Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam perkembangannya di Indonesia, madrasah merupakan fenomena


modern yang muncul pada awal abad-20. Buku-buku sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia sejauh ini agaknya belum pernah menginformasikan adanya lembaga
pendidikan yang disebut madrasah pada masa-masa awal penyebaran dan
perkembangan Islam di Nusantara. Memang pada abad ke-19 ke bawah belum
ditemukan sebuah madrasah pun yang memiliki ciri khusus sebagai suatu lembaga
pendidikan. Lembaga yang ada pada waktu itu adalah pesantren (di Jawa) dan
surau (di Sumatra Barat khususnya Minangkabau).
Hal itu menunjukkan bahwa perjalanan madrasah di Indonesia mencapai
kurang lebih satu abad jika diukur hingga sekarang. Dalam rentang waktu tersebut
madrasah telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai lembaga yang
sudah cukup lama berkembang, madrasah merupakan lembaga yang bersifat
kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena madrasah sebagai organisasi yang
di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu dengan yang lain saling
berkaitan dan saling menentukan. Sedangkan unik bahwa madrasah sebagai
lembaga memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki organisasi-organisasi lain.
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam, madrasah
memegang peran penting dalam proses pembentukan kepribadian anak didik.
Melalui pendidikan madrasah diharapkan agar mereka memiliki dua kemampuan
sekaligus, yaitu tidak hanya memiliki pengetahuan umum (IPTEK) saja tetapi
juga memiliki kepribadian dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya
(IMTAQ).
Dari madrasah pula akan dapat diciptakan sumber daya manusia yang siap dan
mampu berkompetisi dengan situasi lokal maupun global yaitu melalui
pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan mempunyai peran yang sangat penting
sebagai agen dalam perubahan social (agent of social change). Melalui pendidikan

1
akan diperoleh konservasi nilai-nilai dan kultur yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat.
Dengan peran dan sifatnya yang kompleks dan unik tersebut, madrasah
sebagai suatu organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Keberhasilan
madrasah adalah keberhasilan kepala madrasah. Kepala madrasah yang berhasil
adalah apabila ia mampu memahami keberadaan madrasah sebagai organisasi
yang kompleks dan unik serta mampu melaksanakan peranan kepala madrasah
sebagai seorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin madrasah.
Sehingga kepala madrasah memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan
kemajuan dan keberhasilan madrasah.
Studi keberhasilan kepala madrasah dalam memimpin lembaga sekolah
menunjukkan bahwa kepala madrasah adalah seorang yang menentukan titik pusat
dan irama suatu madrasah. Kepala madrasah selaku top leader mempunyai
wewenang dan kekuasaan serta strategi kepemimpinan yang efektif untuk
mengatur dan mengembangkan bawahannya secara profesional. Lebih jauh, studi
tersebut menyimpulkan bahwa keberhasilan madrasah adalah keberhasilan kepala
madrasah. Dalam hal ini kepala madrasah merupakan salah satu komponen
pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas (mutu) pendidikan.
Kepemimpinan yang diterjemahkan ke dalam istilah sifat-sifat, perilaku
pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola ionteraksi, hubungan kerjasama
antar peran, kedudukan dari satu jabatan administratif, dan persepsi dari lain-lain
tentang legitimasi pengaruh menentukan arah dan tujuan, memberikan bimbingan
dan menciptakan iklim kerja yang mendukung pelaksanaan proses administrasi
dan proses belajar mengajar. Kepala madrasah dikatakan sebagai pemimpin yang
efektif bilamana kepala madrasah mampu menjalankan proses kepemimpinannya
untuk mendorong, mempengaruhi dan mengarahkan kegiatan dan tingkah laku
kelompoknya.
Berbagai upaya harus dipikirkan dan dilaksanakan oleh kepala madrasah
guna meningkatkan kualitas (mutu) pendidikan. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi mutu pendidikan. Namun karena bidang pendidikan sangat luas
cakupannya, maka perlu pembatasan pendidikan di sekolah. Di sekolah (begitu

2
juga di madrasah) ada banyak faktor yang dapat menentukan kualitas (mutu)
pendidikan dalam usaha pengembangan sumber daya manusia.
Mortimore sebagaimana dikutip Soetopo (2005:21) mengemukakan ada
beberapa faktor yang perlu dicermati agar kualitas (mutu) pendidikan di sekolah
dapat ditingkatkan:
1. Kepemimpinan sekolah yang positif dan kuat.
2. Harapan yang tinggi
3. Monitor terhadap kemajuan siswa.
4. Tanggung jawab siswa dan keterlibatannya dalam kehidupan sekolah.
5. Insentif dan hadiah.
6. Keterlibatan orang tua dalam kehidupan sekolah
7. Perencanaan dan pendekatan yang konsisten
Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kaledupa sebagai salah satu wujud
dari sistem pendidikan madrasah di Indonesia yang terus berupaya meningkatkan
mutu pendidikannya. Madrasah yang berada di daerah terpencil di propinsi
Sulawesi Tenggara ini tepatnya di Kecamatan Kaledupa Kabupetan Wakatobi
merupakan satu-satunya sekolah madrasah tetapi dalam dekade terakhir ini terus
menunjukkan eksitensinya, tidak mau kalah dengan sekolah-sekolah umum
sederajatnya yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kecamatan kaledupa
ataupun di kecamatan yang lain. Bahkan prestasi yang mereka raih bisa
menembus sampai ke propinsi, dari segi akademik ataupun non akademik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah makalah ini
adalah :
1. Bagaimana tipe kepemimpinan kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri
Kaledupa (MTsN) ?
2. Bagaimana peran kepala madrasah dalam meningkatkan mutu
pendidikan di MTsN Kaledupa ?
1.3. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan kepala Madrasah Tsanawiyah
Negeri Kaledupa.

3
2. Untuk mengetahui peran kepala madrasah dalam meningkatkan mutu
pendidikan di MTsN Kaledupa.

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Kepemimpinan
2.1.1. Pengertian Kepemimpinan
Pengertian tentang kepemimpinan bervariasi sebanyak orang yang
mencoba mendefenisikan konsep kepemimpinan. Pengertian kepemimpinan
secara luas meliputi proses memengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi,
memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, memengaruhi untuk
memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga memengaruhi interpretasi
mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-
aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja sama dan kerja
kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar kelompok
atau organisasi (Rivai & Mulyadi, 2013:2).
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi
orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Sutisna
(1993) dalam Mulyasa (2014:107) merumuskan kepemimpinan sebagai “proses
mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha ke arah
pencapaian tujuan dalam situasi tertentu”. Sementara Soepardi (1988) dalam
Mulyasa (2014:107) mendefinisikan kepemimpinan sebagai “kemampuan untuk
menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati,
membimbing, menyuruh, memerintah, melarang dan bahkan menghukum (kalau
perlu), serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen
mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan
efisien”.
Kepemimpinan (leadership) menurut Suryana (2010) adalah
“kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin (leader) tentang
bagaimana menjalankan kepemimpinannya (to lead) sehingga bawahan dapat
bergerak sesuai dengan yang diinginkan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan

4
sebelumnya”. Bergeraknya orang-orang harus mengikuti jalur tujuan organisasi
yang hendak dicapai dan bukan merupakan kamuplase (kepura-puraan/keinginan
pemimpin) dari kepemimpinannya itusendiri, karena bagaimanapun pemimpin itu
adalah bagian dari anggota organisasi itu sendiri. Adapun pergerakan dalam
pencapaian tujuan adalah legitimasi dari sebuah kekuasan yang dimiliki oleh
pemimpin, karena bagaimanapun bukan hanya sebuah simbol atau kedudukan
semata.
Griffin (2000) dalam Muyasa (2013:17) membagi pengertian
kepemimpinan menjadi dua konsep, yaitu sebagai proses, dan sebagai atribut.
Sebagai proses, kepemimpinan difokuskan kepada apa yang dilakukan oleh para
pemimpin, yaitu proses di mana para pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk
memperjelas tujuan organisasi bagi para pegawai, bawahan, atau yang
dipimpinnya, memotivasi mereka untuk mencapai tujuan tersebut, serta
membantu menciptakan suatu budaya produktif dalam organisasi. Adapun dari
sisi atribut, kepemimpinan adalah kumpulan karakteristik yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin.
Selain itu menurut Yulk (2010) dalam Usman (2013:310) beberapa
pengertian kepemimpinan yang cukup dianggap mewakili selama seperempat
abad sebagai berikut :
1. Kepemimpinan adalah perilaku dari seseorang individu yang memimpin
aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai
bersama (shared goal).
2. Kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi yang dijalankan dalam suatu
situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah
pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu.
3. Kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur
dalam harapan dan interaksi.
4. Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit, pada
dan berada diatas kepatuhan mekanis terhadap pengarah-pengarah rutin
organisasi.

