuh bambu hijau (patung) masing- masing satu ruas.
3.      Satu ruas bambu diisi dengan sari sagu (koito’). Yang diambil dari tiap –tiap pohon (satu ruas dari satu
pohon sagu)
4.      Ambil tujuh (7) potong “bambu kuning” (patung bulawan). Bersama – sama dengan daunnya, kemudian
ditempatkan ditengah – tengah rumah.
5.      Tujuh (7) cabang kayu cabang kayu yang sudah ada dirumah dibelah menjadi beberapa bagian (belah)
sebagai persiapan memasak sagu (kayu bakar) yang akan dimakan oleh anak atau bayi MOKODOLUDUT.
6.      Ambil bambu hijau dan bambu kuning (aog) masing – masing tujuh (7) potong dengan panjang satu ruas
(tongolondu’)
7.      Ketujuh bambu tersebut pada butir enam (6), diikatkan dengan bambu kuning berdaun yang telah
ditempatkan terlebih dahulu dirumah.
8.      Buat tujuh (7) alat timba dari daun woka (tubu’) untuk dipakai mengambil/menimba air.
9.      Sebelum mengambil air, bakul kecil tempat meletakkan telur diangkat kemudian diisi dengan buah
kapas dan diletakkan bersama – sama dengan timba air (dari woka) didekat himpunan bambu yang telah
ada ditengah rumah.
h.      Cara Mengambil Obat
1.      Waktu memotong ketujuh cabang kayu, sagu, bambu hijau dan kuning serta woka dilakukan dengan
cara :
a.       Melakukan tujuh kali gerakan seolah – olah akan melakukan pemotongan
b.      Pada gerakan kedelapan baru dilakukan pemotongan langsung atau yang sebenarnya.
2.      Demikian juga membelah tujuh cabang kayu menjadi beberapa belah (bagian) dilakukan seperti pada
butir (1), yaitu ketujuh gerakan, kemudian menjadi satu gerakan (langsung).
i.        Mengambil Air
1.      Air diambil dari sungai “UMPOPO” dikaki bukit Bumbungon Dumoga
2.      Pengambil air terdiri dari delapan (8) orang, tujuh orang pembawa woka dan satu (1) orang pembawa
bambu
3.      Untuk mengambil air diperlukan tujuh (7) timba dari woka dan tujuh (7) potong bambu hijau.
4.      Bambu kuning yang sudah disediakan diisi air.
5.      Setiap kali mengambil air tujuh (7) bambu dipertukarkan maksudnya bambu yang sudah berisi
ditinggalkan dan bambu yang masih kosong dibawah.
6.      Kedelapan orang pengambil air berjalan beriringan, tidak boleh berjajar dengan ketentuan pembawa
bambu air selalu didepan.
7.      Sebelum berangkat mengambil air, kedelapan orang tersebut berkeliling tujuh (7) kali disekitar bakul
tadi smbil bernyanyi (Aimbu)
8.      Pengambilan air dilakukan pada pagi hari satu kali dan sore hari satu kali.
9.      Bambu – bambu yang sudah berisi air harus diletakkan semuanya ditempat semula.
Catatan : air tersebut dipersiapkan untuk pengobatan bayi MOKODOLUDUT.
j.         
k.      Cara Pengobatan
1.      Anak bayi dimandikan dengan air dari sungai UMPOPO
2.      Sesudah dimandikan diberi makan dengan sagu yang telah dimasak dengan menggunakan tujuh (7) jenis
kayu (perhatikan butir g.(5)).
3.      Air minumnya diambil dari bambu kuning yang sudah disediakan.
4.      Setiap malam, selama tujuh malam selalu dinyanyikan lagu AIMBU (Mogaimbu)
5.      Sesudah pengobatan berjalan tujuh (7) hari/malam, maka dilakukan acara khusus sebagai tanda bahwa
pengobatan telah selesai.
6.      Acara khusus tersebut adalah tari – tarian yang terdiri dari
a.       TAYOK atau MONAYOK
Adalah tarian gerakan – gerakan yang memperagakan cara –cara mempersiapkan peralatan dan cara
pengambilan air.
b.    RIMANG dan KOLONG
Adalah tarian yang memperagakan cara pengaturan air yang meliputi pengambilan, penyimpanan dan
penggunanya.
l.        Tujuan Pengobatan
Berpedoman pada “adat dan budaya” Bolaang Mongondow (dahulu), tujuan pengobatan seperti
dituturkan diatas adalah untuk :
1.      Mengusir dan menekan kekuatan gaib yang dapat merugikan
2.      Sesudah itu diarahkan pada keselamatan dan kesejahteraan rakyat
Demikian prosesi pengobatan kepada si anak bayi MOKODOLUDUT berdasarkan petunjuk yang
diperoleh melalui mimpi kedua Bogani (suami – isteri), AMALi dan INALI, yang hasilnya membawa
kesembuhan bagi MOKODOLUDUT sendiri hingga bertumbuh sehat sampai dewasa.

Kelahiran Baunia
Sebagaimana kelahiran MOKODOLUDUT penuh mitos, maka kelahiran BAUNIA demikian juga yang pada
gilirannya terlahir dari “bambu kuning” dengan kronologis riwayat sebagai berikut :
1.      Salah satu peralatan yang dipakai dalam pengobatan bayi MOKODOLUDUT adalah tujuh (7) ruas bambu
kuning yang diambil dengan daunnya
2.      Bambu – bambu kuning tersebut diletakkkan ditengah – tengah tujuh bambu biasa pengambil air yang
ditempatkan dirumah KUENO dan OBAYOW
3.      Satu bambu kuning yang dengan daunnya dari hari ke hari semakin membengkak, yang membuat
KUENO sekeluarga dan para tetangga serta orang- orang yang datang melihatnya menjadi heran.
4.      Pada hari ke – empat belas (14) atau tujuh (7) hari bayi MOKODOLUDUT jatuh sakit, bambu kuning telah
membongkak itu pecah.
5.      Pada pecahan bambu ditemukan seorang bayi perempuan yang sangat cantik.
6.      Bayi perempuan tersebut dirawat oleh KUENO dan OBAYOW
7.      Atas kesepakatan bersama, bayi perempuan tersebut diberi nama BAUNIA, yang artinya BAMBU
KUNING.
8.      Dalam perawartan bayi tersebut pun sakit seperti sakitnya MOKODOLUDUT
9.      Bayi BAUNIA diobati seperti pengobatan pada MOKODOLUDUT
10.  Setelah diobati, BAUNIA menjadi sembuh dan tumbuh sehat

Perkawinan dan Keturunan

1.      MOKODOLUDUT dan BAUNIA dirawat dan diasuh oleh KUENO dan OBAYOUW secara bersama – sama
dirumah mereka
2.      Setelah keduanya menginjak dewasa, timbul keinginan orang tua asuh mereka untuk menikahkanya
3.      Untuk mencapai keinginan tersebut, KUENO dan OBAYOW memusyawarahkannya dengan para BOGANI
4.      Musyawarah menghasilkan persetujuan dan kesepakatan untuk menikahkan keduanya
5.      Dari perkawinan tersebut, MOKODOLUDUT dan BAUNIA dikaruniai lima (5) orang anak yakni :
a.       GOLONGGOM : Laki – laki
b.      GINUPIT : Laki – laki
c.       PENDADAT : Laki –laki
d.      GINSA PONDO : Wanita (hijrah ke Minahasa)
e.       YAYUBANGKAI : Laki – laki

Mokodoludut Sebagai Punu Pertama


1.      Demokrasi sudah diterapkan dalam sistem organisasi dan kepemimpinan dalam kelompok oleh para
Bogani, yang difungsikan melalui wadah musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan bersama,
terutama dalam hal – hal :
a.       Pemilihan kepala kelompok (Bogani)
b.      Memecahkan dan menyelesaikan masalah kelompok
c.       Membuat rencana kegiatan untuk kepentingan kelompok
d.      Membuat peraturan (hukum) adat
2.      Ketika MOKODOLUDUT dilahirkan pada abad XIV, sistem demokrasi sudah berlaku dalam kehidupan
penduduk dibarengi dengan masuknya pengaruh adat – budaya Spanyol, Portugis, Hindia (Hindu),
Tiongkok dan dibawa oleh para pedagang atau saudagar – saudagar dari Timur Tengah
3.      Semakin dewasanya MOKODOLUDUT mengundang perhatian dan keinginan para Bogani untuk untuk
mengangkatnya menjadi PUNU MOLANTUD atau pemimpin teringgi yang dapat disamakan dengan raja
(Datu)
4.      Para Bogani diseluruh pelosok wilayah Bolaang Mongondow berkumpul dan bermusyawarah yang
menghasilkan kesepakatan bersama sebagai berikut :
a.       Menyetujui pengangkatan MOKODOLUDUT sebagai PUNU MOLANTUD
b.      Menyetujui BAUNIA sebagai permaisuri PUNU MOLANTUD
5.      Upacara penobatan dilakukan dalam satu kenduri besar yang meriah bertempat di “Bulud In
Mokontangan” yang diisi dengan berbagai acara kesenian. Bulud In Mokontangan artinya bunyi kesenian
dapat terdengar di gunung itu.
6.      Setelah MOKODOLUDUT dinobatkan sebagai PUNU MOLANTUD Bolaan Mongondow, maka para Bogani
yang didukung oleh rakyat sepakat untuk membangun istana kerajaan bertempat didekat sungai
Tumpah (Tumpa’), tepatnya dilokasi batu besar sebagai tempat ditemukannya telur burung duduk
(legenda) atau bayi manusia yang terbungkus ari –ari, oleh KUENO dan OBAYOW bersama anggota
kelompoknya
7.      MOKODOLUDUT memegang jabatan PUNU MOLANTUD selama enam puluh (60) tahun atau 1400 –
1460.
Kelahiran Adat Dan Budaya
Setelah kelahiran MOKODOLUDUT, para Bogani membuat kesepakatan – kesepakatan, yang kelak di
kukuhkan sebagai adat dan budaya di Bolaang Mongondow sebagai berikut :
1.      Bayi atau anak yang baru lahir diberi nama MOKODOLUDUT
2.      Mengakui anak tersebut sebagai PUNU atau TUANG di wilayah Bolaang Mongondow
3.      Keturunan MOKODOLUDUT dari generasi ke generasi selanjutnya diberi hak MENJADI RAJA
4.      Anak laki – laki dari Raja diberi gelar ABO’
5.      Anak perempuan dari Raja diberi gelar BUA’
6.      Keturunan yan tidak menjadi raja termasuk dalam golongan KOHONGIAN
7.      Anak laki – laki dari golongan KOHONGIAN juga diberi gelar ABO’ dan perempuan diberi gelar BAI’ atau
KAKIA
8.      Para Bogani menyepakati dan menetapkan “TATANAN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DAN
BERPEMERINTAHAN”, dalam bentuk peraturan – peraturan sebagai berikut :
a.       Semua keturunan dari generasi ke generasi harus patuh pada keturunanya dan menghormati serta
mengikuti perintahnya
b.      Barang siapa yang melanggar peraturan tersebut, maka dia akan menerima sanksi berupa :
1.      BUTUNGON (Kena Kutuk)
2.      MORONDI’ NA BUING (Hitam Seperi Arang)
3.      DUMARAG NA KOLAWAG (Kuning Seperti Kunyit)
4.      MOYUYOU NA SIMUTON (Mencair Seperti Garam)
5.      TUMONOP NA LANAG (Diserap Tanah Seperti Air Hujan)
6.      KIMBUTON IN TOLOG (Ditelan Oleh Arus Air)
7.      DOROTN IN MOTOYANOI (Ditindas Oleh Roh Dewata)
c.       Peraturan tersebut ditetapkan dan disahkan melalui :
IKRAR BERSAMA ATAU SUMPAH para Bogani.
9.      Kemudian pada masa TADOHE sebagai PUNU MOLANTUD, peraturan – peraturan yang telah ada pada
masa PUNU MOKODOLUDUT ditambah lagi dengan :
a.       Orang – orang Bolaang Mongondow dikelompokkan dalam enam (6) golongan atau tingkat yakni :
1.      Tingkat Pertama : Mododatu atau Raja –Raja
2.      Tingat Kedua : Kohongian
3.      Tingkat Ketiga : Simpal
4.      Tingkat Keempat : Nonow
5.      Tingkat Kelima : Tahig
6.      Tingkat Keenam : Yobuat
b.      Pengangkatan raja dipilih oleh rakyat, laki – laki dan berasal dari keturunan raja.
c.       Jika raja mengadakan perjalanan, harus dipikul diatas tandu
d.      Apabila ada orang yang berhasil menangkap ikan atau berburu hewan maka ikan atau hewan yang
terbesar dan terbaik diperuntukkan untuk raja.
e.       Dan peraturan lainnya, seperti :
1.      Hasil kebun dan buah – buahan
2.      Pengawalan bila raja berpergian
3.      Penjemputan bila raja kembali dari perjalanan oleh barisan kehormatan menggunakan TOMBAK
TUNGKUDON.
4.      Tentang perkawinan
5.      Tentang orang meninggal
6.      Hukuman kepada orang yan berbuat tidak senonoh
7.      Dan peraturan lainnya.
G. PERKEMBANGAN ANAK DAN KETURUNAN MOKODOLUDUT

a. Yayubangkai
1.      Perkawinan
Beliau menikah dengan puteri Buntalo, pantai utara Bolaang Mongondow yang bernama BUA’
SILAGONDO. Puteri ini sangat pandai dan terampil menenun.
2.      Keturunan (Anak)
Dari perkawinan tersebut, dikaruniai tiga (3) orang anak :
a.       KINALANG atau DAMOPOLII (laki – laki)
b.      MOKOAPA (laki – laki)
c.       PINOMUKU (Wanita)
3.      Tempat Tinggal
Ketika menjadi PUNU MOLANTUD kedua menggantikan ayahnya mereka pindah dari Bumbungon ke
gunung Babo di Buntalo karena isterinya berasal dari sana.
4.      Kisah Gunung Gogabola
a.       Gunung Gogabola adalah tempat BUA’ SILAGONDO menenun
b.      Pada suatu ketika, secara tidak sengaja anak perempuannya PINOMUKU menyentuh tenunan yang
sedang ditekununiya
c.       Ibunya, BUA’ SILAGONDO marah lalu memukul kepala anaknya dengan kayu, hingga luka
d.      Puteri PINOMUKU melarikan diri ke hutan bergabung dengan penduduk lainnya dan tidak pernah
kembali kerumahnya.
e.       Ketika pergi berburu MOKOAPA bertemu dengan gadis yang cantik yakni PINOMUKU. Merekasudah
tidak saling mengenal karena sudah lama berpisah
f.       Kuduanya saling jatuh cinta, lalu menikah karena sudah memenuhi persyaratan terutama laki – laki.
g.      Sesudah beberapa tahun berumah tangga, keduanya bersepakat untuk berkunjung kerumah orang tua,
YAYUNGKUBI dan SILAGONDO, sementara itu kedua orang tua sudah tidak mengenal lagi PINOMUKU
(yang sebenarnya anak mereka)
h.      Ketika sedang mencari kutu dirambut menantunya, BUA’ SILAGONDO kaget meilhat bekas luka di kepala
PINOMUKU.
i.        PINOMUKU menceritakan hal-ihwal luka itu, lalu BUA’ SILAGONDO teringat dan mengetahui dengan
pasti bahwa menantunya PINOMUKU adalah anak kandungnya sendiri
j.        Perkawinan antara MOKOAPA dengan PINOMUKU (kakak beradik) satu ayah dan ibu menjadi masalah
yang dapat menimbulkan musibah dengan konsekwensi – konsekwensi berat.
k.      Terjadilah peristiwa berupa bencana yang sangat dahsyat, alam menjadi gelap diikuti angin keras, hujan
yang deras dengan petir sambung menyambung selama empat puluh hari/malam.
l.        Gunung Gogabola tempat BUA’ SILAGONDO menenun dihantam ombak dan pecah menjadi dua,
sebagian masih nampak bila dlihat dari desa Maelang.
m.    Musibah bencana alam yang sangat dahsyat terjadi sebagai akibat dari “pelanggaran adat istiadat”
n.      Sebagai hukuman MOKOAPA dan PINOMUKU dibuang kelaut.
b. Kinalang atau Damopolii
1.      Perkawinan Pertama
Menikah dengan puteri gunung Sinumolantaan dekat Buntalo, yang bernama TENDEDUAYO dan
memperoleh dua orang anak :
a.       BUSISI atau BUTITI (laki – laki)
b.      PONAMON (laki – laki)
2.      Perkawinan Kedua
Menikah dengan gadis dari desa Tonsea di Minahasa Utara yang benama TETEON; tidak diperoleh
keterangan mengenai perolehan anak atau keturunan.
3.      Perkawinan Ketiga
Menikah dengan gadis cantik Ranoyapo – Amurang yang bernama WULAN UWE RANDEN, ada
keterangan lain yang menyebut nama gadis ini dengan RINTEK WAANG. Tidak diperoleh keterangan
mengenai perolehan anak.
4.      Kisah Petualangan di Minahasa
a.       Sebagai Panglima Perang bagi suku –suku yang berdiam di dataran tinggi pedalaman Bolaang
Mongondow, beliau gemar ke Minahasa. Keberanian dan keperkasaanya membawa beliau cukup
dikenal dengan nama RAMOPOLII, seorang tokoh “pembauran antara suku Minahasa dan Bolaang
Mongondow”.
b.      Ketertarikannya kemudian menikahi puteri Ranoyapo – Amurang Minahasa Selatan yang bernama
WULAN UWE RANDEN, telah menimbulkan konsekwensi tentang perbatasan wilayah Bolaang
Mongondow dengan Minahasa sebagai berikut :
1.      Tanah atau wilayah antara sungai Poigar dan Ranoyapo dijadikan “mas kawin”, atau dalam bahasa
Mongondow “pinonali “ oleh KINALANG atau DAMOPOLII kepada WULAN UWE RANDEN. Menurut
catatan sejarah perbatasan ini dikukuhkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1907.
2.      Sebelum pristiwa tersebut batas wilayah Bolaang Mongondow dengan Minahasa mulai dari Ranoyapo –
Kapitu lurus nenuju Motoling, Pontak,, Tompaso Baru. Mokobang Modoinding terus ke Buyat yang
perbatasan dengan Ratatotok.
3.      Sebagai bukti di Minahasa selatan banyak tempat yang diberi nama dengan bahasa Bolaang
Mongondow seperti : danau Iloloi, danau Mokobang, sungai Moyondog, sungai Molinow, desa Toraot,
gunung Tagoi, pantai Moinit, dan sebagainya.

c. Busisi Atau Butiti


1.      Perkawinan
2.      BUSISI ATAU BUTITI anak pertama dari KINALANG atau DAMOPOLII dan TENDEDUAYO, menikah dengan
LIMBATONDO seorang puteri dari Ginolangtungan dekat Buntalo.
3.      Keturunan (Anak)
Dari perkawinan tersebut diperoleh empat (4) orang anak :
a.       BUNU’
b.      SAKADUMAKUL
c.       MAKALUNGSENGE
d.      MAKALALO
d. Makalalo
1.      Perkawinan
MAKALALO, putera keempat dari BUSISI atau BUTITI dan LIMBATONDO, menikah dengan seorang puteri
dari Mandolang, dekat Minahasa yang bernama GANTANG – GANTING, dan ada pula yang
menamakannya GANTI – GANTIA.
2.      Keturunan (Anak)
Didapat data atau keterangan bahwa dari perkawinan tersebut diperoleh anak yang bernama
MOKODOMPIT; sementara itu kehidupannya tidak banyak diketahui.
e. Mokodompit
1.      Perkawinan Pertama
MOKODOMPIT menikah dengan MONGGEJADI atau MONGIJADI puteri dari pulau Lembeh dekat
pelabuhan Bitung dan dari perkawinan ini diperoleh anak yang bernama MOKOAGOW.
2.      Perkawinan Kedua
MOKODOMPIT jatuh cinta dan menikah lagi dengan seorang gadis kebanyakan yang bernama GOGUNE.
Perkawinan tersebut sering disindir – sindir oleh para Bogani dan karena itu beliau membawa GOGUNE
ke Sangir – Siau. Disini diperoleh anak laki – laki yang diberi nama TADO yang kelak disapa TADOHE atau
ABO’ SADOHE. Ketika berumur 20 tahun TADOHE dengan beberapa orang temannya kembali melalui
pantai selatan Bolaang Mongondow dengan menumpang perahu “Kabolit” dan mendarat di pantai Togid
dekat Kotabunan.
f. Mokoagow
1.      Perkawinan
MOKOAGOW putera MOKODOMPIT dengan MENGGEJADI atau MONGIJADI, menikah dengan puteri
bangsawan yang bernama BUA’ DONGANKILAT (S).
2.      Keturunan (anak).
Tidak ada data atau keterangan tentang keturunan anak beliau
3.      Jabatan Dalam Kerajaan
Karena kegemaran dan kepetualangannya, maka beliau selama hidupnya tidak pernah menjabat sebagai
PUNU MOLANTUD Bolaang Mongondow.
4.      Kisah Kehidupan
a.       Sejak kecil MOKOAGOW dikenal sebagai seorang pemberani
b.      Kegemarannya adalah menyabung ayam
c.       Karena keberanian dan kegemaran tersebut MOKOAGOW sering bertualang ke Minahasa dengan tujuan
menyabung ayam.
d.      Ketika berada di Mandolang (Minahasa), beliau mendengar bahwa di Maadon ada pertandingan sabung
ayam. Beliau dan para pengawalnya berangkat ke Maadon dan disana beliau melihat wanita cantik yang
bernama PINGKAN isterinya MATINDAS
e.       MOKOAGOW senang dan tertarik kepada PINGKAN, isteri MATINDAS. Menyadari hal ini PINGKAN
berusaha menghindar dari bahkan menghilang dari Maadon.
f.       Selesai pertandingan sabung ayam di Maadon, MOKOAGOW dan para pengawalnya berangkat ke Kema.
g.      Beberapa orang pengawal MOKOAGOW berusaha mencari informasi tentang tempat sabung ayam baru.
Ketika mereka berangkat MOKOAGOW berpesan, bila melihat PINGKAN segera memberitahukan
kepadanya.
h.      Dalam perjalanan pencarian informasi tersebut, para pengawal dapat mengetahui bahwa PINGKAN
sudah kembali ke Maadon. Mereka pun kembali ke Kema untuk memberitahukan kepada MOKOAGOW
i.        Berdasarkan pemberitahuan para pengawal, MOKOAGOW langsung berangkat ke Maadon bersama para
pengawalnya, dengan maksud akan menemui PINGKAN.
j.        Ketika PINGKANmelihat MOKOAGOW, diapun berkata kepada suaminya agar menyelamatkan diri dan
tidak perlu kuatir sebab dia (PINGKAN) akan dapat menjaga diri.
k.      MATINDAS suaminya PINGKAN menyelamatkan diri melalui pintu belakang, sementara itu PINGKAN
bersama anak buah suaminya mengatur strategi pelayanan kepada MOKOAGOW.
l.        PINGKAN turun dari rumahnya dan menemui MOKOAGOW.
m.    PINGKAN menerima dengan baik kedatangan MOKOAGOW dan berpura – pura menyetujui permintaan
dan keinginan MOKOAGOW kepadanya.
n.      Untuk penerimaan tersebut, lalu diadakan pesta minum – minuman keras (arak)
o.      Ketika MOKOAGOW sedang mabuk berat, pengawal atau anak buah MATINDAS membunuhnya.
p.      Terbunuhnya MOKOAGOW ini sangat memalukan para pengawalnya dengan kejadian itu tamatlah
riwayat MOKOAGOW putera MOKODOMPIT.
q.      Tidak ditemukan data atau keterangan mengenai makamnya MOKOAGOW, kecuali sebuah kemungkinan
bahwa marga MOKOAGOW atau AGOW di minahasa diangkat dari nama MOKOAGOW.
h. Tadohe
1.      Perkawinan
2.      TADOHE putera MOKODOMPIT dan GOGUNE menikah dengan KEABA atau KIJABA dari desa
Genggulang.
3.      Dari perkawinan tersebut diperoleh anak laki – laki yang diberi nama LOLODA’ MOKOAGOW.
g. Loloda Mokoagow
1.      Perkawinan
a.       Perkawinan Pertama
LOLODA’ MOKOAGOW, putera TADOHE dan KEABE atau KIJABA ini menikah dengan keturunan
bangsawan dari Bolaang, yang bernama BUA’ LANGAAN. Dari perkawinan ini diperoleh anak laki – laki
yang bernama MAKALUNSENGE.
b.      Perkawinan Kedua
Menikah dengan wanita biasa di Amurang Minahasa Selatan yang bernama MALO. Dari perkawinan ini
diperoleh anak laki – laki bernama MANOPPO.
2.      Perkembangan Keturunan LOLODA’ MOKOAGOW.
a.       Dari perkawinan pertama, dengan anak laki –laki MAKALUNSENGE belum ditemukan data atau
keterangan.
b.      Dari perkawinan kedua dengan anak laki – laki MANOPPO perkembangbikannya masih berjalan terus
menerus sampai sekarang, karena keturunan dari raja ke raja sudah membaur dengan masyarakat biasa
(bukan bangsawan).

BAB II

PEMERINTAHAN PUNU DI BOLAANG MONGONDOW

Manusia penghuni dataran tinggi dan rendah, yang kelak disebut wilayah Bolaang Mongondow
pada mulanya mirip kehidupan komunitas hewan yakni terbagi dalam kelompok – kelompok. Kelompok
–kelompok tersebut mendiami pemukiman (totabuan) tertentu dan tiap kelompok dikepalai oleh
seorang Bogani atau kepala kelompok. Organisasi perhimpunan manusia yang boleh dikatakan sebagai
“Kerukunan Keluarga” (seperti bentuk Rukun Tetangga sekarang) berlaku sampai dengan abad XIII
Setelah kelahiran MOKODOLUDUT dan BAUNIA, sekaligus telah dapat menghadirkan tatanan
kehidupan berpemerintahan dan bermasyarakat yang dikemas dalam kodipikasi “adat dan Budaya”,
maka didapatlah perkembangan organisasi penduduk dan kepemimpinannya sebagai berikut :
1.      Sistem kelompok dengan kepemimpinan Bogani tetap dipertahankan.
2.      Setingkat diatas kepemimpinan Bogani ada kepemimpinan tertinggi yang disebut PUNU MOLANTUD,
PUNU BULAWAN dan dapat juga disebut PUNU MODEONG atau TULE MOLANTUD.
3.      Demokrasi berdasarkan azas kekeluargaan dan gotong royong menjadi motor jalannya organisasi dan
kepemimpinan dalam hal ini :
a.       Pemilihan Pemimpin (PUNU atau BOGANI)
b.      Pemecahan dan penyelesain masalah yang menyangkut kepentingan umum masyarakat.
c.       Pembahasan dan penetapan rencana kegiatan organisasi dan kepemimpinan untuk memenuhi aspirasi
dan atau merealisir kebutuhan menuju kesejahteraan rakyat.
d.      Pembuatan pertaturan untuk kepentingan bersama.
Sistem organisasi dan kepemimpinan PUNU di wlayah Bolaang Mongondow dimulai setelah
MOKODOLUDUT dipersiapkan kemudian dinobatkan pada tahun 1400 dengan terlebih dahulu para
Bogani memusyawarahkan kemudian mensahkan peraturan adat dan budaya yang berlaku diseluruh
wilayah Bolaang Mongondow.

Adapun tugas dan kewajiban seorang PUNU adalah mengatur perikehidupan seluruh penduduk di
wilayah Bolaang Mongondow secara jujur, arif dan bijaksana serta bertanggung jawab.

Sistem organisasi dan pemerintahan kepunu’an di Bolaang Mongondow berakhir pada masa TADOHE
sebagai PUNU pada tahun 1620 – 1653 atau berlaku selama kurang lebih 253 tahun (1400 – 1653).
Sesudah itu sistem organisasi pemerintahan dan kepemimpinan di Bolaang Mongondow berubah
menjadi sistem pemerintahan dan kepemimpinan di Bolaang Mongondow berubah menjadi sistem
pemerintahan kerajaan dengan raja atau datu sebagai pemimpin tertingginya.

A.    Pejabat – Pejabat Punu Di Bolaang Mongondow

NOMOR NAMA PUNU PEJABAT KE MASA JABATAN LAMANYA

1 MOKODOLUDUT I 1400 – 1460 60 Tahun


2 YAYUBANGKAI II 1460 – 1480 20 Tahun
3 DAMOPOLII III 1480 – 1510 30 Tahun
4 BUSISI IV 1510 – 1540 30 Tahun
5 MAKALALO V 1540 – 1560 20 Tahun
6 MOKODOMPIT VI 1560 – 1600 40 Tahun
7 TADOHE VII 1600 – 1653 53 Tahun

Catatan Penting
1.      Seharusnya yang menjadi PUNU ke VII adalah MOKOAGOW, putera MOKODOMPIT pada perkawinan
pertama, namun ini tidak bisa terlaksana karena belia lebih banyak berkelana ke Minahasa menuruti
kegemarannya.
2.      TADOHE yang dikenal dengan sapaan ABO’ SADOHE, putera MOKODOMPIT akhirnya dinobatkan
menjadi PUNU VII sebagai pemimpin tertinggi dengan jabatan/gelar PUNU atau TULE MOLANTUD.
3.      Berakhirnya jabatan/gelar PUNU MOLANTUD pada masa TADOHE berarti wilayah Bolaang Mongondow
tengah dipersiapkan menjadi satu kerajaan. Hal ini terbukti bahwa TADOHE sudah diangkat sebagai
“PEJABAT RAJA BOLAANG MONGONDOW” dalam satu kenduri besar dirumah INDE DOU yang berlokasi
di Tudu In Dayou (keterangan ini dapat ditemukan dalam buku Mengenai Raja – Raja Bolaang
Mongondow, Halaman 20)
4.      Untuk merealisir rencana perubahan menjadi kerajaan dengan Datu atau Raja sebagai kepala atau
pemimpinnya, maka PUNU TADOHE atau ABO’ SADOHE dirumah kediamannya di Tudu In Bakid
mengadakan kenduri besar atau pertemuan yang dihadiri oleh para Bogani dan rakyat. Dalam
pertemuan atau musyawarah tersebut peraturan adat dan budaya Bolaang Mongondow yang sudah ada
sejak Punu MOKODOLUDUT dilengkapi dan dijadikan pedoman pelaksanaan pemerintahan dan
hubungan interaksi kemasyarakatan. Peraturan – peraturan tersebut dikodipikasikan dalam apa yang
dinamakan PERJANJIAN PALOKO DAN KINALANG yang disahkan melalui sumpah dan ikrar bersama.
5.      Ketika tiba waktunya, Punu TADOHE atau ABO’ SADOHE digantikan oleh puteranya LOLODA’
MOKOAGOW. Yang dipilih dan dinobatkan berdasarkan peraturan adat budaya yang telah ditetapkan
dalam perjanjian Paloko dan Kinalang dengan jabatan atau gelar DATU BINANGKANG, yang maknanya
adalah :
a.       DATU artinya RAJA
b.      BINANGKANG = Binangkong artinya dinobatkan berdasarkan peraturan adat.
c.       BINANGKANG : Kinobangkal = Bangkal artinya yang disegani.
6.      Dengan demikian maka pemerintahan LOLODA’ MOKOAGOW sebagai DATU atau RAJA Bolaang
Mongondow adalah masa transisi dari sistem “kepunu’an ke sistem kerajaan”.
B. Pejanjian Paloko Kinalang

NAMA PALOKO DAN KINALANG

1.      PALOKO
Paloko adalah tokoh masyarakat Bolaang Mongondow yang cukup dikenal sejak abad XV :
a.       PALOKO berasal dari rakyat biasa (orang kebanyakan) yang ditemukan oleh TADOHE dalam perjalanan
pulang ke Togid dari Bonunggalan (Otam dan Wangga) sekarang.
b.      TADOHE bertemu denganya ketika PALOKO sedang mencari ikan (monikip) disungai “Kinotobangan
(Kotobangon sekarang)
c.       PALOKO adalah orang pertama yang menyapa atau memanggil TADOHE dengan ABO’ SADOHE.
d.      Setelah melalui proses panjang dalam upaya PALOKO untuk berkenalan dengan TADOHE dengan
berbagai pengorbanan termasuk menarikan “Tari Bondit” dihadapan TADOHE dan berbagai siasat
lainnya, akhirnya PALOKO dapat membujuk TADOHE dan keduanyapun bersahabat.
e.       Sambil berjalan keduanya melakukan pembicaraan – pembicaraan yang serius antara lain : TADOHE
boleh mengawini cucunya PALOKO tanpa “mas kawin atau monali” dan apabila akan menceraikannya
tidak apa – apa serta tidak mengeluarkan biaya (momogoi).
f.       Karena sudah lelah, keduanya beristirahat di Bambean (tidak jauh dari danau moo’at), mereka berdua
membuat “kesepakatan – kesepakatan”
g.      Selanjutnya mereka berdua bersama – sama menuju Togid untuk menemui INDE’ DOU sebagai ibu
angkatnya TADOHE.
h.      Pada kenduri besar yang diselanggarakan oleh INDE’ DOU ditempat tinggalnya di Tudu In Dayou,
terjadilah suatu peristwa penting yakni diangkatnya TADOHE atau ABO’ SADOHE sebagai “PEJABAT RAJA
BOLAANG MONGONDOW”.
i.        Selanjutnya dalam konteks PERJANJIAN PALOKO DAN KINALANG, PALOKO dikukuhkan sebagai “wakil
rakyat” dalam musyawarah di Tudu In Bakid tersebut.

2.      KINALANG

a.       KINALANG atau DAMOPOLII adalah cucu pertama dari PUNU MOLANTUD kesatu yakni MOKODOLUDUT.
b.      KINALANG atau anak pertama dari PUNU MOLANTUD kedua yakni YAYUBANGKAI.
c.       Jadi KINALANG adalah anak laki – laki keturunan bangsawan dengan hak menjadi PUNU MOLANTUD
sesuai peraturan adat.
d.      KINALANG dinobatkan sebagai PUNU MOLANTUD ketiga yang dalam catatan sejarah pemerintah tahun
1480 – 1510.
e.       KINALANG dalam konteks PERJANJIAN PALOKO DAN KINALANG dikukuhkan sebagai “wakil pemerintah”.

PERJANJIAN
Perjanjian PALOKO dan KINALANG adalah “Pernyataan yang diucapkan dengan sumpah (ikrar
bersama), dalam wadah permusyawaratan perwakilan yang berisi pengakuan dan pengesahan
peraturan – peraturan (hukum) adat istiadat dan budaya hidup bermasyarakat dan berpemerintahan di
wilayah pemerintahan Bolaang Mongondow pada masa sebelum Republik Indonesia merdeka.
Musyawarah tersebut melahirkan perjanjian dilaksanakan di tempat tinggal PUNU TADOHE yakni Tudu
In Bakid, utara desa pontodon. Musyawarah di Tudu In Bakid dihadiri oleh para Bogani bersama rakyat
benyak adalah ujung dari semua upaya melengkapi dan menyempurnakan peraturan – peraturan
(hukum) adat budaya yang telah dibuat dan disahkan dimasa awal pemerintahan PUNU MOKODOLUDUT
(1400 – 1460).
Sebagai langkah persiapan menuju kepada Bolaang Mongondow sebagai “Kerajaan yang dipimpin
oleh seorang Raja”, maka dalam satu kenduri besar di tempat tinggal INDE’ DOU di Tudu IN Dayou, para
Bogani dan rakyat sepakat penunjukkan TADOHE atau ABO’ SADOHE sebagai PEJABAT RAJA. Sesudah itu
jabatan atau gelar sebagai pemimpin tertinggi di kerajaan Bolaang Mongondow adalah DATU atau RAJA.
PENDIDIKAN DEMOKRASI POLITIK
1.      Melalui musyawarah, rakyat memilih Bogani yang akan memimpin kelompoknya, kemudian para Bogani
memilih pemimpin tertingginya melalui wadah musyawarah (demokrasi).
2.      Dalam musyawarah setiap orang baik rakyat maupun para Bogani dapat dengan bebas menyalurkan
aspirasinya.
3.      Pemilihan dan pengangkatan pemimpin, pembuatan peraturan – peraturan, pemecahan dan
penyelesaian masalah, cara menghadapi tantangan/kendala, penentuan kegiatan untuk kepentingan
dan kesejahteraan bersama ditetapkan dan disahkan melalui musyawarah.

