Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

A. PENGERTIAN ETIKA LINGKUNGAN


Keraf dan Imam (1995:42-43) membagi etika menjadi dua, yaitu etika umum dan
etika khusus. Etika umum adalah etika yang berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar
bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis,
teori-teori etika dan prinsipprinsip moral dasar, yang menjadi pegangan bagi manusia
dalam bertindak, serta tolak ukur dalam menilai baik buruknya suatu tindakan. Melalui
penjelasan ini maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa etika adalah cabang dari
filsafat umum.
Etika lingkungan adalah suatu disiplin ilmu tersendiri yang membicarakan hubungan
antara manusia dengan lingkungannya, juga tidak terlepas dari perhatiaannya terhadap
status moral makhluk hidup (biotis) dan tidak hidup (abiotis). Sebagai sebuah disiplin
ilmu tersendiri teori etika lingkungan sangat berkembang di negara-negara barat, hal ini
dikarenakan isu-isu lingkungan sudah sangat vokal terdengar dan bahaya dari kerusakan
lingkungan juga telah dirasakan oleh kebanyakan manusia di dunia ini. Sebagai etika
terapan maka disiplin ini memberikan harapan bagi perbaikan lingkungan dari aspek
moral manusia yang diwajibkan memelihara totalitas ekosistem jagat raya, di mana
manusia menjadi bagian integral yang tidak mungkin dipisahkan.
Etika lingkungan merupakan suatu konsep yang penting untuk dipahami, karena etika
lingkungan merupakan kajian baru yang membahas kaitan antara ilmu filsafat dan
biologi, khususnya lingkungan. Ilmu filsafat digunakan untuk berpikir secara mendalam
terhadap berbagai aspek yang menyangkut kehidupan manusia di alam, sedangkan ilmu
lingkungan digunakan untuk mengetahui dan memahami sistem kebumian dan kaitannya
yang kompleks antara lapisan kehidupan (biotik) dan lapisan non kehidupan (abiotik).
Oleh karena manusia merupakan salah satu komponen penting dalam lingkungan, maka
perilaku manusia dalam interaksinya dengan lingkungan yang dibuktikan dengan
aktivitasnya dalam mengolah dan memanfaatkan sumberdaya lingkungan harus
memperhatikan etika lingkungan.
Etika lingkungan merupakan nilai-nilai keseimbangan dalam kehidupan manusia
dengan interaksi dan interdependesi terhadap lingkungan hidupnya yang terdiri dari aspek
abiotik, biotik, dan kultur (Marfai, 2013). Etika lingkungan adalah penuntun tingkah laku
yang mengandung nilai-nilai positif dalam rangka mempertahankan fungsi dan
kelestarian lingkungan (Syamsuri, 1996). Etika lingkungan mempersoalkan bagaimana
sebaiknya perbuatan sesorang terhadap lingkungan hidupnya. Etika lingkungan adalah
berbagai prinsip moral lingkungan yang merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis
manusia dalam mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Dengan adanya etika
lingkungan, manusia tidak hanya mengimbangi hak dengan kewajibannya terhadap
lingkungan, tetapi juga membatasi tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai
kegiatan agar tetap berada dalam batas kelentingan lingkungan. Kelentingan lingkungan
adalah kemampuan lingkungan untuk berusaha pulih karena gangguan, asalkan gangguan
ini masih dapat diterima. Jika gangguan melebihi batas, maka lingkungan akan
kehilangan kelentingannya.
Manusia cenderung menjadi bagian dari potensi positif dan negatif dalam konservasi
lingkungan sangat dipengaruhi oleh cara pandang manusia terhadap lingkungannya.
Umumnya secara teoritis terhadap tiga model teori etika lingkungan yang menjadi sudut
pandang manusia (Darwis & Tantu, 2016; Hudha dkk, 2019), yaitu:
1) Shallow Environmental Ethics/Antroposentrisme (antropos = manusia) yaitu suatu
pandangan yang meletakkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta,
segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai
berdasarkan manusia dan kepentingannya. Alam hanya dilihat sebagai obyek, alat
dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Teori ini
bersifat egois sehingga teori ini dianggap sebagai etika lingkungan yang dangkal
dan sempit (Shallow Environmental ethics). Teori ini menyebabkan manusia
mengeksploitasi dan mengurus alam semesta demi memenuhi kepentingan dan
kebutuhan hidupnya tanpa mempedulikan alam;
2) Intermediate Environmental Etnics/Biosentrisme adalah suatu pandangan yang
