Anda di halaman 1dari 35

RESUME ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

A DENGAN
DIAGNOSA MEDIS TUBERCULOSIS PARU (TBC) PARU
DI RUANGAN IGD RS BHAYANGKARA

OLEH :

MELISA, S.Kep

7119351716

CI INSTITUSI CI LAHAN

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN (STIK)
FAMIKA MAKASSAR
T.A 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan

oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis) (Kemenkes RI, 2013).

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang

parenkim paru. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat

juga mengenai organ tubuh lainnya termasuk meninges, ginjal, tulang,

dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002).

Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma

pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensifitas yang diperantarai

sel (cell- mediated hypersensitivity) (Wahid dan Suprapto, 2014).

B. Etiologi

Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu

tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula

sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes RI, 2008).

Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan,

sinar matahari dan sinar ultraviolet (Nurarif dan Kusuma, 2013), tetapi

dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur selama beberapa

tahun (Depkes RI, 2008). Ada dua macam mikobakteria tuberkulosis

yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu
sapi yang menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa

berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC

terbuka (Nurarif dan Kusuma, 2013).

C. Klasifikasi TB Paru

Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas :

1. Berdasarkan organ yang terinvasi

a. TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak

termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan

dahak, TB Paru dibagi menjadi 2, yaitu :

1) TB Paru BTA Positif

Disebut TB Paru BTA (+) apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3

spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya

positif, atau 1 spesimen dahak SPS positif disertai

pemeriksaan radiologi paru menunjukan gambaran TB aktif.

2) TB Paru BTA Negatif

Apabila dalam 3 pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA

negatif dan pemeriksaan radiologi dada menunjukan

gambaran TB aktif. TB Paru dengan BTA (-) dan gambaran

radiologi positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan, bila

menunjukan keparahan yakni kerusakan luas dianggap berat.

b. TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh

lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung

(pericardium), kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal,


saluran kencing dan alat kelamin. TB ekstra paru dibagi

berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu :

1) TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura,

tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal

2) TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis,

TB tulang belakang, TB saluran kencing dan alat kelamin.

2. Berdasarkan tipe penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita :

a. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan

OAT atau sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

kurang dari satu bulan.

b. Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian

kembali berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif.

c. Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat

pengobatan di suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke

kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat

rujukan/pindah.

d. Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita

yang sudah berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti

2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.


E. Patofisiologi

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.

Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik

(droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya

kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non

spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya

sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi,

pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan

kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB

dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan

membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB

di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran

limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya

inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis)

yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau

tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,

sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat

adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan

antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar

(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).


Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga

terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa

inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada

proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman

hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya

berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara

2-12 minggu.

Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai

jumlah 10 3-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons

imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi

pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang

awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami

perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer

inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai

oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu

timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa

inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer

terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada

sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu

system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.

Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma.


Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke

dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan

paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk

fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan

enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan

enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus

primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap

selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi

yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe

regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan

pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang

berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus

sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar

limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat

awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang

berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus

akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar

yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak

dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB

endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat

menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan


gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai

lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas

seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada

penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional

membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran

hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar

ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang

menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam

bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread).

Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit

demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB

kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang

biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,

misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru

atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan

bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas

seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi

pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk

dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi

penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus


potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun- tahun

kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini

dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait,

misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran

hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic

spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan

beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat

menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut,

yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6

bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada

jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi

berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak

adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,

misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized

hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua

tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang

lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata

yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara

patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,

yang secara histologi merupakan granuloma.


Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah

protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila

suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya,

sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam

darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat

dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini

dapat terjadi secara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun

pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3

bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen,

TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran

limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini

biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis

endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar

regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).

Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia

terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat

reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna.

Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan

dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang

terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang

terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3
tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi

primer (Wahid dan Suprapto, 2014).


F. Pathway
G. Manifestasi klinik

Tanda dan gejala tuberculosis menurut Perhimpunan Dokter

Penyakit Dalam (2006) dapat bermacam-macam antara lain :

1. Demam

Umumnya subfebris, kadang-kadang 40-410C, keadaan ini sangat

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya

infeksi kuman tuberculosis yang masuk.

2. Batuk

Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk

membuang produk radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering

(non produktif). Keadaan setelah timbul peradangan menjadi

produktif (menghasilkan sputum atau dahak). Keadaan yang lanjut

berupa batuk darah haematoemesis karena terdapat pembuluh darah

yang cepat. Kebanyakan batuk darah pada TBC terjadi pada dinding

bronkus.

3. Sesak nafas

Pada gejala awal atau penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas.

Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah

lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.

4. Nyeri dada

Gejala ini dapat ditemukan bila infiltrasi radang sudah sampai pada

pleura, sehingga menimbulkan pleuritis, akan tetapi, gejala ini akan

jarang ditemukan.
H. Komplikasi

Menurut Suriadi (2006) kompliki dari TB Paru antara lain :

1. Meningitisas

2. Spondilitis

3. Pleuritis

4. Bronkopneumoni

5. Atelektasi

I. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan sputum (S-P-S)

Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan pemeriksaan

tersebut akan ditemukan kuman BTA. Di samping itu pemeriksaan sputum juga

dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.

Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan

(puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum,

terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif Dalam hal ini

dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air

sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan

memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi

larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat

diperoieh dengan cara bronkos kopi diambil dengan brushing atau bronchial

washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat

dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena

mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya

sesegar mungkin. Bila sputum sudah didapat. kuman BTA pun kadang-kadang
sulit ditemukan. Kuman bant dapat dkcmukan bila bronkus yang terlibat proses

penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA

mudah ke luar.

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3

batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000

kuman dalam 1 mil sputum Hasil pemeriksaan BTA (basil tahan asam) (+) di

bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum, sedangkan

untuk mendapatkan kuman (+) pada biakan yang merupakan diagnosis pasti,

dibutuhkan sekitar 50 - 100 kuman/ml sputum. Hasil kultur memerlukan waktu

tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan angka sensitiviti 18-30%.

Rekomendasi WHO skala IUATLD :

a. Tidak ditemuukan BTA dalam 100 lapang pandangan :negative

b. Ditemukan 1-9 BTA : tulis jumlah kuman

c. Ditemukan 10-99 BTA : 1+

d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 2+

e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 3+

2. Pemeriksaan tuberculin

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk

menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering

digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC

dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.

Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji

tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%,

dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa

semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada
beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux

lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½

bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam

kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan

diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.

3. Pemeriksaan Rontgen Thoraks

Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu

lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan

fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan

suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali di

lobus bawah dan biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini

terlihat sebagai daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan

batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang jelas ini

sering diduga sebagai pneumonia atau suatu proses edukatif, yang akan tampak

lebih jelas dengan pemberian kontras.

Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil

pengobatan dan ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri

tuberkel terhadap obat antituberkulosis, apakah sama baiknya dengan respons

dari klien. Penyembuhan yang lengkap serinng kali terjadi di beberapa area dan

ini adalah observasi yang dapat terjadi pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini

tampak paling menyolok pada klien dengan penyakit akut yang relatif di mana

prosesnya dianggap berasal dari tingkat eksudatif yang besar.

4. Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB

inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik


ireguler, pita parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan

kelengkungan beras bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emifesema

perisikatriksial. Sebagaimana pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa

kelainan inaktif tidak dapat hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada

pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan dengan kultur sputum yang

negatif dan pemeriksaan secara serial setiap saat. Pemeriksaan CT scan sangat

bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kavasitas dan lebih dapat

diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.

5. Radiologis TB Paru Milier

TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB

paru milier subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB

milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta

mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal

sebelum penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada

ukuran dan jumlah tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlihat pada rontgen

akibat tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup terlihat sebagai

nodul-nodul kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk berupa granul-granul

halus atau nodul-nodul yang sangat kecil yang menyebar secara difus di kedua

lapangan paru. Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus

yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis tajam.

5. Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi

melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium antara yang

satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat

biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan


kemoterapeutik, perbedaan kepekaan tehadap binatang percobaan, dan

percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium.

Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru walaupun kurang

sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya peningkatan LED

biasanya disebabkan peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan IgA. (Wahid

dan Suprapto, 2014).

J. Program Therapy

Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :

1. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat

2. Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)

3. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis

terhadap bakteri tahan asam.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu

1. Fase intensif (2-3 bulan) :

Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-

banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal.

Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan

jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi

dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan

menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Menurut The Joint Tuberculosis

Committee of the British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan

yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan

Etambutol 15 mg/kgBB.

2. Fase lanjutan (4-7 bulan).


Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih

panjang. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan

akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif. Menurut The Joint

Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society fase lanjutan selama 4

bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru.

Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH.

Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan

pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase

lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 di antara obat yang diberikan

haruslah yang masih efektif.

Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis

obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah

Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI,

2004). Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan

panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada urutan

kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu, penderita dibagi dalam empat

kategori sebagai berikut:

a. Kategori I (2HRZE/4H3R3)

Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan

keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis,

pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan

penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB

saluran perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH,

rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4


bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (

tahap lanjutan ).

b. Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )

Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.

diberikan kepada :

 Penderita kambuh

 Penderita gagal terapi

 Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat

c. Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 )

Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas

dan kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam kategori I.

d. Kategori IV

Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena

kemungkinan keberhasilan rendah sekali.

Obat-obatan anti tuberkulostatik

1. Isoniazid (INH) :

Merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti rifampisin, INH

harus diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada kontra-

indikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neropati perifer yang biasanya

terjadi bila ada faktor-faktor yang mempermudah seperti diabetes, alkoholisme,

gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini perlu diberikan

peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis sejak awal pengobatan. Efek samping

lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.

2. Rifampisin :
Merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan. Sebagaimana

halnya INH, rifampisin juga harus selalu diikutkan kecuali bila ada kontra

indikasi. Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi

gangguan sementara pada fungsi hati (peningkatan transaminase serum), tetapi

biasanya tidak memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang terjadi

gangguan fungsi hati yang serius yang mengharuskan penggantian obat

terutama pada pasien dengan riwayat penyakit hati. Rifampisin menginduksi

enzim-enzim hati sehingga mempercepat metabolisme obat lain seperti

estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea, dan anti-koagulan. Penting :

efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu dipilih cara KB yang

lain.

3. Pyrazinamid :

Bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif memlah

dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan

pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena

penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium bovis.

Toksifitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.

4. Etambutol :

Digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika resiko

resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak

diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15

mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada

pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis

30 mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping

etambutol yang sering terjadi adalah gangguan penglihatan dengan penurunan


visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang. Efek toksik ini lebih

sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal. Gangguan

awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol harus

segera dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan

pulih. Pasien yang tidak bisa mengerti perubahan ini sebaiknya tidak diberi

etambutol tetapi obat alternative lainnya. Pemberian pada anak-anak harus

dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu disaat mereka bisa melaporkan

gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata harus dilakukan sebelum

pengobatan.

5. Streptomisin :

Saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Obat ini

diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50

kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700 mg/hari. Untuk pengobatan

intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan

diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg.

Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali

seminggu untuk pengobatan yang diawasi. Kadar obat dalam plasma harus

diukur terutama untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping

akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui

dalam keadaan yang sangat khusus. Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC

yang disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat primer menimbulkan

efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah

kapreomisin, sikloserin, makrolid generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), 4-

kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) dan protionamid.

(Kemenkes RI, 2013)


Tabel Panduan Pemberian Obat Anti-Tuberkulosis
Rekomendasi Dosis
Obat anti-TB (mg/kgBB)
Aksi Potensi
esensial Per minggu
Per hari
3x 2x
Isoniazid (INH) Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifampisin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50
Streptomisin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15
Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Primer

1) Airway

Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi

pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan

benda asing, maupun yang lainnya. Pada klien dengan TB Paru

obstruksi dapat disebabkan oleh adanya sputum pada pernafasan atas

maupun bawah. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”.

Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas. Selain

penatalaksanaan tersebut juga dapat dilakukan tindakan seperti batuk

efektif dan dilakukan inhalasi. Ha;l tersebut dilakukan untuk menjaga

jalan nafas tetap stabil.

2) Breathing

Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran

gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen

dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik

meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.

3) Circulation

 Volume darah dan Curah jantung

- Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap

disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan

detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan

hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.

- Kontrol Perdarahan
4) Disability

Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan

reaksi pupil.

5) Exposure dan Environment control

Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

b. Sekunder

Pengkajian tergantung pada tahap penyakit dan derajat yang terkena

a) Aktivitas atau istirahat

Gejala :

Kelelahan umum dan kelemahan, mimpi buruk, nafas pendek

karena kerja, kesulitan tidur pada malam hari, menggigil atau

berkeringat.

Tanda :

Takikardia. takipnea/dispnea pada kerja, kelelahan otot, nyeri dan

sesak (tahap lanjut).

b) Integritas EGO

Gejala :

Adanya faktor stress lama, masalah keuangan rumah, perasaan

tidak berdaya/tidak ada harapan. Populasi budaya/etnik, missal orang

Amerika asli atau imigran dari Asia Tenggara/benua lain.

Tanda :

Menyangkal (khususnya selama tahap dini) ansietas ketakutan,

mudah terangsang.

c) Makanan/cairan
Gejala :

Kehilangan nafsu makan. tidak dapat mencerna penurunan berat

badan.

Tanda :

Turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik, kehilangan otot/hilang

lemak subkutan.

d) Nyeri atau kenyamanan

Gejala :

Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.

Tanda :

Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah

e) Pernafasan

Gejala :

Batuk produktif atau tidak produktif, nafas pendek, riwayat tuberculosis

terpajan pada individu terinfeksi.

Tanda :

Peningkatan frekuensi pernafasan (penyakit luas atau fibrosis

parenkim paru pleura) pengembangan pernafasan tidak simetri (effuse

pleura) perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural atau

penebalan pleural bunyi nafas menurun/tidak ada secara bilateral atau

unilateral efusi pleural/pneumotorak) bunyi nafas tubuler dan bisikan

pectoral di atas lesi luas, krekels tercabut di atas aspek paru selama

inspirasi cepat setelah batuk pendek (krekes posttussic) karakteristik

sputum: hijau, puluren, muloid kuning atau bercak darah deviasi

trakeal (penyebaran bronkogenik).


f) Keamanan

Gejala :

Adanya kondisi penekanan imun. contoh: AIDS, kanker. Tes HIV positif.

Tanda : demam rendah atau sedikit panas akut.

g) Interaksi social

Gejala : perasaan isolasi/penolakan karena penyakit menular,

perubahan bisa dalam tanggungjawab/perubahan kapasitas fisik

untuk melaksanakan peran.

(Wahid dan Suprapto, 2014)

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam

jumlah berlebih

b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan

kekurangan upaya batuk

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan

efek paru. Kerusakan membran di alveolar, kapiler, sekret kevtal dan tebal

d. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan

e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

mual, muntah, anoreksia.

f. Gangguan pada istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan

batuk

g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat

oksigenasi untuk aktivitas (Diagnosa Nanda NIC NOC 2014-2015)


3. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
DX Keperawatan
a. Ketidakefektif Setelah  Kaji fungsi  Peningkatan
an bersihan dilakukan pernafasan contoh bunyi nafas
jalan nafas tindakan bunyi nafas, dapat
berhubungan keperawatan kecepatan, irama, menunjukkan
dengan bersihan jalan dan kelemahan dan atelektasis,
mukus dalam nafas efektif penggunaan otot ronchi, mengi
jumlah dengan kriteria bantu. menunjukkan
berlebih hasil : akumulasi
 Klien dapat sekret/ketidakma
mempertaha mpuan untuk
nkan jalan membersihkan
nafas dan jalan nafas yang
mengeluarka dapat
n sekret menimbulkan
tanpa penggunaan otot
bantuan akseseri
pernafasan dan
peningkatan
kerja pernafasan
 Pengeluaran
 Catat kemampuan sulit bila sekret
untuk mengeluarkan sangat tebal
mukosa batuk efektif, sputum berdarah
catat karakter, jumlah kental/darah
sputum, adanya cerah (misal efek
hemoptisis infeksi, atau tidak
kuatnya hidrasi)
 Posisi
 Berikan klien posisi membantu
semi atau fowler memaksimalkan
tinggi ekspansi paru
dan menurunkan
upaya
pernafasan
 Bersihkan sekret  Mencegah
dari mulut dan obstruksi
trakea, penghisapan respirasi,
sesuai keperluan penghisapan
dapat diperlukan
bila pasien tidak
mampu
mengeluarkan
sekret
 Pertahankan  Pemasukan
masukan cairan tinggi cairan
sedikitnya 2500 membantu
m/hari kecuali untuk
kontra indikasi mengencerkan
sekret,
membantu untuk
mudah
dikeluarkan
b. Pola nafas Setelah  Kaji kualitas dan  Kecepatan
tidak efektif dilakukan kedalaman biasanya
berhubungan tindakan pernafasan meningkat,
dengan keperawatan penggunaan otot dispnea terjadi
sekresi pola nafas aksesoris, catat peningkatan
mukopurulen kembali aktif setiap perubahan kerja nafas,
dan dengan kriteria kedalaman
kekurangan hasil : pernafasan dan
upaya batuk  Dispnea bervariasi
berkurang, tergantung
frekuensi, derajat gagal
irama dan  Kaji kualitas sputum, nafas
kedalaman warna, bau dan  Adanya sputum
dan konsistensi yang tebal,
pernafasan kental, berdarah
normal dan purulen
diduga terjadi
 Baringkan klien untuk sebagai masalah
mengoptimalkan sekunder
pernafasan (semi  Posisi duduk
fowler) memungkinkan
ekspansi paru
maksimal upaya
batuk untuk
memobilisasi
dan membuang
sekret
c. Gangguan Setelah  Kaji dispnea,  TB paru
pertukaran dilakukan takipnea, tidak menyebabkan
gas tindakan normal atau efek luas pada
berhubungan keperawatan menurunnya bunyi paru dari bagian
dengan tidak ada nafas, peningkatan kecil
penurunan tanda-tanda upaya pernafasan, bronkopneumoni
permukaan dispnea terbatasnya ekspansi a sampai
efek paru. dengan kriteria dinding dada dan inflamasi difus
Kerusakan hasil : kelemahan luas nekrosis
membran di  Melaporkan effure pleural
alveolar, tidak adanya  Evaluasi tingkat untuk fibrosis
kapiler, sekret penurunan kesadaran, catat luas
kevtal dan dispnea, sianosis dan  Akumulasi
tebal menunjukkan perubahan pada sekret/pengaruh
perbaikan warna kulit, termasuk jalan nafas
ventilasi dan membran mukosa dapat
O2 jaringan dan kuku mengganggu O2
adekuat  Tunjukkan/dorong organ vital dan
dengan AGP bernafas dengan jaringan
dalam bibir selama
rentang endikasi, khususnya  Membuat
normal, untuk pasien dengan tahanan
bebes dari fibrosis atau melawan udara
gejala, kerusakan parenkim luar untuk
distres mencegah
pernafasan kolaps atau
penyempitan
jalan nafas,
sehingga
membantu
menyebarkan
 Tingkatkan tirah udara melalui
baring / batasi paru dan
aktivitas dan bantu menghilangkan
aktivitas pasien atau menurunkan
sesuai keperluan nafas pendek
 Menurunkan
konsumsi
oksigen/kebutuh
an selama
 Kolaborasi medis periode
dengan penurunan
pemeriksaan ACP pernafasan dapat
dan pemberian menurunkan
oksigen beratnya gejala
 Mencegah
pengeringan
membran
mukosa,
membantu
pengenceran
sekret
d. Peningkatan Setelah  Pantau suhu tubuh  Sebagai indikator
suhu tubuh dilakukan untk mengetahui
berhubungan tindakan status hipertermi
dengan keperawatan  Anjurkan untuk  Dalam kondisi
proses Suhu tubuh mempertahanan demam terjadi
peradangan kembali normal masukan cairan peningkatan
dengan kriteria adekuat untuk evaporasi yang
hasil : mencegah dehidrasi memicu
 Suhu tubuh timbulnya
dalam  Berikan kompres dehidrasi
rentang hangat pada lipatan  Menghambat

normal (360 ketiak dan femur pusat simpatis


dan hipotalamus
C - 370 C)
sehingga terjadi
vasodilatasi kulit
dengan
merangsang
kelenjar keringat
untuk
mengurangi
 Anjurkan pasin untuk panas tubuh
memakai pakaian melalui
yang menyerap penguapan
keringat  Kondisi
kulityang
mengalami
lembab memicu
timbulnya
pertumbuhan
jamur. Juga
akan mngurangi
 Kolaborasi kenyamanan
pemberian antipiretik pasien
 Mengurangi
panas dengan
farmakologis

4. Implementasi

Implementasi adalah tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan

instruksi yang telah teridentifikasi dalam P (perencanaan) dan menuliskan

tanggal dan jam pelaksanaan (Walid, 2014).

5. Evaluasi

Menurut Walid (2014), evaluasi adalah respons klien setelah dilakukan

tindakan keperawatan. Untuk memudahkan mengevaluasi digunakan komponen

SOAP, yaitu :

S : Data Subjektif

Keluhan pasien yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan

keperawatan.

O : Data Objektif

Hasil observasi perawat secara langsung mengenai keluhan klien setelah

dilakukan tindakan keperawatan.

A : Analisis

Suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi sesuai

interpretasi dari data subjektif dan data objektif.


P : Planning

Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutka, dihentikan, dimodifikasi,

atau ditambahkan dari perencanaan tindakan keperawatan.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2007. Pencegahan tuberculosis serta penatalkasanaan


dini.
Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Dinkes, Jateng.Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. 2013,
Semarang: Dinkes Jateng
Nanda Internasional.2012.Diagnosis Keperawatan 2012-2014. EGC : Jakarta
Nurarif H. Amin & Kusuma Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (North American Nursing Diagnosis Association)
NIC-NOC. Mediaction Publishing.
Prestasiherfen.blogspot.com. diunduh pada tanggal 27 Maret 2017, pada pukul
16.30 WIB
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo…(dkk), EGC, Jakarta.
Wahid, A & Suprapto, I.(2012). Pengantar dokumentasi proses keperawatan. Jakarta
: Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai