Anda di halaman 1dari 11

DISKUSI 6 PENGANTAR EKONOMI MAKRO.

13

Nama: Tri Dharma Nur Patria


NIM: 041149165
UPBJJ: Bogor
Tutor: Susilawati, S.E., M.M.

Selamat malam, salam sejahtera untuk Tutor Mata Kuliah Pengantar


Ekonomi Makro dan rekan - rekan mahasiswa lainnya.

Saya akan mencoba menanggapi diskusi kali ini.

Topik:
Menghadapi permasalahan perekonomian di suatu negara, pemerintah perlu
menerapkan suatu kebijakan untuk mengendalikan permasalahan tersebut.
Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah adalah kebijakan
fiskal yang bertujuan untuk mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat
pendapatan nasional melalui pengeluaran pemerintah dan pungutan pajak
kepada masyarakat.

Kebijakan fiskal berkaitan erat dengan penerimaan dan pengeluaran


pemerintah, karena itu kebijakan fiskal dijalankan melalui daftar anggaran
negara yaitu APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). APBN
merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara
dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan
pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan
nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta
prioritas pembangunan secara umum. Bila APBN meningkat, maka
penerimaan dan pengeluaran pemerintah juga meningkat.

Bagaimana menurut anda peran pemerintah dalam perekonomian dan


kebijakan fiskal sekarang ini?

Tanggapan:
Sebelum menjawab bagamana peran pemerintah dalam perekonomian dan
kebijakan fiskal sekarang ini, penjelasan mengenai kebebasan fiskal adalah
sebagai berikut.

KEBIJAKAN FISKAL
Sistem fiskal merupakan istilah untuk merangkum perpaduan tindakan
pengeluaran, perpajakan dan utang yang dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan istilah keuangan negara khusus merujuk pada hal-hal yang
berkenaan dengan pembiayaan pengeluaran pemerintah. Keuangan negara
merupakan kajian yang tepat terhadap sistem fiskal. Berbagai tindakan di
bidang fiskal tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
Kebijakan fiskal didefinisikan sebagai langkah-langkah pemerintah untuk
membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam sistem
pembelanjaannya dengan maksud untuk mengatasi masalah-masalah
ekonomi yang dihadapi.

1. Macam Kebijakan Fiskal


Perkembangannya kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi 4 macam,
yaitu atas dasar:

a. Pembiayaan Fungsional (functional finance)


Tokoh dari kebijakan fiskal jenis ini ialah A.P. Lerner. Dalam hal ini
pengeluaran pemerintah ditentukan dengan melihat akibat-akibat tidak
langsung terhadap pendapatan nasional terutama guna meningkatkan
kesempatan kerja (employment). Di lain pihak pajak dipakai untuk
mengatur pengeluaran swasta dan bukan untuk meningkatkan penerimaan
pemerintah, sehingga dalam masa ada pengangguran, pajak sama sekali
tidak diperlukan. Selanjutnya pinjaman akan dipakai sebagai alat untuk
menekan inflasi lewat pengurangan dana yang tersedia dalam masyarakat.
Kemudian jika pajak maupun pinjaman dirasa tidak tepat maka ditempuh
pencetakan uang. Jadi pengeluaran pemerintah dan perpajakan
dipertimbangkan sebagai suatu hal yang terpisah.

b. Pengelolaan anggaran (the managed budget approach)


Pendekatan ini lebih banyak disukai daripada pendekatan pembelanjaan
fungsional karena pengeluaran pemerintah, perpajakan dan pinjaman
dimaksudkan untuk mencapai kestabilan ekonomi yang lebih mantap. Dalam
pendekatan ini, hubungan langsung antara pengeluaran pemerintah dan
perpajakan selalu dipertahankan, tetapi penyesuaian dalam anggaran selalu
dibuat guna memperkecil ketidakstabilan ekonomi, sehingga pada suatu saat
dapat terjadi defisit maupun surplus. Tokoh dari pendekatan ini adalah Alvin
Hansen yang menyarankan bahwa dalam masa depresi di mana ada banyak
pengangguran, pengeluaran pemerintah yang meningkat adalah satu-
satunya obat.