C. Perjanjian Paloko Kinalang : Konstitusi Kerajaan Bolaang Mongondow

1.      Aspek Kewajiban dan Sanksi.


a.       Seluruh rakyat berjanji untuk setia dan patuh (loyal) serta selalu siap mendukung dan membantu
pemerintah.
b.      Pemerintah berjanji untuk memperdulikan, memperhatikan dan mengurus kepentingan serta
kesejahteraan rakyat.
c.       Barang siapa melanggar baik rakyat maupun pemerintah dikenakan sanksi :
1.      Sanksi sesuai peraturan adat (hukum).
2.      Kena kutukan (Butungon)
2.      Aspek Konstusi
a.       Rakyat diwakili oleh para Bogani (demokrasi perwakilan) dengan PALOKO sebagai tokoh utama atau
ketua “Golongan Rakyat” sekaligus “Juru Bicara” dalam sidang permusyawaratan.
b.      “Golongan Pemerintah” yang berkuasa diwakili oleh tokoh bangsawan, yang pernah menjabat dalam
“kepunu’an”
c.       Agenda atau pokok – pokok masalah yang akan dibicarakan dalam sidang musyawarah telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh pemerintahan yang sedang berkuasa.
d.      Hasil – hasil musyawarah disepakati, ditetapkan dan disahkan melalui sumpah atau ikrar bersama (itum
– itum), kemudian berlaku sebagai “Undang – undang” dalam menjalankan roda pemerintahan.
3.      Realisasi Dalam Pemerintahan.
Ketika LOLODA MOKOAGOW dengan gelar DATU BINANGKANG memegang tampuk pemerintahan
kerajaan Bolaang Mongondow beliau menjalankan peraturan dalam Undang – undang tersebut dengan
konsekwen dan penuh tanggung jawab.
BAB III

LOLODA’ MOKOAGOW

Keterangan mengenai Loloda’ Mokoagow sangat beragam, namun demikian, setidaknya ada
beberapa informasi sejarah yang dapat di jelaskan sebagai berikut :

MOKODOMPIT, putera MAKALOLO yang menjabat Punu ke-enam, dua kali kawin :
1.    Perkawinan kesatu dengan putri pulau Lembeh – dekat pelabuhan Bitung yang bernama MONGGEJADI
atau MONGIJADI, memperoleh anak laki-laki bernama MOKOAGOW, yang kawin dengan keturunan
bangsa DONGANKILAT (S).
2.    Pada perkawinan kedua dengan GOGUNE, hijrah ke Sangir memperoleh anak laki-laki bernama TADO,
kelak dipanggil sebagai TADOHE atau ABO’ SADOHE.
TADOHE, putera MOKODOMPIT, yang menjadi Punu ke Tujuh, menikah dengan puteri Genggulang
yang bernama KEABA atau KIJABA. Dari perkawinan ini dipeoleh anak laki-laki yang bernama LOLODA’
MOKOAGOW.
Dari keterangan diatas, jelas bahwa :
1.    MOKOAGOW itu sendiri adalah saudara tiri ayahnya LOLODA’ MOKOAGOW, datu ayah lain Ibu.
2.    LOLODA’ MOKOAGOW adalah putera TADOHE dan KEABA (KIJABA)
LOLODA’ MOKOAGOW dipersiapkan oleh ayah dan keluarga kerajaan untuk menggantikannya
dengan berpedoman pada peraturan-peraturan hukum adat, yang telah ditetapkan dalam perjanjian
PALOKO-KINALANG. Salah satu ketentuan penting adalah pimpinan kerajaan (Punu), diganti dengan Raja
atau Datu. Loloda’ Mokoagow menjabat DATU BOLAANG MONGONDOW dengan gelar DATU
BINANGKANG tahun 1653-1693 (40 tahun). Ada buku yang menulisnya 1650-1690.
Datu artinya Raja, sedangkan BINANGKANG artinya yang disegani (Binangkal) dan raja yang
dinobatkan berdasarkan peraturan (hukum) adat atau Binangkong. Datu Binangkang memiliki tipe
kepemimpinan yang berani, cerdas, terampil, tegas lagi perkasa, arif dan bijaksana serta mencintai
rakyat dan wilayah kekuasaan dan pemerintahannya. Ketika menjadi Raja Bolaang Mongondow, maka
beliau memiliki wilayah kekuasaan sampai Ratahan, Kema, Likupang bahkan Manado dan sekitarnya;
dan karena itu oleh orang Eropa terutama Belanda menjulukinya RAJA MANADO. Dalam perkawinan
kesatu dengan BUA’ LANGAAN dari Bolaang DATU BINANGKANG memperoleh anak laki-laki yang diberi
nama/dinamakan MAKALUNGSENGE. Anak ini tidak bersekolah karena sangat disayangi oleh kedua
orang tuanya.
Sementara itu dalam perkawinan kedua dengan puteri Minahasa asal Amurang, DATU BINANGKANG
juga memperoleh anak laki-laki yang diberi nama MANOPPO. Anak ini Diambil dan disekolahkan oleh
Belanda di HOUFDEN SCHOOL, kemudian di baptis masuk agama Katolik dengan nama YACOBUS
MANOPPO. Dari sinilah permulaan banyak orang Mongondow yang menganut agama Katolik pada
waktu itu. Yacobus Manoppo, memang dipersiapkan oleh penjajah Belanda untuk menggantikan
kedudukan ayahnya. Rencana ini terlaksana pada tanggal 03 Oktober 1694, kekuasaan DATU
BINANGKANG sebagai Raja Bolaang Mongondow diambil alih secara paksa oleh anaknya YACOBUS
MANOPPO yang didukung oleh tujuh (7) orang pembesar dari Manado dan dikawal oleh 24 (dua puluh
empat) orang serdadu kompeni Belanda. Datu Binangkang yang sangat kecewa atas kejadian ini, karena
beliau menginginkan agar anaknya MAKALUNGSENGE yang kelak dapat menggantikannya sebagai raja.
Ketika beliau pergi meninggalkan istana kerajaan Bolaang menuju “MOTINGKE” di BOLAANG ITANG,
kemudian ke Tambalata. Ketika masih hidup beliau berpesan : “APABILA TELAH MATI, AGAR DIBAWAH
DAN DIMAKAMKAN DI RIGI”. Lokasi ini dikenal oleh orang Poyowa Besar juga bernama “Tontoluo’ng”
yang terletak diperkebunan antara kelurahan Poyowa Besar dan Matali. Dan memang benar bahwa
makam DATU BINANGKANG ada ditempat tersebut.
Lokasi makam dimaksud sekarang ini diberi pagar keliling, dirawat, dipelihara dan dibawah tanggung
jawab keluarga besar penyusun di kelurahan Poyowa Besar I dan II, Kecamatan Kotamobagu Selatan
Kotamobagu Bolaang Mongondow.
A. KEHADIRAN LOLODA’ MOKOAGOW

Dibawah ini disajikan asal usul LOLODA’ MOKOAGOW dalam bentuk silsilah singkat sebagai berikut :
1.    Salah seorang anak MOKODOLUDUT dan BAUNIA (mereka lima orang) adalah : YAYUBANGKAI yang
menikah dengan puteri Bantalo-Labuan Uki yang bernama SILAGONDO.
2.    Salah seorang anak dari YAYUBANGKAI dan SILAGONDO adalah KINALANG atau DAMOPOLII yang
menikah dengan TENDEDUAYO yang berasal dari Sinumolantaan dekat Buntalo.
3.    Salah seorang anak dari KINALANG atau DAMOPOLII dengan TENDEDUAYO adalah BUSISI atau BUTITI
yang menikah dengan puteri dari Gonolantungan – dekat Buntalo yang bernama LIMBATONDO.
4.    Salah seorang anak dari BUSISI atau BUTITI dengan LIMBATONDO adalah MAKALOLO yang menikah
dengan GANTING-GANTING puteri dari Mandolang dekat Tateli – Minahasa.
5.    Salah seorang dari anak MAKALALO dan GANTING-GANTING adalah MOKODOMPIT, menikah dua kali
yakni :
a.    Dengan MONGENJADI atau MONGIJADI seorang puteri dari pulau Lembeh dekat Bitung dan
memperoleh anak yang diberi nama MOKOA, kelak dipanggil KOKOAGOW.
b.    Kawin dengan GOGUNE, hijrah ke Sangir-Siaw, dan memperoleh anak laki-laki yang diberi nama TADO,
kelak dipanggil TADOHE.
6.    TADOHE menikah dengan KEABA atau KIJABA dari Genggulang dan memperoleh anak laki-laki yang diberi
nama LOLODA’ ditambah MOKOAGOW atau lengkapnya LOLODA’ MOKOAGOW.
Pemberian Nama (Penamaan)
Pada saat dilahirkan, armada TADOHE dapat mengalahkan pasukan dari desa LOLODA’ di Ternate,
diperairan laut pantai selatan Bolaang Mongondow. Pasukan TDOHE berhasil merampas semua harta
benda yang ada dalam kapal atau perahu-perahu orang Loloda.
Kejadian ini dihubungkan dengan kelahiran anak laki-laki Raja TADOHE dan karena itu diberi nama
LOLODA’ MOKOAGOW, LOLODA’ artinya nama desa diternate (tempat asal pasukan yang dikalahkan),
dan MOKOAGOW artinya dapat marampas (harta benda milik pasukan Ternate dari desa Loloda’).
Karakter atau Kepribadian
LOLODA’ MOKOAGOW sangat disegani baik lawan maupun kawan, karena karakter atau
kepribadiannya yang terjelma dalam kata-kata dan perbuatan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1.    Berotak tajam, cerdas dan terampil.
2.    Taat dan patuh pada peraturan (hukum) adat yang telah ditetapkan oleh pendahulunya.
3.    Teguh pada pendirian dan tidak mudah menyerah.
4.    Berani dan tidak takut menghadapi resiko apapun.
5.    Jujur, rajin dan loyal serta bertanggung jawab.
6.    Mamiliki rasa cinta dan tanggung jawab yang besar terhadap rakyat dan kekuasaannya.
7.    Ahli strategi dan taktik dalam bidang perdagangan, politik, dan peperangan demi kesejahteraan dan
harga diri rakyat serta wilayah kekuasaannya.
B. PERKAWINAN DAN KETURUNAN

Rupanya perkawinan anak-anak Punu dan atau Raja dimasa kerajaan Bolaang Mongondow selalu
diilhami oleh peraturan (hukum) adat dengan maksud demi kelanjutan kepemimpinan dalam kerajaan
(raja) salah satu ketentuan dalam peraturan (hukum) adat tersebut adalah “yang dapat atau berhak
diangkat menjadi raja adalah anak laki-laki dari raja atau lengkapnya harus keturunan bangsawan”.
Kalau tidak dipatuhi, maka kelak dikemudian hari akan terjadi masalah.

Perkawinan Kesatu
Kawin dengan seorang wanita keturunan bangsawan atau raja yang bernama BUA’LANGAAN,
bertempat tinggal di Bolaang. Dari perkawinan ini diperoleh anak laki-laki yang oleh keluarga kerajaan
diberi nama MAKALUNGSENGE. Anak ini sangat disayangi oleh kedua orang tua dan keluarga, sehingga
tetap tinggal di rumah dan karena itu tidak bersekolah. Dalam perkembangan selanjutnya dan sesuai
peraturan (hukum) adat anak inilah yang berhak naik tahta menggantikan ayahnya sebagai raja kerajaan
Bolaang Mongondow.

Perkawinan Kedua
Dalam perjalanan atau kunjungannya kedaerah atau wilayah kekuasaanya di Minahasa seperti
Belang, Ratahan, Likupang, Kema, Manado dan sekitarnya, maka beliau memperistrikan lagi seorang
wanita di Amurang yang bernama MALO. Dari perkawinan ini diperoleh anak laki-laki yang diberi/
dengan nama MANOPPO, kelak dikenal dengan YACOBUS MANOPPO karena dibaptis masuk agama
katolik. Dengan anak inilah akhirnya menimbulkan dan membawa masalah besar yang menyebabkan
LOLODA’ MOKOAGOW atau DATU BINANGKANG menjadi marah, kecewa kemudian pergi meninggalkan
istana kerajaan di Bolaang.
C. JABATAN DALAM KERAJAAN
Sebelum beliau naik tahta sebagai raja atau DATU, maka kerajaan Bolaang Mongondow dipimpin
oleh ayahnya TADOHE dengan jabatan PUNU belum RAJA atau DATU. Menurut riwayat TADOHE
dinobatkan menjadi PUNU pada suatu kenduri besar di kediaman INDE’ DOU Tudu in Dayou.
Selama pemerintahan PUNU TADOHE, tahun 1620-1653, belum ada campur tangn pihak luar terhadap
pemerintahan kerajaan atau pemerintahan otonom yang diatur oleh raja dan rakyatnya sendiri.
Peristiwa penting yang terjadi dimasa kerajaan pemerintahan TADOHE adalah lahirnya PERJANJIAN
PALOKO-KINALANG melalui musyawarah seluruh Bogani dan rakyat bertempat di Tudu in bakid (sebelah
utara Pontodon). Salah satu kesepakatan penting dalam musyawarah tersebut adalah penyempurnaan
dan pengesahan peraturan-peraturan (hukum) adat serta lembaga-lembaga dalam masyarakat.
Pengesahan dilakukan melalui ikrar dan sumpah yang mengikat semua pihak. Siapa yang melanggarnya
terkena kutukan atau BUTUNGON.
Kesepakatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah : RAJA HARUS LAKI-LAKI DAN BERASAL DARI
KETURUNAN BANGSAWAN KERAJAAN. Peraturan ini diterapkan sepenuhnya ketika LOLODA
MOKOAGOW dinobatkan menjadi DATU atau RAJA menggantikan ayahnya.
D. LOLODA MOKOAGOW SEBAGAI DATU BINANGKANG
Beliau dipilih dan dinobatkan menjadi RAJA berdasarkan peraturan (hukum) adat yang telah
ditetapkan dalam perjanjian PALOKO-KINALANG. Beliau adalah raja pertama dengan nama DATU
BINANGKANG yang artinya raja yang diangkat berdasarkan peraturan (hukum) adat dan disegani oleh
siapa saja. Beliau memangku jabatan DATU sejak tahun 1653-1693 dan memiliki kekuasaan atas
penduduk sampai di Minahasa seperti di Ratahan, Belang, Likupang, Kema, manado dan sekitarnya.
Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa beliau DATU kerajaan Bolaang Mongondow dengan
hak otonom penuh, belum dipengaruhi oleh pemerintah kolonial Belanda. Sesudah beliau, maka raja-
raja Bolaang Mongondow harus menandatangani kontrak dengan pemerintah Hindia Belanda, walaupun
raja itu sendiri tidak menyukai adanya kekuasaan asing (Belanda) di Bolaang Mongondow.
E. DATU BINANGKANG SEBAGAI RAJA MANADO
Orang-orang Eropa, terutama pemerintah Hindia Belanda, menyebut DATU BINANGKANG sebagai
Raja Manado, berdasarkan prestasi dan reputasinya sebagai raja yang disegani :
1.    Dua orang Belanda yang bernama WILKEN dan SCHWARZ, mengatakan bahwa beliau dipilih menjadi raja
oleh penduduk Bolaang Mongondow dan Minahasa.
2.    Pernah menguasai wilayah Bonton di Gorontalo.
3.    Persahabatan dengan Sultan Ternate, didasarkan pada hubungan kekeluargaan, karena sama-sama
meyakini bahwa orang Ternate dan Bolaang Mongondow berasal dari satu keturunan. Persahabatan ini
menjadi akrab lagi ketika perang tanding antara pendukung DATU BINANGKANG dan SULTAN TERNATE
yang dimenangkan oleh pengikut/pendukung DATU BINANGKANG.
4.    Gubernur Belanda, ROBERTUS PADTBRUGGE berkata “orang Bantik di pantai Manado dan sekitarnya,
Panosakan,Tonsawang, dan ratahan berhubungan langsung dan bertakluk kepada Raja Bulan (Bolaang)”,
maksudnya DATU BINANGKANG.
5.    Pada tahun 1660 beliau membuka hubungan dagang dengan Spanyol dan hasilnya masuklah barang-
barang seperti piring, kain turia yang berbunga halus, pakaian dari kapas, peralatan dari besi untuk
barisan pengawal kehormatan kerajaan, topi beserta perisai dari tembaga dan sebagainya.
6.    Pada tahun 1664 bekerja sama dengan Raja Makassar, Sultan Ternate (KEITJIL SIBORI), dalam bingkai
“SEGI TIGA”, untuk melawan kekuasaan Komponi Belanda, namun gagal karena pada tahun 1667
Makassar dikalahkan oleh Komponi yang ditutup dengan KONTRAK JONGAYA.
7.    Tahun 1665, ANTONY VAN VOORST, sebagai petugas tinggi komponi Belanda di ternate, datang
berkunjung ke Manado dan memerintahkan kepada DATU BINANGKANG untuk :
a.    Menanam padi dengan baik.
b.    Mengganti benteng di Manado dari bahan kayu dengan beton.
Beliau tidak melaksanakannya, dan justru bersekutu dengan kerajaan Makassar yang menjadi seteru
Komponi Belanda pada waktu itu.
8.    Tahun 1668 Presiden de JONGH dari Ternate datang ke Manado dengan tujuan memberantas
kerusuhan. Waktu itu DATU BINANGKANG berada di Amurang. Sultan Ternate MANDARSAHA yang tiba
di manado tanggal 28 Agustus 1668 meminta kepada DATU BINANGKANG untuk datang. Beliau tidak ke
Manado, melainkan langsung menunggunya di pulau Bangka (sebelah utara Minahasa). Dalam
pertemuan di pulau bangka, DATU BINANGKANG diminta datang ke Ternate untuk menandatangani
“Perjanjian perdamaian”. Beliau tidak mau hadir memenuhi permintaan tersebut, apalagi untuk
membuat dan menandatangani perjanjian perdamaian dengan musuh atau seterunya Komponi Belanda.
Dengan demikian beliau semakin tidak disenamgi olek Komponi Belanda dan karena itu selalu dicari
jalan untuk menjatuhkannya.
9.    Tanggal 1 januari 1679, Gubernur ROBERTS PADTBRUGGE membuat perjanjian dengan kepala-kepala
desa di wilayah Manadi dan sekitarnya yang berisi “kekuasaan Raja Manado DATU BINANGKANG
dihapus secara sepihak”
10.     Tahun 1680 Sultan Ternate KEITJIL SIBORI berontak.
11.     Tahun 1681 DATU BINANGKANG menyerang Manado-Minahasa. Atas penyerangan tersebut Komponi
Belanda marah lalu gubernur ROBERTS PADTBRUGGE mengirim oranh-orangnya ke Bolaang
Mongondow dengan menumpang kapal MIDLLEBURG. Solimandungan dibumihanguskan (dibakar) oleh
pasukan Komponi Belanda.
12.     Tanggal 31 Agustus 1682, gubernur ROBERTS PADTBRUGGE, berkata bahwa LOLODA’ MOKOAGOW atau
DATU BINANGKANG :
a.    Ia adalah “HANTU” yang banyak membawa gangguan pada Komponi Belanda, kotor, dekil, keras kepala
dan tidak dapat dipercaya.
b.    Dua orang Belanda yang ikut bersamanya dari Bolaang Mongondow, oleh raja dan pengawalnya
ditelantarkan secara pengecut di tengah jalan.
13.     Tanggal 11 Februari 6183, gubernur ROBERTS PADTBRUGGE, dalam satu rapat besar menegur kepala –
kepala desa yang dengan diam-diam mengantarkan upeti kepada Raja DATU BINANGKANG.
14.     Tahun 6189, strategi pengmbilalihan kekuasaan DATU BINANGKANG sebagai Raja Kerajaan Bolaang
Mongondow dimulai atas prakarsa dan disponsori oleh pemerintah Hindia Belanda.
15.     Prestasi penting yang perlu diperhatikan ketika DATU BINANGKANG berkuasa Raja BOLAANG
MONGONDOW, adalah pembagian tugas dalam pemerintahan kerajaan sebagai berikut :
a.    DATU artinta Raja (pemimpin tertinggi).
b.    JOGUGU adalah Pembantu Raja (Sekretaris atau Perdana Menteri).
c.    MARSAOLE adalah Pembantu Raja (sama dengan JOGUGU).
d.   PENGHULU (Kepala Kecamatan=Camat).
e.    KAPITA RAJA adalah Pembantu Raja ditinggkat Onder Distrik.
f.     MAYOR KADATO adalah Kepala Onder Distrik.
g.    KAPITA LAUT sama dengan Laksamana.
h.    SANGADI adalah Kepala Desa
PENGAMBILALIHAN KEKUASAAN RAJA
Orang dan pemerintah Hindia Belanda sangat membenci bhkan memusuhi DATU BINANGKANG, dan
karena itu mereka terus berusaha menjatuhkannya dengan betbagai cara. Salah satu cara yang
ditempuh oleh Belanda adalah “menciptakan pertentangn dari dalam kerajaan”. MANOPPO, putera dari
perkawinannya dengan MALO di Amurang diambil dan disekolahkan di Houfden School Bantik
Malalayang. MANOPPO dibaptis masuk agama Katolik dan namanyapu ditambah didepan (nama kecil)
manjadi YACOBUS MANOPPO.
Proses penagmbilalihan kekuasaan oleh YACOBUS MANOPPO dari tangan ayahnya DATU BINANGKANG
adalah sebagai berikut :
1.      MANOPPO disekolahkan, dibina (dipersiapkan) oleh belanda untuk menggantikan ayahnya, dibaptis ke
agama Katolik dan diberi nama YACOBUS MANOPPO.
2.      Pada tahun 1689 pemerintah Belanda dari Manado mengutus tujuh orang pembesar menemui DATU
BINANGKANG, untuk menyampaikan dua hal :
a.       Nasihat.
Karena sudah lanjut usia sebaiknya mengundurkan diri dari pemerintahan.
b.      Pertanyaan.
Siapa diantara anak-anaknya yang lebih disukai sebagai pengganti
Dua hal tersebut dujawab singkat oleh DATU BINANGKANG sebagai berikut :

“SESUDAH TUJUH (7) HARI BARU ADA JAWABANNYA, KARENA PERLU DIADAKAN PEREMBUKAN DENGAN
KEPALA-KEPALA BAWAHNNYA DARI MONGONDOW DAN MINAHASA”.