5
5. Kepemimpinan adalah proses memengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah
kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan.
6. Kepemimpinan adalah sebuah proses memberikan arti (pengarahan yang
berarti ) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk
melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.
7. Para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberikan
kontribusi yang efektif terhadap orde sosial, serta yang diharapkan dan
dipersepsikan melakukannya.
Meskipun masih banyak definisi atau pengertian tentang kepemimpinan
yang dikemukakan para ahli lainnya, namun demikian pada dasarnya definisi-
definisi tersebut memiliki kesamaan konseptual, bahwa kepemimpinan merupakan
suatu tindakan atau aktifitas kegiatan untuk mempengaruhi dan menggerakkan
bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.
Dengan demikian pengertian kepemimpinan tersebut dapat timbul dari
mana saja asalkan unsur-unsur dalam kepemimpinan itu terpenuhi, antara lain:
adanya orang yang mempengaruhi, adanya orang yang dipengaruhi, adanya tujuan
dan sasaran yang ingin dicapai, adanya aktifitas, interaksi dan otoritas.
Dengan melihat beberapa unsur tersebut, kepemimpinan dapat diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk beraktifitas, memimpin, menggerakkan, atau
mempengaruhi bawahan, melakukan koordinasi serta megambil keputusan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kenyataannya, apapun bentuk suatu organisasi pasti memerlukan
seorang dengan atau tanpa dibantu orang lain untuk menduduki posisi
pimpinan/pemimpin. Seseorang yang menduduki posisi pimpinan dalam suatu
organisasi mengemban tugas melaksanakan kepemimpinan, termasuk dalam hal
ini adalah organisasi pendidikan, yang mana pemimpin dalam organisasi ini
adalah kepala sekolah/madrasah.
Kepala madrasah menurut Shulhan (2013:34) adalah “seorang tenaga
fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu madrasah dimana terjadi
interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima
pelajaran”. Dari defenisi tersebut dapat maknaibahwa kepemimpinan kepala

6
madrasah adalah kemampuan kepala madrasah untuk memimpin, menggerakkan,
melakukan koordinasi, atau mempengaruhi para guru dan segala sumber daya
yang ada di madrasah sehingga dapat di daya gunakan secara maksimal untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.1.2. Gaya Kepemimpinan


Gaya kepemimpinan adalah cara yang dipergunakan pemimpin dalam
mempengaruhi para pengikutnya. Menurut Thoha (1995:151) gaya kepemimpinan
merupakan “norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut
mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat”. Dalam hal ini
usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku
dengan yang akan dipengaruhi menjadi amat penting kedudukannya.
Gaya kepemimpinan menurut Daryanto (2013:103) adalah suatu pola
perilaku seorang pemimpin yang khas pada saat mempengaruhi anak buahnya, apa
yang dipilih oleh pemimpin untuk dikerjakan, cara pemimpin bertindak dalam
mempengaruhi anggota kelompok membentuk gaya kepemimpinannya. Gaya
kepemimpinan yang diterapkan bergantung pada tingkat kematangan atau
kedewasaan bawahan dan tujuan yang ingin dicapai. Bawahan sebagai unsur
penting yang terlibat dalam pencapaian tujuan mempunyai pebedaan dalam hal
kemampuan, kebutuhan dan kepribadian, sehingga pendekatan yang di lakukan
pemimpin disesuaikan dengan tingkat kematangan.
Hersey dan Blanchard (1968) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan
yang efektif itu berbeda-beda sesuai dengan kematangan bawahan. Kematangan
atau kedewasaan menurutnya bukan dalam arti usia atau stabilitas emosional
melainkan keinginan untuk berprestasi, kesediaan untuk menerima tanggung
jawab dan mempunyai kemampuan serta pengalaman yang berhubungan dengan
tugas. Dengan demikian tingkat kematangan bawahan dan situasi tempat sangat
berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkan (Wahyudi, 2012:123).
Secara teoritis telah banyak dikenal gaya kepemimpinan, namun gaya
mana yang terbaik tidak mudah untuk ditentukan. Untuk memahami gaya

7
kepemimpinan, sedikitnya dapat dikaji dari tiga pendekatan utama, yaitu
pendekatan sifat, perilaku dan situasional.
1. Pendekatan Sifat (Traits Approach)
Pendekatan ini menekankan pada kualitas pemimpin, dalam pendekatan
sifat mencoba menerangkan sifat-sifat yang membuat seseorang berhasil.
Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa individu merupakan pusat
kepemimpinan, kepemimpinan dipandang sebagai sesuatu yang mengandung
banyak unsur individu. Penganut pendekatan ini berusaha mengidentifikasikan
sifat-sifat kepribadian yang dimiliki oleh pemimpin yang berhasil dan yang tidak
berhasil.
Pendekatan sifat adalah keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin
dipengaruhi oleh sifat-sifat yang dimiliki oleh pribadi seorang pemimpin, sifat-
sifat tersebut ada pada seseorang karena pembawaan atau keturunan. Sehingga
seseorang menjadi pemimpin karena sifat-sifatnya yang dibawa sejak lahir bukan
dibuat atau dilatih.
Keith Davis seperti yang dikutip Thoha (1995:152) “merumuskan empat
sifat yang tampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan
organisasi antara lain: kecerdasan dan kedewasaan, keluasan hubungan sosial,
motifasi dan dorongan berprestasi, sikap-sikap hubungan sosial”.
Orway Tead (1963) seperti yang dikutip Purwanto (2003:112),
“mengemukakan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin antara
lain: 1) berbadan sehat, kuat dan penuh energi, 2) yakin akan maksud dan tujuan
organisasi, 3) selalu bergairah, 4) bersifat ramah-tamah, 5) mempunyai keteguhan
hati, 6) unggul dalam teknik kerja, 7) sanggup bertindak tegas, 8) memiliki
kecerdasan, 9) pandai mengajari bawahan, 10) percaya pada diri sendiri.
Banyak ahli yang telah berusaha meneliti dan mengemukakan pendapatnya
mengenai sifat-sifat baik manakah yang diperlukan bagi seorang pemimpin agar
dapat dan sukses dalam kepemimpinannya. Meskipun telah banyak penelitian
tentang sifat kepemimpinan, sampai kini para peneliti belum berhasil menemukan
satu atau sejumlah sifat yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk membedakan
pemimpin dan bukan pemimpin, hal ini menunjukkan hanya dengan

8
menggunakan pendekatan sifat saja masalah kepemimpinan tidak akan dapat
difahami dan dipecahkan dengan baik.
Dengan demikian dari pendekatan sifat ini masih terdapat kelemahan-
kelemahan antara lain: Pertama, tidak adanya kesesuaian atau pendapat di antara
para pakar tentang rincian sifat atau ciri-ciri kepemimpinan. Kedua, terlalu sulit
untuk menetapkan sifat-sifat yang harus dimiliki pemimpin karena setiap orang
yang menjadi pemimpin memiliki keunikan masing-masing. Ketiga, situasi
tertentu dan kondisi tertentu memerlukan kepemimpinan yang memiliki sifat dan
ciri tertentu sesuai tuntutan situasi dan kondisi tertentu.
2. Pendekatan Perilaku (Behavior Approach)
Pendekatan perilaku ini merupakan pendekatan yang mendasarkan pada
pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan pemimpin ditentukan oleh sikap
dan stategi kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin yang bersangkutan.
Sikap dan stategi kepemimpinan itu tampak dalam kegiatan sehari-hari, dalam hal
bagaimana seorang pemimpin memberi perintah, membagi tugas dan
wewenangnya, cara berkomunikasi, cara mendorong semangat kerja bawahan,
cara memberi bimbingan, cara mengambil keputusan dan lain sebagainya.
Dengan menggunakan pendekatan perilaku, para ahli mengembangkan teori
kepemimpinan ke dalam berbagai macam klasifikasi, antara lain:
a. Teori Dua faktor
Berdasarkan teori ini, Harsey dan Blanchard (1989) sebagaimana dikutip
Purwanto (2003:113) menjelaskan bahwa “perilaku atau perbuatan
seseorang pemimpin cenderung mengarah pada dua hal yaitu konsiderasi
dan struktur inisiasi”. Konsiderasi adalah perilaku pemimpin untuk
memperhatikan bawahan. Ciri-ciri perilaku konsiderasi adalah ramah-
tamah, mendukung dan membela bawahan, mau berkonsultasi, menerima
usul bawahan, dan memperlakukan bawahan sebagaimana pemimpin
memperlakukan dirinya sendiri.Sedangkan struktur inisiasi adalah
perilaku pemimpin cenderung mementingkan tujuan organisasi. Ciri-ciri
perilaku struktur inisiasi adalah memberikan kritik terhadap pelaksanaan
tugas yang tidak tepat, mementingkan batas waktu pelaksanaan tugas

9
kepada bawahan, selalu memberi petunjuk kepada bawahan tentang cara
melaksanakan tugas, menetapkan standar tertentu tentang tugas
pekerjaan, dan selalu mengawasi optimasi kemampuan bawahan dalam
melaksanakan tugas.
b. Teori Empat Faktor
Dalam usaha meningkatkan kualitas kepemimpinan, teori empat faktor
sangat mempunyai peranan yang penting, teori kepemimpinan empat
faktor meliputi dimensi-dimensi: stuktural, fasilitatif, suportif, dan
partisipatif. Masing-masing dimensi ditandai dengan berbagai ciri sebagai
berikut:
1. Kepemimpinan Struktural
a) Cepat mengambil tindakan dalam keputusan yang mendesak
b) Melaksanakan pendelegasian yang jelas dan menentukan kepada
anggota.
c) Menekankan kepada hasil dan tujuan organisasi
d) Menembangkan suatu pandangan organisasi yang kohesif sebagai
dasar penngambilan keputusan
e) Memantau penerapan keputusan
f) Memperkuat relasi yang positif dengan pemerintah ataupun
masyarakat.
2. Kepemimpinan Fasililtatif
a) Mengusahakan dan menyediakan sumber-sumber yang diperlukan
b) Menetapkan dan memperkuat kembali kebijakan organisasi
c) Menekan atau memperkecil kertas kerja yang birokratis
d) Memberikan saran atas masalah kerja yang terkait
e) Membuat jadwal kegiatan
f) Membantu pekerjaan agar dilaksanakan
3. Kepemimpinan Suportif
a) Memberikan dorongan dan penghargaan atas usaha orang lain
b) Menunjukkan keramahan dan kemampuan untuk melaksanakan
pendekatan

10
c) Mempercayai orang lain dengan pendelegasian tanggung jawab
d) Meningkatkan moral / semangat staf
e) Memberikan ganjaran atas nama perseorangan
4. Kepemimpinan partisipatif dengan tanda-tanda:
a) Pendekatan akan berbagai persoalan dengan fikiran terbuka
b) Mau dan bersedia memperbaiki posisi-posisi yang telah terbentuk
c) Mencari masukan dan nasehat yang menentukan
d) Membantu perkembangan kepemimpinan yang posisional dan
kepemimpinan yang sedang tumbuh
e) Bekerja secara aktif dengan perseorangan atau kelompok
f) Melibatkan orang lain secara tepat dalam pengambilan keputusan.
3. Pendekatan Situasional
Pendekatan situasional hampir sama dengan pendekatan perilaku,
keduanya menyoroti perilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini
kepemimpinan lebih merupakan fungsi situasi dari pada sebagai kualitas pribadi,
dan merupakan kualitas yang timbul karena interaksi orang-orang dalam situasi
tertentu.Menurut pandangan perilaku, dengan mengkaji kepemimpinan dari
beberapa variabel yang mempengaruhi perilaku akan memudahkan menentukan
stategi kepemimpinan yang paling cocok. Pendekatan ini menitik beratkan pada
berbagai stategi kepemimpinan yang paling efektif diterapkan dalam sitiasi
tertentu. Terdapat beberapa studi kepemimpinan yang menggunakan pendekatan
ini antara lain:
a) Teori kepemimpinan kontingensi
Teori ini dikembangkan oleh Fiedler dan Chemers, berdasarkan hasil
penelitiannya pada tahun 1950, disimpulkan bahwa seseorang menjadi
pemimpin bukan saja karena faktor kepribadian yang dimiliki, tetapi juga
berbagai faktor situasi dan saling berhubungan antara situasi dengan
kepemimpinan. Keberhasilan pemimpin bergantung baik pada diri
pemimpin maupun kepada keadaan organisasi.
Menurut Fiedler tidak ada strategi kepemimpinan yang cocok untuk
semua situasi, serta ada 3 faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu:

11
hubungan antara pemimpin dan bawahan, struktur tugas, serta kekuasaan
yang berasal dari organisasi. Berdasarkan ketiga dimensi tersebut Fiedler
menentukan dua jenis stategi kepemimpinan dan dua tingkat yang
menyenangkan. Pertama,strategi kepemimpinan yang mengutamakan
tugas, yaitu strategi ketika pemimpin merasa puas jika tugas bisa
dilaksanakan. Kedua,strategi kepemimpinan yang mengutamakan
hubungan kemanusiaan, hal tersebut menunjukkan bahwa efektifitas
kepemimpinan bergantung pada tingkat pembauran antara strategi
kepemimpinan dengan tingkat kondisi yang menyenangkan dalam situasi
tertentu (Daryanto, 2013:106).
b) Teori kepemimpinan tiga dimensi
Teori ini dikemukakan oleh Reddin guru besar Universitas New
Brunswick Canada, menurutnya ada tiga dimensi yang dapat dipakai untuk
menentukan strategi kepemimpinan yaitu: perhatian pada produksi atau
tugas, perhatian pada orang dan dimensi efektifitas. Strategi
kepemimpinan Reddin sama dengan jaringan manajemen yangn dimiliki
empat strategi dasar kepemimpinann, yaitu Integred, related, separated,
dan decicated. Reddin menyatakan bahwa keempat stategi tersebut
menjadi efektif atau tidak efektif tergantung pada situasi (Daryanto,
2013:107).
c) Teori kepemimpinan situasional
Teori ini merupakan pengembangan dari model kepemimpinan tiga
dimensi yang didasarkan pada hubungan antara tiga faktor yaitu perilaku
tugas, perilaku hubungan dan kematangan. Perilaku tugas merupakan
pemberian petunjuk oleh pimpinan (kepala sekolah) terhadap anak buah
(guru) melalui penjelasan tertentu, apa yang harus diperbuat, kapan, dan
bagaimana mengerjakannya, serta mengawasi mereka secara ketat.
Perilaku hubungan merupakan ajakan yang disampaikan oleh pimpinan
melalui komunikasi dua arah yang meliputi mendengar dan melibatkan
guru dalam pemecahan masalah. Adapun kematangan adalah kemampuan

12
dan kemauan anak buah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan
tugas(Daryanto, 2013:107).
Dari ketiga faktor tersebut, tingkat kematangan anak buah merupakan
faktor yang paling dominan, karena itu tekanan utama dari teori ini terletak
pada perilaku pemimpin dalam hubungannya dengan anak buah. Menurut
teori ini stategi kepemimpinan akan efektif jika disesuaikan dengan tingkat
kematangan anak buah. Makin matang anak buah, pemimpin harus
mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya pada saat
anak buah mencapai tingkat kematangan penuh dan sudah dapat mandiri,
pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenang kepada anak buah.
Menurut Hersey dan Blanchard (1986) dalam Wahyudi (2012:136)
gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan dalam keempat tingkat
kematangan anak buah dan kombinasi yang tepat antara perilaku tugas dan
perilaku hubungan adalah:
1) Gaya Instruktif (Telling). Gaya ini diterapkan jika kematangan
anak buah rendah, dan memerlukan petunjuk serta pengawasan
yang jelas. Gaya ini disebut mendikte karena pemimpin dituntut
untuk mengatakan apa, bagaimana, kapan, dan dimana tugas
dilakukan. Stategi ini menekankan pada tugas, sedangkan
hubungan hanya dilakukan sekedarnya saja.
2) Gaya Konsultatif (Selling). Gaya ini diterapkan apabila kondisi
anak buah dalam taraf rendah sampai moderat. Mereka telah
memiliki kemauan untuk melakukan tugas, tetapi belum didukung
oleh kemampuan yang memadai. Gaya ini disebut menjual karena
pemimpin selalu memberikan petunjuk yang banyak. Dalam
tingkat kematanga anak buah yang seperti ini, diperlukan tugas
serta hubungan yang tinggi agar dapat memelihara dan
meningkatkan kemauan yang telah dimiliki.
3) Gaya Partisipatif (Participating). Gaya ini diterapkan apabila
tingkat kematangan anak buah berada dalam taraf kematangan
moderat sampai tinggi. Mereka mempunyai kemampuan, tetapi

13
kurang memiliki kemauan kerja dan kepercayaan diri. Gaya ini
disebut mengikut sertakan karena pemimpin dengan anak buah
bersama-sama berperan dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam kematangan semacam ini, upaya tugas tidak diperlukan,
namun upaya hubungan perlu ditingkatkan dengan membuka
komunikasi dua arah.
4) Gaya Delegatif (Delegating). Gaya ini diterapkan jika kemampuan
dan kemauan anak buah telah tinggi. Gaya ini disebut
mendelegasikan karena anak buah dibiarkan melaksanakan
kegiatannya sendiri, melalui pengawasan umum. Hal ini dilakukan
jika anak buah berada pada tingkat kedewasaan yang tinggi. Dalam
tingkat kematangan seperti ini upaya tugas hanya diperlukan
sekedarnya saja, demikian upaya hubungan.
Keempat gaya kepemimpinan tersebut dapat di gambarkan sebagai
berikut :
Partisipatif Kosultatif
(G3) (G2)
Delegatif Instruktuf
(G4) (G1)

Gambar 2.1
Strategi Gaya Kepemimpinan
(Diadaptasi dari Hersey dan Blanchard, 1986)
Sumber : Wahyudi (2012:136)

Masing-masing gaya kepemimpinan tersebut dengan


mempertimbangkan tingkat kematangan para guru. Kontinum kematangan
bawahan menurut Hersey dan Blanchard (1986) dibagi atas empat kategori
dan masing-masing tingkatan dilambangkan dengan huruf M (maturity)
yaitu M1, M2, M3 dan M4. Untuk mengetahui arti tingkat kematangan
masing-masing, maka dibuat dalam gambar berikut :
Mampu dan Mampu tetapi Tidak mampu Tidak mampu
Mau tidak mau tetapi mau dan tidak mau
M4 M3 M3 M1

14
Gambar 2.2.
Tingkat Kematangan Guru di Sekolah
Sumber : Wahyudi (2012:136)

Berdasarkan pendekatan dan teori kepemimpinan tersebut, tampak adanya


dua konsepsi tentang bagaimana seseorang dapat dikatakan memegang peranan
sebagai pemimpin. Berdasarkan pandangan tentang sifat seorang pemimpin,
seseorang melaksanakan kepemimpinannya karena memiliki sifat pribadi dan
kemampuan sebagai pemimpin. Sedangkan berdasarkan situasinya, maka situasi
dan kondisi organisasilah yang mendorong seseorang berperan sebagai pemimpin.
Terlepas dari adanya teori yang seakan-akan kontradiktif tersebut, yang jelas
bahwa pemimpin itu harus memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
anggota-anggota biasa lainnya. Sebab dengan kelebihan-kelebihan tersebut,
pemimpin bisa berwibawa dan dipatuhi bawahannya.
Dari uraian tersebut, maka seorang pemimpin bukanlah sekedar seorang
tukang atau juru, melainkan seseorang dengan sifat-sifat unggulnya harus mampu
menempatkan posisinya secara efektif terhadap segala hubungan yang terjadi
diantara sesama anggota atau antar kelompok, masalah-masalah yang dihadapi,
serta situasi dan kondisi organisasi yang dipimpinnya. Oleh sebab itu,
kepemimpinan yang efektif adalah keberhasilan pemimpin dalam memerankan
fungsi-fungsi kepemimpinan dengan baik yang sekaligus mampu membawa para
bawahan untuk melakukan tugas-tugasnya dengan seluruh kemampuan yang
dimilikinya.
2.1.3. Tipe Kepemimpinan
Bertolak dari pengertian kepemimpinan, maka di dalam kepemimpinan
ada tiga unsur yang saling berkaitan yaitu adanya unsur manusia, unsur sarana dan
unsur tujuan. Dan untuk dapat memperlakukan ketiga unsur tersebut secara
seimbang, seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan atau kecakapan dan
ketrampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kepemimpinannya.
Pengetahuan dan ketrampilan dapat diperoleh dari pengalaman belajar
secara teori ataupun dari pengalamannya dalam praktek selama menjadi
pemimpin. Namun secara tidak disadari seorang pemimpin dalam menempatkan

15
ketiga unsur tersebut dalam rangka menjalankan kepemimpinannya menurut
caranya sendiri dan cara yang digunakan merupakan pencerminan dari sifat-sifat
dasar kepribadian seorang pemimpin. Cara atau teknik seseorang dalam
menjalankan suatu kepemimpinan dikatakan sebagai strategi kepemimpinan
seseorang.

Adapun tipe kepemimpinan yang pokok ada tiga, yaitu menurut Lewin :
1. Tipe Otoriter
Tipe kepemimpinan yang berpusat pada pekerjaan tanpa menghiraukan
kepentingan anggota kelompok sama sekali. Keputusan senantiasa berada
ditangan pemimpin, anggota kelompok cederung dijadikan sebagai alat untuk
mengekploitir tujuan kelompok semata, sehingga tipe ini mempunyai kekuasaan
absolute.
2. Tipe Laizess Faire
Tipe Laizess faire ini memberikan kebebasan yang terlalu luas bagi
anggota kelompok, sehingga kelompok seolah-olah  tidak mempunyai seorang
pemimpin, sehingga anggota kelompok cenderung memperlihatkan perilaku
agresif yang tinggi.
3. Tipe Demokratis
Tipe demokratis merupakan pola kepemimpinan yang sama mementingkan
tercapainya tujuan kelompok seoptimal ,mungkin dengan mengikuti sertakan
seluruh partisipasi anggota, daya dan segenap kemampuan tanggung jawab
bersama. Itulah sebabnya ciri utama gaya kepemimpinan ini adalah
pendistribusian wewenang dan tanggung jawab pemimpin pada sejumlah anggota,
tanpa mengurangi partisipasi dan tanggung jawab terhadap kelompok secara
keseluruhan.
Menurut Sondang P. Siagian sebagaimana dikutip oleh Purwanto
(2003:115), bahwa tipe kepemimpinan dibagi menjadi lima beserta ciri-cirinya
sebagai berikut :
1.      Tipe Otoriter

16
Seorang pemimpin yang tergolong otoriter memiliki serangkaian
karakteristik yang biasanya dipandang sebagai karakteristik yang negatif. Seorang
pemimpin otoriter adalah seorang yang egois. Egoismenya akan memutarbalikkan
fakta yang sebenarnya sesuai dengan apa yang secara subjektif
diinterpretasikannya sebagai kenyataan. 
Dengan egoismenya, pemimpin otoriter melihat peranannya sebagai sumber
segala sesuatu dalam kehidupan organisasional. Egonya yang besar
menumbuhkan dan mengembangkan persepsinya bahwa tujuan organisasi identik
dengan tujuan pribadinya. Dengan persepsi yang demikian, seorang pemimpin
otoriter cenderung menganut nilai organisasional yang berkisar pada pembenaran
segala cara yang ditempuh untuk pencapaian tujuannya. Berdasarkan nilai
tersebut, seorang pemimpin otoriter akan menunjukkan sikap yang menonjolkan
keakuannya dalam bentuk :
1) Kecenderungan memperlakukan bawahan sama dengan alat lain
dalam organisasi
2) Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas 
3) Pengabaian peranan bawahan dalam proses pengambilan keputusan   
Sikap pemimpin demikian akan menampakkan diri pada perilakunya
dalam berinteraksi dengan bawahannya, misalnya tidak mau menerima saran dan
pandangan bawahannya, menonjolkan kekuasaan formal. Dengan persepsi, nilai,
sikap, dan perilaku demikian, seorang pemimpin yang otoriter dalam praktek akan
menggunakan gaya kepemimpinan sebagai berikut :
1) Menuntut ketaatan penuh bawahannya.
2) Menegakkan disiplin dengan kaku.
3) Memberikan perintah atau instruksi dengan keras.
4) Menggunakan pendekatan punitip dalam hal bawahan melakukan
penyimpangan.
2. Tipe Paternalistik 
Tipe pemimpin ini umumnya terdapat pada masyarakat tradisional.
Popularitas pemimpin yang paternalistik mungkin disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain :

17
1) Kuatnya ikatan primordial.
2) Extended family system (Kehidupan masyarakat yang komunalistik).
3) Peranan adat istiadat yang kuat.
4) Masih dimungkinkan hubungan pribadi yang intim
Persepsi seorang pemimpin yang paternalistik tentang peranannya dalam
kehidupan organisasi dapat dikatakan diwarnai oleh harapan bawahan kepadanya.
Harapan bawahan berwujud keinginan agar pemimpin mampu berperan sebagai
bapak yang bersifat melindungi dan layak dijadikan sebagai tempat bertanya dan
untuk memperoleh petunjuk, memberikan perhatian terhadap kepentingan dan
kesejahteraan bawahannya.
Pemimpin yang paternalistik mengharapkan agar legitimasi
kepemimpinannya merupakan penerimaan atas peranannya yang dominan dalam
kehidupan organisasional. Berdasarkan persepsi tersebut, pemimpin paternalistik
menganut nilai organisasional yang mengutamakan kebersamaan. Nilai tersebut
mengejawantah dalam sikapnya seperti kebapakan, terlalu melindungi bawahan.
Sikap yang demikian tercermin dalam perilakunya berupa tindakannya yang
menggambarkan bahwa hanya pemimpin yang mengetahui segala kehidupan
organisasional, pemusatan pengambilan keputusan pada diri pemimpin. Dengan
penonjolan dominasi keberadaannya dan penekanan kuat pada kebersamaan, gaya
kepemimpinan paternalistik lebih bercorak pelindung, kebapakan dan guru.
3. Tipe Kharismatik
Seorang pemimpin yang kharismatik memiliki karakteristik yang khas
yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut
yang sangat besar dan para pengikutnya tidak selalu dapat menjelaskan secara
konkret mengapa orang tertentu itu dikagumi. Pengikutnya tidak mempersoalkan
nilai yang dianut, sikap, dan perilaku serta gaya yang digunakan pemimpin itu.
4. Tipe Laissez Fair
Persepsi seorang pemimpin yang laissez fair melihat perannya sebagai
polisi lalu lintas, dengan anggapan bahwa anggota organisasi sudah mengetahui
dan cukup dewasa untuk taat pada peraturan yang berlaku. Seorang pemimpin

18
yang laissez fair cenderung memilih peran yang pasif dan membiarkan organisasi
berjalan menurut temponya sendiri.
Nilai yang dianutnya biasanya bertolak dari filsafat hidup bahwa manusia
pada dasarnya memiliki rasa solidaritas, mempunyai kesetiaan, taat pada norma,
bertanggung jawab. Nilai yang tepat dalam hubungan atasan –bawahan adalah
nilai yang didasarkan pada saling mempercayai yang besar. Bertitik tolak dari
nilai tersebut, sikap pemimpin laissez faire biasanya permisif. Dengan sikap yang
permisif, perilakunya cenderung mengarah pada tindakan yang memperlakukan
bawahan sebagai akibat dari adanya struktur dan hirarki organisasi. Dengan
demikian, gaya kepemimpinan yang digunakannya akan dicirikan sebagai
berikut:   
1) Pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif.
2) Pengambilan keputusan diserahkan kepada pejabat pimpinan yang
lebih rendah. 
3) Status quo organisasional tidak terganggu. 
4) Pengembangan kemampuan berpikir dan bertindak yang inovatif dan
kreatif diserahkan kepada anggota organisasi. 
5) Intervensi pemimpin dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat
yang minimal. 
5. Tipe Demokratik 
Ditinjau dari segi persepsinya, seorang pemimpin yang demokratik
biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator. Karenanya,
pendekatan dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya adalah holistik dan
integralistik. Seorang pemimpin yang demokratik menyadari bahwa organisasi
harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka tugas
dan kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan organisasi.
Seorang pemimpin yang demokratik melihat bahwa dalam perbedaan sebagai
kenyataan hidup, harus  terjamin kebersamaan.
Nilai yang dianutnya berangkat dari filsafat hidup yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia, memperlakukan manusia dengan cara yang
manusiawi. Nilai tersebut tercermin dari sikapnya dalam hubungannya dengan

19
bawahannya, misalnya dalam proses pengambilan keputusan sejauh mungkin
mengajak peran serta bawahan sehingga bawahan akan memiliki rasa tanggung
jawab yang besar.
Dalam hal menindak bawahan yang melanggar disiplin organisasi dan
etika kerja, cenderung bersifat korektif dan edukatif. Perilaku kepemimpinannya
mendorong bawahannya untuk menumbuhkembangkan daya inovasi dan
kreativitasnya. Karakteristik lainnya adalah kecepatan menunjukkan penghargaan
kepada bawahan yang berprestasi tinggi. 

Adapun tipe kepemimpinan menurut Barlett dalam Purwanto (2003:117)


adalah :
1) Tipe Institusional. Otoritas dari pemimpin didasarkan atas adat
kebiasaan atau peraturan-peraturan yang telah disepakati.
2) Tipe Dominan. Adalah tipe pemimpin yang biasanya menggunakan
paksaan ataupun dengan kekerasan dalam menyelesaikan suatu
masalah.
3) Tipe Persuasif. Adalah tipe pemimpin yang dalam pendekatan kepada
yang dipimpin digunakan cara membujuk, tidak dengan paksaan,
memberikan sugesti-sugesti agar yang dipimpin dapat mengikuti apa
yang dikehendaki oleh pemimpin.
2.2. Organisasi Pendidikan
2.2.1. Pengertian Organisasi Sekolah
Istilah organisasi secara etimologi berasal dari bahasa latin organum yang berarti
alat. Sedangkan, organize (bahasa Inggris) berarti mengoranisasikan yang
menunjukkan tindakan atau usaha untuk mencapai sesuatu. Organizing
(pengorganisasian) menunjukkan sebuah proses untuk mencapai sesuatu.
Organisasi sebagai salah satu fungsi manajemen sesungguhnya telah banyak
didefinisikan oleh para ahli. (Kurniadin & Machali, 2014:239)
Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1996) mengartikan organisasi sebagai
wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya
tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri. Robbins mendefinisikan

20
organisasi sebagai kesatuan (entity) sosial yang di koordinasikan secara sadar
dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar
yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok
tujuan. Prajudi Atmosudirjo mengemukakan bahwa organisasi adalah struktur
pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang-orang
pemegang posisi yang bekerja sama secara tertentu untuk bersama-sama
mencapai suatu tujuan tertentu (Kurniadin & Machali, 2014:239).
Organisasi secara umum dapat diartikan memberi struktur atau susunan
yakni dalam penyusunan penempatan orang-orang dalam suatu kelompok kerja
sama, dengan maksud menempatkan hubungan antara orang-orang dalam
kewajiban-kewajiban, hak-hak dan tanggung jawab masing-masing. Dalam suatu
susunan atau struktur organisasi dapat dilihat bidang, tugas dan fungsi masing-
masing kesatuan serta hubungan vertikal horizontal antara kesatuan-kesatuan
tersebut.
Dalam penyelenggaraan pendidikan lembaga pendidikan tidak dapat lepas
dari organisasi negara. Untuk organisasi ini Mulyani A Nurhadi membedakan
menjadi dua yaitu organisasi makro dan mikro. Organisasi pendidikan makro
adalah organisasi pendidikan dilihat dari segi organisasi secara luas. Dalam
struktur organisasi, organisasi pendidikan pada tingkat makro dibedakan atas :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tingkat Pusat, Kantor Wilayah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Pendidikan Dan Kebudayaan di
Kabupaten/Kotamadya dan Kantor Pendidikan dan Kebudayaan tingkat
Kecamatan. Organisasi pendidikan mikro adalah organisasi pendidikan dilihat
dengan titik tolak dengan unit-unit yang ada pada suatu sekolah atau lembaga
pendidikan penyelenggara langsung proses belajar mengajar. Struktur disetiap
sekolah atau lembaga tidak seluruhnya sama. Mungkin disuatu sekolah terdapat
sesuatu unit sekolah yang disekolah lain tidak terdapat karena disebabkan
kekurangan tenaga atau sarana lain. (Wordpress,2012)
Organisasi sekolah adalah sistem yang bergerak dan berperan dalam
merumuskan tujuan pendewasaan manusia sebagai mahluk sosial agar mampu
berinteraksi dengan lingkungan. Dengan begitu  disana kita bisa belajar

21
bagaimana cara menyikapi diri kita ketika berhadapan dengan suatu masalah
sehingga kita bisa menyelesaikannya. Dengan pendewasaan maka kita dapat
menyikapi masalah kita dengan baik dan kita juga mampu berinteraksi sebagai
mana peran kita didalam suatu lingkungan.
Dari definisi tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa organisasi adalah
sebuah bentuk atau sistem yang terdiri dari sekelompok manusia yang
berkerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Oleh sebab itu sekolah dikatakan
sebagai sebuah organisasi karena sekolah didirikan untuk mencapai tujuan
bersama khususnya di bidang pendidikan.
2.2.2. Aspek – Aspek Organisasi
Aspek-aspek dalam organisasi adalah komponen-komponen yang harus
ada dalam suatu organisasi. Keberadaan komponen ini sebagai pilar dari suatu
organisasi. Artinya jika salah satu komponen organisasi tidak berfungsi, maka
organisasi akan berjalan pincang atau sama sekali tidak berjalan. Dalam
pandangan sistem organisasi mengalami entrophy, yaitu kondisi dimana
organisasi dikategorikan hancur.
O’Connor, T (2008) yang dikutip oleh Tim Dosen UPI (2012:70),
mengungkapkan bahwa organisasi setidaknya harus memiliki empat komponen
utama, yaitu: mission (misi), goals (tujuan-tujuan), objectives (sasaran-sasaran),
dan behavior (perilaku). Keempat komponen ini dapat dilihat pada gambar
sebagai berikut:

MISSION GOALS

OBJECTIVES BEHAVIOR

Gambar 2.3.
Komponen Organisasi menurut O’Cornor (2008)
Sumber : Tim Dosen UPI (2012:70)

Mission adalah alasan utama keberadaan suatu organisasi. Goals adalah


tujuan-tujuan umum atau tujuan divisi-divisi fungsional organisasi yang

22
dihubungkan stakeholder organisasi. Objectives adalah hasil/sasaran yang
spesifik, terukur dan terkait dengan tujuan. Misalnya: peningkatan nilai ujian
nasional (UN) 0,5 dalam satu tahun ke depan. Sasaran ini biasanya mencantumkan
batasan waktu dan siapa yang bertanggungjawab terhadap sasaran tersebut.
Behavior adalah mengacu pada produktivitas dari tugas-tugas rutin pegawai.
Pertanggungjawaban perilaku dalam pencapaian tujuan merupakan fungsi
personalia. Dalam kebanyakan desain organisasi formal, komunikasi berada
diantara perilaku dan tujuan.
Keberadaan suatu organisasi tidak lepas dari empat komponen tersebut.
Jika suatu organisasi tidak memiliki sasaran yang harus dicapai oleh setiap orang
dalam organisasi, maka mereka akan kebingungan mengenai apa dan bagaimana
perilaku yang harus dimunculkan oleh pegawai. Jika suatu organisasi tidak
memiliki misi yang harus dilakukan, maka orang-orang dalam organisasi akan
kebingungan mengenai tujuan apa yang harus dicapai oleh organisasi. Hal ini
menunjukkan bahwa empat komponen organisasi tersebut saling terkait satu
saama lain, sehingga tidak akan berfungsi suatu organisasi jika salah satu
komponennya hilang.
2.2.3. Jenis-Jenis Organisasi
Organisasi terbagi atas tiga jenis yaitu organisasi formal, organisasi non
formal dan Organisasi Penyelenggara Pendidikan Nasional
1. Organisasi formal.
Organisasi formal adalah organisasi yang dicirikan oleh struktur
organisasi. Keberadaan struktur organisasi menjadi pembeda utama antara
organisasi formal dan informal. Struktur organisasi formal dimaksudkan untuk
menyediakan penugasan kewajiban dan tanggung jawab kepada personel dan
membangun hubungan tertentu diantara orang-orang pada berbagai kedudukan.
Menurut Sutisna (1993) dalam TIM Dosen UPI (2012:71) lembaga pendidikan
(SD/MI, SMP/MTs, SMU/MA) merupakan contoh organisasi formal.
Struktur dalam organisasi formal memperlihatkan unsur-unsur
administrasi sebagai berikut.

23
a) Kedudukan. Struktur menggambarkan letak atau posisi setiap orang
dalam organisasi.
b) Hierarki kekuasaan. Struktur digambarkan sebagai suatu rangkaian
hubungan antara satu orang dan orang lain dalam suatu organisasi.
c) Kedudukan garis dan staf. Organisasi garis menegaskan struktur
pengambilan keputusan, jalan permohonan, dan saluran komunikasi
resmi untuk melaporkan informasi dan mengeluarkan instruksi,
perintah, dan petunjuk pelaksana.
Bentuk atau skema struktur organisasi formal dapat berbentuk piramida,
mendatar, atau melingkar. Skeme-skema di bawah ini adalah contoh skema
struktur organisasi.

Gambar 2.4.
Struktur Organisasi Piramida
Sumber : https://www.academia.edu

Gambar 2.5.
Struktur Organisasi Mendatar
Sumber : https://www.academia.edu

Gambar 2.6.
Struktur Organisasi Melingkar
Sumber : https://www.academia.edu

24
2. Organisasi Informal
Sulit mendefinisikan organisasi informal akan tetapi keberadaan dan
karakteristiknya sangat akrab di tengah-tengah masyarakat kita. Karakteristik
organisa informal ini adalah adanya norma perilaku, tekanan untuk menyesuaikan
diri, dan adanya kepemimpinan informal.Norma perilaku adalah standar perilaku
yang diharapkan menjadi perilaku bersama yang ditetapkan oleh kelompok dalam
sebuah kesepakatan sosial sehingga sanksinya pun berupa sangsi sosial. Norma
perilaku dalam organisasi informal tidak tertulis sebagaimana organisasi formal,
tetapi menjadi kesepakatan bersama diantara orang-orang atau anggota kelompok/
organisasi.
Tekanan untuk menyesuaikan diri akan muncul apabila seseorang akan
bergabung dengan suatu kelompok informal. Tergabungnya seseorang dalam
kelompok informal bukan semata-mata fisik, melainkan melibatka sosio-
emosionalnya sehingga menjadi satu kesatuan dan saling memiliki di antara
anggota.Kepemimpinan informal dalam organisasi informal menjadi salah satu
komponen yang sangat kuat mempengaruhi orang-orang di dalam organisasi,
bahkan dimungkinkan melebihi kepemimpinan dalam organisasi formal.
Pemimpin informal munculdari kelompok dan membimbing serta mengarahkan
melalui persuasi dan pengaruh. Kepemimpinan semacam ini dapat dilihat dalam
kepemimpinan adat suku tertentu, kelompok, agama, dan lain-lain.
3. Organisasi Penyelenggara Pendidikan Nasional
Pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia terorganisasi sebagaimana
dapat dilihat dalam skema berikut :

25
Gambar 2.7.
Spektrum Kelembagaan Penyelenggara Pendidikan
Sumber : https://www.academia.edu
2.2.4. Bentuk-Bentuk Organisasi Sekolah
Setiap unit kerja dipimpin oleh seorang kepala/pimpinan yang menduduki
posisi menurut tingkat unit kerjanya di dalam keseluruhan organisasi. Posisi,
tanggung jawab dan wewenang di dalam suatu kelompok formal terikat pada
struktur dan dibatasi oleh peraturan-peraturan yang mendasari pembentukan
organisasi kerja tersebut. Hubungan kerja yang didasari wewenang dan tanggung
jawab, baik secara vertikal maupun horizontal dan diagonal akan menunjukan
pola tertentu sebagai mekanisme kerja. Dengan kata lain pembagian tugas,
pelimpahan wewenang dan tanggung jawab serta arus perwujudan tugas, akan
menggambarkan tipe atau bentuk organisasi kerja (Daryanto, 2013:123).
Tipe-tipe organisasi itu antara lain:
1. Organisasi Lini (Line Organization)
Dalam tipe ini semua hak dan kekuasaan berada pada pimpinan tertinggi.
Personal yang lain disebut bawahan tidak mempunyai hak dan kekuasaan sekecil
apa pun karena hanya berkedudukan sebagai pelaksana tugas dari atasan. Tidak
dibenarkan adanya inisiatif dan kreativitas, semua tugas harus dilaksanakan
sebagaimana diperintahkan. Saluran perintah dan penyampaian tanggung jawab
dalam organisasi tipe ini dilakukan melalui prosedur dari atas ke bawah dan
sebaliknya
2. Organisasi Staf (Staff Organization)

26
Dalam tipe ini semua hak, kekuasaan dan tanggung jawab dibagi habis
pada unit kerja yang ada secara bertingkat. Setiap unit memperoleh sebagian hak
dalam menentukan kebijakan sepanjang tidak bertentangan dengan kebijaksanaan
umum dari pimpinan tertinggi. Wewenang dan tanggung jawab dilimpahkan
secara luas, sehingga pimpinan berkedudukan sebagai koordinator. Tanggung
jawab disampaikan secara bertingkat sesuai dengan hak dan kekuasaan yang
dilimpahkan.
3. Bentuk Gabungan (Line and Staff Organization)
Tipe ini sebagai gabungan dari kedua tipe di atas, menempatkan pimpinan
tertinggi sebagai pemegang hak dan kekuasaan tertinggi dan terakhir. Tidak
semua hak, kekuasaan dan tanggung jawab dibagi habis pada unit kerja yang ada,
tugas yang bersifat prinsipil tetap berada pada atasan/pimpinan tetinggi. Pimpinan
unit kerja sebagai staf memperoleh wewenang dalam bidang kerja masing-masing
sepanjang tidak berhubungan dengan tugas yang menjadi wewenang atau
kekuasaan pimpinan tertinggi.
4. Organisasi Fungsional (Fungsional Organization)
Dalam tipe ini pembagian hak dan kekuasaan dilakukan berdasar fungsi
yang diemban oleh unit kerja dan terbatas pada tugas-tugas yang memerlukan
keahlian khusus. Sehingga personal yang diangkat dan menerima wewenang
untuk menjalankan kekuasaan diserahkan pada orang yang mempunyai keahlian
dalam bidang kerja masing-masing. Wewenang yang dilimpahkan dibatasi
mengenai bidang teknis yang memerlukan keahlian tertentu secara khusus.
(Daryanto, 2013:123).
2.3.Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan
2.3.1. Pengertian Mutu Pendidikan
Secara sederhana mutu dapat dimaknai sebagai ukuran baik buruk suatu
benda, kadar, taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan dan sebagainya) dan
kualitas. Menurut Suryobroto (2004:33) konsep mutu mengandung pengertian
makna derajat (tingkat) keunggulan satu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa
barang maupun jasa, baik yang tangible maupun intangible. Pada awalnya konsep

27
mutu banyak dipakai di lingkungan pabrik penghasil barang-barang nyata yang
relatif mudah diukur baik atau buruknya.
Lebih lanjut Suryobroto (2004:34) memberikan batasan mengenai
pengertian mutu dalam konteks pendidikan yang mengacu pada proses pendidikan
dan hasil pendidikan. Interpretasi yang lebih jelas dan operasional dari mutu
pendidikan disampaikan oleh Depdiknas sebagai “the capacity of school as an
institution to provide and utilize educational resources effectively so as toimprove
learning capacity”. Maksud dari pengertian ini diarahkan pada mutu lembaga
pendidikan sebagai sebuah institusi yang harus memberikan dan memanfaatkan
sumber-sumber pendidikan secara efektif sehingga dapat meningkatkan proses
pembelajaran. Sumber-sumber dimaksud adalah seluruh komponen mulai dari
input, proses pendidikan, komponen siswa, dan komponen hasil belajar (learning
outcomes).
Pengertian di atas kemudian dijabarkan oleh Direktorat Dikmenum dalam
kaitannya dengan komponen-komponen mutu pendidikan, antara lain: a) Siswa
terkait dengan kesiapan dan motivasi belajarnya, b) Guru terkait dengan
kemampuan professional, kemampuan personal, dan kemampuan social, c)
Kurikulum terkait dengan relevansi content dan operasionalisasi proses
pembelajarannya, d) Dana, sarana dan prasarana, terkait dengan kecukupan dan
keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran, e) Masyarakat terkait dengan
partisipasinya dalam pengembangan program pendidikan di lembaga.
Sebagaimana dikutip Widjaja (2004:22), Gregory B. Hutchins menyatakan
bahwa mutu adalah:
a. Kesesuaian/kecocokan dengan spesifikasi dan standar yang berlaku.
b. Cocok/pas untuk digunakan (fitnes for use).
c. Dapat memuaskan keinginan, kebutuhan dan pengaharapan pelanggan
dengan harga yang kompetitif.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa mutu
pendidikan adalah ukuran baik buruk dalam pendidikan yang tertuang dalam
bentuk kepandaian, kecerdasan dan sebagainya.
2.3.2. Strategi Kepala Madrasah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan.

28
Dunia pendidikan sampai dengan abad 21 ini akan tetap menjadi kajian
yang tak ada habis-habisnya, bahkan sampai pada akhir zaman nanti. Berbagai
upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan telah banyak dilakukan dengan
berbagai bentuk kebijakan dan inovasi yang dicetuskan. Banyak cara yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun semuanya itu kembali
kepada faktor manusia yang menjalankannya. Oleh sebab itu manusia yang berada
di dalam lingkungan pendidikan harus berusaha menjadi professional.Aktor kunci
yang mengemban dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah adalah Kepala
Madrasah sebagai Manajer Madrasah dan Guru sebagai Manajer Kelas.
Kepemimpinan Kepala Madrasah yang kuat (demokratis) akan juga sangat
mendukung karakter peningkatan mutu pendidikan. Kepemimpinan yang kuat ini
meliputi beberapa kemampuan, antara lain: a) Kemampuan Manajerial, b)
Kemampuan Memobilisasi, c) Memiliki otonomi luas.
Untuk melihat sejauh mana kepemimpinan seorang kepala madrasah bisa
dikatakan kuat, ada beberapa indikator yang bisa digunakan antara lain: a) Bisa
dihubungi dengan mudah, b) Bersifat responsif kepada guru dan siwa, c)
Responsif kepada orang tua dan masyarakat, d) Melaksanakan kepemimpinan
yang berfokus pada pembelajaran, e) Menjaga agar rasio antara guru/siwa sesuai
dengan rasio ideal.
Posisi Kepala Madrasah sebagai pemimpin, organisator, manajer dan
supervisor pendidikan tidak dapat dipungkiri lagi. Sebagai pemimpin, Kepala
Madrasah harus dapat menerapkan orientasi kepemimpinannya sesuai dengan
bawahan yang dipimpinnya. Sebagai organisator, ia dituntut untuk menyusun
struktur organisasi yang tepat, penempatan personel pada tempat yang tepat,
jabatan pekerjaan dan tugas yang jelas, dan mekanisme kerja yang pasti dan tegas.
Sebagai Manajer, Kepala Madrasah harus dapat menerapkan fungsi-fungsi
manajemen mulai dari perencanaan sampai evaluasi dan pelaporan dengan lancar.
Yang terakhir sebagai supervisor ia harus dapat membina, mengembangkan,
memperbaiki, dan meningkatkan semua sumberdaya yang ada di sekolah demi
peningkatan mutu pendidikan di sekolah (madrasah).

29
BAB III
PEMBAHASAN

Pembahasan dalam makalah ini adalah hasil pengamatan dan pengalaman


penulis selama menjadi salah satu tenaga pengajar (Guru) di Madrasah
Tsanawiyah Negeri Kaledupa.
3.1. Tipe Kepemimpinan Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN)
Kaledupa
Berdasarkan pengamatan penulis, tipe kepemimpinan Kepala Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kaledupa adalah tipe demokratis. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai karakteristik kepemimpinannya yaitu dalam
kepemimpinannya, kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kaledupa
memposisikan kepemimpinannya bukan sebagai seorang pejabat, melainkan
sebagai pemimpin yang berada di tengah-tengah anggota kelompoknya.
Hubungan kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kaledupa dengan
anggota kelompoknya bukan sebagai pemimpin ke bawahan.
Dalam prakteknya, kepala madrasah memandang semuanya sama, tidak
ada perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, kecuali adanya satu
tanggungjawab terhadap lembaga. Rasa tanggung jawab itupun disadari sebagai
wujud penghambaannya kepada Tuhan sekaligus wujud pengabdian pada

30
lembaga. Sehingga mereka selalu berusaha meningkatkan kualitas diri dengan
melakukan perbaikan secara menyeluruh. Dan kuncinya adalah bagaimana kepala
madrasah tidak memandang mereka sebagai pekerja yang harus kami pekerjakan.
Kepala Madrasah juga biasa melakukan supervisi dan bantuan kepada para
bawahan (guru). Para guru diberikan arakah dengan seksama, dalam memberikan
arahan tersebut terlihat seperti bapak yang memberikan arahan kepada anaknya,
kepala madrasah tidak kelihatan seperti seorang atasan. Tetapi demikian ternyata
para bawahannyapun sangat menghormatinya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa tipe kepemimpinan
yang diterapkan oleh kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kaledupa
dalam peningkatan mutu pendidikan adalah tipe kepemimpinan yang demokratis.
Dalam melaksanakan tugasnya, kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN)
Kaledupa selalu mengedepankan kerjasama dengan bawahan dan para guru untuk
mencapai tujuan bersama. Ia selalu memupuk rasa kekeluargaan dan persatuan,
dan senantiasa berusaha membangun semangat anggota-anggotanya dalam
menjalankan dan mengembangkan daya kerjanya.
Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pengertian untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Kepala madrasah selalu memberi contoh, selalu
memberi dorongan, selalu memupuk rasa kekeluargaan dan persatuan, dan
senantiasa berusaha membangun semangat anggota-anggotanya. Lebih jauh
kepala madrasah selalu memberikan dorongan kepada para bawahan dan para
guru secara praktis, memberikan suri tauladan yang baik kepada para bawahan.
Beliau berupaya semaksimal mungkin dengan memberikan keefektifan kepada
para anggota dan bawahannya untuk melaksanakan kinerja secara bersama-sama
dalam mencapai mutu pendidikan di lembaga ini.
Dalam meningkatkan mutu pendidikan juga, kepala Madrasah Tsanawiyah
Negeri (MTsN) Kaledupa ketika bertindak selalu bertolak pada kepentingan dan
kebutuhan para guru dan bawahannya dan mempertimbangkan kesanggupan serta
kemampuannya. Ia selalu tanggap akan keberadaan para guru dan bawahan, selalu
bertanya keberadaan mereka seputar kompetensi akademik lembaga. Sebagai
seorang pemimpin, kepala madrasah sadar akan keberadaan para bawahan. Untuk

31
itu ketika dia bertindak selaku seorang kepala, dia selalu bertolak pada
kepentingan dan kebutuhan para guru dan bawahan dan mempertimbangkan
kesanggupan serta kemampuan mereka.
Selain itu dalam meningkatkan mutu pendidikan di MTsN Kaledupa,
kepala Madrasah selalu menerima pendapat, saran, masukan bahkan kritikan dari
para guru dan bawahannya. Lebih jauh ia sangat mengharapkan pendapat, saran,
masukan dan kritikan mereka. Dalam konteks ini, kepemimpinan kepala sekolah
dalam peningkatan mutu pendidikan terlihat dari keberadaan dan keberlangsungan
kelas tambahan (bimbingan) di sore hari sebagai kebijakan Kepala Madrasah
sebelumnya.
Hal ini juga terlihat pada saat kepala madrasah dalam memimpin rapat,
sangat terasa rasa kekeluargaan yang yang muncul. Dengan arif, kepala madrasah
dari awal sampai akhir memberikan waktu kepada peserta untuk dapat
memberikan masukan. Dan yang mengharukan bagi peneliti adalah ketika kepala
madrasah yang memberikan kesempatan kepada beberapa guru-guru muda
(termasuk peneliti) untuk memberikan ktitik dan masukan kepada keberadaan
mutu pendidikan di lembaga.
Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kaledupa dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan juga mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri
dan menaruh kepercayaan pula pada anggota-anggotanya bahwa mereka punya
kesanggupan bekerja dengan baik dan bertanggung jawab, khususnya dalam usaha
meningkatkan mutu pendidikan.
Yang paling mencolok dari kepemimpinan Kepala Madrasah Tsanawiyah
Negeri (MTsN) Kaledupa adalah ia selalu mengusahakan agar para guru dan
bawahan dapat lebih sukses daripada dirinya. Ia beranggapan bahwa keberhasilan
kepemimpinan dalam sebuah lembaga tidak sekedar hanya kesuksesan dalam
meningkatkan mutu pendidikannya, lebih jauh ia melihat bahkan keberhasilan dari
sebuah kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin bisa menghasilkan
para pemimpin yang secara kualitas lebih baik dari dirinya.
Kepemimpinan pendidikan merupakan persoalan yang utama dan yang
paling utama, karena berjalan tidaknya sebuah lembaga pendidikan sangat

32
bergantung pada kepemimpinan. Kepala madrasah harus bertanggung jawab atas
kelancaran dan keberhasilan semua urusan pengaturan dan pengelolaan madrasah
secara formal kepada atasannya atau secara informal kepada masyarakat yang
telah menitipkan anak didiknya.
Kepala madrasah sebagai seorang pendidik, administrator, pemimpin, dan
supervisor, diharapkan dengan sendirinya dapat mengelola lembaga pendidikan ke
arah perkembangan yang lebih baik dan dapat menjanjikan di masa depan. Dan
dengan kepemimpinan kepala madrasah pula mutu akademik dalam sebuah
lembaga pendidikan dapat terpenuhi.

3.2. Peran Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri Kaledupa Dalam


Meningkatkan Mutu Pendidikan
Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di Madrasah Tsanawiyah
Negeri (MTsN)Kaledupa, Kepala Madrasah menyatakan bahwa semuanya
kembali kepada sumberdaya manusia yang menjalankannya. Sehingga sumber
daya manusia (guru dan bawahan, serta kepala madrasah) di MTsN Kaledupa
harus ditingkatkan (Pembicaraan Kepala Madrasah dalam sebuah rapat, 2013).
Untuk mewujudkan peningkatan SDM tersebut, Kepala MTsN Kaledupa
menggunakan upaya sebagai berikut : a) Kepala Madrasah memberikan dorongan
kepada guru untuk melanjutkan studi, b) Kepala Madrasah memberikan
penyegaran, c) Kepala Madrasah mengikutsertakan pelatihan-pelatihan (Seminar,
Diskusi, dan Diklat) dan d) Kepala Madrasah menganjurkan untuk menambah
wawasan dengan banyak membaca.
Kepala madrasah selalu mendorong para guru dan staf terutama yang
masih muda supaya mau melanjutkan studi. Lebih-lebih dengan tuntutan jaman
yang semakin maju dan kebutuhan akan pendidikan, makanya ia sering
mengatakan pada mereka kalau ada kesempatan tolong sekolah lagi. Kepala
madrasah memberikan kesempatan kepada semua guru untuk melanjutkan studi.
Kepala MTsN Kaledupa sangat memahami posisi yang diembannya yakni sebagai
sebagai educator, pemimpin, organisator, inovator, motivator, manajer dan
supervisor. Adapun peran-peran itu kemudian dimanifestasikan dalam upaya

33
Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kaledupa dalam meningkatkan
mutu pendidikan di sana, yaitu: a) Kepala Sekolah (Melalui Waka Kurikulum)
Merombak Struktur Pembelajaran, b) Kepala Sekolah Memperbaiki Manajemen
Pembelajaran secara Total, c) Kepala Sekolah memberikan semangat dan
kesadaran kepada seluruh elemen lembaga untuk menjunjung komitmen dan
budaya mutu, d) Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam upaya peningkatan
mutu madrasah, antara lain melalui kerjasama dengan Madrasah Ibtidaiyahdan
Sekolah Dasar di sekitarnya, serta selalu mengadakan tali silaturahmi antara
Kepala Sekolah dengan para orang tua siswa.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1. Tipe kepemimpinan Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri Kaledupa
adalah tipe demoktaris. Hal ini dapat dilihat dari berbagai karakteristik
kepemimpinannya yaitu dalam kepemimpinannya, kepala Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kaledupa memposisikan
kepemimpinannya bukan sebagai seorang pejabat, melainkan sebagai
pemimpin yang berada di tengah-tengah anggota kelompoknya.
Hubungan kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kaledupa
dengan anggota kelompoknya bukan sebagai pemimpin ke bawahan.
2. Adapun upaya Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kaledupa
dalam meningkatkan mutu pendidikan, yaitu: a) Kepala Sekolah
(Melalui Waka Kurikulum) merombak struktur pembelajaran, b)
Kepala Sekolah memperbaiki manajemen pembelajaran secara total, c)
Kepala Sekolah memberikan semangat dan kesadaran kepada seluruh
elemen lembaga untuk menjunjung komitmen dan budaya mutu, d)
Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam upaya peningkatan mutu
madrasah.
4.2. Saran

34
1. Kepala madrasah agar tetap mempertahankan tipe kepemimpinan yang
telah dimilikinya sekarang ini.
2. Peningkatan mutu pendidikan secara terus menerus dilakukan sesuai
dengan kebutuhan lembaga dan masyarakat atau orang tua, dan
dilaksanakan atas dasar kekeluargaan, kebersamaan, keteladanan.

DAFTAR PUSTAKA
Daryanto, H.M. (2013). Administrasi dan Manajemen Sekolah. Jakarta: Rineka
Cipta.

Kurniadin. D & Machali I. (2014). Manajemen Pendidikan: Konsep & Prinsip


Pengelolaan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Mulyasa, E. (2013). Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi


Aksara.

(2014). Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, dan Implementasi.


Bandung: Remaja Rosdakarya.

Purwanto, M. Ngalim.(2003). Administrasi dan Supervisi Kependidikan. Bandung :


PT. Remaja Rosdakarya.

Rivai, V. dan Mulyadi, D. (2013). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Edisi


ke 3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Shulhan, Muwahid. (2013). Model Kepemimpinan Kepala Madrasah Dalam


Meningkatkan Kinerja Guru. Yogyakarta : Teras.

Soetopo, Hendyat. (2005).Pendidikan dan Pembelajaran; Teori, Permasalahan dan


Praktek. Malang: UMM Press.

Suryana, Asep. (2010). Kepemimpinan Pendidikan. http://file.upi.edu/Direktori di


akses tanggal 17 November 2014

Suryosubroto, B. (2004). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

35
Thoha, Miftah. (1995). Kepemimpinan dalam Manajemen: Suatu Pendekatan
Perilaku. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tim Dosen UPI. (2012). Manajemen Pendidikan. Bandung : Alfabeta.

Usman, Husaini. (2013). Manajemen: Teori, Praktek, dan Riset Pendidikan. Edisi
ke empat. Jakarta: Bumi Aksara.

Wahyudi. (2012). Kepemimpinan Kepala Sekolah. Bandung: Alfa Beta.

Warta. (2009). Kepemimpinan Kepala Madrasah Dalam Meningkatkan Mutu


Pendidikan. http://www.gurutrenggalek.comdi akses tanggal 17 November
2014

Widjaja,Tunggal.(2004).Manajemen Strategi. Edisi Pertama. Jakarta: Harvarindo

36

Anda mungkin juga menyukai