Kewarganegaraan Kelompok 2
Kewarganegaraan Kelompok 2
DOSEN PEMBIMBING :
Ermina Rusilawati, S.H.,M,M.
KELOMPOK II
KETUA KELOMPOK :
JOHANES CHUA
ANGGOTA KELOMPOK :
AFRIZAL
ANGELICA
CINDY EDTANIA
ERLINA
JUNAIDA
MICHAEL
SHANDYANTO
WIRANTO
VIVIAN
BM-1-21
INSTITUT BISNIS DAN TEKNOLOGI PELITA INDONESIA
FAKULTAS BISNIS
PRODI MANAJEMEN
SEMESTER GENAP (II)
T.A 2022/2023
AD HOC INDEPENDEN
Pengertian Ad Hoc
Hakim Ad Hoc
Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan
pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
pengangkatannya diatur dalam undang-undang, sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (“UU 49/2009”).
Selain dalam UU 49/2009, istilah hakim ad hoc juga dapat dijumpai dalam
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 50/2009”), yang
kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 3A ayat (3) UU 50/2009:
Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara, yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang
tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Lebih lanjut, dalam penjelasan Pasal 3A ayat (3) UU 50/2009 dijelaskan bahwa
tujuan diangkatnya hakim ad hoc adalah untuk membantu penyelesaian perkara yang
membutuhkan keahlian khusus, misalnya kejahatan perbankan syari’ah. Sedangkan yang
dimaksud dalam “jangka waktu tertentu” adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan istilah hakim ad hoc digunakan untuk
menyebut seseorang yang diangkat menjadi hakim untuk jangka waktu tertentu, bersifat
sementara, dan memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara.
Sifat sementara ini dapat kita lihat dari ketentuan Pasal 33 ayat (5) UU Pengadilan
HAM yang membatasi pengangkatan hakim ad hoc di pengadilan HAM hanya dapat
diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 tahun. Ketentuan serupa juga dapat dijumpai
dalam
Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (“UU Pengadilan Tipikor”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XVIII/2020, yang mengatur hakim ad hoc diangkat untuk masa jabatan selama 5
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan tanpa seleksi ulang sepanjang
masih memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, serta dapat diangkat untuk
masa jabatan 5 tahun berikutnya dengan terlebih dahulu mengikuti proses seleksi kembali
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3 sifat pengadilan HAM Ad Hoc di lingkungan Peradilan Umum Indonesia
1) Pengadilan HAM Ad Hoc bersifat khusus : Terlebih lagi di Indonesia Pengadilan HAM
Ad Hoc hanya dapat menangani pelanggaran HAM yang di ajukan oleh DPR, dimana
pelanggaran tersebut terjadi sebelum UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia di Indonesia diberlakukan. Artinya bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc akan
dibentuk ketika memang ada peristiwa atau kejadian yang dianggap melanggar HAM
yang berat yang terjadi sebelum dasar hukum nya diberlakukan, sehingga pelanggaran
HAM yang berat setelah diberlakukan dasar hukum tentang Pengadilan HAM tidak
ditangani oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Maka dari itu, Pengadilan HAM Ad Hoc di
Indonesia juga bersifat khusus.
Beberapa contoh pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh HAM Ad Hoc:
1. Pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok, dimana terjadi peristiwa kerusuhan
pada 12 September 1984 yang menyebabkan banyak korban tewas dan luka-luka
hingga merusak fasilitas.
2. Peristiwa upaya Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia, dimana dianggap
terdapat pelanggaran HAM didalamnya selama proses intergrasi berlangsung.
2) Pengadilan HAM Ad Hoc bersifat sementara : Di Indonesia hal tersebut juga dapat di
lihat dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
dimana Pengadilan HAM Ad Hoc akan dibentuk ketika DPR mengusulkan adanya
peristiwa tertentu yang dianggap sebagai pelanggaran HAM. Usulan tersebut pastinya
juga didasarkan pada Keputusan Presiden dan peristiwa yang diusulkan terjadi sebelum
Undang-undang tersebut diberlakukan di Indonesia. Dimana nantinya Pengadilan HAM
Ad Hoc akan berwenang menangani perkara tersebut saja hingga menghasilkan putusan
seadil-adilnya. Artinya bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc ini hanya bersifat sementara
dimana jika ada suatu kejadian atau pelanggaran HAM tertentu saja.
3) Pengadilan HAM Ad Hoc bersifat Retroaktif : Retroaktif sendiri didalam ilmu hukum
sendiri dipahami sebagai suatu hukum yang dapat mengubah konsekuensi hukum
terhadap peristiwa atau perkara hukum yang ada sebelum suatu hukum diberlakukan.
Konsekuensi tersebut dapat berupa mengurangi atau bahkan membebaskan seseorang
dari hukuman atas tindakannya. Oleh sebab itu, karena Pengadilan HAM Ad Hoc sendiri
di Indonesia diberlakukan untuk memiliki wewenang terhadap pelanggaran yang terjadi
sebelum Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
diberlakukan, maka Pengadilan HAM Ad Hoc juga di pahami memiliki sifat retroaktif.
dapat disimpulkan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc memang memiliki sifat retroaktif namun hal
tersebut sudah diputuskan secara hati-hati sehingga tidak melanggar UUD 1945 yang berlaku di
Indonesia. Sifat ini juga sesuai dengan tujuan dibentuknya Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM
Ad Hoc yaitu untuk menegakkan keadilan terhadap peristiwa atau pelanggaran HAM berat yang
terjadi.
KASUS :
Bagaiman Menurut Pemikiran Mahasiswa tentang kasus pelanggaran HAM masa lalu
yang harus dapat diselesaikan oleh Presiden Jokowi dengan cara presiden membentuk komisi
Ad Hoc indenpenden tanpa campur tangan pemerintah sehingga penyelesaiannya lebih
bersifat netral ?
Jawaban :
Kesimpulan dari Seluruh anggota kelompok kami mengenai kasus diatas adalah
“Langkah Presiden membentuk lembaga Ad Hoc adalah suatu langkah yang benar. Karena
dengan dibentuknya lembaga tersebut maka timbulnya suatu lembaga yang khusus
menangani kasus kasus pelanggaran HAM berat walaupun bersifat sementara. Selain bersifat
netral, komisi Ad Hoc Independen ini juga dipilih berdasarkan orang yang pakar dalam
bidangnya dan dianggap dapat menuntaskan kasus yang ada. Sehingga masyarakat yang
menggalami atau korban dari pelanggaran HAM tersebut tidak merasa diabaikan oleh
Pemerintah Indonesia.”