Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA KEPALA BERAR

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat
Darurat

Disusun Oleh:

ASTUTI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM

PENDIDIKAN PROFESI NERS

PONTIANAK

2022
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN CEDERA KEPALA

A. PENGERTIAN
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena baik trauma tumpul maupun trauma tajam.
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh
massa karena hemoragik, serta edema serabral di sekitar jaringan otak. (Fransisca,
2017)
Pada kecelakaan lalu lintas, cedera kepala biasanya terjadi karena kepala
yang sedang bergerak mendadak berhenti atau terpantul kembali. Apa yang terjadi
pada kepala bergantung pada kekuatan benturan, tempat berturan dan faktor-
faktor pada kepala itu sendiri. Gaya benturan dapat menimbulkan distorsi
tengkorak, gerakan otak yang lurus atau memutar di dalam rongga tengkorak
dengan akibat bermacam-macam. (Markam, 2016)

B. ANATOMI dan FISIOLOGI


Sistem persarafan terdiri atas otak, medulla spinalis, dan saraf perifer. Struktur
ini bertanggung jawab untuk mengendalikan dan mengordinasikan aktivitas sel
tubuh melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras secara langsung dan terus-menerus.
Perubahan potensial elektrik menghasilkan respon yang akan mentransmisikan
sinyal-sinyal.
1. Otak
Otak dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu serebrum, batang otak, dan
serebellum. Batang otak dilindungi oleh tulang tengkorak dari cedera. Empat
tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak, yaitu tulang frontal,
parietal, temporal, dan oksipital. Dasar tengkorak terdiri atas tiga bagian fosa
(fossa), yaitu bagian fosa anterior (berisi lobus frontal, serebral bagian hemisfer),
bagian fosa tengah (berisi batang otak dan medula)
2. Meningen

Bagian bawah tengkorak dan medulla spinalis ditutupi oleh tiga membrane
atau meningen. Komposisi meningen berupa jaringan serabut penghubung yaitu
melindungi, mendukung, dan memelihara otak. Meningen terdiri dari duramater,
arakhnoid, dan piamater.
a. Duramater
Adalah lapisan paling luar yang menutupi otak dan medulla spinalis, duramater
merupakan serabut berwarna abu-abu yang bersifat liat, tebal, dan tidak elastis.
b. Arakhnoid
Arakhnoid merupakan membrane bagian tengah yang tipis dan lembut yang
menyerupai sarang laba-laba, membrane ini berwarna putih karena tidak dialiri
aliran darah. Pada dinding arakhnoid terdapat pleksus khoroid yang memproduksi
cairan cerebrospinal (CSS). Pada orang dewasa, jumlah CSS normal yang
diproduksi adalah 500 ml/hari dan sebanyak 150 ml diabsorbsi oleh vili. Vili juga
mengabsorbsi CSS pada saat darah masuk ke dalam system (akibat trauma,
pecahnya aneurisma, stroke, dan lainnya) dan yang mengakibatkan sumbatan. Bila
vili arakhnoid tersumbat (peningkatan ukuran vertikal) dapat menyebabkan
hidrosefalus.
c. Piamater
Piamater adalah membrane yang paling dalam berupa dinding tipis dan transparan
yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak.
3. Serebrum

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer
serebri dan dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut korpus kalosum
dan empat lobus, yaitu lobus frontal (terletak didepan sulkus pusat sentralis) lobus
parietal (terletak dibelakang sulkus pusat dan di atas sulkus lateral), lobus
oksipital (terletak dibawah sulkus parieto-oksipital) dan lobus temporal (terletak
dibawah sulkus lateral). Hemisfer dipisahkan oleh suatu celah dalam yaitu fisura
longitudinalis serebri, dimana ke dalamnya terjulur falx serebri.
Lapisan permukaan hemisfer disebut korteks, disusun oleh substansi grisea.
Substansia griseria terdapat pada bagian luar dinding serebrum bagian dalam.
Pada prinsipnya komposisi substansia griseria yang terbentuk dari badan-badan
sel saraf memenuhi korteks serebri, nucleus, dan basal ganglia. Substansia alba
terdiri atas sel-sel saraf yang menghubungkan bagian-bagian otak yang lain.
Sebagian besar hemisfer serebri berisi jaringan system saraf pusat. Area inilah
yang mengontrol fungsi motorik tertinggi, yaitu fungsi individu dan intelegensia.
a. Lobus Frontal
Lobus frontal merupakan lobus terbesar yang terletak pada fosa anterior, area ini
mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian, dan menahan diri
b. Lobus Parietal
Lobus parietal disebut juga lobus sensorik. Area ini menginterpretasikan sensasi.
Sensasi rasa yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus parietal mengatur individu
untuk mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya. Kerusakan pada daerah ini
menyebabkan sindrom Hemineglect.
c. Lobus Temporal
Lobus temporal berfungsi untuk mengintegrasikan sensasi pengecap, penciuman,
dan pendengaran. Memori jangka pendek sangat berhubungan dengan daerah ini.
d. Lobus Oksipital
Lobus oksipital terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Bagian ini
bertanggungjawab menginterpretasikan penglihatan.
e. Korpus Kalosum
Korpus kalosum adalah kumpulan serat-serat saraf tepi. Korpus kalosum
menghubungkan kedua hemisfer otak dan bertanggungjawab dalam transmsi
informasi dari salah satu sisi otak ke bagian lain. Informasi ini meliputi sensorik
memori dan belajar menggunakan alat gerak kiri. Beberapa orang yang dominan
menggunakan tangan kiri mempunyai bagian serebri kiri dengan kemampuan
lebih pada bicara, bahasa, aritmatika, dan fungsi analisis. Daerah hemisfer yang
tidak dominan bertanggungjawab dalam kemampuan geometric, penglihatan, serta
membuat pola dan terletak di bagian terdalam hemisfer serebri, bertanggungjawab
mengontrol gerakan halus tubuh, kedua tangan, dan ekstremitas bagian bawah.
4. Diensefalon
Merupakan bagian dalam dari serebrum yang menghubungkan otak tengah
dengan hemisfer serebrum, dan tersusun oleh talamus, hipotalamus, epitalamus,
dan subtalamus.

