Anda di halaman 1dari 18

A.

Konsep Dasar Penyakit


1. Defenisi
Tunadaksa berasal dari kata “ Tuna “ yang berarti rugi, kurang dan “daksa“berarti
tubuh. Dalam banyak literatur cacat tubuh atau kerusakan tubuh tidak terlepas dari
pembahasan tentang kesehatan sehingga sering dijumpai judul “Physical and Health
Impairments“ (kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal ini disebabkan karena
seringkali terdapat gangguan kesehatan.Sebagai contoh, otak adalah pusat kontrol seluruh
tubuh manusia.Apabila ada sesuatu yang salah pada otak (luka atau infeksi), dapat
mengakibatkan sesuatu pada fisik/tubuh, pada emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental,
luka yang terjadi pada bagian otak baik sebelum, pada saat, maupun sesudah kelahiran,
Menyebabkan retardasi dari mental (tunagrahita) (Mardiasari, 2017).
Anak tuna daksa adalah anak yang mempunyai kelainan ortopedik atau salah satu
bentuk berupa gangguan dari fungsi normal pada tulang, otot, dan persendian yang
mungkin karena bawaan sejak lahir, penyakit atau kecelakaan, sehingga apabila mau
bergerak atau berjalan memerlukan alat bantu (Dwi, 2016).
Didalam Wikipedia (2010), pengertian Tunadaksa adalah individu yang memiliki
gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang
bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio,
dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan
dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang
yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat
yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol
gerakan fisik.

2. Etiologi
Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak
sehingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di jaringan otak,
jaringan sumsum tulang belakang, serta pada sistem musculus skeletal. Terdapat
keragaman jenis tunadaksa, dan masing-masing timbulnya kerusakan berbeda-beda.
Dilihat dari waktu terjadinya, kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat
lahir, dan sesudah lahir (Laila, 2018).
a. Sebelum lahir (fase prenatal)
Kerusakan terjadi pada saat bayi saat masih dalam kandungan disebabkan:
1) Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga
menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya.
2) Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusar tertekan,
sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
3) Bayi dalam kandungan terkena radiasi yang langsung mempengaruhi sistem
syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
4) Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma yang dapat mengakibatkan
terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya, ibu jatuh dan perutnya
terbentur dengan cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi,
maka dapat merusak sistem syaraf pusat.
b. Saat kelahiran (fase natal/perinatal)
Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan
antara lain:
1) Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang yang kecil pada ibu
sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen. Hal ini kemudian menyebabkan
terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi sehingga jaringan syaraf pusat
mengalami kerusakan.
2) Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami
kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.
3) Pemakaian anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi
dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem
persyarafan otak bayi sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun
fungsinya.
c. Setelah proses kelahiran (fase post natal)
Fase setelah kelahiran adalah masa di mana bayi mulai dilahirkan sampai masa
perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia lima tahun. Hal-hal yang dapat
menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
1) Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
2) Infeksi penyakit yang menyerang otak.

3. Tanda dan Gejala


Banyak jenis dan variasi anak tuna daksa, sehingga untuk mengidentifikasi
karakteristiknya diperlukan pembahasan yang sangat luas. Berdasarkan berbagai sumber
ditemukan beberapa karakteristik umum bagi anak tuna daksa, diantara lain sebagai
berikut (Desi Rahayuningsi, 2016) :
a. Karakteristik Kepribadian
b. Mereka yang cacat sejak lahir tidak pernah memperoleh pengalaman, yang demikian
ini tidak menimbulkan frustasi.
c. Tidak ada hubungan antara pribadi yang tertutup dengan lamanya kelainan fisik yang
diderita.
d. Adanya kelainan fisik tidak memperngaruhi kepribadian atau ketidak mampuan
individu dalam menyesuaikan diri.
e. Anak cerebal-pakcy dan polio cenderung memiliki rasa takut daripada yang
mengalami sakit jantung.
f. Karakteristik Emosi-sosial
g. Kegiatan-kegiatan jasmani yang tidak dapat dijangkau oleh anak tuna daksa dapat
berakibat timbulnya problem emosi, perasaan dan dapat menimbulkanfrustasi yang
berat.
h. Keadaan tersebut dapat berakibat fatal, yaitu mereka menyingkirkan diri dari
keramaian.
i. Anak tuna daksa cenderung acuh bila dikumpulkan bersama anak-anak normal dalam
suatu permainan.
j. Akibat kecacatanya mereka dapat mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi
dengan lingkunganya
k. Karakteristik Intelegensi
1) Tidak ada hubungan antara tingkat kecerdasan dan kecacatan, tapi ada beberapa
kecenderungan adanya penurunan sedemikian rupa kecerdasan individu bila
kecacatanya meningkat.
2) Hasil penelitian ternyata IQ anak tuna daksa rata-rata normal.
l. Karakteristik Fisik
1) Selain memiliki kecacatan tubuh, ada kecenderungan mengalami gangguan-
gangguan lain, misalnya: sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan,
gangguan bicara dan sebagainya.
2) Kemampuan motorik terbatas dan ini dapat dikembangkan sampai pada batas-
batas tertentu.
Adanya berbagai karakteristik tersebut bukan berarti bahwa setiap anak tuna daksa
memiliki semua karakteristik yang diungkapkan, namun bisa saja terjadi salah satunya
tidak dimiliki.
Dari karakteristik tersebut menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif.
Dari dampak negatif timbul masalah-masalah yang muncul yang berkaitan dengan posisi
siswa disekolah. Permasalahan tersebut dapat digolongkan menjadi beberapa masalah,
yaitu (Laila, 2018):
a. Masalah kesulitan belajar
Terjadinya kelainan pada otak, sehingga fungsi fikirnya terganggu persepsi.
Apalagi bagi anak tuna daksa yang disertai dengan cacat-cacat lainya dapat
menimbulkan komplikasi yang secara otomatis dapat berpengaruh terhadap
kemampuan menyerap materi yang diberikan.
b. Masalah sosialisasi
Anak tuna daksa mengalami berbagai kesulitan dan hambatan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini dapat terjadi karena kelainan
jasmani, sehingga mereka tidak diterima oleh teman-temannya, diisolasi, dihina,
dibenci, dan bahkan tidak disukai sama sekali kehadiranya dan sebagainya.
c. Masalah kepribadian
Masalah kepribadian dapat berwujud kurangnya ketahanan diri bahkan tidak
adanya kepercayaan diri, mudah tersinggung dan sebagainya.
d. Masalah ketrampilan dan pekerjaan
Anak tuna daksa memiliki kemampuan fisik yang terbatas, namun di lain pihak
bagi mereka yang memiliki kecerdasan yang normal ataupun yang kurang perlu
adanya pembinaan diri sehingga hidupnya tidak sepenuhnya menggantungkan diri
pada orang lain. Karena itu dengan modal kemampuan yang dimilikinya perlu
diberikan kesempatan yang sebanyak-banyaknya untuk dapat mengembangkan lewat
latihan ketrampilan dan kerja yang sesuai dengan potensinya, sehingga setelah selesai
masa pendidikan mereka dapat menghidupi dirinya, tidak selalu mengharapkan
pertolongan oranglain. Di lain pihak dianggap perlu sekali adanya kerja sama yang
baik dengan perusahaan baik negeri maupun swasta untuk dapat menampung mereka.
e. Masalah latihan gerak
Kondisi anak tuna daksa yang sebagian besar mengalami gangguan dalam gerak.
Agar kelainanya itu tidak semakin parah dan dengan harapan supaya kondisi
fungsional dapat pulih ke posisi semula, dianggap perlu adanya latihan yang
sistematis dan berlanjut.misalnya terapi-fisik (fisio-therapy), terapi-tari (dance-
therapy), terapi-bermain (play-therapy), dan terapi-okupasional (occupotional-
therapy).

4. Klasifikasi Tuna Daksa


Penyandang tuna daksa rata-rata mengalami gangguan psikologis
yangcenderungmerasa malu, rendah diri dan sensitif serta memisahkan diri dari
lingkungannya. Disamping karakteristik tersebut terdapat problem lain, gangguan taktil
dan knestetik serta gangguan emosi.(Martin & Hartini, 2012).
Klasifikasi kelainan pada Tuna Daksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
besar, yaitu:
a. Kelainan pada sistem cerebral (Cerebral System)
Penyandang kelainan pada sistem Cerebral , kelainan terletak pada sistemSaraf
pusat, seperti Cerebral Palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral Palsy ditandai
adanya kelainan gerak, sikap, atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang-
kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan adanya kerusakan
atau kecacatan pada masa perkembangan otak. Penyandang kelainan pada sitem
cerebral dapat diklasifikasikan menurut derajat kecacatan dan letak kelainan otak dan
fungsi gerak.
Menurut derajat kecacatan:
1) Ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas dan
dapat menolong diri sendiri.
2) Sedang, dengan ciri-ciri: menbutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan,
mengurus diri dan menggunakan alat-alat khusus.
3) Berat, dengan ciri-ciri: membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara dan
tidak dapat menolong diri sendiri.
Menurut letak kelainan otak dan fungsi gerak:
1) Spastik, dengan ciri-ciri seperti ada kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya.
2) Dyskenesia, yang meliputi a’hetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak
terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan),
tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata,tangan atau kepala).
3) Ataxia, adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan
tangan tidak berfungsi.
4) Jenis campuran, seseorang mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe
kelainan diatas.
b. Kelainan pada sistem otot dan rangka (Masculus skeletal System).
Golongan anak tuna daksa berikut ini tidak mustahil akan belajar bersama dengan
anak normal dan banyak ditemukan pada kelas-kelas biasa. Klasifikasi anak tuna
daksa dalam kelainan sistem otot dan rangka adalah sebagai berikut:
1) Poliomyelitis
Poliomyelitis merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang
disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya
menetap, dilihat dari sel-sel yang rusak kelumpuhan polio dapat dibedakan
menjadi:
a) Tipe spinal, yaitu kelumpuhan pada otot leher,sekat dada, tangan dan kaki.
b) Tipe bulbeir, yaitu kelumpuhan sistem motorik pada satu atau lebih saraf tepi,
dengan ditandai adanya gangguan pernafasan.
c) Tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair.
d) Enchipalitis biasanya disetai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan
kadang kejang-kejang.

Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidakmeyebabkan gangguan


kecerdasan atau alat indra, akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil
(atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur),
pemandekan anggota gerak, tulang belakang melengkung kesalah satu sisi,
kelainan telapak kaki yang membengkong ke luar atau ke dalam, dislokasi (sendi
yang keluar dari dudukannya), lutut melenting kebelakang (genu recorvatum).

2) Mucle dystrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami
kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya
dengan keturunan.
3) Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya
satu atau tiga ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses
perkembangan, akibatya fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan
kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu: pembesaran pada kepala karena produksi
cairan yang berlebih. Biasanya kasus ini di sertai dengan ketuna grahita.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboraturium dan Penunjang yang dapat dilakukan pada anak tuna
daksa meliputi (Laila, 2018):
a. Pemeriksaan pendengaran ( untuk menentukan status pendengaran )
b. Pemeriksaan penglihatan ( untuk menentukan status fungsi penglihatan )
c. Pemeriksaan serum, antibody : terhadap rubela, toksoplasmosis dan herpes
d. MRI kepala / CT scan menunjukkan adanya kelainan struktur maupun kelainan
bawaan : dapat membantu melokalisasi lesi, melihat ukuran / letak vertikal.
e. EEG : mungkin terlihat gelombang lambat secara fokal atau umum ( ensefalins ) /
volsetasenya meningkat ( abses )
f. Analisa kromosom
g. Biopsi otot
h. Penilaian psikologik
7. Penatalaksanaan
Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membantu anak dengan
kelainan fisik, antara lain (Dwi, 2017):
a. Bina Mandiri :
 Kenali kondisi anak. Kondisi anak dapat dikenali dengan melakukan diagnosa dan
perawatan yang tepat. Dengan mengenali kondisi anak, guru dapat menentukan
perlakuan yang tepat sesuai kekurangan pada fisik anak.
 Bersikap positif. Selalu memberi dukungan dan pengertian pada anak tetapi tidak
memberi harapan palsu.
 Selalu memberi cinta. Cinta dan kasih sayang orang di sekeliling menjadi
kekuatan terbesar bagi anak untuk mengatasi kekurangannya. Tunjukkan rasa
cinta tanpa pamrih melalui pelukan, ciuman, genggaman tangan, meluangkan
waktu untuk meberi bantuan.
 Menghadirkan keadaan normal. Selalu menciptakan kegiatan yang normal.
Kegiatan yang disusun tidak terlalu memanjakan atau melindungi anak, karena
akan menghambat perkembangan anak.
 Selalu menghargai anak melalui kata-kata maupun tindakan. Memberitahu
kelebihan anak yang dapat digunakan untuk menghadapi permasalahan anak.
 Memberikan fasilitas berupa berbagai alat bantu untuk menambah dan
mempermudah anak beraktivitas.
 Membantu anak berinteraksi. Bagaimana menghadapi dan menerima kehadiran
anak lain. Melibatkan anak secara aktif pada berbagai kegiatan.

b. Rehabilitasi medik :
 Fisioterapi : relaksasi, terapi manipulasi, latihan keseimbangan, latihan koordinasi,
latihan mobilisasi, latihan ambulasi dan latihan Bobath dengan
 Teknik inhibisi, fasilitasi dan stimulasi latihan dapat diberikan ditempat tidur, di
gymnasium, di kolam renang.
 Terapi Okupasi :
- Latihan diberikan dalam bentuk aktifitas permainan, dengan menggunakan
plastisin, manik-manik, puzzle; dengan berbagai bentuk gerakan, ketepatan arah,
permainan yang memerlukan keberanian.
- Aktifitas kehidupan sehari-hari : berpakaian, makan minum, penggunaan alat
perkakas rumah tangga dan aktifitas belajar.
- Seni dan ketrampilan : menggunting, menusuk, melipat, menempel dan
mengamplas.
 Terapi Wicara : pada anak dengan gangguan komunikasi/bicara dengan latihan dalam
bahasa pasif : anggota tubuh, benda-benda di dalam/diluar rumah dan disekolah dan
dalam bahasa konsonan, suku kata, kata dan kalimat dengan pengucapan huruf
hidup/vokal.
 Terapi Musik : tujuannya menumbuhkembangkan potensi-potensi pada anak yang
berkelainan baik fisik, mental intelektual maupun sosial emosional sehingga mereka
akan berkembang menjadi percaya diri sendiri. Pelayanan tersebut dengan cara melatih
: ritme, nada dan irama, interfal, tarian, drama, cerita, senam, pengenalan alat musik,
pengenalan lagu, latihan baca sajak/puisi.
 Psikolog : pemeriksaan kecerdasan, psikoterapi, edukasi pada orang tua dan keluarga
agar dapat menghadapi anak dengan kelainan tersebut.
 Sosial Medik : memberikan pelayanan mencari data keluarga, sosial, ekonomi,
pendidikan, lingkungan tempat tinggal, dsb. Yang dapat bermanfaat bagi para dokter
dan terapis dalam menyusun program rehabilitasi. Selain itu pelayanan yang
berhubungan dengan Yayasan-yayasan sosial lainnya, Kantor Departemen sosial,
Rumah sakit, Sekolah, sehingga dapat terjalin hubungan erat dengan berbagai instansi
yang sangat penting untuk keberhasilan program rehabilitasi.
 Ortotik Prostetik : memberikan pelayanan pembuatan alat-alat bantu; misal brace,
tongkat ketiak, kaki tiruan, kursi roda.
c. Koreksi operasi
Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang
antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih
sering dilakukan pada tipe spastic dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada
anggota gerak bawah disbanding dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang
dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf
motorik, tendon, otot atau pada tulang.
d. Obat – obatan
Pemberian obat-obatan bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-
motorik dan untuk mengontrol serangan kejang. Pada penderita yang kejang pemberian
obat anti kejang memamerkan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada tipe
spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Pada penderita dengan kejang diberikan
maintenance anti kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya
luminal, dilatin dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, otot golongan
benzodiazepine, misalnya : valium, Librium atau mogadon dapat dicoba. Pada keadaan
choreoathetosis diberikan artane. Tofranil (imipramine) diberikan pada keadaan depresi.
Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 – 10 mg pada pagi
hari dan 2,5 – 5 mg pada waktu tengah hari.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Masalah Keperawatan dan Data Pendukung
Pengkajian
a. Identitas
1) Identitas Klien
 Nama klien
 Umur
 Jenis kelamin
 Alamat tempat tinggal
 Agama
 Suku/bangsa
2) Identitas Penanggung Jawab
 Nama penaggung jawab
 Umur
 Alamat tempat tinggal
 Hubungan dengan klien
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Keluhan Utama
Perawat bertanya apa keluhan utama yang sering dirasakan oleh klien.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan pada klien tentang penyakitnya saat ini, sejak kapan, tanyaka apakah klien
pernah meminta pertolongan .
3) Riwayat Kesehatan Terdahulu
Tanyakan pada klien tentang penyakit yang pernah dialaminya sebelumnya terutama pada
faktor –faktor penyebab yang dapat menyebabkan tunadaksa seperti (faktor pre natal,
natal, dan post natal ).
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan pada kleuarga klien apakah ada dikeluarga klien yang menderita tunadaksa.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas/istirahat
 Ataksia
 Rigid
 Kelumpuhan (monoplegia,hemiplegia,paraplegia,diplegia,triplegia, quardriplegia,
polio-mylitis)
 Kelemahan
 Tidak mampu menggenggam
 Kekakuan
 Tidak mampu mandiri
 Hipotonus
2) Integritas ego
 Cendrung merasa malu
 Menarik diri
 Tidak percaya diri
 Sensitif
3) Neurosensori
 Spastik
 Athetoid
 Tremor
4) Keamanan
 Tidak mampu beraktivitas sendiri ( tidak mampu melakukan adl )
 Penurunan tonus otot
 Mememerlukan bantuan orang tua.
5) Interaksi sosial
 Gangguan berbicara
 Gangguan pendengaran
 Gangguan emosi
d. Pemeriksaaan Penunjang
1) Pemeriksaan klinis untuk mengidentifikasi ketidaknormalan tonus, seringnya terjadi
hipotonik yang diikuti dengan hipertonik, ketidaknormalan postur dan keterlambatan
perkembangan motorik.
2) Ultrasonografi
3) CT scan untuk mendeteksi lesi-lesi susunan saraf pusat
4) MRI untuk mendeteksi lesi-lesi kecil.
5) Pemeriksaan mata dan pendengaran
6) Pemeriksaan Elektro Ensefalografi
7) Penilaian psikologik perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pendidikan yang
diperlukan
8) Pemeriksaan darah biasanya dalam batas normal.

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Timbul


Diagnosa keperawatan adalah proses menganalisa data subjektif dan objektif yang
telah diperoleh pada tahap pengkajian untuk menegakkan diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan melibatkan proses berpikir kompleks tentang data yang
dikumpulkan dari klien, keluarga, rekam medis, dan pemberi pelayanan kesehatan yang
lain. (Hutahaean Serri, 2010)
Berdasarkan Nanda NIC NOC 2016 diagnosa keperawatan yang muncul yaitu :
a.Gangguan pertumbuhan dan perkembangan Motorik/verbal berhubungan dengan
kerusakan cerebral
b. Gangguan Citra tubuh berhubungan dengan adanya kecatatan
c.Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
d. Gangguan sensori persepsi : penglihatan berhubungan dengan kerusakan
neurologi
e.Gangguan sensori persepsi : pendengaran berhubungan dengan kerusakan neurologi
f. Defisit perawatan diri (self care) berhubungan dengan kelemahan fisik
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan
menelan dan meningkatnya aktivitas
h. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan dirumah dan kebutuhan
terapi
i. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan pada fungsi motoric
j. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tubuh tidak
adekuat
3. Tujuan Rencana Keperawatan perdiagnosa Keperawatan dan Kriteria Hasil
a. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Setelah di lakukan keperawatan diharapkan pasien menunjukan suhu tubuh
dalam batas normal.
Kriteria Hasil :
Suhu tubuh dalam batas normal
b. kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan
peningkatan suhu tubuh.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan
terpenuhi
kriteria Hasil :
1) nilai ttv dalam batas normal.
2) Balance cairan seimbang.
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrisi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien tercukupi status
gizi.
Kriteria Hasil :
Klien dapat makan
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keluarga dapat
mengetahui tentang penyakit demam thypoid
Kriteria hasil :
Keluarga memahami tentang penyakit demam thypoid
4. Intervensi Keperawatan dan Rasional perdiagnosa
a. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit.
Intervensi :
1) Pantau ttv.
Rasional : Untuk mengetahui status suhu.
2) Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali
secara dini hipertermia
Rasional : agar keluarga dapat mengerti dan mencegah dampak komplikasi
3) Berikan kompres hangat.
Rasional : kompres hangat menyebabkan vasodilatasi sehingga terjadi
perpindahan panas secara evoforasi.
4) Anjurkan asupan oral 2 liter per hari
Rasional : menghindari dehidrasi
5) Kolaborasi pemberian antipiretik.
Rasional : menurunkan panas
b. kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan
peningkatan suhu tubuh.
Intervensi :
 pantau ttv, suhu dan nadi.
Rasional : untuk mengetahui status suhu dan nadi pasien.
 pantau input dan output cairan.
Rasional : menganalisis data untuk mengatur keseimbangan cairan.
 atur input dan out put.
Rasional : meningkatkan keseimbangan cairan dan mencegah komplikasi.
 Tawarkan minuman kesukaan pasien.
Rasional : agar anak tertarik untuk minum
 laporkan catatan haluan kurang dari kebutuhan.
Rasional : memberikan program therapy selanjutnya.
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrisi.
Intervensi :
1) Identifikasi faktor yang mempengaruhi kehilangan nafsu makan.
Rasional : mengetahui penyebab kehilangan nafsu makan.
2) beri makanan yang sesuai dengan pilihan pribadi.
Rasional : menarik perhatian agar pasien mau makan
3) berikan makanan bergizi tinggi dan bervariasi.
Rasional : memenuhi kebutuhan gizi pasien dan menarik. perhatian pasien
4) berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi.
Rasional : agar orangtua dan pasien mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.
5) kolaborasi ahli gizi
rasional : pemberian makanan yang tepat
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan
Rasional : untuk mengetahui tingkat pengetahuan keluarga
2) jelaskan tanda dan gejala serta penyebab
rasioanal : untuk menambah pengetahuan
3) Jelaskan cara penanganannya
Rasional : untuk menambah pengetahuan
4) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin di perlukan untuk mencegah
komplikasi
Rasional : untuk menambah pengetahuan
5. Intervensi Keperawatan
a. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit.
Intervensi :
1) Pantau ttv.
Hasil : TTV dalam batas normal/klien masih demam
2) Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali
secara dini hipertermia
Hasil : pasien/keluarga mengikuti anjuran
3) Berikan kompres hangat.
Hasil : klien diberi kompres air hangat
4) Anjurkan asupan oral 2 liter per hari
Hasil : klien/keluarga mengikuti anjuran
5) Kolaborasi pemberian antipiretik.
Hasil : klien diberi obat antipiretik

b. kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan
peningkatan suhu tubuh.
Intervensi :
1) pantau ttv, suhu dan nadi.
Hasil : TTV dalam batas normal
2) pantau input dan output cairan.
Hasil : imput dan output cairan tercatat
3) atur input dan out put.
Hasil : teratur imput dan output
4) Tawarkan minuman kesukaan pasien.
Hasil : klien dapat minum
5) laporkan catatan haluan kurang dari kebutuhan.
Hasil : tercatat haluan cairan
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrisi.
Intervensi :
1) Identifikasi faktor yang mempengaruhi kehilangan nafsu makan.
Hasil : faktor kehilangan nafsu makan tercatat
2) beri makanan yang sesuai dengan pilihan pribadi.
Hasil : klien makan
3) berikan makanan bergizi tinggi dan bervariasi.
Hasil : klien dapat makan makanan bergizi
4) berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi.
Hasil : klien/keluarga dapat mengerti tentang kebutuhan nutrisi
5) kolaborasi ahli gizi
Hasil : Gizi klien terpenuhi
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan
Hasil : tingkat pengetahuan keluarga diketahui
2) jelaskan tanda dan gejala serta penyebab
Hasil : klien/keluarga mengetahui tanda dan gejala serta penyebab dari penyakit
demam thypoid
3) Jelaskan cara penanganannya
Hasil : klien dan keluarga mengetahui cara penanganan demam thypid
4) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin di perlukan untuk mencegah
komplikasi
Hasil : klien/keluarga mengetahui perubahan gaya hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah komplikasi

6. Evaluasi Keperawatan
a. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit.
Evaluasi :
1) S : Keluarga klien mengatakan anaknya masih demam
O : badan teraba panas
Suhu badan > 37,5°C
Klien rewel
Klien gelisah
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
 Pantau ttv.
 Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan
mengenali secara dini hipertermia
 Berikan kompres hangat.
 Anjurkan asupan oral 2 liter per hari
 Kolaborasi pemberian antipiretik.
2) S : Keluarga klien mengatakan anaknya sudah tidak demam lagi
O : suhu badan (36,5-37,5)
Klien tidak rewel dan tidak gelisah
A ; Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
b. kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan
peningkatan suhu tubuh.
Evaluasi :
1) S : Kelurga mengatakan klien malas minum
O : Bibir klien kering
Kulit klien kering
Klien nampak pucat
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
 pantau ttv, suhu dan nadi.
 pantau input dan output cairan.
 atur input dan out put.
 Tawarkan minuman kesukaan pasien.
 laporkan catatan haluan kurang dari kebutuhan.
2) S : Keluarga mengatakan anaknya sudah dapat minum dengan baik
O : Bibir klien stomatitis
Klien nampak tenang
A : Masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrisi.
Evaluasi :
1) S : Keluarga klien mengatakan masih malas makan porsi makan belum habis
O : Klien nampak lemah
Klien nampak rewel
A : Masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
 Identifikasi faktor yang mempengaruhi kehilangan nafsu makan.
 beri makanan yang sesuai dengan pilihan pribadi.
 berikan makanan bergizi tinggi dan bervariasi.
 berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi.
 kolaborasi ahli gizi
2) S : Keluarga klien mengatakan anaknya sudah dapat makan sebagaimana biasanya
O : Klien nampak makan
Porsi makan klien habis
Klien nampak tenang
A : Masalah teratasi
P : intervemsi dihentikan
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit
Evaluasi :
1) S : keluarga/klien mengatakan sudah mengetahui penyakit demam thypoid
O : keluarga/klien nampak mengerti
A : Masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
2) S : keluarga klien mengatakan belum memahami tentang penyakit demam thypoid
O : keluarga nampak bingung
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
 Kaji tingkat pengetahuan
 jelaskan tanda dan gejala serta penyebab
 Jelaskan cara penanganannya
 Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin di perlukan untuk
mencegah komplikasi

Daftar Pustaka

Akmal, M. Dkk. (2010). Ensiklopedia kesehatan untuk umum. Jogjakarta: Ar-ruzz


Media.

Apriyadi dan Sarwili. (2018). Perilaku Higiene Perseorangan dengan Kejadian Demam Tyfoid.
Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan Indonesia Vol. 8 No. 1.

Bahar, dkk. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kesembuhan Paien Penderita
Demam Typoid Di Ruang Perawatan Interna RSUD Kota Makassar. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 6.

Cahyaningsih, Sulistyo Dwi. (2011). Pertumbuhan Perkembangan Anak dan


Remaja. Jakarta : Tim.

Depkes RI. (2013). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013.


http:www.depkes.go.id/Downloads/profil-kesehatan-indonesia-2013.pdf. Tanggal 5 April
2022.

Dinkes Kaltim. (2015). Profil Kesehatan Kota Samarinda Tahun 2015.


http://www.depkes.go.id/Downloads/6472_Kaltim_Kota_Samarinda_2015 %20baru.pdf.
Tanggal 4 April 2022.

Hidayat, Alimul Aziz A. (2009). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.

Hutahaean Serri. (2010). Konsep dan Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta: Tim.
Kallo, dkk. (2015). Hubungan Personal Hygiene Dengan Kejadian Demam Typoid Di Wilayah
Kerja Puskesmas Tumaratas ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3. Nomor 2.

Lestari Titik. (2016). Asuhan Keperawatan Anak. Yogjakarta: Nuha Medika. Mutiarasari dan
Handayani. (2017). Karakteristik Usia, Jenis Kelamin, Tingkat Demam, Kadar
Hemoglobin, Leukosit dan Trombosit Penderita Demam tipoid Pada Pasien Anak Di
RSU Anutapura Tahun 2013. Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 4 No. 2.

Anda mungkin juga menyukai