A - 170410180045 - Adrian Gibran Mardiansyah - Tugas Review Sistem Kepartaian Dan Pemilu Di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 5

Nama : Adrian Gibran Mardianyah

NPM / Kelas : 170410180045 / A


Mata Kuliah : Sistem Kepartaian dan
Pemilu di Indonesia
Dosen : Dr. Dra. Dede Sri Kartini,
M.Si

Review Buku “SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA (Bab IV)”

A. Pendahuluan

Pada bagian ini penulis akan melampirkan identitas dari buku yang akan direview secara
rinci, yaitu meliputi judul, penulis,

Judul : SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA


Judul Bab : Dinamika Kepartaian pada Era Reformasi ( Bab IV )
Penulis : Yudi Suparyanto
Penerbit : Cempaka Putih
Tahun Terbit : 2018
Penyunting : Amin Suprihatini
Perancang Sampul : Doly Eny Khalifah
Tebal Buku : 90 Halaman
Jumlah Bab : 4 Bab

B. Ringkasan Bab IV

Buku yang penulis baca ditulis oleh Yudi Suparyanto yang terdari dari empat bab, tetapi
fokus penulis pada bab empat saja yakni mengenai partai politik. Pada bab ini diuraikan
mengenai dinamika kepartaian pada era reformasi.
Dalam bab yang penulis baca di bab empat, Yudi suparyanto menjelaskan pasca
runtuhnya orde baru di Indonesia yang salah satunya ditandai dengan terbukanya kebebasan
politik setelah lebih dari 32 tahun terbungkam. Yudi Suparyanto menjelaskan bahwa akibat dari
runtuhnya orde baru yaitu banyak sekali partai politik yang bermunculan hingga ratusan partai
politik. Bagi sebagian pendiri parpol, pembentukan parpol tampaknya nukan sekedar mendirikan
parpol melainkan mendirikan parpol sama saja dengan membangkitkan kembali organisasi
pergerakan semasa Budi Utomo. Yudi Suparyanto pun menjabarkan ada sekitar 180-an partai
dan yang disahkan sebagai parpol secara hokum berjumlah 141 partai. Tetapi, dari jumlah
tersebut hanya 48 parpol yang berhak mengikuti pemilu pada tahun 1999. Tetapi seiring
berjalannya waktu setelah lebih dari 10 tahun reformasi secara kelembagaan, banyak partai yang
belum mampu membentuk diri menjadi partai dewasa dan setia, hal ini disebabkan oleh beberapa
factor seperti system kepartaian dan system pemilu yang selalu bongkar pasang. Undang-undang
parpol dan undang-undang pemilu selalu diubah setiap 5 tahun sekali. Lalu, pendiri-pendiri
parpol terjebak dalam kepentingan pragmatis jangka pendek. Pragmatisme dalam pembuatan
undang-undang parpol dan undang-undang pemilu menyebabkan parpol selalu mengalami shock
di setiap pemilu.

lalu Yudi suparyanto menjelaskan mengenai pelembagaan partai dapat kita lihat
berdasarkan beberapa aspek. pertama, ideologi atau identitas parpol. Kedua, sistem keanggotaan.
Ketiga, demokrasi internal partai. Keempat, kohesivitas internal. Kelima, otonomi keuangan.
Keenam, hubungan dengan konstituen. Berdasarkan beberapa aspek tersebut yang diteliti oleh
pusat penelitian politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengenai pelembagaan parpol
Paska Orde Baru, disini dijelaskan bahwa sistem keanggotaan dan kaderisasi yang dilakukan
oleh parpol pada umumnya belum berjalan dengan baik, padahal kaderisasi bertujuan untuk
meningkatkan kualitas anggota sehingga nantinya mereka mampu menghadapi persoalan dan
tantangan yang selalu berkembang dalam kehidupan politik masyarakat. beberapa parpol bahkan
merekrut calon anggota legislatif dengan cara instan, yaitu melalui sistem kekerabatan di mana
beberapa anak pimpinan partai masuk menjadi calon anggota legislatif. Lalu banyak partai juga
merekrut kalangan artis untuk dijadikan caleg dengan tujuan mendorong suara. Fenomena ini
tentu saja tidak sehat bagi perkembangan parpol, hal ini akan menimbulkan kekecewaan para
kader terutama yang sudah lama mengabdi pada partai karena karirnya terhambat dikarenakan
tidak memiliki hubungan kekerabatan atau atau kedekatan dengan petinggi parpol dan bukan
artis.
Lalu dijelaskan juga Indonesia memilih sistem multipartai sebagai sistem kepartaiannya.
Akibatnya menjelang Pemilu 1999 jumlah partai politik semakin banyak, partai-partai politik
yang terdaftar di departemen kehakiman mencapai 184 parpol. Dari angka tersebut 141 di
antaranya berhasil mendapatkan pengesahan sebagai partai politik. Selanjutnya, parpol yang
dinyatakan memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu 1999 berjumlah 48 parpol saja. Dari 48
parpol tersebut sebanyak 19 parpol berhasil memperoleh kursi di DPR. Lalu dari 19 parpol
tersebut hanya 6 parpol yang mampu mencapai ketentuan ambang batas pemilu untuk secara
otomatis dapat mengikuti pemilu berikutnya. Keenam parpol tersebut adalah PDIP, Golkar,
PKB, PPP, Pan dan PBB, akan tetapi Pemilu 1999 ini tidak menghasilkan satupun partai politik
yang berhasil menjadi kekuatan mayoritas di DPR. Selanjutnya dijelaskan juga oleh Yudi
suparyanto mengenai keadaan partai politik pada Pemilu 2004, jumlah partai politik menjelang
pemilu 2004 tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya, partai yang sekarang terdaftar di
Departemen Hukum dan HAM yang Sekarang telah menjadi Kementerian Hukum dan hak asasi
manusia tercatat sebanyak 112 partai. Dari 112 partai tersebut memiliki badan hukum hanya 24
partai saja yang berhak mengikuti pemilu tahun 2004. Jumlah ini tentu berkurang dari tahun
sebelumnya, lalu terdapat 16 partai yang berhasil mendudukan kadernya di parlemen.