5. Talamus
Merupakan suatu kompleks inti yang berbentuk bulat telur dan merupakan 4/5
bagian dari diensefalon. Bagian ini terletak di lateral ventrikel III. Bagian atasnya
berbatasan dengan velum interpositum dan ventrikel lateral. Di bawahnya terdapat
hipotalamus dan subtalamus. Talamus sering disebut “gerbang kesadaran”
mengingat fungsinya sebagai stasiun penyampaian semua impuls yang masuk
sebelum mencapai korteks serebri.
6. Hipotalamus
Terletak tepat di bawah talamus dan dibatasi oleh sulkus hipotalamus.
Hipotalamus berlokasi di dasar diensefalon dan sebagian dinding lateral ventrikel
III. Hipotalamus meluas ke bawah sebagai kelenjar yang terletak di dalam sela
tursika os sfenoid.
7. Epitalamus
Merupakan bagian yang terletak di posterior ventrikel III dan terdiri dari
nukleus dan komisura habenulare, korpus pineal dan komisura posterior. Nukleus
dan komisura habenulare berhubungan dengan fungsi sistem limbik, sedangkan
komisura posterior berkaitan dengan reflek-reflek sistem optik. Korpus pineal
(kelenjar epifise) menghasilkan hormon melatonin yang mempengaruhi modulasi
pola bangun-tidur.
8. Subtalamus
Merupakan bagian dari diensefalon yang terletak antara talamus dan
hipotalamus. Bagian ini berperan penting dalam meregulasi pergerakan yang
dilakukan oleh otot rangka. Subtalamus berkaitan dengan struktur penting dalam
pergerakan seperti basal ganglia dan substansia nigra.
9. Batang Otak
Batang otak terletak pada fosa anterior. Batang otak terdiri atas mesenfalon,
pons, dan medulla oblongata. Otak tengah atau mesenfalon adalah bagian sempit
otak yang melewati incisura tertorii yang menghubungkan pons dan serebellum
dengan hemisfer serebrum. Bagian ini terdiri atas jalur sensorik dan motorik serta
sebagai pusat terletak di depan serebellum, diantara mensefalon dan medulla
oblongata dan merupakan jembatan antara dua bagian serebrum, serta antara
medulla dan serebrum. Pons berisi jaras sensorik dan motorik.
Medulla oblongata meneruskan serabut-serabut motorik dari medulla spinalis
ke otak. Medulla oblongata berbentuk kerucut yang menghubungkan pons dengan
medulla spinalis. Serabut-serabut motorik menyilang pada daerah ini. Pons juga
berisi pusat-pusat penting dalam mengontrol jantung, pernafasan, dan tekanan
darah serta sebagai inti saraf otak ke 5 s/d ke 8.
10. Serebellum (Otak kecil)
Serebellum dan batang otak menempati fosa kranialis posterior, yang
mempunyai atap tentorium sebagai pemisah serebellum dan serebrum. Permukaan
serebellum berbeda dengan serebrum, karena tampak berlapis-lapis. Kedua
hemisfer serebellum dipisahkan oleh suatu subdivisi kortikal berbentuk seperti
cacing yang disebut vermis. Bagian rostral vermis disebut lingula dan bagian
kaudalnya disebut nodulus. Korteks nodulus meluas ke lateral sebagai subdivisi
dengan nama flokulus.

C. SIRKULASI SEREBRAL
Sirkulasi serebral menerima kira-kira 20 % dari curah jantung atau 750 ml
per menit. Sirkulasi ini sangat dibutuhkan karena otak tidak menyimpan
makanan, sementara kebutuhan metabolismenya tinggi. Aliran darah otak unik
karena melawan gravitasi. Darah arteri mengalir dari bawah dan darah vena
mengalir dari atas. Kurangnya penambahan aliran darah kolateral dapat
menyebabkan jaringan rusak secara permanen, ini berbeda dengan organ tubuh
lainnya yang cepat menoleransi bila aliran darah menurun karena aliran
kolateralnya adekuat.
1. Arteri
Otak diperdarahi oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis,
daerah arteri yang disuplai ke otak berasal dari dua arteri karotis interna dan dua
arteri vertebralis serta meluas ke system percabangan karotis interna dibentuk dari
percabangan dua karotis dan memberikan sirkulasi darah otak bagian anterior.
Arteri-arteri vertebralis adalah cabang dari arteri subklavia yang mengalir ke
belakang bagian vertical dan masuk tengkorak melalui foramen magnum, lalu
saling berhubungan menjadi arteri basilaris pada batang otak. Arteri
vertebrobasilaris paling banyak memperdarahi otak bagian posterior. Arteri
basilaris terbagi menjadi dua cabang pada arteri serebralis bagian posterior.
2. Vena
Aliran vena untuk otak tidak menyertai sirkulasi arteri sebagaimana pada
struktur organ lain. Vena-vena pada otak menjangkau daerah otak dan bergabung
menjadi vena-vena besar. Persilangan pada subarachnoid dan pengosongan sinus
dural yang luas dapat mempengaruhi vascular yang terbentang dalam duramater
yang kuat. Jaringan kerja pada sinus-sinus membawa vena jugularis interna
menuju system sirkulasi pusat, vena-vena serebri tidak berkatup sehingga tidak
dapat mencegah aliran darah balik

D. BARIER DARAH OTAK


System saraf pusat tidak dapat ditembus beberapa zat yang ada pada
sirkulasi darah (misalnya zat warna, obat-obatan, antibiotik). Setelah disuntikkan
ke dalam aliran darah, zat-zat ini tidak dapat menjangkau neuron SSP. System ini
disebut dengan barier darah otak. Sel endotel pada kapiler otak membentuk
pertautan yang kuat sehingga tercipta barier terhadap molekul makro dan
gabungan beberapa zat.

E. ETIOLOGI
Cedera kepala dapat ditimbulkan dari berbagai macam hal, yaitu:
 Akibat kecelakaan, baik kecelakaan dalam kehidupan sehari-hari di rumah, di
tempat kerja, bahkan kecelakaan saat OR.
 Karena bencana alam maupun kecelakaan lalu lintas.
 Akibat perselisihan baik perorangan, golongan, maupun bangsa yang berakhir
dengan penggunaan senjata.
Perlukaan di kepala umumnya member pendarahan yang banyak, pertolongan
segera terhadap kehilangan cairan badan yang prnting inimerupakan tindakan
pertama penyelamat penderita. (Soemarmo 2016, 94)

F. JENIS TRAUMA KEPALA


1. Cedera kepala dibagi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS, (Glasgow Coma Scale)
yaitu :
a. CKR (Cidera Kepala Ringan)
 GCS > 13.
 Tidak terjadi kelain pada CT scan otak.
 Tidak memerlukan tindakan operasi.
 ‘lama di rawat di RS < 48 jam.
b. CKS (Cidera Kepal Sedang)
 GCS 9-13.
 Ditemukan kalainan pada CT scan otak.
 Diperlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial.
 Dirawat di RS setidaknya 48 jam.
c. CKB(Cidera Kepala Berat)bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS < 9
2. Cedera kepala dapat di klasifikasikan berdasarkan patologi seperti berikut:
a. Cedera Kulit Kepala
Luka pada kulit kepala merupakan tempat masuknya kuman yang dapat
menyebabkan infeksi intrakinal. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio,
atau avuisi. (Fransisca, 2017, 96)
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak yang
disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak.
Adanyan fraktur tengkorak dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat.
Fraktur tengkorak dapat terbuka atau tertutup. Pada fraktur tngkorak terbuka
terjadi kerusakan pada dura meter sedangkan pada fraktur tertutup keadaan
durameter tidak rusak.
c. Cedera Otak
Pertimbangan paling penting pada cedera kepala manapun adalah apakah
otak tengah atau tidak mengalami cedera. Cedera minor dapat menyebabkan
kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa
sampai derajat tertentu yang bermakna. Sel-sel otak mambutuhkan suplaidarah
terus-menerus untuk memperoleh nutrisi. Kerusakan otak bersifat irreversible.
Sel-sel otak yang mati diakibatkan karena aliran darah berhenti mengalir haya
beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
Cedera otak serius dapat terjadi, dengan / tanpa fraktur tengkorak. Setelah pukulan
atau cedera pada kepala yang menimbulkan konstusio, laserasi dan pendarahan
(hemoragik) otak.
d. Komosio Serebri (Cedera kepala ringan)
Setelah cidera kepala ringan, akan terjadi kehilangan fungsi neurologis
sementara dan tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya meliputi suatu
periode tidak sadar yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit.
Keadaan komosio ditunjukkan dengan gejala pusing atau berkunang-kunang dan
terjadi kehilangan kesadaran penuh sesaat. Jika jaringan otak di lobus prontal
terkena, klien akan berperilaku sedikit aneh, sementara jika lobus temporal yang
terkena maka akan menimbulkan amnesia atau disorientasi.
e. Kontusio serebri (cedera kepala berat)
Kontusio serebri (cerebri contusion) merupakan cedera kepala berat, di
mana otak mengalami memar dengan kemungkinan adanya daerah yang
mengalami perdarahan (hemoragik-hemorrhage). Klien berada pada periode tidak
sadarkan diri. Gejala akan timbul dan lebih khas. Klien terbaring kehilangan
gerakan, denyut nadi lemah, pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering
terjadi defikasi dan berkemih tanpa disadari. Klien dapat diusahakan bangun tetapi
segera bangun kembali ke dalam keadaan tidak sadar. Tekanan darah dan suhu
subnormal dan gambaran sama dengan syok.
Umumnya individu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi
motorik abnormal, gerakan mata abnormal, dan peningkatanTIK yang merupakan
prognosis buruk. Sebaliknya, klien dapat meengalami pemulihan kesadaran penuh
dan mungkin melewati tahap peka rangsang serebral.
f. Hemoragik Intrakanial
Penggumpalan darah (hematoma) yang terjadi di dalam kubah cranial
adalah akibat yang paling serius dari hemoragik cedera kepala. Penimbunan darah
pada rongga epidural (epidural hematoma), subdural, atau intraserebral,
bergantung pada lokasinya. Deteksi dan penanganan hematoma seringkali lambat
dilakukan sehingga akhirnya hematoma tersebut cukup besaruntuk menyebabkan
distorsi dan herniasi otak serta peningkatan TIK.
g. Hematoma epidural
Setelah cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural
(ekstradural) di antara tengkorak dan dura meter. Keadaan ini sering diakibatkan
karena terjadifraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meninggael
tengah putus atau rusak (laserasi) di mana arteri ini berada diantara durameter dan
tengkorak daerah infrerior menuju bagian tipis tulang temporal- dan terjadi
hemoragik sehingga menyebabkan penekanan pada otak.
h. Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah penggumpalan darah pada ruang diantara dura
meter dan dasr otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma
subdural paling sering disebabkan karena trauma, tetapi dapat juga terjadi karena
kecenderungan pendarahan yang serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih
sering terjadi pada vena dan merupakan akibat dari putusnya pembuluh darah
kecil yang menjembatani ruang subdural.
i. Hemoragik intraserebral
Hemoragik intraserebral adalah pendarahan ked ala subtansia otak.
Hemoragik ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak ke
kepala sampai ke daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak; cedera tumpul).
Hemoragik ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hiperensi sitemik
yang menyebabkan degenerasi dan rupture pembuluh darah; rupture kantong
aneurisma; anomaly vaskuler; tumor intrakanial; penyebab sistemik termasuk
gangguan pendarahan seperti leukemia, hemofolia, anemia aplastik, dan
trombositopenia; dan komplikasi terapi antikoagulan.

G. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA


Trauma saraf primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala
neurologis yang tergantung pada lokasi kerusakan. Kerusakan system saraf
motorik yang berpusat di bagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan
kelumpuhan pada sisi lain. Gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan
ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dijumpai
gangguan dalam lapang pandang, kerusakan di lobus parietalis menimbulkan
gangguan sensibilitas kulit pada sisi bertentangan. Pada kerusakan lobus frontalis
bagian lateral bawah sisi dominan akan terjadi afasia. Gangguan dalam lobus
temporalis dapat mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsy lobus
temporalis. ( Markam,2016)
Beberapa gejala dan kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita
cedera kepala disebabkan adanya kerusakan atau perangsangan di daerah
hipotalamus. Pada kerusakan di bagian depan hipotalamus akan terjadi hipertermi.
Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena konstriksi vena.
Retensi air natrium dan klor yang terjadi pada hari-hari pertama setelah trauma
tampaknya disebabkan oleh dilepasnya hormone antidiuretik dari daerah belakang
hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.( Markam,2016)
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan dalam urin
dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negative.
Hiperglikemia dan glukosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan
pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat di dalam batang otak.
( Markam,2016)
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau
sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan servikomedula, karena
kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
(Markam,2016)
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah flaksi diatas umum ynag terjadi pada
lesi transversal di bawah nucleus nervus statoakustikus, rigiditas deserebrasi pada
lesi transversal setinggi nucleus ruber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap
ekstensi dan rigiditas dekortikasi, yaitu tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan
kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku terjadi bila hubungan
batang otak dengan korteks serebri terputus.( Markam,2016)
Mutisme akinetik timbul pada kedua kerusakan system formasio
retikularis yang terputus pula hubungannya dengan korteks otak. Pada mutisme
akinetik ini atau disebut juga koma vigil pasien hidup pada taraf vegetative.
Reaksi terhadap rangsangan sangat sedikit. Gejala-gejala parkinsonisme timbul
pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan saraf-saraf cranial dan traktus-traktus
panjang menimbulkan gejala-gejala neurologis yang khas. Napas yang dangkal
tidak teratur yang dijumpai pada kerusakan medulla oblongata akan
mengakibatkan timbulnya asidosis. Napas yang cepat dan dalam yang terjadi pada
gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosis respiratori.
( Markam,2016)
Cedera kepala pada kecelakaan lalu lintas pada umumnya kepala yang
sedang bergerak terbentur pada benda yang diam. Pada cedera demikian dapat
terjadi komosio serebri, kontusio serebri, hematoma epidural, hematoma subdural,
hematoma subaraknoid atau kombinasi antara jenis-jenis perdarahan ini.
(Markam,2016)
Di samping itu dapat pula timbul fraktura pada tengkorak yang jalannya
tergantung pada kekuatan dan tempat benturan pada kepala. Dari pemeriksaan
seorang penderita dengan cedera kepala, terutama sekali yang berat, seorang
dokter harus dapat menarik kesimpulan tentang kelainan-kelainan yang mungkin
terjadi pada dan di dalam tengkorak. (Markam,2016)
Tekanan Intrakranial (TIK) adalah tekanan relatif di dalam rongga kepala
terhadap tekanan atmosfer yang dihasilkan oleh keberadaan jaringan otak, volume
darah intrakranial, dan cairan serebrospinal (CSS) dalam tengkorak pada satu
satuan waktu. Keadaan normal dari tekanan intrakranial bergantung pada posisi
pasien dan berkisar kurang atau sama dengan 15 mmHg.(Brunner &
Suddarth,2015)
Ruang kranial yang kaku berisi jaringan otak (1400 gr), darah (75 ml), dan
cairan serebrospinal (75 ml). Volume dan tekanan pada ketiga komponen ini
selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan. Hipotesa Monro-Kellie
Burrows menyatakan bahwa karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di
dalam tengkorak, adanya peningkatan salah satu dari komponen ini menyebabkan
perubahan pada volume yang lain, dengan mengubah posisi atau menggeser CSS,
meningkatkan absorbsi CSS, atau menurunkan volume darah serebral. Tanpa
adanya perubahan, tekanan intra kranial akan naik. Bila pada suatu keadaan
dimana didapatkan adanya suatu penambahan massa intrakranial, maka sebagai
kompensasi awal adalah penurunan volume darah vena dan likuor secara
resiprokal. Sistem vena akan segera menyempit bahkan kolaps dan darah akan
diperas ke luar melalui vena jugularis atau melalui vena-vena emisaria dan kulit
kepala. Kompensasi selanjutnya adalah CSS juga akan terdesak melalui foramen
magnum ke arah rongga subarakhnoid spinalis. Mekanisme kompensasi ini hanya
berlangsung sampai batas tertentu yang disebut sebagai titik batas kompensasi dan
kemudian akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang hebat secara tiba-
tiba.(Brunner & Suddarth,2015)
Dalam keadaan normal, perubahan ringan pada volum darah dan volum
CSS yang konstan tidak ada perubahan, tekanan intra torakal (seperti batuk,
bersin, tegang), perubahan bentuk dan tekanan darah, dan fluktuasi kadar gas
darah arteri. Keadaan patoligis seperti cidera kepala, strok, lesi karena radang,
tumor otak, bedah intra kranial mengubah hubungan antara volum intra kranial
dan tekanan.(Brunner & Suddarth,2015)
Edema serebral. Edema atau pembengkakan serebral terjadi bila air yang
ada peningkatan di dalam sistem saraf pusat. Adanya tumor otak di hubungkan
dengan produksi yang berlebihan dari hormon antidiuretik, yang hasilnya terjadi
retensi urin. Bahkan adanya tumor kecil dapat menimbulkan peningkatan TIK
yang besar.(Brunner & Suddarth, 2015)
Edema serebri didefinisikan sebagai suatu keadaan peningkatan volume
otak akibat peningkatan muatan cairan di jaringan otak. Ada tiga jenis edema
serebri, yaitu edema vasogenik, edema sitotoksik, dan edema interstisial.
Edema vasogenik adalah bentuk edema otak yang paling sering dijumpai,
terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler, di mana tight junction sel endotel
kapiler menjadi tidak kompeten karena kerusakan sawar darah otak sekuler keluar
menuju ruang interstisel. Edema vasogenik terjadi pada kasus-kasus trauma,
tumor, dan abses. (Satyanegara,2015)
Edema sitotoksik biasanya terjadi sebagai akibat adanya hipoksia jaringan
saraf. Hipoksia menyebabkan kelumpuhan mekanisme pompa Na-ATP dependen,
sehingga terjadi akumulasi natrium intraseluler serta diikuti oleh mengalirnya air
ke dalam sel untuk mempertahankan keseimbangan osmotik.(Satyanegara,2015)
Edema Interstisiel merupakan akibat dari transudasi CSS pada kasus
hidrosefalus. Tampilan edema pada CT Scan terlihat sebagai area hipodedens
periventrikuler akibat rembesan transependimal. (Satyanegara,2015)
Herniasi terjadi bila jaringan otak bergeser dari daerah tekanan tinggi ke
tekanan rendah. Herniasi jaringan berupa pergeseran sesuatu yang mendesak
tekanan dalam daerah otak dan mengganggu suplay darah ke daerah tersebut.
Penghentian aliran darah serebral menyebabkan hipoksia serebral yang
menunjukkan “kematian otak”. (Satyanegara,2015)
Peningkatan tekanan intrakranial sebagai efek sekunder, walaupun
peningkatan TIK sering di hubungkan dengan cedera kepala, namun tekanan yang
tinggi dapat terlihat sebagai pengaruh sekunder dari kondisi lain : tumor otak,
perdarahan subaraknoid, keracunan, dan ensifalopati virus. Sehingga peningkatan
TIK adalah penjumlahan dari proses fisiologi. Peningkatan TIK dari penyebab
apapun mempengaruhi perfusi serebral dan menimbulkan distorsi dan bergesernya
otak. (Brunner & Suddarth,2015)
Respon serebral terhadap peningkatan TIK. Ada 2 keadaan penyesuaian
diri terhadap peningkatan TIK yaitu, kompensai dan dekompensasi.
Kompensasi selama fase kompensasi otak dan komponennya dapat
mengubah volume untuk memungkinkan pengembangan volume jaringan otak.
TIK selama fase ini kuranga dari tekanan arteri, sehingga dapat mempertahankan
tekanan perfusi serebral. Tekanan perfusi serebral di hitung dengan mengurangi
nilai TIK dari tekanan arteri rerata (TAR). Nilai normal tekanan perfusi serebral
(TPS) adalah 60-150 mmHg. Mekanisme auto regulator dari otak, mengalami
kerusakan akan menyebabkan tekanan perfusi serebral (TPS) lebih dari 150
mmHg atau kurang dari 60. Pasien dengan tekanan perfusi serebral (TPS) kurang
dari 50 memperlihatkan disfungsi neurologis yang tidak dapat pulih kembali. Hal
ini terjadi di sebabkan oleh penurunan perfusi serebral yang mempengaruhi
perubahan keadaan sel dan hipoksis serebral. (Brunner & Suddarth, 2015)
Dekompensasi. Keadaan fase dekompensasi di mulai dengan tidak
efektifnya kemampuan otak untuk mengkompensasi peningkatan tekanan, dalam
keadaan volume yang sudah terbatas. Fase ini menunjukan keadaan perubahan
status mental dan tanda-tanda vital, bradikardi, tekanan denyut nadi melebar, dan
perubahan pernapasan. Pada titik ini, terjadi herniasi batang otak dan sumbatan
aliran darah serebral dapat terjadi bila pengobatan tidak dilakukan. (Brunner &
Suddarth,2015)
Dengan kenaikan TIK, sebuah respon cushing dapat terjadi. Trias cushing
klasik antara lain hipertensi sistemik, dan depresi napas. Respon ini biasanya
terjadi ketika perfusi serebri, sebagian batang otak berkurang karena peningktan
TIK. Bradikardi disini cenderung merupakan akibat dari perangsangan vagus dan
bukan karena pengarus sinus karotikus. Pada saat tekanan melampaui kemampuan
otak untuk berkompensasi, maka untuk meringankan tekanan, otak memindahkan
kebagian kaudal atau herniasi ke bawah. Sebagai akibat dari herniasi, batang otak
akna terkena pada berbagai tingkat, yang mana penekanannya bisa mengenai
pusat vasomotor, arteri serebral posterior, saraf akulimotorik, traktus kortiko
spinal dan serabut-serabut saraf ascending reticular activating system. Akibatnya
akan menggangu mekanisme kesadaran, pengaturan tekanan darah, denyut nadi,
pernapasan dan temperatur tubuh. Tetapi anti hipertensi selama ini dapat memicu
iskemik serebri dan kematian sel yang kritis. (Duus,2016)
Aliran darah serebral. Peningkatan TIK secara siknifikan menurunkan
aliran darah dan menyebabkan iskemia. Bila terjadi iskemia komplit dan lebih dari
3-5 menit, otak akan menderita kerusakan yang tidak dapat di perbaiki. Pada
keadaan iskemia serebral, pusat fasomotor terstimulasi dan tekanan sistemik
meningkat untuk mempertahankan aliran darah. Keadaan ini sering disertai
dengan lambatnya denyutan pembuluh darah dan pernapasan yang tidak teratur.
Perubahan dalam tekanan darah, frekuensi nadi adalah gejala klinis yang penting,
yang memperlihatkan peningkatan tekanan intrakranial.(Brunner &
Suddarth,2015)
Konsentrasi karbondioksida dalam darah dan dalam jaringan otak dan
berperan dalam pengaturan aliran darah serebral. Tingginya tekanan
karbondioksida parsial menyebabkan dilatasi pembuluh darah serebral, yang
berperan penting dalam peningkatan aliran darah serebral dan peningkatan TIK,
sebaliknya menurunnya PaCO2 menyebabkan fase konstriksi. Menurunya darah
vena yang keluar dapat mrningkatkan volume darah serebral yang akhirnya
menyebabkan peningkatan tekanan intara kranial.(Brunner & Suddart,2015)
Dalam keadaan fisiologis ada tiga faktor utama yang berperan pada
pengaturan aliran darah otak, yaitu tekanan darah sistemik, karbondioksida, dan
kadar ion H+ dalam darah arteri. Kemampuan untuk memelihara tingkat aliran
darah ke dalam otak pada nilai yang konstan di dalam rentang tekanan arteri rata-
rata yang cukup lebar, yaitu sebagai mekanisme otoregulasi. Bila tekanan arteri
rata-rata rendah, arteriol serebral akan mengalami dilatasi untuk membuat aliran
darah otak (ADO) yang adekuat pada tekanan darah sistemik yang tinggi, arteriol
akan mengalami konstriksi sehingga aliran darah otak (ADO) akan tetap
terpelihara dalam kondisi fisiologis. Bila tekanan arteri rata-rata menurun sampai
di bawah 90 mmHg seperti pada keadaan syok, perfusi otak menjadi tidak
adekuat. (Satyanegara, 2015)
Kadar karbon dioksida dalam darah merupakan faktor paling potensial
untuk menyebabkan, dilatasi vaskuler otak. Peningkatan PCO2 dalam darah dari
15-80 mmHg akan meningkatkan aliran darah otak secara bertahap. Hiperventilasi
(menurunkan CO2 darah) akan menurunkan aliran darah dan volume darah otak.
Akan tetapi, bila PCO2 dalam darah kurang dari 15 mmHg atau lebih dari 80
mmHg maka yang terjadi adalah kelumpuhan pembuluh darah atau disebut
vasoparalisa. (Satyanegara,2015)

H. MANIFESTASI KLINIK
Gejala yang timbul dapat berupa gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas
pupil, serangan (opset) tiba-tiba berupa defisit neurologi, perubahan tanda vital,
gangguan penglihatan, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo,
gangguan pergerakan, kejang, dan syok akibat cedera. Berikut ini beberapa gejala
dari macam-macam cedera kepala :
1. Fraktur tengkorak
Gejala-gejala yang timbul bergantung pada jumlah dan distribusi
cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan
adanya fraktur. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan bengkak pada
sekitar fraktur, sehingga penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan
pemeriksaan foto tengkorak. Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas
sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang
temporal, perdarahan sering terjadi dari hidung, faring, atau telinga dan darah
terlihat di bawah konjungtiva suatu area ekimosis mungkin terlihat di atas
mastoid. (Fransisca,2017)
2. Komosio serebri (cedera kepala ringan)
Keadaan komosio di tunjukan dengan keadaan pusing atau berkunang-
kunang dan terjadi kehilangan kesadaran penuh sesaat. Jika jaringan otak di
lobus frontal terkena, klien akan berperilaku aneh, sementara jika lobus
temporal yang terkena maka akan menimbulkan amnesia atau disorientasi.
Mungkin disertai menurunnya sedikit suhu badan, frekuensi nadi, tekanan
darah. Muntah mungkin pula terjadi , agaknya disebabkan terangasangnya
pusat muntah di dalam medula oblongata. (Fransisca,2017)
3. Kontusio serebri (cedera kepala berat)
Klien berada pada periode tidak sadar diri. Gejala akan timbul dan
lebih luas. Klien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah,
pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi dan
berkemih tanpa disadari. Gangguan fungsi mental dan kejang sering terjadi
akibat kerusakan serebral yang tidak dapat di perbaiki. (Fransisca,2017,98)
4. Hemoragik intrakranial
Tanda dan gejala dari iskemia serebral yang diakibatkan oleh kompresi
karena hematoma berfariasi dan bergantung pada kecepatan dimana daerah
vital pada otak terganggu.(Fransisca,2017,98)
5. Hematoma epidural
Gejala klinis yang timbul akibat perluasan hematoma cukup luas.
Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, di
ikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan. Apabila terjadi
peningkatan tekanan intrakranial sering tiba-tiba, tanda kompensasi timbul
(biasanya penyimpangan kesadaran dan tanda defisit neurologi fokal seperti
dilatasi dan fiksasi pupil atau paralisis ekstremitas). (Fransisca,2017)
6. Hematoma supdural (SDH)
Tanda-tanda dan gejala hematoma subdural dapat mencakup kombinasi
dari berikut:
 Kehilangan kesadaran atau tingkat kesadaran berfluktuasi
 Sifat lekas marah
 Kejang
 Sakit
 Mati rasa
 Sakit kepala (baik konstan atau berfluktuasi)
 Pusing
 Disorientasi
 Amnesia
 Kelemahan atau kelesuan
 Mual atau muntah
 Kehilangan nafsu makan
 Kepribadian perubahan
 Ketidakmampuan untuk berbicara atau bicara cadel
 Gangguan pendengaran
 kabur
7. Subarachnoid haemorrhage (SAH)
 Sakit kepala (di gambarkan seperti di tendang di kepala)
 Muntah
 Kebingungan
 Kejang
 Peningkatan tekanan darah
 Penurunan tingkat kesadaran
 Hemi paresis (kelemahan satu sisi tubuh)

I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik yang di berikan pada klien cedera kepala :
1. Computed Tomography ( CT scan, dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan
perubahan jaringan otak. Kelebihan CT Scan otak dibandingkan dengan
modalitas imajing lain adalah bahwa visualisasi anatomi jaringan otak dan
hubungannya dengan lesi patologik dapat ditunjukkan dengan jelas.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI merupakan modalitas diagnostik yang paling mutakhir, di mana hasil
pencitraan ini diperoleh melalui pengolahan komputerisasi potongan-
potongan tubuh yang dimasukkan ke dalam suatu medan magnet yang kuat,
yang selanjutnya akan terjadi interaksi gelombang radio dengan atom
hidrogen dalam tubuh, serta kemudian dimodifikasi berdasarkan perbedaan
masing-masing biokimia antar jaringan.
3. Cerebral Angio Graphy
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4. Serial EKG (Elektrokardiografi)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan steruktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER ( Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak
7. PET (Positron Emisson Tomography)
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8. CSS (Cairan Serebro Spinal)
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika di duga terjadi perubahan subarokhnoid.
Lumbal pungsi dilakukan untuk mengambil cairan serebrospinal.
Jarum dimasukkan dengan cara teknik aseptis yang ketat setinggi L4-L5 atau
L5-S1, jarum dapat dicabut agar cairan keluar.
9. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial. Ada dua tipe elektrolit yang ada dalam tubuh, yaitu kation
(elektrolit yang bermuatan positif) dan anion (elektrolit yang bermuatan
negatif). Masing-masing tipe elektrolit ini saling bekerja sama mengantarkan
impuls sesuai dengan yang diinginkan atau dibutuhkan tubuh.
Beberapa contoh kation dalam tubuh adalah Natrium (Na+), Kaalium (K+),
Kalsium (Ca2+), Magnesium (Mg2+). Sedangkan anion adalah Klorida (Cl-),
HCO3-, HPO4-, SO4-. Dalam keadaan normal, kadar kation dan anion ini sama
besar sehingga potensial listrik cairan tubuh bersifat netral. Pada cairan
ektrasel (cairan diluar sel), kation utama adalah Na + sedangkan anion
utamanya adalah Cl-.. Sedangkan di intrasel (di dalam sel) kation utamanya
adalah kalium (K+).
Jika terjadi dehidrasi, maka reseptor khusus di jantung, paru-paru, otak dan
aorta, mengirimkan sinyal kepada kelenjar hipofisa untuk menghasilkan lebih
banyak hormon antidiuretik. Kadar elektrolit (misalnya natrium, klorida dan
kalium) dalam darah harus dipertahankan dalam angka tertentu agar sel-sel
berfungsi secara normal. Kadar elektrolit yang tinggi (yang dirasakan oleh
otak) akan merangsang pelepasan hormon antidiuretik.
10. Screen Toxikology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
11. Rontgen thoraks 2 arah (PA (posterior anterior)/AP(anterior posterior) dan
lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleura.
12. Analisa Gas Darah
Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan status
respirasi, status respirasi yang dapat di gambarkan melalui pemeriksaan AGD
ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.

J. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka faktor lain yang harus di perhitungkan
pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat di bantu
dengan pemberian oksigen dengan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami
trauma relatif memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah. (Arif
Muttaqin,2017)
Penatalaksanaan segera untuk mengurangi peningkatan TIK didasarkan
pada penurunan ukuran otak dengan cara mengurangi edema serebral, mengurangi
volume cairan serebrospinal (CSS), atau mengurangi volume darah, sambil
mempertahankan perfusi serebral. Tujuan ini diselesaikan dengan pemberian
diuretik osmotik dan kortikosteroid (seperti deksametason), membatasi cairan,
pengeluaran CSS, hiperventilasi dari pasien, mengontrol demam dan menurunkan
kebutuhan metabolisme sel. (Brunner & Suddarth,2015)
Darah yang di pompa jantung dipertahankan untuk memberikan perfusi
otak yang adekuat. Perbaikan darah yang dikeluarkan jantung (curah jantung)
adalah dengan menggunakan cairan dan agens inotropik, seperti dobutamin
hidroklorida. Tidak efektifnya curah jantung mempengaruhi tekanan perfusi
serebral.(Brunner & Suddarth,2015)
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1. Bedrest total.
2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
3. Pemberian obat-obatan.
 Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
 Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
 Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20% atau
glukosa 40%.
 Antibiotika yang mengandung barier darah otak (penisilin), untuk infeksi
anaerob di berikan metronidasol.
4. Makanan atau cairan.
Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,
aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
5. Pada trauma berat. Karena pada hari-hari pertama didapat klien mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit,
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextrose 5% 8
jam ketiga pada hari selanjutnyabila kesadaran rendah maka makanan
diberikan melalui nasogastrictube (2500-3000 TKTP), pemberian protein
tergantung dari nilai urinitrogennya. (Arif Mutaqin,2017)
Asuhan Keperawatan Pada pasien Cedera Kepala

A. Pengkajian
1. Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor
register, diagnosis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala
disertai penurunan tingkat kesadaran.

2. Riwayat penyakit saat ini


Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian
yang di dapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS<15), konfulsi,
muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris, atau tidak lemah, luka di
kepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari
hidung dan telinga, serta kejang. Adanya perubahan pada tingkat kesadaran di
hubungkan dengan tingkat perubahan di dalam intrakranial.

3. Riwayat penyakit dahulu


Pengkajian yang perlu di tanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cidera kepala sebelumnya, diabeter melitus, penyakit jantung, anamia,
pengguanaan obat-obatan antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat aditif,
konsumsi alkohol berlebihan.

4. Riwayat penyakit keluarga


Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi
dan diabetes melitus.
5. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmapuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan
konsep diri di dapatkan klien tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah,
dan tidak kooperatif.

6. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistrm dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubung
dengan keluhan-keluhan dari klien.

7. Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan, dengan GCS 13-15, cedera kepala sedang, dengan GCS
9-12, cedera kepala berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8) dan terjadi
perubahan pada tanda-tanda vital.
Untuk mengetahui tingkat kesadaran klien bisa di lakukan observasi
dengan menggunakan Skala Koma menurut Glasgow, yang terdiri dari tiga
bagian pengkajian neurologis, yaitu:
a. Reaksi membuka mata
1) Membuka mata dengan spontan nilai: 4
2) Membuka mata bila di panggil/rangsangan suara nilai: 3
3) Membuka mata bila dirangsang nyeri nilai: 2
4) Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun nilai: 1
b. Respon verbal/ reaksi berbicara
c. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat nilai: 5
d. Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang nilai: 4
e. Dengan rangsangan,reaksi hanya kata,tak berbentuk kalimat nilai:3
f. Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak berbentuk kata nilai:2
g. Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun nilai: 1
h. Respon motorik/ reaksi gerakan lengan/ tungkai
i. Mengikuti perintah nilai: 6
j. Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat nilai: 5
rangsangan
k. Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan nilai: 4
l. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal nilai: 3
m. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal nilai: 2
n. Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi nilai: 1

Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator


paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.

8. Pemeriksaan fungsi serebral


 Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada klien
cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental mengalami perubahan.
 Fungsi intelektual: pada beberapa keadaan klien cedera kepala didapatkan
penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka
panjang.
 Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila
trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal
kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin
rusak.
 Hemisfer: cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri
tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral
sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut.
9. Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I (Saraf Olfaktorius)
Pada beberapa keadaan cedera kepala di daerah yang merusak anatomis dan
fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman.
Saraf II (Saraf Optikus)
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapangan
penglihatan dan mengganggu fungsi dari nervus optikus. Perdarahan di ruang
intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal, dapat disertai dengan
perdarahan di retina.
Saraf III (Saraf Okulomotorius), IV (Saraf Trokhlearis), dan VI (Saraf
Abdusen)
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan trauma yang
merusak rongga orbital. Pada kasus trauma kepala dapat dijumpai anisokoria.
Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria di mana bukannya midriasis yang
ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal
pada sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal.
Saraf V (Saraf Trigeminus)
Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis nervus
trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunnyah
Saraf VII (Saraf Fasialis dan Intermedius)
Gangguan vaskuler dianggap sebagai penyebab paralisis perifer karena infark
hemoragik dan edema telah terlihat ketika saraf memasuki kanalis, hasilnya
terjadi paralisis flaksid perifer dari semua otot yang melayani ekspresi wajah,
mencakup otot-otot dahi.
Saraf VIII (Saraf Vestibulo-kokhlearis)
Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan biasanya tidak
didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf
vestibulokoklearis
Saraf IX (Saraf Glosofaring) dan X (Saraf Vagus)
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
Saraf XI (Saraf Asesorius)
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan atrofi
otot sternokleidomastoideus dan trapezius
Saraf XII (Saraf Hipoglosus)
Indra pengecapan mengalami perubahan, saraf ini mempersarafi otot lidah.

10. Sistem motorik


Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena
lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis (kelemahan salah satu
tubuh)
Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang
Masing-masing ekstremitas digradasi kekuatannya dengan skala sebagai
berikut:
5 : normal
4 : menurun tapi masih mampu melawan tahanan pemeriksa
3 : mampu melawan gravitasi
2 : mampu menggeser ekstremitas
1 : mampu bergerak, tapi tidak mampu menggeser
0 : tidak ada gerakan sama sekali
Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan otot
didapatkan grade 0.
Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami ganguan karena
hemiparese dan hemiplegia.

11. Pemeriksaan refleks


Pemeriksaan refleks dalam, pengetukkan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks respon normal.
Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang
lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali didahului dengan refleks patologi
Refleks Biseps
- Fleksikan lengan klien pada bagian siku sampai 45° dengan telapak tangan
menghadap ke bawah
- Letakkan ibu jari anda di fosa antekubital di dasar tendon biseps dan jari-jari
lain anda di atas tendon biseps.
- Pukul ibu jari anda dengan refleks hammer

Refleks Triseps
- Letakkan lengan penderita di atas lengan pemeriksa
- Tempatkan lengan bawah penderita dalam posisi antara fleksi dan ekstensi
- Minta klien untuk memastikan bahwa otot tidak tegang
- Pukul tendon triseps yang lewat fosa olekrani dengan refleks hammer

Refleks Achilles
- Pasien dalam posisi duduk dengan kaki dorsofleksi maksimal secara pasif
- Dilakukan ketokan pada tendon Achilles
- Bila positif akan tampak kontraksi dan gerakan plantarfleksi
Refleks plantar (babinski)
- Gunakan benda yang memiliki ketajaman sedang, seperti ujung hammer,
kunci atau stik
- Goreskan ujung benda tadi pada telapak kaki klien bagian lateral, dimulai
ujung telapak kaki belakang terus ke atas dan berbelok sampai pada ibu jari.

Refleks Patella
- Minta klien duduk dengan tungkai bergantung di tempat tidur atau minta
klien berbaring terlentang dan sokong lutut dalam posisi fleksi 90°
- Raba daerah tendon patella
- Satu tangan meraba paha penderita bagian distal, tangan yang lain
memukulkan refleks hammer pada tendon patella
 Reflek Pektoralis
Sikap : pasien berbaring telentang dengan kedua lengan lurus disamping badan
Stimulasi : ketukan pada jari si pemeriksa yang ditempatkan pada tepi lateral otot
pektoralis
Respons : kontraksi m. Pektoralis.

 Reflek periosteum radialis


Sikap: lengan bawah setengah difleksikan di sendi siku dan tangan sedikit
dipronasikan
Stimulus : ketukan pada periosteum ujung distal os radii
Respon: fleksi lengan bawah di siku dan supinal lengan

12. Sistem sensorik


Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi.
Kehilangan sensorik akibat cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan
ringan, atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi(kemampuan
untuk erasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
B 1 (BREATHING)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi perubahan jaringan
serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan
fisik dari sistem ini akan didapatkan:
 Inspeksi, didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
 Palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
 Perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma
pada thoraks.
 Auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi,
pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk yang
menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan
tingkat kesadaran koma.

B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok) hipovolemik
yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat. Hasil pemeriksaan
yang sering terjadi pada klien cedera kepala beberapa keadaan dapat ditemukan
tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardi dan aritmia.

B3 (BRAIN)
cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama disebabkan
pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma. Pengkajian
brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian
pada sistem lainnya. Karena pada pasien cedera kepala terjadi kerusakan di daerah
kepala, terutama pada bagian otak. Langkah awal penilaian keadaan otak
ditekankan terhadap respon-respon mata, fungsi motorik, dan fungsi verbal.
Perubahan respon ini merupakan implikasi adanya perburukan kiranya perlu
pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk, dan reaksi
terhadap cahaya) serta gerakan bola mata.

B4 (BLADDER)
kaji keadaan urine meliputi warna , jumlah, dan karakteristik, termasuk berat
jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien mungkin mengalami
inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan kemampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Inkontinensia yang berlebih menunjukkan kerusakan
neurologis luas.

B4 (BOWEL)
didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual
muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus,. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
B6 (BONE)
Disfungsi motorik paling utama adalah kelemahan pada seluruh ekstremitas. Kaji
warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya perubahan warna kulit
warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga,
hidung, bibir, dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa
dapat berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat dan
sianosis pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan respirator
dapat terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan packed
red cell (PRC) dalam jangka waktu lama. Adanya kesukaran untuk beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensorik, atau paralisis, mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

B. DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN


1. Aktivitas / istirahat
Gejala : Merasa lelah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, hemiparese, ataksia cara berjalan taktegap,
masalah dalam keseimbangan, kehilangan tonus otot.
2. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)
Tanda : perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan
disritmia)
3. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
4. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih atau mengalami gangguan fungsi
5. Makanan/Cairan
Gejala : Mual,muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah, gangguan menelan (batuk, air liur keluar)

6. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, sinkope.
Perubahan penglihatan, seperti ketajamannya, kehilangan sebagian lapang
pandang.
Gangguan pengecapan dan juga penciuman
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi)
Kehilangan pengindraan, seperti pengecapan, penciuman, dan pendengaran
Kehilangan sensasi sebagian tubuh Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan
7. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda
Tanda : wajah menyeringa, respons menarikpada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
8. Pernapasan
Tanda : Perubahan pola napas (apnea). Napas berbunyi, stridor, tersedak.
Ronkhi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi)
9. Keamanan
Gejala : Trauma karena kecelakaan
Tanda : Dislokasi
Gangguan penglihatan
Gangguan kognitif
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
10. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang, disartria
11. Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala : Pengguna alkohol/ obat lain

C. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial, edema serebral.
D. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan criteria
NO Intervensi Rasional
keperawatan Hasil
1. Resiko tinggi Tujuan : dalam1. Kaji faktor penyebab 1. Deteksi dini untuk
peningkatan TIK jangka waktu dari situasi/ keadaan mempriotaskan
yang behubungan tertentu tidak individu/ penyebab intervensi, mengkaji
dengan desak ruang terjadi koma / penurunan status neurologis/
sekunder dari peningkatan perfusi jaringan dan tanda – tanda
kompresi korteks TIK pada klien. kemungkinan kegagalan untuk
serebri dari adanya Criteria hasil : penyebab peningkatan menentukan
perdarahan baik klien tidak TIK perawatan kegawatan
bersifat gelisah, klien atau tindakan
intraserebral tidak mengeluh pembedahan.
hematoma, nyeri kepala,
subdural mual dan 2. Observasi tingkat 2. Perubahan kesadaran
hematoma, muntah. kesadaran dengan menunjukkan
danepidural GCS normal GCS peningkatan TIK dan
hematoma Respon berguna menentukan
membuka mata lokasi dan
4 (spontan) perkembangan
Respon verbal penyakit.
5 (komunikasi
baik, tepat)
Respon motorik
6 (mengikuti 3. Dengan peningkatan
perintah) 3. Memonitor TTV setiap tekanan darah maka
Tidak terdapat 4 jam dibarengi dengan
papiladema. peningkatan tekanan
TTV dalam darah intracranial.
batas normal Adanya eningkatan
tekanan darah,
bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan
tanda terjadinya
peningkatan TIK

Pertahankan kepala 4. Perubahan kepala


atau leher pada posisi pada satu sisi dapat
yang netral, usahakan menimbulkan
dengan sedikit bantal, penekanan pada vena
hindari penggunaan jugularis dan
bantal yang tinggi menghambat aliran
pada kepala. darah otak, untuk itu
dapat meningkatkan
TIK.

Kolaborasi: 5. Mengurangi
4. Pemberian O2 sesuai hipoksemia dimana
indikasi dapat meningkatkan
vasodilatasi serebral,
volume darah, dan
menaikkan TIK

5. Berikan obat osmosis 6. Diuretic mungkin


diuretic, contohnya: digunakan pada fase
manitol, furoscide. akut untuk
mengalirkan air dari
sel otak dan
mengurangi edema
serebral dan TIK
6. Ubah posisi klien
secara bertahap 7. Perubahan posisi
1. Jaga suasana tenang setiap 2 jam atau
2. Gangguan perfusi Setelah sesuai respon klien
jaringan serebral dilakukan mencegah terjadinya
yang berhubungan intervensi lika tekan akibat
dengan peningkatan keperawatan tekanan yang lama
intracranial, klien tidak karena jaringan
ditandai dengan: menunjukkan 2. Mengatur posisi klien tersebut akan
DS : mengatakan peningkatan bedrest kekurangan nutrisi
kejang TIK dengan dan oksigen yang di
DO: perubahan kriteria : bawa darah.
kesadaran, 1. Klien akan
perubahan TTV, mengatakan 1. Suasana tenang akan
kehilangan memori tidak sakit 3. Tinggikan kepala memberikan rasa
perubahan pola kepala dan nyaman pada klien
istirahat merasa nyaman. dan mencegah
2. mencegah ketegangan.
cidera
4. Angkat kepala dengan2. Bedrest bertujuan
hati-hati mengurangi kerja
fisik, beban kerja
jantung, mengatasi
keadaan hight output,
yang disebabkan oleh
tiroksin, anemia, dll

3. Membantu drainase
vena untuk
mengurangi kongesti
serebrovaskuler

4. Tindakan yang kasar


berisiko terhadap
peningkatan TIK
Disamping sebagai pengantar aliran listrik, elektrolit juga mempunyai banyak
manfaat, tergantung dari jenisnya. Contohnya :
 Natrium     : fungsinya sebagai  penentu utama osmolaritas dalam darah dan
pengaturan volume ekstra sel.
 Kalium       : fungsinya mempertahankan  membran potensial elektrik dalam
tubuh.
 Klorida      : fungsinya mempertahankan tekanan osmotik, distribusi air pada
berbagai cairan tubuh dan keseimbangan anion dan kation dalam cairan
ekstrasel.
 Kalsium     : fungsi utama kalsium adalah sebagai penggerak dari otot-otot,
deposit utamanya berada di tulang dan gigi, apabila diperlukan, kalsium ini
dapat berpindah ke dalam darah.
 Magnesium : Berperan penting dalam aktivitas elektrik jaringan, mengatur
pergerakan Ca2+ ke dalam otot serta memelihara kekuatan kontraksi jantung
dan kekuatan pembuluh darah tubuh.
Tidak semua elektrolit akan kita bahas, hanya kalium dan natrium yang akan kita
bahas. Ada dua macam kelainan elektrolit yang terjadi ; kadarnya terlalu tinggi
(hiper) dan kadarnya terlalu rendah (hipo). Peningkatan kadar konsentrasi
Natrium dalam plasma darah atau disebut hipernatremia akan mengakibatkan
kondisi tubuh terganggu seperti kejang akibat dari gangguan listrik di saraf dan
otot tubuh. Natrium yang juga berfungsi mengikat air juga mengakibatkan
meningkatnya tekanan darah yang akan berbahaya bagi penderita yang sudah
menderita tekanan darah tinggi. Sumber natrium berada dalam konsumsi makanan
sehari-hari kita; garam, sayur-sayuran dan buah-buahan banyak mengandung
elektrolit termasuk natrium.
Banyak kondisi yang mengakibatkan meningkatnya kadar natrium dalam plasma
darah. Kondisi dehidrasi  akibat kurang minum air, diare, muntah-muntah,
olahraga berat, sauna menyebabkan tubuh kehilangan banyak air sehingga darah
menjadi lebih pekat dan kadar natrium secara relatif juga meningkat. Adanya
gangguan ginjal seperti pada penderita Diabetes dan Hipertensi juga menyebabkan
tubuh tidak bisa membuang natrium yang berlebihan dalam darah. Makan garam
berlebihan serta penyakit yang menyebabkan peningkatan berkemih (kencing)
juga meningkatkan kadar natrium dalam darah.
Sedangkan hiponatremia atau menurunnya kadar natrium dalam darah dapat
disebabkan oleh kurangnya diet makanan yang mengandung natrium, sedang
menjalankan terapi dengan obat diuretik (mengeluarkan air kencing dan
elektrolit), terapi ini biasanya diberikan dokter kepada penderita hipertensi dan
jantung, terutama yang disertai bengkak akibat tertimbunnya cairan. Muntah-
muntah yang lama dan hebat juga dapat menurunkan kadar natrium darah, diare
apabila akut memang dapat menyebabkan hipernatremia tapi apabila berlangsung
lama dapat mengakibatkan hiponatremia, kondisi darah yang terlalu asam
(asidosis) baik karena gangguan ginjal maupun kondisi lain misalnya diabetes
juga dapat menjadi penyebab hiponatremia. Akibat dari hiponatremia sendiri
relatif sama dengan kondisi hipernatremia, seperti kejang, gangguan otot dan
gangguan syaraf.
Disamping natrium, elektrolit lain yang penting adalah kalium. Fungsi kalium
sendiri mirip dengan natrium, karena kedua elektrolit ini ibarat kunci dan anak
kunci yang saling bekerja sama baik dalam mengatur keseimbangan osmosis sel,
aktivitas saraf dan otot serta keseimbangan asam – basa.
Kondisi hiperkalemia atau meningkatnya kadar kalium dalam darah
menyebabkan gangguan irama jantung hingga berhentinya denyut jantung,
Kondisi ini merupakan kegawatdaruratan yang harus segera diatasi karena
mengancam jiwa. Beberapa hal yang menjadi penyebab meningkatnya kadar
kalium adalah pemberian infus yang mengandung kalium, dehidrasi, luka bakar
berat, kenjang, meningkatnya kadar leukosit darah, gagal ginjal, serangan jantung
dan meningkatnya keasaman darah karena diabetes. Keadaan hiperkalemia ini
biasanya diketahui dari keluhan berdebar akibat detak jantung yang tidak teratur,
yang apabila dilakukan pemeriksaan rekam jantung menunjukkan gambaran yang
khas.
Kondisi yang berkebalikan terjadi pada hipokalemia, penderita biasanya
mengeluhkan badannya lemas dan tak bertenaga. Hal ini terjadi mengingat fungsi 
kalium dalam menghantarkan aliran saraf di otot maupun tempat lain. Penyebab
hipokalemia lebih bervariasi, penurunan konsumsi kalium akibat kelaparan yang
lama dan pasca operasi yang tidak mendapatkan cairan mengandung kalium
secara cukup adalah penyebab hipokalemia. Terapi insulin pada diabet dengan
hiperglikemia, pengambilan glukosa darah ke dalam sel serta kondisi darah yang
basa (alkalosis) menyebabkan kalim berpindah dari luar sel (darah) ke dalam sel-
sel tubuh.Akibatnya kalium dalam darah menjadi menurun.
Kehilangan cairan tubuh yang mengandung kalium seperti muntah berlebih, diare,
terapi diuretik, obat-obatan, dan beberapa penyakit seperti gangguan ginjal dan
sindroma Cushing (penyakit akibat gangguan hormon) ju7ga menyebabkan
penurunan kalium dalam darah. Penanganan kondisi hipokalemia adalah dengan
mengkonsumsi makanan yang mengandung kalium tinggi seperti buah-buahan,
mengobati penyakit penyebabnya dan apabila kadar kalium darah rendah sekali
dapat dikoreksi dengan memasukkan kalium melalui infus.

Rekomendasi perbaikan:
1. Sudah baik dan lengkap; hanya saja sumber-sumber yang
digunakna perlu ditambahkan pada setiap kutipan
2. Penulisan tinjauan pustaka/teori pada LP sebaiknya menggunakan
buku-buku dengan pendekatan perawatan intensif
3. Sebaiknya menambahkan pathway terjadinya masalah
4. Diagnose keperawatan, rencana keperawatan sebaiknya
menggunakan buku SDKI, SLKI dan SIKI

Anda mungkin juga menyukai