menempatkan alam sebagai sesuatu yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri,
lepas dari kepentingan manusia. Teori ini melihat makhluk hidup bukan hanya
manusia saja, ada banyak hal dan jenis makhluk hidup yang memiliki kehidupan.
Pusat dari teori ini adalah kehidupan yang secara moral berlaku prinsip bahwa
setiap kehidupan di muka bumi ini memiliki nilai moral yang sama, sehingga
harus dilindungi dan diselamatkan;
3) Deep Environmental Etnics/Ekosentrisme adalah teori yang memandang antara
makhluk hidup (biotik) dan makhluk tak hidup (abiotik) saling terkait. Etika
diperluas untuk mencakup seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun
tidak. Menurut ekosentrisme, hal yang paling penting adalah bertahapnya semua
yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem yang sehat. Setiap
individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara saling
menguntungkan. Keseluruhan organisme saling membutuhkan, saling menopang
dan saling memerlukan. Etika ini mengusahakan mengusahakan keseimbangan
antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.
Perumusan prinsip-prinsip etika lingkungan bertujuan supaya dapat digunakan
sebagai pegangan dan tuntunan bagi perilaku manusia saat berhadapan dengan alam.
Terdapat sembilan prinsip dalam etika lingkungan (Keraf, 2010), yaitu:
1) Sikap hormat terhadap alam. Alam berhak untuk dihormati karena manusia
termasuk bagian dari alam. Manusia berkewajiban menghargai semua hak
makhluk hidup di alam untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara alamiah
sesuai dengan tujuan penciptaannya dengan cara memelihara, merawat, menjaga,
melindungi, dan melestarikan alam beserta seluruh isinya;
2) Sikap tanggung jawab. Prinsip tanggung jawab dilakukan secara bersama-sama
oleh semua orang yang dituntut dan terpanggil untuk bertanggung jawab
memelihara alam semesta ini sebagai milik bersama dengan rasa kepemilikan
yang tinggi. Jika alam dihargai manusia sebagai sesuatu yang bernilai bagi dirinya
maka rasa tanggung jawab akan muncul dengan sendirinya dalam diri manusia
meskipun yang dihadapinya adalah milik bersama;
3) Solidaritas kosmis. Prinsip ini mendorong manusia untuk menyelamatkan
lingkungan dan semua kehidupan di alam yang memiliki nilai yang sama dengan
kehidupan manusia. Solidaritas kosmis berfungsi untuk mengontrol perilaku
manusia dalam batas-batas keseimbangan serta mendorong manusia untuk
mengambil kebijakan yang berpihak pada alam dan lingkungan;
4) Kasih sayang dan kepedulian pada alam. Ini merupakan prinsip moral satu arah
yang artinya manusia melakukan suatu tindakan tanpa mengharapkan
suatubalasan serta tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan pribadi tetapi
semata-mata untuk kepentingan alam. Diharapkan semakin mencintai dan peduli
terhadap alam akan membuat manusia semakin berkembang menjadi manusia
yang matang dengan karakteristik mental dan spiritual yang kuat:
5) Tidak merugikan. Prinsip ini menunjukkan perilaku yang tidak perlu dilakukan
jika merugikan manusia maupun lingkungan alam atau mengancam eksistensi
makhluk hidup lain di alam semesta;
6) Hidup sederhana dan selaras dengan alam. Prinsip ini menekankan pada nilai dan
kualitas cara hidup bukan pada kekayaan, sarana dan standar material. Untuk
mewujudkan pola hidup sederhana, manusia sebaiknya hidup dengan bertenggang
rasa sebagai perwujudan suatu sikap;
7) Keadilan. Prinsip keadilan terutama membahas tentang peluang dan akses yang
sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan
kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berdampak positif pada kelestarian
lingkungan hidup serta dalam hal turut menikmati manfaatnya;
8) Demokrasi. Prinsip ini sangat terkait dengan hakikat alam yaitu alam semesta
sangat beraneka ragam. Seorang yang peduli terhadap lingkungan adalah orang
yang demokratis, dapat menerima multikulturalisme, diversifikasi pola tanam,
diversifikasi pola makan, dan keanekaragaman hayati dan lainnya;
9) Integritas moral. Prinsip ini terutama ditujukan kepada pejabat publik agar
memiliki sikap dan perilaku yang hormat serta memegang teguh prinsip-prinsip
moral yang mengamankan kepentingan publik. Mereka dituntut berperilaku bersih
dan disegani oleh publik karena memiliki kepedulian yang tinggi pada lingkungan
terutama kepentingan masyarakat.

