ESAI
ESAI
Prodi : Psikologi
Korona telah membawa kita pada situasi yang asing, hingga nalar kita terhalangi
dan tak berhasil memberikan arahan yang benar. Bahkan, sebagian dari kita telah
menunjukan gerak-gerak anti nalar.
Kita lebih peduli sama logika akal kita yang lain.Bahwa korona itu hanya
makhluk, hanyalah tentara yang diutus oleh tuhan untuk memilih siapa-siapa
yang dijemput, sebagai bentuk peringatan kepada umat manusia untuk itu, buat
apa takut sama korona, yang mestinya ketakutan itu hanya ditujukan pada tuhan.
Memang berat untuk menuruti perintah nalar, bukian hanya mereka yang
tampak mabuk religiositas saja yang begitu tak peduli, bahkan kita-kita ini, yang
biasa-biasa saja, begitu berat rasanya tinggal dirumah, seharian. Panggilan untuk
ngenet di warkop begitu menggoda. Pikiran masih selalu melayang-layang ke luar.
Pada akhirnya, nalar dan emosi bertarung satu sama lain, dan menemukan jalur
kompromi, yaitu keluar rumah, tapi tetap menjaga jarak, serta mengurangi
kumpul-kumpul dengan banyak orang.
Korono pun menjadi bukti bahwa manusia bukan sekedar agen rasional, tapi
juga kebalikan dari itu, bahwa manusia dipenuhi oleh gairah-gairah iraisional.
Nah, apakah korona adalah bentukan nalar ? yah, Korona adalah buah dari nalar
kemajuan umat manusia. Korona adalah hantu yang dilepas oleh manusia itu
sendiri, dalam hal ini efek dari kesadarannya terhadap kemajuan zaman.
Seperti peristiwa lahirnya virus-virus atau penyakit yang lain, campak, cacar,
samapar, flu burung dan lain lain, murni adalah hasil prakondisi manusia
tercerahkan. Dalam hal ini homo economicus.
Hal ini ditunjukan demikian jelas dalam buku jared diamond, “Gun, Germs, and
Steel”, bahwa virus yang sebenarnya kesulitan untuk bermutasi untuk
mempertahankan eksistansi dirinya itu, justru dipermudah oleh manusia melalui
praktik-praktik domistikasi/penjinakan hewan-hewan secara monokultur. Praktik
monokultur ini untuk kepentingan produktivitas. Produktivitas itu sendiri untuk
memenuhi kepentingan atau hasrat manusia atas keberlebihan.
Sebut saja campak, tuberkolosis, dan cacar lahir dari praktik monokultur ternak
sapi. Flu dari peternakan ungags dan babi. Sedangkan penyakit-penyakit lain
akibat keserakahan pasar dan tidak peduli lingkungan, melahirkan sampar akibat
melimpahnya limbah-limbah kotoran rumah tangga. Sedangkan korona, praktik
makan-memakan secara beringas, yang tidak peduli bagaimana uniknya hewan
tersebut. Ataupun relasi antara manusia dengan hewan, yang dalam hal ini
kelelawar tak lagi seimbang ( sesuai dengan kondisi natural hewan kelelewar ).
Meski asal usul korona belum jelas, tapi itu sudah membuktikan bahwa korona
lahir dari ketidak pedulian manusia terhadap hewan-hewan maupun lingkungan.
Dan menunjukan bahwa manusia lebih mementingkan dirinya sendiri.
Apa yang terjadi, korona merajalela, korona tampak lebih cerdas dari manusia.
Dia memaksa kita untuk bersin, agar dirinya pindah dan hidup di inang yang baru.
Dia menekankan kita untuk mengeluarkan cairan, yang dari cairan itu siti korona
mencari mangsa baru.
Lantas, seperti apa kita harus bersikap ? Hal pertama yaitu kita tak dapat lagi
memisahkan diri kita dari sains. Sebab, intervensi manusia terhadap alam ini
mengharuskan kita untuk terus menerus mencari jalan keluar dari
ketidakseimbangan alam, langkah praktisnya yaitu melalui sains. Contohnya
berupa penemuan vaksin untuk virus-virus menular dan berbahaya. Langkah
kedua adalah mengikuti perintah nalar untuk mawas diri dan melindungi diri ,
mengikuti perintah ahli untuk tinggal di rumah.