Dalam perkembangan pemikiran lebih lanjut, penggunaan anggaran


belanja seimbang untuk jangka panjang diperlukan, dengan catatan bahwa
dalam masa depresi ditempuh anggaran belanja defisit sedangkan dalam
masa inflasi ditempuh anggaran belanja surplus.

Dalam perkembangan yang lebih jauh lagi, pendekatan ini selalu berusaha
untuk mempertahankan adanya anggaran belanja yang seimbang tanpa
defisit anggaran belanja. Sehingga dalam masa depresi pengeluaran
pemerintah akan ditingkatkan dan penerimaan dari pajak akan ditingkatkan
pula tapi tidak sampai menimbulkan deflasi. Sebaliknya dalam masa inflasi
pajak akan dimanfaatkan sebaik-baiknya guna mencegah akibat yang tidak
diinginkan. Kebaikan dari pendekatan ini ialah bahwa pinjaman negara tidak
akan meningkat. Akan tetapi sektor swasta menjadi kurang bersemangat
karena kurang percaya diri.

c. Stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget)


Pada akhir tahun 1940-an kepercayaan lebih banyak diberikan pada
mekanisme otomatis dari politik fiskal. Penyesuaian secara otomatis dalam
penerimaan dan pengeluaran pemerintah terjadi sedemikian rupa sehingga
membawa perekonomian menjadi stabil tanpa campur tangan pemerintah
yang disengaja.

Dengan stabilisasi otomatis, pengeluaran pemerintah akan ditentukan


berdasar atas perkiraan manfaat dan biaya relatif dari berbagai macam
program dan pajak akan ditentukan sehingga menimbulkan surplus dalam
periode kesempatan kerja penuh. Jika terjadi kemunduran dalam kegiatan
usaha, program pengeluaran pemerintah dan perpajakan tidak akan diubah.
Namun akan terjadi penurunan dalam penerimaan pajak terutama pajak
pendapatan. Di lain pihak jumlah pengeluaran pemerintah akan meningkat
terutama yang dikaitkan dengan gaji, pensiun dan sebagainya. Akibatnya
defisit dalam anggaran belanja pemerintah muncul dan mendorong
perkembangan sektor swasta kembali hingga tercapainya kesempatan kerja
penuh. Sebaliknya dalam masa inflasi ada kenaikan dalam penerimaan
pemerintah yang berasal dari pajak pendapatan dan tidak terlalu banyak
tunjangan pengangguran sehingga akan ada surplus anggaran belanja.
Peranan built in flexibility ini dapat ditingkatkan dengan penambahan
pengeluaran pemerintah pada proyek-proyek pekerjaan umum.

d. Anggaran belanja seimbang (balanced budget approach)


Suatu modifikasi dari pembelanjaan atas dasar anggaran yang
disesuaikan dengan keadaan adalah pembelanjaan secara seimbang dalam
jangka panjang. Kegagalan dalam mempertahankan keseimbangan
anggaran dalam jangka panjang dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah. Dapat pula diikuti pendekatan serupa
dengan tetap mempertahankan keseimbangan anggaran. Dalam masa
depresi, pengeluaran perlu ditingkatkan diikuti pula dengan peningkatan
penerimaan sehingga tidak akan memperbesar hutang negara.

2. Perangkat Kebijakan Fiskal


Perangkat kebijakan fiskal dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok,
yaitu perangkat kebijakan fiskal otomatik dan perangkat kebijakan fiskal
deskresioner

a. Perangkat kebijakan fiskal otomatik: stabilisator terpasang Stabilisator


terpasang adalah segala sesuatu yang dapat menurunkan kecenderungan
membelanjakan marjinal dari pendapatan nasional sehingga dapat
mengurangi angka multiplier. Fluktuasi pendapatan nasional yang
disebabkan oleh perubahan automous pada pengeluaran-pengeluaran seperti
investasi dapat dikurangi dengan stabilisator terpasang.

Kebijakan fiskal melakukan penyesuaian terhadap perekonomian yang terus


berubah, hal tersebut dapat berlangsung secara otomatis yang disebut
dengan stabilisator terpasang. Terdapat tiga stabilisator utama, yaitu:
1) Pajak
Pajak langsung dapat mengurangi kecenderungan membelanjakan
marjinal dari pendapatan nasional, karena itu pajak langsung dapat
bertindak sebagai stabilisator terpasang.
2) Pengeluaran pemerintah
Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa relatif stabil
terhadap pendapatan nasional yang berubah-ubah. Sebagian besar
pengeluaran pemerintah sudah disetujui oleh peraturan sebelumnya
sehingga hanya sebagian kecil yang dapat diubah. Jadi makin besar
peran pengeluaran pemerintah dalam perekonomian yang stabil akan
memperkecil ketidakstabilan pembelanjaan dari pendapatan nasional.
3) Pembayaran transfer pemerintah
Pembayaran transfer pemerintah cenderung menjadikan pendapatan
disposabel stabil sehingga pengeluaran untuk konsumsi juga menjadi
stabil sehingga fluktuasi pendapatan nasional dapat dihadapi.
b. Perangkat kebijakan fiskal diskresioner
Kebijakan fiskal diskresioner perlu dilakukan bila stabilisator terpasang
tidak bisa menghilangkan fluktuasi kecil jangka pendek, bahkan kadang
muncul kesenjangan yang lebih besar dan lebih lama. Kebijakan fiskal
diskresioner yang perlu pemerintah lakukan adalah memberlakukan
perubahan tarif pajak dan perubahan pengeluaran yang dirancang untuk
mengurangi kesenjangan yang timbul. Kebijakan fiskal harus diubah oleh
pemerintah secara periodik agar dapat dilakukan secara efektif. Departemen
yang bersangkutan seharusnya mengamati kecenderungan ekonomi yang
sedang berlangsung dan menganalisanya sehingga dapat dibuat ramalan
tentang kemungkinan jalannya perekonomian di masa yang akan datang.
Bila sekiranya perekonomian di masa yang akan datang tidak begitu baik,
maka pemerintah dan dewan perwakilan rakyat diharapkan untuk membuat
undang-undang yang diperlukan.
Posisi kebijakan fiskal mengacu pada akibat-akibat yang bersifat
ekspansif dan bersifat kontraktif. Kebanyakan pemerintah suatu negara
berusaha menggeser permintaan agregat dengan mengubah posisi kebijakan
fiskal mereka. Kebijakan fiskal yang bersifat ekspansif akan membuat
permintaan agregat meningkat dan pendapatan nasional juga cenderung
mengalami peningkatan. Kebalikannya, kebijakan fiskal yang bersifat
kontraktif akan membuat permintaan agregat menurun sehingga
pendapatan nasional akan mengalami penurunan juga.

3. Tujuan Kebijakan Fiskal


Umumnya tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan fiskal adalah kestabilan
ekonomi yang lebih mantap. Artinya tetap mempertahankan laju
pertumbuhan ekonomi yang layak tanpa adanya pengangguran yang berarti
di satu pihak atau adanya ketidakstabilan harga-harga umum di pihak lain.
Dengan kata lain tujuan kebijakan fiskal adalah pendapatan nasional riil
yang terus meningkat pada laju yang dimungkinkan oleh perubahan
teknologi dan tersedianya faktor-faktor produksi dengan tetap
mempertahankan kestabilan harga-harga umum. Kestabilan ekonomi tidak
berarti kestabilan harga untuk semua sektor perekonomian, karena
perubahan harga relatif sangat diperlukan bagi penyesuaian dalam
perubahan teknologi, preferensi konsumen dan tersedianya faktor produksi,
agar penggunaan optimum dari semua sumber daya ekonomi dapat
terealisasi.
Kebijakan fiskal memang memegang peranan yang cukup penting dalam
menstabilkan tingkat kegiatan ekonomi, dan menciptakan kegiatan ekonomi
ke arah yang dikehendaki. Pandangan ini sebenarnya dikembangkan dalam
buku Keynes yang sekarang menjadi landasan dalam perkembangan teori
makroekonomi. Pandangan atau keyakinan ini sangat berbeda dengan yang
dianut oleh ahli ekonomi zaman klasik. Ahli ekonomi klasik menekankan
tentang perlunya anggaran belanja seimbang, perlunya menjalankan sistem
pasar bebas, mengurangi campur tangan pemerintah termasuk kebijakan
fiskal yang aktif dalam kegiatan perekonomian.