B. PENGERTIAN DAN PENDEKATAN NILAI ETIKA LINGKUNGAN


1. Pengertian Nilai
Menurut Scheler, nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda.
Benda adalah sesuatu yang bernilai. Ketidaktergantungan ini mencakup setiap bentuk
empiris, nilai adalah kualitas apriori. Ketergantungan tidak hanya mengacu pada
objek yang ada di dunia seperti lukisan, patung, tindakan, manusia, dan sebagainya,
namun juga reaksi kita terhadap benda dan nilai.
Nilai sebagai kata benda konkret. Nilai di sini merupakan sebuah nilai atau nilai-
nilai yang sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti
nilainya, nilai dia, dan sistem nilai. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki
nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik
atau bernilai.
Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan
dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif
digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia
bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
Menurut Amril Mansur, tidak mudah untuk mendefinisikan tentang nilai, namun
paling tidak pada tataran prasis, nilai dapat disebut sebagai sesuatu yang menarik,
dicari, menyenangkan, diinginkan dan disukai dalam pengertian yang baik atau
berkonotasi positif

2. Pendekatan Nilai
Ada 3 pendekatan dalam filsafat berkenaan dengan nilai yaitu consequentialism,
deontology, dan virtue ethic. Konsep-konsep digunakan juga dalam etika lingkungan,
dengan mengetahui konsep-konsep tersebut diharapkan mahasiswa bisa melakukan
evaluasi tindakan manusia terhadap lingkungan.
1) Consequentialism
Consequentialism merupakan penilaian terhadap konsekuensi suatu tindakan
manusia. Konsekuensi tindakan manusia terhadap alam harus diatasi dengan
maksimalisasi nilai-nilai intrinsik dari alam. Dalam berinteraksi dengan
lingkungan manusia mempunyai tugas dan kewajiban: apakah yang
diperbolehkan, apa kewajiban kita, apa yang tidak diijinkan dalam rangka
memaksimalisasi nilai-nilai intrinsic dari lingkungan: misalnya melestarikan
alam dalam kondisi alamiah. Tindakan memaksimalkan nilai dengan jalan;
restorasi, atau menjaga kelestarian komuniti biotik dan abiotik dalam
linkungan tertentu.

2) Deontology
Etika deontology mengganggap bahwa alam dengan sendirinya mengandung
nilai intrinsik, kesadaran tentang nilai intrinsic ini menghambat manusia untuk
berbuat merusak lingkungan. Prinsip dari deontology adalah jangan merusak
hal-hal yang merusak nilai intrinsic.

3) Virtue Ethic
Menurut virtue ethic dalam hubungannya dengan alam; manusia adalah bagian
dari alam termasuk spesies-spesies lainnya. Alam mempunyai sisi normative,
Ide dan tindakan manusia harus baik secara moral dalam berhadapan dengan
alam.

3. Pendekatan – pendekatan dalam etika lingkungan


1) Pendekatan Antroposentrisme
Antroposentrisme memadang bahwa manusia sebagai pusat dari alam semesta
dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya
sekedar sebagai alat pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang
mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain yang ada di
alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian, sejauh dapat
menunjang dan demi kepentingan manusia. Manusia dianggap sebagai penguasa
alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam, termasuk melakukan
eksploitasi alam dan segala isinya, karena alam/lingkungan dianggap tidak
mempunyai nilai pada diri sendiri. Etika hanya berlaku bagi manusia. Segala
tuntutan mengenai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap lingkungan
hidup, dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan dan tidak pada tempatnya.
Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam hanya merupakan perwujudan
kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia. Pola hubungan
manusia dan alam hanya dilihat dalam konteks instrumental. Alam dinilai sebagai
alat bagi kepentingan manusia.
Kepedulian manusia terhadap alam, semata-mata dilakukan demi menjamin
kebutuhan manusia. Suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitannya
dengan lingkungan hidup akan dinilai baik apabila mempunyai dampak yang
menguntungkan bagi kepentingan manusia.
Hubungan manusia dan alam tersebut bersifat egoistis, karena hanya
mengutamakan kepentingan manusia. Sedangkan kepentingan alam semesta dan
makluk hidup lainnya, tidak menjadi pertimbangan moral.

2) Pendekatan Biosentrisme
Biosentrisme berpendapat bahwa tidak benar apabila hanya manusia yang
mempunyai nilai, akan tetapi alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri
yang terlepas dari kepentingan manusia.
Setiap kehidupan dan makluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada
dirinya sendiri, sehingga semua makluk pantas mendapat pertimbangan dan
kepedulian moral. Alam perlu diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia
bernilai bagi manusia atau tidak.
Setiap kehidupan yang ada di muka bumi ini memiliki nilai moral yang sama,
sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Manusia mempunyai nilai moral dan
berharga justeru karena kehidupan dalam diri manusia bernilai pada dirinya
sendiri. Hal ini juga berlaku bagi setiap entitas kehidupan lain di alam semesta.
Artinya prinsip yang sama berlaku bagi segala sesuatu yang hidup dan yang
member serta menjamin kehidupan bagi makluk hidup. Alam semesta bernilai
moral dan harus diperlakukan secara moral, karena telah memberi begitu banyak
kehidupan.
Seluruh kehidupan di alam semesta sesungguhnya telah membentuk
komunitas moral. Oleh karena itu, setiap kehidupan makluk apapun pantas
dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral,
terlepas dari perhitungan untung rugi bagi kepentingan manusia.
Manusia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral atas keeberadaan
dan kelangsungan hidup semua organisme, karena mereka adalah subyek moral.
Manusia juga memiliki kewajiban dan tanggung jawan moral kepada benda-
benda/lingkungan abiotik, karena semua makluk hidup, termasuk manusia sebagai
subyek moral, bergantung pada eksistensi dan kalitas bendabenda abiotik.

C. IMPILIKASI ETIKA LINGKUNGAN TERHADAP PENDIDIKAN LINGKUNGAN


HIDUP
Implementasi diartikan sebagai pelaksanaa atau penerapan. Bentuk kata kerjanya
adalah mengimplikasikan yang artinya melaksanakan atau menerapakan. Dalam pola
pembangunan yang bertaraf lingkungan hidup, sangat diperlukan yang namanya etika
lingkungan dalam proses pelaksanaannya.
Pola pembangunan dengan pengembangan lingkungan hidup memerlukan pengetatan
dalam penggunaan air dan tanah, serta sumber alam lainnya. Saingan dalam pemakaian
air, tanah, dan sumber alam mungkin tidak bisa dipecahkan melalui mekanisme pasar,
sehingga campur tangan pemerintah diperlukan. Ini berarti bahwa bagi sumber alam yang
semakin langka, pengendalian pemerintah akan semakin menonjol. Hal ini membuka
kemungkinan bagi penyalahgunaan wewenang, korupsi dan lain-lain. Karena itu sejalan
dengan kesertaan pemerintah dalam pengaturan sumber alam yang langka, diperlukan
pertumbuhan lembaga pengawasan yang semakin berimbang dengan kekuasaan
pemerintah. Proses demokratisasi perlu berjalan seiring dengan proses intervensi
pemerintah pada pengelolaan sumber alam yang dirasa menjadi langka.
Dalam kaitan pengelolaan sumber alam maka peranan teknologi mengikuti tantangan
yang dihadapkannya. Bidang-bidang yang memerlukan padat modal dan padat teknologi,
seperti petrokimia, minyak, gas bumi,industry dasar, dan lain-lain akan merangsang
pertumbuhan teknologi sebaliknya pengangguran yang masih besar, mendorong perlunya
mengembangkan kegiatan berpembangunan dengan pengembangan lingkungan tenologi
sederhana. Dalam hubungan ini perkembangan industri kecil akan memegang peranan
penting (Emil salim, 1986).
Manusia merupakan bagian dari sistem lingkungan hidup yang melingkupinya. Secara
umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi keadaan dan pengaruh
yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal-hal yang hidup,
termasuk kehidupan manusia.
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki tanggung jawab moral akan
keberlangsungan alam sekitar. Salah satunya adalah kepedulian terhadap lingkungan,
sehingga manusia menjalankan perannya untuk melakukan pelestarian lingkungan. Dari
analisis tersebut dapat diduga bahwa terdapat hubugan posistif antara pengetahuan
lingkungan hidup dengan partisipasi dalam pelestarian lingkungan.
Selama berabad-abad manusia berikut segala isi lingkungan hidup terus tumbuh
berkembang. Selama itu sungguhpun ada persoalan lingkungan hidup, namun keadaannya
tidaklah gawat. Kemampuan manusia dalam mengolah, mengganggu kaseimbangan
sistem lingkungan hidup itu. Ketidak-seimbangan yang mungkin ada ketika itu dapat
dipulihkan kembali oleh sistem lingkungan hidup itu sendiri.
Tetapi kemudian menonjol dua hal yang memiliki kemampuan untuk
menggoncangkan keseimbangan lingkungan hidup. Petama, adalah perkembangan
teknologi yang berhasil diwujudkan oleh akal dan otak manusia. Revolusi industri adalah
kelanjutan dari penemuan teknologi berupa tenaga uap. Dan penemuan teknologi manusia
tidak berhenti di sini. Teknologi sekarang telah berhasil membawa manusia menjelajahi
ruang angkasa dan mendaratkannya di bulan. Bahkan hidup itu sendiri sudah
dieksperimenkan sepeti bayi tabung, sapi suntikan, dan lain-lain. Perkembangan teknologi
serupa ini merubah keadaan yang berada di ruang lingkungan hidup. Sehingga timbul
gangguan pada keseimbangan sistem lingkungan hidup. Apabila ganguan ini dibuat oleh
manusia sendiri maka pemulihan keseimbangn sistem lingkungan hidup harus pula di
usahakan manusia. Maka di sinilah tersimpul keperluan untuk mengindahkan
pengembangan lingkungan hidup dalam menjalankan pembangunan itu. Pembangunan
yang memuat unsur perubahan sehingga menimbulkan ketidak-seimbangan lingkungan
perlu dilaksanakan dengan cara dan secara sadar memungkingkan pemulihan
keseimbangan lingkungan hidup itu kembali.
Hal kedua yang menggangu keseimbangan lingkungan adalah ledakan penduduk.
Selama pertambahan penduduk berada dalam batas kewajaran, maka pertambahan ini
tidak mengganggu terlalu banyak keseimbangan lingkungan. Tetapi apabila
perkembangan teknologi kemudian memungkinkan manusia meningkatkan
kesejahteraannya dan tingkat kematian dapat dikendalikan dan diturunkan, maka
timbullah ledakan penduduk yang menggoncangkan keseimbangan lingkungan. Manusia
yang bertambah begitu banyak pada ruang tempat yang terbatas dalam kurun-waktu yang
singkat menimbulkan persoalan lingkungan yang bersifat fisik, dan sosial. Maka
pertambahan dan pemusatan manusia yang besar dalam ruang lingkungan terbatas
menimbulkan permintaan besar terhadap air minum, tempat pemukiman, pembuangan
kotoran, dan kebutuhan hidup perorangan. Segala keperluan tidak berdiri sendiri tetapi
berkaitan dengan tersedianya air tanah, sungai, bukit yang hijau, hutan yang lestari, dan
lain-lain. Pemeliharaan kelestarian alam ini menjadi lebih mendesak apabila pertambahan
penduduk meningkat. Tetapi sebaliknya petambahan penduduk yang meningkat ini justru
menimbulkan “Lapar Tanah” sehingga menggundulkan bukit.
Dengan demikian, dengan adanya etika lingkungan hidup, pembangunan lingkungan
hidup lebih mudah terealisasi. Dikarenakan dalam etikaxlingkungan, masyarakat sudah
peduli tentang lingkungannya dan memeikirkanxhal apa yang harus mereka
konstribusikan pada lingkungan tersebut sehingga menjadi lingkungan yang asri dan
damai.

D. JENIS-JENIS ETIKA LINGKUNGAN


Etika lingkungan sangat dibutuhkan untuk memastikan semua aktivitas kita telah
melalui proses pertimbangan yang holistik dan cermat agar keseimbangan di alam
senantiasa lestari. Etika lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia
terhadap alam, tetapi juga mengenai hubungan di antara semua kehidupan alam semesta,
yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara
manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. Etika
lingkungan disebut juga etika ekologi. Etika ekologi selanjutnya dibedakan menjadi dua,
yaitu etika ekologi dangkal dan etika ekologi dalam.
1. Etika Ekologi Dangkal/Shallow Ecology
Etika ekologi dangkal merupakan pandangan bahwa lingkungan dan segala
komponennya ada untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pandangan ini sangat
antroposentris sehingga dikenal pula dengan teori antroposentrisme. Pandangan ini
umumnya mendukung filsafat rasionalisme ataupun humanisme. Pandangan ini juga
mendukung pengetahuan mekanistik yang diterapkan sebagian orang bahkan ahli
lingkungan, Sebagian ahli lingkungan berprinsip bahwa alam ada untuk dimanfaatkan
sebesar kebutuhan kita.
Teori antroposentrisme memandang bahwa manusia memiliki kedudukan tertinggi
dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia mempunyai martabat tertinggi di
antara sesama ciptaan Tuhan (Syamsuri, 1996). Keraf (2010), menjelaskan bahwa
antroposentrisme memandang manusia sebagai pusat atau titik fokus semua sistem di
alam semesta. Petersen (2006), menyebutkan bahwa antroposentrisme adalah etika
yang berpusat pada manusia hanya manusia memiliki nilai, ini berarti bahwa manusia
tidak peduli langsung pada non-manusia, meskipun mereka mungkin peduli jika lebih
lanjut kepentingan mereka sendiri (misalnya dalam hal kesejahteraan atau pemenuhan
hak).
Manusia dan kepentingannya adalah yang paling tinggi, paling menentukan, dan
harus selalu mendapat perhatian. Alam hanyalah alat untuk memuaskan manusia.
Antroposentrisme berpandangan bahwa tuntutan kewajiban dan tanggung jawab
moral terhadap alam adalah hal berlebihan, tidak logis, dan tidak ada relevansinya.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa teori ini mengedepankan keperluan, kepentingan, dan
interes manusia di atas segalanya. Segala hal yang menguntungkan manusia dianggap
benar dan sebaliknya segala hal yang merugikan manusia dianggap salah. Ukuran
moral yang ditetapkan manusia sangat subyektif sifatnya. Manusia memandang
dirinya sebagai subyek, sedangkan alam lingkungannya dianggap sebagai obyek
(Syamsuri, 1996)
Aristoteles (dalam Keraf, 2010), mencetuskan pemikiran yang jelas, yaitu
“tumbuhan disiapkan untuk kepentingan binatang dan binatang disediakan untuk
kepentingan manusia”. Berdasarkan argumen ini dapat disimpulkan bahwa “Setiap
ciptaan yang lebih rendah dimaksudkan untuk kepentingan ciptaan yang lebih tinggi.
Manusia adalah ciptaan yang lebih tingi dari semua ciptaan yang lain, berhak
menggunakan semua ciptaan termasuk semua makhluk hidup lainnya demi memenuhi
kebutuhan dan kepentingannya sebagai makhluk ciptaan yang lebih tinggi
kedudukannya. Manusia boleh memperlakukan ciptaan yang lebih rendah sesuai
dengan kehendaknya dan menggunakan sesuai dengan keinginannya”. Teori
antroposentrisme inilah yang membuat terbentuknya jenis etika lingkungan yang
disebut cenderung dangkal.
Etika lingkungan ini menitikberatkan pada 1) manusia tidak memiliki kaitan
dengan alam (terpisah), 2) hak manusia adalah hal yang utama terhadap alam, tetapi
manusia tidak perlu bertanggung jawab atas hal tersebut, 3) perasaan manusia adalah
titik prihatin, bukan alam, 4) kepentingan manusia adalah rujukan dalam pengambilan
kebijakan dan pengelolaan semua sumberdaya alam, 5) norma yang harus menjadi
pertimbangan utama adalah ”untung rugi”, 6) rencana untuk memenuhi kebutuhan
jangka pendek lebih utama, 7) untuk mengatasi krisis lingkungan, maka solusinya
adalah pembatasan populasi manusia terutama di negara tertinggal atau negara
berkembang, serta 8) pertumbuhan ekonomi harus diterima dan merupakan hal positif
(Crayonpedia, 2009).

2. Etika Ekologi Dalam (Deep Ecology)


Etika Ekologi Dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat
pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling
menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika
ekologi ini memiliki prinsip, yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai
bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri,
hak untuk hidup, dan hak untuk berkembang (Rija, 2011). Premisnya adalah
lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas
yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas di sini maksudnya adalah komunitas yang
menyertakan binatang, tumbuhan, serta alam.
Ekologi Dalam adalah suatu teori yang pertama kali diperkenalkan oleh Arne
Naess, seorang filsuf Norwegia tahun 1973, dan dikenal sebagai salah seorang tokoh
utama gerakan deep ecology hingga sekarang. Kajian itu digagas oleh Arne Naess
(1973) dalam artikel berjudul “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology
Movement”. Menurut Muhdi (2008) Naess mencoba untuk menguraikan pendekatan
yang lebih dalam yang lebih melihat secara rohani terhadap alam sehingga muncullah
kesadaran lingkungan.
Menurut Naess (1993), krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan
melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang
fundamental dan radikal. Hal yang dibutuhkan adalah sebuah pola atau gaya hidup
baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat
secara keseluruhan. Kita memerlukan paradigma baru untuk melihat sumber daya
alam kita secara holistik dan secara ekologis. Secara holistik dunia dipandang sebagai
suatu keseluruhan yang terpadu ketimbang suatu kumpulan bagian-bagian yang
terpisah-pisah. Ini berarti dibutuhkan etika lingkungan yang menuntun manusia untuk
berinteraksi di alam semesta.
Ekologi Dalam menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat hanya pada
manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitan dengan
upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Etika baru ini tidak mengubah sama
sekali hubungan antara manusia dengan manusia. Pandangan baru adalah manusia dan
kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Manusia bukan lagi
pusat pusat dari dunia moral, tetapi lebih menyangkut gerakan yang jauh lebih dalam
dan komprehensif dari sekadar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis. Serta
menuntut suatu pemahaman yang baru tentang relasi etis yang ada dalam alam
semesta disertai adanya prinsip-prinsip baru yang sejalan dengan relasi etis baru
tersebut, yang kemudian diterjemahkan dalam gerakan atau aksi nyata di lapangan
(Keraf, 2010).
Naes juga memperkenalkan istilah “ecosophy” sebagai dasar falsafah atas “deep
ecology”. “Eco” adalah “rumah tangga”, sementara “sophy” adalah “kearifan atau
kebijaksanaan (wisdom)”. Atas dasar itu, ecosophy dapat diartikan sebagai “kearifan
dalam mengatur hidup yang selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam
arti luas. Lingkungan bukan sekedar ilmu melainkan kearifan, cara hidup, dan pola
hidup selaras alam”.
Ekologi Dalam memberi penekanan pada: 1) Manusia merupakan komponen
alam; 2) Semua makhluk hak hidup memiliki hak sama, alam boleh dimanfaatkan
tetapi harus secara bijak; 3) Prihatin terhadap alam dan semua komponennya dan
sedih bila alam digunakan secara tidak bijak; 4) Kebijakan pengelolaan alam
berorientasi untuk semua makhluk; 5) Manusia tidak boleh menguasai alam dan harus
memanfaatkan secara berkelanjutan (secara lestari); 6) Plasma nutfah dan segala
keanekaragaman hayati harus dijaga dan dilindungi; 7) Sistem yang telah tertata di
alam harus dihargai dan dipelihara; 8) Berorientasi pada tujuan sejalan ekosistem
berkelanjutan; dan 9) Sistem yang berorientasi ekonomi dan campur tangan politik
dikritisi dan memberikan alternatif sistem dengan prinsip pemanfaatan sambil
memelihara.

E. PERAN MAHASISWA DALAM MEMBANGUN KEINGINAN


MENYELAMATKAN LINGKUNGAN
Mahasiswa merupakan generasi muda yang paling berperan besar terhadap perubahan
suatu lingkungan. Mahasiswa dianggap agent of change, dimana meraka menjadi
seseorang yang membawa perubahan dan di contoh oleh masyarakat. Mereka harus
mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal baik yang bisa berdampak untuk Negara
lain, dapat dimulai dengan hidup bersih dari sampah. Yang dimaksud disini, bukan berarti
kita tidak boleh memakai dan menghasilkan sampah.
Mahasiswa adalah generasi penerus bangsa yang diyakini mampu bersaing dan
mengharumkan nama bangsa, juga mampu menyatukan serta menyampaikan pikiran dan
hati nurani untuk memajukan bangsa. Mahasiswa juga dianggap sebagai kaum intelektual
atau kaum cendekiawan oleh masyarakat. Gabungan antara kesadara akan amanah dari
rakyat untuk Indonesia yang lebih baik dan kesempatan menjadi kaum intelektuallah yang
bisa menjadi kekuatan hebat untuk menjadikan Indonesia hebat. Selain itu mahasiswa
adalah aset yang sangat berharga. Harapan tinggi suatu bangsa terhadap mahasiswa
adalah menjadi generasi penerus yang memiliki loyalitas tinggi terhadap kemajuan
bangsa. terutama dalam dunia pendidikan.
Bukan zamannya lagi mahasiswa untuk sekedar menjadi pelaku pasif atau menjadi
penonton dari perubahan sosial yang sedang dan akan terjadi tetapi mahasiswa harus
mewarnai perubahan tersebut dengan warna masyarakat yang akan dituju dari perubahan
tersebut yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Peran mahasiswa disini adalah sadar terhadap lingkungan dan menjaga kebersihan
lingkungan kampus. Sebagai mahasiswa harus bisa menjadi contoh yang baik untuk adik
tingkatnya, serta masyarakat, agar ikut mendukung tercapainya tujuan dalam menjaga
kebersihan lingkungan dari sampah, supaya tidak menyebabkan penyakit ataupun hal-hal
yang tidka diingkan di masa depan.
Dalam menciptakan lingkungan kampus yang kondusif, deiperlukan juga kerja sama
dari berbagai elemen kampus, yang terdiri dari: mahasiswa, dosen, staff, petugas
kebersihan. Jika elemen-elemen tersebut terbentuk, bisa menciptakan hubungan kampus
yang harmonis, dan lingkungan kampus yang bersih akan tercipta. Selain hubungan antar
elemen-elemen kampus yang harmonis, fasilitas kampus juga dapatb mempengaruhi
terciptanya lingkungan kampus yang nyaman untuk mahasiswa dalam melaksanakan
proses belajar mengajar. Contohnya saja, tersedianya fasilitas wifi di setiap sudut gedung.
Hal ini akan memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas sehingga prestasi pun
juga bisa meningkat.
Karena itu, mulailah membuat perubahan dari diri sendiri, kemudian lakukan
pendekatan dengan orang sekitar secara perlahan agar semua orang disektiar kita mau
untuk menjaga lingkungan. Hal ini memang tidak mudah, namun kita bisa memberikan
pemahaman-pemahaman kecil yang bisa merubah cara berpikir orang lain.
DAPUS

Alis, La Ode, dkk. 2018. PERAN MAHASISWA SEBAGAI SOCIAL-CONTROL (Studi


Tentang Partisipasi Mahasiswa dalam Mengawasi Pengelolaan Dana Desa Di Desa
Kondongia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna). Neo Societal. Vol 3 (hlm 484-493)

Amril, Mansur. 2006. Implementasi Klarifikasi Nilai dalam Pembelajaran dan


Fungsionalisasi Etika Islam, Alfikra . Jurnal Ilmiah Keislaman. Vol 5

Faizah, Ulfi. 2020. Etika Lingkungan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Menurut Perspektif
Aksiologi. Jurnal Filsafat Indonesia. Vol 3 (hlm 14-22)

Hidayatullah, Syarif. 2018. IMPLEMENTASI ETIKA LINGKUNGAN DALAM


PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP.
https://www.researchgate.net/publication/329502813 . diakses pada Desember 2018.

Hudha, Atok Miftachul dan Abdulkadir Rahardjanto. 2019. ETIKA LINGKUNGAN (Teori
dan Praktik Pembelajarannya). Malang: UMM Press

http://metala.ukm.ums.ac.id/2020/09/peran-penting-mahasiswa-dalam-menjaga.html?m=1

Risieri, Frondizi. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Yogjakarta : Pustaka Pelajar

Suka, I. Ginting.-. Buku Bahan Ajar Teori Etika Lingkungan : Antroposentrisme dan
Ekosentrisme. - : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Sutoyo. -. PARADIGMA PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP. ADIL : Jurnal


Hukum. Vol 4 (hlm 192-206)

Anda mungkin juga menyukai