3.      Masa menunggu jawaban selama tujuh (7) hari dipergunakan sebaik-baiknya oleh pembesar-pembesar
di Manado dan YACOBUS MANOPPO yang didukung oleh pemerintah Hindia Belanda untuk :
a.       Mematangkan rencana pengambil alihan kekuasaan raja.
b.      YACOBUS MANOPPO sendiri mempersiapkan diri dengan pakaian kebesaran kerajaan dan tanda-tanda
kepangkatan.
4.      Sementara itu kapal milik Belanda Midlleburg tetap dilabuhkan di Bolaang untuk suatu tujuan.
5.      Pada malam ke-enam (6), sehari sebelum masa waktu pemberian jawaban oleh DATU BINANGKANG,
YACOBUS MANOPPO bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya :
a.       Naik ke kapal Midlleburg dengan membawa “Surat Pernyataan”, bahwa ia telah dipilih sebagai raja.
b.      tujuh (7) orang pembesar-pembesar sebagai utusan pemerintah Hindia Belanda yang dikawal oleh 24
(dua pulu empat) orang serdadu Komponi mengikuti YACOBUS MANOPPO naik ke kapal Midlleburg.
c.       YACOBUS MANOPPO barsama rombongannya turun dari kapal dan kembali ke darat. Tidak ada
keterangan mengenai apa yang dilakukan diatas kapal.
d.      Seasmpainya didarat pelantikan atau penobatan sebagai Raja Kerajaan BOLAANG MONGONDOW
dilaksanakan.
6.      Penobatan menjadi raja, dilakukan pada tanggal 03 Oktober 1694, 12 (dua belas) hari sesudah penanda
tanganan perjanjian perbatasan wilayah Bolaang Mongondow dengan Minahasa yangdilakukan
YACOBUS MANOPPO dan kepala-kepala di Manado pada tanggal 31 september 1694.
7.      Ahirnya pada tanggal 20 Mei 1695 YACOBUS MANOPPO menandatangani kontrak pemerintahan dengan
Komponi Belanda dan berahir pada tanggal 31 Desember 1731.
8.      Untuk dicatat bahwa YACOBUS MANOPPO adalah Raja Kerajaan Bolaang Mongondow yang pertama kali
menandatangani kontrak pemerintahan dengan penjajah Belanda, kemidian diikuti oleh raja-raja
pengganti turun-temurun, sampai Indonesia merdeka.
9.      Pengambil alihan kekuasaan raja melalui tipu muslihat dan pemaksaan sangat melukai hati DATU
BINANGKANG. Beliau marah, lagi kecewa kemudian pergi meninggalkan istana kerajaan di Bolaang,
dengan kata-kata kutuka atau odi-odi ynag akan dipaparkan pada bab berikutnya.
F. KEHIDUPAN DIMASA TUA
DATU BINANGKANG adalah seorang pribadi yang sangat patuh, taat dan menghormati peraturan-
peraturan yang telah disepakati dan ditetapkan dalam hukun adat. Sejak masa MOKODOLUDUT dan
disempurnakan lagi dalam perjanjian PALOKO-KINALANG , bahwa yang berhak menjadi raja di kerajaan
Bolaang Mongondow adalah “ANAK LAKI-LAKI KETURUNAN RAJA ATAU BANGSAWAN”.
Berdasarkan kepatuhan, ketaatan pada peraturan dalam hukum adat kerajaan Bolaang Mongondow
tersebut maka DATU BINANGKANG telah mempersiapkan anaknya MAKALUNGSENGE dari isterinya
BUA’ LANGAAN dengan alasan :
a.       DATU BINANGKANG sendiri, adalah raja Bolaang Mongondow yang digantikannya.
b.      Ibunya MAKALUNGSENGE , BUA’ LANGAAN adalah keturunan bangsawan di Bolaang.
Rencana untuk menggantikan MAKALUNGSENGE untuk menggantikannya sebagai raja gagal karena
“digagalkan” oleh anaknya di Amurang (Minahasa) YACOBUS MANOPPO yang dipersiapkan, didukung
dan dibantu sepenuhnya oleh pemerintah penjajah Belanda. Penggantiannya sebagai raja oleh anaknya
sendiri, dilakukan secara paksa melalui “tipu muslihat” yang direncanakan oleh Belanda, sesungguhnya
telah merampas hak dan martabat pemerintah dan rakyat kerajaan Bolaang Mongondow. Atas peristiwa
ini beliau marah besar dan kecewa (simontol).
KISAH KUTUKAN ATAU ODI-ODI
Karena kecewa, beliau meninggalkan istana dan pergi membenamkan diri disungai “Lombagin”
(Inobonto sekarang). Tidak ada siapapun mengetahui hal ini dan sesudah 3 hari/malam ada yang
menulis 9 hari/malam beliau ditemukan orang.
Konon (riwayatnya), ketika ditemukan, setengah dari badannya (kaki sampai ke pinggang) sudah
bersisik seperti kulit Buaya. Beliau dibawah dan diobati oleh “BOLIAN” (ahli pengobatan), dan sembuh
kembali seperti semula. Setelah sembuh beliau dibujuk oleh pengikut-pengikutnya supaya kembali ke
istana. Dengan ucapan “bagaimanapun juga YACOBUS MANOPPO adalah anaknya sendiri”, makanya
Bogani-bogani yang dipimpin oleh “TUMOMPA”, dapat membujuknya dan beliau kembali ke istana.
Setelah berada di istana, beliau menghadapi kenyataan bahwa anaknya YACOBUS MANOPPO, benar-
benar sudah menjadi raja. Beliau sangat tidak senang, dan atas ketidaksenangan ini ditengah-tengah
orang banyak yang sedang berkumpul di istana, beliau mengucapkan kata sumpah atau odi-odi).
Adapun kata-kata sumpah atau odi-odi yangdiucapkan oleh DATU BINANGKANG adalah sebagai
berikut :
“KARENA MAKALUNGSENGE PUTERANYA DARI BUA’ (BANGSAWAN) TIDAK
MENGGANTIKANNYA SEBAGAI RAJA, MAKA DI BOLAANG MONGONDOW DALAM
WILAYAH MANOPPO, AKAN SELALU DILANDA PERPECAHAN SAMPAI SELAMA-
LAMANYA”.

MENINGGALKAN ISTANA KERAJAAN


Sesudah mengucapkan sumpah-kutukan (odi-odi), beliau meninggalkan istana, pergi mengasingkan
diri atas kemauan sendiri (bukan diasingkan oleh pemerintah penjajah Belanda). Keterangan yang dapat
diperoleh adalah beliau ke pantai utara Bolaang Mongondow yakni :
a.       Ke Motingke’ Bolang Itang.
b.      Kemidian pindah ke Tambalata.
Belum ditemukan keterangan mengenai aktipitas beliau selama ditempat pengasingan diri. Pesan
atau amanat beliau ketika masih hidup adalah “APABILA SUDAH MENINGGAL DUNIA SUPAYA
DIBAWAH DAN DIMAKAMKAN DI RIGI”. RIGI adalah satu tempat ditengah-tengah perkebunan kelapa
diantara kelirahan Matali dan Poyowa Besar.
DUA PESAN PENTING
1.        Siapapun kelak yang menjadi pemimpin di wilayah Bolaang Mongondow, harus memiliki kecerdasan,
keberanian, kependirian teguh, jujur dan tetap menjaga harga diri sebagai manusia, demi kesejahteraan
rakyat dan wilayah Bolaang Mongondow.
2.        Wahai cucu dan keturunanku, apapbila kamu telah mampu, maka bangunlah sebuah gedung 17 (tujuh
belas) tingkat ditengah-tengah kota (Kotamobagu), yang aku beri nama “GEDUNG DO’A”.
AGAMA DAN KEPERCAYAAN
Orang Eropa (Spanyol, Portugis Dan Belanda) dating ke Indonesia, disamping berdagang dan
menjajah juga sebagai misi penyebar agama Kristen yang mereka anut. Ketika LOLODA’ MOKOAGOW
atau DATU BINANGKANG memerintah orang Spanyol dan Portugis menghadiahkan “bibit padi, kelapa
dan jagung”, sejalan dengan usahanya membeli hasil bumi dan menjual barang-barang jadi dari
negerinya seperti kain, peralatan dapur/rumah tangga dan sebagainya. Dalam situasi dan kondisi seperti
ini Raja LOLODA’ MOKOAGOW ikut agama Kristen Katolik, tetapi rakyat kebanyakan tidak mengikutinya.
Walaupun sudah menganut agama Kristen Katolik, namun beliau tidak menjalankan agama tersebut
dalam kehidupannya sehari-hari, karena raja dan rakyat pada waktu itu masih meletakkan kepercayaan
mereka pada makhluk dan alam (animism dan dinamisme). Ketika beliau bersahabat dengan raja
Makassar dan Sultan Ternate (KEITJIL SIBOR dan MANDARSAHA), untuk melewan penjajah Belanda,
beliau tertarik dengan ajaran agama Islam dan menyatakan untuk menganutnya atau memeluknya.
Walaupun demikian beliau belum mengembangkan ajaran Islam kepada keluarganya dan pembantu-
pembantunya diistana kerajaan, karena beliau sendiri baru “menyatakan masuk Islam, tetapi belum
menjalankan syariat-syariatnya dengan sebenarnya”. Jadi ketika pemerintahanya belum ada orang
Bolaang Mongondow yang masuk memeluk agama Islam.
Ajaran agama Islam mulai berkembang di Bolaang Mongondow pada masa pemerintaha raja
JACOBUS MANUEL MANOPPO, (1833) ketika beliau sendiri masuk Isl;am setelah menikahi putri seorang
imam Islam dari Mazhab Safi’I yang bernama TUEKO dan puterinya bernama KILINGO. Sejak itulah
rakyat ikut masuk agama Islam yang berpusat di Lipung Simboy Tagadan (kelurahan Motoboy Kecil
sekarang). Yang perlu dicatat dan diingat adalah : LOLODA’ MOKOAGOW atau DATU BINANGKANG
sudah berniat dan menyatakan masuk Islam sebelu wafat, walaupun belum menjalankan syariatnya.
LOKASI MAKAM
Ketika DATU” BINANGKANG masih hidup dipengasingan diri, beliau berpesan : apabila sudah
meninggal agar dibawah dan dimakamkan di RIGI, dengan penjelasan sebagai berikut :
1.      Berdasarkan bukti materil yang ada (artifact), memang benar bahwa di RIGI terdapat tiga (3) makam
yakni : DATU BINANGKANG atau LOLODA’ MOKOAGOW, MOGEDAG (MOGIDAG) dan BUA’ SILAGONDO
(istri YAYUBANGKAI).
2.      RIGI terletak ditengah-tengah perkebunan kelapa milik Bapak G.MAKALALAG (LAKI ARI’) penduduk
Matali. Kebuntersebut berada diantara kelurahan Matali dan Poyowa Besar.
3.      Lokasi tersebut oleh orang-orang Poyowa Besar dikenal juga dengan nama TONTOLUO’NG.
4.      Tepatnya lokasi makam terletak ditepi sungai kecil yang bernama “kali Poyowa”, yang membatasi
kelurahan Kobo’ Kecil, Motoboy Besar dan Poyowa Besar.
5.      Kelurahan Poyowa Besar dan Matali termasuk dalam wilayah Kotamobagu ibu kota kabupaten Bolaang
Mongondow propinsi Sulawesi Utara.
IDENTITAS MAKAM
Pendeta W. DUNNEBIER dalam bukunya, Mengenal Raja-Raja Bolaang Mongondow, halaman
38 terdapat keterangan sebagai berikut :
“……bahwa oleh orang Minahasa atas perintah Raja YACOBUA MANOPPO, telah mengumpulkan
kapur dan batu untuk pembuatan raja LOLODA’ MOKOAGOW yang di “metsel” oleh mereka”. Kesaksian,
CHAEROEL MAKALALAG, ketika mengikuti upacara “MONOI MAMA’ KO I KOYOG” oleh orang-orang tua
Poyowa Besar tahun 1952 dan tahun-tahun berikutnya, memang makam tersebut di metsel (dibeton).
Ketika makam tersebut dahulu (masih asli), berukuran standar, hanya lebih panjang dan lebar dari
ukuran makam-makam sekarang.
Dengan menghadap ke utara, ketiga makam tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
a.       Makam pertama.
Pada pinggir pagar / pojok Utara, agak ke barat dengan ukuran sekitar 3,00x1,5 meter, adalah makam
Raja LOLODA’ MOKOAGOW atau DATU BINANGKANG.

b.      Makam kedua


Disebelah timur makam pertama, agak ke tengah, dengan ukuran sekitar 2,00 x 1,25 meter adalah
makam seorang bogani terkenal yakni MOGEDAG atau MOGIDAG.

c.       Makam ketiga


Disebelah selatan makam kedua, yang terdapat sebatang pohon langsat tua, dengan ukuran sekitar
2,00x1,25 meter adalah makam BUA’ SILAGONDO, istrinya YAYUBANGKAI, anaknya MOKODOLUDUT
yang menjabat PUNU’ kedua, menggantikan ayahnya.

Sekarang ini, kondisi makam tidak lagi seperti dahulu, sudah rusak / batu-batu berantakan, karena
pada tahun 1980 telah digali / dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan
mencari barang-barang antik, peninggalan zaman dahulu yang cukup mahal harganya. Dikandung
maksud kelak bila sudah ada kesempatan, makam tersebut akan dikembalikan seperti bentuk semula.
PEMILIKAN TANAH (LOKASI) MAKAM.
Pada tanggal 31 maret, atas inisiatif Bapak CH.MAKALALAG dan mendapat dukungan penuh dari
bapak I. D. DAUMPUNG (Laki Liana), R. P. PAPUTUNGAN (Laki Diksi), L. D. DAUMPUNG (Laki Nana), Alm.
A. MOKODOMPIT (Laki Gunawan), H. ANDU (Papa Epi’), dan M. BANGOL (Laki Cheni’) serta H. T. M.
MAKALALAG (Laki Diah), telah disepakati untuk memebebaskan tanah sesuai keperluan.
Pada tanggal 05 april 2003 (05.04.2003), telah diperoleh kesepakatan dengan pemilik tanah, Bapak G.
MAKALALAG (Laki Ari’) kelurahan Matali, sebagai berikut :
a.       Pemilik menyerahkan tanah dengan “HIBAH BERSEDEKAH”.
b.      Ukuran tanah yang dihibahkan adalah 16x9 meter atau 144 m².; ketiga makam berada di tengah-tengah.
c.       Pemilik tanah menerima uang sedekah, sebesar Rp. 700.000.,- (tujuh ratus ribu rupiah), tidak termasuk
pohon kelapa di dalam tanah (lokasi).
d.      Dua batang pohon kelapa ditengah lokasi Makam disedekahi Rp. 100.000., (seratus ribu rupiah), kepada
pemiliknya, SAIM kelurahan Matali.
e.       SURAT HIBAH ditandatangani oleh pemberi Hibah yakni Bapak G. MAKALALAG dan Istrinya Ibu DJANIMA
MADUNDO, sementara itu penerima hibah oleh bapak CH. MAKALALAG, dengan tiga orang saksi yakni
H. T. M. MAKALALAG, R. P. PAPUTUNGAN, dan LD. DAUMPUNG.
Dengan demikian sejak tanggal penghibahan, yakni 05 april 2003 kepemilikan tanah lokasi makam,
sudah berada di tangan Bapak CHAEROEL MAKALALAG, Poyowa Besar Dua, Kecamatan Kotamobagu
Selatan, Bolaang Mongondow. Dikandung maksud untuk mendirikan satu “Yayasan” yang kelak dapat
menerima hibah dari Bapak CHAEROEL MAKALALAG untuk selanjutnya mengurus dan memelihara
makam yang bernilai sejarah tersebut.

 BAB III
BEBERAPA KUTIPAN PERATURAN (HUKUM) ADAT DI BOLMONG

PADA ZAMAN PUNU DAN RAJA-RAJA

Setiap kelompok atau organisasi mempunyai peraturan yang mengatur tata tertib dan hubungan
baik sesame anggota maupun anggota dengan pimpinannya. Peraturan tersebut ada yang tertulis dalam
bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Dalam kehidupan yang modern ini dapat
disamakan dengan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaan. Kemudian yang tidak tertulis
dinamakan peraturan adat-istiadat. Dapat juga disebut konvensi atau etika. Walaupun tidak tertulis
namun tetap dihormati, dipatuhi, dilaksanakan dan berlaku mengikat antara sesama anggota dan
pimpinannya.
Pada masa prasejarah, masyarakat Bolaang Mongondow yang hidup berkelompok-kelompok
dan tersebar diberbagai tempat, juga telah memiliki peraturan adat-istiadat yang dibuat, disepakati dan
disahkan melalui ikrar dan sumpah bersama. Peraturan tersebut tidak dibuat tertulis karena pada waktu
itu belum ada penduduk yang dapat membaca dan menulis.
Kedatangan orang-orang seperti Portugis, Spanyol, Belanda, India, Tiongkok dan saudagar
Gujarat dari Timur Tengah telah dapat mempengaruhi masyarakat kearah dapat membaca dan menilis.
Tidak itu saja, tetapi adat-istiadatpun tidak terlepas dari pengaruh budaya dan agama yang dibawah
serta oleh opera pendatang tersebut diatas.
Kehadiran orang-orang yang dapat membaca dan menulis, telah dapat menjadikan peraturan-peratura
(hokum) adat yang serba tidak tertulis dibuat menjadi tertulis. Sebagai pendahulu adalah tul8isan orang-
orang belanda yang tinggal lama di Indonesia hususnya di Bolaang Mongondow seperti W. DUNNEBIER
dan suku-suku lain yang sudah terlebih dahulu dapat menilis dan membaca.
Berdasarkan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat yang selalu berubah, maka penulis
membagi kutipan-kutipan peraturan (hokum) adat atau adat istiadat suku bangsa Bolaang Mongondow
dalam tiga (3) masa yakni :

A.    MASA KEPUNUAN MOKODOLODUT

Masa ini adalah peletakan dasar-dasar atau pondasi tempat bertumbuhnya peraturan-peraturan
(hokum) adat yang lahir kemudian. Semua penduduk dan pimpinannya sudah memiliki peraturan yang
berlaku bagi mereka.
B.     MASA PEMERINTAHAN TADOHE atau ABO’ SADOHE

Masa ini adalah persiapan dari pemerintahan kepunuan ke pemerintahan kerajaan dengan Datu atau
Raja sebagai kepala pemerintahannya.
Atas prakarsa TADOHE yang dibantu oleh para Bogani dengan tokoh-tokoh masyarakat disusunlah
kodipikasi peraturan (hukum) adat di Bolaang Mongondow dalam satu paket yang bersejarah yakni
“PERJANJIAN PALOKO DAN KINALANG”.
C.     MASA PEMERINTAHAN DATU CORNELIS MANOPPO

MASA PEMERINTAHAN DATU CORNELIS MANOPPO adalah Raja Kerajaan Bolaang Mongondow yang ke
XVI. Selama pemerintahan raja-raja sebelunya sudah tentu tidak sedikit perubahan-perubahan berupa
penambahan atau pengurangan peraturan yang berlaku sebagai undang-undang kerajaan. Peraturan-
peraturan (hokum) adat yanglahir dimasa pemerintahan MASA PEMERINTAHAN DATU CORNELIS
MANOPPO yang hingga saat ini masih terasa perannya adalah sebagai berikut :
1.      Perihal Perkawinan

2.      Perihal Monualing

3.      Perihal Mokoboyot

4.      Perihal Perkawinan Dua Anak Berasaudara

5.      Perihal Kedukaan atau Kematian

6.      Perihal Pembagian Harta Benda Peninggalan (Budel)

7.      Perihal Pernyataan Tanda Hormat

Peraturan (hukum) adat tersebut masih berlaku di Bolaang Mongondow dimasa pemerintahan dua raja
sesudahnya yakni LOURENS CORNELIS MANOPPO dan anaknya HENNY YUSUF CORNELIS MANOPPO.
Sesudah itu secara berangsur hilang ditelan masa kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 disusul
dengan pergolakan dan pemberontakan PRRI dan PERMESTA yang telah menghancurkan semua harta
peninggalan baik materi maupun adat dan budaya.

DARI MASA KE MASA


A. MASA KEPUNUAN MOKODOLODUT

Sampai buku ini disusun, penulis belum menemukan catatan atau keterangan tertulis mengenai
peraturan adat dan budaya dimasa sebelum kelahiran MOKODOLODUT. Mungkin saja ada baik yang
ditulis oleh orang-orang Belanda yang ikut datang menjajah kepulauan Indonesia maupun yang ditulis
oleh orang-orang Indonesia sendiri, sedah sangat sulit ditemukan dan tidak tahu harus dicari dimana.
Walaupun demikian, pantaslah bersukur kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan
menemukan beberapa kutipan tentang Adat dan Budaya yang berlaku di Bolaang Mongondow, dimulai
dengan masa kepemimpinan MOKODOLODUT.

Setelah peristiwa kelahiran MOKODOLODUT dan ketegangan sudah meredah, maka kepala para
kelompok (Bogani) membuat kesepakatan sebagai berikut :

1.      Bayi atau anak yang lahir dari sebutir telur tersebut diberi nama MOKODOLODUT.

2.      Mengakui anak tersebut sebagai PUNU (TUANG) di wilayah Bolaang Mongondow.

3.      Keturunan MOKODOLODUT dari generasi ke generasi selanjutnya diberi hak “MENJADI RAJA”.

4.      Anak laki-laki dari Raja diberi gelar “ABO”.

5.      Anak perempuan dari Raja diberi gelar “BUA”.

6.      Keturunan yang tidak menjadi Raja termasuk dalam golongan KOHONGIAN

7.      Anak laki-laki dari golongan KOHONGIAN, juga diberi gelar ABO

8.      Anak perempuan dari golongan KOHONGIAN diberi gelar BAI’ atau BAKIA.

9.      Para bogani mensepakati dan menetapkan peraturan kehidupan berkeluarga bermasyarakat dan
berpemerintahan sebagai berikut :

a.       Semua keturunan dari generasi ke generasi harus patuh pada keturunannya dan menghormati serta
mengikuti perintahnya.

b.      Barang siapa yang melanggar peraturan tersebut maka yang bersangkutan akan menerima sangsi yakni
“BUTUNGON” (Kena Kutuk), yang berakibat :

(1). MORONDI’ NA BUING (Hitam Seperti Arang).

(2). DUMARAG NA KOLAWAG (Kuning Seperti Kunyit)


(3). MOYUYOW NA SIMUTON (Mencair Seperti Garam)

(4). TUMONOP NA LANAG (Diserap Tanah Seperti Garam)

(5). KIMBUTON IN TOLOG (Ditelan oleh Arus Air)

(6). DOROTON I MOTOYANOI (Ditindas oleh Roh Dewata)

c.       Peraturan tersebut diatas ditetapkan dan disahkan melalui ikrar dan sumpah bersama oleh para Bogani
dengan bahasa upacara yakni ITU-ITUM.

Itulah beberapa ketentuan dalam peraturan adat-istiadat pada mulanya yang dalam perkembangan
selanjutnya tetap menjadi dasar utama dalam penyusunan peraturan-peraturan (hukum) adat yang
berlaku bagi suku bangsa Bolaang Mongondow. Peraturan adat-istiadat tersebut dari waktu ke waktu
mengalami perubahan sebagai akibat dari pengaruh budaya dan agama yang dibawah masuk oleh
orang-orang Spanyol dan Portugis (agama Kristen Katolik), Belanda dan Inggris (agama Kristen
Protestan), Asia Tengah/Hindustan (agama Hindu), Tiongkok (agama Budha) dan tidak kalah pentingnya
saudagar Gujarat dan Suku bangsa Bugis Makassar (agama Islam).

Perubahan yang lebih bersifat penyusunan berjalan secara perlahan atau sedikit demi sedikit,
namun jelas. Demikian, adat istiadat (budaya hidup) yang ditetapkan bersama dimasa MOKODOLODUT
mengalami penyesuaian-penyesuaian sejalan dengan pergantian Punu Molantud dan datu atau Raja-
Raja, seperti TADOHE dengan perjanjian Paliko dan Kinalangnya serta masa pemerintahan Raja ke XVI,
yakni DATU CORNELIS MANOPPO yang memerintah tahun 1905 sampai 1927.

B. MASA PEMERINTAHAN TADOHE atau ABO’ SADOHE

Tudu In Bakid dikenal sebagai tempat tinggal PUNU TADOHE juga sebagai tempat pelaksanaan
pertemuan atau musyawarah besar yang dihadiri oleh para Bogani, pemuka-pemuka adat, tokoh-tokoh
masyarakat banyak. Dahulu pertemuan atau musyawarah seperti itu dikenal oleh masyarakat umum
sebagai kenduri (pesta) besar menjelang musyawarah dilaksanakan. TADOHE terlebih dahulu
mempersiapkan rancangan peraturan-peraturan (hukum) dan lembaga adat yang diperlukan oleh
sebuah kerajaan. Unutk keperluan tersebut PUNU TADOHE mengumpulkan para Bogani, pemuka, tokoh-
tokoh masyarakat dan rakyat yang pada mulanya direncanakan di DINDINGON – Lolayan, namun tidak
jadi karena orang Passi keberatan dengan alasan jauh dari mereka. Keputusan yang diambil oleh PUNU
TADOHE adalah musyawarah dilaksanakan ditempat tinggalnya Tudu In Bakid (puncak gunung
musyawarah)., dengan garis besar susunan acara musyawarah dimaksud adalah sebagai berikut :

1.      Penyampaian, pembahasan dan penetapan peraturan-peraturan (hukum) yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
2.      Pengesahan dan pengukuhan peraturan-peraturan (hukum) lembaga-lembaga adat dan pemerintahan
melalui sumpah dan ikrar bersama dengan pengucapan “ITU-ITUM”.

3.      Kenduri atau pesta besar seperti biasanya yaitu makan-minum bersama.

Dalam musyawarah tersebut rakyat diwakili oleh PALOKO sebagai tokoh masyarakat dan pemuka
adat serta pihak pemerintah diwakili oleh KINALANG sebagaimantan PUNU ke-III. Seluruh kesepakatan
dikodofikasikan dalam satu dokumen resmi yang disebut PERJANJIAN PALOKO DAN KINALANG dengan
keterangan sebagai berikut :

1.      Rakyat berjanji untuk taat, patuh, loyal dan mendukung serta membantu pihak pemerintah.

2.      Sementara itu pemerintah berjanji untuk mempedulikan, memperhatikan, mengurus dan
menyelenggarakan kepentingan serta kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya peraturan-peraturan (hukum) yang telah disahkan atau dikukuhkan dalam perjanjian
PALOKO-KINALANG dapat dikemukakan beberapa kutipan sebagai berikut :

1.      PEMBAGIAN GOLONGAN MASYARAKAT

Masyarakat dibagi dalam enam (6) golongan sebagai berikut :

a.       Golongan Kesatu : Mododatu (Raja dan Bangsawan)

b.      Golongan Kedua : Kohongian

c.       Golongan Ketiga : Simpal

d.      Golongan Keempat : Nonow

e.       Golongan Kelima : Tahig

f.       Golongan Keenam : Yobuat

2.      PENGGANTIAN DAN PENGANGKATAN RAJA

a.       Raja dipilih dari keturunan Raja-Bangsawan dan harus berkelamin laki-laki.

b.      Upacara “turun tachta” dilakukan oleh pemuka-pemuka adat dari distrik Passi dan Modayag.

c.       Upacar penobatan Raja dilakukan oleh pemuka-pemuka adat dari distrik Bolaang (sekarang
Santombolang, Lolak, Bolaang dan Poigar).
3.      FASILITAS DAN HAK-HAK RAJA

a.       Apabila Raja melakukan perjalanan dari istana menuju ke Bolaang dan Kotabunan harus dipikul diatas
tandu, tidak diperkenankan berjalan kaki. Selain itu Raja harus dikawal atau disonsong oleh barisan
kehormatan yang bersenjatakan “tombak tungkudon” dan “perisai”.

b.      Raja berhak memerintahkan untuk membangun satu rumah di Mongondow dan satu lagi di Bolaang.

c.       Apabila seseorang berhasil menangkap ikan atau berburu, maka ikan terbesar atau hasil buruan terbaik
haus diperuntukan bagi Raja.

d.      Hasil pertam dari kebun atau buah-buahan diperuntukan bagi Raja dengan takaran “satu gantang padi”,
100 tongkol jagung dan satu tali emas.

e.       Raja berhak atas pembayaran denda dari pelanggaran peraturan atau hukum kerajaan.

f.       Bila seseorang menggarap tanah untuk perkebunan harus terlebih dahulu memberitahukan kepada Raja.

g.      Apabila Raja berada di luar rumah harus selalu memakai “toyung bantang” atau “tolu besar” denagan
alasan agar tanam-tanaman dapat betumbuh baik dan berbuah banyak.

h.      Hak Raja terhadap orang yang telah meninggal :

(1)   . Terhadap suami-isteri tanpa anak.

Seluruh harta miliknya menjadi hak Raja.

(2)            . Terhadap Golongan Kohongian. Sebelum seluruh harta dibagi kepada anak- anaknya, maka Raja harus
mendapat pemberian budel tersebut sebanyak 30 Real, apabila yang meninggal Kohongian kaya.

Dan apabila yang meninggal adalah golongan Kohongian tidak kaya, maka Raja mendapat benda-benda
berharga ditambah 40 Real.

(3)   . Terhadap Golongan Simpai

Apabila yang meninggal golongan Simpai yang kaya, maka kepada Raja akan diberikan dua gantang padi,
satu ekor kambing ditambah satu benda berharga.

Apabila yang meninggal dari golongan Simpai tidak kaya, maka pemberian tersebut harus ditambah
dengan 20 Real.

4.      PERIHAL KEMATIAN


a.         Apabila yang meninggal Raja, Isteri, Anak atau Cucunya, maka :

(1)   Seluruh penduduk Bolaang Mongondow berkabung selama tiga hari/malam.

(2)   Wanita-wanita berkumpul di alun-alun istana sambil memegang obor dari “tayu” (bekas sarang lebah)
sambil menyanyikan lagu-lagu berduka selama tiga hari/malam.

(3)   Penduduk tidak diperkenankan menyalakan lampu di rumahnya sampai jam delapan malam (jam 20.00).

(4)   Penduduk yang melayat diwajibkan memakai pakaian hitam dan tidak diperkenankan memakai pakaian
merah.

(5)   Dilakukan pengawalan ditempat tinggal ahli duka.

(6)   Wanita-wanita yang tergolng keluarga duka harus memakai selendang putih (lutu) selama 14 hari, 40
hari sampai 100 hari.

b.        Apabila golongan Bangsawan atau Kohongian meninggal, maka :

(1)   Tonggoluan (tempat jenazah dibaringkan) dikelilingi oleh lapi-lapi yang terbuat dari kain sikayu (dibawa
masuk oleh orang-orang Portugis) yang ditempeli manik-manik warna-warni menghiasi tonggoluan.

(2)   Bagi golongan Bangsawan pada kedua ujung tonggoluan digantung payung hitam dalam posisi terbuka,
tangkai menghadap ke atas dan dasar payung ke bawah.

(3)   Khusus bagi golongan Kohongian, di rumahnya dibuat motubo berhias janur kuning dari pohon kelapa
dan pada ujung atas motubo dipasang bendera kecil dari kain putih.

(4)   Pemakaman golongan Mododatu harus didahului dengan penabuan kulintang dari gendang yang
dilakukan oleh orang tertentu.

(5)   Pemakaman seorang dari golongan Kohongian, jenazahnya dibaringkan di atas ranjang kemudian
diusung dan dilindungi dua payung hitam yang dikawal oleh enam orang tungkudon.

(6)     . Pemakaman seorang Simpai dapat diperkenankan memakai delapan helai kain tuna dan sehelai kain
putih sebagai tanda berkabung.

5.      PERIHAL PERKAWINAN


Ketentuan mengenai mas kawin dan lainnya diberlakukan berbeda pada tiap golongan masyarakat,
seperti mas kawin bagi golongan Mododatu atau Bangsawan berbeda dengan golongan Kohongian atau
Simpai dan seterusnya ke golongan bawah.

a.       Jika Raja, Anak atau Cucunya menikah dengan rakyat biasa, maka pembayaran mas kawin tidak
diperlakukan (ditiadakan).

b.      Bila rakyat biasa menikah, maka kepada Raja harus diberikan kain sikayu seharga 1 Real.

c.       Pakaian pengantin yang biasa dipakai oleh golongan Bangsawan atau Mododatu tidak boleh dipakai oleh
rakyat biasa.

d.      Acara peminangan, mengantar mas kawin dan upacara atau pesta perkwaninan harus dibedakan antar
golongan Mododatu dengan rakyat biasa.

e.       Besarnya mas kawin antara golongan Mododatu dan rakyat biasa harus berbeda, semakin ke bawah
golongannya semakin kecil bahkan kalau golongan Mododatu kawin dengan rakyat biasa tidak perlu
membayat mas kawin.

f.       Selain mas kawin, juga masih terdapat biaya-biaya yang harus dipersiapkan oleh pihak laki-laki seperti :

(1)   Pongooan

Adalah uang yang diberikan sebagai tanda terima kasih atas diterimanya pinangan dari pihak laki-laki.

(2)   Potarapan

Sejumlah uang atau seperangkat peralatan kecantikan yang dibawahi bersama keluarga laki-laki melihat
calon mempelai wanita.

(3)   Pakeang Tobaki

Terdiri dari satu stel pakaian wanita lengkap yang pada waktu diserahkan diletakkan dasatu alat yaitu
baki.

(4)   Gu’at

Yaitu sejumlah uang diberikan oleh pihak laki-laki kepada orang tua wanita sebagai tanda terima kasih
atas keikhlasannya melepas tanggung jawab anak wanitanya kepada mempelai laki-laki.

(5)   Potulokan

Adalah uang konpensasi atas orang tua wanita untuk tidur bersama dengan mempelai laki-laki.

(6)   Poleadan

Hadiah berupa uang yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai wanita agar mau
meratakan giginya dengan jalan dipotong.
g.      Acara mogama

(1)   Setelah acara nikah selesai, maka dilakukan acara “mogama” yaitu pihak laki-laki berkewajiban
menjemput dan membawa mempelai wanita kerumahnya atau orang tuanya.

(2)   Apabila mempelai wanita berhenti ditengah jalan atau tidak mau makan-minum dalam acara mogama,
maka artinya bahwa mempelai wanita sesuatu barang berharga yang harus dipenuhi oleh laki-laki.

(3)   Acara mogama ini sangat penting dalam setiap pernikahan karena mempelai wanita dianggap tabu
berkunjung kerumah pihak laki-laki sebelum menikah.

h.      Menabuh kulintang atau gendang hanya diperbolehkan bagi golongan Mododatu atau Kohongian
sedang bagi orang kebanyakan diperkenankan apabila mendapat ijin dari salah seorang golongan
Mododatu / Bangsawan.

6.      PELANGGARAN PERATURAN (HUKUM) dan PERBUATAN TIDAK SENONOH

Apabila seseorang melanggar peraturan (hukum) atau berbuat tidak senonoh, maka yang
bersangkutan akan diberikan sanksi sebagai berikut :

a.       Dihukum dengan mengasingkannya ke Sangkub / Buntalo.

b.      Membayar denda yang besarnya tergantung dari jenis dan bobot pelanggaran dan perbuatan.

c.       Bila tidak sanggup membayar denda maka yang bersangkutan dijadikan budak Raja.

d.      Pendapatan denda disetorkan kepada Raja.

7.      CATATAN

a.       Peraturan-peraturan (hukum) adat tersebut diatas tidak memuat secara keseluruhan sebab teks aslinya
yang lengkap sudah sulit ditemukan, kecuali beberapa kutipan belaka.

b.      Hukum adat ini sudah diterapkan pada massa pemerintahan TADOHE sebagai PUNU KE-VII / PEJABAT
RAJA.

c.       Selanjutnya, setiap pergantian Raja selalu terjadi penambahan atau penghapusan sebagai akibat dari
perkembangan interaksi sosial dan dinamisasi kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan.
D.    MASA PEMERINTAHAN DATU CORNELIUS MANOPPO

Peraturan-peraturan (hukum) adat yang berlaku sebagai “perjanjian timbal balik antara pemerintah
dan rakyatnya” yang telah ada sejak pemerintahan Punu ke-I MOKODOLUDUT sampai Punu ke-VIII
TADOHE dalam perjalanannya selalu saja mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan
dinamika kehidupan dari masa ke masa. Salah satu peraturan yang mempengaruhi kehidupan rakyat
diberbagai bidang adalah pembagian golongan masyarakat yang ditetapkan ketika TADOHE memangku
jabatan Punu ke-VIII atau pejabat Raja adalah sebagai berikut :

a. Golongan ke- I : Modatu (Raja dan Bangsawan)

b. Golongan ke- II : Kohongian

c. Golongan ke- III : Simpal

d. Golongan ke- IV : Nonow

e. Golongan ke- V : Tahig

f. Golongan ke- VI : Yobuat

Penjelasan :

a. Golongan Modatu dan KOHONGIAN adalah penduduk kelas I (satu).

b.      Golongan SIMPAL dan NONOW adalah penduduk kelas II (dua).

c. Golongan TAHIG dan NONOW adalah penduduk kelas III (tiga).

d.      Golongan TAHIG dan YOBUAT adalah penduduk kelas IV (empat) atau golongan paling bawah (rakyat
jelata).

Selanjutnya dimasa pemerintahan Raja SALOMON MANOPPO, pada tahun 1735 dimasukkan
peraturan tentang penetapan status anak berdasarkan penggolongan masyarakat tersebut diatas :

a.       Apabila seorang KOHOGIAN menikahi perempuan SIMPAL maka anak-anak masuk golongan KOHOGIAN,
dan apabila perempuan golongan KOHOGIAN dinikahi oleh anak laki-laki golongan SIMPAL, maka anak-
anak masuk golongan SIMPAL.
b.      Apabila seorang laki-laki golongan SIMPAL menikahi perempuan dari golongan NONOW, maka anak-
anak masuk golongan SIMPAL, dan jika seorang perempuan golongan SIMPAL dinikahi oleh laki-laki dari
golongan NONOW, maka anak-anak masuk golongan NONOW.

c.       Apabila seorang laki-laki dari golongan NONOW menikahi perempuan dari golongan TAHIG, maka anak-
anak masuk golongan NONOW, dan jika perempuan golongan NONOW dinikahi oleh laki-laki dari
golongan TAHIG, maka anak-anak masuk golongan TAHIG.

d.      Apabila seorang laki-laki golongan TAHIG menikahi perempuan dari golongan YOBUAT, maka anak laki-
laki masuk golongan TAHIG, dan jika seorang perempuan golongan TAHIG dinikahi oleh laki-laki dari
golongan YOBUAT, maka anak laki-laki masuk golongan YOBUAT.

Tentang Perkawinan

a.       Golongan MODODATU atau RAJA

1.      orang tua dan keluarga laki-laki mengundang tokoh masyarakat dan pemuka adat untuk membicarakan
maksud mengawinkan mereka.

2.      setelah sepakat baru dilakukan peminangan kepada orang tua dan keluarga wanita.

3.      Untuk pelaksanaan peminangan, maka tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka-pemuka adat diundang
untuk bersama-sama kerumah orang tua wanita.

4.      Seperti biasanya, sebelum upacara peminangan dimulai, dilakukan pelayanan seperti makan sirih
pinang, merokok dan sebagainya.

5.      Setelah pelayanan selesai, maka juru bicara dari pihak laki-laki minta ijin untuk berbicara menyampaikan
maksud dan tujuan kedatangan mereka.

6.      setelah itu, wakil dari orang tua wanita memberikan jawaban yang bisanya berisi penerimaan
peminangan.

7.      Setelah itu diteruskan dengan acara “MONAGU”, melalui proses sebagai berikut :

a)        Pihak laki-laki meminta mengantarkan perhiasan untuk disimpan dan dijaga dirumah dirumah pihak
wanita.

b)       Perhiasan tersebut dimasukkan kedalam kotak husus yang diletakkan diatas baki bertutup kain sutra
merah.

c)        Pembawa baki adalah seorang laki-laki yang bapak dan ibunya masih hidup.

d)       Dibelakang pembawa baki seorang pembawa paying sutera yang melindungi hadiah.
e)        Para pembawa hadiah diikuti oleh 12 (dua belas) orang yang membawa tombak tungkudon.

f)        Penerimaan hadiah oleh keluarga mempelai wanita ditandai dengan tembakan meriam kecil atau bedil
sebanyak 12 (dua belas) kali.

g)       Sesudah itu diadakan acara makan dan minum seperti biasa.

h)       Diakhiri dengan penetapan waktu perkawinan yang biasanya dilakukan secara besar-besaran diwarnai
dengan permainan kulintang, gendang-gendang dan sebagainya.

i)         Pada dasarnya, beberapa ketentuan tersebut pada butir a berlaku sama kecuali hal-hal sebagai berikut :

(1)   Bagi golongan KOHONGIAN.

a)      Harta kawin harus lebih rendah dari golongan MODODATU.

b)      Mempelai wanita tidak diperkenankan memakai perhiasan seperti atau menyamai puteri keturunan
raja.

c)      Tembakan meriam kecil atau bedil sebanyak enam (6) kali.

d)     Pembawa tombak tungkudon hanya terdidri dari enam (6) orang saja.

(2)      Bagi golongan SIMPAL.

a)      Mas kawin harus lebih rendah dari golongan KOHONGIAN.

b)      Tembakan meriam kecil atau bedil sebanyak enam (6) kali dan enam (6) orang yang membawa tombak
tungkudon ditiadakan.

c)      Pemakaian emas hanya untuk perhiasan tertentu saja tetapi tidak seluruhnya, misalnya hanya kuncup
hiasan dari tusuk konde.

(3) Bagi golongan NONOW, TAHIG dan YOBUAT.

a)      Mas kawin harus lebih rendah dari golongan SIMPAL.

b)      Tidak diperkenankan atau dilarang memakai perhiasan dari emas.

Perihal MONUALING (Merusak Perkawinan/Rumah Tangga).

Peraturan ini sudah ada dan telah diterapkan pada masa pemerintahan LOLODA’ MOKOAGOW atau
DATU BINANGKANG yang meliputi :

a.       Perbuatan ZINAH dan PERKOSAAN


(1)   Bils yang melakukan kejahatan berupa perbuatan zinah atau perkosaan dari golongan MODODATU atau
RAJA, maka yang bersangkutan akan dihapus dari golongan RAJA dan diturunkan ke golongan
KOHONGIAN.

(2)   Bila yang melakukan perbuatan zinah atau perkosaan dari golongan KOHOGIAN dan SIMPAL, maka yang
bersangkutan harus membayar “DENDA” sebesar dua (2) kali lipat dari jumlah mas kawin, yang dibagi
tiga, sesuai rincian sebagai berikut :

a)      SEPERTIGA (1/3) bagian untuk pengadilan.

b)      SEPERTIGA (1/3) bagian untuk orang tua wanita.

c)      SEPERTIGA (1/3) bagian untuk keluarga.

(3)   Kalau tidak mampu bembayar denda, maka yang bersangkutan akan menjadi budak Raja.

Jika perbuatan zinah atau perkosaan oleh seseorang terhadap kemanakan, anak tiri atau ibu
kemanakannya, maka laki-laki dari wanita yang bersangkutan “dibuang atau dipenjara di Sangkub”
(tempat pemenjaan zaman dahulu).

Perihal MOKOBOYOT (Menghamili Wanita Diluar Nikah)

a.       Bila laki-laki dan wanita sama-sama dari golongan KOHONGIAN maka yang bersangkutan harus
membayar denda :

(1). Dua lirang kain turia warna hijau seharga 30 Real tiap lirang.

(2). Satu piring besar seharga 3 Real.

(3). Satu helai kain pendukung kain seharga 10 Real.

b. Bila seseorang dari golongan SIMPAL menghamili wanita dari golongan KOHONGIAN, maka yang
bersangkutan harus membayar denda sebagai berikut :

(1). Satu lembar kain antik warna hijau seharga 20 Real.

(2). Satu piring besar seharga 3 Real, sebagai alat memandikan bayi.

(3). Satu helai kain dukungan bayi seharga 10 Real.

c. Apabila seorang laki-laki golongan KOHONGIAN menghamili seorang gadis dari golongan SIMPAL, maka
yang bersangkutan harus membayar dengan :

(1). Satu lirang kain turia seharga 30 Real.

(2). Satu lirang kain turia seharga 10 Real.


d. Jika laki-laki dan wanita keduanya dari golongan SIMPAL, maka yang bersangkutan harus membayar
denda :

(1). Satu lirang kain turia seharga 30 Real.

(2). Satu lirang kain turia seharga 10 Real.

Perihal PERKAWINAN DUA ANAK BERSAUDARA

Apabila dua anak bersaudara dalam arti kata Bapak dan atau Ibu keduanya adalah saudara kandung,
maka bagi golongan KOHONGIAN, SIMPAL, NONOW dan TAHIG dikenakan peraturan (hukum) adat
sebagai berikut :

a.                 Golongan KOHONGIAN

(1). Pihak laki-laki harus membayar denda :

(a). 20 piring antik.

(b). 20 piring biasa.

(c). Satu lirang kain antik warna hijau.

(2). Pihak wanita membayar untuk pengadilan :

(a). 10 piring antik.

(b). 20 piring biasa.

(c). Satu lirang kain antik warna hijau.

Keterangan :

(1). Yang dibayar oleh pihak laki-laki diberikan kepada orang tua perempuan.

(2). Yang dibayar oleh wanita diberikan kepada Raja melalui Kepala Distrik.

b. Golongan SIMPAL

(1). Pihak laki-laki harus membayar :

(a). Enam susun piring yang terdiri dari dua (2) macam piring antik.

(b). Satu lirang kain antik seharga 10 Real.

(2). Pihak wanita harus membayar :


(a). Enam (6) susun yang terdiri dari dua (2) macam piring antik.

(b). Satu lirang kain antik seharga 10 Real.

Keterangan :

(1). Yang dibayar oleh pihak laki-laki diberikan kepada orang

tua perempuan

(2). Yang dibayar oleh wanita diberikan kepada Kepala Distrik melalui

Pengadilan

c. Golongan NONOW dan TAHIG

(1). Pihak laki-laki harus membayar :

(a). Empat (4) susun yang terdiri dari dua (2) jenis piring antik.

(b). Empat (4) piring biasa.

(c). Satu macam barang (apa saja) seharga 5 Real.

(2). Pihak wanita harus membayar :

(a). Empat susun yang terdiri dari dua (2) macam piring antik.

(b). Empat (4) piring biasa.

(c). Satu macam barang (apa saja) seharga 5 Real.

Keterangan :

(1)   .Yang dibayar oleh pihak laki-laki diberikan kepada orang tua wanita

(2)    .Yang dibayar oleh wanita diberikan kepada kepala desa melalui pengadilan

Disamping pemayaran-pembayaran tersebut diatas juga harus dilakukan “upacara adat” yang
disebut ” MOMONTOU KON BUI “ atau memutuskan hubungan sedarah,melalui proses sebagai berikut :

a. Laki-laki dan wanita yang menikah harus menginjak seekor babi (pada zaman dahulu).

b. Keduanya harus melangkahi piring tertentu yang telah diisi dengan kunyit Dan arang

kayu.

c. Ditutp dengan pembuangan piring yang telah dipecahkan terlebih dahulu.


Perihal KEDUKAAN

a.         Apabila raja dan KELUARGANYA (isteri,anak atau cucu) meninggal,maka berlaku ketentuan-ketentuan
sebagai berikut :

(1) .Seluruh rakyat (penduduk) Bolaang Mongondow dinyatakan berbagung (biasanya tiga hari/malam)

(2)   . Tidak boleh terjadi atau berbuat keriburtan

(3)   . Tidak boleh mengadakan pesta.

(4)   . Tidak boleh memakai pakaian berwarna merah.

(5)   . Orang datang ke rumah duka harus memakai berpakaian warna hitam.

(6)      .Tidak boleh menyalakn lampu di rumah masing-masing sebelum jam delapan malam (jam 20.00)

(7)      . Kepala-kepala atau pemimpin diwajibkan datang berkumpul di rumah duka.

(8)      . Jenaza wajib ditangisi dan dinyanyikan lagu-lagu berduka (MOGAMUI).

(9)      . Siang dan malam disediakan makan dan minum bagi pelayat yang berduyun-duyun datang.

(10)  . Jenazah dimasukan kedalam peti kemudian diletakan diatas ranjang sampai para

Kepala pemimpin rakyat datang

(11). Pada saat pemakaman dilakukan tembaka-tembakan meriam kecil disertai dengan

pengawalan kehormatan yang menggunakan perisai dan tombak tungkudon.

(12).Sesudah pemakaman harus diadakan pesta kedukaan yang disebut

“MONGALANG” ,dengan biaya besar,seperti pemotongan api dan kerbau yang banyak dan
sebagainya,untuk memberi makan minum bagi orang-orang yang datang.

(13).Tiap desa harus menyerahkan sumbangan satu gantang padi dan sejumlah uang

Real (tidak ditentukan).

Apabila seorang golongan KOHONGIAN yang meninggal maka :

(1)             .Tidak seluruh rakyat diwajibkan berkabung.

(2)   .Kalau yang meninggal keluarga dekat Raja,maka :

(a)    Waktu pemakaman diperbolehkan pengawalan kehormatan yang dilakukan oleh 12 orang pembawa
tombak tungkudon.
(b)   Diperkenankan melakukan penembakan sebanyaak 12 kali.

(3) Kalau yang meninggal keluarga jauh dari Raja maka :

(a)    Cukup diberitahukan kepada Kepala Desa.

(b)   Pengawalan 12 orang pembawa tombak tungkudon dan diperbolehkan penembakan 12 kali.

(c). Pada kematian golongan SIMPAL,yang dilakukan terbatas pada ;

(1)   Pemberitahuan kepada Kepala Desa setempat.

(2)   Pengawalan hanya dilakukan oleh 8 orang pembawa tombak tungkudon dan penembakan hanya
menggunakan meriam kecil dilakukan 8 kali.

(3)   Yang datang melayat hanya penduduk desa yang bersangkutan

(d). Khusus pada kematian dari golongan NONOW,TAHIG, dan YOBUAT,

pengawalan tombak tungkudon dan penembakan dengan meriam

kecil tidak diperkenankan.

Perihal PEMBAGIAN HARTA BUNDEL (BUDEL).

a. Bila Salah Satu Orang Tua Meninggal Dunia.

(1)      Orang tua yang masih hidup menguasai sepenuhnya atas semua harta benda yang didapat oleh suami
isteri selama dalam ikatan perkawinan.

(2)      Semua anak belum berhak atas harta benda peninggalan (budel) dari kedua orang tuanya.

b.   Kedua Orang Tua Meninggal Dunia

Semua harta benda peninggalan (budel) baik bergerak maupun tidak secara otomatis menjadi hak anak-
anaknya.

c. Bila Bapa Beristri Lebih Satu Orang

(1). Anak-anak hanya berhak atas harta benda peninggalan (budel) yang diperoleh selama perkawinan bapak
dan ibu mereka yang sesungguhnya.

(2). Anak-anak dan isteri lainnya tidak boleh mencampurinya.


(3). Barang atau harta yang diperoleh dimasa bujang menjadi hak dari semua anak-anaknya.

d. Anak Diluar Nikah

Bila tidak diakui oleh bapaknya, maka:

(1). Barang-barang yang diberikan oleh bapaknya selama hidupnya kepada anak
diluar nikah adalah sah dan tidak boleh dituntut oleh siapapun.

(2). Anak-anak pada isteri yang sah tidak boleh melarangnya dan menuntut pengembalianny sedikitpun.

(3). Selama bapaknya masih hidup dan tidak memberikan suatu barang apapun, kemudian meninggak dunia,
maka anak-anak diluar nikah tidak berhak dari padanya.

e. Suami-Isteri Tanpa Anak.

(1). Bila salah satu meninggal dunia, maka yang masih hidup menguasai “setengah dari harta peninggalan
dan setengahnya lagi untuk para pewaris”.

(2). Bila keduanya meninggal dunia, maka seluruh harta peninggalan (budel) jatuh ke tangan pewaris kedua
belah pihak.

f. Seorang golongan KOHONGIAN meninggal dunia.

Jika seorang dari golongan KOHONGIAN meninggal dunia, maka sebelum harta benda peninggalan
dibagikan kepada anak-anaknya terlebih dahulu dikurangi dengan hak Raja senilai 30 Real.

g. Seorang golongan SIMPAL meninggal dunia.

Jika seorang dari golongan SIMPAL meninggal dunia, maka sebelim harta benda peninggalan dibagikan
kepada anak-anaknya harus dikurangi 20 Real untuk hak Raja.

h. Rakyat Mampu (Kaya) Meninggal Dunia.

Jika seorang rakyat yang mampu atau kaya tanpa memiliki anak meninggal dunia maka semua harta
benda peninggalanya diberikan atau menjadi hak Raja.

Perihal PERNYATAAN TANDA HORMAT.

Semua penduduk atau rakyat Bolaang Mongondow tanpa membedakan golongan harus
menghormati Rajanya.

a.    Sikap SEMBAH.

Diberlakukan kepada Raja, Isteri, Jogugu, dan Pembesar-Pembesar Kerajaan.


(1). Semua orang yang menghadap harus menunujukkan sikap SEMBAH yakni duduk melipat kedua kaki ke
belakang, meletakkan kedua telapak tangan ke lantai/tanah kemudian mengangkat kedua tangan
sampai setinggi dahi.

(2). Kepasda anggota keluarga Raja yang tidak sedang memangku jabatan, sikap SEMBAH tidak perlu
ditunjukkan.

b.    Berjalan Melewati Rumah Raja.

(1).Tidak boleh menggantungkan selendang dipundak.

(2).Bila naik kuda harus turun dan berjalan kaki sampai melewati rumah Raja.

c.    Bertemu Raja Di Jalan

(1).Berhenti sampai Raja lewat.

(2).Tidak boleh menyandang kain dipundak

(3).Bila naik kuda harus turun jsampai Raja lewat.

d.   Melewati Rumah Raja Di Bolaang.

Karena istana (rumah) Raja di Bolaang didekat pantai maka semua perahu yang lewat harus menggulung
layarnya sampai melewati rumah Raja.

e.    Ketika Berkata atau Berbicara dengan Raja.

Harus menggunakan kata-kata dengan bahasa yang halus dan bermakna tinggi seperti kata SAYA atau
AKU yang dalam bahasa Mongondow AKUOI digunakan kata ATA NAA (budak ini).

f.     Ketika Duduk.

(1).Tidak boleh berdekatan dengan Raja.

(2).Harus duduk diatas lantai yang beralas tikar.

(3).Duduk harus dengan bersila.

g.    Merokok dan Makan Sirih.


(1).Tidak boleh merokok didepan Raja atau Isterinya.

(2). Tidak boleh menggunakan sirih-pinang yang diambil dari “kabela” atau kotak kecil milik isteri Raja.

SAMBUTAN WALI KOTA KOTAMOBAGU

PENGANTAR PENULIS

  PENGANTAR BUKU

Dengan semakin cepatnya perkembangan dan kemajuan teknologi serta adanya tranformasi
antar budaya bangsa, tentu saja akan membawa dampak positif namun juga dampak negatif. Yang
pertama berpengaruh pada terciptanya toleransi dan integrasi antar budaya, sedangkan yang kedua
berakibat pada terkikisnya budaya-budaya yang lemah baik lokal ataupun nasional, selanjutnya budaya-
budaya itu hilang atau dilupakan generasi berikutnya. Kondisi ini semakin jelas dengan melemahnya
pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang warisan budaya dan etika politik nasional ataupun
lokal, termasuk di Bolaang Mongondow. Aktivitas sosial-politik yang cenderung materialistik cum
hedonistik telah mengikis budaya gotong royong (mododuluan), toleransi (mooaheran) dan mengasihi
(Mototabian) serta kritik (Mototanoban) yang merupakan salah satu warisan etika Kerajaan Bolaang
Mongondow.

Sesungguhnya ada harapan yang bisa kita peroleh dari warisan-warisan budaya dan etika politik
masa lalu, antara lain dengan pendekatan sejarah. Metode sejarah dapat menuntun kita dalam
mengatasi kabut kegelapan, ketidakmengertian yang meliputi kekinian, kesadaran bahwa segala sesuatu
yang terjadi dan tampak kemudian merupakan proses yang dialami dalam perjalanan waktu, dan masa
lampau bermakna bagi pembangunan masa depan. Berkaitan dengan hal ini, Moh. Hatta, wakil Presiden
RI pertama menyatakan, dalam pidatonya pada kongres pemuda tahun 1955 ; “Marilah kita mengambil
pelajaran masa lampau untuk membangun masa depan yang lebih baik”. Sejarah adalah ilmu yang
mandiri ; menafsirkan, memahami, dan memberikan pegertian. Sebagai ilmu, Diltthey menjelaskan
bahwa sejarah adalah ilmu tentang dunia yang masuk dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, humanities, human
studies dan cultural sciences. Dengan metode sejarah, maka kita dapat menggali kembali sistem etika
dan budaya politik Bangsa di masa lampau.

Dalam hubungan ini pula, meskipun penulisan sejarah Nasional yang telah ditulis baik itu secara
pribadi ataupun melalui institusi negara telah banyak diterbitkan, namun tidak memberikan jaminan
akan terurainya sejarah nasional yang utuh. Terbukti dengan adanya penelitian dan penulisan ulang
sejarah pada tahun 2004 selanjutnya pada tahun 2008, atau empat tahun kemudian justru banyak sekali
buku sejarah Nasional yang ditarik dari peredarannya. Demi tidak tercerabutnya sejarah Nasional
bangsa, maka hal yang paling penting sesunguhnya adalah meneliti dan mengungkapkan kesejarahan
masyarakat Indonesia yang belum terjamah, termasuk sejarah lokal di daerah-daerah. Penelitian dan
penulisan sejarah lokal dapat menyumbangkan informasi kesejarahan yang berharga bagi penyusunan
sejarah Nasional yang lebih komprehensif, sebab sejarah lokal merupakan sejarah internasional dan
karena sejarah Indonesia didalamnya terdiri atas sejarah lokal.

Kondisi politik indonesia yang terintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
sejak orde lama (1945-1966), orde baru (1966-1998) dan orde reformasi (1998-sampai sekarang),
senantiasa menjadikan semangat nasionalisme sebagai alat pemersatu. Namun demikian, semangat ke-
bhinekaan ini semakin terkikis oleh melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Diskriminasi ekonomi, pendidikan, pembangunan dan pelayanan publik, kesamaan hak dalam politik dan
pemerintahan, serta supremasi hukum dan HAM adalah beberapa faktor yang turut memengaruhi
keyakinan masyarakat bahwa mampukah negara-bangsa Indonesia tetap di pertahankan. Lantas apakah
fenomena ini terjadi karena kita telah melupakan sejarah, sehingga persatuan dan kebersamaan
sebagai bangsa yang telah cukup lama kita bangun dibiarkan memudar dan luntur begitu saja. Boleh jadi
karena bangsa ini tidak lagi memiliki pengetahuan tentang kearifan lokal dan proses kesejarahan
masyarakat kita pada masa lampau sehingga ancaman diskriminasi, menajamnya primordialisme dan
disintegrasi kurang mendapatkan perhatian yang serius.

Dalam kondisi yang demikian, upaya untuk meneliti, mengkaji dan memahami proses
kesejarahan serta dinamika internal masyarakat, baik secara nasional ataupun lokal sangat diperlukan.
Reaktualisasi dan rekonstruksi sejarah dari kelompok masyarakat akan memberikan informasi tentang
identitas masyarakat itu dalam sistem politik, sosial, budaya dan agama yang nantinya akan
membangun semangat integrasi, emansipasi, solidaritas dan simpati antar kelompok sosial-budaya
masyarakat. Selain itu, usaha ini dapat memperkaya wawasan akan Nusantara dan tentu saja akan
memperkuat posisi Negara-Bangsa dalam pergaulan global.

Indonesia yang terletak dijalur laut utama antara Asia bagian Timur dan Selatan dengan
sendirinya bisa diperkirakan akan terdapat populasi yang terdiri dari beragam ras. Hal ini terbukti
dengan beragamnya latar kesejarahan dan kebudayaan di beberapa daerah. Ditambah lagi luasnya
wilayah bangsa ini yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil, yang terbentang dari Sabang
hingga Merauke cukup memberikan dampak bagi lahirnya keanekaragaman budaya bangsa Indonesia.
Belum lagi, dahulu terdapat sejumlah besar kasatuan pemerintahan (dalam bentuk Kerajaan) yang
merdeka dan berdaulat sebagai sebuah bangsa. Kesatuan pemerintahan kerajaan itu membangun
sistem politik, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan keyakinan, serta sistem ekonomi
sendiri, yang tentu saja berbeda antara kerajaan yang satu dengan yang lainnya.

Secara historis, kerajaan Bolang Mongondow yang menjadi fokus penelitian ini, merupakan
salah satu bentuk pemerintahan monarki yang pernah eksis di kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi
Utara (SULUT) kurang lebih 297 tahun silam dengan 18 Raja (1653-1950). Keberadaan Kerajaan Bolaang
Mongondow (BM) secara langsung ataupun tidak, turut memengaruhi sistem dan kebijakan pemerintah
daerah bahkan Negara Bangsa Indonesia. Sistem politik Kerajaan BM merupakan gerakan sejarah yang
tak bisa dibiarkan begitu saja, sebab sejarah pada umumnya adalah prodak manusia yang luar biasa.
Mengenai hal ini, Edward W. Said mengatakan, “ sejarah bukanlah hal yang ilahiah atau sakral
melainkan sesuatu yang dibuat oleh manusia, laki-laki dan perempuan.

Selanjutnya secara etimologis kata Bolaang Mongondow pada dasarnya berasal dari dua kata
"bolaang" dan "mongondow". Bolaang atau golaang berarti : menjadi terang atau terbuka dan tidak
gelap karena terlindung oleh pepohonan yang rimbun. Dalam hutan rimba, daun pohon rimbun,
sehingga agak gelap. Bila ada bagian yang pohonnya agak renggang, sehingga seberkas sinar matahari
dapat menembus kegelapan hutan, itulah yang dimaksud dengan no bolaang atau no golaang. Bolaang
dapat pula berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut (Bolaang Uki dan Bolaang Itang
yang juga terletak di tepi laut). Mongondow dari kata "momondow" yang berarti : berseru tanda
kemenangan. Desa mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Daerah pedalaman biasa
juga disebut : rata Mongondow. Dengan bersatunya seluruh kelompok masyarakat yang tersebar, baik
yang yang berdiam di pesisir pantai, maupun yang berada di pedalaman Mongondow di bawah
pemerintahan raja tadohe (Sadohe), maka daerah ini menjadi daerah Bolaang Mongondow yang dalam
proposal ini selanjutnya disingkat BM. Sekitar abad 20 BM terdiri dari beberapa distrik, yaitu:
Mongondow (Passi dan Lolayan), serta onder distrik Kotabunan, Bolaang dan Dumoga.
Secara politik, Kerajaan BM mempunyai fungsi sebagai pelaksana pemerintahan pada semua
wilayah Kerajaan. Pemerintahan Kerajaan tersebut berbentuk monarki absut-patrilineal, bahwa yang
berhak menjadi raja adalah keturunan raja dan harus laki-laki. Corak Hubungan (patron klien) antara raja
dan masyarakat dilakukan berdasarkan peraturan yang dibuat bersama antara perwakilan rakyat dan
pemerintah Kerajaan yang dikenal dengan perjanjian “PALOKO-KINALANG”. Dalam perjanjian tersebut
diatur beberapa hal yang menyangkut pemerintahan, sosial-budaya, dan juga masalah hukum.

Fungsi sosial Kerajaan BM (1653-1693) pada awalnya dimaksudkan untuk menjalankan


pemerintahan raja yang memerintah secara otonom tanpa dipengaruhi atau diperintah oleh pemerintah
penjajah Belanda. Pada tahun 1694-1950 Kerajaan BM tidak ada pilihan lain kecuali sebagai alat
legitimasi imperialisme (dalam bentuk kontrak politik) dengan pemerintah Hindia Belanda yang datang
ke wilayah ini, sebagaimana yang kita ketahui Belanda menjajah Bangsa Indonesia kurang lebih 250
tahun atau 2 setengah abad lamanya. Meskipun demikian, Kerajaan BM tetap melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya terhadap masyarakatnya. Dengan masuknya Islam yang kemudian menjadi agama
Kerajaan pada tahun 1880, maka nilai-nilai spritual Islam kemudian masuk dalam mekanisme sistem
sosial dan pemerintahan Kerajaan BM.

Meskipun Kerajaan BM tidak melakukan konfrontasi politik dan ekonomi secara langsung
dengan Belanda, tetapi masyarakat BM lewat organisasi masyarakat setelah beberapa tahun kemudian
melakukan perlawanan terhadap Belanda, terbukti dengan adanya upaya pembentukan wadah
perjuangan rakyat untuk memepertahankan kemerdekaan pada tanggal 22 Agustus 1945, pembentukan
Kelaskaran Banteng RI 14 Oktober 1945 dan perlawanan mereka terhadap KNIL atau NICA pada 19
Desember 1945.

Makanisme pelaksanaan Pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongondow diatas sangat menarik


untuk dikaji lebih dalam karena beberapa alasan. Antara lain adalah belum adanya penelitian ilmiah
yang secara serius mengkaji masalah ini, disamping itu Kerajaan BM yang telah masuk Islam pada tahun
1880 namun tidak merubah bentuk Kerajaan-nya menjadi Sistem Kesultanan seperti yang terjadi pada
Kerajaan yang ada di Gorontalo, Ternate, Sumatra dan Jawa. Dalam keterbatasan wawasan, teori dan
informasi tentang konsep Pemerintahan yang baik, Kerajaan BM telah membuat sebuah Konsensus
dalam bentuk konsensus, yakni : “Perjanjian Paloko-Kinalang”. Kondisi Kerajaan yang masih sederhana
tersebut, tenyata telah mampu melahirkan konstruksi budaya lokal yang berpengaruh positif dalam
bangunan sosial dan budaya masyarakat BM.

atan Lokal Bolaang Mongondow, Sejarah Bolaang Mongondow

Sejarah Bolaang Mongondow

“SEJARAH BOLAANG MONGONDOW”


DIBUAT OLEH

KELOMPOK II :

1. RADITA R. MUBARAK
2. RISKA MUSLIM
3. INGE SARAH SITANIA
4. BASO USWAN ALAMSYAH
5. SUPARDI MOKOANGOW
6. DANDI LUMANDUNG
7. ANDIKA MODEONG

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil `alamin, kami ucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberi nikmat iman, nikmat islam, serta kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan tulisan
yang berjudul “SEJARAH BOLAANG MONGONDOW” ini dengan baik dan tepat pada
waktunya. Kami ucapkan pula terima kasih kepada semua bela pihak yang telah membimbing
dan membantu kami dalam membuat tulisan ini. Kami harap makalah yang kami buat ini dapat
bermanfaat serta bisa menambah wawasan dan pengetahuan kita walaupun kami sadar dalam
pembuatan makalah ini masih banyak terdapat keselahan. Oleh karena itu kami selaku penulis
mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam penulisan ini.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………….

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………….

BAB I    Pendahuluan ……………………………………………………………………..

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………….


1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………

1.3 Tujuan Penulisan ………………………………………………………………..

BAB II  Asal Usul Penduduk Bolaang Mongondow …………………………..

2.1 Gumalangit dan Tende’ Duata ……………………………………………

2.2 Manggopa Kilat dan Salamatiti …………………………………………..

2.3 Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat …………………………………….

2.4 Mata Pencaharian ……………………………………………………………..

BAB III Bolaang Mongondow di Akhir dan Sesudah Pemerintah

Swapraja ………………………………………………………………………….

3.1 Gerakan Partai Politik dan Organisasi Pemuda ……………………..

3.2 Berakhirnya Kekuasaan Raja-Raja di Bolaang Mongondow ……

3.3 Terbentuknya Kabupaten Bolaang Mongondow ……………………

BAB IV Pendidikan di Bolaang Mongondow ……………………………………

4.1 Sekolah Pertama ………………………………………………………………..

4.2 Datu Cornelis Manoppo Diangkat Menjadi Raja Pada Tahun

1901 ………………………………………………………………………………..

4.3 Perkembangan Pendidikan Dari Tahun 1945 …………………………

BAB V  Musik Tradisional Bolaang Mongondow ………………………………

5.1 Musik Kantung ………………………………………………………………….

5.2 Musik Rababo ……………………………………………………………………

5.3 Musik Bonsing …………………………………………………………………..

5.4 Musik Bansi (Tualing) ………………………………………………………..

5.5 Musik Tantabua’ ………………………………………………………………..


5.6 Bolontung …………………………………………………………………………

BAB VI Penutup ……………………………………………………………………………

6.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………….

6.2 Saran ………………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………..

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1          Latar Belakang

            Nama Bolaang Mongondow terdisi atas dua kata yakni Bolaang dan Mongondow.
Bolaang berasal dari kata golaang yang berarti terang atau terbuka, tidak tertutup oleh
pepohonan yang rimbuan. Biasanya, di hutan rimba keadaanya agak gelap karena tertutup
dengan pepohonan yang rimbun. Di dalam rimbunnya pohon ada bagian yang agak renggang
sehingga sinar terang matahari dapat menerobos, itulah yang disebut “Nogolaang atau
nobolaang”. Dari kata inilah munculnya kata Bolaang. Kemudian kata ini diabadikan dalam
nama suatu desa yang terdapat di Pantai Utara Bolaang Mongondow yaitu Desa Bolaang. Pada
zaman kerajaan, desa ini pernah dijadikan pusat pemerintahan Bolaang Mongondow.

            Mongondow berasal dari kata Momondow yang artinya berteriak, berseru sebagai tanda
kemenangan atau ungkapan rasa kebanggaan setelah berhasil dalam suatu perjuangan. Dari kata
Momondow ini kemudian berubah menjadi “Mongondow”. Kata ini juga diabadikan sebagai
nama suatu desa yang terletak di Kecamatan Kotamobagu yaitu Desa Mongondow yang diapit
oleh Desa Mongkonai dan Desa Poyowa Kecil, lebih kurang 2 km dari Kotamobagu, lazim juga
disebut “Rata In Mongondow”.

            Dengan bersatunya seluruh kelompok masyarakat, baik yang berdomisili di pesisir pantai
utara dan pesisir pantai selatan Bolaang Mongondow, maupun yang mendiami bagian pedalaman
maka terjadilah sekelompok masyarakat yang kemudian mengangkat seorang pemimpin yang
disepakati bersama dengan berbagai aturannya.

            Pada masa pemerintahan Tadohe (Sadohe) ada suatu peraturan yang dibuat di Tuduin
Bakid. Tuduin Bakid terletak di Desa Pontodon Kecamatan Passi. Salah satu aturan
menyebutkan bahwa Raja Tadohe memerintah mendirikan rumah, satu didirikan di Bolaang dan
satu lagi didirikan di Mongondow. Dari kata inilah kemudian oleh Paloko dan Kinalang diberi
nama Daerah Bolaang Mongondow.

 
   1.2    Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah asal usul Bolaang Mongondow ?


2. Bagamaina sejarah Bolaang Mongondow di akhir dan sesudah pemerintahaan Swapraja ?
3. Bagaimanakah proses pendidikan di Bolaang Mongondow ?
4. Musik tradisional apa saja yang ada di Bolaang Mongondow ?

1.3       Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu agar:

1. Dapat mengetahui asal usul penduduk Bolaang Mongondow


2. Dapat mengetahui sejarah Bolaang Mongondow di akhir dan sesudah pemerintah Swapraja
3. Dapat mengetahui proses pendidikan di Bolaang Mongondow
4. Dapat mengetahui musik-musik tradisonal Bolaang Mongondow

BAB II

ASAL USUL PENDUDUK BOLAANG MONGONDOW


 

2.1          Gumalangit dan Tende` Duata

            Penduduk Bolaang Mongondow pada mulanya bertempat tinggal di tepi muara Sungai
Sangkub. Mereka terkenal sebagai manusia pengembara dan pemberani. Dari muara sungai
Sangkub mereka berjalan menuju ke hulu sungai dan tiba di suatu tempat, bernama
Tabagomamang. Mereka berdiam di sana bertahun-tahun lamanya. Oleh karena bahan makanan
di sekitar tempat itu semakin menipis maka mereka mulai meninggalkannya. Sampai tiba di
suatu tempat bernama Huntuk Buludawa. Di sana tumbuh sebatang pohon kayu bernama
Inomasa yang berarti kayu keramat. Dari tempat itu mereka pindah lagi ke tempat bernama
Limbu`ong. Mereka dipimpin oleh Gumalangit atau Budulangit yang berarti datang dari langit.
Selama bertahun-tahun mereka tinggal di tepi Sungai Limbu`ong, setelah itu mereka pindah lagi.
Mereka berhenti di tepi Sungai Tumpa, kemudian pindah ke tepi Sungai Tapa Batang. Dari Tapa
Batang mereka berjalan ke hulu sungai dan akhirnya mereka tiba di suatu tempat di mana
terdapat air terjun. Di tempat itulah mereka melihat seseorang wanita cantik. Begitu wanita
cantik melihat mereka, wanita itu langsung lari ketakutuan. Gumalangit melihat hal itu kemudian
berseru “Sango-Sangondo” yang artinya jangan takut. Gumalangit wanita itu bernama Tende`
Duata karena sangat cantik seperti seorang dewi.

Pengikut Gumalangit tetap memanggilnya Sango-Sangondo. Sango-Sangondo atau Tende` Duata


akhirnya dipersunting oleh Gumalangit atau Budulangit.

2.2 Manggopa` Kilat dan Salamatiti

            Konon Ratu Dumoga masih berupa sebuah danau besar. Namun ketika Gunung Ilansikan
terputus, perlahan-lahan airnya surut dan terjadilah dataran yang sangat luas dan dikenal sebagai
Dataran Dumoga sekarang ini.

            Ketika itu Gumalangit dan Istrinya Sango Sangondo mencari tempat yang tinggi yaitu
gunung Bumbungon. Di sanalah mereka tinggal dan mencari makan untuk mempertahankan
hidup.

            Pada suatu saat terjadi peristiwa yang luar biasa, yakni datangnya hujan dan badai
diselingi kilat guntur sambung menyambung. Pepohonan banyak yang tumbang bergelimpangan.
Beberapa saat hujan mulai mereda, badai pun berhenti. Budulangit memanggil teman-temannya
lalu mendaki puncak Gunung Bumbungon untuk melihat-lihat apa gerangan yang telah terjadi.
Ternyata di sana mereka melihat seorang laki-laki yang gagah perkasa. Laki-laki itu dijumpai
mereka dan mereka memberinya nama Manggopa` Kilat yang berarti badai dan kilat.

            Gumalangit memperoleh 5(lima) orang anak, yang sulung bernama Sugeha. Manggopa
Kilat dan keluarga Gumalangit hidup rukun sebagai satu keluarga yang harmonis.
            Pada suatu malam yang cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, tiba-tiba di puncak Gunung
Bumbungon terlihat sepetri bintang jatuh. Melihat kejadian itu, Budulangit kembali mengajak
teman-temanya ke puncak Gunung Bumbungon untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Setelah
tiba di puncak, mereka melihat seorang putri yang cantik jelita. Putri yang cantik ini mereka
bawa dan diberi nama Salamatiti yang artinya seperti bintang jatuh dari langit.

            Beberapa saat kemudian Manggopa` Kilat kawin dengan Salamatiti. Dengan demikian di
Gunung Bumbungon sudah terdapat dua rumpun keluarga Budulangit dan Sango Sangondo dan
keluarga Manggopa` kilat dan Salamatiti.

            Dari hari ke hari, tahun ke tahun, dua rumpun keluarga ini makin bertambah banyak.
Timbul pemikiran mereka untuk membagi keluarga dan menyebar ke berbagai tempat. Sebelum
berangkat, terlebih dahulu mereka memilih pemimpin kelompok masing-masing. Dengan
dipimpin ketua kelompok, mereka menyebar mencari tempat yang baru. Ada yang berpindah ke
Gunung Babo yang diapit oleh Desa Ayong dan Desa Bolangit di Kecamatan Sang Tombolang.
Sedangkan Manggopa` Kilat dan Salamatiti tetap tinggal di Gunung Bumbungon yang terletak di
Kecamatan Dumoga.

2.3 Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat

            Pada suatu ketika, Gumalangit berjalan mengelilingi gunung kemudian menyusuri tepi
pantai. Tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki berjalan di atas ombak menuju pantai, tanpa
mengetahui dari mana datangnya. Pada saat orang asing ini melangkah ke darat, ombak besar
berhamburan di pantai dan dari pecahan ombak muncul pula seorang putri yang sangat cantik.

            Orang asing ini kemudian dibawa oleh Gumalangit bergabung dengan mereka. Oleh
Gumalangit,laki-laki ini diberi nama Tumotoi Bokol dan untuk yang perempuan diberi nama
Tumotoi Bokat. Tumotoi Bokol artinya berjalan di atas ombak, sedangkan Tumoyoi Bokat
artinya berjalan dari pecahan ombak. Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat akhirnya menjadi
suami istri.

2.4 Mata Pencaharian

            Kehidupan penduduk pertama Bolaang Mongondow masih primitif. Bahkan sampai pada
saat itu mereka belum mengenal api, itulah sebabnya makanan mereka pun belum ada yang
dimasak. Mereka hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain, hanya untuk mencari
makan. Apabila di suatu tempat persediaan bahan makanannya sudah menipis, berpindahlah
mereka ke tempat lain di mana persediaan makanan masih lebih banyak.

            Bahan makanan mereka terdiri atas umbi-umbian, buah-buahan, sreta hewan hasil buruan
baik yang boleh dimakan, mereka punya di air. Untuk memilih jenis makanan yang boleh
dimakan, mereka punya cara tersendiri dengan memperhatikan tanda-tanda pada maknan itu.
Umbi-umbian dan buah-buahan dapat dimakan oleh manusia karena tidak mengandung racun.
Mereka mancari umbi-umbian dan buah-buahan di hutan untuk dimakan. Selain itu, mereka juga
berburuh dan mencari ikan di sungai lalu damakn mentah-mentah.

            Alat berburu mereka pun masih sangat sederhana. Ada alat yang terbuat dari kayu dan
ada pula yang berasal dari tulang yang tajam.

BAB III

BOLAANG MONGONDOW DI AKHIR DAN SESUDAH

PEMERINTAH SWAPRAJA

3.1 Gerakan Partai Politik dan Organisasi Pemuda

Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, rakyat Bolaang Mongondow telah mempersiapakn diri
dengan membentuk partai-partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan serta organisasi
kepemudaan. Secara serentak mereka bangkit dan bergabung dalam suatu organisasi yang
disebut ; “ Gabungan Partai-Partai Indonesia Bolaang Mongondow” (Gaprobom). Wadah ini
dipersiapkan untuk menyusun strategi politik dan kekuatan bawah tanah dalam usaha
membubarkan negara Indonesia Timur (NIT), yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda.

Gapribom adalah wadah gabungan dari tiga partai politik dan supuluh organisasi sosial
kemasyarakatan.

3.2 Berakhirnya Kekuasaan Raja-Raja di Bolaang Mongondow

Lahirnya Republik Indonesia Serikat hasil Konferensi Meja Bundar di Denhaag Negeri Belanda
pada bulan Desember 1949, telah menimbulkan pertentangan anatara penganut paham unitarisme
(yang menginginkan bentuk negara kesatuan) dan penganut faham federalisme (yang
menginginkan bentuk negara federal). Situasi ini mencapai puncaknya pada tahun 1950.

            Diantara dewan raja-raja tersebut terpilih sebagai ketua adalah Raja Hanny Jusuf
manoppo dari kerajaan Bolaang Mongondow. Ibu kota dari gabungan swapraja Bolaang
Mongondow adalah kotamobagu.
            Oleh karena gejolak poliyik yang semakin memanas, maka kekuasaan raja-raja tidak lagi
dapat dipertahankan. Hal ini terjadi karena raja-raja di Bolaang Mongondow cenderung pada
bentuk negara feredal dan sistem pemerintahan swapraja dinilai banyak merugikan kepentingan
umum dan demokrasi.

            Akhirnya atas desakan dari berbagai unsur masyarakat, raja Bolaang Mongondow
bersedia mengundurkan diri dari jabatan raja dan kemudian diikuti oleh raja Kaidipang Besar,
Bintauna, dan Bolaang Uki. Dengan demikian kekuasaan raja-raja di Bolaang Mongondow
berakhir pada bulan Juli 1950.

3.3 Terbentuknya Kabupaten Bolaang Mongondow

Pada bulan Mei 1950, proses dimasukannya wilayah Bolaang Mongondow ke dalam Kabupaten
Sulawesi Utara telah membawa nuansa baru dalam sistem pemerintah di Bolaang Mongondow.
Ketika itu Kabupaten Sulawesi Utara masih berpusat di Gorontalo.

            Untuk mengisi kevakuman, sekitar bulan Juli sampai dengan Desember 1950, Pemerintah
di Bolaang Mongondow dipegang oleh badan yang bernama Komite Nasional Indonesia (KNI).
Badan ini diketahui oleh Zakaria Imban.

                Pada sidang pertama KNI di Bolaang Mongondow, telah menyampaikan bahwa Frans
Papunduke Mokodompit ditetapkan sebagai kepala daerah bagian Bolaang Mongondow.
Sehubungan dengan itu, pada bulan Desember 1950, pemerintah mengangkat Frans Papunduke
Mokodompit sebagai Kepala Daerah Bagian Bolaang Mongondow. Beliau memerintah sampai
dengan bulan Maret 1954.

            Pada tanggal 23 Maret 1954, Bolaang Mongondow resmi menjadi daerah otonom tingkat
II setingkat Kabupaten. Dengan demikian nama pemerintahannya pun ikut berubah dari Kepala
Daerah menjadi Bupati Kepala Daerah. Sebagai Bupati Kepala Daerah adalah Anton Cornelis
Manoppo.

BAB IV

PENDIDIKAN DI BOLAANG MONGONDOW

4.1 Sekolah Pertama

Sebelum pendudukan Jepang, di Bolaang Mongondow sudah ada sekolah. Sekolah yang
didirikan pemerintah disebut Gubernemen. Pada masa pemerintahan Raja Ismael Cornelis
Manoppo, Belanda pernah membuka sebuah sekolah rakyat di Desa Bolaang. Sekolah itu dibuka
kurang lebih pada tahun 1823. Satu-satunya guru disekolah itu adalah P.Bastian. Walaupun
sudah ada sekolah di Bolaang Mongondow pada waktu itu, namun disayangkan masyarakat tidak
memperdulikannya. Sehingga pada tahun 1831 akhirnya sekolah itu di tutup, dengan alasan tidak
ada guru agama Kristen. P.Bastian dihentikan dengan hormat oleh pemerintah Belanda melalui
surat keputusan (bosluit) Residen Manado D.F.W Pietermaat pada tanggal 17 Maret 1831.

4.2 Datu Cornelis Manoppo Diangkat Menjadi Raja Pada Tahun 1901

Raja Datu Cornelis Manoppo sangat memperhatikan dunia pendidikan. Pada tahun 1903 melalui
Controleur Anthon Cornelis Veenhuizen, diusulkan agar di Bolaang Mongondow dapat dibuka
sekurang-kurangnya 10 buah sekolah rakyat. Hal tersebut ditanggapi positif oleh Pemerintah
Belanda. Berikutnya, pada tahun 1906 di Bolaang Mongondow dibuka 14 sekolah zending.

4.3 Perkembangan Pendidikan Dari Tahun 1945

            Jika pada masa penjajahan Belanda,anak-anak sekolah diwajibkan berbahasa Belanda
maka pada masa pendudukan Jepang, bahasa Jepang menjadi mata pekajaran wajib disamping
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

            Tujuan pendidikan pada waktu itu tidak lain untuk membudayakan dan memenangkan
perang Jepang. Pada tahun 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Seiring dengan
hal itu, sekolah-sekolah yang ditutup pada masa pendudukan Jepang dibuka kembali. Bekas HIS
dibuka lagi dengan nama Algement Lagere School (Sekolah Dasar dengan lima kelas) dengan
kepala sekolah E.D.Suling.

 
 

BAB V

MUSIK TRADISIONAL

5.1 Musik Kantung

            Musik kantung dikenal sebagai jenis musik intrumental tradisional yang sudah lama
tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat. Namun penciptanya tidak dikenal lagi. Musik ini
dimainkan secara perorangan atau kelompok. Bentuknya sangat sederhana, bunyinya agak lunak,
hanya dapat didengar dalam lingkungan berdiameter 3 sampai 4 saja. Karena bunyinya agak
lunak, musik kantung merupakan permainan pengisih waktu senggang sebagai pelepas lelah.
Oleh karena bentuk dan bunyinya sangat sederhana maka sekarang musik tersebut kurang
populer dan tidak diajarkan di sekolah, sehingga hampir punah. Disamping berfungsi sebagai
pengisi waktu senggang, musik ini juga dapat dimainkan sebagai sarana untuk mengungkapkan
rasa suka kepada orang lain, misalnya ungkapan rasa suka dari seorang pemuda kepada gadis
idamannya.

            Pemain musik kantung pada umumnya pria. Mereka bermain musik dengan membuka
baju. Tempurung yang digunakan sebagai resonansi agak tertutup, akibatnya terjadi bunyi yang
lebih bulat /merduh.

5.2 Musik Rabobo

                Musik rabobo juga termasuk musik tradisional yang disajikan secara instrumental.
Siapa pencipta dan penemunya, tidak diketahui. Jenis musik ini ada persamaan dengan musik
arababu di Sanger Talaut. Dimainkan dengan cara menggesek. Bunyinya sangat sederhana dan
hanya merupakan permainan pengisi waktu senggang. Pemain menggesek rababo sambil
menyanyikan lagu-lagu tradisional (kombinasi vokal dan instrumental).

5.3 Musik Bonsing

            Salah satu musik tradisional di daerah Bolaang Mongondow adalah musik bonsing. Cara
memainkannya dengan memukul-mukulkan alat musik itu ke telapak tangan. Sudah dikenal
sejak lama dan terdapat hampir di setiap desa di Bolaang Mongondow. Alat ini ada persamaanya
dengan musik polopalo di Gorontalo. Siapa penemunya tidak dikenal lagi. Bentuk alat musik
bonsing ini sangat sederhana.

 
5.4 Musik Bansi (Tualing)

            Alat musik tradisional ini dibunyikan dengan cara meniup (alat musik tiup). Banyak
persamaan dengan alat musik daerah lain di Indonesia (Jawa,Bali Dll). Nama alat ini bansi
(namanya sama dengan Sangir Talaud). Secara umum alat musik bansi ini disebut seruling atau
suling. Bansi dapat dimainkan sebagai alat pelepas rindu dengan mengalunkan lagu-lagu
kenangan pada masa lampau. Dalam perkembanganya, bansi dapat dimainkan dengan
gendang,gong,atau alat musik tradisional lainnya untuk mengiring tari-tarian.

5.5 Musik Tantabua’

Jenis musik tantabu’ juga terdapat di daerah lain, seperti kalembosan di Minahasa, atu’atunga di
Gorontalo dan salude di Sangir Talaut. Musik tantabua’ berfungsi sebagai alat pengiring. Dapat
dimainkan oleh pria ataupun perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari, musim tantabua’
dimainkan sebaga pengisi waktu senggang. Bagi anak-anak, musik tantabua’ ini dimainkan
sambil bersenda gurau.

5.6 Musik Bolontung

            Bolontung adalah salah satu jenis alat musik tradisional yang telah ada sejak zaman
dahulu. Jenis alat musik bolontung ini belum dijelaskan pada halaman-halaman terdahulu seperti
musik kantung dan lain-lain.

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

            Nama Bolaang Mongondow terdiri atas dua kata yakni Bolaang dan Mongondow.
Bolaang berasal dari kata golaang yang berarti terang atau terbuka, tidak tertutup oleh pepohonan
yang rimbun. Mongondow bwrasal dari kata momondow yang artinya berteriak, berseru sebagai
tanda kemenangan atau ungkapan rasa kebanggaan setelah berhasil dalam suatu perjuangan. Dari
kata momondow ini kemudian berubah menjadi “Mongondow”.
            Penduduk Bolaang Mongondow pada mulanya bertempat tinggal ditepi muara Sungai
Sangkub. Mereka terkenal sebagai manusia pengembara dan pemberani. Dari muara Sungai
Sangkub mereka berjalan ke hulu Sungai dan tiba di suatu tempat, bernama Tabagomamang.
Mereka berdiam disana bertahun-tahun lamanya. Oleh karena bahan makanan disekitar tempat
itu semakin menipis maka mereka mulai meninggalkannya. Sampai tiba disuatu tempat bernama
Huntuk Buludawa. Disana tumbuh sebatang pohon kayu bernama Inomasa yang berarti kayu
kerama. Dari tempat itu mereka pindah lagi ketempat bernama Limbu’ong. Mereka dipimpin
oleh Gumalangit atau Budulangit yang berarti datang dari langit. Swlama bertahu-tahun mereka
tinggal ditepi sungai Limbu’ong, setelah itu mereka pindah lagi. Mereka berhenti ditepi Sungai
Tumpah, kemudian pindah ketepi Sungai Tapa Batang. Dari Tapa Batang mereka berjalan ke
hulu Sungai dan akhirnya mereka tiba di suatu tempat dimana terdapat air terjun.

6.2 Saran

            Dengan adanya makalah ini, semoga dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
daerah Bolaang Mongondow.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tari Tradisional Bolaang Mongondow.


2. Ginupit. Empat Aspek Adat Bolaang Mongondow.
3. Ginupit. Kebudayaan Daerah Bolaang Mongondow.
4. Ginupit. Musik Tradisional Sulawesi Utara.
5. Ginupit. Sejarah Bolaang Mongondow.
6. Bahasa Mongondow Kelas 5 dan Kelas 6.
7. Buku Silsilah Raja-raja Bolaang Mongondow.
8. Djamal S. Yusuf. Cerita Rakyat Suku Bolango
9. GBPP Muatan Lokal
10. M.Taulu, dkk. Sejarah Bolaang Mongondow
11. C Mokoginta. Makalah Berjudul : ‘Adat Istiadat Etnis Bolaang Mongondow’.
12. C Mokoginta Makalah Berjudul : ‘Gerakan Partai-Partai Politik dan Organisasi Sosial Di Bolaang
Mongondow’.
13. Korompot,Syafrudin. Sejarah Kaidipang.
14. Laurens Th. Menus, dkk. Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Utara.
15. Gonibala Manggo. Sejara Kelas Karan Banteng Bolaang Mongondow
16. R Mokoginta.Budaya Belajar Masyarakat Bolaang Mongondow.
17. Dunibier.Mengenal Raja-raja Bolaang Mongondow
18. A Lantong. Sejarah Islam Di Bolaang Mongondow
19. A Lantong. Mengenal Bolaang Mongondow.

 
Muatan lokal

MOYUGA
Ta’ diya’ bi noruga

Sukur Moanto
Kerajaan Bolaang Mongondow
Kerajaan Bolaang Mongondow adalah kerajaan Suku Mongondow.

Sejarah kerajaan Bolaang Mongondow


Bolaang Mongondow adalah wilayah Suku Mongondow. Bahasa ibu penduduk asli

di daerah ini adalah Bahasa Mongondow. Asal mula Suku Mongondow berasal

dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat.

Tempat tinggal mereka di gunung Komasaan (wilayah Bintauna). Makin lama

turunan kedua keluarga itu semakin banyak, sehingga mereka mulai menyebar ke

timur di Tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli’, Ginolantungan. Ke pedalaman di

tempat bernama Tudu in Passi, Tudu in Lolayan, Tudu in Sia’, Tudu in

Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain. …………… Di wilayah bekas

kabupaten Bolaang Mongondow abad ke-XIX terdapat 5 kerajaan. Yang terbesar

Kerajaan Bolaang Mongondow. Lalu kerajaan Bolaang Uki, pada tahun 1850-an

masih disebut Kerajaan Bolaang (Bangka). Berikutnya Kerajaan Bintauna (Binta


Oena), Kerajaan Bolaang Itam dan Kerajaan Kaidipang. Pada tahun 1912

bergabunglah kerajaan Bolaang-Itang dengan kerajaan Kaidipang menjadi

Kerajaan Kaidipang Besar.

Daftar Raja-Raja Kerajaan Bolaang Mongodow

1) 1400 – 1460 Punu` Mokodoludut

2) 1460 – 1480 Punu` YayuBangkai

3) 1480 – 1510 Punu` Damopolii

4) 1510 – 1540 Punu` Busisi

5) 1560 – 1600 Punu` Mokodompit

6) 1600 – 1650 Punu` Tadohe

7) 1653 – 1694 Raja Loloda Mokoagow atau Datu Binankang

8) 1694 – 1695 Raja Yakobus Manoppo

9) 1695 – 1731 Raja Fransiscus Manoppo

10) 1735 – 1748 dan 1756 – 1764 Raja Salomon Manoppo

11) 1764 – 1767 Raja Eugenius Manoppo


12) 1767 – 1770: Raja Christofeel Manoppo

13) 1770 – 1773 Raja Markus Manoppo

14) 1773 – 1779 Raja Manuel Manoppo

15) 1825 – 1829 Raja Cornelius Manoppo

16) 1829 – 1833 Raja Ismail Cornelis Manoppo

17) 1833 – 1858 Raja Yakobus Manuel Manoppo

18) 1858 – 1862 Raja Adreanus Cornelis Manoppo

19) 1862: Raja Yohanes Manuel Manoppo

20) 1886 – 1893 Raja Abraham Sugeha atau Datu Pinonigad

21) 1893 – 1901 Raja Riedl Manuel Manoppo

22) 1901 – 1928 Raja Datu Cornelius Manoppo

23) 1928 – 1938 Raja Laurens Cornelius Manoppo

24) 1947 – 1950 Raja Henny Yusuf Cornellius Manoppo


Mmmfbhiwhfwhrthrhr
uyruyrtyyhT68ut785UHRHRT
HBRGHGERTE4T

T78h rthrhrh4mmjsdo fmGTRTERWRFWETR 4RTYH5Yerghergherghegh

Anda mungkin juga menyukai