0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
67 tayangan6 halaman
Dokumen tersebut membahas prinsip-prinsip operasional lembaga keuangan Syariah dan kondisi riil penerapannya. Prinsip-prinsipnya meliputi keadilan, kemitraan, transparansi, dan universal, sedangkan praktiknya masih jauh dari fatwa DSN MUI, seperti pada murabahah dan mudharabah.
Dokumen tersebut membahas prinsip-prinsip operasional lembaga keuangan Syariah dan kondisi riil penerapannya. Prinsip-prinsipnya meliputi keadilan, kemitraan, transparansi, dan universal, sedangkan praktiknya masih jauh dari fatwa DSN MUI, seperti pada murabahah dan mudharabah.
Dokumen tersebut membahas prinsip-prinsip operasional lembaga keuangan Syariah dan kondisi riil penerapannya. Prinsip-prinsipnya meliputi keadilan, kemitraan, transparansi, dan universal, sedangkan praktiknya masih jauh dari fatwa DSN MUI, seperti pada murabahah dan mudharabah.
B. Lembaga keuangan Syariah pada operasionalnya memiliki prinsip-prinsip yaitu:
1. Prinsip keadilan yaitu berbagi untung atas dasar penjualan riil yang disesuaikan dengan kontribusi dan risiko masing-masing pihak. 2. Prinsip kemitraan yaitu posisi nasabah penyimpan dana, pengguna dana, dan lembaga keuangan sejajar dengan mitra usaha yang saling sinergi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. 3. Prinsip transparansi yaitu prinsip yang menekankan bahwa lembaga keuangan Syariah selalu memberikan pelaporan keuangan secara terbuka dan secara berkesinambungan agar nasabah penyimpan dana (investor) dapat memantau dan mengetahui kondisi perihal dananya. 4. Prinsip universal yaitu prinsip yang tidak membeda-bedakan agama, ras, suku dan golongan dalam masyarakat. Hal ini disesuaikan dengan prinsip dalam agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Hukum asal dalam muamalah adalah semuanya diperbolehkan kecuali ada
ketentuan syariah yang melarangnya. Larangan ini dikarenakan beberapa sebab antara lain dapat membantu berbuat maksiat atau melakukan hal yang dilarang Allah, adanya unsur penipuan, adanya unsur mendzalimi pihahak yang bertransaksi dan sebagainya. Hal yang termasuk transaksi yang dilarang adalah sebagai berikut: 1. Riba Imam Sarakhzi mendefinisikan riba sebagai tambahahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan ( ‘iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. Larangan riba sebenarnya tidak hanya berlaku untuk agama Islam, melainkan juga diharamkan oleh seluruh agama samawi selain Islam ( Yahudi dan Nasrani). 2. Penipuan Penipuan terjadi apabila salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain dan dapat terjadi dalam empat hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Empat jenis penipuan tersebut dapat membatalkan transaksi karena tidak terpenuhinya prinsip rela sama rela. 3. Perjudian Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih, dimana mereka menyerahkan uang atau harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan permainan tertantu, baik dengan kartu, kuis sms, tebak sekor bola, atau media lainnya. Pihak yangb menang berhak atas hadiah yang namanya dikumpulukan dari para pesertannya. Sebaliknya, bila dalam undian itu kalah, maka uangnya pun harus direlakan untuk diambil pemenangnya. 4. Gharar Dalam islam melarang transaksi yang mengandung ketidakpastian (gharar). Gharar terjadi ketika terdapat incomplete information, sehingga ada ketiadakpastian antara dua belah pihak yang bertransaksi. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan pertikaian antara para pihak dan ada pihak yang dirugikan. Ketidakjelasan dapat terjadi dalam lima hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan, dan akad. 5. Ikhtkar (penimbunan baranag) Penimbunan adalah membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, kemudian menyimpannya sehingga barang tersebut berkurang di pasaran dan mengakibatkan peningkatan harga. Penimbunan seperti in dilarang karena dapa merugikan orang lain dengan kelangkaannya atau sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain penimbunan mendapatka keuntungan yang besar di bawah penderitaan orang lain. 6. Monopoli Alasan larangan monopoli sama dengan larangan penimbunan barang, walaupun seorang monopolis tidak selalu melakukan penimbunan barang. Monopoli, biasanya dilakukan entry barrier, untuk menghambat produsen atau penjual masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar dan dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi. 7. Bai’ an najasy (rekayasa permintaan) An-najasy termasuk dalam kategori penipuan (tadlis), karena merekayasa permintaan dimana satu pihak berpura-pura menunjukkan penawaran dengan harga yang tinggi, agar calon pembeli tertarik dan membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi. 8. Suap Suap dilarang karena suap merusak sistem yang ada di dalam masyarakat, sehingga meninbulkan ketidak adilan sosial dan persamaan kelakuan. Pihak yang membayar suap pasti akan diuntungkan dibandingkan dengan yang tidak membayar. 9. Taalluq Penjual bersyarat terjadi apabila ada dua akad yang saling dikaitka dimana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua, sehingga dapa mengakibatkan tidak terpenihunya rukun (sesuatu yang harus ada dalam akad) yaitu objek akad. Misalnya A bersedia menjual barang X ke B asalakn B kembali menjual barang tersebut kepada A, atau A bersedia menerima pesanan B asalakan C dapat memenuhi pesana A. 10. Bai’ al inah (pembelian kembali oleh penjual dari ihak pembeli) Misalnya A menjual secara tunai kemudian A membeli kembali barang yang sama dari B secara kredit. Dari contoh ini, kita lihat ada dua pihak yang seolah- olah melakukan jual beli, namun tujuannya bukan untuk mendapatka barang melainkan A mengharapkan uang tunai sedangkan B mengharapka kelebihan pembayaran. 11. Talaqqi al-rukban Jual beli dengan cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil atau pembawa barang perniagaan dan membelinya, dimana pihak penjual tidak mengetahui harga pasar atas barang dagangan yang dibawanya sementara pihak pembeli mengharapka keuntungan yang berlipat dengan memenfaatkan ketidaktahuan mereka.1 B. Kondisi Riil Prinsip Lembaga Keuangan Syariah Apakah semua praktik LKS telah sesuai dengan fatwa DSN di lapangan? Agar dikatakan layak secara syariah, LKS harus menselaraskan operasionalnya dirinya sesuai dengan fatwa DSN MUI. Namun, lain dikata, lain realita, ternyata banyak praktek LKS yang bertentangan dengan fatwa DSN MUI sehingga menabrak batas batas syariah. Untuk membuktikan hal itu, mari kita adakan perbandingan antara fatwa DSN (Dewan syariah Nasional) MUI dengan praktek yang diterapkan di LKS. Semoga perbandingan ini menjadi temuan positif bagi semua kalangan yang peduli dengan
1 Sri Nur Hayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta : Salemba Empat,
2014, hlm. 59-71 perkembangan LKS di negeri kita dan untuk selanjutnya dapat dipergunakan memperbaiki operasional. Fatwa Pertama: tentang Murabahah Kontemporer. Akad Murabahah adalah satu satu produk LKS yang banyak diminati masyarakat. Karena akad ini menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai pembiayaan atau kredit dalam perbankan atau lembaga keuangan konvensional yang tentu sarat dengan riba. Kebanyakan ulama dan juga berbagai lembaga fikih nasional atau internasional, membolehkan akad murabahah kontemporer. Lembaga fikih nasional DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI, juga membolehkan akad murabahah, sebagaimana dituangkan dalam fatwanya no: 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa DSN ini, menjadi payung dan pedoman bagi perbankan syariah dalam menjalankan akad murabahah.Tapi bagaimana praktek bank syariah terhadap fatwa Murabahah? DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah menyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI, 2008:24) LKS manakah yang benar-benar menerapkan ketentuan ini, sehingga barang yang diperjual-belikan benar-benar telah dibeli? Pada prakteknya, perbankan dan LKS syariah, hanya melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu melakukan pembelian dan pembayaran sebagian nilai barang (baca: bayar uang muka). Adakah bank yang berani menuliskan pada laporan keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah? Tentu anda mengetahui bahwa perbankan di negeri kita, baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah berperan sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Karena secara regulasi dan faktanya, bank maupun LKS tidak dibenarkan untuk melakukan praktek perniagaan praktis. Dengan ketentuan ini, bank tidak mungkin bisa membeli yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Hasilnya, bank telah melanggar ketentuan DSN MUI di atas secara terang. Fatwa Kedua, Tentang Akad Mudharabah (Bagi Hasil). Akad Mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktek perbankan syariah. Tapi, lagi-lagi, praktek LKS perlu ditinjau ulang. Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: “LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” Pada ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan hal ini dengan pernyataan: “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.” Praktek LKS sebenarnya di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah maupun LKS benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional. Namun kembali lagi, fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah maupun LKS yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajibkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha.Terlalu banyak fakta dari nasabah mudharabah bank syariah yang mengalami perlakuan ini. Fatwa Ketiga, Tentang Gadai Emas, Gadai emas merupakan cara investasi yang marak ditawarkan perbankan syariah akhir-akhir ini. Gadai emas mencuat dan diminati banyak orang sejak harga emas terus membumbung tinggi. Dewan Syariah Nasioanal melalui fatwanya no: 25/DSN-MUI/III/2002membolehkan praktek ini. Pada fatwa tersebut DSN menyatakan: “Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun (barang gadai) tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.” Sementara dalam fatwa DSN No: 26/DSN- MUI/III/2002 yang secara khusus menjelaskan aturan gadai emas, dinyatakan: “Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. Perbankan syariah atau LKS manakah yang mengindahkan ketentuan ini? Fakta dilapangan membuktikan bahwa LKS yang ada, telah memungut biaya administrasi pemeliharan dan penyimpanan barang gadai sebesar persentase tertentu dari nilai piutang. Jika LKS atau perbankan syariah bersedia menerapkan fatwa di atas, tentunya dalam menentukan biaya pemeliharaan emas yang digadaikan, bank akan menentukan berdasarkan harga Safe Deposit Box (SDB). Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ongkos penyimpanan yang dibebankan nasabah TIDAK sesuai dengan biaya riil yang dibutuhkan untuk standar penyimpanan dan penjagaan bank, atau melebihi nilai harga SDB untuk penyimpanan emas. Dus, lagi-lagi praktek perbankan/LKS syariah nyata-nyata melanggar fatwa DSN2 Ketidak syariahan bank syariah justru dalam taraf mendasarnya yaitu ketidak sesuaian operasional dengan fatwa DSN, Menerapkan Hilah dengan mengistinbathkan denganhal yang tidak sesuai. Ketidak sesuaian LKS maupun bank syariah ini pada akhirnya diakui oleh direktur direktorat perbankan syariah Mulya E. Siregar menyatakan bahwa perbankan syariah belum benar-benar menerapkan system syariah. Menurut Mulya tidak ada Bank Syariah yang benar benar syariah, bahkan IDB sekalipun. Ungkapan Direktur BI ini merupakan sesuatu yang riil bahwa perbankan maupun LKS belum ada yang benar benar berprinsip sesuai syariah walaupun sangat mengejutkan karena segenap peraturan, bahkan dibuat struktur guna pengawasan pun masih belum sepenuhnya sesuai syariah. Menjadi kebutuhan untuk LKS agar dapat hidup dan berkembang dan yang terpenting sesuai dengan syariah.
2Muhammad Arifin Badri, 2012, Fatwa DSN-MUI Vs Praktek Perbankan Syariah Majalah Pengusaha Muslim, Yayasan Bina Pengusaha Muslim, Jakarta, h. 33.