Kembali pada tanggapan mengenai pertanyaan Tutor, pembahasannya


adalah sebagai berikut.

Sehubungan dengan merebaknya penyebaran COVID-19 di Indonesia, maka


perkembangan terkini mengenai perekonomian dan kebijakan-kebijakan
fiskal yang dilakukan pemerintah dalam upaya mengendalikan
perekonomian agar tetap stabil, adalah sebagai berikut.

Dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan dari pandemik COVID-19,


Pemerintah mengambil langkah-langkah melalui re-focusing penganggaran
untuk sektor kesehatan dan bantuan sosial.

Tindak lanjut re-focusing yaitu realokasi anggaran Kementerian/Lembaga


sebesar Rp5-10 triliun. Pemerintah akan lebih fokus kepada kegiatan
prioritas. Untuk belanja barang yang tidak mendesak, direkomendasikan
untuk direalokasi seperti perjalanan dinas dalam/luar negeri, pertemuan dan
penyelenggaraan acara. Realokasi juga berlaku bagi belanja modal untuk
kegiatan yang bukan prioritas dan belum ada perikatan dengan status masih
diblokir, masih dalam proses tender dan sisa lelang. Selain itu langkah-
langkah yang disiapkan lainnya adalah percepatan waktu revisi,
penyampaian surat dan data dukung secara online (tidak secara fisik) serta
penalaahan revisi yang juga dilakukan secara online.

Selain itu Pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait Transfer Ke Daerah


(TKD) dalam rangka penanggulangan COVID-19 dengan estimasi anggaran
mencapai Rp17,17 triliun. Kebijakan TKD yang pertama terkait dengan
dirilisnya PMK No. 19/PMK.07/2020 berkenaan dengan Penyaluran dan
Penggunaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Insentif
Daerah TA 2020 dalam rangka Penanggulangan Corona Virus Disease
(COVID-19) dengan perkiraan anggaran sebesar Rp8,6 triliun. Selanjutnya
kebijakan TKD yang kedua berkenaan dengan rilis KMK No. 6/KMK.7/2020
terkait dengan Penyaluran DAK Fisik Bidang Kesehatan dan Dana BOK dalam
rangka Pencegahan dan/atau Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19)
dengan estimasi anggaran sebesar Rp8,5 triliun.

Pemerintah juga telah meluncurkan stimulus fiskal tahap I sebesar Rp8,5


triliun untuk sektor-sektor yang terdampak langsung akibat pandemik
COVID-19 yaitu kenaikan indeks manfaat Kartu Sembako sebesar Rp50.000
per bulan selama 6 bulan dengan jumlah keseluruhan Rp4,56 triliun. Untuk
sektor pariwisata, Pemerintah memberikan insentif tiket untuk 10 destinasi
wisata dengan jumlah sebesar Rp0,4 T, sementara untuk hotel dan restoran,
kompensasi yang diberikan berupa kompensasi pajak hotel/restoran sebesar
Rp3,3 triliun. Selain itu Pemerintah juga memberikan hibah sebesar Rp,0,1
triliun untuk pariwisata.

Pada bulan Maret ini, Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan


Stimulus fiskal tahap II dalam rangka menjaga daya beli masyarakat dan
keberlanjutan dunia usaha selama 6 bulan (bulan April sampai dengan bulan
September 2020), yaitu:

a) Relaksasi PPh-21 ditanggung Pemerintah 100 persen atas pekerja


dengan penghasilan maksimal Rp200 juta (besaran nilai yang
ditanggung adalah Rp8,6 triliun) pada sektor industri pengolahan.
b) Pembebasan PPh-22 Impor pada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak (WP)
KITE, dan WP KITE IKM dengan perkiraan nilai Rp8,15 triliun.
c) Pengurangan PPh-25 sebesar 30 persen kepada 19 sektor tertentu, WP
KITE, dan WP KITE IKM dengan perkiraan nilai Rp4,2 triliun.
d) Restitusi PPN dipercepat bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP
KITE IKM dengan perkiraan nilai Rp1,97 triliun. Kebijakan ini dilakukan
untuk menjaga likuiditas pelaku usaha.

Dengan berbagai kebijakan perekonomian dan fiskal yang


diluncurkan pemerintah saat ini, menurut saya patut diapresiasi
meskipun sangat terlambat. Mengapa saya katakan sangat
terlambat? Karena kebijakan tersebut, terutama Stimulus fiskal
tahap II baru dikeluarkan pada bulan Maret 2020 disaat pandemik
COVID-19 telah berlangsung sekitar 3 bulan sejak pertama kali
ditemukan di China 11 Januari 2020, diikuti oleh Prancis 24 Januari
2020, Jerman 28 Januari 2020, Italia dan India 30 Januari dan
seterusnya. Di Indonesia, kasus pertama ditemukan pada 2 Maret
2020 atau 3 bulan setelah kasus pertama di China. Jangka waktu 3
bulan adalah jangka waktu yang cukup lama dan seharusnya
pemerintah awas terhadap perkembangan terkini di dunia mengenai
pandemik ini dan tidak menganggap enteng seperti yang dilakukan
para menteri dengan pernyatan-pernyataan yang cenderung tidak
ilmiah.
Di Indonesia, pandemik COVID-19 meskipun jumlah korban masih relatif
kecil dibanding di Eropa maupun Amerika Serikat, tetapi bersifat
eksponensial sehingga tidak bisa tidak diperlukan perhatian yang sangat
serius agar tidak lebih jauh memakan korban. Namun demikian, selain
jumlahnya yang masif, tantangan lainnya adalah waktu yang cukup panjang
sehingga memerlukan strategi ekonomi yang cepat agar tidak memakan
biaya yang semakin besar.

Ekonomi Indonesia pada dasarnya sebagian besar informal meskipun


sebagian besar ekonom menyebut fondasi ekonomi Indonesia kuat.
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa hingga 70% sektor informal.
Akhirnya ketika pandemi masif dan berkala ini datang, dapat dipastikan
mengganggu kegiatan ekonomi yang sebagian besar informal itu dan
mestinya meruntuhkan pandangan bahwa fondasi ekonomi kuat.

Secara angka dapat digambarkan sebagai berikut. Jika PDB tahun 2019
sebesar Rp 15.800 triliun dan diandaikan bertumbuh 5% tahun 2020 maka
PDB diperkirakan Rp16.590 triliun per tahun dan Rp 319 triliun per minggu.
Oleh karena itu, jika pandemi ini berlangsung selama 4 minggu yang mana
tidak mungkin, maka terjadi kehilangan PDB sebesar Rp 892 triliun, 8
minggu sebesar Rp 1.784 triliun dan 6 bulan Rp 5.352 triliun. Dengan
demikian, hal ini pasti akan mengakibatkan pelambatan dan jika pada tahun
1998 tingkat pertumbuhan melambat hingga 13%, bukan tidak mungkin
pandemi ini mengakibatkan pelambatan hingga 28%.

Efek kepanikan pun melanda. Seperti biasa, pasar keuangan


memperlihatkan kepanikan tersebut. Misalnya memperlihatkan penurunan
begitu juga sebagaimana data memperlihatkan penurunan arus modal
masuk/keluar dan pergerakan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) yang
menurun dan nilai tukar yang merosot walaupun menguat tetapi sampai
berapa lama Bank Indonesia mampu menahan laju penurunan tersebut.

Namun efek yang paling parah ada pada bidang perindustrian karena banyak
pabrik dan usaha tutup serta penurunan omzet yang berdampak kepada
pengurangan tenaga kerja. Selain pengurangan tenaga kerja, banyak juga
tenaga kerja yang tidak mau lagi bekerja karena takut sehingga tidak dapat
dihindari kenaikan pengangguran. Padahal industri atau bisnis dan tenaga
kerja adalah sumber utama permintaan.

Akibatnya, tidak bisa dihindari lagi efek berikutnya adalah ke sektor


pemerintahan sebagai satu-satunya sebagai lender of last demand. Outlook
memperlihatkan dampak pertama kepada politik ekonomi yaitu banyak
perencanaan pembangunan menjadi tertunda dan terjadi pergeseran fokus
orientasi pembangunan menjadi penyelamatan.

Selanjutnya dampak dirasakan pada bidang fiskal karena penurunan


pendapatan negara penurunan akibat penurunan penerimaan perpajakan
disertai kenaikan belanja dan bukan tidak mungkin peningkatan
pembiayaan.

Dalam bidang moneter, pertumbuhan kredit melambat dan mengganggu


kinerja perbankan dan non-perbankan selain adanya peningkatan NPL
(kredit bermasalah).

Namun apa yang pemerintah mesti lakukan untuk menyelamatkan demand


itu?

Para ekonom yang selama ini percaya pada matematika keuangan atau
financial engineering bingung karena semua sumber pertumbuhan terkena
dampaknya mulai dari makro hingga mikro. hitung-hitungan analitik tidak
mungkin bisa diselamatkan, apalagi digunakan untuk menyelamatkan
hitung-hitungan riil. Akhirnya situasi membawa kepada peran pemerintah
untuk menyelamatkan demand. Tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan
kebijakan fiskal yang efektif.

Pemerintah akhirnya membentuk Gugus Covid-19, menerapkan PSBB


(Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan merilis Perppu (Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang), yakni Perppu Nomor 1/2020.
Terlepas dari kontroversinya, aturan tersebut perlu diapresiasi. Dramanya
adalah semua ini dikeluarkan setelah sekian lama sehingga terkesan sangat
terlambat.

Salah satu pertimbangan yang membuat lama adalah soal kecukupan


anggaran. Semua tahu bahwa akhirnya juga keluar stimulus yaitu kebijakan
stimulus 1 yang bertujuan meningkatkan insentif pariwisata, stimulus 2
insentif perpajakan sektor manufaktur sebesar Rp 22,9 triliun dan stimulus 3
terdiri social safety net sebesar Rp 110 triliun, insentif tenaga dan pelayanan
kesehatan Rp 75 triliun dan dukungan industri Rp 70,1 triliun.

Sementara itu moneter masih wait and see dengan kebijakan minimalis
yaitu stabilitas nilai tukar dan menjaga tingkat suku bunga yang sudah
relatif rendah. Selain itu adalah pembelian SBN (surat berharga negara)
serta pelonggaran terkait kartu kredit dan restrukturisasi kredit. Peran
tambahan juga diberikan kepada OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan LPS
(Lembaga Penjamin Simpanan).
Untuk bidang industri, pemerintah memastikan sejalan dengan PSBB dan
Kementerian Perindustrian memastikan industri yang terdampak berat,
moderat dan yang diuntungkan oleh pandemi dan kebijakan ini. Untuk
ketenagakerjaan, pemerintah mengeluarkan kebijakan work from home
terutama untuk sektor pendidikan dan kartu pra-kerja.

Apakah semua terutama kebijakan fiskal ini bisa menyelamatkan permintaan


tanpa mengorbankan ekonomi jangka panjang sehingga ekonomi tetap
sustain?

Mungkin itu adalah pertanyaannya karena selama ini ada keyakinan bahwa
fondasi ekonomi cukup kuat apalagi sudah ada Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK), sehingga kejutan baik yang endogen atau pun yang
eksogen akan dapat teratasi.

Kenyataannya seperti tidak ada pilihan lain selain anggaran defisit (budget
deficit). Namun sayangnya, selama ini juga diyakini bahwa defisit di bawah
3% adalah faktor utama keselamatan ekonomi sedangkan dalam kondisi
saat ini, anggaran defisit besar kemungkinan akan mengalami pelebaran.
Kembali kepada peran pemerintah dalam perekonomian dan kebijakan fiskal
sekarang ini, kebijakan yang diambil pemerintah tersebut tidak lepas dari
risiko. Besarnya stimulus dan pelebaran defisit merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan. Risiko pelebaran defisit APBN hingga tahun 2022 perlu
diwaspadai. Setidaknya terdapat empat risiko yang mengancam.

Pertama, risiko dominasi kepemilikan asing pada Surat Utang Negara (SUN).
Penerbitan surat utang ini merupakan salah satu sumber pembiayaan defisit.
Sekitar 35 hingga 40 persen SUN dipegang oleh investor asing. Dampak
pandemi ini diperkirakan membuat relaksasi kebijakan pelebaran defisit
dapat mencapai 5,07 persen.Namun, keadaan tersebut membuat struktur
anggaran rentan terhadap pelarian modal yang secara tiba-tiba (sudden
capital outflow). Akibatnya, imbal hasil SUN meningkat dan di masa yang
akan datang beban biaya penerbitan SUN menjadi lebih besar.

Kedua, risiko pelemahan nilai tukar mata uang rupiah. Modal yang keluar
secara tiba-tiba di pasar keuangan akan mendorong rupiah terdepresiasi.
Akibatnya, beban biaya impor dan pembayaran cicilan utang menjadi mahal
dan semakin memberatkan.

Ketiga, risiko kesulitan yang dialami swasta dalam mencari sumber


pembiayaan dari dalam negeri karena investor lebih memilih surat utang
pemerintah dibanding swasta (crowding out). Akibatnya, swasta harus
menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi dibanding
pemerintah.
Terakhir, risiko kenaikan utang luar negeri swasta. Hal tersebut disebabkan
karena sulitnya pihak swata dalam mencari sumber pembiayaan dari dalam
negeri sehingga pilihan utang luar negeri digunakan. Terlebih ketika suku
bunga di luar negeri menurun. Pilihan ini berisiko gagal bayar karena utang
tersebut berdenominasi dolar AS yang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar.

Keberadaan risiko-risiko tersebut membuat pemerintah perlu melakukan


pengawasan penggunaan anggaran yang telah dikucurkan. Selain itu,
pemerintah perlu memastikan keefektifan stimulus dalam menekan dampak
negatif Covid-19 pada rumah tangga, UMKM, korporasi, dan sektor
keuangan. Efektivitas ini perlu dilakukan untuk mencegah tumpulnya
kebijakan yang mempertaruhkan mahalnya pelebaran defisit anggaran
negara.

Demikian tanggapan dari saya, atas kesempatan yang diberikan saya


ucapkan terima kasih.

*Sumber:
- BMP ESPA4110 Pengantar Ekonomi Makro, Modul 6
- https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers/siaran-pers-menjaga-
ekonomi-indonesia-terhadap-dampak-negatif-pandemik-covid-19/
- https://www.cnbcindonesia.com/opini/20200426112100-14-154491/fiskal-
tanpa-makro-di-tengah-pandemi-covid-19
- https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/04/20/stimulus-ekonomi-
meredam-gejolak-covid-19/
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200211195637-
20473740/menkes-tantang-harvard-buktikan-virus-corona-di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai