Anda di halaman 1dari 4

1.

Apakah bentuk Negara menurut tripartide berdasarkan ajaran negara klasik tradisional dan


bentuk yang mana yang terbaik menurut Plato, jelaskan dan berikan alasannya.

Jawab :

Bentuk Pemerintahan Klasik

Bentuk pemerintahan klasik biasanya menggabungkan bentuk negara dan bentuk pemerintahan
secara bersamaan. Menurut teori pemerintahan klasik, bentuk pemerintahan dibedakan dari jumlah
pemegang kekuasaan. Biasanya pemegang kekuasaan adalah mereka dengan kedudukan yang juga
tinggi pada sebuah negara.
•Pengertian mengenai bentuk pemerintahan klasik melahirkan beberapa pengertian menurut para
ahli. Bentuk pemerintahan klasik sendiri pada kenyataannya melahirkan bentuk-bentuk
pemerintahan yang baru, dan bentuk-bentuk pemerintahan yang baru itulah yang diamini oleh
beberapa ahli yang berbeda. Tokoh terkenal dibalik perbedaan persepsi mengenai bentuk-bentuk
pemerintahan klasik adalah Plato dan Aristoteles.

Bentuk & bentuk Pemerintahan Klasik Menurut Plato (249–347 SM)

Bentuk-bentuk pemerintahan klasik menurut Plato dibedakan menjadi lima bentuk pemerintahan


negara. Kelima bentuk itu menurut Plato harus sesuai dengan sifat – sifat tertentu manusia. Berikut
ini adalah bentuk-bentuk pemerintahan klasik tersebut.

1. Aristokrasi, Suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan sekelompok orang
yang dapat mencerminkan rasa keadilan.

2. Temokrasi, Suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang oleh sekelompok orang
yang berlimpah harta (hartawan).

3. Oligarkhi, Suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang oleh golongan orang yang
dipengaruhi kemewahan atau harta kekayaan

4. Demokrasi, Suatu bentuk pemerintahan yang menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada rakyat.

5. Tirani, Suatu bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang tiran yang jauh dari rasa keadilan.

2. Ada banyak sarjana yang membuat klasifikasi negara. Jelaskan klasifikasi negara menurut
Jellinek? Bagaimana pula menurut menurut Hans Kelsen? Jelaskan

Jawab :

pada zaman modern George Jellinek dalam bukunya Allgemene Staatslehre, juga mengemukakan
penjelasan bentuk negara menjadi dua yaitu Republik dan Monarki. Sebetulnya menurut Jellinek
perbedaan antara republik dan monarki itu benar-benar mengenai perbedaan daripada sistem
pemerintahannya, tetapi sekalipun demikian Jellinek sendiri mengartikannya sebagai perbedaan
daripada bentuk negaranya. Di dalam mengemukakan perbedaan antara monarki dan republik tadi
Jellinek mempergunakan kriteria tentang bagaimanakah cara terbentuknya kemauan negara. 
Hal itu karena menurut Jellinek negara itu dianggap sebagai sesuatu kesatuan yang mempunyai
dasar-dasar hidup, dan dengan demikian negara itu mempunyai kemauan/ kehendak. Kemauan
negara ini sifatnya abstrak, sedangkan dalam bentuknya yang konkrit kemauan negara itu menjelma
sebagai hukum atau undang-undang. Jadi, undang-undang atau peraturan-peraturan itu adalah
adalah merupakan perwujudan atau penjelmaan daripada kemauan negara. Negara yang memiliki
kekuasaan tertinggi dan wewenang membuat dan menetapkan undang-undang.

Menurut Jellinek ada dua cara mengenai terbentuknya kemauan negara itu:

a)      Kemauan negara itu terbentuk atau tersusun di dalam jiwa seseorang yang mempunyai wujud
atau bentuk fisik. Artinya kemauan negara itu hanya ditentukan oleh satu orang tunggal, tiada orang
atau badan lain yang dapat ikut campur dalam pembentukkan kehendak negara itu. Jadi, dalam
monarki ini, undang-undang hanya ditentukan oleh satu orang tunggal.

b)      Kemauan negara itu terbentuk atau tersusun di dalam suatu dewan. Dewan itu adalah suatu
pengertian yang adanya hanya di dalam hukum, dan sifatnya abstrak, serta berbentuk yuridis.
Memang sebenarnya anggota-anggota dari dewan itu yaitu orang, adalah merupakan berbentuk
fisik, tetapi dewannya itu sendiri adalah merupakan kenyataan yuridis, karena dewan itu adalah
merupakan konstruksi hukum, jadi yang adanya itu justru sebagai akibat ditetapkan oleh peraturan
hukum, dimana beberapa orang merupakan suatu kesatuan dan dianggap sebagai suatu persoon.
Kehendak negara yang terbentuk secara demikian ini disebut kehendak atau kemauan yuridis, dan
negara yang memiliki kemauan yuridis ini disebut Republik.

Oleh karena itu dapatlah dikatakan apabila dalam suatu negara itu undang-undangnya merupakan
hasil karya dari satu orang tunggal saja, maka negara itu disebut Monarki. Sedangkan apabila
undang-undang merupakan hasil karya dari suatu dewan maka  negara itu disebut Republik. Sesuai
dengan sistem ajarannya, menggolongkan negara yang disebut Wahl-monarchie, yaitu suatu negara
dimana kepala Negara dipilih atau diangkat oleh suatu organ atau badan khusus. 

Tapi pendapat oleh Jillinek kurang diterima oleh Kranenburg, bahwa ajaran Jillinek tadi terdapat
kelemahan antara lain  tentang cara terbentuknya kemauan negara, maka apabila Jillinek
menggolongkan negara Inggris kedalam monarki, seharusnya ia menyebut negara Inggris dengan
istilah republik. Karena di Inggris pembentukan kemauan negara yang berwujud undang-undang itu
tidak terjadi secara pisik. Artinya pembentukan undang-undang terjadi secara yuridis, yaitu
pembentukan undang-undang di Inggris dilakukan oleh King in Parliament, oleh Mahkota bersama-
sama dengan parlemen. Pembentukan kemauan negara di Inggris dilakukan oleh suatu dewan yang
terdiri dari: raja, menteri, dan parlemen.

Tetapi Jillinek tetap berpendapat bahwa Inggris adalah Monarki, jadi tetap mempertahankan
pendapatnya bahwa pembentukan kemauan negara Inggris terjadi secara pisik, sebab di Inggris itu
menurut Jillinek yang penting dalam membuat dan atau menetapkan suatu undang-undang adalah
Raja.

Demikian keadaanya, bahwa pendapat Jillinek  sangat bertentangan keadaan yang senyatanya,


misalnya mengenai gambaran pembentukan undang-undang seperti yang dilukiskan Jillinek di
Inggris, itu terdapat di Indonesia. Di Indonesia Rancangan Undang-undang diusulkan oleh Presiden
dan harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, setelah disetujui kemudian disyahkan kembali
oleh Presiden agar undang-undang memiliki kekuatan berlaku.

Pada zaman sekarang Monarki diartikan pada adanya lembaga ketatanegaraan yang khusus
kedudukannya, kepala negara dari negara yang berbentuk Monarki yaitu mendapat kedudukan
karena pewarisan. Menurut Leon Deguit dalam mengadakan pembedaan antara bentuk negara
Monarki dengan negara Repubik kriteria yang digunakan adalah cara atau sistem penunjukan atau
pengangkatan kepala negara.

Berdasarkan kriteria tersebut diatas, menurut Leon Deguit negara itu disebut Monarki apabila kepala
negaranya ditunjuk atau diangkat melalui sistem pewarisan, sedangkan suatu negara itu disebut
Republik, apabila kepala negaranya itu ditunjuk atau diangkat melalui pemilihan, perampasan,
penunjukan atau sebagainya. Leon Deguit membagi bentuk negara menjadi tiga, antara lain:

1. Negara Kesatuan;

Negara Kesatuan adalah negara bersusunan tunggal, yakni kekuasaan untuk mengatur seluruh
daerahnya ada di tangan pemerintah pusat.

2. Negara Serikat;

Negara serikat merupakan negara bersusun jamak, terdiri atas beberapa negara bagian yang masing-
masing tidak berdaulat.

3. Perserikatan Negara-negara.

Perserikatan negara pada hakikatnya bukanlah negara, melainkan suatu perserikatan yang
beranggotakan negara-negara yang masing-masing berdaulat.

Pada ajaran Leon Deguit, negara dimana Raja atau Kepala Negaranya diangkat melalui sisitem
pemilihan bukanlah monarki, padahal kenyataannya Negara tersebut adalah suatu kerajaan. Seperti
kerajaan German, terhadap Negara tersebut Leon Deguit ragu menyebutnya negara republik, maka
disebutlah republik Aristokrat yaitu kepala negaranya bergelar raja. Untuk melihat keadaan sekarang
ini ajaran Leon Deguit dapat dijadikan referensi.

Klasifikasi Negara Menurut Hans Kelsen

Hans Kelsen penganut ajaran Positivisme, ia menulis ajarannya dalam bukunya Der Soziolosische und
der juristisch Staatsbegriff. Dalam ajaran Hans Kelsen negara itu pada hakekatnya adalah merupakan
Zwangsordnung, yaitu suatu tertib hukum atau tertib masyarakat yang mempunyai sifat memaksa,
menimbulkan hak memerintah dan kewajiban tunduk. Jadi dalam hal ini ada pembatasan terhadap
kebebasan warga negara padahal menurut Hans Kelsen kebebasan warga negara itu merupakan nilai
yang fundamental atau pokok dalam suatu negara.[11]

Menurut Hans Kelsen sifat kebebasan warga negara itu ditentukan oleh dua hal, yaitu:

1.      Sifat mengikatnya peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan atau dibuat oleh penguasa
yang berwenang.

2.      Sifat keleluasaan penguasa atau pemerintah dalam mencampuri atau mengatur peri kehidupan
daripada warga negaranya.

Berdasarkan kriteria tersebut, Hans mengklasifikasikan negara menjadi:

1. Berdasarkan kriteria yang pertama, yaitu sifat mengikatnya peraturan hukum   yang dibuat atau
dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang, maka:
a) Pada azasnya peraturan hukum yang dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang hanya mengikat
atau berlaku terhadap rakyat atau warga negara . jadi tidak berlaku atau mengikat pada penguasa
yang membuat dan mengeluarkan peraturan-peraturan hukum tersebut.

b) Pada azasnya peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan oleh penguasa yang berwenag itu
kecuali mengikat warga negaranya atau rakyatnya juga mengikat si pembuat peraturan hukum itu
sendiri.

2. Berdasarkan kriteria kedua, yaitu sifat keleluasaan penguasa atau pemerintah dalam mengatur
kehidupan para warga negaranya, maka:

a) Pada azasnya penguasa atau negara mempunyai keleluasaan mencampuri atau mengatur segala
segi kehidupan daripada para warga negaranya.

b) Pada azasnya penguasa atau negara hanya dapat mencampuri perihal kehidupan daripada para
warga negaranya yang pokok-pokok saja, yang menyangkut kehidupan warga negara secara
keseluruhan.

Pada umumnya negara yang memakai sistem autonomi, yaitu negara di mana penguasa yang
mengeluarkan peraturan hukum ikut terikat. Dan kecenderungan untuk merubah sistem ke arah
sistem liberal.

Anda mungkin juga menyukai