Yudi suparyanto pun menjelaskan keadaan Pemilu pada tahun 2009, jumlah parpol yang
berbadan hukum berkurang drastis hingga 79 partai menjelang Pemilu tahun 2009 dibandingkan
sebelumnya. tapi jumlah parpol peserta pemilu 2009 justru bertambah banyak dibandingkan
dengan pemilu sebelumnya, Jumlah parpol yang berhak mengikuti pemilu 2009 adalah 38 partai
yang menghasilkan 9 parpol yang berhasil menduduki kursi legislatif setelah berhasil melewati
ketentuan batas parlemen. Sebagaimana hasil pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2009 juga
tidak memiliki pemenang mayoritas.

C. Penilaian Isi BAB IV

Hal awal yang membuat penulis tertarik dengan bab ini adalah karena substansinya
mengenai dinamika-dinamika yang terjadi pasca Orde Baru yang membahas partai politik dan
keadaan Pemilu nya, menurut penulis penjelasan mengenai keberadaan partai politik dan pemilu
yang terjadi pasca orde baru sangat komprehensif. Ada beberapa kelebihan pada bab ini seperti
menjelaskan keadaan internal para partai politik pasca orde baru yang dirasa kurang sehat karena
banyaknya nepotisme yang dilakukan oleh para petinggi parpol. Lalu keadaan parpol mulai dari
pemilu 1999, 2004, sampai 2009 yang dijelaskan sangat rindi dengan beberapa kemenangan
partai dan mayoritas anggota yang menduduki parlemennya. Analisis yang dilakukan oleh Yudi
Suparyanto pada konflik-konflik internal parpol menghadapkan kita sebagai pembaca pada
perpecahan yang terjadi di dalam parpol dari pasca orde baru hingga saat ini. Ia pun menjelaskan
beberapa parpol yang bertahan rata-rata adalah parpol besar dan parpol-parpol yang baru muncul
biasanya tidak akan bertahan lama dengan idealismenya, karena lambat laun akan termakan oleh
regulasi dan dihadapkan dengan pembiayaan yang mengakibatkan kepentingan parpol lebih
diutamakan daripada kepentingan masyarakat. Penulis pun setuju dengan pandangan Yudi
Suparyanto mengenai penetapan ambang batas pemilu (electoral threshold), dengan syarat
persentasenya masih dalam kisaran yang wajar, dan di luar cakupan pemungutan suara, partai
yang tidak mencapai angka tersebut masih bisa eksis.

Tetapi dalam bahasan mengenai keadaan parpol dan pemilu pasca orde baru, sangat
disayangkan hanya ada penjelasan teoritis saja dan kurangnya bahasan empiris serta kritis dari
Yudi Suparyanto. Ia menjelaskan berbagai permasalahan tanpa memberikan sudut pandang lain
untuk sang pembaca agar dapat mengkritisi hal-hal yang terjadi di masa itu. Lalu ada kekurangan
lain yaitu pada bab ini tidak membahas mengenai partai islam yang turut serta berperan penting
dalam dinamika kepartaian pasca orde baru dan memiliki peran penting dibaliknya.

Anda mungkin juga menyukai