Anda di halaman 1dari 21

JURNAL AWAL PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN FARMASI STERIL

PRAKTIKUM III
PEMBUATAN SEDIAAN OBAT STERIL INJEKSI VOLUME KECIL

HARI DAN TANGGAL PRAKTIKUM : RABU, 06 Appril 2022


KELOMPOK 2/ A4A
I WAYAN MAHENDRA JAYA (19021022)

Nama Dosen : I Gusti Ngurah Agung Windra Wartana Putra, S. farm., M. Sc., Apt.

Asisten Dosen : Nita Pebriyanti

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DEBPASAR
2022
STERIL PRAKTIKUM III
PEMBUATAN SEDIAAN OBAT STERIL INJEKSI VOLUME KECIL

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Setelah melakukan praktikum ini mahasiswa diharapkan untuk dapat:
1. Melakukan perhitungan dan penimbangan bahan aktif dan bahan tambahan untuk
membuat sediaan injeksi volume kecil
2. Menuliskan perhitungan tonisitas sediaan injeksi volume kecil
3. Menuliskan prosedur pembuatan injeksi volume kecil
4. Melakukan pembuatan injeksi volume kecil
5. Melakukan evaluasi sediaan injeksi volume kecil

II. DASAR TEORI


Salah satu bentuk sediaan steril adalah injeksi. Injeksi adalah sediaan steril
berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan yang disuntikkan dengan cara
merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Dimasukkan ke
dalam tubuh dengan menggunakan alat suntik (Lachman dkk, 1994).
Suatu sediaan parenteral harus steril karena sediaan ini unik yang diinjeksikan
atau disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa ke dalam kompartemen tubuh
yang paling dalam. Sediaan parenteral memasuki pertahanan tubuh yang memiliki
efesiensi tinggi yaitu kulit dan membran mukosa sehingga sediaan parenteral harus
bebas dari kontaminasi mikroba dan bahan beracun dan juga harus memiliki
kemurnian yang dapat diterima (Voight R, 1995)
Steril adalah keadaan suatu zat yang bebas dari mikroba hidup, baik yang
patogen (menimbulkan penyakit) maupun apotogen atau nonpatogen (tidak
menimbulkan penyakit), baik dalam bentuk vegetatif (siap untuk berkembang biak)
maupun dalam bentuk spora (dalam keadaan statis tidak dapat berkembang biak, tetapi
melindungi diri dengan lapisan pelindung yang kuat). Tidak semua mikroba dapat
merugikan, misalnya mikroba yang terdapat dalam usus yang dapat membusukkan sisa
makanan yang tidak terserap oleh tubuh. Mikroba patogen misalnya Salmonella
thyposa yang menyebabkan penyakit tifus dan E. Coli yang menyebabkan sakit perut.
Sterilisasi adalah suatu proses untuk membuat ruang atau benda menadi steril. Sanitasi
adalaha suatu proses untuk membuat lingkungan menjadi sehat (Priyambodo, B.,
2007). 

Steril adalah keadaan suatu zat yang bebas dari mikroba hidup, baik yang
patogen (menimbulkan penyakit) maupun apotogen atau nonpatogen (tidak
menimbulkan penyakit), baik dalam bentuk vegetatif (siap untuk berkembang biak)
maupun dalam bentuk spora (dalam keadaan statis tidak dapat berkembang biak,
tetapi melindungi diri dengan lapisan pelindung yang kuat). Tidak semua mikroba
dapat merugikan, misalnya mikroba yang terdapat dalam usus yang dapat
membusukkan sisa makanan yang tidak terserap oleh tubuh. Mikroba patogen
misalnya Salmonella thyposa yang menyebabkan penyakit tifus dan E. Coli yang
menyebabkan sakit perut.
Sterilisasi adalah suatu proses untuk membuat ruang atau benda menadi steril.
Sanitasi adalaha suatu proses untuk membuat lingkungan menjadi sehat.    (Syamsuni.
2007).
Sediaan steril adalah bentuk sediaan obat dalam bentuk terbagi-bagi yang
bebas dari mikroorganisme hidup. Pada prinsipnya, yang termasuk sediaan ini antara
lain sediaan parental preparat untuk mata dan preparat irigasi (misalnya infus).
Sediaan parenteral merupakan jenis sediaan yang unik diantara bentuk sediaan obat
terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membrane mukosa ke
bagian tubuh yang paling efisien, yaitu membrane kulit dan mukosa, maka sediaan ini
harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari bahan-bahan toksis lainnya, serta
harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua bahan dan proses yang terlibat
dalam pembuatan produk ini harus dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua
jenis kontaminasi, apakah kontaminasi fisik, kimia, atau mikrobiologis (Priyambodo,
B., 2007).
Sediaan steril adalah sediaan yang bebas dari pencemaran mikroba baik
patogen maupun non patogen, vegetatif, maupun non vegetatif dari suatu objek atau
material. Sediaan yang termasuk sediaan steril yaitu sediaan obat suntik bervolume
kecil atau besar, cairan irigasi yang dimaksudkan untuk merendam luka atau lubang
operasi, larutan dialisa dan sediaan biologis seperti vaksin, toksoid, antitoksin, produk
penambah darah dan sebagainya. Sterilitas sangat penting karena cairan tersebut
langsung berhubungan dengan cairan dan jaringan tubuh yang merupakan tempat
infeksi dapat terjadi dengan mudah (Ansel, 2005).
Tujuan suatu obat dibuat steril adalah sebagai berikut: (Ansel, 2005).
1. Tujuan obat dibuat steril (seperti obat suntik) karena berhubungan langsung
dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh yang lain dimana
pertahanan terhadap zat asing tidak selengkap yang berada di saluran cerna
atau gastrointestinal.
2. Diharapkan dengan steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal
ini tidak berlaku relatif steril atau setengah steril , hanya ada dua pilihan yaitu
steril dan tidak steril.
3. Sediaan farmasi yang perlu disterilkan adalah obat suntik atau injeksi, tablet
implant, tablet hipodermik dan sediaan untuk mata seperti tetes mata atau
Guttae Ophth., cuci mata atau Collyrium dan salep mata atau Oculenta.

Ada beberapa alasan dilakukannya sterilisasi yaitu untuk mencegah transmisi


penyakit, untuk mencegah pembusukan material oleh mikroorganisme, dan untuk
mencegah kompetisi nutrien dalam media pertumbuhan sehingga memungkinkan
kultur organisme spesifik berbiak untuk keperluan sendiri (seperti produksi ragi) atau
untuk metabolitnya (seperti untuk memproduksi minuman dan antibiotika).
Persyaratan sterilitas berlaku pada sediaan parenteral, obat mata, larutan perawatan
lensa kontak, dan sediaan EENT (eye, ear, nose, throat), yaitu obat untuk sediaan
telinga, hidung, dan kerongkongan (Agoes, 2009).
Berbagai bentuk sediaan farmasi dibuat menurut kebutuhan dan keadaan
penyakit penderita. Berdasarkan cara pemberian, sediaan farmasi ada yang diberikan
secara peroral, rektal, injeksi, sublingual, epikutan, transdermal, konjungtival,
intraokular, intranasal, intrarespiratori, vaginal, dan uretral. Pemberian obat dengan
cara injeksi banyak dilakukan di Puskesmas, Rumah Sakit, dan klinik serta sangat
sedikit dilakukan di rumah karena untuk melakukan injeksi diperlukan tenaga yang
terlatih. Dari segi pertimbangan keamanan sediaan yang diberikan secara injeksi harus
aman ditinjau dari dua hal yaitu sifat komponen formulasi produk dan efek anatomi/
fisiologi dari sediaan selama dan sesudah penyuntikan. Pemberian obat dengan cara
injeksi dilakukan bila diinginkan kerja obat yang cepat seperti pada keadaan gawat,
bila penderita tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima pengobatan melalui
mulut (oral) atau bila obat itu sendiri tidak efektif dengan cara pemberian lain. Kecuali
suntikan insulin yang umumnya dapat dilakukan sendiri oleh penderita (Ansel, 2005).
Sediaan farmasi merupakan subjek kontaminasi mikroba yang dapat
membahayakan kesehatan manusia, menyebabkan kerusakan produk, perubahan
estetika, dan kemungkinan kehilangan efipikasi sediaan. Sumber ± sumber
kontaminasi oleh mikroorganisme dapat berasal dari bahan baku dan eksipien,
peralatan yang digunakan, operator, udara atau ruang kerja, dan material pengemasan.
Kontaminasi mikroorganisme yang mungkin terdapat dalam sediaan farmasi antara
lain bakteri, ragi, dan jamur. Bentuk sediaan injeksi yang beredar di pasaran saat ini
berupa sediaan injeksi volume kecil, sediaan injeksi volume besar, dan sediaan injeksi
berbentuk serbuk untuk direkonstruksi. Sediaan injeksi volume kecil adalah ampul 1
ml, 2 ml, 3 ml, 5 ml, dan 20 ml, serta vial 2 ml, 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml, dan 30 ml.
Sediaan ini dapat digunakan untuk penyuntikan secara intramuscular, intravena,
intradermal, subkutan, intraspinal, intrasisternal atau intratekal. Sediaan volume besar
biasanya tersedia dalam volume 100 ml atau lebih. Wadah obat suntik, termasuk
tutupnya harus tidak berinteraksi dengan sediaan, baik secara fisik maupun kimia
sehingga akan mengubah kekuatan dan efektivitasnya. Obat suntik ditempatkan dalam
wadah dosis tunggal dan dosis ganda. Wadah dosis ganda lebih dikenal dengan vial.
Vial dilengkapi dengan penutup karet plastik untuk memungkinkan penusukan jarum
suntik tanpa membuka atau merusak tutup. Bila jarum ditarik kembali dari wadah,
lubang bekas tusukan akan tertutup rapat kembali dan melindungi isi dari pengotoran
udara bebas (Agoes, 2009).
USP mempersyaratkan vial dosis ganda untuk injeksi diberikan batas
penggunaan 28 hari setelah pengambilan pertama kecuali label produk (dalam
bungkusannya) menyatakan sebaliknya. Penggunaan vial dosis ganda harus
memperhatikan hal berikut yaitu mematuhi teknik aseptik yang ketat saat penggunaan
vial, menggunakan jarum steril baru dan alat suntik steril baru untuk setiap
penggunaannya, melepas semua alat akses vial, menyimpan vial di tempat yang bersih
dan terlindungi menurut petunjuk pabrik (misalnya, pada suhu ruang atau lemari
pendingin), dan memastikan vial yang kesterilannya terganggu untuk segera dibuang
(Voight. R, 1995).
Untuk sediaan injeksi, wadah yang terbaik adalah wadah dosis tunggal karena
obat steril yang terkandung dimaksudkan sebagai suatu dosis tunggal yang sekali
dibuka tidak dapat disegel kembali dengan jaminan bahwa sterilitasnya terjaga
sehingga kemungkinan terkena kontaminasi mikroorganisme lebih rendah,
dibandingkan wadah dosis ganda dengan pengambilan berulang dan penyimpanan
yang kurang baik memungkinkan terkontaminasi mikroorganisme lebih besar.
Keuntungan lain yang bisa didapat dari wadah dosis tunggal diantaranya identifikasi
positif dari masing ± masing unit dosis setelah obat tidak berada di tangan ahli farmasi
atau perawat dan mengakibatkan kurangnya kesalahan karena obat, berkurangnya
kontaminasi dari obat tersebut berdasarkan pembungkusan pelindungnya, mengurangi
penyiapan dan waktu penyaluran, memudahkan pengontrolan barang di apotek dan
tempat perawatan, dan mengeliminasi sisa melalui manajemen obat yang lebih baik
dengan lebih sedikitnya obat yang dibuat. Beberapa usaha yang dilakukan untuk
menjaga sterilitas sediaan dengan wadah dosis ganda antara lain dengan penambahan
antimikroba, digunakan alat suntik yang steril dan volume wadah dosis berganda tidak
boleh lebih dari 30 ml (Voight. R, 1995).
Sediaan parenteral bisa didefinisikan sebagai obat steril, larutan, atau suspensi
yang dikemas dengan cara yang sesuai untuk pemberian melalui suntikan hiperdermis,
baik dalam bentuk siap pakai maupun bentuk yang perlu ditambahkan pelarut yang
sesuai atau agen pensuspensi. Klasifikasi sediaan injeksi sebagai berikut (Voight. R,
1995):
a. Larutan sejati dengan pembawa air.
b. Larutan sejati dengan pembawa minyak.
c. Larutan sejati dengan pembawa campuran.
d. Suspensi steril dengan pembawa air.
e. Suspensi steril dengan pembawa minyak.
f. Emulsi steril.
g. Serbuk kering dilarutkan dengan air.
Pencampuran intravena (intravenous admixtures) merupakan suatu proses
pencampuran obat steril dengan larutan intravena steril untuk menghasilkan suatu
sediaan steril yang bertujuan untuk penggunaan intravena. Ruang lingkup dari
intravenous admixtures adalah pelarutan atau rekonstitusi serbuk steril, penyiapan
suntikan intravena sederhana, dan penyiapan suntikan intravena kompleks (Kastango,
2004). Sesuai Standar Kompetensi Apoteker Indonesia, apoteker bertanggung jawab
untuk memastikan bahwa pencampuran sediaan steril di rumah sakit sesuai dengan
Praktek Penyiapan Obat yang Baik (Good Preparation Practices, GPP) sehingga
terjamin sterilitas, kelarutan dan kestabilannya. Bila terjadi ketidaktepatan dalam
pencampuran intravena, baik dari segi prosedur aseptis, teknik pencampuran,
pelarutan, dan penyimpanannya dapat menyebabkan pengendapan obat yang beresiko
menimbulkan penyumbatan pada alat injeksi dan membahayakan pasien. Tempat dan
lama penyimpanan juga berpengaruh pada stabilitas obat. Obat yang sudah
direkonstitusi memiliki batas waktu kestabilannya sehingga perlu diperhatikan lama
penyimpanannya (Lecvhuk, 1992).

Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau
selaput lender. Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan atau
mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan
sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda (Depkes RI,
1979).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril berupa
larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan
terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan
ke dalam kulit atau melalui kulit atau melalui selaput lendir (FI.III.1979).
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah injeksi yang
dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Umumnya hanya larutan obat dalam air
yang bisa diberikan secara intravena. Suspensi tidak bisa diberikan karena berbahaya
yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kapiler.(FI.IV.1995)
Menurut defenisi dalam Farmakope, sediaan steril untuk kegunaan parenteral
digolongkan menjadi digolongkan menjadi lima jenis yang berbeda yaitu :
1. Obat larutan, atau emulsi yang digunakan untuk injeksi ditandai dengan nama
injeksi, contohnya adalah injeksi insulin.
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat yang tidak mengandung dapar, pengencer
atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut
yang memenuhi persyaratan injeksi. Sediaan ini dapat membedakannya dari nama
bentuknya yaitu steril, contohnya Ampicilin Sodium steril.
3. Sediaan seperti tertera pada no b, tetapi mengandung satu atau lebih dapar,
pengencer atau bahan tambahan lain dan dapat dibedakan dari nama
bentuknya.yaitu untuk injeksi, contohnya Methicillin Sodium untuk injeksi.
4. Sediaan berupa susupensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikkansacara intravena atau di dalam saluran spinal, dan dapat dibedakan
dari nama bentuknya yaitu susupensi steril. Contoh Cortisao Suspensi steril.
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan
yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan
pembawanya yang sesuai. Dan dapat membedakannya dari nama bentuknya yaitu
steril untuk suspensi. Contohnya Ampicilin steril untuk suspensi (Lukas, 2006 ).
Obat dibuat steril karena berhubungan langsung dengan darah atau cairan
tubuh dan jaringan tubuh lain yang pertahanannya terhadap zat asing tidak selengkap
pada saluran cerna atau gastrointestinal, misalnya hati yang dapat berfungsi untuk
menetralisir atau menawarkan racun (detoksikasi = detoksifikasi). Diharapkan dengan
kondidi steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak berlaku
relatif steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril.
Sediaan farmasi yang perlu disterilkan adalah obat suntik inkesi, tablet implan, tablet
hipodermik, dan sediaan untuk mata seperti tetes mata (guttae ophth), cuci mata
(collyrium), dan salep mata (oculenta) (Syamsuni. 2007).

Adapun rute pemberian injeksi yaitu: (Syamsuni, 2007)


1. Intrakutan (i.k/i.c) atau intradermal
Dimasukkan ke dalam kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosis.
Volume yang disuntikkan antara 0,1-0,2 ml, berupa larutan atau suspensi dalam
air.
2.  Injeksi subkutan (s.k/s.c) atau hipodermik
Disuntukkan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam alveolus, volume
yang disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. Umumnya larutan bersifat isotonis, pH
netral, dan bersifat depo (absorpsinya lambat). Dapat diberikan dalam jumlah
besar (volume 3-4 liter/hari dengan penambahan enzim hialuronidase), jika pasien
tesebut tidak dapat menerima infus intravena.
3. Intramuskular (i.m)
Disuntikkan ke dalam atau di antara lapisan jaringan atau otot. Injeksi dalam
bentuk larutan, suspensi, atau emulsi dapat diberikan dengan cara ini. Yang
berupa larutan dapat diserap cepat, yang berupa emulsi atau suspensi diserap
lambat. Volume penyuntikan antara 4-20 ml, disuntikkan perlahan-lahan untuk
mencegah rasa sakit.
4. Intravena (i.v)
Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena. Bentuknya berupa larutan,
sedangkan bentuk suspensi atau emulsi tidak boleh diberikan melalui rute ini,
sebab akan menyumbat pembuluh darah vena yang bersangkutan. Injeksi dibuat
isotonis, tetapi ika terpaksa dapat sedikit hipertonis (disuntikkan secara lambat
atau perlahan-lahan dan tidak memengaruhi sel darah); volume antara 1-10 ml.
Injeksi intravena yang dberikan dalam dosis tunggal dengan volume lebih dari 10
ml disebut “infus intravena/infus/infundabilia”. Infus harus bebas pirogen, tidak
boleh mengandung bakterisida, jernih, dan isotonis. Injeksi i.v dengan volume 15
ml atau lebih tidak boleh mengandung bakterisida. Injeksi i.v dengan volume 10
ml atau lebih harus bebas pirogen.
5. Intraarterium (i.a)
Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah arteri/ perifer/ tepi, volume
antara 1-10 ml, tidak boleh mengandung bakterisida.
6. Intrakordal/intrakardiak (i.kd)
Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau ventrikel, tidak boleh
mengandung bakterisida, disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.
7. Intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural (i.d), subaraknoid
Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang didasar otak
(antara 3-4 atau 5-6 lumbar vertebrata) tempat terdapatnya cairan cerebrospinal.
Larutan harus isotonis karena sirkulasi cairan serebrospinal lambat, meskipun
larutan anestetik untuk sumsum tulang belakang sering hipertonis. Jaringan saraf
di daerah anatomi ini sangat peka.
8.  Intraartikular
Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuknya suspensi
atau larutan dalam air.
9. Subkonjungtiva
Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa suspensi atau
larutan, tidak lebih dari 1 ml.
10.  Intrabursa
Disuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa olecranon dalam bentuk
larutan suspensi dalam air.
11. Intraperitoneal (i.p)
Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan berlangsung cepat,
namun bahaya infeksi besar.
12. Peridural (p.d), ekstradural, epidural
Disuntikkan ke dalam ruang epidural, terletak di atas durameter, lapisan
penutup terluar dari otak dan sumsum tulang belakang.

Adapun juga keuntungan dan kerugian dari sediaan injeksi yaitu:  (Syamsuni, 2007).
1. Keuntungan :
a. Bekerja cepat, misalnya injeksi adrenalin pada syok anafilaktik.
b. Dapat digunakan untuk obat yang rusak jika terkena cairan lambung,
merangsang jika masuk ke cairan lambung atau tidak diabsorpsi baik oleh
cairan lambung.
c. Kemurnian dan takaran zat khasiat lebih terjamin.
d. Daat digunakan sebagai depo terapi.
2. Kerugian :
a. Karena bekerja cepat, jika teadi kekeliruan sukar dilakukan pencegahan.
b. Cara pemberian lebih sukar, harus memakai tenaga khusus.
c. Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan.
d. Secara ekonomis lebih mahal dibandingkan dengan sediaan yang digunakan
per oral.
Sediaan farmasi merupakan subjek kontaminasi mikroba yang dapat
membahayakan kesehatan manusia, menyebabkan kerusakan produk, perubahan
estetika, dan kemungkinan kehilangan efipikasi sediaan. Sumber ± sumber
kontaminasi oleh mikroorganisme dapat berasal dari bahan baku dan eksipien,
peralatan yang digunakan, operator, udara atau ruang kerja, dan material pengemasan.
Kontaminasi mikroorganisme yang mungkin terdapat dalam sediaan farmasi antara
lain bakteri, ragi, dan jamur (Agoes, 2009).
Bentuk sediaan injeksi yang beredar di pasaran saat ini berupa sediaan injeksi
volume kecil, sediaan injeksi volume besar, dan sediaan injeksi berbentuk serbuk
untuk direkonstruksi. Sediaan injeksi volume kecil adalah ampul 1 ml, 2 ml, 3 ml, 5
ml, dan 20 ml, serta vial 2 ml, 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml, dan 30 ml. Sediaan ini dapat
digunakan untuk penyuntikan secara intramuscular, intravena, intradermal, subkutan,
intraspinal, intrasisternal atau intratekal. Sediaan volume besar biasanya tersedia
dalam volume 100 ml atau lebih (Agoes, 2009).
Pembuatan sediaan yang akan digunakan untuk injeksi harus dilakukan dengan
hati-hati untuk menghindari kontaminasi mikroba dan bahan asing. Cara Pembuatan
Obat yang Baik (CPOB) juga mempersyaratkan tiap wadah akhir injeksi harus diamati
satu per satu secara fisik dan tiap wadah yang menunjukkan pencemaran bahan asing
yang terlihat secara visual harus ditolak (Farmakope Indonesia IV, 1995).
Wadah ditutup dengan cara peleburan atau dengan penutup yang sesuai
sehingga dapat mencegah pencemaran atau kehilangan isi. Penutup wadah dosis
ganda memungkinkan pengambilan isi tanpa membuka atau merusak penutup.
Penutup dapat ditembus oleh jarum suntik dan pada saat penarikan jarum segera
menutup kembali hingga mencegah pencemaran (Farmakope Indonesia IV, 1995).
Wadah untuk injeksi termasuk penutup tidak boleh berinteraksi melalui
berbagai cara baik secara fisik maupun kimiawi dengan sediaan, yang dapat
mengubah kekuatan, mutu atau kemurnian diluar persyaratan resmi dalam kondisi
biasa pada waktu penanganan, pengangkutan, penyimpanan, penjualan dan
penggunaan. Wadah terbuat dari bahan yang dapat mempermudah pengamatan
terhadap isi. Tipe kaca yang dianjurkan untuk tiap sediaan umumnya tertera dalam
masing-masing monografi (Farmakope Indonesia IV, 1995).

III. ALAT/ WADAH //BAHAN


3.1 Alat

No Nama alat Jumlah Cara sterilisasi (lengkap)


1 Pinset besi 2 Autoklaf 121oC selama 15
menit
2 Spatel logam 4 Autoklaf 121oC selama 15
menit
3 Batang pengaduk gelas 3 Autoklaf 121oC selama 15
menit
4 Kaca arloji 6 Autoklaf 121oC selama 15
menit
5 Labu erlenmeyer 50 ml 2 Autoklaf 121oC selama 15
menit
6 Pipet tetes 5 Autoklaf 121oC selama 15
menit
7 Termometer 200 0C 1 Autoklaf 121oC selama 15
menit
8 Gelas ukur Autoklaf 121oC selama 15
menit
10 ml 4
25 ml 2
50 ml 2
9 Corong 3 Autoklaf 121oC selama 15
menit
10 Kertas saring 10 Dibungkus aluminum foil
dipotong ukuran kemudian Autoklaf 121oC
(10x10) cm selama 15 menit
sebanyak 10 lembar
11 Gelas kimia Autoklaf 121oC selama 15
menit
50 ml 3
100 ml 2
12 Membran filter 2 Autoklaf 121oC selama 15
menit
0,45 μm
13 Gelas Kimia 1 Liter 1 Bungkus aluminium foil,
Autoklaf 121oC selama 15
(Berisi aquadest) menit
14 Alumunium foil Secukupnya Autoklaf 121oC selama 15
menit
15 Kertas pH Secukupnya Sinar UV

16 Tabung reaksi 6 Autoklaf 121oC selama 15


menit

17 Korek gas dan flame gun 1 Sinar UV di BSC


18 Google/Kaca mata 6 Sinar UV di BSC
19 Spuit steril 5 cc 5

3.2 Wadah

No Nama alat Jumlah Cara sterilisasi (lengkap)


1 Ampul 5 ml 15 Autoklaf 121oC selama 15 menit

3.3 Bahan

No Bahan Jumlah (%) Fungsi/alasan penmbahan Bahn


1 furosimid 1 Sebagai zat aktif, diuretikum
(Farmakope Indonesia ed. III, 1979,
hlm. 263)
2 NaOH 0,12 Agen pembasa, dapar (HOPE 6th ed.:
648)
3 NaCl 0,5632 Pengatur tonisitas (Handbook of
Pharmaceutical Excipients 6 th ed.,
2009, hlm. 637)
4 Aqua pro Ad 100 ml Pembawa
injection
IV. PEMERIAN BAHAN
4.1 Furosemid

Zat Aktif Furosemid


4- Chloro-2-[(furan-2-ylmethyl)amino]-
5- sulphamoylbenzoic acid.
Struktur

Rumus molekul C12H11ClN2O5S


Titik lebur 120O C, dengan dekomposisi (BP 2007)
Pemerian Serbuk hablur, putih sampai hampir kuning, tidak
berbau (FI IV:401)
Stabilitas
 Panas Titik leleh 203-210oC dengan dekomposisi (The
Pharmaceutical Codex, 1994:878)
 Hidrolisis/oksidasi Terhidrolisis pada larutan asam (pH < 7)
 Cahaya Tidak stabil terhadap cahaya (USP30-NF25, hlm. 2197),
dapat terdekomposisi oleh cahaya UV (The
Pharmaceutical Codex, 1994: 876)
Injeksi furosemid stabil pada pH 8,0 - 9,3 (FI IV:403);
Ph
Stabil pada pH 7-10. Dapat mengendap pada larutan
dengan pH < 7.
(AHFS, 2008, 2759)
Inkompabilitas Larutan furosemid untuk injeksi adalah alkalin dan tidak
bisa dicampurkan atau dilarutkan dengan injeksi glukosa
atau larutan asam lainnya (Martindale ed 36 :
1292)
Keterangan lain Injeksi furosemid tidak stabil dalam larutan asam (misal
pH 5,5) karena akan mengalami presipitasi (Analytical
Profiles of Drug Substances, hlm.155) Injeksi furosemid
(10mg/ml) dalam 25% albumin manusia stabil selama 48
jam pada temperatur kamar ketika terlindung dari
cahaya, dan selama 14 hari dalam lemari pendingin.
(Martindale ed.36: 1292)
Kesimpulan :
Bentuk zat aktif yang digunakan (basa/asam/garam/ester) :garam (dengan penambahan
NaOH membentuk garam Na-furosemid)
Bentuk sediaan (lar/susp/emulsi/serbuk rekonstitusi) : larutan jernih, tidak berwarna
(FI IV:403)
Cara sterilisasi sediaan : Sterilisasi akhir dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15
menit
Kemasan : dalam wadah tertutup baik, tidak tembus cahaya (FI IV:402); disimpan di
tempat sejuk, terlindung dari cahaya pada suhu 25oC (AHFS Drug Information 2005,
p.2759)

4.2 Natrium Hidroksida (NaOH)

Pemerian
Putih atau praktis putih, massa melebur, berbentuk pellet,
serpihan, batang, atau bentuk lain; keras, rapuh, dan
menunjukkan pecahan hablur; bila dibiarkan di udara
akan cepat menyerap CO2 dan lembab (FI IV:589).

Kelarutan Larut dalam air dan etanol (FI IV:589)


Stabilita
 Panas Melebur pada suhu 318oC (HOPE 6thed., p. 649)
 Hidrolisis/oksidasi -
 Cahaya Stabil terhadap cahaya
Keterangan lain pH 12 - 14 (HOPE 6thed., hlm. 649)
Cara sterilisasi eksipien : Sterilisasi akhir dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15
menit.
Kemasan : dalam wadah tertutup rapat (FI IV:590) ; disimpan dalam wadah non
logam yang terlindung dari udara, kering dan tertutup rapat (HOPE 6thed., hlm.649).
4.3 NaCl

Pemerian Hablur bentuk kubus, tidak berwarna atau serbuk


hablur putih, rasa asin (FI IV:584)
Kelarutan Mudah larut dalam air, sedikit mudah larut dalam
air mendidih, larut dalam gliserin, sukar larut dalam
etanol (FI IV:585)

V. PENIMBANGAN BAHAN
Sediaan yang dibuat adalah 10 ampul dengan @ 5 ml. Kelebihan volume yang
dianjurkan untuk cairan encer pada volume ampul 5 ml adalah 0,3 ml.
Jadi volume sediaan 10 x (5 + 0,3) = 53 mL. Karena adanya kemungkinan
volume yang hilang saat proses pembuatan, volume sediaan yang akan dibuat 100ml.
No. Nama bahan Jumlah yang ditimbang

1 Furosemid 10 mg/ml x 100 ml = 1000 mg. Furosemid


dilebihkan 5% sehingga bobot yang
ditimbang 1050 mg.

2 NaOH 200 mg
3 NaCl 563 mg
4 Aqua pro injection Ad 100 ml

VI. PROSEDUR KERJA


6.1 Ruang sterilisasi (grey area)

Peralatan, wadah sediaan, dan aquabidest yang akan digunakan


disterilisasikan dengan cara sterilisasi yang sesuai. Buat air pro injeksi.

6.2 Ruang penimbangan (grey area)

Furosemid ditimbang 1000 mg

Natrium klorida ditimbang 563 mg

Natrium hidroksida ditimbang 200 mg


Keterangan : penimbangan dilakukan di atas kaca arloji
6.3. Transfer box (ruang penimbangan)

Semua alat, wadah yang telah disterilkan dipindahkan

6.4. Ruang pencampuran (white area)

furosemid yang telah ditimbang dimasukkan dalam 15 mL aqua


for injection dalam gelas kimia A yang telah ditara pada volume
akhir sediaan (100 mL).

200 mg NaOH dilarutkan 50 mL dalam aqua for injection dalam gelas


kimia B.

Larutan NaOH ditambahkan tetes demi tetes ke dalam gelas kimia A


sambil diaduk sampai semua Furosemid terlarut.

563 mg NaCl dilarutkan dalam 20 mL aqua for injection dalam gelas


kimia C.

Larutan NaCl dalam gelas kimia C dimasukkan sedikit demi sedikit ke


dalam gelas kimia A

Dilakukan pengecekan pH. pH sediaan yang diharapkan adalah 8-9.3.

Volume larutan dalam gelas kimia A digenapkan hingga mencapai batas


volume yang telah ditara dengan menambahkan aqua for injection
Bebas pirogenkan sediaan dengan memasukkan karbon aktif sebanyak
0,1 g ke dalam larutan sediaan dan diaduk hingga merata, lalu
dipanaskan di atas kompor hingga suhu 60-70˚C selama 15 menit sambil
diaduk sekali-kali.

Kertas saring dilipat menjadi dua rangkap, kemudian dipasang pada


corong dan ditempatkan pada gelas kimia yang lain. Larutan sediaan
disaring menggunakan kertas saring tersebut dalam keadaan masih
panas.
6.5. BSC/ White area

.Larutan disaring menggunakan membran filter berpori 0,22 μm untuk


meminimalkan jumlah kontaminan partikulat (beberapa tetes pertama
larutan yang disaring dibuang) menggunakan spuit 5 cc

Ampul diisi dengan volume masing-masing 5,3 mL. Masing-masing


ampul yang telah diisi larutan ditutup dengan alumunium foil

Ampul yang telah ditutup dimasukkan ke dalam beaker glass yang


dilapisi kertas saring, kemudian dibawa ke grey area (ruang
penutupan) melalui transfer box.

6.6. Ruang penutupan (grey area)

. Masing-masing ampul ditutup menggunakan mesin penutup


ampul atau dengan membakar ujung ampul dengan api bunsen.

Sediaan dibawa ke ruang sterilisasi melalui transfer box.

6.7. Ruang pencampuran

Buat media broth sejumlah 100 ml, masukkan dalam 4 tabung reaksi,
masing2 15 ml
6.8. Ruang sterilisasi (grey area)

Sterilisasi sediaan dan media broth menggunakan autoklaf


pada suhu 121oC selama 20 menit.

Kemudian dilakukan pemeriksaan kebocoran dengan membalik posisi


sediaan.

6.9. Ruang evaluasi (grey area)

Sediaan diberi etiket dan kemasan, lalu dilakukan evaluasi pada sediaan
yang telah diberi etiket dan kemasan.

VII. EVALUASI SEDIAAN


Evaluasi sediaan dilakukan setelah sediaan disterilkan dan sebelum wadah
dipasang etiket dan dikemas.

EVALUASI FISIKA

1. Penetapan pH <1071> (FI IV,1039-1040)

2. Bahan Partikulat dalam Injeksi <751> ( FI> ed IV,981-984)

3. Penetapan Volume Injeksi Dalam Wadah <1131> (FI ed. IV,1044)

4. Keseragaman Sediaan <911> (FI IV,999-1001)

5. Uji Kebocoran (Goeswin Agus, Larutan Parenteral,191)

6. Uji Kejernihan dan Warna ( Goeswin Agus, Larutan Parenteral,201) (ini


berbeda dengan uji kejernihan di FI IV, hal.998)

EVALUASI BIOLOGI

1. Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba (untuk yang mengandung pengawet) <61>


(FI IV, 854-855)
2. Uji Sterilitas <71> (FI IV, 855-863, Suplemen FI IV,1512-1515)

3. Uji Endotoksin Bakteri <201> (FI IV, 905-907, Suplemen FI IV,1527-1528)

4. Uji Pirogen (Untuk volume > 10 ml) <231> (FI IV,908-909)


5. Uji Kandungan Antimikroba (untuk yang mengandung pengawet)
<441> (FI ed. IV, HAL. 939-942)
6. Penetapan Potensi Antibiotik Secara Mikrobiologi (Untuk zat aktif antibiotik)
<131> (FI IV,891-899)
EVALUASI KIMIA

1. Uji Identifikasi (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing)

2. Penetapan Kadar (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing).

VIII. HASIL PRAKTIKUM

Berdasarkan pustaka yang telah dituliskan untuk masing-masing evaluasi,


lakukan evaluasi untuk ketiga sediaan injeksi yang telah dibuat dan tuliskan hasilnya
pada tabel berikut ini:
Tabel 1
Hasil Evaluasi Sediaan Injeksi Furosemid

No Jenis Prinsip Evaluasi Jumlah Hasil Syarat


Evaluasi Sampel Pengamatan
1 Uji Wadah diletakkan 4 Tidak satu
…………….
kebocoran dengan posisi ampul pun
terbalik. (Buat bocor.
menggunakan 3
tetes metilen blue
dalam 1 Liter gelas
kimia)
2 Volume Sediaan 4 Rata-rata
…………….
terpindahkan dipindahkan dari tidak kurang
(Farmakope ampul ke dalam dari 100%
Indonesia IV, gelas ukur dan dan tidak
1089) dilakukan satupun
pengamatan volume kurang dari
yang terpindahkan. 95%.
3 Uji Wadah sediaan 4 Tidak
……………..
kejernihan akhir disinari dari ditemukan
larutan samping dengan adanya serat
(Farmakope latar belakang atau pengotor.
Indonesia IV, warna hitam untuk
998) melihat partikel
berwarna putih dan
latar belakang putih
untuk melihat
partikel berwarna.
4 Uji pH Dengan pH meter/ 4 Sediaan
…………….
sediaan kertas pH. isohidris
(Farmakope
Indonesia IV,
1039)

5 Uji sterilitas Sediaan diinokulasi 4 Steril, tidak


…………….
(Farmakope sebanyak 1 ml, pada ada
Indonesia IV, medium broth dan pertumbuhan
855-863) diamati mikroba.
pertumbuhan
mikroba setelah
inkubasi
3 hari.

DAFTAR PUSTAKA
Agoes Goeswin, 2009. Sediaan Farmasi Steril (SFI-4). ITB PRESS ISBN : 978-979-
1344-58-6
Ansel, H. C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim, F.,
Edisi IV, 605-619. Jakarta, UI Press.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia Edisi ketiga.


Jakarta : Depkes RI
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.
Jakarta : Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen
Kesehatan RI.
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI Press
Lecvhuk, 1992. Pharmaceutical Dosage Forms: Parenteral MedicationsVolume 2, 2 nd
edition, New York: Marcell Dekker Inc. hal: 561

Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri. Global Pustaka Utama.


Yogyakarta.
Syamsuni. 2007. Ilmu Resep. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
Voight. R,.(1995). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Penerjemah Dr. Soendani
Noerono. Edisi Kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai